Planet bumi yang berada dalam sistem tata surya hanya berdiameter sekitar ±8000
mil atau sekitar ±12.000 km. Namun, sebagian besar permukaan bumi yang
luasnya berkisar 197 juta mil persegi (509 juta km persegi) ini berupa perairan
(laut) dan menyediakan berbagai sumber penghidupan yang luar biasa bagi
kehidupan umat manusia. Di bawah permukaan laut, kedalaman air rata-rata 3,8
km dengan volume air 1370 x 106 km2 merupakan tempat hunian organisme
terbesar di planet bumi ini (Burhanuddin, 2018). Secara geografis wilayah
Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang menempatkan laut sebagai
jembatan penghubung bukan sebagai pemisah. Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau dengan total panjang garis pantai
± 81.000 km terletak pada posisi sangat strategis antara Benua Asia dan Australia
serta Samudera Hindia dan Pasifik. Luas daratan mencapai sekitar 2.012.402 km2
dan laut sekitar 5,8 juta km2 (75,7%). Sepanjang garis pantai ini terdapat wilayah
pesisir yang relatif sempit, tetapi memiliki potensi sumberdaya alam hayati dan
non-hayati, sumberdaya buatan, serta jasa lingkungan yang penting bagi
kehidupan masyarakat. Diperkirakan hampir 60% dari populasi penduduk
Indonesia bermukim di wilayah pesisir (Baransano, 2010).
Laut itu bersambung, tak terpisah-pisahkan seperti habitat daratan dan air
tawar. Semua laut berhubungan satu dengan yang lain di dekatnya. Suhu,
salinitas dan kejelukan menjadi penghalang utama gerakan bebas biota laut.
Laut selalu bersirkulasi, perbedaan suhu udara antara kutub dan katulistiwa
menciptakan angina keras yang bertiup searah sepanjang tahun yang dinamaan
angin pasat (trade wind), bersama dengan perputaran bumi menciptakan arus-
arus laut tertentu. Selain arus permukaan karena angin, terdapat arus dalam
yang terjadi akibat perbedaan suhu dan salinitas yang menimbulkan perbedaan
berat jenis. Interaksi antara tekanan angina, gaya Coriolis, arus termohalin dan
konfigurasi fisik dasar laut menciptakan kemajemukan. Sirkulasi laut itu
begitu efektif sehingga kekurangan oksigen atau stagnasi seperti terjadi di
danau tidak terdapat di laut (Romimohtarto, 2001: 3818-319).
Meskipun organisme modern mengubah banyak struktur tanah dasar dan ciri
khas tingkah lakunya dengan kerabatnya yang hidup di darat, kehidupan di
laut adalah unik dalam beberapa hal yang penting. Organisme laut berada
dalam medium air garam yang padat, mengalir dan saling berhubungan.
Pergerakan air laut mencampur dan mengangkut organisme dan makanannya,
dan produk-produk sisa, sehingga sedikit dari organisme tersebut yang
terisolasi dari pengaruh-pengaruh organisme lain. Populasi-populasi
organisme planktonik uniseluler yang terkecil sekalipun dapat terdistribusi
luas melalui pergerakan arus dan massa air.
Biologi organisme laut merupakan perluasan dari biologi yang sangat kecil,
yaitu fitoplankton yang mengawali pembentukan banyak karakter struktur dari
kehidupan laut. Bahkan dalam daerah-daerah yang sangat produktif dari
lautan terbuka, konsentrasi fitoplankton lebih banyak dibandingkan tanaman
yang subur di daratan. Distribusi alaminya, ukurannya yang ekstrim kecil, dan
laju reproduksi yang cepat dari fitoplankton, membatasi ukuran dan
kelimpahan kehidupan lainnya dalam laut. Kebanyakan organisme heterotroph
berkumpul di dekat zona fotik untuk mendapatkan makanannya. Pada
kedalaman yang lebih dalam, densitas populasi biota laut cenderung menurun
dengan menurunnya suplai bahan makanan. Di bawah zona fotik, semua
kehidupan di laut bergantung pada hujan detritus dari atas. Tidak seperti di
darat, hanya sedikit tumbuhan yang mendominasi komunitas laut. Malahan,
laut yang dihuni oleh terumbu karang, padang remis, dan komunitas-
komunitas lainnya dicirikan oleh dominasi anggota hewan.
Banyak bahan-bahan yang diproduksi oleh produsen primer laut yang tidak
dikonsumsi secara langsung oleh herbivora, namun terlarut dalam air laut.
Bahan-bahan tersebut termasuk lemak dan asam amino. Bakteri, sebaliknya
menjadi bahan makanan bagi konsumer yang mampu memanfaatkannya.
Dengan demikian banyak hewan laut yang berukuran kecil dan banyak juga
hewan yang besar secara langsung bergantung pada fitoplankton yang
mikroskopis atau bahkan bakteri yang lebih kecil untuk nutrisi mereka.
Mereka adalah hewan-hewan pemakan suspense yang menggunakan sejumlah
teknik dan perlengkapan untuk memisahkan partikel-partikel makanan yang
kecil dari air laut (Burhanuddin, 2019: 31-32).
Meskipun tidak ada batas-batas laut yang dapat dilihat, perairan Indonesia
dapat dibagi atau terdiri dari:
a) Laut Cina bagian selatan, yang merupakan sebagian dari Paparan
Sunda. Dasar perairannya dangkal dan hampir rata. Secara tidak
langsung bagian perairan ini dihubungkan dengan Samudra Pasifik
oleh Laut Cina yang berhubungan langsung dengan Samudra Pasifik,
terutama lewat Selat Bashi yang terletak di antara Formusa dan Luzon
(Gambar 3.1). Paparan Sunda menghubungkan pulau-pulau Sumatra,
Kalimantan dan Jawa dengan daratan Asia. Paparan Sunda yang
merupakan bagian dari perairan kita mencakup juga Selat Malaka dan
Laut Jawa. Laut Jawa dan Laut Cina Selatan dihubungkan oleh Selat-
Selat Karimata, Gaspar dan Bangka. Selat Malaka dan Selat Sunda
menghubungkan Paparan Sunda dengan Samudra Hindia, tetapi
pertukaran massa air lewat selat-selat ini sangat lemah dan kurang
berarti;
b) Laut Sulu, yang berbentuk basin empat persegi panjang dengan bagian
terjeluk kira-kira 5,580 m, dengan dasar makin ke timur makin jeluk;
c) Perairan jeluk Kawasan Timur Indonesia (KTI), terletak di antara
Paparan Sunda di sebelah barat, Paparan Arafura di sebelah timur,
Pulau Mindanao di sebelah utara dan Samudra Hindia di sebelah
selatan. Wilayah perairan ini meliputi laut Sulawesi, Selat Makasar,
Laut Flores, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda,
Laut Sawu dan Laut Timor. Mereka adalah laut-laut jeluk dan
menunjukkan topografi dasar laut yang lebih majemuk dengan bentuk-
bentuk basin dan palung yang jeluk (Gambar 3.2). Antara basin satu
dan basin di sebelahnya terdapat "tanggul" atau "punggung" yang
membatasi kedua basin yang bersebelahan. Hubungan antara keduanya
terjadi melewati ambang (sill) dengan kejelukan ambang (sill depth)
yang berbeda-beda. Lewat perairan jeluk Kawasan Timur Indonesia
ini, pertukaran massa air di lapisan jeluk antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia terjadi;
Gambar 3.2 Letak basin-basin (lubuk) dan palung-palung di perairan
Indonesia (Alamendah, 2015).
d) Paparan Arafura, yang menghubungkan daratan Irian dan daratan
Australia yang mempunyai kejelukan yang bisa dijangkau antara 30-90
m. Di paparan ini terdapat suatu “saluran” yang agak jeluk dengan arah
barat-timur menuju Selat Torres. Selat Torres banyak ditumbuhi
terumbu karang dan saluran-saluran di antara terumbu-terumbu karang
tersebut sangat dangkal, yakni sampai 12 m, sehingga pertukaran
massa air dengan Samudra Pasifik lewat selat ini kurang berarti.
Paparan Sahul terletak di sebelah barat-laut Australia yang melebar
dari pantai ke Arah laut sampai kira-kira sejauh 30 km dan mempunyai
kejelukan rata-rata antara 80 sampai 100 m;
e) Bagian perairan Samudra Hindia, mencakup basin-basin besar
Australia-Hindia yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatra dan di
sebelah selatan Pulau Jawa. Basin-basin ini terbagi menjadi beberapa
basin yang lebih kecil. Selain basin-basin ini, terdapat palung yang
memanjang dan sejajar pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, dan
pulau-pulau di Nusa Tenggara.
Gambar 3.3 Peta yang menunjukkan kekayaan jenis ikan karang dan
keendemikan di tiap ekoregion. Angka pada lingkaran besar
merupakan jumlah jenis ikan karang yang diketahui dari
ekoregion tersebut, sedangkan angka pada lingkaran yang
lebih
kecil di sebelah kanannya adalah jumlah jenis endemik yang
tercatat di ekoregion tersebut (Huffard, 2012: 13)
Tabel. 3.2 Ringkasan data kekayaan jenis dan keendemikan pada tiap
ekoregion laut untuk kelompok taksonomi tertentu
(UNK = kekayaan jenis tidak diketahui) (Huffard, 2012: 15)
Gambar 3.4 Kekayaan jenis stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu
karang di tiap ekoregion. Angka pada lingkaran adalah jumlah
jenis stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu karang
yang diketahui dari ecoregion tersebut (Huffard, 2012: 14)
Demikian juga untuk burung laut dan duyung. Selat Malaka yang memiliki
habitat terumbu karang yang tersebar dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas
manusia. Ekoregion ini juga memiliki kumpulan burung laut yang
melimpah dengan status rentan sampai terancam punah. Bahkan secara
global merupakan habitat yang paling penting bagi Bangau bluwok
(Mycteria cinerea), yaitu salah satu dari beberapa jenis burung paling
terancam punah di dunia. Kawasan konservasi laut yang dirancang dan
diprioritaskan untuk melindungi terumbu karang tidak selalu mencakup
habitat kritis pada habitat ini menopang kehidupan komunitas bakau dan
lahan basah, dan burung-burung air, reptil, serta mamalia laut yang
bergantung padanya. Untuk ekosistem bakau, Laut Arafura menduduki
peringkat tertinggi dalam hal kekayaan jenis bakau dengan total 53 jenis,
kemudian diikuti oleh Papua dan Selat Malaka, masing-masing sebanyak
35 jenis (Gambar 3.8) (Huffard, 2012: 24-25).
Divisi bentik merujuk pada lingkungan dasar laut. Bagian dari continetal
shelf (paparan benua) di bawah zona fotik adalah paparan bagian terluar.
Zona batyal diperkirakan ekuivalen dengan daerah kontinental slope.
Sedangkan zona abysal merujuk pada melintasi dataran abysal dan daerah
dasar laut lainnya (kemiringan benua) antara kedalaman 3000 hingga 6000
meter. Batas sebelah atas dari zona tersebut kadang-kadang didefenisikan
sebagai wilayah di mana suhu udara tidak pernah melebihi 4°C. Zona
hadal adalah bagian dari dasar laut di bawah 6000 meter, utamanya
daerah-daerah palung lautan (Burhanuddin, 2019: 30).
Divisi pelagis termasuk seluruh massa air lautan. Sehingga cukup untuk
memisahkan daerah pelagis ke dalam dua provinsi, yaitu bagian neritik
yang termasuk massa air di atas paparan benua dan daerah oseanik yang
meliputi massa air yang berada di atas basin lautan yang dalam. Setiap
subdivisi dari lingkungan laut dihuni oleh sekelompok biota laut yang
memiliki ciri-ciri masing-masing (Burhanuddin, 2019: 30).
2. Zona Neritik
Zona Neritik (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang
surut hingga kedalaman 200 meter. Pada zona ini masih dapat
ditembus oleh sinar matahari, sehingga wilayah ini paling banyak
terdapat berbagai jenis kehidupan baik hewan maupun tumbuhan-
tumbuhan, contoh Laut Jawa, Laut Natuna, Selat Malaka dan laut-laut
di sekitar kepulauan Riau. Ciri-ciri zona neritik diantaranya: sinar
matahari masih menembus dasar laut, kedalamannya ±200 meter, dan
bagian paling banyak mengandung ikan dan tumbuhan laut. Zona
neritik berada di paparan benua yang dihuni oleh biota laut yang
berbeda dengan zona oseanik karena kandungan zat di mintakat neritik
melimpah, sifat kimiawi perairan neritik berbeda dengan zat oseanik
karena berbeda-bedanya zat-zat terlarut yang dibawa ke laut dari
daratan, dan neritik sangat berubah-ubah, baik dalam waktu maupun
dalam ruang, jika dibandingkan dengan perairan oseanik. Hal ini dapat
terjadi karena dekatnya mintakat ini dengan daratan dan adanya
tumpahan berbagai zat terlarut dari darat ke laut. Penentuan cahaya,
kandungan sedimen dan energi fisik dalam kolom udara berbeda antara
mintakat neritik dan mintakat oseanik.
3. Zona Batial
Zona Batial (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki
kedalaman antara 150 hingga ± 2000 meter. Wilayah ini tidak dapat
ditembus sinar matahari, sehingga kehidupan organismenya tidak
sebanyak yang terdapat di zona neritik. Zona batial laut dimulai dari
batas bawah dari rak (biasanya 130-200 meter) atas dasar lereng, yang
terletak di kedalaman 2000 meter zona ini ditandai dengan air yang
tenang, tidak adanya cahaya, hewan hidup sangat miskin dan pengaruh
yang lemah tanah dengan proses yang terjadi dalam lingkungan.
4. Zona Abisal
Zona Abisal adalah suatu zona di dasar laut yang amat dalam, dimulai
dari kedalaman 1000 meter sampai 6000 meter. Zona ini termasuk ke
dalam lubuk laut dan palung laut. Tekanan air laut sangat besar,
sehingga hanya sedikit hewan-hewan laut yang dapat hidup di zona ini.
Hewan laut yang dapat hidup di zona ini cenderung pipih dan panjang.
Tepat di atas zona abisal terdapat zona batial, daerah yang terakhir
mendapatkan cahaya di mana sebagian besar kehidupan laut itu ada.
Sedangkan tepat di bawah zona abisal, yaitu zona hadal, daerah yang
diliputi oleh kegelapan abadi. Materi sedimentasi sangat halus, berupa
sejenis lumpur yang kemerah-merahan dan terdiri dari hancuran
diatomea dan radiolaria, karena dalam kedalaman sekitar 3000 meter
kerang pun sebelum mencapai dasar laut telah hancur dan larut.
Dikarenakan tekanan air di zona abisal harus mampu menahan tekanan
yang besar.
D. Parameter Kualitas Perairan
Air merupakan medium tempat terjadi berbagai reaksi kimia dan merupakan
komponen terbesar pembentuk tubuh organisme di laut. Sifat perubahan air
laut yang selalu dinamik, cepat atau lambat akan berpengaruh nyata pada
kehidupan yang ada. Kadang-kadang perubahan lingkungan ini lambat, seperti
datangnya zaman es yang memakan waktu ribuan tahun. Kadang-kadang cepat
seperti datangnya hujan badai yang menumpahkan air tawar dan mengalirkan
endapan lumpur dari darat ke laut. Faktor-faktor lingkungan yang banyak
memengaruhi kehidupan di laut adalah faktor fisika maupun kimia yaitu
sebagai berikut (Burhanunddin, 2019: 9).
a. Sifat-sifat air murni
1. Viskositas (Kekentalan)
Pengertian viskositas adalah sifat kekentalan suatu fluida yang
memengaruhi daya tahan terhadap suatu gaya geser. Sifat-sifat fisika
air merupakan faktor pemisah antara lingkungan air dengan
lingkungan udara. Selain itu, faktor fisika juga banyak memengaruhi
kehidupan organisme di dalam air. Adanya perbedaan yang amat besar
dari masing-masing faktor fisika di lingkungan air dengan lingkungan
udara, mengakibatkan pengaruh yang berbeda terhadap tumbuhan dan
hewan pada masing-masing lingkungan tersebut. Di samping itu, air
juga berfungsi untuk menahan tekanan osmosis, sebagai pelarut dan
penghantar listrik yang baik. Viskositas adalah salah satu sifat air
yang digunakan sebagai pengukur tinggi daya yang diperlukan untuk
molekul-molekul zat cair agar dapat dilewati. Adanya ikatan hidrogen,
air mempunyai kecenderungan untuk melawan kekuatan yang akan
dipindahkan molekul-molekul tersebut atau dengan istilah kohesi.
Peristiwa tersebut memberi efek nyata pada kehidupan organisme yang
mengapung dan berenang. Sifat tersebut mengurangi kecenderungan
tenggelam dari beberapa organisme melalui peningkatan kekuatan
melawan pergesekan antara mereka sendiri dan di dekat molekul-
molekul air. Pada saat yang bersamaan, viskositas menambah masalah
tarikan untuk hewan-hewan perenang aktif.
2. Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan air timbul akibat aktivitas molekul-molekul air
yang tidak seimbang pada dan di bawah permukaan air saling tarik
menarik dari molekul-molekul air pada permukaan massa air (seperti
perbatasan antara air dan udara) menimbulkan suatu "kulit” molekuler
yang fleksibel di atas permukaan air. Hewan-hewan dan tumbuh-
tumbuhan yang ringan dapat berjalan atau bergerak di atas "kulit"
permukaan air ini dan tegangan permukaan yang cukup kuat untuk
menopang keberlangsungan asosiasi organisme baik yang berada
hidup di bawahnya maupun yang bergerak di atasnya. Baik viskosistas
maupun tegangan permukaan, keduanya bergantung pada suhu, yaittu
meningkat dan menurunnya suhu. Contoh pengaruh tegangan
permukaan cukup kuat untuk menopang berat penuh insekta laut
Halobates (Gambar 3.10).
Gambar 3.10 Insekta air Halobates, salah satu insekta laut yang bisa
berdiri di atas permukaan air laut karena adanya tegangan
permukaan air (Burhanunddin, 2019: 11).
3. Densitas
Densitas merupakan salah satu parameter terpenting dalam kompetisi
dinamika. Perbedaan densitas yang kecil horisontal (seperti halnya
perbedaan pemanasan di permukaan) dapat menghasilkan arus laut
yang sangat kuat. Densitas udara laut merupakan jumlah massa air
laut per satu satuan volume. Densitas merupakan fungsi langsung dari
kedalaman laut, serta dipengaruhi juga oleh salinitas, suhu, dan
tekanan. Pada umumnya nilai densitas (akan berkisar antara 1,02-1,07
gr/cm3) kan bertambah sesuai dengan bertambahnya salinitas dan
tekanan serta berkurangnya suhu, kecuali pada suhu di bawah densitas
maksimum. Densitas air laut terletak pada kisaran 1025 kg/m3.
Densitas maksimum terjadi di atas titik beku sedangkan untuk salinitas
di bawah 24,7. Hal ini mengakibatkan adanya peristiwa konveksi
panas. Densitas yang hanya dipengaruhi oleh tekanan nilainya lebih
besar dari pengaruh salinitas dan suhu (Burhanunddin, 2019: 12-13).
4. Kapasitas Panas
Suhu adalah ukuran energi gerakan molekular. Suhu udara sangat
menentukan terhadap proses kimia, fisika, dan biologi di dalam
perairan, sehingga dengan perubahan suhu pada saat di luar akan
mengubah semua proses di dalam laut termasuk pada biota laut. Hal
ini terlihat dari peningkatan suhu udara, maka kelarutan oksigen akan
berkurang. Peningkatan suhu oksigen 10°C peralihan konsumsi
oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat, kebutuhan
oksigen oleh organisme akuatik meningkat.
Suhu secara langsung atau tidak langsung sangat tergantung oleh sinar
matahari. Panas yang dimiliki oleh air akan mengalami perubahan
secara perlahan-lahan antara siang dan malam serta dari musim ke
musim. Selain itu, air mempunyai sifat di mana berat jenis maksimum
terjadi pada suhu 4°C dan bukan pada titik beku. Panas adalah suatu
bentuk energi, yaitu energi dari pergerakan molekul. Pada permukaan
laut, energi radiasi berubah menjadi energi panas. Di laut panas di
transfer dari satu tempat ke tempat lain melalui konveksi
(percampuran) dan yang kedua melalui konduksi (pertukaran molekul
panas). Energi panas diukur dengan kalori. Air memiliki kemampuan
untuk menyerap dan melepaskan panas tanpa mengubah suhu yang
besar. Pemanasan yang terus menerus dari satu gram dari 0°C
memerlukan satu kalori dari energi panas untuk setiap satu derajat
perubahan suhu hingga titik didih (100°C) yang diterima. Pada titik
ini, peningkatkan suhu lebih lanjut dihentikan hingga seluruh air
diubah menjadi uap air. Gambar 3.11 meringkaskan energi yang
diperlukan untuk setiap perubahan suhu air. Makin tinggi kapasitas
panas dan semakin besar jumlah panas yang diperlukan untuk
evaporasi yang memungkinkan badan air yang besar untuk melawan
fluktuasi suhu yang ekstrim. Energi panas diserap secara lambat oleh
air apabila udara di atasnya hangat dan secara perlahan-lahan
dilepaskan apabila udara menjadi lebih dingin. Proses ini
menimbulkan suatu efek suhu yang moderat untuk lingkungan laut dan
areal daratan yang berdekatan (Burhanunddin, 2019: 13-15).
5. Kemampuan Melarutkan
Air laut dapat melarutkan dan membawa banyak material untuk
memenuhi kebutuhan berbagai mineral dan gas yang dibutuhkan untuk
kehidupan organisme laut. Ukuran yang kecil dan memuat kutub dari
setiap molekul air memungkinkan air untuk berinteraksi dan
melarutkan kebanyakan bahan-bahan alami lainnya. Kristal-kristal
terikat bersama melalui ikatan ionik (ikatan-ikatan antara muatan yang
berlawanan dari ion-ion yang berasal dari kristal, seperti garam)
mudah untuk melawan melarutkan dalam udara. Gambar 3.12
mengilustrasikan proses dari kristal garam yang dilarutkan dalam air.
Awalnya beberapa molekul air dari ikatan H yang lemah dengan setiap
ion Na+ dan Clˉ dan akhirnya mereka mengatasi daya tarik menarik
ion-ion tersebut yang lebih dulu mengikat mereka bersama-sama
dalam struktur kristal. Sebagaimana lebih banyak ion-ion Na + dan Clˉ
dipindahkan dalam cara ini, struktur kristal yang padat terpisah dari
garam dan bahan-bahan yang tidak berlawanan seperti oksigen
umumnya yang kurang dapat larut dalam air.
Gambar 3.12 Suatu Kristal garam (atas) dan aksi dari molekul air yang
bermuatan dalam melarutkan Kristal untuk memisahkan
ion Na+ dan Clˉ (Burhanunddin, 2019: 15).
Makin jeluk lapisan air, maka arah arus makin menyimpang dari arah
arus permukaan, ke kanan di belahan bumi utara atau ke kiri di belahan
bumi selatan, dan kecepatannya pun makin berkurang, sehingga
membuat apa yang disebut dengan Spiral Ekman (Gambar 3.13). Jika
terjadi divergensi (divergence) atau pemusatan arus permukaan, maka
akan terjadi keadaan sebaliknya, yang disebut tenggelaman massa air
atau disingkat tenggelaman, yakni turunnya massa air dari lapisan atas
ke lapisan bawah. Gambar 3.14 menunjukkan pola gerakan pemukaan
dan tenggelaman (Romimohtarto, 2001: 10).
2. Pasang-surut
Pasang-surut (pasut) merupakan salah satu gejala laut yang besar
pengaruhnya terhadap kehidupan biota laut, khususnya di wilayah
pantai. Tinggi rendahnya pasut ini ditentukan dari suatu paras panutan
yang telah ditentukan sendiri, yang dinamakan datum. Datum ini
biasanya ditentukan pada tingkat air rendah pada pasut bulan penuh
atau purnama (spring tide) biasa. Jadi kalau air rendah yang terjadi
pada pasut purnama luar biasa maka paras laut akan terletak di bawah
datum. Pasut terjadi pertama-tama karena gaya tarik (gaya gravitasi)
bulan. Bumi berputar bersama kolom air di permukaannya dan
menghasilkan dua kali pasang dan dua kali surut dalam 24 jam di
banyak tempat di bumi kita ini. Berbagai pola gerakan pasut ini terjadi
karena perbedaan posisi sumbu putar bumi dan bulan, karena berbeda-
bedanya bentuk dasar laut dan lain sebagainya (Romimohtarto, 2001:
8-9).
3. Gelombang
Gelombang sebagian ditimbulkan oleh dorongan angin di atas
permukaan laut dan sebagian lagi oleh tekanan tangensial pada partikel
udara. Angin yang menimbulkan tiupan di permukaan laut
memunculkan riak gelombang (ripples). Jika kemudian angin terhenti
maka riak gelombang akan hilang dan permukaan laut akan kembali.
Lalu jika angin ini membalik lama maka riak gelombang membesar
terus kemudian angin berhenti bergerak. Setelah meninggalkan daerah
asal bermulanya tiupan angin, maka gelombang terkompensasi
menjadi ombak sederhana. Jika diperhatikan, alun ini mempunyai
puncak-puncak (crests) dan lembah-lembah (troughs). Selagi
gelombang bergerak di air, jarak antara dua titik serupa yang
berurutan, yakni antara satu puncak dan puncak berikutnya atau antara
satu lembah dan lembah berikutnya dinamakan panjang gelombang.
Jarak menegak antara titik puncak dan titik lembah dinamakan
gelombang tinggi. Waktu yang digunakan untuk memutar jarak dari
satu titik serupa dari satu gelombang ke titik serupa dari gelombang
berikutnya dinamakan periode gelombang (Gambar 3.15). Jika kita
megetahui panjang gelombang dan periode gelombang terkait, kita
dapat menghitung kecepatan gelombang yang sedang bergerak.
4. Salinitas
Susunan kimiawi air berupa zat-zat garam berasal dari dalam dasar laut
melalui proses outgassing, yakni rembesan dari kulit bumi di dasar laut
yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut. Bersama gas-gas ini,
terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan sebenarnya asal garam-
garam tersebut. kikisan kerak bumi dan bersama-sama garam-garam
ini merembes pula air, semua dalam perbandingan yang tetap sehingga
terbentuk garam di laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang
masa. Artinya kita tidak menjumpai bahwa air laut makin lama makin
asin. Zat-zat terlarut yang membentuk garam, yang kadarnya diukur
dengan istilah salinitas dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni:
a) Konstituen utama : Cl, Na, SO4, dan Mg.
b) Gas terlarut : CO2, N2, dan O2
c) Unsur hara : Si, N, dan P
d) Unsur runut : I, Fe. Mn, Pb dan Hg.
Konstituen utama merupakan 99,7% dari seluruh zat terlarut dalam air
laut, sedangkan sisanya 0,3% terdiri dari ketiga kelompok zat lainnya.
Akan tetapi meskipun kelompok zat terakhir ini sangat kecil
prosentasenya, mereka banyak menentukan kehidupan di laut.
Sebaliknya kepekatan zat-zat ini banyak ditentukan oleh aktivitas
kehidupan di laut. Selain zat-zat terlarut ini, air laut juga mengandung
butiran-butiran halus dalam suspensi. Sebagian dari zat ini akhirnya
terlarut, sebagian lagi mengendap ke dasar laut dan sisanya diurai oleh
bakeri laut menjadi zat-zat hara yang dimanfaatkan oleh tumbuh-
tumbuhan laut untuk fotosintesis. Untuk mengukur asinnya air laut
maka digunakan istilah salinitas. Salinitas merupakan takaran bagi
keasinan air laut. Satuannya pro mil ( o/oo) dan simbol yang dipakai
adalah SO o/oo. Salinitas didefinisikan sebagai berat zat padat terlarut
dalam gram per kilogram air laut, jika zat padat telah dikeringkan
sampai beratnya tetap pada 480°C, dan jumlah klorida dan bromida
yang hilang diganti dengan sejumlah klor yang ekivalen dengan berat
kedua halida yang hilang. Singkatnya salinitas adalah berat garam
dalam gram per kilogram air laut. Salinitas ditentukan dengan
mengukur klor yang takarannya adalah klorinitas, dengan rumus:
S o/oo = 0,03 + 1,805 Cl o/oo (Romimohtarto, 2001: 19-21).
Suatu ekosistem adalah suatu unit fungsional dari berbagai ukuran yang
tersusun dari bagian-bagian yang hidup dan tidak hidup, yang saling
berinteraksi. Bagian-bagian komponen dan sistem secara keseluruhan
berfungsi berdasarkan suatu urutan kegiatan yang menyangkut energi dan
pemindahan energi. Dengan beberapa perkecualian, sumber energi yang azali
adalah matahari. Energi dari matahari ditangkap oleh komponen ototrofik
yaitu tumbuh-tumbuhan hijau. Energi yang tertangkap disimpan dalam ikatan
kimia zat organik tanaman, yang merupakan makanan yang mendorong terus
berjalannya komponen heterotrofik sistem tersebut. Organisme heterotrofik
meliputi semua bentuk-bentuk kehidupan yang lain, yang mendapatkan
energinya dengan cara mengkonsumsi tumbuhan ototrofik atau disebut
organisme pemakan tumbuhan. Pengaturan ototrof dan urutan tingkatan-
tingkatan heterotrof serupa itu disebut struktur trofik, sedangkan setiap urutan
tingkatan konsumen disebut tingkatan trofik. Struktur trofik adalah suatu ciri
khas sermua ekosistem. Tingkatan trofik yang pertama disebut ototrofik atau
tingkatan produsen, di mana energi pada awalnya diambil dan disimpan dalam
senyawa-senyawa organik. Sementara energi dipindahkan dari satu tingkatan
ke tingkatan berikutnya dalam sistem tersebut, sebagian besar energi tersebut
hilang sebagai panas dan terpakai dalam proses metabolism oleh organisme.
Jumlah energi yang hilang bervariasi, tetapi jumlahya cukup besar, yaitu
antara 80-95 persen. Oleh karena itu, sistem ini harus membatasi dirinya
sendiri, karena pada suatu titik tertentu, energi yang tersisa tidak cukup untuk
diteruskan agar dapat menopang tingkatan berikutnya. Hal ini dapat
diperagakan dalam energi piramid atau piramid trofik (Gambar 3.17). Dalam
struktur seperti ini, tingkatan trofik yang mengkonsumsi tumbuhan (ototrof,
tingkat pertama) antara lain adalah hewan-hewan yang disebut herbivora.
Herbivora pada gilirannya dikonsumsi oleh karnivora, yang pada giliran
berikutnya dikonsumsi oleh karnivora lain yang lebih besar. Oleh karena itu
semua tingkatan di atas tingkatan kedua terdiri dari karnivora atau omnivora.
Di tiap-tiap tingkat trofik atau populasi, jumlah materi yang hidup pada setiap
saat disebut hasıl tetap (standing crop). Komponen terakhir dari struktur trofik
suatu ekosistem adalah pengurai atau dekomposer. Pengurai ini adalah
organisme, terutama bakteri, yang memecah molekul organik yang kompleks
dari molekul mati, menjadi molekul sederhana yang dapat digunakan lagi oleh
ototrof. Pengurai pada semua tingkatan trofik (Nybakken, 1992: 21-22).
Gambar 3.17 Piramid tropik. (A) Piramid biomassa. (B) Piramid energi.
Ketebalan batang menunjukkan jumlah relatif
(Nybakken, 1992: 23).
Komponen abiotik yang diperlukan dari struktur trofik suatu ekosistem adalah
sumber energi, nutrisi, dan sumber air. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat
menyediakan energi dan menghasilkan molekul organik yang kompleks tanpa
adanya energi sinar matahari atau tanpa adanya komposisi bahan makanan
anorganik, yang paling penting adalah nitrat dan fosfat. Karena ekosistem ada
yang terdiri dari satu komunitas dan ada pula yang terdiri dari banyak
komunitas, masing-masing terdiri dari banyak produsen, konsumen, dan
pengurai. Eenergi pemindahan melalui ekosistem yang dapat digunakan
melalui berbagai jalur. Setiap jalur pemindahan energi dari suatu sumber
tumbuhan atau tumbuh-tumbuhan tertentu melalui serangkaian konsumen
tertentu yang disebut rantai makanan (Gambar 3.18). Kombinasi dari semua
rantai makanan di suatu komunitas atau ekosistem tertentu yang disebut
jaringan makanan. Oleh karena itu, jaringan makanan adalah sebuah ikatan
dari semua jalur yang dilalui oleh energi yang bergerak dari satu evolusi
berikutnya melalui komunitas atau ekosistem (Gambar 3.19) (Nybakken, 1992:
23-24).
2. Predasi
Predasi (pemangsaan) adalah peristiwa dikonsumsinya satu spesies oleh
spesies yang lain. Hewan yang menjadi konsumen disebut predator
(pemangsa), sedangkan korbannya disebut pray (mangsa). Untuk hewan
yang mangsanya adalah tumbuhan, hewan tersebut disebut herbivora,
sedangkan hewan pemakan tumbuhan atau hewan sesil (menempel) disebut
grazer. Predator dan herbivora memiliki kemampuan yang beragam untuk
jumlah yang dilindungi. Dalam beberapa kasus, predator dapat menjadi
faktor yang sangat penting dalam jumlah tertentu spesies mangsa. Dalam
kasus lain, seorang pemangsa hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap
populasi mangsa. Pada kasus pertama, jumlah predator yang berkurang
akan memiliki jumlah yang sangat besar pada populasi mangsa, yang
menyebabkan meningkatnya populasi mangsa secara dramatis. Pada kasus
yang kedua, Pengaturan jumlah predator tak banyak mempengaruhi
terhadap populasi mangsa. Predator, tidak saja terhadap populasi
mangsanya, tetapi juga menentang komunitas di mana ia sendiri merupakan
salah satu bagiannya. Dalam kasus ini, ditiadakannya atau dikurangi
jumlah pemangsa yang memengaruhi perubahan besar terhadap partisipasi
dan kelimpahan banyak spesies dalam komunitas yang dikumpulkan, yang
lebih besar daripada mangsa untuk pemangsa tersebut. Sebagai akibatnya,
seluruh struktur komunitas mungkin jadi berubah. Predator seperti ini
disebut industri kunci (key industry) atau spesies dasar (keystone).
3. Parasitisme
Parasitisme dan penyakit adalah kendali atau pengawas biologis akhir
terhadap populasi. Sama halnya dengan pemangsaan, parasitisme dan
penyakit mempunyai pengaruh yang kuat atau pengaruh yang kecil saja
terhadap populasi. Parasit adalah populasi yang hidup di dalam atau pada
hubungan lain dari mana ia mendapat makanan dan tempat bernaung.
Kebanyakan, atau bahkan semua organisme lautan mempunyai parasit,
tetapi pengetahuan kita tentang peran parasit dan penyakit dalam
pengaturan populasi organisme lautan jauh lebih sedikit daripada
pengetahuan kita tentang organisme di daratan. Barangkali membahas
tentang perubahan yang disebabkan oleh penyakit dalam suatu komunitas
lautan adalah membahas padang lamun (eelgrass) di pantai Lautan Atlantik
pada tahun 1930-an (Nybakken, 1992: 26-28).
Mamalia dan burung laut mengatur suhu badan mereka pada suatu level
yang konstan dan dikenal sebagai organisme Homoitherm. Berlawanan
dengan ikan, hewan yang tidak bertulang belakang (avertebrata) dan alga
mereka tidak mengatur suhu badan hingga suatu level konstan seperti yang
dilakukan mamalia dan burung laut, sehingga organisme seperti ikan
dikenal sebagai hewan Poikilotherm. Pada banyak kasus, poikilotherm
memiliki suhu badan yang sama dengan suhu air laut di mana mereka
hidup. Beberapa ikan yang aktif seperti ikan cakalang dan tuna memiliki
suhu badan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh
panas metabolisme yang dibangkitkan oleh otot saat aktivitas renang dan
dalam pengaturan suhu badan ikan tersebut memiliki suatu aturan
tersendiri. Kebanyakan ikan mampu menyesuaikan suhu badannya dengan
suhu lingkungannya. Apabila terpapar udara terbuka, hewan yang tidak
bertulang belakang di daerah pasang surut juga memiliki suhu badan yang
nyata sekali berbeda dengan suhu benda-benda mati disekitarnya. Hewan-
hewan yang tidak bertulang be- lakang di daerah pasang surut daerah tropis
memiliki suhu badan yang lebih rendah daripada objek yang sama yang
diprediksikan memiliki suhu yang lebih tinggi ketika terpapar sinar
matahari. Suhu badan gastropoda Nerita tesselata dan Fissurella
barbadensis serta teritip Tetraclita squamosa masing-masing 10, 12,2 dan
12,9°C, berada di bawah suhu benda mati di sekitar mereka. Meskipun
hewan-hewan tersebut masih lebih hangat dari suhu air laut pada saat sinar
matahari cerah, proses evaporasi nampaknya menyebabkan terjadi beberapa
kehilangan panas.
Osmosis adalah pergerakan air antara dua cairan yang konsentrasi bahan-
bahan terlarutnya berbeda melalui suatu membran permeable terhadap air
tetapi tidak permeabel bagi garam-garam. Tekanan yang dihasilkan oleh
konsentrasi bahan-bahan terlarut dalam cairan badan berbeda dengan
bahan-bahan terlarut dalam air laut. Jika konsentrasi bahan-bahan terlarut
dalam air laut kurang dari yang ada dalam cairan badan organisme, maka
air akan menyebrangi membran permeabel masuk ke dalam cairan badan.
Apabila terjadi perubahan salinitas maka organisme laut akan menghadapi
masalah kehilangan air atau kelebihan air, yang selanjutnya bersamaan
dengan itu terjadi pula perubahan volume badan. Jika cairan tersebut
dikeluarkan dengan hipertonikotik atau hipertonik jika udara akan mengalir
masuk ke dalam cairan tersebut melalui selaput semipabel (contoh ikan air
tawar cairan pengaplikasian hipertonik terhadap lingkungannya, yaitu air
tawar maka air tawar masuk ke dalam tubuh ikan tersebut), ubah
hipoosmotik atau hipotonik jika air keluar keluar cairan tersebut (contoh
cairan tubuh ikan laut, konsentrasi bahan-bahan terlarutnya lebih rendah
dari konsentrasi bahan-bahan terlarut di udara laut itu sendiri, sehingga air
dari cairan tubuh ikan meningkatkan aliran keluar ke lingkungannya).
Hubungan adaptasi untuk mengubah kondisi osmotik dan gradien ionik
sangat berbeda di antara biota laut. Beberapa hewan laut adalah
Osmoconformer (poikilosmotik) mereka tidak baik volume atau sel tubuh
juga tidak termasuk komponen-komponen. Kita perlu membedakan antara
masalah osmotik dengan kebutuhan untuk konsentrasi ion-ion spesifik.
Gambar 3.20 Diagram yang menunjukkan pergerakan air dan bahan terlarut
melalui ikan teleostei. Karena ikan teleostei secara osmotik
lebih encer dibanding air laut sekitarnya, maka harus
meminum banyak air laut (Burhanunddin, 2019: 63)
DISKUSI