Anda di halaman 1dari 52

III.

LAUT SEBAGAI SEBUAH EKOSISTEM

Planet bumi yang berada dalam sistem tata surya hanya berdiameter sekitar ±8000
mil atau sekitar ±12.000 km. Namun, sebagian besar permukaan bumi yang
luasnya berkisar 197 juta mil persegi (509 juta km persegi) ini berupa perairan
(laut) dan menyediakan berbagai sumber penghidupan yang luar biasa bagi
kehidupan umat manusia. Di bawah permukaan laut, kedalaman air rata-rata 3,8
km dengan volume air 1370 x 106 km2 merupakan tempat hunian organisme
terbesar di planet bumi ini (Burhanuddin, 2018). Secara geografis wilayah
Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang menempatkan laut sebagai
jembatan penghubung bukan sebagai pemisah. Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau dengan total panjang garis pantai
± 81.000 km terletak pada posisi sangat strategis antara Benua Asia dan Australia
serta Samudera Hindia dan Pasifik. Luas daratan mencapai sekitar 2.012.402 km2
dan laut sekitar 5,8 juta km2 (75,7%). Sepanjang garis pantai ini terdapat wilayah
pesisir yang relatif sempit, tetapi memiliki potensi sumberdaya alam hayati dan
non-hayati, sumberdaya buatan, serta jasa lingkungan yang penting bagi
kehidupan masyarakat. Diperkirakan hampir 60% dari populasi penduduk
Indonesia bermukim di wilayah pesisir (Baransano, 2010).

Sumberdaya perairan berperan ganda sebagai sumberdaya alam dalam


mendukung kehidupan manusia, mendukung ekosistem perairan dan sebagai
komponen penting pembangunan ekonomi. Ekosistem perairan laut dapat dibagi
menjadi dua, yaitu perairan laut pesisir, yang meliputi daerah paparan benua, dan
laut lepas atau laut oseanik. Secara umum perairan laut dan pantai mempunyai
fungsi sebagai cadangan sumber air di dunia, pengatur iklim dunia, habitat
berbagai jenis biota, lahan dan mata pencaharian penduduk terutama yang
bermukim di sekitar pantai, dan bahan makanan dari berbagai ragam biota laut.

Lingkungan laut selalu berubah atau dinamik, perubahan-perubahan yang terjadi


di lingkungan laut akan berpengaruh bagi suatu kehidupan laut. Air laut
mempunyai beberapa sifat yang pengaruhnya sangat penting dan besar terhadap
kelangsungan hidup penghuninya dan organisasi komunitas di lautan. Air laut
merupakan medium tempat terjadinya reaksi kimia, baik di dalam maupun di luar
tubuh organisme yang diperlukan untuk menopang kehidupan. Berkisar 80-90 %
dari volume kebanyakan organisme laut terdiri dari air, berfungsi sebagai
penyokong tubuh dan pelampung untuk hewan dan tumbuhan yang berenang dan
mengapung. Kerapatan air laut yang lebih besar daripada kerapatan udara
menyebabkan organisme dan partikel-partikel yang relatif lebih besar dapat
terapung-apung di dalamnya. Segenap organisme ini dipengaruhi oleh sifat air
laut yang ada di sekelilingnya, dan banyak bentuk-bentuk yang umum dijumpai
pada tumbuh-tumbuhan dan binatang ini merupakan hasil penyesuaian diri
(adaptasi) terhadap medium cair dan pergerakannya.

A. Laut Sebagai Habitat Biota


Laut ialah suatu ekosistem, bahkan ekosistem akuatik (perairan) terbesar di
dunia. Ekosistem laut bisa dibedakan ke dalam komponen yang lebih kecil dan
terbatas. Namun masing-masing bagian tersebut juga disebut ekosistem
mempunyai interaksi antar individu dalam populasi, komunitas dan bersama
lingkungan abiotik sebagai suatu kesatuan. Ekosistem tersebut termasuk,
namun tidak terbatas pada; rawa (salt marsh), pasang surut, estuari, laguna,
terumbu karang, bakau (mangroves), padang lamun, dasar laut (lunak, keras,
datar atau bergelombang), laut dalam, oseanik atau sebaliknya, neritik.

Laut itu bersambung, tak terpisah-pisahkan seperti habitat daratan dan air
tawar. Semua laut berhubungan satu dengan yang lain di dekatnya. Suhu,
salinitas dan kejelukan menjadi penghalang utama gerakan bebas biota laut.
Laut selalu bersirkulasi, perbedaan suhu udara antara kutub dan katulistiwa
menciptakan angina keras yang bertiup searah sepanjang tahun yang dinamaan
angin pasat (trade wind), bersama dengan perputaran bumi menciptakan arus-
arus laut tertentu. Selain arus permukaan karena angin, terdapat arus dalam
yang terjadi akibat perbedaan suhu dan salinitas yang menimbulkan perbedaan
berat jenis. Interaksi antara tekanan angina, gaya Coriolis, arus termohalin dan
konfigurasi fisik dasar laut menciptakan kemajemukan. Sirkulasi laut itu
begitu efektif sehingga kekurangan oksigen atau stagnasi seperti terjadi di
danau tidak terdapat di laut (Romimohtarto, 2001: 3818-319).

Ekosistem ini adalah ekosistem yang mampu memenuhi kebutuhan


penghuninya tanpa atau sedikit sekali mendapat pasokan dari luar, kecuali
sinar matahari dan hujan. Lingkungan laut yang sangat luas cakupan dan
sangat majemuk sifatnya, sehingga tiada satu kelompok biota laut pun yang
mampu hidup di semua bagian lingkungan laut tersebut dan di segala kondisi
lingkungan yang majemuk. Mereka dikelompok-kelompokkan oleh pengaruh
sifat-sifat lingkungan yang berbeda-beda ke dalam lingkungan-lingkungan
yang berbeda pula.

Meskipun organisme modern mengubah banyak struktur tanah dasar dan ciri
khas tingkah lakunya dengan kerabatnya yang hidup di darat, kehidupan di
laut adalah unik dalam beberapa hal yang penting. Organisme laut berada
dalam medium air garam yang padat, mengalir dan saling berhubungan.
Pergerakan air laut mencampur dan mengangkut organisme dan makanannya,
dan produk-produk sisa, sehingga sedikit dari organisme tersebut yang
terisolasi dari pengaruh-pengaruh organisme lain. Populasi-populasi
organisme planktonik uniseluler yang terkecil sekalipun dapat terdistribusi
luas melalui pergerakan arus dan massa air.

Biologi organisme laut merupakan perluasan dari biologi yang sangat kecil,
yaitu fitoplankton yang mengawali pembentukan banyak karakter struktur dari
kehidupan laut. Bahkan dalam daerah-daerah yang sangat produktif dari
lautan terbuka, konsentrasi fitoplankton lebih banyak dibandingkan tanaman
yang subur di daratan. Distribusi alaminya, ukurannya yang ekstrim kecil, dan
laju reproduksi yang cepat dari fitoplankton, membatasi ukuran dan
kelimpahan kehidupan lainnya dalam laut. Kebanyakan organisme heterotroph
berkumpul di dekat zona fotik untuk mendapatkan makanannya. Pada
kedalaman yang lebih dalam, densitas populasi biota laut cenderung menurun
dengan menurunnya suplai bahan makanan. Di bawah zona fotik, semua
kehidupan di laut bergantung pada hujan detritus dari atas. Tidak seperti di
darat, hanya sedikit tumbuhan yang mendominasi komunitas laut. Malahan,
laut yang dihuni oleh terumbu karang, padang remis, dan komunitas-
komunitas lainnya dicirikan oleh dominasi anggota hewan.

Banyak bahan-bahan yang diproduksi oleh produsen primer laut yang tidak
dikonsumsi secara langsung oleh herbivora, namun terlarut dalam air laut.
Bahan-bahan tersebut termasuk lemak dan asam amino. Bakteri, sebaliknya
menjadi bahan makanan bagi konsumer yang mampu memanfaatkannya.
Dengan demikian banyak hewan laut yang berukuran kecil dan banyak juga
hewan yang besar secara langsung bergantung pada fitoplankton yang
mikroskopis atau bahkan bakteri yang lebih kecil untuk nutrisi mereka.
Mereka adalah hewan-hewan pemakan suspense yang menggunakan sejumlah
teknik dan perlengkapan untuk memisahkan partikel-partikel makanan yang
kecil dari air laut (Burhanuddin, 2019: 31-32).

B. Karakteristik Lingkungan Laut


Lingkungan laut selalu berubah atau dinamik, perubahan-perubahan yang
terjadi di lingkungan laut akan berpengaruh bagi suatu kehidupan di laut. Air
laut mempunyai beberapa sifat yang pengaruhnya sangat penting dan besar
terhadap kelangsungan hidup penghuninya dan organisasi komunitas di lautan.
Air laut merupakan medium tempat terjadinya reaksi kimia, baik di dalam
maupun di luar tubuh organisme yang diperlukan untuk menopang kehidupan.
Berkisar 80-90% dari volume kebanyakan organisme laut terdiri dari air,
berfungsi sebagai penyokong tubuh dan pelampung untuk hewan dan
tumbuhan yang berenang dan mengapung. Kerapatan air laut yang lebih besar
daripada kerapatan udara menyebabkan organisme dan partikel-partikel yang
relatif lebih besar dapat terapung-apung di dalamnya.

Meskipun molekul-molekul air memiliki struktur yang sederhana, namun


kandungan kolektif dari banyak molekul air secara bersama-sama
menjadikannya lebih kompleks. Setiap molekul air memiliki satu atom
oksigen (O) dan dua atom Hidrogen (H), yang secara bersama-sama
membentuk air (H2O). Tanpa ikatan H antara molekul-molekul, maka air akan
mendidih pada suhu -80°C dan membeku pada suhu -100°C, jika hal itu
terjadi maka tidak mungkin ada kehidupan seperti yang kita ketahui sekarang
ini (Burhanunddin, 2019: 8).

Kehidupan biota laut, baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun mikroba, di


mana pun ia terdapat selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.
Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh bersama-sama dan sederajat, atau
satu faktor lebih menonjol pengaruhnya dari faktor yang lain. Seperti pada
muara sungai, faktor salinitas lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor-
faktor lain dalam kaitannya dengan sebaran biota dari sungai ke laut dan
sebaliknya. Lingkungan laut selalu berubah atau dinamik. Faktor-faktor
lingkungan yang banyak memengaruhi kehidupan di laut adalah gerakan air,
suhu, salinitas, dan cahaya.

C. Biogeografi Laut Indonesia


a. Geografi laut Indonesia
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di antara Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia dan memiliki tatanan geografi laut yang
mudah diakses dari topografi dasar lautnya. Dasar-dasar Indonesia di
beberapa tempat, terutama di kawasan barat, menunjukkan bentuk yang
sederhana atau rata, tetapi di tempat-tempat lain, di bagian timur,
menentukan bentuk-bentuk yang lebih majemuk, tidak teratur dan rumit.
Di perairan Indonesia, hampir semua bentuk dasar laut dapat ditemukan,
seperti paparan, lereng, cekungan yang jeluk berupa basin dan palung,
kenaikan dasar laut berupa punggung-punggung atau tanggul-tanggul,
terumbu karang, atol, beting, gosong dan lain-lainnya. Kejelukan perairan
Indonesia berkisar antara beberapa puluh meter di daerah-daerah paparan
sampai ribuan meter di daerah-daerah basin dan palung. Dasar laut
terjeluk, kira-kira 7.440 m, terdapat di perairan laut Banda yang
dinamakan Weber Deep. Hampir seluruh Indonesia merupakan bagian dari
Samudra Pasifik; Laut Sawu dan Laut Timor merupakan bagian yang
cocok dengan Samudra Hindia; dan wilayah melintasi Indonesia di
sebelah barat Sumatra, sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara
merupakan bagian yang berbatasan dengan Samudra Hindia
(Romimohtarto, 2001).

Gambar 3.1 Perairan Indonesia (Huffard, 2012: 7)

Meskipun tidak ada batas-batas laut yang dapat dilihat, perairan Indonesia
dapat dibagi atau terdiri dari:
a) Laut Cina bagian selatan, yang merupakan sebagian dari Paparan
Sunda. Dasar perairannya dangkal dan hampir rata. Secara tidak
langsung bagian perairan ini dihubungkan dengan Samudra Pasifik
oleh Laut Cina yang berhubungan langsung dengan Samudra Pasifik,
terutama lewat Selat Bashi yang terletak di antara Formusa dan Luzon
(Gambar 3.1). Paparan Sunda menghubungkan pulau-pulau Sumatra,
Kalimantan dan Jawa dengan daratan Asia. Paparan Sunda yang
merupakan bagian dari perairan kita mencakup juga Selat Malaka dan
Laut Jawa. Laut Jawa dan Laut Cina Selatan dihubungkan oleh Selat-
Selat Karimata, Gaspar dan Bangka. Selat Malaka dan Selat Sunda
menghubungkan Paparan Sunda dengan Samudra Hindia, tetapi
pertukaran massa air lewat selat-selat ini sangat lemah dan kurang
berarti;
b) Laut Sulu, yang berbentuk basin empat persegi panjang dengan bagian
terjeluk kira-kira 5,580 m, dengan dasar makin ke timur makin jeluk;
c) Perairan jeluk Kawasan Timur Indonesia (KTI), terletak di antara
Paparan Sunda di sebelah barat, Paparan Arafura di sebelah timur,
Pulau Mindanao di sebelah utara dan Samudra Hindia di sebelah
selatan. Wilayah perairan ini meliputi laut Sulawesi, Selat Makasar,
Laut Flores, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda,
Laut Sawu dan Laut Timor. Mereka adalah laut-laut jeluk dan
menunjukkan topografi dasar laut yang lebih majemuk dengan bentuk-
bentuk basin dan palung yang jeluk (Gambar 3.2). Antara basin satu
dan basin di sebelahnya terdapat "tanggul" atau "punggung" yang
membatasi kedua basin yang bersebelahan. Hubungan antara keduanya
terjadi melewati ambang (sill) dengan kejelukan ambang (sill depth)
yang berbeda-beda. Lewat perairan jeluk Kawasan Timur Indonesia
ini, pertukaran massa air di lapisan jeluk antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia terjadi;
Gambar 3.2 Letak basin-basin (lubuk) dan palung-palung di perairan
Indonesia (Alamendah, 2015).
d) Paparan Arafura, yang menghubungkan daratan Irian dan daratan
Australia yang mempunyai kejelukan yang bisa dijangkau antara 30-90
m. Di paparan ini terdapat suatu “saluran” yang agak jeluk dengan arah
barat-timur menuju Selat Torres. Selat Torres banyak ditumbuhi
terumbu karang dan saluran-saluran di antara terumbu-terumbu karang
tersebut sangat dangkal, yakni sampai 12 m, sehingga pertukaran
massa air dengan Samudra Pasifik lewat selat ini kurang berarti.
Paparan Sahul terletak di sebelah barat-laut Australia yang melebar
dari pantai ke Arah laut sampai kira-kira sejauh 30 km dan mempunyai
kejelukan rata-rata antara 80 sampai 100 m;
e) Bagian perairan Samudra Hindia, mencakup basin-basin besar
Australia-Hindia yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatra dan di
sebelah selatan Pulau Jawa. Basin-basin ini terbagi menjadi beberapa
basin yang lebih kecil. Selain basin-basin ini, terdapat palung yang
memanjang dan sejajar pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, dan
pulau-pulau di Nusa Tenggara.

Palung yang terletak di sebelah luar dengan bagian terjeluk 7.450 m


dikenal sebagai Palung Jawa, sedangkan palung yang terletak lebih dekat
ke pantai dan lebih dangkal dengan bagian terjeluk 5.160 m dikenal
sebagai Palung Bali. Sistem Dua Palung ini sering disebut Palung Ganda
Sunda dan tidak hanya terbatas di sebelah selatan Sumbawa, Bali dan
Jawa, tetapi melanjut sampai pantai barat-daya Sumatera, Di sebelah barat
pantai Sumatra terdapat deretan pulau-pulau yang berdiri di atas punggung
yang memisahkan kedua palung tersebut. Kedua palung ini menjadi lebih
dangkal ke arah utara, dan palung di sebelah dalam (dekat pantai) dikenal
sebagai Palung Mentawai.

b. Sebaran keanekaragaman hayati di laut Indonesia


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang wilayahnya
membentang di sepanjang tiga zona waktu, memiliki lebih dari 17.000
pulau dengan cakupan terumbu karang seluas 85.700 km 2, dan hamparan
kawasan bakau seluas 24.300 km2. Terletak di persimpangan bio-geografi,
di mana komponen fauna Samudera Hindia dan Pasifik bagian Barat,
demikian juga fauna endemik Indonesia terdapat di berbagai tingkat di
seluruh kepulauannya. Hampir 18% terumbu karang dunia, Indonesia
berada tepat di tengah “Segitiga Karang”, suatu kawasan dengan
keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (Huffard, 2012: 1-3).

Gambar 3.3 Peta yang menunjukkan kekayaan jenis ikan karang dan
keendemikan di tiap ekoregion. Angka pada lingkaran besar
merupakan jumlah jenis ikan karang yang diketahui dari
ekoregion tersebut, sedangkan angka pada lingkaran yang
lebih
kecil di sebelah kanannya adalah jumlah jenis endemik yang
tercatat di ekoregion tersebut (Huffard, 2012: 13)

Kekayaan jenis ikan karang di Indonesia yang melebihi 1.700 jenis


terdapat di lima ekoregion (Laut Sulawesi/Selat Makassar, Laut Banda,
Nusa Tenggara, Papua, dan Halmahera) dari 12 ekoregion di Indonesia,
dengan puncaknya sebanyak 1.785 jenis yang diperkirakan terdapat di
ekoregion Laut Sulawesi dan Selat Makassar. Kelima ekoregion ini
diyakini memiliki keragaman jenis ikan karang yang sangat tinggi. Papua
berada di urutan teratas dengan total 1.511 jenis ikan karang yang tercatat,
sementara Nusa Tenggara di peringkat ke dua dengan 1.121 jenis dan di
tempat ke tiga Halmahera dengan 991 jenis yang tercatat sampai saat ini.
Papua juga menduduki tempat teratas untuk kekayaan jenis di beberapa
lokasi. Bahkan dan terdapat sejumlah 331 jenis ikan yang berasosiasi
dengan terumbu karang ditemukan hanya dari Kaimana saja (Huffard,
2012: 11)

Tabel. 3.1 Daftar jenis ikan karang dan stomatopoda endemik


ekoregional/regional (Huffard, 2012: 12)

Adapun pola-pola keendemikan ikan karang hanya sedikit berbeda dengan


pola pada kekayaan jenis. Lagi-lagi, ekoregion Papua terlihat menonjol
dimana terdapat 25 jenis ikan karang endemik yang tercatat dan tambahan
dua jenis lagi yang hanya dijumpai di Papua dan Halmahera (Gambar 3.3;
Tabel 3.1; Tabel 3.2) Nusa Tenggara menduduki tempat ke dua dengan
total 19 jenis ikan endemik. Sementara Palawan/Borneo Utara memiliki 15
jenis ikan karang endemik, meskipun sebagian besar diketahui hanya
terdapat di luar wilayah Indonesia. Laut Sulawesi dan Selat Makassar
merupakan zona percampuran antara jenis fauna tersebut, dan meski tidak
terdapat jenis endemik, kekayaan jenisnya justru sangat tinggi. Jenis-jenis
biota endemik juga ditemukan berturut-turut di Teluk Tomini, Sumatera
bagian Barat, Laut Banda, Halmahera, dan Selat Malaka (Huffard,
2012:11-13)

Tabel. 3.2 Ringkasan data kekayaan jenis dan keendemikan pada tiap
ekoregion laut untuk kelompok taksonomi tertentu
(UNK = kekayaan jenis tidak diketahui) (Huffard, 2012: 15)
Gambar 3.4 Kekayaan jenis stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu
karang di tiap ekoregion. Angka pada lingkaran adalah jumlah
jenis stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu karang
yang diketahui dari ecoregion tersebut (Huffard, 2012: 14)

Kekayaan jenis krustasea stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu


karang tertinggi terdapat di bagian Timur Indonesia. Ekoregion Papua,
lagi-lagi berada di urutan teratas (Gambar 3.4; Tabel 3.1; Tabel 3.2).
Kekayaan jenis juga terlihat sangat tinggi di Laut Sulawesi/Selat
Makassar, Nusa Tenggara, Laut Banda, dan Halmahera. Demikian pula
pola yang sama juga terlihat dari distribusi jenis organism endemik dimana
jenis endemik lebih banyak ditemukan di wilayah yang tinggi kekayaan
jenisnya. Semua jenis stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu
karang di Indonesia terdapat di dalam dan di sebelah Timur Laut
Sulawesi/Selat Makassar dan Nusa Tenggara, kecuali satu jenis yang
terdapat di Sumatera bagian Barat (Huffard, 2012:11-13).
Gambar 3.5 Kekayaan jenis karang Fungiidae pada tiap-tiap ecoregion
(Huffard, 2012: 19).

Adapun pola-pola kekayaan jenis Fungidae (karang jamur) (Gambar 3.5)


pada skala yang luas juga ditemukan lebih tinggi di Indonesia bagian
Timur, dimana kekayaan tertingginya sejauh ini adalah di ekoregion Laut
Sulawesi/Selat Makassar sebanyak 46 jenis, diikuti berturut-turut oleh
Papua dan Palawan/Borneo Utara masing-masing dengan 40 jenis
(Huffard, 2012:17).

Gambar 3.6 Kawasan-kawasan dengan perhatian khusus untuk Cetacean


laut dan pesisir. Lingkaran merah menunjukkan kawasan
dengan perhatian khusus untuk paus dan lumba-lumba
oseanik; lingkaran kuning untuk Cetacean pesisir, dan
lingkaran hijau menunjukkan kawasan yang kurang data
tetapi tetap diperkirakan memiliki keragaman Cetacean yang
tinggi (Huffard, 2012: 20).

Status populasi dan keragaman Cetacean (paus, lumba-lumba dan pesut) di


seluruh Indonesia belum banyak diketahui. Karena luasnya daerah jelajah
banyak jenis dalam kelompok ini. Sebaliknya, di seluruh Indonesia
terdapat dua habitat utama yang perlu dipertimbangkan yaitu habitat laut
dalam yang menopang keberadaan jenis paus besar dan lumba-lumba
oseanik, dan Cetacean pesisir yang bergantung pada perairan dekat pantai.
Cetacean pesisir terutama berada pada perairan pesisir yang relatif tidak
terganggu seperti yang terdapat di pantai Selatan Papua dan pantai Timur
Kalimantan. Lokasi yang kaya akan keragaman mamalia laut dan sumber
makanannya adalah yang terletak di dekat garis pantai dengan lingkungan
laut dalam yang dekat pantai. Termasuk juga gunung-gunung di bawah
permukaan laut dan lembah laut dalam yang memotong wilayah Nusa
Tenggara.

Saat ini, terdapat beberapa KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan)


yang sedikit merambah ke kawasan lepas pantai agar dapat mencakup
keistimewaan oseanografi yang sangat penting bagi Cetacean seperti di
Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara dan jejaring KKP Raja
Ampat di Papua. Setidaknya, terdapat sembilan daerah yang berada di
dalam enam ekoregion, yang terlihat menonjol karena memiliki
kepentingan khusus untuk Cetacean. Walaupun data yang komprehensif
mengenai kekayaan jenis Cetacean yang ditemukan di seluruh Indonesia
belum ada, namun indikasi tingkat keragaman Cetacean yang tercatat di
beberapa lokasi di ekoregionPapua dan Nusa Tenggara (Huffard, 2012:
20).

Secara global, Indonesia memainkan peranan penting dalam menjaga


keberadaan penyu, karena enam dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia,
kecuali jenis Kemp’s Ridley, terdapat di Indonesia (Gambar 3.7).
Beberapa penelitian mengenai penandaan (tagging) menunjukkan adanya
hubungan
antara migrasi Penyu hijau dewasa yang melakukan pergerakan antara
tempat bertelur dan tempat mencari makan di Indonesia, Malaysia, Filipina
dan Australia. Sementara Penyu belimbing yang bertelur di sepanjang
pantai Utara Papua menunjukkan migrasi kembali menyeberangi
Samudera Pasifik menuju pantai California untuk mencari makan. Dengan
demikian kelangsungan hidup jangka panjang penyu di Asia Tenggara dan
di tempat lain di dunia amat bergantung pada kesuksesan Indonesia dalam
melindungi pantai-pantai tempat bertelur penyu dari kerusakan habitat
akibat pembangunan di kawasan pesisir, erosi, dan polusi. Sementara
pantai tempat bertelur dan tempat mencari makan penyu membentang di
sepanjang kepulauan, dimana masing-masing jenis penyu memiliki tempat
favorit sendiri-sendiri. Beberapa wilayah terlihat menonjol karena
memainkan peranan penting dalam proses reproduksi penyu (Huffard,
2012: 22).

Keenam jenis penyu yang ditemukan di Indonesia dapat pula ditemukan


baik di ekoregion Sumatera bagian Barat maupun di Dangkalan
Sunda/Laut Jawa. Wilayah ini menyediakan tempat bertelur penting bagi
ribuan Penyu hijau dan Penyu sisik setiap tahunnya. Penyu sisik dari
Thailand mencari makan dan memijah di Sumatera bagian barat.
Kumpulan terbesar Penyu hijau yang siap bertelur di seluruh Asia
Tenggara dapat ditemukan di ekoregion Palawan/Borneo Utara
(Kalimantan Timur, Indonesia).
Gambar 3.7 Keragaman penyu di ekoregion laut di Indonesia (Huffard,
2012: 22).

Sementara pantai tempat bertelur Penyu belimbing yang terluas di


Samudera Pasifik adalah di pantai Utara Papua. Ekoregion lain yang
merupakan tempat bertelur bagi Penyu belimbing adalah Jawa bagian
Selatan, terutama Taman Nasional Alas Purwo, dan Sumatera bagian
Barat. Sementara Laut Banda merupakan tempat penting bagi Penyu
belimbing untuk mencari makan. Laut Arafura juga merupakan tempat
bertelur utama bagi Penyu hijau, dan tempat mencari makan bagi Penyu
hijau dan Penyu lekang, sekaligus menjadi koridor migrasi bagi Penyu
hijau, Penyu lekang dan Penyu belimbing. Kemudian, Papua dan Jawa
bagian Selatan juga memiliki pantai-pantai penting tempat bertelur Penyu
hijau (Huffard, 2012: 23).

Habitat bakau dan lamun di Indonesia, serta fauna yang berasosiasi


dengannya seperti duyung dan burung laut, menggambarkan adanya
beberapa pola keragaman ekoregional yang sangat berbeda dibandingkan
dengan seperti yang terlihat pada biota terumbu karang. Hal ini
menekankan perlunya berbagai alternatif pendekatan untuk membuat
prioritas ekoregion
laut di kepulauan yang sangat luas dan kaya habitat ini. Sebagai contoh,
kebalikan dengan hasil yang didapat untuk fauna terumbu karang yang
dipaparkan di atas, kawasan perairan dangkal di Laut Arafura dan
Dangkalan Sunda/Laut Jawa justru menjadi wilayah yang sangat penting
bagi komunitas bakau dan lamun.

Gambar 3.8 Peta kekayaan jenis bakau di seluruh ekoregion di Indonesia


(Huffard, 2012: 25).

Demikian juga untuk burung laut dan duyung. Selat Malaka yang memiliki
habitat terumbu karang yang tersebar dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas
manusia. Ekoregion ini juga memiliki kumpulan burung laut yang
melimpah dengan status rentan sampai terancam punah. Bahkan secara
global merupakan habitat yang paling penting bagi Bangau bluwok
(Mycteria cinerea), yaitu salah satu dari beberapa jenis burung paling
terancam punah di dunia. Kawasan konservasi laut yang dirancang dan
diprioritaskan untuk melindungi terumbu karang tidak selalu mencakup
habitat kritis pada habitat ini menopang kehidupan komunitas bakau dan
lahan basah, dan burung-burung air, reptil, serta mamalia laut yang
bergantung padanya. Untuk ekosistem bakau, Laut Arafura menduduki
peringkat tertinggi dalam hal kekayaan jenis bakau dengan total 53 jenis,
kemudian diikuti oleh Papua dan Selat Malaka, masing-masing sebanyak
35 jenis (Gambar 3.8) (Huffard, 2012: 24-25).

Ekoregion Dangkalan Sunda/Laut Jawa merupakan ekoregion yang paling


kritis di Indonesia. Padahal secara global memiliki penting untuk
konservasi burung-burung air dan burung laut yang bermigrasi dan hidup
dalam koloni yang berasosiasi dengan bakau. Ekoregion ini sangat kaya
akan jenis burung
air dan burung laut yang tercatat sebanyak 374 jenis. Termasuk pula
sejumlah besar jenis organisme yang endemik dan terancam punah, baik
yang berstatus Rentan maupun Kritis. Sementara itu, Ekoregion Laut
Sulawesi/ Selat Makassar menempati peringkat ke dua dalam hal kekayaan
jenis burung lautnya yang mencapai 318 jenis. Lalu diikuti oleh Nusa
Tenggara dengan 206 jenis dan Laut Arafura sebanyak 202 jenis (Huffard,
2012: 27).

Gambar 3.9 Peta lokasi-lokasi prioritas untuk konservasi burung laut di


Indonesia (Huffard, 2012: 28).

Kawasan Laut Arafura, khususnya di Taman Nasional Wasur dan Rawa


Biru, merupakan tempat yang secara regional penting bagi tempat
persinggahan dan tempat mencari makan untuk burung-burung laut di
sepanjang jalur migrasi internasionalnya. Demikian pula halnya dengan
ekoregion Nusa Tenggara terutama Teluk Kupang dan Sumba Timur dan
Laut Jawa, khususnya di Indramayu dan Delta Bengawan Solo. Di
ekoregion Laut Banda terutama Pulau Manuk mungkin merupakan tempat
paling penting di Indonesia untuk koloni burung laut, sementara ekoregion
Dangkalan Sunda/Laut Jawa mencakup Delta Banyuasin, Pulau Rambut
dan Ujung Pangkah dan ekoregion Jawa bagian Selatan khususnya di
Pulau Dua, diketahui sebagai tempat penting bagi koloni burung-burung
air (Huffard, 2012: 28).

c. Zonasi lingkungan laut


Lingkungan laut terdiri dari dasar laut dan kolom air diatasnya, maka
lingkungan ini dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yakni bagian
pelagik meliputi seluruh kolom air di mana tumbuh-tumbuhan dan hewan
mengapung atau berenang dan bagian dasar laut atau bentik yang meliputi
semua lingkungan dasar laut di mana biota laut hidup melata,
memendamkan diri atau meliang, mulai dari pantai sampai ke dasar laut
terjeluk.

Gambar 3.10 Sistem pembagian wilayah laut menurut Hedgpeth, 1957


(Burhanuddin, 2019: 30).

Ukuran dan kompleksnya lingkungan laut menjadikannya suatu sistem


yang sulit untuk diklasifikasikan dengan penuh keyakinan. Banyak sistem
pembagian dibuat, masing-masing mencerminkan kepentingan atau
ketertarikan dan bias dari si pembuat klasifikasi. Sistem yang ditunjukan
di sini adalah sistem yang telah dimodifikasi dari skema-skema yang
diusulkan oleh Hedgpeth dan telah diterima secara luas (Gambar 3.10).
Gambar 3.10 menunjukkan zona-zona khusus lingkungan laut. Batas zona-
zona tersebut didefinisikan berdasarkan karakteristik fisik seperti suhu air,
kedalaman, dan ketersediaan cahaya. Batas antara daerah yang kena
deburan ombak dengan daerah intertidal didefenisikan melalui fluktuasi
pasang surut paras laut sepanjang garis pantai.

Daerah deburan, intertidal dan cekungan sebelah dalam terdapat di zona


fotik (bercahaya) di mana intensitas cahaya cukup tinggi untuk
mengakomodasikan fotosintesis. Kedalaman zona fotik sangat beragam
dan bergantung pada kondisi yang memengaruhi penetrasi cahaya dalam
air. Sebagai hasil zona fotik meluas makin dalam di daerah yang jernih, di
perairan tropis daripada di daerah pesisir beriklim sedang yang suram.
Rata-rata kedalaman zona fotik adalah 50-100 meter. Zona-zona
selanjutnya berada di daerah afotik (tidak bercahaya) di mana tidak ada
sinar matahari, sehingga menghambat proses fotosintesa (Burhanuddin,
2019: 30).

Divisi bentik merujuk pada lingkungan dasar laut. Bagian dari continetal
shelf (paparan benua) di bawah zona fotik adalah paparan bagian terluar.
Zona batyal diperkirakan ekuivalen dengan daerah kontinental slope.
Sedangkan zona abysal merujuk pada melintasi dataran abysal dan daerah
dasar laut lainnya (kemiringan benua) antara kedalaman 3000 hingga 6000
meter. Batas sebelah atas dari zona tersebut kadang-kadang didefenisikan
sebagai wilayah di mana suhu udara tidak pernah melebihi 4°C. Zona
hadal adalah bagian dari dasar laut di bawah 6000 meter, utamanya
daerah-daerah palung lautan (Burhanuddin, 2019: 30).

Divisi pelagis termasuk seluruh massa air lautan. Sehingga cukup untuk
memisahkan daerah pelagis ke dalam dua provinsi, yaitu bagian neritik
yang termasuk massa air di atas paparan benua dan daerah oseanik yang
meliputi massa air yang berada di atas basin lautan yang dalam. Setiap
subdivisi dari lingkungan laut dihuni oleh sekelompok biota laut yang
memiliki ciri-ciri masing-masing (Burhanuddin, 2019: 30).

Berdasarkan kedalaman perairan laut, para ahli oseanologi membagi-bagi


lingkungan laut menjadi zona-zona atau mintakat menurut kriteria
berbeda-beda. Secara umum dikelompokkan menjadi 4 zona, antara lain:
1. Zona Litoral
Zona Litoral, adalah wilayah pantai atau pesisir atau "shore". Di
wilayah ini pada saat air pasang udara tergenang air dan pada saat air
laut surut berubah menjadi daratan. Oleh karena itu, wilayah ini sering
disebut juga wilayah pasang surut. Wilayah ini kadang-kadang kering
pada saat air laut surut dan tergenang pada saat air laut mengalami
pasang. Zona litoral biasanya berada di daerah yang pantainya landai.
Zona litoral adalah bagian dari laut, danau atau sungai yang dekat
dengan pantai. Dalam lingkungan pesisir zona pesisir memanjang dari
tanda air yang tinggi, yang jarang terendam, untuk daerah pantai yang
secara permanen terendam. Ini selalu mencakup zona intertidal dan
sering digunakan untuk itu berarti sama dengan zona intertidal.
Namun, arti dari "zona litoral" dapat meluas melewati zona intertidal.

2. Zona Neritik
Zona Neritik (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang
surut hingga kedalaman 200 meter. Pada zona ini masih dapat
ditembus oleh sinar matahari, sehingga wilayah ini paling banyak
terdapat berbagai jenis kehidupan baik hewan maupun tumbuhan-
tumbuhan, contoh Laut Jawa, Laut Natuna, Selat Malaka dan laut-laut
di sekitar kepulauan Riau. Ciri-ciri zona neritik diantaranya: sinar
matahari masih menembus dasar laut, kedalamannya ±200 meter, dan
bagian paling banyak mengandung ikan dan tumbuhan laut. Zona
neritik berada di paparan benua yang dihuni oleh biota laut yang
berbeda dengan zona oseanik karena kandungan zat di mintakat neritik
melimpah, sifat kimiawi perairan neritik berbeda dengan zat oseanik
karena berbeda-bedanya zat-zat terlarut yang dibawa ke laut dari
daratan, dan neritik sangat berubah-ubah, baik dalam waktu maupun
dalam ruang, jika dibandingkan dengan perairan oseanik. Hal ini dapat
terjadi karena dekatnya mintakat ini dengan daratan dan adanya
tumpahan berbagai zat terlarut dari darat ke laut. Penentuan cahaya,
kandungan sedimen dan energi fisik dalam kolom udara berbeda antara
mintakat neritik dan mintakat oseanik.

3. Zona Batial
Zona Batial (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki
kedalaman antara 150 hingga ± 2000 meter. Wilayah ini tidak dapat
ditembus sinar matahari, sehingga kehidupan organismenya tidak
sebanyak yang terdapat di zona neritik. Zona batial laut dimulai dari
batas bawah dari rak (biasanya 130-200 meter) atas dasar lereng, yang
terletak di kedalaman 2000 meter zona ini ditandai dengan air yang
tenang, tidak adanya cahaya, hewan hidup sangat miskin dan pengaruh
yang lemah tanah dengan proses yang terjadi dalam lingkungan.

4. Zona Abisal
Zona Abisal adalah suatu zona di dasar laut yang amat dalam, dimulai
dari kedalaman 1000 meter sampai 6000 meter. Zona ini termasuk ke
dalam lubuk laut dan palung laut. Tekanan air laut sangat besar,
sehingga hanya sedikit hewan-hewan laut yang dapat hidup di zona ini.
Hewan laut yang dapat hidup di zona ini cenderung pipih dan panjang.
Tepat di atas zona abisal terdapat zona batial, daerah yang terakhir
mendapatkan cahaya di mana sebagian besar kehidupan laut itu ada.
Sedangkan tepat di bawah zona abisal, yaitu zona hadal, daerah yang
diliputi oleh kegelapan abadi. Materi sedimentasi sangat halus, berupa
sejenis lumpur yang kemerah-merahan dan terdiri dari hancuran
diatomea dan radiolaria, karena dalam kedalaman sekitar 3000 meter
kerang pun sebelum mencapai dasar laut telah hancur dan larut.
Dikarenakan tekanan air di zona abisal harus mampu menahan tekanan
yang besar.
D. Parameter Kualitas Perairan
Air merupakan medium tempat terjadi berbagai reaksi kimia dan merupakan
komponen terbesar pembentuk tubuh organisme di laut. Sifat perubahan air
laut yang selalu dinamik, cepat atau lambat akan berpengaruh nyata pada
kehidupan yang ada. Kadang-kadang perubahan lingkungan ini lambat, seperti
datangnya zaman es yang memakan waktu ribuan tahun. Kadang-kadang cepat
seperti datangnya hujan badai yang menumpahkan air tawar dan mengalirkan
endapan lumpur dari darat ke laut. Faktor-faktor lingkungan yang banyak
memengaruhi kehidupan di laut adalah faktor fisika maupun kimia yaitu
sebagai berikut (Burhanunddin, 2019: 9).
a. Sifat-sifat air murni
1. Viskositas (Kekentalan)
Pengertian viskositas adalah sifat kekentalan suatu fluida yang
memengaruhi daya tahan terhadap suatu gaya geser. Sifat-sifat fisika
air merupakan faktor pemisah antara lingkungan air dengan
lingkungan udara. Selain itu, faktor fisika juga banyak memengaruhi
kehidupan organisme di dalam air. Adanya perbedaan yang amat besar
dari masing-masing faktor fisika di lingkungan air dengan lingkungan
udara, mengakibatkan pengaruh yang berbeda terhadap tumbuhan dan
hewan pada masing-masing lingkungan tersebut. Di samping itu, air
juga berfungsi untuk menahan tekanan osmosis, sebagai pelarut dan
penghantar listrik yang baik. Viskositas adalah salah satu sifat air
yang digunakan sebagai pengukur tinggi daya yang diperlukan untuk
molekul-molekul zat cair agar dapat dilewati. Adanya ikatan hidrogen,
air mempunyai kecenderungan untuk melawan kekuatan yang akan
dipindahkan molekul-molekul tersebut atau dengan istilah kohesi.
Peristiwa tersebut memberi efek nyata pada kehidupan organisme yang
mengapung dan berenang. Sifat tersebut mengurangi kecenderungan
tenggelam dari beberapa organisme melalui peningkatan kekuatan
melawan pergesekan antara mereka sendiri dan di dekat molekul-
molekul air. Pada saat yang bersamaan, viskositas menambah masalah
tarikan untuk hewan-hewan perenang aktif.

Faktor-faktor yang memengaruhi kekentalan udara, antara lain adalah


suhu. Faktor suhu sangat penting terhadap udara kekentalan, jika suhu
naik, maka kekentalan udara akan menurun, sehingga kekentalan air
pada suhu 0°C dua kali lebih besar dari suhu 25°C pada keadaan faktor
lainnya sama (Tabel 3.3). Jasad plankton pada suhu 25°C akan
tenggelam dua kali lebih cepat daripada 0°C. Kekentalan air kira-kira
100 kali lebih besar dari udara, maka hewan-hewan air harus lebih
besar jika dibandingkan dengan hewan yang hidup di udara
(Burhanunddin, 2019: 9-11).

Tabel 3.3 Hubungan antara kekentalan air dengan suhu

Suhu (°C) Kekentalan (°C)


0 100,0
5 84,9
10 73,0
15 63,7
20 56,1
25 49,8
30 44,6

2. Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan air timbul akibat aktivitas molekul-molekul air
yang tidak seimbang pada dan di bawah permukaan air saling tarik
menarik dari molekul-molekul air pada permukaan massa air (seperti
perbatasan antara air dan udara) menimbulkan suatu "kulit” molekuler
yang fleksibel di atas permukaan air. Hewan-hewan dan tumbuh-
tumbuhan yang ringan dapat berjalan atau bergerak di atas "kulit"
permukaan air ini dan tegangan permukaan yang cukup kuat untuk
menopang keberlangsungan asosiasi organisme baik yang berada
hidup di bawahnya maupun yang bergerak di atasnya. Baik viskosistas
maupun tegangan permukaan, keduanya bergantung pada suhu, yaittu
meningkat dan menurunnya suhu. Contoh pengaruh tegangan
permukaan cukup kuat untuk menopang berat penuh insekta laut
Halobates (Gambar 3.10).

Gambar 3.10 Insekta air Halobates, salah satu insekta laut yang bisa
berdiri di atas permukaan air laut karena adanya tegangan
permukaan air (Burhanunddin, 2019: 11).

Faktor-faktor yang memengaruhi tegangan permukaan air adalah: a)


Suhu; pada suhu tinggi tegangan permukaan air berkurang; b) Bahan
organik dan garam-garam terlarut. Kenaikan kadar garam
menyebabkan kenaikan tegangan permukaan (Burhanunddin, 2019:
11-12).

3. Densitas
Densitas merupakan salah satu parameter terpenting dalam kompetisi
dinamika. Perbedaan densitas yang kecil horisontal (seperti halnya
perbedaan pemanasan di permukaan) dapat menghasilkan arus laut
yang sangat kuat. Densitas udara laut merupakan jumlah massa air
laut per satu satuan volume. Densitas merupakan fungsi langsung dari
kedalaman laut, serta dipengaruhi juga oleh salinitas, suhu, dan
tekanan. Pada umumnya nilai densitas (akan berkisar antara 1,02-1,07
gr/cm3) kan bertambah sesuai dengan bertambahnya salinitas dan
tekanan serta berkurangnya suhu, kecuali pada suhu di bawah densitas
maksimum. Densitas air laut terletak pada kisaran 1025 kg/m3.
Densitas maksimum terjadi di atas titik beku sedangkan untuk salinitas
di bawah 24,7. Hal ini mengakibatkan adanya peristiwa konveksi
panas. Densitas yang hanya dipengaruhi oleh tekanan nilainya lebih
besar dari pengaruh salinitas dan suhu (Burhanunddin, 2019: 12-13).

4. Kapasitas Panas
Suhu adalah ukuran energi gerakan molekular. Suhu udara sangat
menentukan terhadap proses kimia, fisika, dan biologi di dalam
perairan, sehingga dengan perubahan suhu pada saat di luar akan
mengubah semua proses di dalam laut termasuk pada biota laut. Hal
ini terlihat dari peningkatan suhu udara, maka kelarutan oksigen akan
berkurang. Peningkatan suhu oksigen 10°C peralihan konsumsi
oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat, kebutuhan
oksigen oleh organisme akuatik meningkat.

Suhu secara langsung atau tidak langsung sangat tergantung oleh sinar
matahari. Panas yang dimiliki oleh air akan mengalami perubahan
secara perlahan-lahan antara siang dan malam serta dari musim ke
musim. Selain itu, air mempunyai sifat di mana berat jenis maksimum
terjadi pada suhu 4°C dan bukan pada titik beku. Panas adalah suatu
bentuk energi, yaitu energi dari pergerakan molekul. Pada permukaan
laut, energi radiasi berubah menjadi energi panas. Di laut panas di
transfer dari satu tempat ke tempat lain melalui konveksi
(percampuran) dan yang kedua melalui konduksi (pertukaran molekul
panas). Energi panas diukur dengan kalori. Air memiliki kemampuan
untuk menyerap dan melepaskan panas tanpa mengubah suhu yang
besar. Pemanasan yang terus menerus dari satu gram dari 0°C
memerlukan satu kalori dari energi panas untuk setiap satu derajat
perubahan suhu hingga titik didih (100°C) yang diterima. Pada titik
ini, peningkatkan suhu lebih lanjut dihentikan hingga seluruh air
diubah menjadi uap air. Gambar 3.11 meringkaskan energi yang
diperlukan untuk setiap perubahan suhu air. Makin tinggi kapasitas
panas dan semakin besar jumlah panas yang diperlukan untuk
evaporasi yang memungkinkan badan air yang besar untuk melawan
fluktuasi suhu yang ekstrim. Energi panas diserap secara lambat oleh
air apabila udara di atasnya hangat dan secara perlahan-lahan
dilepaskan apabila udara menjadi lebih dingin. Proses ini
menimbulkan suatu efek suhu yang moderat untuk lingkungan laut dan
areal daratan yang berdekatan (Burhanunddin, 2019: 13-15).

Gambar 3.11 Energi panas yang diperlukan menyebabkan suhu dan


fase
air berubah (Burhanunddin, 2019: 14).

5. Kemampuan Melarutkan
Air laut dapat melarutkan dan membawa banyak material untuk
memenuhi kebutuhan berbagai mineral dan gas yang dibutuhkan untuk
kehidupan organisme laut. Ukuran yang kecil dan memuat kutub dari
setiap molekul air memungkinkan air untuk berinteraksi dan
melarutkan kebanyakan bahan-bahan alami lainnya. Kristal-kristal
terikat bersama melalui ikatan ionik (ikatan-ikatan antara muatan yang
berlawanan dari ion-ion yang berasal dari kristal, seperti garam)
mudah untuk melawan melarutkan dalam udara. Gambar 3.12
mengilustrasikan proses dari kristal garam yang dilarutkan dalam air.
Awalnya beberapa molekul air dari ikatan H yang lemah dengan setiap
ion Na+ dan Clˉ dan akhirnya mereka mengatasi daya tarik menarik
ion-ion tersebut yang lebih dulu mengikat mereka bersama-sama
dalam struktur kristal. Sebagaimana lebih banyak ion-ion Na + dan Clˉ
dipindahkan dalam cara ini, struktur kristal yang padat terpisah dari
garam dan bahan-bahan yang tidak berlawanan seperti oksigen
umumnya yang kurang dapat larut dalam air.
Gambar 3.12 Suatu Kristal garam (atas) dan aksi dari molekul air yang
bermuatan dalam melarutkan Kristal untuk memisahkan
ion Na+ dan Clˉ (Burhanunddin, 2019: 15).

b. Sifat-sifat air laut


1. Arus
Arus Laut merupakan pencerminan langsung dari pola angin yang
bertiup pada waktu itu. Jadi arus permukaan digerakkan oleh angin.
Air di lapisan bawahnya ikut terbawa. Karena ada gaya Coriolis
(Coriolis force), yakni gaya yang diakibatkan oleh perputaran bumi,
maka arus di lapisan permukaan laut berbelok ke kanan dari arah angin
dan arus di lapisan bawahnya akan berbelok lebih ke kanan lagi dari
arah arus permukaan. Ini terjadi di belahan bumi utara. Di belahan
bumi selatan terjadi hal sebaliknya (Romimohtarto, 2001: 8).

Gambar 3.13 Spiral Ekman menunjukkan interaksi antara arah angina


dan pengaruh gaya Coriolis atas perputaran bumi dan arus
yang dihasilkan (Romimohtarto, 2001: 10).
Tenggelaman massa air Pemukaan massa air
a = angin permukaan
b = arus permukaan
c = vector Coriolis
Gambar 3.14 Diagram fenomena pemukaan massa air dan tenggelaman
massa air (Romimohtarto, 2001: 10).

Makin jeluk lapisan air, maka arah arus makin menyimpang dari arah
arus permukaan, ke kanan di belahan bumi utara atau ke kiri di belahan
bumi selatan, dan kecepatannya pun makin berkurang, sehingga
membuat apa yang disebut dengan Spiral Ekman (Gambar 3.13). Jika
terjadi divergensi (divergence) atau pemusatan arus permukaan, maka
akan terjadi keadaan sebaliknya, yang disebut tenggelaman massa air
atau disingkat tenggelaman, yakni turunnya massa air dari lapisan atas
ke lapisan bawah. Gambar 3.14 menunjukkan pola gerakan pemukaan
dan tenggelaman (Romimohtarto, 2001: 10).

2. Pasang-surut
Pasang-surut (pasut) merupakan salah satu gejala laut yang besar
pengaruhnya terhadap kehidupan biota laut, khususnya di wilayah
pantai. Tinggi rendahnya pasut ini ditentukan dari suatu paras panutan
yang telah ditentukan sendiri, yang dinamakan datum. Datum ini
biasanya ditentukan pada tingkat air rendah pada pasut bulan penuh
atau purnama (spring tide) biasa. Jadi kalau air rendah yang terjadi
pada pasut purnama luar biasa maka paras laut akan terletak di bawah
datum. Pasut terjadi pertama-tama karena gaya tarik (gaya gravitasi)
bulan. Bumi berputar bersama kolom air di permukaannya dan
menghasilkan dua kali pasang dan dua kali surut dalam 24 jam di
banyak tempat di bumi kita ini. Berbagai pola gerakan pasut ini terjadi
karena perbedaan posisi sumbu putar bumi dan bulan, karena berbeda-
bedanya bentuk dasar laut dan lain sebagainya (Romimohtarto, 2001:
8-9).

3. Gelombang
Gelombang sebagian ditimbulkan oleh dorongan angin di atas
permukaan laut dan sebagian lagi oleh tekanan tangensial pada partikel
udara. Angin yang menimbulkan tiupan di permukaan laut
memunculkan riak gelombang (ripples). Jika kemudian angin terhenti
maka riak gelombang akan hilang dan permukaan laut akan kembali.
Lalu jika angin ini membalik lama maka riak gelombang membesar
terus kemudian angin berhenti bergerak. Setelah meninggalkan daerah
asal bermulanya tiupan angin, maka gelombang terkompensasi
menjadi ombak sederhana. Jika diperhatikan, alun ini mempunyai
puncak-puncak (crests) dan lembah-lembah (troughs). Selagi
gelombang bergerak di air, jarak antara dua titik serupa yang
berurutan, yakni antara satu puncak dan puncak berikutnya atau antara
satu lembah dan lembah berikutnya dinamakan panjang gelombang.
Jarak menegak antara titik puncak dan titik lembah dinamakan
gelombang tinggi. Waktu yang digunakan untuk memutar jarak dari
satu titik serupa dari satu gelombang ke titik serupa dari gelombang
berikutnya dinamakan periode gelombang (Gambar 3.15). Jika kita
megetahui panjang gelombang dan periode gelombang terkait, kita
dapat menghitung kecepatan gelombang yang sedang bergerak.

Gambar 3.15 Diagram komponen-komponen dasar gelombang


(Romimohtarto, 2001:16).
Gambar 3.16 Jenis-jenis gelombang (Romimohtarto, 2001: 17-18).

Gelombang memiliki beberapa jenis (Gambar 3.16). Gelombang yang


pecah saat menuju pantai dan terdampar di dasar perairan pantai yang
dangkal disebut gelombang pecah atau surf. Gelombang pecah
perlahan-lahan dan menggulung ke arah pantai disebut gelombang
tumpah atau spilling breaker. Gelombang membubung ke atas dan
segera pecah, terjadi pada dasar pantai yang terjal disebut gelombang
plunging breaker. Gelombang yang sama sekali tidak pecah tetapi
mendorong air ke atas ke darat dan menyedotnya kembali yang terjadi
pada pantai terjal disebut surging breaker (Romimohtarto, 2001: 15-
19).

4. Salinitas
Susunan kimiawi air berupa zat-zat garam berasal dari dalam dasar laut
melalui proses outgassing, yakni rembesan dari kulit bumi di dasar laut
yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut. Bersama gas-gas ini,
terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan sebenarnya asal garam-
garam tersebut. kikisan kerak bumi dan bersama-sama garam-garam
ini merembes pula air, semua dalam perbandingan yang tetap sehingga
terbentuk garam di laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang
masa. Artinya kita tidak menjumpai bahwa air laut makin lama makin
asin. Zat-zat terlarut yang membentuk garam, yang kadarnya diukur
dengan istilah salinitas dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni:
a) Konstituen utama : Cl, Na, SO4, dan Mg.
b) Gas terlarut : CO2, N2, dan O2
c) Unsur hara : Si, N, dan P
d) Unsur runut : I, Fe. Mn, Pb dan Hg.
Konstituen utama merupakan 99,7% dari seluruh zat terlarut dalam air
laut, sedangkan sisanya 0,3% terdiri dari ketiga kelompok zat lainnya.
Akan tetapi meskipun kelompok zat terakhir ini sangat kecil
prosentasenya, mereka banyak menentukan kehidupan di laut.
Sebaliknya kepekatan zat-zat ini banyak ditentukan oleh aktivitas
kehidupan di laut. Selain zat-zat terlarut ini, air laut juga mengandung
butiran-butiran halus dalam suspensi. Sebagian dari zat ini akhirnya
terlarut, sebagian lagi mengendap ke dasar laut dan sisanya diurai oleh
bakeri laut menjadi zat-zat hara yang dimanfaatkan oleh tumbuh-
tumbuhan laut untuk fotosintesis. Untuk mengukur asinnya air laut
maka digunakan istilah salinitas. Salinitas merupakan takaran bagi
keasinan air laut. Satuannya pro mil ( o/oo) dan simbol yang dipakai
adalah SO o/oo. Salinitas didefinisikan sebagai berat zat padat terlarut
dalam gram per kilogram air laut, jika zat padat telah dikeringkan
sampai beratnya tetap pada 480°C, dan jumlah klorida dan bromida
yang hilang diganti dengan sejumlah klor yang ekivalen dengan berat
kedua halida yang hilang. Singkatnya salinitas adalah berat garam
dalam gram per kilogram air laut. Salinitas ditentukan dengan
mengukur klor yang takarannya adalah klorinitas, dengan rumus:
S o/oo = 0,03 + 1,805 Cl o/oo (Romimohtarto, 2001: 19-21).

5. Suhu dan Densitas air


Pada permukaan laut, air murni berada dalam keadaan cair pada suhu
tertinggi 100°C dan suhu terendah 0°C. Karena ada pengaruh salinitas
dan densitas maka air laut dapat tetap cair pada suhu di bawah 0°C.
Suhu alami air laut berkisar antara suhu di bawah 0°C sampai 33°C.
Di permukaan laut, air laut membeku pada suhu -1,9°C. Perubahan
suhu dapat memberi kontribusi besar pada sifat-sifat air laut lainnya
dan kepada biota laut. Umumnya ada hubungan tak langsung antara
suhu dan densitas, karena adanya gangguan atom-atom dalam molekul
air. Kenaikan suhu menurunkan densitas air laut dan menambah daya
larut air laut.

Secara keseluruhan, sebagian besar air samudra itu dingin. Kurang


dari 10% volume udara di muka bumi lebih dari 10°C dan lebih dari
75, suhunya di bawah 40°C. Sinar matahari hanya mampu menembus
laut sampai beberapa ratus meter saja. Sementara pengaruh penyinaran
matahari hanya mencapai sekitar 100 m. Akibatnya di samudra
terdapat lapisan atas yang relatif hangat dihubungkan dengan lapisan
transisi mendadak ke air dingin yang merupakan kolom air samudra
sisanya. Daerah (lapisan) dengan penurunan suhu cepat ke bawah
disebut termoklin (thermocline). Lapisan di atasnya sering dinamakan
lapisan campuran (mixed layer), karena lapisan inilah suhu berubah-
ubah menurut waktu dan ruang. Termoklin mempuyai pengaruh besar
terhadap banyak gejala laut, seperti sirkulasi air, sebaran biota, daur
kimia dan sebaran sifat-sifat fisik terkait. Suhu merupakan faktor fisik
yang sangat penting di laut. Bersama-sama dengan salinitas, mereka
dapat digunakan untuk massa udara tertentu dan bersama-sama dengan
salinitas, mereka dapat digunakan untuk mengidentifikasi massa air
tertentu dan bersama-sama dengan tekanan mereka dapat digunakan
untuk menentukan densitas air laut. Densitas air laut diukur dalam
satuan gram/cm3. Densitas ini selanjutnya dapat digunakan untuk
menentukan kejernihan udara di mana massa udara akan menetap
dalam keseimbangan. Air dengan densitas rendah akan berada di
lapisan atas dan air dengan densitas tinggi akan berada di lapisan
bawahnya (Romimohtarto, 2001: 21-23).
6. Cahaya
Banyaknya cahaya yang menembus permukaan laut dan menerangi
permukaan laut setiap hari dan perubahan intensitas dengan
bertambahnya kejelukan memegang peranan penting dalam
menentukan pertumbuhan fitoplankton. Cahaya yang menerangi
daratan atau lautan biasanya dihiasi dalam lux atau meter-lilin (1
meter-lilin = 1 lux). Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh
terbesar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk
proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup
mereka karena menjadi sumber makanan. Cahaya juga merupakan
faktor penting dalam hubungannya dengan perpindahan populasi
hewan laut (Romimohtarto, 2001: 23).

E. Interaksi Antarkomponen Biota Laut (slide 9)


Ekologi adalah ilmu yang membicarakan tentang spektrum hubungan timbal
balik yang terdapat antara organisme dan lingkungannya serta antara
kelompok-kelompok organisme. Sejak semula sangat penting disadari bahwa
jasad hidup tidak terdapat sebagai individu atau kelompok yang terisolasi.
Semua makhluk dapat ditemukan dalam lingkungan spesiesnya, dengan
spesies yang lain, dan dengan lingkungan fisik dan kimia yang dimiliki.
Dalam proses interaksi ini, organisme saling memengaruhi satu dengan
lainnya dan dengan lingkungan di sekitarnya. Begitu pula berbagai faktor
lingkungan memengaruhi kegiatan organisme. Berbagai organisme dan
parameter lingkungan selanjutnya dapat diorganisasikan ke dalam beberapa
tingkatan, masing-masing tingkatan ini agak lebih luas dari tingkatan yang
mendahuluinya. Suatu spesies adalah suatu kelompok alami dari individu-
individu yang nyata-nyata atau memiliki potensi untuk berbiak-dalam, yang
terisolasi secara reproduktif dari kelompok lainnya. Semua individu dari satu
spesies yang hidup di suatu daerah membentuk suatu populasi. Beberapa
populasi spesies yang penting untuk hidup bersama di dalam berbagai daerah
gografis membentuk suatu komunitas ekologi. Suatu komunitas atau
serangkaian komunitas beserta lingkungan fisik dan kimia di sekelilingnya
secara bersama-sama membentuk suatu ekosistem. Ekosistem merupakan satu
kesatan yang paling kompleks di antara yang kompleks dan saling
memenganuhi. Sistem ini begitu besar dan kompleks sehingga ekologiwan
cenderung untuk mempelajarinya dengan mengkonsentrasikan perhatiannya
pada bagian-bagian komponennya, misalnya pada dalam skala besar atau skala
kecil, bergantung pada jumlah komunitas yang dicakup dan dimensi
lingkungan nonbiologis yang mengelilinginya. Dalam skala besar, dunia dapat
dianggap sebagai suatu kesatuan ekosistem yang terdiri dari berbagai
komunitas daratan, air tawar, dan laut. Sebaliknya dalam skala kecil, genangan
air laut di pantai (tidepool) atau suatu kolam air tawar dapat dianggap sebagai
suatu ekosistem. Kedua skala ekosistem tersebut mempunyai komponen
biologis dan nonbiologis yang memenuhi syarat definisi (Nybakken, 1992:
20).

Suatu ekosistem adalah suatu unit fungsional dari berbagai ukuran yang
tersusun dari bagian-bagian yang hidup dan tidak hidup, yang saling
berinteraksi. Bagian-bagian komponen dan sistem secara keseluruhan
berfungsi berdasarkan suatu urutan kegiatan yang menyangkut energi dan
pemindahan energi. Dengan beberapa perkecualian, sumber energi yang azali
adalah matahari. Energi dari matahari ditangkap oleh komponen ototrofik
yaitu tumbuh-tumbuhan hijau. Energi yang tertangkap disimpan dalam ikatan
kimia zat organik tanaman, yang merupakan makanan yang mendorong terus
berjalannya komponen heterotrofik sistem tersebut. Organisme heterotrofik
meliputi semua bentuk-bentuk kehidupan yang lain, yang mendapatkan
energinya dengan cara mengkonsumsi tumbuhan ototrofik atau disebut
organisme pemakan tumbuhan. Pengaturan ototrof dan urutan tingkatan-
tingkatan heterotrof serupa itu disebut struktur trofik, sedangkan setiap urutan
tingkatan konsumen disebut tingkatan trofik. Struktur trofik adalah suatu ciri
khas sermua ekosistem. Tingkatan trofik yang pertama disebut ototrofik atau
tingkatan produsen, di mana energi pada awalnya diambil dan disimpan dalam
senyawa-senyawa organik. Sementara energi dipindahkan dari satu tingkatan
ke tingkatan berikutnya dalam sistem tersebut, sebagian besar energi tersebut
hilang sebagai panas dan terpakai dalam proses metabolism oleh organisme.
Jumlah energi yang hilang bervariasi, tetapi jumlahya cukup besar, yaitu
antara 80-95 persen. Oleh karena itu, sistem ini harus membatasi dirinya
sendiri, karena pada suatu titik tertentu, energi yang tersisa tidak cukup untuk
diteruskan agar dapat menopang tingkatan berikutnya. Hal ini dapat
diperagakan dalam energi piramid atau piramid trofik (Gambar 3.17). Dalam
struktur seperti ini, tingkatan trofik yang mengkonsumsi tumbuhan (ototrof,
tingkat pertama) antara lain adalah hewan-hewan yang disebut herbivora.
Herbivora pada gilirannya dikonsumsi oleh karnivora, yang pada giliran
berikutnya dikonsumsi oleh karnivora lain yang lebih besar. Oleh karena itu
semua tingkatan di atas tingkatan kedua terdiri dari karnivora atau omnivora.
Di tiap-tiap tingkat trofik atau populasi, jumlah materi yang hidup pada setiap
saat disebut hasıl tetap (standing crop). Komponen terakhir dari struktur trofik
suatu ekosistem adalah pengurai atau dekomposer. Pengurai ini adalah
organisme, terutama bakteri, yang memecah molekul organik yang kompleks
dari molekul mati, menjadi molekul sederhana yang dapat digunakan lagi oleh
ototrof. Pengurai pada semua tingkatan trofik (Nybakken, 1992: 21-22).
Gambar 3.17 Piramid tropik. (A) Piramid biomassa. (B) Piramid energi.
Ketebalan batang menunjukkan jumlah relatif
(Nybakken, 1992: 23).
Komponen abiotik yang diperlukan dari struktur trofik suatu ekosistem adalah
sumber energi, nutrisi, dan sumber air. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat
menyediakan energi dan menghasilkan molekul organik yang kompleks tanpa
adanya energi sinar matahari atau tanpa adanya komposisi bahan makanan
anorganik, yang paling penting adalah nitrat dan fosfat. Karena ekosistem ada
yang terdiri dari satu komunitas dan ada pula yang terdiri dari banyak
komunitas, masing-masing terdiri dari banyak produsen, konsumen, dan
pengurai. Eenergi pemindahan melalui ekosistem yang dapat digunakan
melalui berbagai jalur. Setiap jalur pemindahan energi dari suatu sumber
tumbuhan atau tumbuh-tumbuhan tertentu melalui serangkaian konsumen
tertentu yang disebut rantai makanan (Gambar 3.18). Kombinasi dari semua
rantai makanan di suatu komunitas atau ekosistem tertentu yang disebut
jaringan makanan. Oleh karena itu, jaringan makanan adalah sebuah ikatan
dari semua jalur yang dilalui oleh energi yang bergerak dari satu evolusi
berikutnya melalui komunitas atau ekosistem (Gambar 3.19) (Nybakken, 1992:
23-24).

Gambar 3.18 Rantai makanan biota laut (Mulyadi, 2015)


Gambar 3.19 Jaring-jaring makanan. (1) diatom, (2) kopepoda, (3) euphausiid,
(4) amfipoda hiperid, (5) ikan pemakan plankton, (6) ikan paus
balin, (7) ikan predator, (8) anjing laut dan singa laut, (9) paus
pembunuh (Nybakken, 1992: 124).

Pengendalian dan pengaturan ekologis populasi, komunitas, dan pengaturan


ekosistem terjadi karena adanya berbagai faktor. Faktor utama yang
mengendalikan ekosistem dan komunitas adalah energi, faktor fisik yang
terkumpul disebut dengan kompleksitas atau lingkungan, dan interaksi antara
berbagai spesies yang menyusun sistem tersebut. Faktor ini dikelompokkan
menjadi predasi, kompetisi, dan parasitisme. (slide 10)
1. Kompetisi
Kompetisi dalam istilah ekologi berarti interaksi antara kebutuhan untuk
mendapatkan sumber yang dibutuhkan yang tersedia dalam jumlah terbatas.
Kompetisi dapat memengaruhi intraspesifik (di antara individu dari spesies
yang sama) atau interspesifik (di antara individu dari spesies yang
berlainan), Kompetisi dapat dilakukan untuk berbagai hal, tetapi biasanya
sesuai dengan kebutuhan cahaya, makanan, nutrisi, air, dan ruang. Di
dalam interaksi kompetisi, mereka yang berkompetisi dapat membagikan
sumber yang terbatas itu bersama-sama atau pihak yang satu membahas
pihak yang lain. Dalam kasus pertama, masing-masing dari kedua belah
pihak akan menghadapi tantangan dengan pertumbuhan, perkembangannya,
dan perkembangbiakannya, sehingga meningkatkan tantangan. Dalam
kasus yang kedua, satu pihak disingkirkan, jadi juga dapat dikendalikan.
Kompetisi interspesifik biasanya terjadi di antara dua spesies yang sangat
dekat dan dianggap timbul sebagai prinsip eksklusi kompetitif, yang
mengatakan dua spesies yang memiliki kebutuhan yang sangat mirip tidak
dapat bertahan hidup di tempat dan waktu yang sama; dengan kata lain,
habitat-habitat yang berkompetisi dengan sempurna tak dapat hidup
bersama. Dengan jumlah yang meningkat, semakin meningkat pula
persaingan, karena sumber daya yang terbatas semakin lama semakin
langka. Meningkatnya kompetisi ini meningkatkan tekanan terhadap
hewan dan tumbuh-tumbuhan dan menyerap energi yang seharusnya
dimanfaatkan untuk reproduksi, sehingga populasi juga dibatasi. Interaksi
kompetitif secara langsung (direct competitive) di antara organisme jarang
diamati dan biasanya disimpulkan dari pengamatan perubahan-perubahan
jumlah dan distribus populasi alam.

2. Predasi
Predasi (pemangsaan) adalah peristiwa dikonsumsinya satu spesies oleh
spesies yang lain. Hewan yang menjadi konsumen disebut predator
(pemangsa), sedangkan korbannya disebut pray (mangsa). Untuk hewan
yang mangsanya adalah tumbuhan, hewan tersebut disebut herbivora,
sedangkan hewan pemakan tumbuhan atau hewan sesil (menempel) disebut
grazer. Predator dan herbivora memiliki kemampuan yang beragam untuk
jumlah yang dilindungi. Dalam beberapa kasus, predator dapat menjadi
faktor yang sangat penting dalam jumlah tertentu spesies mangsa. Dalam
kasus lain, seorang pemangsa hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap
populasi mangsa. Pada kasus pertama, jumlah predator yang berkurang
akan memiliki jumlah yang sangat besar pada populasi mangsa, yang
menyebabkan meningkatnya populasi mangsa secara dramatis. Pada kasus
yang kedua, Pengaturan jumlah predator tak banyak mempengaruhi
terhadap populasi mangsa. Predator, tidak saja terhadap populasi
mangsanya, tetapi juga menentang komunitas di mana ia sendiri merupakan
salah satu bagiannya. Dalam kasus ini, ditiadakannya atau dikurangi
jumlah pemangsa yang memengaruhi perubahan besar terhadap partisipasi
dan kelimpahan banyak spesies dalam komunitas yang dikumpulkan, yang
lebih besar daripada mangsa untuk pemangsa tersebut. Sebagai akibatnya,
seluruh struktur komunitas mungkin jadi berubah. Predator seperti ini
disebut industri kunci (key industry) atau spesies dasar (keystone).

3. Parasitisme
Parasitisme dan penyakit adalah kendali atau pengawas biologis akhir
terhadap populasi. Sama halnya dengan pemangsaan, parasitisme dan
penyakit mempunyai pengaruh yang kuat atau pengaruh yang kecil saja
terhadap populasi. Parasit adalah populasi yang hidup di dalam atau pada
hubungan lain dari mana ia mendapat makanan dan tempat bernaung.
Kebanyakan, atau bahkan semua organisme lautan mempunyai parasit,
tetapi pengetahuan kita tentang peran parasit dan penyakit dalam
pengaturan populasi organisme lautan jauh lebih sedikit daripada
pengetahuan kita tentang organisme di daratan. Barangkali membahas
tentang perubahan yang disebabkan oleh penyakit dalam suatu komunitas
lautan adalah membahas padang lamun (eelgrass) di pantai Lautan Atlantik
pada tahun 1930-an (Nybakken, 1992: 26-28).

F. Adaptasi Biota Laut


Interaksi dari perubahan musiman suhu dan cahaya dapat memiliki akibat
yang penting untuk fisiologi organisme lautan. Lintang-lintang di daerah
utara saat musim dingin, kondisi suhu dingin dan ketersediaan makanan
kurang, sehingga pertumbuhan juga menurun. Sedikitnya bahan makanan
mengarah pada perubahan jalur metabolisme, banyak avertebrata lebih
bergantung pada jalur metabolisme anaerobik karena kurangnya bahan
makanan sebagai bahan bakar dalam metabolisme aerobik. Demikian halnya
pada musim panas di daerah lintang pertengahan kondisinya dapat tertekan
akibat suhu tinggi, sehingga ketersediaan makanan juga sedikit dan tidak
mencukupi kebutuhan metabolisme, akibatnya metabolisme secara anaerobik
juga dapat terjadi (Burhanunddin, 2019: 56).
1. Pengaruh faktor lingkungan suhu terhadap organisme laut
Suhu adalah ukuran energi pergerakan molekul. Proses kehidupan yang
vital yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi di dalam
kisaran suhu yang relatif sempit antara 0-40°C, demikian halnya beberapa
ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C. Selain itu, suhu
juga sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena suhu memengaruhi
baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari habitat tersebut. Suhu ini
merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat penting. Hampir
semua populasi ikan yang hidup di laut memiliki suhu yang terbuka untuk
kehidupannya.

Mamalia dan burung laut mengatur suhu badan mereka pada suatu level
yang konstan dan dikenal sebagai organisme Homoitherm. Berlawanan
dengan ikan, hewan yang tidak bertulang belakang (avertebrata) dan alga
mereka tidak mengatur suhu badan hingga suatu level konstan seperti yang
dilakukan mamalia dan burung laut, sehingga organisme seperti ikan
dikenal sebagai hewan Poikilotherm. Pada banyak kasus, poikilotherm
memiliki suhu badan yang sama dengan suhu air laut di mana mereka
hidup. Beberapa ikan yang aktif seperti ikan cakalang dan tuna memiliki
suhu badan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh
panas metabolisme yang dibangkitkan oleh otot saat aktivitas renang dan
dalam pengaturan suhu badan ikan tersebut memiliki suatu aturan
tersendiri. Kebanyakan ikan mampu menyesuaikan suhu badannya dengan
suhu lingkungannya. Apabila terpapar udara terbuka, hewan yang tidak
bertulang belakang di daerah pasang surut juga memiliki suhu badan yang
nyata sekali berbeda dengan suhu benda-benda mati disekitarnya. Hewan-
hewan yang tidak bertulang be- lakang di daerah pasang surut daerah tropis
memiliki suhu badan yang lebih rendah daripada objek yang sama yang
diprediksikan memiliki suhu yang lebih tinggi ketika terpapar sinar
matahari. Suhu badan gastropoda Nerita tesselata dan Fissurella
barbadensis serta teritip Tetraclita squamosa masing-masing 10, 12,2 dan
12,9°C, berada di bawah suhu benda mati di sekitar mereka. Meskipun
hewan-hewan tersebut masih lebih hangat dari suhu air laut pada saat sinar
matahari cerah, proses evaporasi nampaknya menyebabkan terjadi beberapa
kehilangan panas.

Peningkatan suhu sebesar 10°C akan menyebabkan perubahan laju


metabolisme yang diukur melalui perubahan konsumsi oksigen. Hubungan
antara suhu dengan laju metabolisme menyebabkan masalah-masalah
fisiologis yang nyata pada spesies laut yang hidup pada lingkungan yang
suhunya berubah secara musiman. Suhu pada musim dingin dapat menekan
aktivitas hewan poikilotherm yang tidak memiliki kapasitas aklimatisasi.
Berlawanan dengan suhu pada musim panas yang dapat meningkatkan
konsumsi oksigen pada suatu titik di mana proses metabolisme melebihi
cadangan energi yang tersedia. Aklimatisasi terhadap perubahan suhu
musiman akan membantu mempertahankan aktivitas dan menjaga
keseimbangan energi yang menyenangkan. Pada suatu musim di mana
perubahan sub musiman relatif lambat, banyak hewan-hewan yang tidak
bertulang belakang melakukan aklimatisasi dan mengatur kembali
hubungan suhu dengan metabolisme pada suatu kondisi yang baru.

Suhu juga memengaruhi pertumbuhan dan reproduksi organisme laut.


Kebanyakan spesies laut tumbuh dan reproduksi pada suatu kisaran suhu
yang sempit disbanding kisaran suhu di mana organisme tersebut bisa
hidup. Dalam suatu kisaran yang lebih tinggi, pertumbuhan biasanya lebih
cepat daripada suhu tinggi. Pada Bivalvia, anggota dari spesies yang sama
telah tumbuh lebih cepat, namun mereka dapat bertahan hidup hingga usia
lebih tua dan mencapai ukurannya yang lebih besar di daerah lintang tinggi
dibanding lintang rendah. Pertumbuhan pada habitat-habitat musiman yang
diamati pada bulan-bulan musim yang lebih hangat dalam setahun lebih
tinggi, walaupun harus dicatat bahwa peningkatan pertumbuhan yang
diamati di alam juga pada bulan-bulan yang lebih hangat yang mungkin
karena refleksi dari banyak makanan yang tersedia pada saat itu. Suhu
sering mengatur waktu dan dapat menentukan gaya reproduksi dari
organisme laut. Banyak spesies avertebrata akan memijah hanya apabila
suhu lingkungan mencapai suatu suhu tertentu yang mereka senangi.
Perubahan mode reproduksi sebagai fungsi dari suhu diketahui dengan baik
pada hewan Coelenterata. Pada suhu kurang dari 6°C hingga 7°C
Anthomedusea dari Rathkea octopunctata melakukan aseksual, lalu
membentuk gamet (reproduksi seksual) pada suhu di atas 6°C hingga 7°C.
Pada umumnya, perubahan dalam sintesis gamet dan pelepasannya sangat
terkait dengan suhu juga diberikan makanan dan fotoperiod (Burhanunddin,
2019: 56-60).

2. Pengaruh faktor lingkungan salinitas terhadap organisme laut


Salinitas adalah kadar garam seluruh zat yang larut dalam 1.000 gram air
laut, dengan asumsi bahwa seluruh karbonnat telah diubah menjadi oksida,
semua brom dan Iod diganti dengan khlor yang setara dan semua zat
organik mengalami oksidasi sempurna. Salinitas mempunyai peran penting
dan memiliki ikatan yang erat dengan kehidupan organisme perairan, di
mana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan
osmotic ikan tersebut. Selain natrium klorida (NaCl), di dalam air laut
terdapat pula garam-garam, magnesium, kalsium, kalium, dan sebagainya.
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis hingga
mendekati kutub) rendah di permukaan dan bertambah secara tetap
(monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis,
yaitu daerah antara 23,5°-40° LU atau 23,5°-40° LS), salinitas di
permukaan lebih besar daripada di permukaan akibat peningkatan evaporasi
(penguapan). Di kedalaman sekitar 500 hingga 1000 meter harga
salinitasnya rendah dan kembali monotonik ke ketinggian. Sementara itu,
di daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah dari di daratan akibat
tingginya presipitasi (curah hujan).

Osmosis adalah pergerakan air antara dua cairan yang konsentrasi bahan-
bahan terlarutnya berbeda melalui suatu membran permeable terhadap air
tetapi tidak permeabel bagi garam-garam. Tekanan yang dihasilkan oleh
konsentrasi bahan-bahan terlarut dalam cairan badan berbeda dengan
bahan-bahan terlarut dalam air laut. Jika konsentrasi bahan-bahan terlarut
dalam air laut kurang dari yang ada dalam cairan badan organisme, maka
air akan menyebrangi membran permeabel masuk ke dalam cairan badan.
Apabila terjadi perubahan salinitas maka organisme laut akan menghadapi
masalah kehilangan air atau kelebihan air, yang selanjutnya bersamaan
dengan itu terjadi pula perubahan volume badan. Jika cairan tersebut
dikeluarkan dengan hipertonikotik atau hipertonik jika udara akan mengalir
masuk ke dalam cairan tersebut melalui selaput semipabel (contoh ikan air
tawar cairan pengaplikasian hipertonik terhadap lingkungannya, yaitu air
tawar maka air tawar masuk ke dalam tubuh ikan tersebut), ubah
hipoosmotik atau hipotonik jika air keluar keluar cairan tersebut (contoh
cairan tubuh ikan laut, konsentrasi bahan-bahan terlarutnya lebih rendah
dari konsentrasi bahan-bahan terlarut di udara laut itu sendiri, sehingga air
dari cairan tubuh ikan meningkatkan aliran keluar ke lingkungannya).
Hubungan adaptasi untuk mengubah kondisi osmotik dan gradien ionik
sangat berbeda di antara biota laut. Beberapa hewan laut adalah
Osmoconformer (poikilosmotik) mereka tidak baik volume atau sel tubuh
juga tidak termasuk komponen-komponen. Kita perlu membedakan antara
masalah osmotik dengan kebutuhan untuk konsentrasi ion-ion spesifik.

Ikan-ikan teleostei menunjukkan pengaturan osmotik yang luas,


memelihara cairan badan mereka pada konsentrasi kira-kira sepertiga
hingga terpisah dari konsentrasi normal air laut. Pola-pola tingkah laku
diperlukan untuk selanjutnya melakukan adaptasi. Ikan pembunuh
Fundulus heteroklitus dapat hidup dengan baik di air tawar maupun air laut.
Banyak spesies salmon lahir atau menetas di air tawar, selanjutnya dikirim
ke laut dan kembali lagi ke air tawar untuk memijah. Karena ikan-ikan
teleostei adalah hipoosmotik terhadap air laut maka akan terjadi kehilangan
air dari yang keluar ke air laut. Untuk mengatasi masalah ini mereka harus
selalu meminum air laut, sehingga garam-garam pun ikut masuk, padahal
garam-garam harus dikeluarkan dari dalam untuk menambah kadar garam
yang lebih rendah dari dalam tubuhnya (hipoosmotik). Insang
keseimbangan garam dengan jalan aktif mengekskresi garam (Gambar
3.20) (Burhanunddin, 2019: 60-64).

Gambar 3.20 Diagram yang menunjukkan pergerakan air dan bahan terlarut
melalui ikan teleostei. Karena ikan teleostei secara osmotik
lebih encer dibanding air laut sekitarnya, maka harus
meminum banyak air laut (Burhanunddin, 2019: 63)

3. Pengaruh faktor lingkungan oksigen terhadap organisme laut


Oksigen dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk bernafas, proses
menyelamatkan atau mentransfer zat yang mulai menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dan pembiakan. Di samping itu, oksigen juga
dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam
proses aerobik. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dapat diartikan
jumlah oksigen dalam miligram yang terdapat dalam satu liter air (ppt).
Oksigen terlarut umumnya berasal dari difusi udara melalui permukaan air,
aliran air masuk, air hujan, dan hasil dari proses fotosintesis plankton atau
tumbuhan air. Nilai DO biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini
menunjukkan jumlah oksigen yang tersedia dalam suatu badan air.
Oksigen memiliki kemampuan untuk beroksidasi dengan zat pencemar
seperti komponen organik, sehingga zat pencemar ini tidak berbahaya
untuk lingkungan. Semakin rendah nilai DO pada air tersebut, maka air
tersebut diindikasikan telah tercemar. Distribusi oksigen di lautan
dikontrol oleh: a) pertukaran oksigen dan atmosfir; b) proses biologis
(fotosintesa) yang meningkatkan oksigen dan respirasi yang menurunkan
oksigen. Oksigen dari atmosfir larut dalam air laut pada permukaan laut.
Kelarutan oksigen (jumlah oksigen yang dapat larut dalam ke dalam air
laut) menurun dengan tajam dengan meningkatnya suhu dan sedikit
menurun dengan meningkatnya salinitas.

Pada saat tekanan oksigen meningkat, makin lebih banyak hemoglobin


yang mengikat oksigen hingga kondisinya jenuh. Pada suatu tekanan
tertentu oksigen, hanya suatu porsi yang kecil hemoglobin yang mengikat
oksigen. Oleh karena itu, suatu kuurva pemisahan diri oksigen dan
pembentukan (Gambar 3.21) yang menjelaskan persen kejenuhan oksigen
sebagai fungsi dari tekanan oksigen. Jika tekanan oksigen rendah maka
hemoglobin melepaskan ikatan oksigen. pH dari darah dan cairan kolomik
juga memengaruhi karakteristik ikatan hemoglobin. Umumnya pada pH
rendah cenderung membentuk kurva pemisahan oksigen kekanan yang
dikenal dengan efek Bohr. Dengan demikian (a) di mana CO 2 melimpah
akan menurunkan pH, dan (b) apabila oksigen berada pada konsentrasi
yang rendah hemoglobin yang telah mengikat oksigen yang melepaskan
oksigen ke media. Sehingga hewan-hewan yang aktif memerlukan suplai
oksigen yang cepat untuk membentuk kurva pemisahan oksigen kekanan
dibanding hewan-hewan yang kurang aktif. Hal ini terjadi juga pada
hewan-hewan yang memiliki pigmen hemosianin (tembaga)
(Burhanunddin, 2019: 64-69).
Gambar 3.21 Kurva penggabungan dan pemisahan oksigen untuk respirasi
pigmen khusus seperti hemoglobin (Burhanunddin, 2019: 68)

4. Pengaruh faktor lingkungan cahaya terhadap organisme laut


Cahaya adalah energi yang membentuk gelombang elektromagnetik yang
kasat mata dengan panjang gelombang sekitar 380-750 mm. Pada bidang
fisika, cahaya adalah radiasi elektromagnetik baik dengan panjang
gelombang kasat mata maupun yang tidak. Energi cahaya semakin
meningkat. Besarnya penurunan intensitas cahaya yang berubah mencapai
100-200 meter. Karena pengaruh kerusakan dari sinar ultraviolet, maka
tingkat energi matahari maksimum yang dapat merusak fotosintesa terjadi
didekat permukaan air. Walaupun lebih banyak cahaya memunginkan lebih
banyak terjadi fotosintesa dari alga laut Ascophyllum nodosum dan Fucus
vesiculosus yang terpapar udara terbuka di daerah rawa asin adalah konstan
selama kisaran yang intensitas cahaya. Alga laut meningkatkan kesulitan
aklimatisasi terhadap kisaran yang lebar intensitas cahaya sepanjang tahun
di daerah iklim sedang (temperate).

Cahaya merupakan suatu isyarat penting dalam adaptasi tingkah laku


organisme laut. Banyak hewan-hewan di daerah pasang surut yang aktif
bergerak menggunakan respons positif dan negative terhadap cahaya untuk
menentukan posisi mereka yang relatif optimum terhadap tinggi pasang.
Ikan di daerah pasang surut sering menggunakan penglihatan yang sudah
berkembang dengan baik sebagai navigasi dalam mencari tempat
berlindung yang aman. Beberapa ikan dan avertebrata menggunakan
matahari sebagai kompas dalam melakukan distribusi di atas dataran
pasang surut baik untuk tujuan mencari makan atau reproduksi. Ikan parrot
di daerah terumbu karang Bermuda yang melakukan migrasi dari lepas
pantai menuju daerah makanannya di dekat pantai dengan jalan menjaga
orientasi yang tetap antara arah pergerakan dengan sinar matahari. Tingkah
laku ini menjadi terhambat dilakukan apabila pada malam hari atau cuaca
berawan (Burhanunddin, 2019: 69-71).

5. Pengaruh faktor lingkungan turbiditas (kekeruhan) terhadap organisme laut


Salah satu faktor yang memengaruhi kualitas air adalah Turbiditas (kek
keruhan). Kekeruhan berbanding terbalik dengan kecerahan. Kedua
parameter ini merupakan suatu ukuran bias cahaya dalam udara yang
disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi dari suatu polutan,
antara lain berupa bahan organik, anorganik buangan industri, rumah
tangga, budi daya perikanan, dan lain-lain yang terkandung di dalam
perairan. Kekeruhan dan kecerahan merupakan salah satu faktor penting
untuk penentuan produktivitas suatu perairan alami. Meningkatnya
kekeruhan dapat menurunan kecerahan perairan serta mengurangi penetrasi
matahari ke dalam air, sehingga dapat membatasi proses fotosintesis dan
produktivitas primer perairan.

Turbiditas merupakan komposisi bahan organik maupun anorganik yang


terdapat di perairan yang dapat memengaruhi proses kehidupan organisme
yang ada di perairan tersebut. Apabila di dalam media air terjadi kekeruhan
yang tinggi maka kandungan oksigen akan menurun, hal ini disebabkan
intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan sangat terbatas,
sehingga tumbuhan/fitoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis
untuk menghasilkan oksigen. Turbiditas merupakan pengukuran optik dari
hamburan sinar yang dihasilkan karena interaksi antara sinar yang
diberikan dengan partikel suspensi yang terdispersi dalam larutan. Partikel-
partikel suspensi tersebut dapat berupa lempung alga, material organik,
mikroorganisme, bahan koloid, dan sebagainya. Kekeruhan/turbiditas
adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi molekul besar seperti tannin
dan lignin di dalam air.

Kekeruhan dapat mengurangi transparansi dari air laut, mengurangi jumlah


cahaya yang tersedia untuk fitoplankton dan fotosintesa alga benthik.
Karena bahan partikel yang paling banyak dalam bahan laut adalah bahan
organik (POM) maka organisme heterotrof seperti bakteri akan meningkat
kelimpahannya meningkat kekeruhan oleh bahan organik tinggi.
Menggunakan profil vertikal dari partikel-partikel tersuspensi (seston)
berkorelasi positif dengan kelimpahan bakteri. Konsentrasi partikel
tersuspensi juga memengaruhi kebiasaan makan hewan-hewan pemakan
suspensi. Dalam kondisi perairan yang kekeruhannya tinggi menghambat
efisiensi memakan dari organisme pemakan suspense dan juga
menghambat pertumbuhan mereka (Burhanunddin, 2019: 71-73).
RANGKUMAN

1. Laut ialah suatu ekosistem, bahkan ekosistem akuatik (perairan) terbesar di


dunia. Ekosistem laut bisa dibedakan ke dalam komponen yang lebih kecil dan
terbatas. Namun masing-masing bagian tersebut juga disebut ekosistem
mempunyai interaksi antar individu dalam populasi, komunitas dan bersama
lingkungan abiotik sebagai suatu kesatuan. Ekosistem tersebut termasuk,
namun tidak terbatas pada; rawa (salt marsh), pasang surut, estuari, laguna,
terumbu karang, bakau (mangroves), padang lamun, dasar laut (lunak, keras,
datar atau bergelombang), laut dalam, oseanik atau sebaliknya, neritik.
2. Lingkungan laut selalu berubah atau dinamik, perubahan-perubahan yang
terjadi di lingkungan laut akan berpengaruh bagi suatu kehidupan di laut.
Faktor-faktor lingkungan yang banyak memengaruhi kehidupan di laut adalah
gerakan air, suhu, salinitas, dan cahaya.
3. Fauna endemik Indonesia terdapat di berbagai tingkat di seluruh
kepulauannya. Hampir 18% terumbu karang dunia, Indonesia berada tepat di
tengah “Segitiga Karang”, suatu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut
tertinggi di dunia.
4. Kekayaan jenis ikan karang di Indonesia yang melebihi 1.700 jenis terdapat di
lima ekoregion (Laut Sulawesi/Selat Makassar, Laut Banda, Nusa Tenggara,
Papua, dan Halmahera) dari 12 ekoregion di Indonesia, dengan puncaknya
sebanyak 1.785 jenis yang diperkirakan terdapat di ekoregion Laut Sulawesi
dan Selat Makassar.
5. Zona-zona lingkungan laut dikelompokkan menjadi 4 zona, antara lain; zona
litoral, zona neritik, zona batial, dan zona abisal.
6. Faktor-faktor lingkungan yang banyak memengaruhi kehidupan di laut adalah
faktor fisika maupun kimia.
7. Sifat-sifat air murni antara lain; viskositas (kekentalan), tegangan permukaan,
densitas, kapasitas panas, kemampuan melarutkan.
8. Sifat-sifat air laut antara lain; arus, pasang-surut, gelombang, salinitas, suhu
dan densitas air, dan cahaya.
9. Interaksi makan dan dimakan antarkomponen biota laut dapat diuraikan atas ;
piramida makanan, rantai makanan, dan jarring-jaring makanan biota laut.
10. Pengendalian dan pengaturan ekologis populasi, komunitas, dan pengaturan
ekosistem terjadi karena adanya berbagai faktor. Faktor ini dikelompokkan
menjadi predasi, kompetisi, dan parasitisme.
11. Adaptasi biota laut dipengaruhi oleh; faktor lingkungan suhu, salinitas,
oksigen, cahaya, turbiditas (kekeruhan) terhadap organisme laut.

DISKUSI

1. Mengapa laut dapat dikatakan sebagai habitat biota?


2. Bagaimana karakteristik lingkungan laut?
3. Bagaimana respon adaptasi biota laut terhadap kondisi lingkungan laut?
DAFTAR PUSTAKA

Alamendah. 2015. Daftar Palung dan Lubuk (Laut Dalam) Terdalam


Indonesia. https://alamendah.org/2015/01/26/daftar-palung
dan-lubuk-laut-dalam-terdalam-indonesia/. Diakses tanggal
6 Juli 2020.

Baransano, H K. 2011. Eksploitasi dan Konservasi Sumberdaya Hayati


Laut dan Pesisir di Indonesia. Jurnal Biologi Papua. Vol. 3
(1): 39-45.

Burhanuddin, A I. 2019. Biologi Kelautan. Lily Publisher. Makassar.

Huffard, C L., dkk. 2012. Prioritas Geografi Keanekaragaman Hayati Laut


untuk Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di
Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Mulyadi, 2015. Contoh Rantai Makanan di Laut dan di Darat.


https://budisma.net/2015/05/contoh-rantai-makanan-di-laut
dan-di-darat.html. Diakses tanggal 6 Juli 2020.

Nybakken, J W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Biologis. Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

Romimohtarto, K. 2001. Biologi Lautt Ilmu Pengetahuan Tentang Biota


Laut. Djambatan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai