Anda di halaman 1dari 25

Struktur Komunitas Lamun (Seagrass)

Di Wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu Pulau Kelapa Dua


Kepulauan Seribu Jakarta

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL)

Oleh:
TRIANA HANANI
26020114120033

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016

i
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL

PRAKTEK KERJA LAPANGAN

Identitas Peserta PKL


Nama : Triana Hanani
NIM : 26020114120033
Identitas Dosen Pembimbing
Nama : Dr. Ir. Delianis Prienggenies, M.Sc
NIP : 19581007 198703 2 001

Identitas Lembaga/Institusi tempat PKL

Nama Lembaga/Institusi : Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta.


Alamat : Jln. Salemba Raya No. 9 Lt. 3, Jakarta Pusat.

Semarang, 20 Juni 2016


Dosen Pembimbing, Pengusul,

Dr. Ir. Delianis Prienggenies, M.Sc Triana Hanani


NIP. 19581007 198703 2 001 NIM. 26020114130033

Mengetahui,
Ketua Progam Studi Ilmu Kelautan,

Dr. Agus Trianto, ST. M. Sc


NIP. 19690323 199512 1 001
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lamun merupakan suatu ekosistem yang sangat penting dalam wilayah
pesisir karena memiliki keanekaragaman hayati tinggi, sebagai habitat yang baik
bagi beberapa biota laut (spawning, nursery, dan feeding ground) dan merupakan
ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya (Nontji, 2002). Berkembangnya
kegiatan manusia di wilayah pesisir khususnya di perairan pantai Pulau Kelapa
Dua seperti kegiatan pariwisata, pemukiman, dan aktivitas lainnya memungkinkan
adanya pengaruh terhadap ekosistem lamun, sehingga diduga mengalami
perubahan fisik kelimpahan maupun sebarannya. Menurut Kiswara (2000),
menulis bahwa hilangnya lamun secara luas telah terjadi di berbagai tempat di
belahan dunia sebagai akibat dari dampak langsung kegiatan manusia termasuk
kerusakan secara mekanis (pengerukan), pengaruh pembangunan konstruksi
pesisir. Dikhawatirkan hilangnya padang lamun ini akan terus meningkat akibat
berkembangnya kegiatan manusia di daerah pesisir.
Dalam mempelajari sumberdaya lamun, telaah tentang distribusi,
komposisi dan kerapatan merupakan hal yang mendasar sebagai penelitian awal
(Mukai et al., 1980). Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu mengetahui potensi
sumberdaya lamun, maka kajian dititik-beratkan untuk mendapatkan data tentang
distribusi, komposisi, kelimpahan, dominansi, tutupan dan zonasi lamun.
Pulau Kelapa Dua adalah salah satu pulau yang berada di wilayah
Kepulauan Seribu. Dipilihnya pulau Kelapa Dua sebagai lokasi penelitian di
dasarkan pada pertimbangan bahwa ekosistem di daerah ini sangat kompleks,
terdiri dari ekosistem terumbu karang, padang lamun, rumput laut dan hutan
mangrove serta perairan di Pulau Kelapa Dua sudah di pengaruhi oleh kegiatan
manusia.

1.2. Pendekatan Masalah


Adapun rumusan masalah dari Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan
(PKL) Struktur Komunitas Padang Lamun Di Wilayah Taman Nasional
Kepulauan Seribu Pulau Kelapa Dua Kepulauan Seribu Jakarta adalah:
1. Apa saja jenis – jenis lamun yang terdapat di TNKpS Pulau Kelapa
Dua Kepulauan Seribu?
2. Bagaimana tingkat kepadatan padang lamun yang terdapat di TNKpS
Pulau Kelapa Dua Kepulauan Seribu?
3. Bagaimana tingkat keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi
lamun di TNKpS Pulau Kelapa Dua Kepulauan Seribu?
4. Bagaimana metode yang dilakukan oleh TNKpS Pulau Kelapa Dua
Kepulauan Seribu?

1.3. Tujuan
1. Dapat mengidentifikasi jenis – jenis lamun yang ada di TNKpS Pulau
Kelapa Dua Kepulauan Seribu
2. Menghitung kerapatan jenis lamun yang ada di TNKpS Pulau Kelapa
Dua Kepulauan Seribu
3. Menghitung keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi lamun
yang ada di TNKpS Pulau Kelapa Dua Kepulauan Seribu
4. Dapat mengetahui metode transek yang digunakan oleh TNKpS Pulau
Kelapa Dua Kepulauan Seribu

1.4. Manfaat
Dari praktek kerja lapangan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pemerintah, masyarakat dan ilmu pengetahuan dengan mahasiswa dapat
membandingkan antara teori dan praktek yang telah didapat selama perkuliahan
dengan praktek di lapangan dan juga mahasiswa mampu mengetahui dan macam
– macam jenis dan kerapatan lamun dengan metode transek yang digunakan oleh
TNKpS Pulau Kelapa Dua Kepulauan Seribu.

1.5. Waktu dan Tempat


Praktek kerja lapangan dilaksanakan pada akhir Juli sampai dengan awal
Agustus di Pulau Kelapa Dua, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepulauan Seribu


Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) merupakan salah satu
dari 6 (enam) taman nasional laut di Indonesia dan merupakan satu-satunya
Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional yang terletak di ibukota negara
Indonesia. Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dilaksanakan
oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) sesuai dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor: PM.03/MENHUT-II/2007 tanggal 1 Februari 2007
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional.
Dalam pengelolaannya, kawasan TNKpS dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), yaitu: SPTN Wilayah I Pulau Kelapa,
SPTN Wilayah II Pulau Harapan dan SPTN Wilayah III Pulau Pramuka. Wilayah
TNKpS terletak di utara Jakarta, secara administratif berada di wilayah
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,
DKI Jakarta. Merupakan kawasan perairan laut sampai batas pasang tertinggi.
Kawasan TNKpS meliputi tiga kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang,
Kelurahan Pulau Kelapa dan Kelurahan Pulau Harapan. Kawasan ini terbentang
seluas 107.489 ha (SK. Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002) yang
secara geografis terletak pada 5°24' - 5°45' LS dan 106°25' - 106°40' BT,
termasuk kawasan darat Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur seluas
39,50 hektar (Budiyanti, 2014).
Di wilayah Kepulauan Seribu berhembus dua jenis musim, yaitu musim
angin barat dan musim angin timur. Pada bulan Desember hingga Maret angin
barat berhembus dengan arah berkisar antara Barat Daya hingga Barat Laut.
Kecepatan angin berhembus rata-rata 7-20 knot, dimana pada bulan Desember
hingga February kecepatan angin dapat melebihi 20 knot. Pada musim timur,
berhembus angin timur mulai bulan Juni hingga September dengan kecepatan 7-
15 knot. Angin berhembus dengan arah berkisar antara Timur Laut dan Tenggara.
Untuk musim pancaroba mulai terjadi antara bulan April sampai bulan Mei dan
bulan Oktober sampai November (Dinas Hidro-Oseanografi 1986 dalam Pratama
2005).
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 hektar, merupakan
kawasan perairan laut sampai batas pasang tertinggi, pada geografis antara 5°24' -
5°45' LS dan 106°25' - 106°40' BT, termasuk kawasan darat Pulau Penjaliran
Barat dan Pulau Penjaliran Timur seluas 39,50 hektar. Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu tersusun oleh Ekosistem Pulau-Pulau Sangat Kecil dan Perairan
Laut Dangkal, yang terdiri dari Gugus Kepulauan dengan 78 pulau sangat kecil,
86 Gosong Pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang sekitar 2.136 hektar
(Reef flat 1.994 ha, Laguna 119 ha, Selat 18 ha dan Teluk 5 ha), terumbu karang
tipe fringing reef, Mangrove dan Lamun bermedia tumbuh sangat miskin
hara/lumpur, dan kedalaman laut dangkal sekitar 20-40 m (Dinas Hidro-
Oseanografi 1986 dalam Pratama 2005).

2.2. Pulau Kelapa Dua


Pulau Kelapa Dua merupakan salah satu pulau yang berada di wilayah
Kepulauan Seribu. Ekosistem di daerah ini sangat kompleks, terdiri dari ekosistem
terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan hutan mangrove. Pulau Kelapa
Dua merupakan pulau pemukiman terkecil di wilayah Kepulauan Seribu. Luasnya
sekitar 1,9 hektar dengan jumlah penduduk 337 jiwa. Letaknya juga tidak
berjauhan dengan Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Pada bagian Barat Pulau
Kelapa Dua lebih besar wilayahnya dibandingkan wilayah Timurnya. Untuk
mencapai Pulau Kelapa Dua harus menggunakan perahu dari Pulau Kelapa.

2.3. Lamun
2.3.1. Pengertian
Lamun adalah tumbuhan berbunga atau disebut juga Angiospermae yang
tumbuh mencolok dan sering merupakan komponen utama yang dominan di
lingkungan pesisir (Kuo dan McComb 1989 dalam Tomascik et al., 1997). Selain
itu, lamun juga memiliki sistem internal untuk transportasi gas dan nutrient
(Fortes, 1990).
Lamun (seagrass) adalah satusatunya tumbuh-tumbuhan berbunga yang
terdapat di lingkungan laut. Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai
tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap efektif untuk
berkembangbiak dan mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas
dan zat-zat hara. Lamun juga merupakan tumbuhan yang telah menyesuaikan diri
hidup terbenam di laut dangkal. Lamun mempunyai akar dan rimpang (rhizome)
yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu pertahanan pantai dari
gerusan ombak dan gelombang. Padang lamun dapat terdiri dari vegetasi lamun
jenis tunggal ataupun jenis campuran (Hemminga dan Duarte, 2000 dalam Rappe,
2010).
Tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di
lingkungan laut, yaitu (Den Hartog 1970 dalam Irawan 2003):
1. Mampu hidup di media air asin.
2. Mampu hidup dalam keadaan terbenam dalam air.
3. Mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang.
4. Mampu melaksanakan penyerbukan dalam air dan daur generative.
Lamun di Indonesia terdiri dari 7 marga lamun. Tiga diantaranya (Enhalus,
Thalassia, dan Halophila) termasuk suku Hydrocaritaceae, sedangkan empat
marga lainnya (Halodule, Cymodoceae, Syringodium, dan Thalassodendron)
termasuk suku Pomatogetonaceae (Nontji, 1987).
Zonasi sebaran dan karakteristik lamun di perairan pesisir Indonesia dapat
dikelompokkan (Dahuri, 2003):
1. Genangan air dan kedalaman
2. Kualitas Air
3. Komposisi jenis
4. Tipe substrat
5. Asosiasi dengan sistem lain (seperti terumbu karang, mangrove, dan
estuaria)
2.3.2. Morfologi
1. Daun
Seperti pada monokotil lainnya, daun – daunnya diproduksi dari
meristem dasar yang terletak di bagian atas rhizoma dan pada rantingnya.
Hal yang unik pada daun lamun adalah dengan tidak adanya stomata dan
terlihatnya kutikula yang tipis. Kutikula berfungsi untuk menyerap zat
hara, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari yang diserap oleh akar dan
batangnya (Tomascik, 1997 dalam Romimohtarto, 2001).
2. Akar
Akarnya muncul dari permukaan yang lebih rendah daripada rhizoma
dan menunjukkan sejumlah adaptasi tertentu pada lingkungan perairan.
Struktur perakarannya memiliki perbedaan antara satu dan lainnya. Pada
beberapa spesies memiliki akar yang lemah, berambut dan memiliki
struktur diameter yang kecil. Sedangkan pada spesies lainnya akarnya ada
yang kuat dan berkayu. Fungsi akar lamun adalah untuk mengabsorbsi
nutrien dari kolom air dan bertindak sebagai penyimpanan untuk
fotosintesa (Tomascik, 1997 dalam Romimohtarto, 2001).
3. Rhizoma dan Batang
Struktur rhizoma dan batangnya sangat bervariasi di antara jenis-jenis
lamun, sebagai susunan ikatan pembuluh pada stele. Rhizoma bersama-
sama dengan akar, menancapkan lamun pada substrat. Rhizoma biasanya
terkubur di bawah sedimen dan membentuk jaringan luar (Tomascik, 1997
dalam Romimohtarto, 2001).

Gambar 1. Morfologi Lamun (Lanyon, 1986 dalam McKenzie, 2001).


Gambar 2. Profil Umum Padang Lamun di Kawasan TNKpS (BTNKpS, 2010)

2.4. Jenis – Jenis Lamun


1. Thalassia hemprichii
Susetiono, (2007) menyatakan bahwa lamun jenis Thalassia
henprichii mempunyai rimpang agak membulat, daun tebal dan agak
melengkung. Bunga jantan mempunyai tangkai pendukung pendek saja,
yaitu sekitar 3 cm. Sedangkan bunga betina tangkai pendukungnya lebih
pendek, yaitu berkisar antara 1-1,5 cm dan buahnya terbagi dalam 8-20
keping yang tidak beraturan. Umumnya hidup berdampingan dengan jenis
lainnya seperti Enhalus acoroides. Bila mendominasi selalu membentuk
kelompok vegetasi yang rapat (bawah). Spesies Thalassia henprichii
tumbuh di substrat berpasir hingga pada pecahan karang mati dan sering
menjadi spesies dominan pada padang lamun campuran dan melimpah
(Kordi, 2011).
Gambar 3. Thalassia hemprichii (Kordi, 2011).

2. Cymodocea rotundata
Spesies Cymodocea rotundata atau dikenal sebagai lamun ujung bulat
(round tipped seagrass) tumbuh di substrat pasir, kadang pecahan karang
dan sedikit berlumpur. Lamun ini mempunyai daun berukuran panjang 7-
20 cm dan lebar 2-4 mm, mempunyai 7-15 tulang daun dan 2-7 helai daun
perpangkal. Ujung daun halus membulat dan tumpul (Kordi, 2011).

Gambar 4. Cymodocea rotundata (Kordi, 2011).


3. Cymodocea serrulata
Sama halnya dengan Cymodocea rotundata, bentuk daunnya
melengkung menyerupai selempang bagian pangkal menyempit dan ke
arah ujung agak melebar. Panjang dan lebarnya juga hampir sama berkisar
5-15 m dan 2-4 mm. Yang membedakannya dengan ujung daun dari
Cymodocea serrulata adalah ujung daunnya bergerigi dengan tulang daun
berjumlah 13-17 (Kordi, 2011).

Gambar 5. Cymodocea serrulata (Kordi, 2011).

4. Enhalus acoroides
Secara morfologi jenis lamun Enhalus acoroides akan tumbuhan tropis
yang mempunyai akar kuat dan diselimuti oleh benang-benang hitam yang
kaku. Rhizomanya tertanam di dalam substrat. Pada akarnya terdapat
rambut bisus. Daun-daunnya sebanyak 2 atau 4 helai yang ujungnya
membulat. Panjang daun lebih dari 1 m dan lebar 1,5 cm. Buah berbentuk
bulat telur berukuran 4-7 cm. Lamun tropis tumbuh di perairan dangkal
dengan substrat pasir berlumpur. Lamun ini tumbuh subur di daerah yang
terlindung di pinggir bawah dari mintakat pasang surut dan di batas atas
mintakat bawah litoral (Kordi, 2011).
Gambar 6. Enhalus acoroides (Kordi, 2011).

5. Halophila ovalis
Spesies Halophila ovalis atau lamun sendok (spoon grass) adalah
lamun yang mempunyai tangkai ramping, berdiameter 1 mm, hampir tidak
berwarna dan merayap. Sepanjang tangkai yang merayap muncul daun-
daun berpasangan ke atas di bawah permukaan air dan akar-akarnya kecil
ramping ke bawah, ke dalam tanah. Daun-daun bundar telur (oval) tipis
berwarna hijau dengan warna kemeah-merahan berukuran panjang 10-15
mm dan lebar 5-10 mm. Masing-masing daun ditunjang oleh tangkai
(petiole) berukuran panjang 8-15 mm dan diameter 0,5 mm. Di daerah
yang terlindung, lamun sendok membentuk permadani tumbuh-tumbuhan
di antar air surut rata-rata pada pasang surut bulan setengah dan air surut
rata-rata pada pasang surut purnama, memberikan lingkungan yang cocok
untuk pelekatan alga. Di lingkungan ini lamun sendok membentuk tajuk
(canopy) (Kordi, 2011).
Lamun sendok mempunyai bunga berkelamin tunggal dan soliter.
Lamun sendok terdapat di pantai pasir, di paparan terumbu dan di dasar
pasir lumpur dari pasang surut rata-rata sampai batas bawah dari daerah
pasang surut (Romimohtarto dan Juwana, 2001 dalam Kordi, 2011).

Gambar 7. Halophila ovalis (Kordi, 2011).

6. Syringodium isoetifolium
Syringodium isoetifolium termasuk dalam Family Potamogetonaceae
dengan ciri-ciri utama yaitu tidak memiliki ligula seperti pada Family
Hydrocaritaceae. Ditemukan di seluruh wilayah Indo-Barat Pasifik Tropis.
Tumbuh dengan kepadatan tinggi tanpa spesies lain. Namun bila tumbuh
dengan spesies lain ukurannya akan lebih kecil. Jenis lamun ini jarang
ditemukan di daerah intertidal dangkal (McKenzie, 2007 dalam Hendra,
2011).
Gambar 8. Syringodium isoetifolium (Kordi, 2011).
7. Halodule uninervis
Halodule uninervis adalah lamun sublittoral ditemukan dari
pertengahan pasang surut hingga kedalaman 20 m. Umumnya pada
kedalaman antara 0-3 m di laguna sublittoral dan di dekat terumbu karang.
Halodule uninervis dapat tumbuh di berbagai habitat yang berbeda. Lamun
ini dapat membentuk padang rumput padat bercampur dengan spesies
lamun lain (Carruthers et al., 2007 dalam Hendra, 2011).
Jenis ini termasuk dalam famili Potamogetonaceae. Ciri khas dari
famili ini memiliki bentuk daun Parvozosterids, dengan daun memanjang
dan sempit. Ujung daunnya yang berbentuk trisula dengan satu vena
sentral yang membujur dengan ukuran lebar daun 1-1,7 mm. Umur daun
±55 hari dengan produksi tegakan sebanyak 38 tegakan/tahun (Vermaat et
al., 1995).
Gambar 9. Halodule uninervis (Kordi, 2011).

2.5. Reproduksi Lamun


Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu tumbuhan hanya
ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Sistem pembiakannya bersifat khas
karena mampu melakukan penyerbukan didalam air (hydrophilous pollination).
Buahnya pun terendam dalam air (Nontji, 1993). Reproduksi seksual terjadi di
kolom air (hydrophilous pollination). Serbuk sari dilepaskan ke kolom air untuk
kemudian disebar oleh arus. Proses penyerbukan tersebut dikontrol oleh pasang
surut (Epidrophily) (King, 1981). Reproduksi secara seksual umumnya terjadi
pada saat lamun menempati habitat yang baru. Penyebaran horizontal selanjutnya
lebih banyak terjadi secara vegetatif dengan menggunakan rhizomenya yang
disebut Dispersal (King, 1981).

2.6. Sebaran Lamun


Kirkman (1985) dalam Argadi (2003), menyatakan bahwa zonasi sebaran
lamun dari pantai kearah tubir secara umum berkesinambungan, namun bisa
terdapat perbedaan pada komposisi jenisnya (vegetasi tunggal atau campuran)
maupun luas penutupannya. Tumbuhan lamun tersebar luas pada perairan dangkal
mulai dari utara, kawasan Artik, sampai ke sebelah selatan benua Afrika dan New
Zealand. Konsentrasi sebaran tumbuhan lamun ada di daerah Indo-Pasifik dan
pantai-pantai Amerika Tengah di daerah Karibia-Pasifik (Muhamaze, 2010 dalam
Tuwo, 2011).
Penyebaran padang lamun di Indonesia mencangkup perairan Jawa,
Sumatra, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya.
Spesies yang dominan dan dijumpai hampir diseluruh Indonesia adalah Thalassia
hemprichii (Brouns, 1985; Hutomo et al. 1988 dalam Dahuri, 2003). Luas padang
lamun di Indonesia diperkirakan 30.000 km2 (Nontji, 2010 dalam Tuwo, 2011).
Tumbuhan lamun terdiri atas 2 famili, 12 genera dengan 49 jenis. Dari 12 genera
tersebut, 7 genera diantaranya hidup di perairan tropis yaitu Enhalus, Thalassia,
Thalassodendron, Halophila, Halodule, Cymodocea, dan Syringodium (Den
Hartog, 1970 dalam Tuwo, 2011).

2.7. Peranan Lamun


Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi
wilayah pesisir dan laut, yaitu :
1. Lamun berperan sebagai produsen primer (Azkab, 2006):
Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar
memasuki rantai makanan, baik melalui pemangsaan langsung oleh
herbivora maupun melalui dekomposisi sebagai serasah. Lamun juga
memberikan sumbangan terhadap produktivitas terumbu karang. Serasah
yang diproduksi oleh lamun dapat membantu meningkatkan kelimpahan
fitoplankton dan zooplankton di perairan terumbu karang sehingga energi
yang diambil lamun akan dialihkan ke ekosistem terumbu karang.
2. Lamun sebagai penangkap sedimen (Bengen, 2001):
Lamun dapat mengikat sedimen dan menstabilkan substrat lunak
dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang. Daun lamun
yang lebat akan memperlambat aliran air yang disebabkan oleh arus dan
ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu,
rizhome dan akar lamun dapat menahan serta mengikat sedimen,
sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar perairan.
3. Lamun sebagai habitat biota (Azkab, 2006):
Lamun berperan sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh
besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut. Beberapa organisme
hanya menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di padang lamun dan
beberapa dari mereka adalah ikan dan udang yang mempunyai nilai
ekonomis penting. Lamun dapat dimakan langsung oleh organisme
avertebrata seperti bulu babi serta berbagai jenis ikan dari family
Scaridae dan Acanthuridae. Selain itu lamun juga dapat dimakan oleh
penyu dan duyung.

2.8. Parameter Lingkungan


2.8.1. Suhu
Cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan akan mengalami
penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini
berlangsung secara lebih intensif pada lapisan atas sehingga atas perairan
memiliki suhu yang lebih tinggi (lebih panas) dan densitas yang lebih kecil
daripada lapisan bawah (Effendi, 2003).
Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme dalam suatu perairan. Pada
umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat
perkembangbiakan organisme perairan. Perubahan suhu dapat menjadi sinyal bagi
organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktifitas. (Nyabakken, 1988).
2.8.2. Arus
Arus merupakan faktor fisika perairan yang paling mempengaruhi zona
intertidal. Keberadaan arus memperluas zona intertidal, mempengaruhi sebaran
dan jenis organisme yang dapat ditemukan (Webber dan Thurman, 1991).
Kecepatan arus perairan berpengaruh pada produktifitas padang lamun. Turtle
grass dapat menghasilkan hasil tetap (standing crop) maksimal pada kecepatan
arus 0,5 m/det (Dahuri et al., 1996).
2.8.3. Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus
lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat
penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Semakin tinggi nilai
kecerahan, maka semakin tinggi pula tingkat penetrasi cahaya ke kolom perairan.
Penetrasi cahaya matahari atau kecerahan sangat penting sekali bagi tumbuhan
lamun. Hal ini terlibat dari sebaran lamun yang terbatas pada daerah yang masih
menerima cahaya matahari (Supriharyono, 2009).
2.8.4. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd,
1988 dalam Effendi, 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air,
setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida dan semua bahan organik telah
dioksidasi (Effendi, 2003).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
Pada kegiatan praktek kerja lapangan ini materi yang digunakan adalah
lamun (seagrass) yang berada di wilayah TNKpS Pulau Kelapa Dua, Kepulauan
Seribu.

3.1.1. Alat dan Bahan


Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan pada saat pengambilan data.
Alat dan Bahan Fungsi

Refrensi dalam melakukan


Buku identifikasi lamun
identifikasi

Penggaris Untuk mengukur jenis lamun

Laptop Mengolah data yang telah didapatkan

Kamera Alat dokumentasi kegiatan

Alat tulis Mencatat hasil identifikasi

Meteran Untuk mengukur line yang digunakan

Thermometer Mengukur temperature perairan

GPS Menentukan koordinat setiap stasiun

Transek Kuadran Digunakan untuk menentukan titik

3.2. Metode
3.2.1. Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam praktek kerja lapangan ini adalah metode
deskriptif, dengan menggunakan metode pengambilan sampel line transek
(transek garis) (Fachrul, 2006). Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan
saat air laut surut. Dalam penelitian ini lokasi penelitian dibagi menjadi 3 (tiga)
stasiun. Untuk penentuan stasiun didasarkan atas lokasi yang memungkinkan
dilakukannya penelitian atau sesuai dengan TNKpS Pulau Kelapa Dua, Kepulauan
Seribu. Kemudian pada masing-masing stasiun dibagi lagi menjadi 3 (tiga) sub
stasiun dengan jarak antar sub stasiun yaitu 50 meter. Pengambilan sampel pada
setiap stasiun dilakukan dengan pemasangan garis transek dari darat ke arah laut
pada ekosistem lamun. Untuk pengamatan komposisi jenis dan penyebaran lamun
dilakukan dengan metode sampling acak sistematik, yaitu pengambilan sampel
pada transek yang telah ditetapkan. Kemudian setiap transek dipasang kuadran
yang berukuran 1 x 1 meter secara berseling dan jarak antar kuadran yaitu
berukuran 5 (lima) meter. Ukuran kuadran 1 x 1 meter, diharapkan bahwa ukuran
ini dapat mencakup spesis lamun khususnya lamun dengan ukuran yang relatif
besar, sehingga terjadi keterwakilan data yang baik saat pengambilan data
(Duwiri, 2010).

3.2.2. Analisis Data


1. Kepadatan
Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas dengan formulasi
sebagai berikut (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1977 dalam Hamsiah, 2006):
ni
D=
A
Dimana:
D = Kepadatan (individu/m2)
ni = Jumlah total individujenis ke-i yang diperoleh
A = Luas total habitat yang disampling (m2)

Frekuensi jenis dihitung dengan rumus (Syari, 2005):

Dimana :
F = Frekuensi Jenis
Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan species i
∑p = Jumlah total petak contoh yang diamati
2. Keragaman (keanekaragaman)
Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan
spesies dan merupakan ciri khas struktur komunitas. Rumus yang
digunakan untuk menghitung keanekaragaman adalah rumus Shannon-
Wiener (Krebs, C.J., 1972 dalam Hamsiah, 2006) yaitu:

Dimana:
H' = lndeks Keanekaragaman
Pi = Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu
total (ni/N)
N = Jumlah total individu semua spesies
S = Jumlah taksalspesies
Kisaran Indeks keanekaragaman Shannon dikategorikan atas nilai-nilai
sebagai berikut (Masson, 1981 dalam Syari, 2005) :
H’ > 3 = Keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah tinggi
H’ 1 ≤ H’≤ 3 = Keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah
sedang
H’ < 1 = Keanekaragaman jenis rendah

3. Keseragaman
Keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan yaitu komposisi
individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Indeks
Keseragaman (regularitas) dihitung dengan rumus sebagai berikut (Krebs,
C.J., 1972 dalam Hamsiah, 2006):

Dimana:
E = lndeks Keseragaman
H’=Indeks Keanekaragaman
H’ maxs= Logz S = 3,3219log S
S = Jumlah Spesies/jenis
Nilai indeks keseragaman ini berkisar antara 0-1. Jika indeks
keseragaman mendekati nilai 0, maka dalam ekosistem ada kecenderungan
terjadi dominansi spesies yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan
faktor-faktor lingkungan dan populasi. Bila indeks keseragaman
mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam
kondisi yang relatif mantap/stabil yaitu jumlah individu tiap spesies relatif
saran (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1977 dalam Hamsiah, 2006).

4. Dominansi
Untuk mengetahui ada tidaknya dominansi dari spesies tertentu
digunakan Indeks Dominansi Simpson (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1977
dalam Hamsiah, 2006), yaitu:

Dimana :
D = Indeks Dominasi
ni = Jumlah individu spesies ke-i
Ni = Jumlah total individu dari semua spesies
S = Jumlah Spesies
Nilai Indeks Dominansi berkisar antara 0 - 1. Jika indeks dominansi
mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi dan
biasanya diikuti indeks keragaman yang tinggi. Apabila indeks dominansi
mendekati 1 berarti ada salah satu genera yang mendominasi dan nilai
indeks keragaman semakin keci. Jadi indeks dominansi ini berhubungan
terbalik dengan keragaman dan keseragaman sedangkan keragaman dan
keseragaman mempunyai hubungan positif (Hamsiah, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Argadi, Ganesya. 2003. Struktur Komunitas Lamun Di Perairan Pengerugan, Jawa


Timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Azkab, M. H. 2006. Ada apa dengan lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Oseana
31(3): 45-55.

Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Sinopsis.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 62 hlm.

BTNKpS. 2010. Padang Lamun di TNKpS. DKI Jakarta.

Budiyanti, Syamsu. 2014. Analisis Pemetaan Sosial, Ekonomi Dan Kebutuhan


Masyarakat, Studi Kasus: Sistem Zonasi Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu (TNKpS) pada Masyarakat Kepulauan Seribu Utara,
Provinsi DKI Jakarta. Universitas Trunojoyo. Madura.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting & M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan sumberdaya


wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
305 hlm.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: asset pembangunan berkelanjutan


Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412 hlm.

Duwiri, Y. 2010. Struktur komunitas lamun (seagrass) di perairan pantai


kampung Isenebuai dan Yariari Distrik Rumberpon Kabupaten Teluk
Wondama [Skiripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua Manokwari.

Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.

Fachrul, M. F. 2006. Metode sampling bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Fortes, M. D. 1990. Seagrasses: a resource unknown in the ASEAN region.


ICLARM Education Series 5. International Center for Living Aquatic
Resources Management. Manila. 46p.
Hamsiah. 2006. Potensi Jenis Kekerangan Yang Berasosiasi Dengan Padang
Lamun di Pulau Pannikiang Kabupaten Barru. Universitas Muslim
Indonesia. Makassar.

Hendra. 2011. Pertumbuhan dan Produktifitas Biomassa Daun Lamun Halophila


Ovalis, syringgodium isoetifolium dan Holodule uninerversis Pada
Ekosistem Padang Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo, Propinsi
Sulawesi Selatan [Skripsi]. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Irawan, A. 2003. Asosiasi makrozoobentos berdasarkan letak padang lamun di


estuaria Bontang Kuala, Kota Bontang, Kalimantan Timur [tesis].
Progam Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 100 hlm.

King, R.J. 1981. Marine Angiosperms: Seagrass. In Clayton, M.C and King, R.J.
Marine Botany. An Australasian Perspective. Logman-Cheshire,
Melbourne.

Kiswara. 2000. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia.p. 54-61. In:
Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi, kimia, biologi,
dan ekologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Kordi, K.H.G.M. 2011. Ekosistem Lamun (seagrass): fungsi, potensi,


pengelolaan. Jakarta: Rineka Cipta, 191 hal.

McKenzie, L.J., Campbell, S.J. & Roder, C.A. 2001. Seagrass-Watch: Manual for
Mapping & Monitoring Seagrass Resources by Community (citizen)
volunteers. (QFS, NFC, Cairns) 94pp.

Mukai, H., K. Aioi and Y. Ishida 1980. Distribution and biomass of eelgrass
(Zostera marina L.) and other sea grasses in Odawa Bay. Central
Japan. Aquat.Bot. 8: 337-342.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 372 hlm.

Nontji, A, 1993, Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara.Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan, Jakarta: 367


hal.

Nyabakken, J. W. 1988. Biologi-Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan


oleh H.M. Eidman Koesbiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S.
Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta. 443 hlm.
Pratama, J. 2005. Tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan karang
Pocillopora, Seriatopora, dan Heliopora dalam transplantasi karang di
Pulau Pari, Kepulauan Seribu [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 80 hlm.

Rappe, R.A., 2010. Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun yang Berbeda
Di Pulau Barrang Lompo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2
(2) : 62-73.

Romimohtarto, Kasijan-Sri Juwana, 2001. Biologi Laut-Ilmu Pengetahuan


Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI.
Jakarta.

Supriharyono. 2009. Konservasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah pesisir


dan laut tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 470 hlm.

Susetiono, 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Pusat
Penelitian Oseanografi-LIPI. 106 hal.

Syari, I.A. 2005. Asosiasi gastropoda di ekosistem padang lamun. Departemen


Ilmu Dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan,
IPB.Bogor.

Tomascik, T. AJ., Mah, A, Nontji, & M.K. Moosa. 1997. The ecology of the
Indonesian sea. Part II. Chapters 13-23, Periplus Edition (HK) Ltd.,
Singapore.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut - Suatu Pendekatan


Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembangaan, dan Sarana Wilayah. Brilian
Internasional. Surabaya.

Vermaat, J. E., N. S. R. Agawin, C. M. Duarte. M.D. Fortes., N. Marba. dan J. S.


Uri. 1995. Meadow Maintenance, Growth and Productivity of a Mixed
Philippine Seagrass Bed. Marine Ecology Progress Series, 124:215-225.

Webber, H. H., dan H. V. Thurman. 1991. Marine Biology. Harper Collins


Publisher, Inc. 452 p.

Anda mungkin juga menyukai