Oleh:
TRIANA HANANI
26020114120033
i
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL
Mengetahui,
Ketua Progam Studi Ilmu Kelautan,
1.3. Tujuan
1. Dapat mengidentifikasi jenis – jenis lamun yang ada di TNKpS Pulau
Kelapa Dua Kepulauan Seribu
2. Menghitung kerapatan jenis lamun yang ada di TNKpS Pulau Kelapa
Dua Kepulauan Seribu
3. Menghitung keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi lamun
yang ada di TNKpS Pulau Kelapa Dua Kepulauan Seribu
4. Dapat mengetahui metode transek yang digunakan oleh TNKpS Pulau
Kelapa Dua Kepulauan Seribu
1.4. Manfaat
Dari praktek kerja lapangan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pemerintah, masyarakat dan ilmu pengetahuan dengan mahasiswa dapat
membandingkan antara teori dan praktek yang telah didapat selama perkuliahan
dengan praktek di lapangan dan juga mahasiswa mampu mengetahui dan macam
– macam jenis dan kerapatan lamun dengan metode transek yang digunakan oleh
TNKpS Pulau Kelapa Dua Kepulauan Seribu.
2.3. Lamun
2.3.1. Pengertian
Lamun adalah tumbuhan berbunga atau disebut juga Angiospermae yang
tumbuh mencolok dan sering merupakan komponen utama yang dominan di
lingkungan pesisir (Kuo dan McComb 1989 dalam Tomascik et al., 1997). Selain
itu, lamun juga memiliki sistem internal untuk transportasi gas dan nutrient
(Fortes, 1990).
Lamun (seagrass) adalah satusatunya tumbuh-tumbuhan berbunga yang
terdapat di lingkungan laut. Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai
tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap efektif untuk
berkembangbiak dan mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas
dan zat-zat hara. Lamun juga merupakan tumbuhan yang telah menyesuaikan diri
hidup terbenam di laut dangkal. Lamun mempunyai akar dan rimpang (rhizome)
yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu pertahanan pantai dari
gerusan ombak dan gelombang. Padang lamun dapat terdiri dari vegetasi lamun
jenis tunggal ataupun jenis campuran (Hemminga dan Duarte, 2000 dalam Rappe,
2010).
Tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di
lingkungan laut, yaitu (Den Hartog 1970 dalam Irawan 2003):
1. Mampu hidup di media air asin.
2. Mampu hidup dalam keadaan terbenam dalam air.
3. Mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang.
4. Mampu melaksanakan penyerbukan dalam air dan daur generative.
Lamun di Indonesia terdiri dari 7 marga lamun. Tiga diantaranya (Enhalus,
Thalassia, dan Halophila) termasuk suku Hydrocaritaceae, sedangkan empat
marga lainnya (Halodule, Cymodoceae, Syringodium, dan Thalassodendron)
termasuk suku Pomatogetonaceae (Nontji, 1987).
Zonasi sebaran dan karakteristik lamun di perairan pesisir Indonesia dapat
dikelompokkan (Dahuri, 2003):
1. Genangan air dan kedalaman
2. Kualitas Air
3. Komposisi jenis
4. Tipe substrat
5. Asosiasi dengan sistem lain (seperti terumbu karang, mangrove, dan
estuaria)
2.3.2. Morfologi
1. Daun
Seperti pada monokotil lainnya, daun – daunnya diproduksi dari
meristem dasar yang terletak di bagian atas rhizoma dan pada rantingnya.
Hal yang unik pada daun lamun adalah dengan tidak adanya stomata dan
terlihatnya kutikula yang tipis. Kutikula berfungsi untuk menyerap zat
hara, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari yang diserap oleh akar dan
batangnya (Tomascik, 1997 dalam Romimohtarto, 2001).
2. Akar
Akarnya muncul dari permukaan yang lebih rendah daripada rhizoma
dan menunjukkan sejumlah adaptasi tertentu pada lingkungan perairan.
Struktur perakarannya memiliki perbedaan antara satu dan lainnya. Pada
beberapa spesies memiliki akar yang lemah, berambut dan memiliki
struktur diameter yang kecil. Sedangkan pada spesies lainnya akarnya ada
yang kuat dan berkayu. Fungsi akar lamun adalah untuk mengabsorbsi
nutrien dari kolom air dan bertindak sebagai penyimpanan untuk
fotosintesa (Tomascik, 1997 dalam Romimohtarto, 2001).
3. Rhizoma dan Batang
Struktur rhizoma dan batangnya sangat bervariasi di antara jenis-jenis
lamun, sebagai susunan ikatan pembuluh pada stele. Rhizoma bersama-
sama dengan akar, menancapkan lamun pada substrat. Rhizoma biasanya
terkubur di bawah sedimen dan membentuk jaringan luar (Tomascik, 1997
dalam Romimohtarto, 2001).
2. Cymodocea rotundata
Spesies Cymodocea rotundata atau dikenal sebagai lamun ujung bulat
(round tipped seagrass) tumbuh di substrat pasir, kadang pecahan karang
dan sedikit berlumpur. Lamun ini mempunyai daun berukuran panjang 7-
20 cm dan lebar 2-4 mm, mempunyai 7-15 tulang daun dan 2-7 helai daun
perpangkal. Ujung daun halus membulat dan tumpul (Kordi, 2011).
4. Enhalus acoroides
Secara morfologi jenis lamun Enhalus acoroides akan tumbuhan tropis
yang mempunyai akar kuat dan diselimuti oleh benang-benang hitam yang
kaku. Rhizomanya tertanam di dalam substrat. Pada akarnya terdapat
rambut bisus. Daun-daunnya sebanyak 2 atau 4 helai yang ujungnya
membulat. Panjang daun lebih dari 1 m dan lebar 1,5 cm. Buah berbentuk
bulat telur berukuran 4-7 cm. Lamun tropis tumbuh di perairan dangkal
dengan substrat pasir berlumpur. Lamun ini tumbuh subur di daerah yang
terlindung di pinggir bawah dari mintakat pasang surut dan di batas atas
mintakat bawah litoral (Kordi, 2011).
Gambar 6. Enhalus acoroides (Kordi, 2011).
5. Halophila ovalis
Spesies Halophila ovalis atau lamun sendok (spoon grass) adalah
lamun yang mempunyai tangkai ramping, berdiameter 1 mm, hampir tidak
berwarna dan merayap. Sepanjang tangkai yang merayap muncul daun-
daun berpasangan ke atas di bawah permukaan air dan akar-akarnya kecil
ramping ke bawah, ke dalam tanah. Daun-daun bundar telur (oval) tipis
berwarna hijau dengan warna kemeah-merahan berukuran panjang 10-15
mm dan lebar 5-10 mm. Masing-masing daun ditunjang oleh tangkai
(petiole) berukuran panjang 8-15 mm dan diameter 0,5 mm. Di daerah
yang terlindung, lamun sendok membentuk permadani tumbuh-tumbuhan
di antar air surut rata-rata pada pasang surut bulan setengah dan air surut
rata-rata pada pasang surut purnama, memberikan lingkungan yang cocok
untuk pelekatan alga. Di lingkungan ini lamun sendok membentuk tajuk
(canopy) (Kordi, 2011).
Lamun sendok mempunyai bunga berkelamin tunggal dan soliter.
Lamun sendok terdapat di pantai pasir, di paparan terumbu dan di dasar
pasir lumpur dari pasang surut rata-rata sampai batas bawah dari daerah
pasang surut (Romimohtarto dan Juwana, 2001 dalam Kordi, 2011).
6. Syringodium isoetifolium
Syringodium isoetifolium termasuk dalam Family Potamogetonaceae
dengan ciri-ciri utama yaitu tidak memiliki ligula seperti pada Family
Hydrocaritaceae. Ditemukan di seluruh wilayah Indo-Barat Pasifik Tropis.
Tumbuh dengan kepadatan tinggi tanpa spesies lain. Namun bila tumbuh
dengan spesies lain ukurannya akan lebih kecil. Jenis lamun ini jarang
ditemukan di daerah intertidal dangkal (McKenzie, 2007 dalam Hendra,
2011).
Gambar 8. Syringodium isoetifolium (Kordi, 2011).
7. Halodule uninervis
Halodule uninervis adalah lamun sublittoral ditemukan dari
pertengahan pasang surut hingga kedalaman 20 m. Umumnya pada
kedalaman antara 0-3 m di laguna sublittoral dan di dekat terumbu karang.
Halodule uninervis dapat tumbuh di berbagai habitat yang berbeda. Lamun
ini dapat membentuk padang rumput padat bercampur dengan spesies
lamun lain (Carruthers et al., 2007 dalam Hendra, 2011).
Jenis ini termasuk dalam famili Potamogetonaceae. Ciri khas dari
famili ini memiliki bentuk daun Parvozosterids, dengan daun memanjang
dan sempit. Ujung daunnya yang berbentuk trisula dengan satu vena
sentral yang membujur dengan ukuran lebar daun 1-1,7 mm. Umur daun
±55 hari dengan produksi tegakan sebanyak 38 tegakan/tahun (Vermaat et
al., 1995).
Gambar 9. Halodule uninervis (Kordi, 2011).
3.1. Materi
Pada kegiatan praktek kerja lapangan ini materi yang digunakan adalah
lamun (seagrass) yang berada di wilayah TNKpS Pulau Kelapa Dua, Kepulauan
Seribu.
3.2. Metode
3.2.1. Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam praktek kerja lapangan ini adalah metode
deskriptif, dengan menggunakan metode pengambilan sampel line transek
(transek garis) (Fachrul, 2006). Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan
saat air laut surut. Dalam penelitian ini lokasi penelitian dibagi menjadi 3 (tiga)
stasiun. Untuk penentuan stasiun didasarkan atas lokasi yang memungkinkan
dilakukannya penelitian atau sesuai dengan TNKpS Pulau Kelapa Dua, Kepulauan
Seribu. Kemudian pada masing-masing stasiun dibagi lagi menjadi 3 (tiga) sub
stasiun dengan jarak antar sub stasiun yaitu 50 meter. Pengambilan sampel pada
setiap stasiun dilakukan dengan pemasangan garis transek dari darat ke arah laut
pada ekosistem lamun. Untuk pengamatan komposisi jenis dan penyebaran lamun
dilakukan dengan metode sampling acak sistematik, yaitu pengambilan sampel
pada transek yang telah ditetapkan. Kemudian setiap transek dipasang kuadran
yang berukuran 1 x 1 meter secara berseling dan jarak antar kuadran yaitu
berukuran 5 (lima) meter. Ukuran kuadran 1 x 1 meter, diharapkan bahwa ukuran
ini dapat mencakup spesis lamun khususnya lamun dengan ukuran yang relatif
besar, sehingga terjadi keterwakilan data yang baik saat pengambilan data
(Duwiri, 2010).
Dimana :
F = Frekuensi Jenis
Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan species i
∑p = Jumlah total petak contoh yang diamati
2. Keragaman (keanekaragaman)
Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan
spesies dan merupakan ciri khas struktur komunitas. Rumus yang
digunakan untuk menghitung keanekaragaman adalah rumus Shannon-
Wiener (Krebs, C.J., 1972 dalam Hamsiah, 2006) yaitu:
Dimana:
H' = lndeks Keanekaragaman
Pi = Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu
total (ni/N)
N = Jumlah total individu semua spesies
S = Jumlah taksalspesies
Kisaran Indeks keanekaragaman Shannon dikategorikan atas nilai-nilai
sebagai berikut (Masson, 1981 dalam Syari, 2005) :
H’ > 3 = Keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah tinggi
H’ 1 ≤ H’≤ 3 = Keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah
sedang
H’ < 1 = Keanekaragaman jenis rendah
3. Keseragaman
Keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan yaitu komposisi
individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Indeks
Keseragaman (regularitas) dihitung dengan rumus sebagai berikut (Krebs,
C.J., 1972 dalam Hamsiah, 2006):
Dimana:
E = lndeks Keseragaman
H’=Indeks Keanekaragaman
H’ maxs= Logz S = 3,3219log S
S = Jumlah Spesies/jenis
Nilai indeks keseragaman ini berkisar antara 0-1. Jika indeks
keseragaman mendekati nilai 0, maka dalam ekosistem ada kecenderungan
terjadi dominansi spesies yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan
faktor-faktor lingkungan dan populasi. Bila indeks keseragaman
mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam
kondisi yang relatif mantap/stabil yaitu jumlah individu tiap spesies relatif
saran (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1977 dalam Hamsiah, 2006).
4. Dominansi
Untuk mengetahui ada tidaknya dominansi dari spesies tertentu
digunakan Indeks Dominansi Simpson (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1977
dalam Hamsiah, 2006), yaitu:
Dimana :
D = Indeks Dominasi
ni = Jumlah individu spesies ke-i
Ni = Jumlah total individu dari semua spesies
S = Jumlah Spesies
Nilai Indeks Dominansi berkisar antara 0 - 1. Jika indeks dominansi
mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi dan
biasanya diikuti indeks keragaman yang tinggi. Apabila indeks dominansi
mendekati 1 berarti ada salah satu genera yang mendominasi dan nilai
indeks keragaman semakin keci. Jadi indeks dominansi ini berhubungan
terbalik dengan keragaman dan keseragaman sedangkan keragaman dan
keseragaman mempunyai hubungan positif (Hamsiah, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M. H. 2006. Ada apa dengan lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Oseana
31(3): 45-55.
Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Sinopsis.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 62 hlm.
King, R.J. 1981. Marine Angiosperms: Seagrass. In Clayton, M.C and King, R.J.
Marine Botany. An Australasian Perspective. Logman-Cheshire,
Melbourne.
Kiswara. 2000. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia.p. 54-61. In:
Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi, kimia, biologi,
dan ekologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
McKenzie, L.J., Campbell, S.J. & Roder, C.A. 2001. Seagrass-Watch: Manual for
Mapping & Monitoring Seagrass Resources by Community (citizen)
volunteers. (QFS, NFC, Cairns) 94pp.
Mukai, H., K. Aioi and Y. Ishida 1980. Distribution and biomass of eelgrass
(Zostera marina L.) and other sea grasses in Odawa Bay. Central
Japan. Aquat.Bot. 8: 337-342.
Rappe, R.A., 2010. Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun yang Berbeda
Di Pulau Barrang Lompo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2
(2) : 62-73.
Susetiono, 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Pusat
Penelitian Oseanografi-LIPI. 106 hal.
Tomascik, T. AJ., Mah, A, Nontji, & M.K. Moosa. 1997. The ecology of the
Indonesian sea. Part II. Chapters 13-23, Periplus Edition (HK) Ltd.,
Singapore.