Anda di halaman 1dari 30

PENGAMATAN JENIS – JENIS LAMUN DI PERAIRAN

PULAU PRAMUKA TAMAN NASIONAL


KEPULAUAN SERIBU

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

Oleh :

EEP PRIHATIN
41204620116002

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NUSA BANGSA
BOGOR
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Pengamatan Jenis – Jenis Lamun di Perairan


Pulau Pramuka.
Nama : Eep Prihatin
NPM : 41204620116002
Fakultas : MIPA
Program Studi : Biologi

Menyetujui,
Pembimbing

Dra.Nia Yuliani, M.Pd

Mengetahui,
Dekan Fakultas MIPA Ketua Program Studi Biologi

Dr. Ridha Arizal, M.Sc Srikandi, S.Si, M.Si


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-
Nya sehingga laporan Kuliah Kerja Lapang dapat diselesaikan dengan baik.
Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan merupakan salah satu tugas akhir bagi mahasiswa
di Program Studi Biologi Universitas Nusa Bangsa. Kegiatan Kuliah Kerja
Lapangan (KKL) ini dilaksanakan di Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan
Seribu pada tanggal 28 – 29 April 2018.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Srikandi, S.Si, M.Si. sebagai Ketua
Program Studi Biologi, Ibu Dra Nia Yulani, M.Pd. sebagai pembimbing, Bapak
Yohanes Budoyo, S.Si dari Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, teman-teman
mahasiswa KKL serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan
laporan Kuliah Kerja Lapangan ini.
Penulis berharap semoga laporan Kuliah Kerja Lapangan ini dapat
memberikan manfaat bagi mahasiswa Universitas Nusa Bangsa pada umumnya dan
bagi penulis khususnya.

Tangerang, November 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................iii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iv

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…............................................................................................1
B. Tujuan dan Manfaat….....................................................................................2
II. TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU….............................................3

III. TINJAUAN PUSTAKA


A. Lamun...........................................................................................................14
B. Kelas Malacostraca…...................................................................................15
C. Kelas Diplopoda...........................................................................................15
IV. BAHAN DAN METODE PERCOBAAN

A. Waktu dan Tempat…....................................................................................17


B. Bahan dan Alat…..........................................................................................17
C. Metode…......................................................................................................17
D. Cara Kerja….................................................................................................17
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengukuran Parameter Fisika Air...............................................................18
B. Jenis-Jenis Lamun yang ditemukan............................................................20
VI. SIMPULAN DAN SARAN..............................................................................24
DAFTAR PUSTAKA….........................................................................................25

iv
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) berada dalam wilayah
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, terletak di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara, tepatnya di tiga kelurahan yaitu Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan
Pulau Harapan. Secara geografis, Taman Nasional ini terletak pada 5º24’ - 5º45’
LS, 106º25’ - 106º40’ BT dan mencakup luas 107.489 ha (SK Menteri Kehutanan
Nomor 6310/Ktps-II/2002).
Kawasan tersebut tersusun oleh ekosistem 78 pulau sangat kecil, 86 gosong
pulau, hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektare (reef flat
1.994 ha, laguna 119 ha, selat 18 ha dan teluk 5 ha). Dari ke 78 pulau kecil tersebut,
6 pulau diantaranya berfungsi sebagai hunian penduduk, 20 pulau merupakan pulau
wisata dan sisanya merupakan pulau tidak berpenghuni yang dikelola perorangan
atau badan usaha. (Statistik. 2011)
Terdapat 3 (tiga) ekosistem utama pembentuk sistem ekologis kawasan
TNKpS, yaitu : hutan pantai, hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang.
Secara ekologis ketiga ekosistem utama tersebut merupakan penyangga alami bagi
daratan pulau yang memberikan sumbangan manfaat bagi manusia baik secara
langsung maupun tidak langsung.
(BTNKpS. 2012)
Kawasan TNKpS termasuk wilayah perairan Laut Jawa di bagian utara Teluk
Jakarta. Taman Nasional Kepilauan Seibu termasuk dalam Paparan Sunda, maka
perairan laut di kawasan ini merupakan perairan laut dangkal dengan pulau-pulau
karang dan paparan karang serta terumbu karang (reef flat dan coral reef). Taman
Nasional ini mempunyai sumber daya alam yang khas yaitu keindahan alam laut
dengan ekosistem karang yang unik seperti terumbu karang, ikan hias dan ikan
konsumsi, Echinodermata, Crustacea, Molusca, Penyu, tumbuhan laut dan darat,
mangrove, padang lamun, dan lain-lain.
Pemilihan Kepulauan Seribu, sebagai objek Kuliah Kerja Lapang didasarkan
atas keanekaragamanan ekosistem serta keanekaragaman spesies yang dimiliki
pulau tersebut.
Pulau Pramuka sebagai pusat pemerintahan merupakan pulau pemukiman
dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, dan juga daerah wisata yang
banyak dikunjungi wisatawan sehingga aktivitas dari penduduk setempat maupun
wisatawan dapat memberikan dapat memberikan dampak terhadap ekosistem
pesisir khususnya ekosistem padang lamun yang hidupnya di perairan laut dangkal
dekat dengan daratan di mana tempat manusia beraktivitas. Berkembangnya
kegiatan manusia di wilayah pesisir khususnya di perariran Pulau Pramuka seperti
kegiatan pariwisata, pemukiman dan aktivitas lainnya memungkinkan adanya
pengaruh terhadap ekosistem padang lamun, sehingga di duga mengalami
perubahan fisik , kelimpahan maupun sebarannya (Fajarwati,2015)
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mempraktekan dan menerapkan ilmu yang sudah dipelajari di
Tujuan dilaksanakannya Kuliah Kerja Lapang (KKL) ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui keberadaan jenis jenis lamun yang ada di Perairan Pulau
Pramuka
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lamun
di Perairan Pulau Pramuka.
Manfaat dilaksanakannya Kuliah Kerja Lapang (KKL) adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat melakukan identifikasi jenis – jenis Lamun yang ada di
Perairan Pulau Pramuka.
2. Memberikan informasi kepada pengelola Taman Nasional Pulau Pramuka
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi Lamun di Perairan Pulau
Pramuka .

2
II. KEADAAN UMUM TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

A. Letak Wilayah
Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah salah satu Kawasan Pelestarian
Alam yang terletak di Kepulauan Seribu, sebuah gugusan pulau – pulau kecil di
Laut Jawa di sisi utara Jakarta. Secara geografis letak Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu pada posisi antara 106º19’30’’- 106º44’50’’ Bujur Timur dan
5º10’00’’- 5º57’00’’ Lintang Selatan. Total luas wilayah Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu adalah 4.745,62 km2 . (BTNKpS. 2012)
Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dibagi kedalam 2
Kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan
Seribu Selatan. Adapun jumlah Kelurahan di Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu ada 6 Kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan
, Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari, dan
Kelurahan Pulau Untung Jawa.
Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki perbatasan
sebelah utara dengan Laut Jawa / Selat Sunda, sebelah timur dengan Laut Jawa,
sebelah selatan dengan Kota Administrasi Jakarta Utara, dan sebelah barat dengan
Laut Jawa / Selat Sunda.
Kawasan tersebut tersusun oleh ekosistem 78 pulau sangat kecil, 86 gosong
pulau, hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektar (reef flat
1.994 ha, Laguna 119 ha, Selat 18 ha dan teluk 5 ha). Sebanyak 78 pulau kecil
tersebut, 6 pulau diantaranya berfungsi sebagai hunian penduduk, 20 pulau
merupakan pulau wisata dan sisanya merupakan pulau tidak berpenghuni yang
dikelola perorangan atau badan usaha. (BPS Kabupaten Kep. Seribu. 2011).
Terdapat 3 (tiga) ekosistem utama pembentuk sistem ekologis kawasan TNKpS,
yaitu : hutan pantai, hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Secara
ekologis ketiga ekosistem utama tersebut merupakan penyangga alami bagi daratan
pulau yang memberikan sumbangan manfaat bagi manusia baik secara langsung
maupun tidak langsung. (BTNKpS. 2012)

3
23
B. Topografi
Daratan gugus pulau-pulau di kawasan TNKpS bertopografi landai (datar)
dengan ketinggian rata-rata sejajajr dengan permukaan laut sampai 2 m di atas
permuakaan laut. Lahan tertutup oleh trumbu karang yang sedang tumbuh maupun
yang sudah mati (terumbu karang tipe fringing reef), hamparan lamun dan tegakkan
mangrove bermedia tumbuh sangat miskin hara/lumpur, dan kedalaman laut
dangkal sekitar 20–40 m. Luas daratan dapat berubah oleh pasang surut, dengan
ketinggian pasang antara 1 – 1,5 m. Kondisi banjir sangat jarang terjadi, tanah
bersifat anaerobik, kedalaman/ketebalan tanah berkisar antara 0-4 m. (BTNKpS.
2012)

C. Geologis
Morfologi Kepulauan Seribu dengan demikian merupakan dataran rendah
pantai, dengan perairan laut ditumbuhi karang yang membentuk atol maupun
karang penghalang. Atol dijumpai hampir di seluruh gugusan pulau, kecuali Pulau
Pari, sedangkan fringing reef dijumpai antara lain di Pulau Pari, Pulau Kotok dan
Pulau Tikus.
Air tanah di Kepulauan Seribu dapat berupa air tanah tidak tertekan yang
dijumpai sebagai air sumur yang digali dengan kedalaman 0,5 – 4 meter pada
beberapa pulau berpenghuni. Air tanah tertekan juga dijumpai di beberapa pulau,
seperti Pulau Pari, Pulau Untung Jawa dan Pulau Kelapa (Dinas Pertambangan DKI
Jakarta). Keberadaan air tanah di Kepulauan Seribu terkait dengan penyebaran
endapan sungai purba yang menjadi dasar tumbuhnya karang.
Pada umumnya terdiri dari batu-batuan kapur, pasir dan sedimen yang berasal
dari daratan Pulau Jawa, sementara pengaruh dari Laut Jawa terdiri dari susunan
bebatuan malihan/metamorfosa dan batuan beku, diatas dasar diendapkam sedimen
epiklastik yang menjadi dasar pertumbuhan gamping terumbu. Hal ini disebabkan
oleh adanya arus laut yang cukup kuat. Penyebaran ketiga batuan menurut
kedalaman laut yaitu Batuan Kapur ( 0-10 m ), Batuan Pasir dan Karang ( 10 – 20
m), Batuan Pasir dan Sedimen ( > 20 m).
Daratan pada kawasan TNKpS terdiri dari tanah aluvial dan berasal dari
sedimentasi karang-karang. Selain itu terdapat empat karakteristik khusus di
wilayah ini (RBWK 2005, 1985), yaitu pulau – pulau dengan pantai karang yang

4
luas, pulau – pulau dengan pasir putih yang luas, atol serta Fringing reef dengan
pantai karang yang melekuk ke bawah dan bentuk lagoon.

D. Oseanografi
Kedalaman laut kawasan TNKpS berkisar antara 0 – 40 m, kecuali di perairan
sebelah selatan Pulau Opak Kecil, antara Gosong Congkak dengan Gosong Semak
Daun terdapat selat dengan kedalaman mencapai 50 – 70 m. Tinggi gelombang di
Kepulauan Seribu pada musim Barat adalah sebesar 0,5-1,5 meter, sedangkan pada
musim Timur adalah sebesar 0,5-1,0 m (Dinas Hidrologi & Oseanografi TNI-AL.
1986). Tinggi gelombang sangat bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya
disebabkan oleh variasi kecepatan angin dan adanya penjalaran gelombang dan
perairan sekitarnya, sesuai dengan letak gugusan Kepulauan Seribu yang
berbatasan dengan perairan terbuka.
Gelombang didominasi oleh arah Timur-Tenggara yang dipengaruhi oleh
refraksi pada saat memasuki daerah tubir. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh
Seawatch Indonesia pada bulan Nopember 1998 - Agustus 1999 di Pulau Kelapa
mencatat tinggi gelombang pada kisaran 0,05-1,03 meter dengan periode
gelombang berkisar antara 2,13-5,52 detik.
Pengukuran pada tahun 1999 (Jurusan Teknik Geodesi-ITB) mencatat
kecepatan arus di Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Karya pada kondisi
pasang purnama (spring tide) sebesar 5 – 48 cm/dt dengan arah bervariasi antara 3
- 348°. Di lokasi yang sama pada kondisi pasang perbani (neep tide) kecepatan arus
tercatat sebesar 4 – 30 cm/dt dengan arah bervariasi antara 16 - 350°. Hasil
pengamatan yang dilakukan oleh Seawatch – BPPT di P. Kelapa pada bulan
Nopember dan Desember 1998 mencatat kecepatan arus pada kisaran 0,6 cm/dt
hingga 77,3 cm/dt dengan rata-rata kecepatan sebesar 23,6 cm/dt dengan dominasi
arah arus ke arah Timur – Timur Laut.

E. Iklim
Daratan gugus pulau-pulau di kawasan TNKpS mempunyai tipe iklim A yaitu
daerah iklim tropika basah di mana dipengaruhi oleh 2 (dua) musim yaitu musim
barat (Januari - Februari) dan musim timur (Juli - Agustus). Kondisi iklim tahunan
menunjukkan bahwa curah hujan di Jakarta dan Kepulauan Seribu setiap bulannya

5
berkisar antara 124,78 mm (bulan Agustus) hingga 354,38 mm (bulan Januari)
dengan rata-rata setiap tahunnya adalah 3.810,27 mm (BMG Jakarta, periode 1992
s/d 1996).
Suhu udara rata-rata antara 26,5oC – 32,5oC, suhu udara maksimum antara
29,5oC – 32,5oC dan suhu udara minimum 23,0oC – 23,8oC. Kelembaban nisbi
antara 75% - 85%, tekanan udara rata-rata antara 1009,0 mb – 1011,0 mb. Suhu air
permukaan di kawasan TNKpS pada musim barat berkisar antara 28,5oC – 30oC.
Pada musim angin timur suhu permukaan anrata 28,5oC – 31oC. Salinitas
permukaan berkisar antara 31o/oo – 34o/oo baik pada musim barat maupun musim
timur.(BTNKpS. 2012)

F. Flora dan Fauna


Kawasan TNKpS termasuk wilayah perairan Laut Jawa di bagian utara Teluk
Jakarta. Karena termasuk dalam Paparan Sunda, maka perairan laut di kawasan ini
merupakan perairan laut dangkal dengan pulau-pulau karang dan paparan karang
serta terumbu karang (reef flat dan coral reef). Taman Nasional ini mempunyai
sumber daya alam yang khas yaitu keindahan alam laut dengan ekosistem karang
yang unik seperti terumbu karang, ikan hias dan ikan konsumsi, Echinodermata,
Crustacea, Molusca, Penyu, tumbuhan laut dan darat, Mangrove, Padang Lamun,
dan lain-lain.
Ekosistem terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu pada umumnya
berbentuk fringing reef (karang tepian) dengan kedalaman 1 - 20 meter. Bentukan
terumbu karang seperti ini secara tidak langsung dapat mengurangi deburan ombak
yang dapat mengikis bagian pantai pulau-pulau di Kepulauan Seribu yang termasuk
dalam kategori pulau-pulau sangat kecil.
Jumlah jenis karang keras (hard coral) yang ditemukan di perairan TNKpS
adalah sebanyak 62 marga dengan kelimpahan 46.015 individu/ha (pada tahun
2005) dan 61 marga dengan kelimpahan 35.878 individu/ha. Jenis-jenis karang
keras yang dapat ditemukan seperti karang batu (massive coral) misalnya
Montastrea dan Labophyllia, karang meja (table coral), karang kipas (sea fan),
karang daun (leaf coral), karang jamur (mushroom coral), dan jenis karang lunak
(soft coral) sebanyak 29 marga dengan kelimpahan 62.985 individu/ha.

6
Beberapa tipe koloni karang yang ada antara lain Acropora tabulate, Acropora
branching, Acropora digitate, Acropora submassive, branching, massive,
encrusting, submassive, foliose dan soft coral. Beberapa jenis karang yang telah
menjadi komoditi komersial antara lain Acropora sp., Porites sp., Favia sp.,
Gorgonian sp., dan Akar Bahar atau Black Coral (Antiphates sp.) Merupakan salah
satu jenis biota laut yang masih terlindungi.
Keanekaragaman dan kelimpahan organisme ikan karang di perairan kawasan
TNKpS antara lain kepe-kepe (famili Chaetodontide), ikan serinding (famili
Apogonidae), ikan betok (famili Pomacentride) dan ikan ekor merah (famili
Caesiodidae). Sedangkan jenis ikan untuk konsumsi antara lain adalah baronang
(Siganus sp.), tenggiri (Scomberomorus sp.), ekor kuning (Caesio spp.), kerapu
(Famili Serranidae) dan tongkol (Eutynus sp.).
Moluska (binatang lunak) yang dijumpai terdiri dari Gastropoda, Pelecypoda,
termasuk jenis yang dilindungi di antaranya adalah kima raksasa (Tridacna gigas)
dan kima sisik (Tridacna squamosa). Ada sekitar 295 jenis Gastropoda, 97 jenis
Pelecypoda, 20 jenis Bivalvia seperti kima sisik (Tridacna squamosa), kima pasir
(Hippopus hippopus) dan kima raksasa (T. gigas) serta beberapa jenis Chepalopoda
seperti cumi-cumi (Loligo vulgaris), sotong (Sepia sp.) dan gurita (Octopus sp.).
Jenis reptil antara lain adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu
hijau (Chelonia mydas), ular sanca (Phyton sp.) dan biawak (Varanus sp.). Mamalia
yang dijumpai adalah kucing hutan (Felis bengalis) dan lumba-lumba hidung botol
(Tursiops truncatus). Echinodermata yang banyak dijumpai di antaranya adalah
bintang laut, lili laut, teripang dan bulu babi yang juga merupakan indikator
kerusakan terumbu karang. Crustacea yang banyak dikonsumsi antara lain kepiting,
rajungan (Portumus sp.) dan udang karang (Spiny lobster). Burung-burung air juga
banyak ditemukan di Kepulauan Seribu, antara lain jenis camar (Sterna sp.) dan
cikalang (Fregata spp.).
Kawasan TNKpS merupakan habitat bagi penyu sisik (Eretmochelys
imbricata) yang dilindungi, dan keberadaannya cenderung semakin langka. Upaya
pelestarian satwa ini, selain dilakukan perlindungan terhadap tempat-tempat
penelurannya seperti Pulau Peteluran Timur, Penjaliran Barat, Penjaliran Timur dan
Pulau Belanda, telah dilakukan juga pengembangan pusat penetasan, pembesaran

7
dan pelepasliaran penyu sisik di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa. Kegiatan di Pulau
Pramuka dan Pulau Sepa tersebut dilakukan dengan cara mengambil telur dari
pulau-pulau tempat bertelur untuk ditetaskan secara semi alami. Anak penyu (tukik)
hasil penetasan tersebut kemudian sebagian dilepaskan kembali ke alam, dan
sisanya dipelihara untuk dilepaskan secara bertahap.
Jenis-jenis vegetasi yang dapat dijumpai di Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu adalah pandan laut (Pandanus tectorius), butun (Barringtonia asiatica),
cemara laut (Casuarina equisetifolia), mengkudu (Morinda citrifolia), sentigi
(Pemphis acidula), ketapang (Terminalia catappa) dan seruni (Wedelia biflora).
Ekosistem mangrove asli dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu hanya
terdapat di 11 pulau, yaitu Pulau Penjaliran Barat, Penjaliran Timur, Jagung, Sebaru
Besar, Puteri Barat, Pemagaran, Melintang, Saktu, Harapan, Kelapa, Tongkeng.
Terdapat 15 jenis mangrove sejati yaitu, Avicennia marina (Forssk.) Vierh,
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam., Bruguiera cylindrica (L.) Blume, Ceriops tagal
C.B. Rob, Rhizophora stylosa Griff., Rhizophora apiculata Blume., Sonneratia
alba J. Sm., Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Lumnitzera racemosa Willd.,
Xylocarpus granatum Koen., Xylocarpus molluccensis (Lam.) M. Roem.,
Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb., Aegiceras corniculatum L. Blanco, Pemphis
acidulata J. R. Forst. & G. Forst., Excoecaria agallocha L. Jenis mangrove yang
paling dominan dalam kawasan TNKpS adalah jenis Rhizophora stylosa Griff.
Tumbuhan laut pada kawasan TNKpS ditumbuhi 7 jenis lamun dan 18 jenis
alga (rumput laut). Jenis lamun yang dapat teridentifikasi yaitu Thalassia
hemprichii (Ehrenb.) Asch., Cymodocea rotundata Ehrenb. & Hempr. ex Asch.,
Cymodocea serrulata (R.Br.) Asch. & Magnus, Enhalus acoroides (L.F.) Royle,
Halophila ovalis (R. Brown) J.D. Hooker, Syringodium isoetifolium (Ascherson)
Dandy, Halodule uninervis (Forsk.) Asch. Sedangkan jenis alga (rumput laut) dapat
dipisahkan ke dalam tiga kelompok, yaitu 9 jenis alga hijau (Chlorophyta), 3 jenis
alga coklat (Phaeophyta) dan 6 jenis alga merah (Rhodophyta). (BTNKpS. 2012)

G. Zonasi
Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Depatemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang

8
Zonasi pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu, membagi zonasi
pengelolaan TNKpS sebagai berikut :
1. Zona Inti
Zona inti TNKpS (4.449 Ha) adalah bagian kawasan taman nasional yang
mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh
aktifitas manusia.
a. Zona Inti I (1.389 Ha)
Meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat dan Karang Rengat pada
posisi geografis 5o26’36” – 5o29’00” LS dan 106o32’00” – 106o28’00” BT,
yang merupakan perlindungan Penyu Sisik (Eremochelys imbricata) dan
ekosistem terumbu karang.
b. Zona Inti II (2.490 Ha)
Meliputi perairan sekitar Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur dan
perairan sekitar Pulau Peteloran Barat, Buton dan Gosong Penjaliran
pada posisi 5o26’36” – 5o29’00” LS dan 106o32’00” BT yang merupakan
perlindungan Penyu Sisik (Eremochelys imbricata), ekosistem terumbu
karang dan ekosistem hutan mangrove.
Pengelolaan zona inti hanya dapat dilakukan kegiatan yaitu pendidikan,
penelitian dan penunjang budaya; monitoring sumber daya hayati dan
ekosistemnya; membangaun sarana dan prasarana untuk monitoring yang
tidak mengubah bentang alam.

2. Zona Perlindungan
Zona Perlindungan TNKpS (26.284,50 Ha) adalah bagian kawasan Taman
Nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti Taman Nasional. Zona
perlindungan meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Pulau Dua Timur,
Pulau Jagung, Pulau Gosong Sebaru Besar, Pulau Rengit dan Pulau Karang
Mayang, pada posisi geografis 5o24’00” LS dan 106o25’00” – 106o40’00” BT
dan daratan Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur seluas 39,5 Ha.
3. Zona Pemanfaatan
Zona pemanfaatan TNKpS (59.634,50 Ha) adalah kawasan Taman Nasional
yang dijadikan pusat rerkreasi dan kunjungan wisata. Zona pemanfaatan wisata

9
meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Pulau Sebaru Besar, Pulau Lipan,
Pulau Kapas, Pulau Sebaru Kecil, Pulau Bunder, Pulau Karang Baka, Pulau
Hantu Timur, Pulau Hantu Barat, Pulau Gosong Laga, Pulau Yu Barat, Pulau
Yu Timur, Pulau Saktu, Pulau Kelor Timur, Pulau Kelor Barat, Pulau Jukung,
Pulau Semut Kecil, Pulau Cina, Pulau Semu Besar, Pulau Sepa Timur, Pulau
Sepa Barat, Pulau Gosong Sepa, Pulau Melinjo, Pulau Melintang Besar, Pulau
Melintang Kecil, Pulau Perak, Pulau Kayu Angin Melintang, Pulau Kayu
Angin Genteng, Pulau Panjang, Pulau Kayu Angin Putri, Pulau Tongkeng,
Pulau Petondan Timur, Pulau Petondan Barat, Pulau Putri Kecil, Pulau Putri
Barat, Pulau Putri Gundul, Pulau Macan Kecil, Pulau Macan Besar, Pulau
Genteng Besar, Pulau Genteng Kecil, Pulau Bira Besar, Pulau Bira Kecil, Pulau
Kuburan Cina, Pulau Bulat, Pulau Karang Pilang, Pulau Karang Ketamba,
Pulau Gosong Munggu, Pualu Kotok Besar dan Pulau Kotok Kecil, pada posisi
geografis 5o38’00” – 5o45’00” LS dan 106o25’00” – 106o3’00” BT.
4. Zona Pemukiman
Zona pemukiman TNKpS (17.121 Ha) adalah bagian kawasan Taman Nasional
yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk
masyarakat. Zona pemukiman meliputi perairan sekitar Pulau Pemagaran,
Pulau Panjang Kecil, Pulau Panjang, Pulau Rakit Tiang, Pulau Kelapa, Pulau
Harapan, Pulau Kaliage Besar, Pulau Kaliage Kecil, Pulau Semut, Pulau Opak
Kecil, Pulau Opak Besar, Pulau Karang Bongkok, Pulau Karang Congkak,
Pulau Karang Pandan, Pulau Semak Daun, Pulau Layar, Pulau Sempit, Pulau
Panggang, Pulau Pramuka, pada posisi geografis 5o38’00” – 5o45’00” LS dan
106o25’00” – 106o40’00” BT.

H. Kelembagaan Taman Nasional Kepulauan Seribu


Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE), dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam,
mengamanatkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan TNKpS.
TNKpS mempunyai fungsi yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

10
Kawasan TNKpS dikelola oleh Balai TNKpS, Dirjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan. Organisasi pengelola TNKpS diatur
melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1
Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional. Struktur Organisasi Balai TNKpS dapat terlihat pada gambar di bawah
ini:

Kepala Balai

Kepala Sub Bagian Tata


Usaha

Kepala Kepala Kepala


SPTNW I SPTNW II SPTNW III

Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok


Pejabat Pejabat Pejabat Pejabat
Fungsional Fungsional Fungsional Fungsional

Gambar 1 Struktur Organisasi Balai TNKpS

Kepala Balai dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha berkantor di Kantor Balai
TNKpS, Jl. Salemba Raya No. 9 Lantai III Jakarta Pusat.Kepala Seksi Pengelolaan
Taman Nasional berkantor di masing-masing wolayah pengelolaannya. Kepala
SPTN Wilayah I Pulau Kelapa berkantor di Pulau Kelapa Dua Kelurahan Pulau
Kelapa, Kepala SPTN Wilayah II Pulau Harapan berkantor di Pulau Harapan
Kelurahan Pulau Harapan dan Kepala SPTN Wilayah III Pulau Pramuka berkantor
di Pulau Pramuka Kelurahan Pulau Panggang. (BTNKpS. 2012)
I. Macam-Macam Pelestarian di TNKpS
Pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian dari
tujuan pokok dan fungsi dari keberadaan TNKpS sebagai kawasan pelestarian alam,
dalam hal ini Balai Tmana Nasional Kepulauan Seribu melakukan upaya
pengawasan secara intensif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pelestarian
spesies tersebut. Wujud nyata dari upaya pelestarian yang dilakukan oleh Balai
TNKpS melalui :
1. Rehabilitasi Mangrove

11
Ekosistem Mangrove merupakan salah satu ekosistem penting yang
mendukung keanekaragaman hayati di dalam kawasan TNKpS. Ekosistem ini
tidak memiliki hamparan secara dominan dan hanya terdapat di beberapa
perairan di pulau yang secara historis telah ada sebelumnya. Kondisi ini
disebabkan karena media tumbuh mangrove di dalam kawasan TNKpS miskin
hara, yang hanya berupa substrat pasir putih dan pecahan-pecahan karang.
Ekosistem mangrove asli di dalam kawasan TNKpS hanya terdapat di 11
pulau yaitu, perairan Pulau Penjaliran Barat, Penjaliran Timur, Peteloran Barat,
Jagung, Nyamplung, Rengit, Sebaru Besar, Seberu Kecil, Yu Timur, Kelor
Timur. Dari kesebelas pulau tersebut terdapat 7 jenis yaitu, Rhizophora stylosa,
Rhizophora mucronata, Sonnetaria alba, Bruguiera exarista, Avicena marina,
Exoecaria agallocha dan Sonnetaria spp.
2. Rehabilitasi Lamun
Lamun di TNKpS tumbuh dalam kelompok rumpun yang kecil-kecil dan
tersebar tidak merata, namun kadang juga membentuk suatu padang yang luas
dengan jenis homogen ataupun heterogen. Hal ini terkait dengan kondisi fisik
substrat dasar perairan Kepulauan Seribu yang tidak stabil karena pengaruh
gelombang. Teridentifikasi terdapat 6 jenis yaitu, Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, Holodule uninervis, Cymodocea rotundata, Halophila
ovalis, Syringodium isoetifolium.
Pada tahun 2006, telah dilakukan pananaman lamun sebagai bentuk
kegiatan rehabilitasi habitat seluas 7.500 m2 di perairan Pulau Pramuka, Pulau
Harapan dan Pulau Kelapa.
3. Pelestarian Penyu Sisik
Jenis reptil yang menjadi flag spesies di TNKpS adalah jenis Penyu Sisik
(Eretmochelys imbricata) dan Penyu Hijau (Chelonia mydas). 5 pulau utama
habitat peneluran Penyu Sisik di kawasan TNKpS yaitu, Pulau Peteloran Barat,
Pulau Peteloran Timur, Pulau Penjaliran Barat, Pulau Penjaliran Timur dan
Gosong Pulau Sepa.
Upaya pelestarian keberadaan Penyu Sisik, Balai TNKpS telah melakukan
upaya pelestarian dengan menggunakan 2 metode yang berbeda. Pelestarian
melalui penetasan secara alami dilaksanakan di Pulau Penjaliran Timur dan

12
Pulau Peteloran Timur dan secara semi alami di Pulau Pramuka dan Pulau
Kelapa Dua. Kegiatan pelestarian semi alami di Pulau Pramuka telah dilakukan
sejak tahun 1997 sampai dengan sekarang, serta di Pulau Kelapa Dua
dilaksanakan mulai tahun 2010.
4. Konservasi terumbu karang
Kegiatan konservasi terumbu karang ini berupa penyelamatan karang yang
telah rusak dengan beberapa program perencanaan berupa rehabilitasi karang
dengan metode transplantasi karang. Dalam kegiatannya program rehabilitasi
karang ini bekerjasama dengan masyarakat lokal.
Ekosistem terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu pada umumnya
berbentuk fringing reef (karang tepian). Teridentifikasi sekurangnya terdapat
55 genus karang dari 16 famili karang keras, sedang jenis karang lunak adalah
sebanyak 29 genus. Jenis karang yang dominan adalah karang keras, antara lain
Acroporidae, disusul oleh Fungiidae dan Faviidae dari karang lunak, antara lain
Lobophytum sp, Sarcophyton sp, Trochellophorum sp, Xenia sp, Sinularia sp
dan Alcyonaria sp.

13
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lamun
Lamun adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang
terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai
dangkal. Lamun mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai dapat
menyerap dengan efektif untuk berkembang biak (Romimohtarto dan Juwana,
1999).
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri
untuk hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun dan
akar. Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar
serta berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke
atas, berdaun dan berbunga serta tumbuh pula akar. Dengan rhizoma dan akar inilah
tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut. Sebagian
besar lamun berumah dua artinya dalam satu tumbuhan hanya ada jantan dan betina
saja. Sistem pembiakan bersifat khas karena mampu melakukan penyerbukan di
dalam air serta buahnya terendam dalam air (Nontji, 2005).
Secara morfologis, tumbuhan lamun mempunyai bentuk yang hampir sama, terdiri
atas ; akar, batang, dan daun. Daun pada lamun umumnya memanjang, kecuali jenis
Halophila memiliki bentuk daun lonjong
Perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antar jenis lamun dapat
digunakan dalam kajian taksonomi lamun. Akar pada beberapa jenis seperti
Halophila dan Halodule memiliki karateristik tipis (fragile) seperti rambut,
sedangkan jenis Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel
epidermal. Akar pada lamun memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh endodermis.
Stele mengandung phloem atau jaringan transport nutrien, dan xylem atau jaringan
yang menyalurkan air. (Tuwo, 2011).

Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung
dari susunan di dalam stele masing-masing lamunnya. Rhizoma
seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan
memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif (merupakan hal yang
penting untuk penyebaran dan pembibitan lamun). Volume rhizoma merupakan
60-80% dari biomasa lamun
Daun lamun berkembang dari meristem basal yang terletak pada rhizoma dan
percabangannya. Secara morfologi daun pada lamun memiliki bentuk yang hampir
sama secara umum, dimana jenis lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk
anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Daun lamun mudah
dikenali dari bentuk daun, ujung daun dan ada tidaknya ligula (lidah daun). Daun
lamun memiliki dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Sedangkan
secara anatomi, daun lamun memiliki ciri khas dengan tidak memiliki stomata dan
memiliki kutikel yang tipis (Tuwo, 2011).

B Jenis-jenis lamun di Perairan Pantai Indonesia

Beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia adalah

sebagai berikut :Enhalus acoroides, Halophila decipiens, Halophila ovalis,

Halophila minor, Halophila spinulosa, Thalassia hempricii, Cymodocea rotundata,

Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Syringodium

isoetifolium, Thalassodendron ciliatum

C . Manfaat lamun

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting, baik
secara fisik maupun biologis. Selain sebagai stabilisator sedimen dan penahan
endapan, padang lamun berperan sebgai produsen utama dalam jaring-jaring
makanan. Padang lamun juga menjadi habitat, naungan, berkembang biak, dan
mencari makan sebagian biota laut, baik vertebrata maupun avertebrata (Halim,
2014).

Menurut Wood et al. (1969) menjelaskan manfaat dari tumbuhan lamun


yaitu mempunyai daya untuk memperangkap sedimen, sebagai sistem tumbuhan
merupakan sumber produktivitas primer, mempunyai nilai produksi yang cukup
tinggi, sumber makanan langsung bagi biota laut, merupakan habitat bagi biota
hewan air, sebagai subtrat bagi organisme fitoplankton yang menempel,

15
mempunyai kemampuan yang baik untuk memindahkan unsur-unsur hara terlarut
di perairan yang ada di permukaan sedimen, serta akar-akar dan rhizoma yang
mampu mengikat sedimen sehingga terhindar dari bahaya erosi.

Potensi lain yang dimiliki tumbuhan lamun yaitu sebagai media untuk
filtrasi atau menjernihkan perairan laut dangkal, sebagai tempat tinggal biota-biota
laut termasuk biota laut yang bernilai ekonomis, seperti ikan baronang, berbagai
macam kerang, rajungan atau kepiting, teripang dan lain sebagainya. Keberadaan
biota tersebut bagi manusia sebagai sumber bahan makanan. Lamun juga sebagai
tempat pemeliharaan anakan berbagai jenis biota laut, sebagai tempat mencari
makanan bagi berbagai jenis biota laut, terutama duyung (Dugong dugon) dan
penyu, dan mengurangi besarnya gelombang air di pantai, sebagai penangkap
sedimen, serta berperan dalam mengurangi dampak pemanasan global (Kennedy
and Bjork, 2009; Rahmawati et all 2014).

16
IV. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat


Taman Nasional Kepulauan Seribu, 28-29 April 2018.

B. Bahan dan Alat


Alat dan bahan yang digunakan adalah : buku tulis, pulpen, kamera, dan
kompas, plastik, alkohol 96%.

C. Metode
1. Metode pengamatan langsung
Pengamatan langsung dilakukan dengan berkeliling perairan sekitar pulau
dan melakukan pengamatan (untuk mengamati Jenis – jenis Lamun
1. Metode pengamatan tidak langsung
Pengamatan tidak langsung dilakukan dengan cara wawancara dengan
petugas BTNKpS dan mengambil data sekunder.

D. Cara Kerja
1. Disiapkan alat – alat yang dibutuhkan untuk mengambil sampel.
2. Diambil sampel dengan menggunakan jaring.
3. Dimasukkan sampel ke dalam plastik yang telah diisi larutan alkohol 96%.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengukuran parameter fisika air


Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti
kondisi fisiologis dan metabolisme, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal
seperti zat-zat hara (nutrien) dan tingkat kesuburan perairan (Dahuri et al.,2003;
Halim, 2014). Parameter fisika dan kimia suatu perairan memegang peranan
penting bagi kehidupan lamun,seperti keadaan parameter fisika dan kimia yang
optimum sangat dibutuhkan oleh lamun untuk menunjang kehidupannya (Hemming
and Duarte, 2000).
Hasil pengkuran parameter fisika di Pulau Pramuka, diperoleh seperti yang
dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini:

Tabel 1. Parameter Fisika Air di perairan Pulau Pramuka

No. Parameter Titik Pengamatan


Titik 1 Titik 2
1. Suhu (0C) 30,4 32,7
2. Kedalaman Perairan (m) 1 0,7
3. Substrat berpasir berpasir
4. Salinitas (0/00) 32 30

Suhu permukaan perairan Pulau Pramuka pada titik pertama menunjukkan nilai
30,40C dan pada titik kedua sebesar 32,70C. Berdasarkan data yang diperoleh,
kisaran suhu perairan berada pada kisaran yang optimum bagi lamun untuk tumbuh
maupun berfotosintesis. Menurut Sakaruddin (2011) suhu merupakan faktor
penting bagi kehidupan organisme di perairan khususnya lautan, karena
pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari
organisme tersebut. Lamun dapat tumbuh pada kisaran 5-35 ⁰C, dan tumbuh dengan
baik pada kisaran suhu 25-30⁰C (Marsh et al., 1986) sedangkan pada suhu di atas
45 ⁰C lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie,
2008).

Kedalaman pada lokasi identifikasi lamun pada kedua lokasi berkisar antara 0,7
m - 1m. Kedalaman perairan yang terukur pada setiap lokasi merupakan kedalaman
ideal bagi lamun karena proses fotosintesis dapat berlansung. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Sakaruddin (2011) semakin dalam suatu perairan maka intensitas
cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini
akan menghambat laju fotosintesis lamun di dalam air. Lamun hidup pada daerah
perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 m dengan
penetrasi cahaya yang masih baik (Humminga and Duarte, 2000).

Hasil pengamatan di lokasi identifikasi lamun, pada kedua stasiun memiliki substrat
berpasir. Lamun termasuk jenis tumbuhan di laut yang mampu tumbuh pada hampir
semua tipe substrat, mulai dari lumpur hingga substrat yang keras seperti batuan
maupun karang (Dahuri et al., 1996). Pertumbuhan lamun pada substrat berpasir
lebih cepat karena di sebabkan sistem pengakaran dan mudah pertumbuhannya.
Pada substrat berpasir sistem pengakaranya hanya membutuhkan sedikit energi
untuk menancapkan akar ke dalam substrat, tidak sebesar energi yang di keluarkan
lamun pada tipe substrat pasir berbatu (Zakaria, 2015).

Nilai salinitas pada titik pengamatan lamun memiliki kisaran antara 30- 32‰.
Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui bahwa salinitas di Pulau Pramuka
masih berada di batas normal dan memungkinkan bagi lamun untuk tumbuh dengan
baik. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Hemminga and Duarte (2000) beberapa
lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10-45‰.
B. Jenis-Jenis Lamun yang ditemukan

Hasil pengamatan jenis lamun yang ditemukan di Pulau Pramuka seperti


terlihat pada tabel dibawah

Tabel 2. Jenis lamun di Perairan Pulau Pramuka


Titik
Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii Halophia ovalis
Pengamatan

I ditemukan ditemukan Tidak di ditemukan

II ditemukan ditemukan ditemukan

Kemunculan jenis Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii pada kedua


titik pengamatan menunjukkan jenis ini dapat menyesuaikan diri dengan
karakteristik habitat perairan Pulau Pramuka seperti yang dinyatakan oleh den
Hartog (1977) dalam Kiswara (1985) bahwa jenis lamun Magnozosterid (lamun
dengan bentuk daun yang panjang dan menyerupai pita dengan daun yang tidak
terlalu lebar) dapat dijumpai pada berbagai habitat, jenis lamun ini sering ditemukan
di daerah dangkal hingga daerah yang terekspos ketika air laut surut. Cymodoceae
rotundata merupakan jenis yang masuk dalam magnozosterid. Menurut Brouns dan
Heijs (1986) jenis Cymodocea rotundata menyukai perairan yang terpapar sinar
matahari, jenis lamun tersebut merupakan lamun yang kosmopolit, yaitu dapat
tumbuh hampir di semua kategori habitat.
Sedangkan jenis Halophila ovalis, akan sulit untuk tumbuh dan berkembang
pada kondisi dasar perairan yang terekspos. Pendapat ini diperkuat oleh Kiswara
(1997) dapat tumbuh subur pada perairan yang selalu tergenang oleh air, dan sulit
tumbuh di daerah dangkal.

A. Thalassia hemprichii
Spesies lamun yang banyak ditemukan pada perairan Pulau Pramuka
Thalassia hemprichii. Menurut Hutomo (1977) Thalassia hemprichii memilliki
ciri-ciri morfologi khusus memiliki batang yang berbuku-buku, memiliki
rhizome yang tebal, helaian daun berbentuk melengkung dan memiliki panjang
daun antara 10-40 cm. Thalassia hemprichii biasanya dapat ditemukan pada
perairan dengan kedalaman 20-110 cm (Romimohtarto dan Juwana, 2001)
Gambar 3.

Klasifikasi Thalassia hemprichii menurut Den Hartog (1970) adalah


sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Divisi : Anthopyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Helobiae
Famili : Holothuridae
Genus : Thallassioa
Spesies : Thalassia hempricii

a. Daun

b. Pelepah daun

c. Batang
d. Akar

Gambar 3. Thalassia hemprincii (Den Hartog 1970)

B. Cymodecea rotundata
Cymodecea rotundata merupakan spesies lamun kedua yang paling
banyak ditemukan. Cymodecea rotundata memiliki morfologi seperti daun
berbentuk selempang yang melengkung dengan bagian pangkal
menyempit dan arah ujung daun agak melebar, tulang daun berjumlah 9-
10, panjang daun 5-16 cm, dan lebar daun 2-4 mm (Hutomo, 1977).
Morfologi Cymodocea rotundata dapat dilihat pada Gambar 4.
Klasifikasi Cymodocea rotundata menurut Den Hartog (1970) adalah
sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Divisi : Anthopyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Helobiae
Famili : Potamogeronaceae
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata (Den Hartog 1970)

a. Daun

b. Pelepah daun
c. Batang
d. Buku
f. Rhizoma
e. Akar

Gambar 4. Cymodocea rotundata (Den Hartog 1970)

C. Halophila ovalis

Karakteristik morfologi Halophila ovalis menurut Hutomo (1977),


yaitu memiliki daun yang pipih berbentuk bulat telur, panjang daun
mencapai 3,2 cm, lebar daun maksimal 1,3 cm, mempunyai tulang daun
yang berjumlah 10-25 pasang, dan memiliki akar yang tipis seperti
rambut Gambar 5.

Klasifikasi Halophila ovalis menurut Den Hartog (1970) adalah


sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Divisi : Anthopyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrochartitaceae
Genus : Halophila
Spesies : Halophila ovalis (Den Hartog 1970)

.Daun oval
.Batang daun
.Rhizoma

.Akar

Gambar 5 : Halophila ovalis (Den Hartog 1970


VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Komposisi jenis lamun di perairan Pulau Pramuka terdiri dari Cymodocea
rotundata, Thalasia hemprichii, dan Halophila ovalis, . Jenis yang
mendominasi adalah Cymodocea rotundata danThalasia hemprichii

Dari hasil pengukuran parameter pengukuran kualitas air menunjukan


hasil yang masih baik bagi pertumbuhan lamun di Pulau Pramuka.

B. Saran
Perlu dilakukan pengamatan lanjutan untuk mengetahui lebih detail
kondisi, pemanfaatan, kerusakan, dan parameter pendukung ekosistem padang
lamun di perairan Pulau Pramuka sebagai bahan acuan dalam pembentukan
kawasan perlindungan laut di Kepulauan Seribu dan bahan referensi untuk
penelitian mengenai ekosistem padang lamun.
DAFTAR PUSTAKA

Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2008. Inventarisasi padang lamun di


Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Jakarta. 33 hlm.

Dahuri, R., Rais, R. J. Ginting, S. P. dan Sitepu, M. J. 1996. Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita : Jakarta.

Den Hartog, C. 1967. The Structural Aspects in The Ecology of Sea-grass


Communi-ties. Helgolander Wiss. Meeresunters.

Den Hartog, C. 1970. The seagasses of the world.North-olland. Amsterdam. PP.


275.

Fajarwati septi dwi, 2015. Analisis kondisi lamun (Seagrass) di Perairan Pulau
Pramuka kepualauan Seribu. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Geografi FIS
UNJ.

Hemminga, M.A. and C.M. Duarte, 2000. Seagrass Ecology. Published by The
Press Syndicate of the University of Cambridge, United Kingdom.

Hutomo, M. 1985. Telaah Ekologik Komunitas Ikan Pada Padang Lamun


(Seagrass, Anthophyta) di Perairan Teluk Banten. Disertasi. Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kiswara, Wawan dan Malikusworo Hutomo. 1985. Habitat dan Sebaran


Geografik Lamun. Oseana, Volume X, Nomor 1 : 21-30.LIPI.

Kiswara, Wawan dan Winardi. 1997. Sebaran Lamun di Teluk Kutadan Teluk
Gerupuk, Lombok. Dalam: Dinamika komunitas biologis pada ekosistem
lamun di PulauLombok, Indonesia. S. Soemodiharjo, O. H. Arinardi danI.
Aswandy (Eds.). Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta, 1994: 11 – 25.

Nontji, Anugerah. 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nontji, nugerah.


2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai