Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PERJALANAN

SURVEI FAUNA MANGROVE I


DI T.N. UJUNG KULON
9 – 25 JUNI 2008

Nova Mujiono S.Si, Dr. Mulyadi, A. Suyanto M.Sc.


Drs. Dadang R. Subasli, Gema Wahyudewantoro S.Si
D. Citra Murniati S.Si., Sopian Sauri, Wahyu Tri L

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI


Jl. Raya Jakarta-Bogor Km46, Cibinong Science Center
Cibinong 16911
Korespondensi Alamat Email: asujan2002@yahoo.com

PENDAHULUAN
Kawasan hutan mangrove merupakan ciri khas wilayah pesisir (coastal) dengan
ekosistem yang sangat kompleks. Ekosistem mangrove umumnya merupakan sistem
peralihan dimana terjadi pertukaran material dan energi dari wilayah sekitar laut, perairan
tawar dan ekosistem terestrial. Oleh karena itu kawasan mangrove dapat memberi
dukungan terhadap keragaman jenis flora dan fauna laut, perairan tawar dan juga
ekosistem darat. Mangrove merupakan sumberdaya laut yang memiliki fungsi dan peran
sangat penting, baik secara ekologis, sosial maupun ekonomis bagi biota lain dan
mendukung kehidupan masyarakat yang berdiam di wilayah pesisir. Peran dan fungsi
ekologis dari hutan mangrove antara lain sebagai tempat tinggal sementara atau tetap,
mencari makan, bereproduksi, memijah dan membesarkan anak bagi berbagai biota yang

1
berasosiasi dengannya. Hutan mangrove juga berperan sebagai peredam pemanasan
global, gudang plasma nutfah serta pelindung pantai dari hempasan gelombang. Hutan
mangrove merupakan kekayaan yang sangat besar dan unik yang hanya dimiliki oleh
sedikit negara di daerah tropis yang harus dikelola dengan baik agar memberikan manfaat
yang optimal secara lestari. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan berbagai data
dan informasi yang baik dan akurat meliputi berapa besar potensi mangrove, tempat
keberadaannya, kondisi dan manfaat yang dapat diberikan serta pola pemanfaatannya.
Data tersebut dapat diperoleh melalui program pengembangan sumber daya manusia
yang terarah, penelitian yang komprehensif serta pendanaan yang memadai.
I.1. T.N. Ujung Kulon
A. SEJARAH SINGKAT TNUK
Tahun 1921, Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan melalui SK. Pemerintah Hindia
Belanda No. 60 tanggal 16 Nopember 1921.
Tahun 1937, Dengan keputusan Pemerintah Hindia Belanda No 17 tanggal 14 Juni
1937 diubah menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan
Tahun 1958, berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/Um/1958 tanggal 17 April
1958 berubah kembali menjadi kawasan Suaka Alam dengan memasukan kawasan
perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung
Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Peucang, Pulau
Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (pulau Boboko, pulau Pamanggangan)
Tahun 1967, Dengan SK. Menteri Pertanian No. 16/Kpts/Um/3/1967 tanggal 16
Maret 1967, Gn Honje selatan seluas 10.000 ha masuk kedalam kawasan Cagar Alam
Ujung Kulon.
Tahun 1979, Gn Honje utara masuk kawasan Cagar Alam Ujung Kulon melalui SK.
Menteri Pertanian No. 39/Kpts/Um/1979 tanggal 11 Januari 1979, seluas 9.498 ha.
Tahun 1980, Tanggal 15 Maret, melalui pernyataan Menteri Pertanian, Ujung
Kulon mulai dikelola dengan sistem manajemen Taman Nasional.
Tahun 1984, Dibentuklah Taman Nasional Ujung Kulon, melalui SK. Menteri
Kehutanan No. 96/Kpts/II/1984, yang wilayhnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon

2
seluas 39.120 ha, Gunung Honje seluas 19.498 ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas
17.500 ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 ha dan Hutan Wisata Carita seluas 95 ha.
Tahun 1990, Berdasarkan SK. Dirjen PHPA No. 44/Kpts/DJ/1990 tanggal 8 Mei
1990, kawasan Taman Nasional Ujung Kulon mengalami pengurangan dengan
diserahkannya Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 ha kepada BKSDA II Tanjung
Karang, Hutan Wisata Gn. Aseupan Carita seluas 95 ha kepada Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat. Selanjutnya luas kawasan TN. Ujung Kulon tinggal menjadi 120.551 ha
meliputi kawasan daratan 76.214 ha dan kawasan perairan laut seluas 44.337 ha. Luas
kawasan sebesar itu (120.554 ha) kemudian dikukuhkan dengan SK Menteri Kehutanan
No. 284/Kpts-II/1992 yang kawasannya dirinci meliputi wilayah Semenanjung Ujung
Kulon, Pulau Panaitan, Peucang, Handeuleum dan Gunung Honje. Secara geografis
Taman Nasional Ujung Kulon terletak pada kisaran 102º02’32”-105º37’37” BT dan
06º30’43”-06º52’17” LS. Sedangkan secara administratif termasuk dalam wilayah
Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pada tahun yang
sama (1992) dengan SK No. SC/Eco/5867.2.409 T.N Ujung Kulon ditetapkan sebagai
The Natural World Heritage States oleh Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO.
T.N Ujung Kulon merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia
yang berperan penting dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam hayati dan
keseimbangan ekosistem dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Di kawasan ini ditemukan berbagai jenis fauna yang unik dan endemik, misalnya Badak
Jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis),
Harimau Tutul (Panthera pardus), Anjing Ajag (Cuon alpinus javanicus), Kucing
Kuwuk (Prionailurus bengalensis), Owa Jawa (Hylobates moloch), Lutung Surili
(Presbytis comata), Lutung Budeng (Trachypithecus auratus), dan Kima Raksasa
(Tridacna gigas). Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki
keanekaragaman hayati yang cukup tinggi yang meliputi 35 jenis mamalia, 5 jenis
primata, 59 jenis reptil, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 33 jenis terumbu karang dan
142 jenis ikan (www.ujung-kulon.net). Bila dibandingkan dengan kekayaan spesies
vertebrata yang terdapat di Jawa, maka kekayaan vertebrata TN Ujung Kulon, diwakili
mamalia 26,32%, burung 66,3%, dan reptil 34,10%.

3
Tujuan kegiatan penelitian mengenai Evaluasi dan karakterisasi biota yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove ini adalah untuk mengungkap dan mempelajari
keragaman dan karakter fauna untuk mendukung konservasi kawasan hutan mangrove,
mempelajari pola kehidupan fauna mangrove terhadap perubahan kondisi lingkungan,
dan menghasilkan data pendukung konsep kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di
Jawa yang berbasis pada kelestarian kehidupan fauna.
Sebagai upaya untuk menambah dan melengkapi data maupun informasi tentang
keanekaragaman jenis, persebaran dan potensi fauna di kawasan mangrove Ujung Kulon,
maka pada tanggal 9-25 Juni 2008 telah dilakukan survei fauna di beberapa wilayah
pesisir dan perairan pantai di desa Tamanjaya, muara sungai Cilintang Perepet, Cibanua,
Cigenter, dan P. Boboko (pulau kecil sekitar Handeuleum). Dipilihnya lokasi tersebut
karena belum pernah dilakukan penelitian fauna di wilayah mangrove ini sebelumnya.
I.2. Mangrove T.N. Ujung Kulon
Salah satu kawasan mangrove di Jawa yang relatif masih baik terdapat di wilayah
T.N. Ujung Kulon. Hutan mangrove ini terdapat sepanjang sisi utara tanah genting
meluas ke arah S. Cikalong dan Legon Lentah P. Panaitan. Di atas sebelah barat laut P.
Handeuleum dan kedua pulau kecil di sebelah selatannya terdapat hutan rawa Nypha
yang tidak begitu luas, juga di muara S. Cijungkulon dan Cigenter di pantai utara
Semenanjung Ujung Kulon.
Keberadaan hutan mangrove di kawasan ini benar-benar dibatasi oleh inlet yang
menjadi sumber air tawar, secara litoral hingga batas yang masih dipengaruhi air asin. Di
pesisir utara, kawasan mangrove dapat dijumpai di desa Tamanjaya, Cigenter dan
beberapa pulau kecil di sekitar Handeuleum. Ekspansi tanaman mangrove juga terdapat
di mulut S. Cilintang. Akibatnya komunitas tanaman ini hanya membentuk hutan kecil
(grove) yang tersusun oleh satu jenis tanaman. Hampir seluruhnya memiliki famili yang
tidak berhubungan dekat, tetapi memiliki karakter adaptasi terhadap lingkungan yang
serupa seperti: akar dengan pneumatophore, berdaun, percabangan batang sangat pendek
dengan sistem perakaran yang komplek, buah beradaptasi terhadap pemencaran dengan
bantuan arus dan benih dapat saja tumbuh di luar lingkungan alaminya. Ciri khas jenis
tumbuhan bakau yang menyusun area tersebut adalah jenis Rhizophora apiculata atau
Bruguiera parvifolia. Jika fisiografinya sesuai, maka vegetasi mangrove akan berasosiasi

4
secara paralel dengan vegetasi pantai (yang dipengaruhi oleh pasang surut). Pada
perairan yang bersalinitas tinggi (salty waters) dimana kolom perairan tersebut berada
dibawah secara permanen atau temporer, maka tumbuhan mangrove dari jenis Sonneratia
alba dan Bruguiera sexangula muncul pada subtrat berpasir sedangkan Rhizophora
apiculata tetap pada subtrat berlumpur. Ketika perairan bersalinitas tinggi stagnan
dengan daerah yang digenanginya temporer, maka jenis Rhizophora apiculata dan
Avicennia marina tumbuh pada subtrat berlumpur, sedangkan spesies terakhir yang
diperkirakan dapat menyusun wilayah mangrove di daerah ini adalah Aegiceras
corniculatum, Acanthus ilicifolius, Lumnitzera racemosa pada tanah yang hitam atau
sedikit berlumpur tetapi pada area dimana jarang tergenangi, maka jenis Heritiera
litoralis dan Acanthus ilicifolius akan lebih banyak terlihat.
Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi ekosistem mangrove TNUK sangat
bervariasi. Beberapa vegetasi diantaranya tergolong masih muda, namun vegetasi lainnya
terlihat telah mencapai tahapan stabil. Vegetasi mangrove tua atau stabil berada di muara
S. Cilintang dan Perepet yang sudah termasuk wilayah hutan TNUK. Kondisi vegetasi
mangrove yang masih muda ditemukan mendominasi di beberapa pulau kecil sekitar P.
Handeuleum. Meskipun vegetasi yang ada kebanyakan masih muda dengan jalur
perakaran yang sangat rapat dan sulit dimasuki. Beberapa jenis vegetasi mangrove yang
berhasil diidentifikasi adalah Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, Bruguiera
sexangula, B. cylindrica, Cerbera manghas, Ceriops decandra, Exocaria agallocha,
Sonneratia alba, S. Caseolaris.
Ekosistem mangrove dan perairan sekitarnya dikenal menjadi tempat hunian bagi
berbagai jenis fauna seperti mamalia, primata, burung, reptil dan amfibia, ikan, udang
dan biota planktonik. Sementara itu data keragaman fauna mangrove di Jawa masih
sangat terbatas. Setidaknya dikenal sebanyak 11 jenis ular dan 25 jenis ikan di Kepulauan
Seribu (Supriatna, 1982), 64 jenis burung dan 14 jenis krustasea di Tanjung Karawang
(Sajudin dkk. 1982; Hakim dkk. 1982), 34 jenis ikan (Ohno & Sulistiono, 1994), 35 jenis
moluska (Sabar dkk. 1979) dan 40 jenis kopepoda di perairan mangrove Cilacap
(Mulyadi & Ishimaru, 1994). Akan tetapi data mengenai keanekaragaman mamalia
mangrove masih sangat sedikit, hanya ada satu laporan oleh Munif et. al. (1984) yang
mengungkapkan 1 jenis tikus (Rattus tiomanicus) di mangrove Tanjung Karawang.

5
METODA DAN LOKASI PENELITIAN
Survei dilakukan dengan cara penjelajahan di beberapa lokasi hutan. Kegiatan ini pada
prinsipnya adalah penggalian informasi secara umum dengan mengumpulkan spesimen
fauna kemudian dilakukan pencatatan ciri-ciri morfologinya serta data lapangannya.
Setiap nomor spesimen fauna yang dikumpukan diawetkan dengan menggunakan
formalin dan alkohol atau dikeringkan.
Survei dilakukan di delapan lokasi, masing-masing Tamanjaya (Citamanjaya
Cibanua dan kampung), Ujungjaya (Cikawung) , Cilintang, Perepet, Cigenter
(Cigeunteur) dan pulau-pulau kecil sekitar Handeuleum (P. Boboko). Untuk mencapai
lokasi tersebut ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 1/2 jam dari desa Tamanjaya
(Citamanjaya) dan 1 jam ke Cikawung (Ujungjaya) dan 1 jam perjalanan dengan perahu
bermotor (P. Boboko dan pantai Cigenter). Survei meliputi kawasan hutan mangrove,
wilayah pantai dan laut sekitarnya.

No Lokasi Karakter fisik


1 Muara sungai Citamanjaya Lebih cenderung ke perairan tawar, karena
6047’4,3” L.S. salinitasnya rendah (3 ppt) sedangkan suhu 31oC
105030’3,5” B.T. dan pH 8. Pintu muara kecil berkelok-kelok, lebar
8 m dan semakin menyempit ke ujungnya.
Kedalaman alur kelokan kurang dari 0,5 m.
Substrat dasar berpasir. Tinggal sisa-sisa vegetasi
mangrove..
2 Muara Sungai Cikawung, Kondisi menyerupai muara Sungai Tamanjaya,
Ujungjaya tetapi sungai lebih lebar. Berupa sisa vegetasi
6047’47,9” L.S. mangrove.
105029’47,9” B.T.
3 Muara sungai Lebih cenderung ke perairan tawar, karena
Cibanua/Pinang Gading salinitasnya rendah (2 ppt) sedangkan suhu 29oC
6046’49” L.S. dan pH 7. Pintu muara kecil berkelok-kelok, lebar
105030’10” B.T. hanya 1,5 m dan semakin menyempit ke
ujungnya. Kedalaman alur kelokan kurang dari 0,5
m. Substrat dasar berpasir. Tinggal sisa-sisa
vegetasi mangrove.
4 Muara sungai Cigenter Lebih cenderung ke perairan tawar, karena
6044’57,4” L.S. salinitasnya rendah (10 ppt) sedangkan suhu 30oC
105024’9,8” B.T. dan pH 8. Pintu muara besar tak berkelok-kelok,
lebar 12 m dan semakin menyempit ke ujungnya.
Kedalaman alur antara 0,5 - 1m. Substrat dasar
berlumpur. Vegetasi mangrove masih baik.
5 Muara sungai Cilintang Termasuk dalam perairan payau dengan salinitas
6049’13,1” L.S. medium (27 ppt) sedangkan suhunya 27oC dan pH

6
105028’40,7” B.T. 7. Pintu muara besar dan tak berkelok-kelok, lebar
10 m dan semakin menyempit ke ujungnya.
Kedalaman alur antara 1-1,5 m. Substrat dasar
berlumpur. Vegetasi mangrove masih baik.
6 Muara sungai Perepet Termasuk dalam perairan laut dengan salinitas
6049’26,0” L.S. tinggi (33 ppt) sedangkan suhunya 30oC dan pH 8.
105028’14,3” B.T. Pintu muara cukup besar dan tak berkelok-kelok,
lebar 6 m dan kedalaman alur antara 1,5 - 2 m.
Substrat dasar berlumpur. Vegetasi mangrove
masih baik.
7 Pulau Boboko Merupakan gugus pulau terpisah dari Pulau Jawa.
6046’20,4” L.S. Berada di tengah-tengah laut sehingga
105026’6,8” B.T. salinitasnya tinggi (35 ppt) sedangkan suhunya 30
o
C dan pH 9. Ketinggian daratan dari permukaan
laut sekitar 0,5 - 1 m. Substrat dasar berpasir.
Vegetasi mangrove masih baik.
8 Desa Tamanjaya dekat Merupakan perkampungan dengan bangunan
basecamp rumah, kebun kelapa campur pisang, mlinjo dan
6047’1,4” L.S. jambu air.
105030’10,7” B.T.
Untuk mencapai lokasi tersebut ditempuh dengan berbagai cara. Kami menginap
di Penginapan Sunda Jaya, Desa Tamanjaya yang sekaligus berfungsi sebagai basecamp,
Untuk mencapai kawasan mangrove S. Cilintang dan S. Perepet menggunakan mobil
sampai lokasi terdekat yang ditempuh selama 30-45 menit, kemudian jalan kaki sekitar
15-20 menit sampai S. Cilintang, dan berjalan kaki selama 30 menit lagi menuju S.
Perepet. Untuk mencapai mangrove di Desa Tamanjaya dan Ujungjaya ditempuh dengan
berjalan kaki 30 menit sampai sejam. Sedangkan untuk mencapai P. Boboko dan Cigenter
serta pulau-pulau kecil lain sekitar P. Handeuleum dicapai dengan perahu motor selama
1-1,5 jam.

TRANSPORTASI, AKOMODASI DAN PERIJINAN


A. TRANPORTASI
Cara pencapaian lokasi : Bogor - Jakarta - Serang (1 1/2 jam via jalan Tol), Serang -
Pandeglang - Labuan (1 1/2 jam) atau Jakarta - Cilegon (2 jam via jalan Tol), Cilegon -
Labuan (1 jam) atau Bogor - Rangkasbitung - Pandeglang - Labuan (4 jam). Labuan -
Sumur (2 jam), Sumur - Pulau Peucang (1 jam dengan kapal motor nelayan).
Jalur tersebut dapat dicapai dengan menggunakan transportasi umum atau
pribadi/carteran. Bus umum yang menuju Labuan langsung belum ada, harus ganti bus
dua kali yaitu Bogor–Pandeglang (117 km) dengan harga ticket Rp 50.000,- dimulai di
terminal Baranangsiang Bogor, dilanjutkan Pandeglang–Labuan (70 km) dengan harga

7
ticket Rp 40.000,- . Selanjutnya naik angkot Labuan-Sumur (73 km), dilanjutkan angkot
Sumur-Tamanjaya (27 km) yang ongkosnya Rp 35.000,- dan hanya tersedia 3 angkot
yang berangkatnya sore hari pukul 17.00 WIB dan sebaliknya kalau dari Tamanjaya ke
Sumur berangkat subuh 4.30 WIB, ongkos tersebut sudah termasuk ongkos jemput ke
rumah masing-masing penumpang. Sedangkan bila menggunakan mobil carteran dapat
menyewa pada rental mobil yang telah banyak ada di Bogor. Ongkos sewa berikut sopir
untuk satu kali jalan berkisar Rp.1.200.000 sudah termasuk bensin dan ongkos tol.
Kondisi jalan yang bagus hanya mencapai Labuan, selanjutnya kondisi jalan mencapai
lokasi TNUK rusak bahkan pada beberapa titik kondisi kerusakan sangat parah terutama
jalur Sumur-Tamanjaya. Disarankan tidak menggunakan mobil sedan atau minibus
karena mengingat kondisi jalan yang rusak tersebut. Lebih baik menggunakan kendaraan
SUV atau yang khusus dirancang untuk menjelajah medan berat. Transportasi lokal di
Desa Tamanjaya dapat menggunakan mobil pick up/bak terbuka dengan ongkos sekali
antar ke lokasi TNUK sebesar Rp.50.000. Sedangkan bila menghendaki lewat jalur laut,
maka dapat menyewa perahu nelayan lokal dengan daya angkut 15 orang penumpang
sebesar Rp. 150.000 untuk sekali antar yang biasanya berkisar 2-3 jam perjalanan.
Sedangkan bila ingin mengunjungi pulau-pulau seperti Handeuleum, Peucang atau
Panaitan tarifnya lebih mahal. Tarif dari Tamanjaya ke Handeuleum per hari Rp.
400.000. Untuk ke Peucang / Panaitan berkisar Rp. 800.000 – 1.500.000 per hari.
Untuk mencapai Taman Nasional Ujung Kulon kami mengendarai mobil
sewaan/carteran. Kami memerlukan 2 buah mobil dengan rincian sebuah mobil untuk
penumpang, yang lain untuk barang. Sehubungan saat berangkat hari Senin 3 Juni, 2008
saat tol Jagorawi padat kendaraan habis liburan, kami tidak mengambil tol Cawang atau
Tanjung Priok, tetapi kami mengambil Tol Pondok Indah menuju BSD, dan masuk lagi
Tol Merak, kemudian di Tol Cilegon kami keluar menuju ke arah Carita/Labuan.
Perjalanan dari Bogor ke Sumur ditempuh dalam waktu 7 jam. Jarak tempuh Bogor –
BSD, Tangerang 81 km, masuk Tol Merak BSD-Cilegon 57 km, Cilegon – Labuan 59
km, Labuan–Sumur 73 km dengan kondisi beberapa ruas jalan rusak, Sumur –
Tamanjaya 27 km dengan kondisi jalan rusak parah. Total jarak tempuh Bogor-
Tamanjaya 322 km. Jika lewat jalur selatan (Pandeglang) menggunakan mobil pribadi

8
atau carteran bisa menghemat jarak sekitar 80 km lebih dekat karena tidak usah melewati
Labuan.
B. AKOMODASI
Hotel dan penginapan banyak di jumpai di daerah Labuan , Carita dan Sumur. Tarif
menginap/malam bervariasi mulai dari Rp.250.000 – 450.000. Di dekat lokasi survei, di
Desa Tamanjaya tersedia penginapan/home stay yang dikelola oleh penduduk setempat
namanya Sundajaya (kontak person Komarudin, tel. 081806181209, 08176650238)
dengan kamar berjumlah 4 buah dengan kamar mandi 2 buah di luar, kamar dilengkapi
fan dan kelambu. Tarif menginap/malam disana berkisar Rp.50.000 per kamar. Jika
dengan makan, biaya sekali makan Rp 12.500,- per orang.
C. PERIJINAN
Di Sumur kami lapor ke Kantor Taman Nasional Ujung Kulon yang terletak di
pinggir jalan utama di sebelah kiri jalan. Tepatnya beralamat di Jl. Perintis Kemerdekaan
No. 51, Labuan, Pandeglang 42264 Telp. (0253) 801731; Fax. (0253) 81042. Alamat E-
mail : btnuk@cilegon.wasantara.net.id. Website:www.ujung-kulon.net.
Untuk kegiatan penelitian diwajibkan membuat surat SIMAKSI (Surat Ijin
Memasuki Kawasan Konservasi) di kantor pengelola. Selain itu juga membayar karcis
masuk peneliti per orang sebesar Rp. 45.000 (1/2 bulan) atau Rp. 75.000 (1 bulan) dan
karcis masuk pengunjung sebesar Rp. 2.500 berlaku untuk sekali masuk.
Selain itu bagi mereka yang akan mengoleksi binatang harus minta surat ijin
mengambil binatang kepada Direktur Direktorat KKH, Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan, Gedung Manggala
Wanabhakti, Gedung VII, Lantai 7, Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Permintaan surat ijin harus
disertai kopi proposal penelitian dan daftar jenis/takson binatang yang akan dikoleksi dan
tembusannya disampaikan ke TNUK. Menurut aturan keluarnya surat ijin ini
memerlukan waktu sekurang-kurangnya 2 bulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1. KRUSTASEA
IV.1.1. Zooplankton

9
Ekosistem mangrove Ujung Kulon terletak di kawasan teluk yang berhadapan langsung
dengan Laut Jawa. Teluk ini merupakan bentuk perairan semi tertutup yang menjadi
muara dari beberapa sungai kecil. Perairan ini juga menerima limbah dari kegiatan
pertanian dan pemukiman penduduk di sekitarnya yang secara langsung maupun tidak
langsung memberikan dampak ekologis terhadap perairan ini. Tekanan ini akan
menyebabkan menurunnya kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi dan
mengganggu kehidupan organisme perairan, misalnya plankton.
Pada tahap awal keberadaan plankton hanya dianggap sebagai salah satu mata
rantai di ekosistem bahari. Namun dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi
ternyata plankton dapat bermanfaat, walaupun dalam keadaan tertentu dapat merugikan
kehidupan manusia. Banyaknya meroplankton dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa
perairan tersebut merupakan tempat pemijahan atau asuhan biota tertentu. Kehidupan
plankton terkait erat dengan faktor lingkungannya, antara lain ketergantungan akan suhu
dan salinitas tertentu sehingga dikenal adanya plankton perairan tropis, sub-tropis, serta
plankton neritik dan oseanik.
Penelitian tentang toleransi organisme planktonik perairan pantai dan estuaria
terhadap salinitas memberikan informasi yang penting untuk mendukung investigasi
lebih lanjut mengenai sebaran, sejarah hidup dan respon terhadap perubahan lingkungan.
Variasi salinitas merupakan faktor signifikan dalam mendeterminasi sebaran spasial dan
suksesi musiman dari plankton estuaria, dan untuk mengetahui jenis organisme sekitar
pantai tyang dapat masuk ke lingkungan estuaria. Penelitian mengenai pengaruh
perubahan salinitas terhadap survival biota planktonik dan non planktonik free-living
kopepoda telah dilakukan di perairan temperate (Barnett, 1959; Lance, 1964), akan tetapi
informasi mengenai penelitian ini di perairan tropis masih sangat terbatas. Data dan hasil
publikasi saat ini menunjukkan bahwa komposisi zooplankton di estuaria didominasi oleh
kopepoda dan larvanya (Tundisi & Tundisi, 1968). Diduga perubahan dan gradien pada
salinitas merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi sebaran dari jenis
plankton yang berbeda di wilayah ini. Diketahui bahwa salinitas lethal bagi Centropages
furcatus dan Euterpina acutifrons betina dewasa adalah 13,1%o dan 8,8%o pada suhu air
26,6º C dan 26,0º C.

10
Pada umumnya kelompok kopepoda yang mendominasi perairan estuaria dan
pantai adalah yang termasuk dalam famili Acartiidae, Paracalanidae, Pseudodiaptomidae
dan Pontellidae. Sekitar 400 jenis kopepoda telah dideskripsi dari perairan Indonesia
atau kurang dari 3,5% dari seluruh jenis yang telah dipertelakan di dunia (11.500 jenis)
(Humes, 1993). Dengan kekayaan sebanyak ini Indonesia merupakan salah satu negara
megabiodiversity untuk kopepoda laut dunia.
Pengambilan sampel kopepoda dilakukan di muara S. Cilintang, S. Perepet dan
perairan pantai sekitar Desa Tamanjaya. Pengambilan sampel plankton di muara
dilakukan dengan cara menyaring 200 liter air permukaan dengan plankton net.
Sedangkan pengambilan sampel di perairan pantai dilakukan dengan cara menarik
plankton net (ukuran mata jaring 0,1 mm dan 0,33 mm dengan diameter mulut jaring 0,40
m dan 0,45 m) secara horisontal di permukaan selama 4 menit dengan perahu motor.
Sedangkan pengambilan sampel plankton secara vertikal dilakukan dengan cara
menenggelamkan jaring plankton yang telah diberi pemberat ke dasar perairan, kemudian
menariknya secara perlahan-lahan ke arah permukaan. Sampel kopepoda yang tersaring
diawetkan dalam larutan formalin 5%. Perhitungan jumlah kopepoda individu/L
dilakukan dengan memperhitungkan seluruh jumlah kopepoda yang tersaring dibagi
dengan jumlah volume air yang disaring.
Di laboratorium kopepoda dipisahkan (disortir) dari detritus dan zooplankton
lainnya, kemudian dimasukkan ke dalam botol koleksi yang telah diberi label. Spesimen
yang akan diidentifikasi diambil dari botol koleksi dengan menggunakan pinset mikro,
lalu diletakkan pada object glass cekung yang telah diberi larutan campuran gliserin/air
suling dengan pewarna methyl blue. Identifikasi dan diseksi jenis kopepoda dilakukan
sampai tingkat jenis di bawah mikroskup compound. Sedangkan pembuatan ilustrasi
dilakukan di bawah mikroskup compound dengan bantuan camera lucida.
Sebanyak 43 jenis kopepoda dari 27 marga dan 22 famili dan 4 ordo ditemukan di
perairan mangrove dan pantai Ujung Kulon (Tabel 1). Sebagian besar jenis kopepoda
yang ditemukan adalah jenis yang umum ditemukan di perairan tropis Laut Cina Selatan,
perairan Asia Tenggara, perairan selatan Jepang, dan perairan Australia.
Berdasarkan sebaran zoogeografinya menunjukkan bahwa 37 jenis (86,1%) jenis
kopepoda yang ditemukan merupakan tipikal kopepoda perairan Indo-West Pacific, 4

11
jenis (9,3%) (Centropages furcatus, Temora discaudata, Paracalanus aculeatus dan
Setella gracilis) adalah jenis kosmopolitan, 1 jenis (2,3%) Pontella sp. nampaknya jenis
baru untuk perairan Indonesia, sedangkan 1 jenis lainnya (2,3%) Pontellopsis sp. tidak
dapat diidentifikasi karena masih immature.
Perairan Ujung Kulon sangat dipengaruhi oleh arus Laut Cina Selatan yang
memiliki salinitas (30%o) rendah dan suhu tinggi (26º C) yang sedikit berfluktuasi.
Selama penelitian di perairan Ujung Kulon, Acartia erythraea, Tortanus forcipatus,
Subeucalanus subcrassus, Corycaeus asiaticus dan Metacalanus aurivilli ditemukan
mendominasi dan melimpah. Sedangkan jenis sub-dominan yang ditemukan adalah
Calanopia asymmetrica dan C. australica.
Tidak seperti halnya struktur populasi kopepoda di perairan mangrove Cilacap
yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) kelompok kopepoda laut yang masuk
di pintu pelabuhan (C. pauper, Undinula vulgaris); 2) kelompok kopepoda yang mampu
beradaptasi pada kisaran salinitas yang lebar (P. crassirostris, Oithona brevicornis); dan
3) kelompok kopepoda yang toleran terhadap salinitas rendah atau air tawar (Acartiella
nicolae, A. Sinjiensis dan Pseudodiaptomus annandalei) (Mulyadi & Ishimaru, 1994).
Jenis-jenis kopepoda di perairan pantai Ujung Kulon didominasi oleh kelompok 1 dan 2.
Jenis-jenis kopepoda oseanik seperti Calanopia elliptica, Canthocalanus pauper,
Centropages furcatus, Temora discaudata, Clytemnestra scutellata dan Oncaea media
ditemukan dalam jumlah cukup melimpah. Beberapa jenis kopepoda lainnya yang
umumnya berasosiasi dengan perairan laut seperti Paracalanus aculeatus, Parvocalanus
crassirostris, Temora turbinata, Corycaeaus asiaticus, Oncaea conifera, Euterpina
acutifrons dan Setella gracillis juga ditemukan. Anggota dari marga Paracalanus,
Parvocalanus, Acrocalanus dan Bestiolina pada umumnya ditemukan melimpah dan
mendominasi di estuaria dan perairan pantai, namun sangat sedikit ditemukan di perairan
pantai Ujung Kulon. Sedangkan Acartiella nicolae dan Acartia sinjiensis yang
merupakan jenis khas perairan bersalinitas rendah yang sangat dominan dan melimpah di
perairan mangrove Cilacap tidak ditemukan di Ujung Kulon.
Sedikitnya keanekaragaman jenis dan kelimpahan kopepoda di perairan Ujung
Kulon dimungkinkan karena sedikitnya suplai air tawar dari daratan Jawa, sehingga
perairan di sekitarnya pada umumnya bersalinitas tinggi.

12
IV.1.2. Kepiting dan Udang
Koleksi kepiting (krustasea) dilakukan pada beberapa lokasi yang meliputi muara sungai
Cilintang, Perepet, Pinang Gading, Tamanjaya, Cigenter dan P. Boboko. Koleksi krustasea
mangrove dan hamparan pasir pantai dilakukan dengan cara menggali liang dengan menggunakan
sekop kecil. Sedangkan krustasea akuatik yang berasosiasi di areal terumbu karang yang
tergenang diambil langsung dengan tangan (handling). Beberapa koleksi bila memungkinkan
difoto sebelum diawetkan agar diketahui warna aslinya. Spesimen krustasea yang diambil dalam
kondisi hidup kemudian difiksasi secara bertingkat dengan menggunakan alkohol 40% dan 70%.
Seluruh spesimen yang dikoleksi diawetkan dengan alkohol 80% dalam botol plastik yang telah
diberi label. Seluruh spesimen diidentifikasi dengan panduan Crane (1975) dan Poore (2002).
Sementara dapat diidentifikasi sebanyak 18 jenis krustasea dari 11 suku yang terdiri atas
anomuran dekapoda (1suku), brachyuran dekapoda (9 suku), dan stomatopods (1 suku) (Tabel 2).
Anomuran dekapoda diwakili oleh suku Diogenidae (18 spesimen). Brachyuran dekapoda
diwakili oleh suku Portunidae, Xanthidae, Ocypodidae, Oziidae, Matutidae, Calappidae,
Grapsidae, Thalassinidae, dan Palinuridae. Beberapa jenis diantaranya adalah penghuni asli hutan
mangrove, 3 jenis memiliki habitat di lumpur dan lumpur berpasir, sedangkan sisanya pada
umumnya dapat menghuni lebih dari satu biotope.
Satu jenis Thalassinidae, mud-lobster Thalassina gracillis ditemukan di lingkungan
mangrove yang sudah rusak di muara S. Cikawung. Sedangkan tiga spesimen Panulirus homarus
ditemukan hidup di areal terumbu karang mati yang masih tergenang air laut.
Jenis hermit crabs dari suku Diogenidae ditemukan di sekitar terumbu karang mati yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut dan sepanjang tepi muara sungai Cilintang dan Perepet.
Terestrial hermit crabs ditemukan di lantai hutan dalam beberapa kejadian. Tidak pernah
ditemukan melimpah dalam penelitian ini. Sedangkan hermit crab laut, dari marga Clibanarius
dan Diogenes ditemukan dalam jumlah sedikit di hutan mangrove dan hamparan pasir. Jenis-
jenis hermit crabs ini menggunakan cangkang dari moluska Cerithium sp. dan Nassarius spp.
Selain itu juga ditemukan dua jenis Uca (Uca coarctata dan U. lactea) yang sangat mendominasi
dan melimpah hampir di setiap lokasi penelitian, kecuali di P. Boboko yang memiliki lantai hutan
berpasir.
IV.2. MOLUSKA (GASTROPODA)
Koleksi moluska dilakukan pada beberapa lokasi yang meliputi muara sungai Cilintang,
Perepet, Cibanua, Tamanjaya, Cigenter dan P. Boboko. Koleksi dilakukan secara langsung
dengan tangan (handling). Beberapa koleksi bila memungkinkan difoto terlebih dahulu sebelum
diawetkan. Spesimen moluska akuatik yang diperoleh dalam kondisi hidup kemudian difiksasi

13
bertingkat menggunakan alkohol 40% dan 70%. Adapun spesimen Gastropoda darat difiksasi
dengan menggunakan menthol kristal yang ditambahkan ke dalam air. Keseluruhan spesimen
kemudian dipreservasi dalam alkohol 70%. Sedangkan spesimen yang ditemukan hanya berupa
cangkang disimpan dalam botol plastik setelah dibersihkan dari kotoran yang melekat. Data fisik
lokasi, habitat setiap jenis moluska yang dijumpai di lapangan juga dicatat.
Sebanyak 37 jenis moluska Gastropoda dari 20 marga dan 12 suku berhasil diidentifikasi
dari TNUK. Jenis-jenis keong mangrove dapat dijumpai hidup pada tiga lingkungan yang
berbeda. Beberapa suku hidup di bawah permukaan air, walaupun terkadang berada di atas
permukaan air menempel pada substrat tertentu seperti batang kayu. Keong dengan karakter
demikian mencakup suku Neritidae dan Thiaridae.
Pada dasarnya moluska mangrove dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu moluska
pengunjung, moluska fakultatif, dan moluska asli mangrove (Budiman, 2005). Jenis-jenis
pengunjung ini memempati daerah perbatasan antara hutan mangrove dan ekosistem tempat
hidupnya, dan pada umumnya ditemukan dalam jumlah yang sangat rendah. Bagian hutan yang
berbatasan dengan sungai atau saluran air serta bagian belakang hutan merupakan daerah
sebarannya. Dua bagian pertama umumnya dihuni oleh moluska pengunjung asal laut
(Buccinidae, Cerithidae, Collumbelidae, Muricidae dan Trochidae) yang hanyut atau terdampar di
ekosistem mangrove. Sedangkan bagian belakang hutan banyak dihuni oleh moluska darat atau
moluska air tawar.
Jenis-jenis kelompok fakultatif dapat hidup dan berkembang baik di dalam ekosistem
mangrove maupun beberapa ekosistem pantai lainnya yang masih tergenang air laut. Pada
kelompok ini yang seluruhnya terdiri atas jenis moluska laut, menunjukkan pola persebaran yang
berbeda dengan kelompok moluska pengunjung. Kehadiran tumbuhan mangrove sebagai obyek
dan kondisi hutan yang lembab diduga sangat berpengaruh terhadap kehadiran dan pola
persebaran kelompok ini di dalam hutan. Kerang Isonomon dan Cassostrea mampu
menggunakan sisa air dalam cangkang untuk respirasi pada saat berada di luar air, atau
kemampuan memperkaya kandungan oksigen dalam air sisa dengan cara difusi pada Enigmonia
(Newell, 1970). Kemampuan ini sangat menentukan kehadiran dan luas persebaran moluska
kelompok fakultatif di dalam hutan mangrove. Keong Littorina yang cenderung sebagai keong
darat daripada keong daerah pasang surut, memerlukan air laut sebagai media perkembangan
larvanya sebelum mencapai tingkat anakan (Struthsaker, 1966).
Hubungan yang erat antara kondisi fisik dan kimia mempengaruhi kehadiran dan
persebaran jenis-jenis kelompok moluska asli mangrove. Variasi yang terjadi dalam hubungan
antara kedua faktor tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya di dalam hutan mangrove

14
mengakibatkan terjadinya variasi penghunian. Beberapa marga dari Ellobiidae (Cassidula,
Melampus, Ellobium, dan Auriculastra) memilih habitat di belakang bagian hutan (daerah yang
memiliki ketergenangan rendah) dan tempat-tempat yang lembab. Berbeda dengan marga Phytia
yang menghendaki kondisi hutan yang kering, mulai dari lantai hutan, diantara daun paku
Acristichum di kawasan hutan yang kering, di atas pohon mangrove sampai ketinggian 3 meter,
atau bahkan di hutan pantai di belakang hutan mangrove. Berbeda dengan Ellobiidae, keong dari
famili Potamodidae kurang dipengaruhi kelembaban dan sangat tergantung pada naungan dan
frekuensi penggenangan yang tinggi. Perbedaan toleransi terhadap naungan dan kondisi yang
diakibatkannya (fluktuasi suhu udara/air/tanah dan kelembaban) digunakan untuk memisahkan
Potamodidae menjadi 2 kelompok, yaitu 1) kelompok yang memiliki toleransi yang tinggi
(Telescopium dan Cerithidea), dan 2) jenis-jenis yang kurang dapat bertoleransi (Terebralia).
Kehadiran Telescopium dan Cerithidea di areal pertambakan ikan dapat juga digunakan untuk
memperlihatkan tingkat toleransi yang sangat tinggi terhadap naungan dan kondisi lingkungan
yang diakibatkan oleh hutan mangrove.
Beberapa suku lainnya Ellobiidae, Turbinidae dan Littoinidae hidup di atas permukaan
air dan tanah, menempel pada akar pohon, batang maupun daun. Selain suku-suku keong di atas
ada beberapa suku yang sebenarnya merupakan penghuni sementara. Mereka ditemukan di
ekosistem mangrove karena terbawa oleh arus air.
Dibandingkan dengan penelitian terdahulu : Moro dkk,1986 di Panaitan ( 6
suku,25 jenis) dan Yasman ,1998 di Handeueum barat (12 jenis), maka keragaman jenis
Gastropoda di lokasi survei (TNUK) saat ini lebih beragam (12 suku, 43 jenis). Dengan
pola persebaran tidak merata, dimungkinkan oleh kondisi mangrove dari masing2 stasiun
berbeda. Dikhawatirkan bila hutan mangrove di TNUK terus menyusut akan
mempengaruhi keragaman jenis dan populasi Gastropoda yang berperan penting sebagai
fauna perombak serasah.
IV.3. IKAN
Lokasi penelitian keanekaragamn ikan dilakukan di perairan desa Tamanjaya,
Ujungjaya, dan P. Boboko (gugusan pulau kecil sekitar Handeleum). Stasiun pencuplikan
contoh ikan adalah muara sungai yang merupakan bagian dari ekosistem hutan mangrove.
Tumbuhan mangrove yang ditemukan di kawasan tersebut adalah Aegiceras
corniculatum, Avicennia alba, Sonneratia alba, Bruguiera cylindra, dan Nypa fruticans.

15
Pencuplikan contoh ikan dilakukan pada 12 stasiun yang meliputi kawasan
Tamanjaya, yaitu muara S. Citamanjaya dan S. Pinang Gading masing-masing 2 stasiun.
Stasiun penelitian di kawasan Ujungjaya meliputi muara S. Perepet, S. Cilintang dan
Cikawung masing-masing 2 stasiun. Dua stasiun lainnya dibuat di muara S. Cigenter,
Ujung Kulon, dan 1 stasiun di Pulau Boboko.

Pengambilan contoh ikan di setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan


beberapa alat tangkap seperti pancing (dengan mata pancing ukuran kecil dan besar), jala
dengan mata jaring 1,5 cm, jaring tebar (gillnet) dengan mata jaring 1 cm dan serok ikan.
Sedangkan electrofishing hanya dipergunakan di perairan yang dangkal. Spesimen yang
diperoleh difiksasi dengan menggunakan larutan formalin 10%. %. Di Laboratorium
ikan, kemudian specimen diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan Allen dan
Swainston (1988), Kottelat et al (1993), Weber dan de Beaufort (1913;1916).
Data pada Tabel 4 (pada lampiran 5) terlihat bahwa pencuplikan ikan di Pulau
Boboko memiliki jumlah jenis tertinggi (29.33%) dibandingkan stasiun lainnya.
Selanjutnya di Sungai Citamanjaya St 1 (28%), S. Cigenter St 1 (22.66%) dan S.
Cilintang St 1 (21.33%). Sedangkan untuk stasiun-stasiun lainnya jumlah jenisnya kurang
dari 20%.
Terlihat pula jenis-jenis ikan dari famili Gobiidae tampak mendominasi
keberadaannya dihampir seluruh stasiun pencuplikan. Anggota dari famili Gobiidae
memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada kawasan ekosistem mangrove, tampak
ikan khas daerah ini yaitu gelodok (Periophtalmus argentimaculatus dan P. kalolo). Ikan
gelodok bersifat “mudskipper” sehingga dapat hidup di air dan permukaan lumpur di
sekitar mangrove. Selain itu ikan ini juga memiliki kemampuan “berjalan” dengan
menggunakan sirip dadanya.
Famili Mugillidae juga memiliki ruang yang tidak kalah dengan famili Gobiidae,
ini dibuktikan di lapangan dengan banyaknya ikan jenis Liza sp. maupun Valamugil sp.
berukuran juvenil. Hal ini juga membuktikan bahwa ekosistem mangrove merupakan
daerah yang sangat ideal untuk tempat mencari makan bagi beberapa jenis ikan
(berukuran juvenile), atau yang lebih dikenal dengan nursery dan feeding ground. Selain
itu jenis Oryzias javanicus (famili Oryziidae) dan Ambassis dussumieri (famili
Chandidae) juga banyak yang tertangkap dalam ukuran juvenile.

16
Selain itu juga ditemukan ikan Chelonodon patoca dan Tetraodon nigroviridis,
yaitu jenis-jenis dari famili Tetraodontidae atau yang lebih dikenal dengan ikan buntal,
yang merupakan salah satu ikan khas ekosistem mangrove. Ikan ini memiliki keunikan
tersendiri, yaitu kemampuannya untuk menggelembungkan diri seperti balon apabila
dalam keadaan yang membahayakan. Sama halnya dengan kemampuan bertahan ikan
buntal, jenis dari famili Scorpaenidae juga merupakan kelompok ikan yang memiliki
“bisa” sebagai alat untuk melindungi dirinya. Ikan ini mendiami karang-karang di muara
sungai.
Berdasarkan data pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa sebagian besar ikan yang
tertangkap merupakan ikan yang hidup di laut. Jenis ikan tersebut masuk ke dalam
kawasan mangrove sebagian “mungkin” terbawa pada saat air pasang, antara lain jenis
dari famili Belonidae, Carangidae, Chandidae, Monodactylidae, Scatophagidae,
Teraponidae, Leiognathidae dan Lutjanidae.
Jenis dari famili Lutjanidae dan Serranidae adalah ikan-ikan yang memiliki nilai
komersial cukup tinggi. Salah satu jenisnya dari famili Lutjanidae adalah kakap merah
(Lutjanus argentimaculatus). Sedangkan ikan-ikan dari famili Serranidae (Epinephelus
coioides, E. Lanceolatus dan E. Quoyanus) dikenal dengan nama kerapu.
Toxotes jaculatrix atau ikan sumpit, terkoleksi dalam berbagai ukuran.
Keberadaan ikan sumpit juga menambah keunikan ikan di kawasan ini. Ikan ini mampu
“menyumpit” air untuk menembak serangga yang berada di atas permukaan air.
Famili Muraenidae (Gymnothorax javanicus dan G. Polyuranodon) memiliki
tubuh memanjang seperti ular. Walaupun begitu ikan ini tidak membahayakan (tidak
beracun). Di stasiun pencuplikan, terlihat ikan ini hidup di batang-batang kayu yang
terbenam, di daerah pinggir atau tepi dari sungai. Microphis brachyurus (famili
Syngnathidae) dan Achirus poropterus (famili Soleidae) juga menempati daerah tepi. M.
Brahyurus lebih mengkamuflasekan diantara serasah yang tergenang, sedangkan A.
Poropterus atau yang lebih dikenal dengan ikan sebelah memilih membenamkan dirinya
di pasir.
Puntius binotatus (famili Cyprinidae) dikoleksi dari Sungai Citamanjaya (St 2)
dan Sungai Cibanus/Pinang Gading. Pada kedua sungai tersebut diketahui memiliki

17
tingkat salinitas relatif rendah yaitu berkisar 2-3 ppt, sehingga dapat dimungkinkan ikan
ini sedikit telah mampu bertoleransi pada air bersalinitas rendah.
Selama penelitian diperoleh 75 jenis dari 36 Famili, dan 647 individu. Hasil ini
menunjukkan adanya penambahan jumlah jenis yang diperoleh, dibandingkan dari data
yang ditampilkan olah ditjen PHKA yaitu 55 jenis. Ekosistem mangrove terbukti menjadi
tempat asuhan beberapa jenis ikan dengan melimpahnya ikan berukuran juvenil antara
lain genus Oryzias, Liza dan Valamugil.Tampak pula jenis ikan unik kawasan mangrove
yaitu ikan gelodok (Periophthalmus sp.) dan ikan sumpit (Toxotes jaculatrix).
IV.4. AMFIBI & REPTIL
Pada eksplorasi di mangrove (Cilintang, Prepet, Boboko dan Cigenter) dan di sekitarnya
di TNUK (Tamanjaya, Legon Pakis, dan Sungai Citamanjaya) berhasil diperoleh 20 jenis
koleksi herpetofauna (terdiri dari 6 jenis amfibi dan 14 jenis reptilia). Dari 20 jenis
tersebut, tiga jenis reptil ditemukan di mangrove dan non mangrove, dan satu jenis hanya
ditemukan di mangrove, yaitu Ular Rawa (Cerberus rynchops). Selengkapnya tampak
pada Tabel 5 (Lampiran 9).
Dalam survei ini ditemukan tiga jenis amfibi, Rana chalconota, Fejervarya
cancrivora, F. limnocharis. Ketiga jenis tersebut masih melimpah populasinya di sekitar
S. Citamanjaya dan mudah ditemukan terutama pada malam hari. Sedikit populasi Katak
Pohon (Polypedates leucomystax) ditemukan di Legon Pakis dan sekitar S. Cilintang.
Berbeda halnya dengan populasi kodok buduk (Bufo melanostictus) yang banyak
ditemukan di Tamanjaya terutama di sekitar pemukiman penduduk pada malam hari.
Sedangkan Bancet Hijau (Occydoziga sumatrana) diperoleh pada pinggiran lubang
sumur yang berair di Cigenter pada siang hari.
Varanus salvator dikenal dengan sebutan biawak air asia dapat ditemukan dengan
mudah dari pemukiman penduduk sampai ke mangrove. Biawak ini termasuk jenis yang
umum dengan persebaran yang cukup luas di Indonesia. Kadal Mabuya multifasciata
dapat dengan mudah ditemukan di TNUK. Jenis kadal ini sangat umum ditemukan
dengan persebaran yang cukup luas di Indonesia. Sphenomorphus sanctus disebut juga
Kadal Pohon, ditemukan dalam populasi yang sedikit di TNUK. Sedangkan Dasia
olivacea merupakan jenis kadal yang umum ditemukan pada pohon kelapa dan sekitar
rumah penduduk. Ditemukan juga kadal Emoia atrocostata di daerah Tamanjaya.

18
Selama survei hanya ditemukan seekor cicak batu (Cyrtodactylus marmoratus).
Sedangkan tokek (Gekko gecko) yang umum ditemukan di Indonesia, juga ditemukan
melimpah di TNUK, dapat dengan mudah ditemukan pada malam hari. Begitu pula
populasi cicak rumah (Hemydactilus frenatus) ditemukan sangat melimpah di TNUK
terutama di rumah-rumah penduduk. Sedangkan jenis cicak rumah lainnya
(Gehyra multifasciata) memiliki populasi tidak sebanyak H. Frenatus.
Cicak terbang Draco fimbriatus memiliki ukuran tubuh lebih besar dari Draco
haematopogon, namun populasinya sangat sedikit dan tidak mudah ditemukan di TNUK.
Sedangkan cicak terbang (Draco haematopogon) yang dikenal dengan sebutan hap-hap
oleh masyarakat setempat, sangat umum ditemukan dengan populasi yang melimpah
terutama pada kebun kelapa yang tidak jauh dari pemukiman penduduk.
Ular tanah Calloselasma rhodostoma tergolong ular berbisa kuat dan berbahaya.
Akibat gigitannya dapat menyebabkan cacat fisik bahkan menimbulkan kematian.
Populasi jenis ular ini masih cukup banyak di TNUK. Jenis lainnya yang ditemukan
adalah ular picung (Rhabdophis subminiatus) yang diperoleh di perkampungan
penduduk. Selain itu juga ditemukan Ular Rawa (Cerberus rynchops) yang biasanya
melimpah di sekitar hutan mangrove. Tetapi kali ini hanya ditemukan 2 ekor di muara
Sungai Cilintang.
IV.5. MAMALIA
Kawasan mangrove yang disurvei meliputi Cilintang, Perepet, Cigenter dan P.
Boboko. Di luar kawasan mangrove survei dilakukan di perkampungan Desa Tamanjaya
yang meliputi kebun pisang, sekitar S. Tamanjaya dekat rumpun bambu, dan muara S.
Pinang Gading. Untuk menangkap kelelawar digunakan jaring kabut, sedangkan untuk
rodent menggunakan perangkap kurungan lokal buatan Kasmin dengan umpan kelapa
bakar dan selai kacang. Sehubungan umpan selai kacang tidak berhasil menangkap rodent
pada 2 malam pertama, selanjutnya umpan diganti dengan kelapa bakar. Setiap hari
dipasang 10 – 20 perangkap kurungan dan dikontrol setiap pagi pukul 7.00 WIB,
sedangkan jaring kabut dipasang 1 – 3 buah setiap malamnya dan dipasang antara pukul
17.30 dan 21.00 WIB. Kelelawar dan rodent yang tertangkap dimatikan dengan obat bius
chloroform. Segera sesudah mati spesimen yang diperoleh diukur bobot, panjang badan
dan kepala, panjang ekor, panjang kaki belakang, panjang telinga, dan ditambah panjang

19
lengan bawah sayap dan panjang betis untuk kelelawar. Selanjutnya spesimen difiksasi
dengan formalin 10% atau alkohol 96%.
Berhasil dikoleksi di kawasan mangrove sebanyak 16 spesimen dari 4 jenis
mamalia (Tikus belukar Rattus tiomanicus, Bajing kelabu Callosciurus nigrovittatus,
kampret Rhinolophus affinis dan Hipposideros larvatus). Ditemukannya Bajing kelabu
dan kedua jenis kampret di hutan mangrove merupakan informasi baru yang belum
pernah dipublikasikan. Pada hutan mangrove yang rapat seperti di Perepet jenis mamalia
yang mendominasi adalah Bajing Kelabu (C. Nigrovittatus), sedangkan di hutan
mangrove yang relatif terbuka seperti di P. Boboko hanya dijumpai Tikus Belukar (R.
tiomanicus) saja, sedangkan di hutan mangrove Cigenter yang agak terbuka dijumpai
baik R. tiomanicus maupun C. nigrovittatus. Di luar kawasan mangrove diperoleh
sebanyak 57 spesimen dari 12 jenis mamalia yang ditemukan di daerah S. Pinang Gading,
S. Citamanjaya dan kebun kelapa Desa Tamanjaya. Dengan demikian diperoleh total
koleksi sebanyak 73 spesimen dari 16 jenis (lihat Tabel 6.). Tampaknya jenis mamalia
yang dominan adalah Macroglossus sobrinus. Selain itu berdasarkan observasi dijumpai
Kalong Kapauk (Pteropus vampyrus), tando (Cynocephalus variegatus) dan Bajing
Kelabu (Callosciurus nigrovittatus) yang banyak berkeliaran di kebun kelapa Desa
Tamanjaya. Oleh karena itu status binatang yang dilindungi untuk tando atau kubung
(Cynocephalus variegatus) perlu dievaluasi kembali.
Kalong kapauk dikenal berperan penting sebagai pemencar biji buah-buahan di
daerah tropik. Seperti diketahui kelapa merupakan komoditas andalan masyarakat
Tamanjaya, maka populasi bajing di wilayah ini perlu diwaspadai karena di lokasi lain
binatang ini dikenal sebagai hama kelapa. Menurut laporan penduduk, Lutung Budeng
(Trachypithecus auratus) yang merupakan lutung endemik Jawa dan Monyet Kra
(Macaca fascicularis) sering terlihat di sekitar pemukiman dekat sungai. Kedua jenis
lutung dan monyet serta bajing tersebut kemungkinan berperan sebagai pemencar biji
salah satu tumbuhan penyusun mangrove. Di sekitar kawasaan mangrove S. Cilintang
kadangkala terdengar suara Owa Jawa (Hylobates moloch) yang merupakan satu-satunya
jenis owa endemik di Jawa, dan teriakan Monyet Kra (Macaca fascicularis). Monyet Kra
disebutkan sudah merupakan hama di berbagai kebun sekitar pemukiman di Jawa dan
beberapa provinsi di Sumatera. Ditemukan pula ribuan ekor jenis kelelawar Chaerephon

20
plicata di atap salah satu ruang kelas gedung SDN Tamanjaya I. Meskipun telah beberapa
kali dilakukan pembasmian dengan menggunakan insektisida oleh pengelola sekolah,
tetapi selalu gagal dan kelelawar kembali menghuni langit-langit kelas. Kelelawar yang
kebal terhadap insektisida bisa membahayakan pemangsanya yang berupa burung elang.
Nampaknya kelelewar ini bisa bergerak keluar masuk melewati celah-celah genting
dengan cara menyelinap/merayap. Di daerah Gunung Kidul, jenis kelelawar ini
dimanfaatkan sebagai obat penyembuh penyakit asma dengan cara memakannya
langsung setelah digoreng atau di Cilacap penduduk lokal meminum air rendaman
kelelawar dalam larutan kunyit asam yang telah dikeringkan. Selain sebagai obat,
kelelawar jenis ini berperan penting sebagai pengendali hama sundep dan wereng,
sehingga keberadaannya perlu dilestarikan. Untuk menghindari gedung sekolah tidak
dihuni oleh kelelawar, maka disarankan kepada pengelola sekolah tersebut untuk
mengganti atap dengan beberapa genting kaca agar ruang langit-langit menjadi terang
sebab kelelawar adalah binatang malam (nokturnal). Upaya lainnya adalah dengan
menaruh kamfer di ruang langit-langit kelas secukupnya karena bau kamfer tidak disukai
oleh kelelawar.
IV.6. LAIN-LAIN
Sehubungan daerah survei kami adalah kawasan taman nasional, kami juga mengamati
faktor-faktor yang mendukung program konservasi dan faktor-faktor yang tidak
mendukung. Pada saat kami mau berangkat ke taman nasional, kami berangan-angan
Taman Nasional Ujung Kulon itu penampilannya mestinya tidak berbeda jauh dengan
Taman Nasional Gede-Pangrango artinya aksesnya mudah, fasilitas transpor dan hotel
sudah memadai. Apa lagi, TNUK sudah ditetapkan sebagai world heritage atau warisan
dunia. Bayangan kami, wisatawan asing sudah berbondong-bondong datang ke taman
nasional untuk melihat keunikan satwanya. Dan harapan kami tentunya taman nasional
juga sudah menyediakan pemandu-pemandu lokal yang handal, fasih berbahasa Inggris
dan ditunjang oleh petugas keamanan yang handal juga sehingga wisatawan yang
memasuki kawasan taman nasional ini merasa aman dan nyaman. Tetapi setelah kami
mengunjungi TNUK, kami sungguh prihatin, sebab apa yang menjadi angan-angan kami
sungguh bertolak belakang dengan kenyataan. Rute Labuan – Sumur di beberapa ruas
aspal mengelupas dan berdebu. Apa lagi rute Sumur – Tamanjaya hampir 80% aspal

21
mengelupas dan jalan tidak rata. Akses diperparah dengan jalan Tamanjaya ke TNUK
merupakan jalan yang dipadati batu, bahkan di ruas jalan melewati Pos Legon Pakis,
nyaris jalan tanah. Kami melihat sekurang-kurangnya ada 5 buah rumah walet (Desa
Tamanjaya dan Ujungjaya) yang menurut pendapat kami tidak seyogyanya penduduk
yang bermukim dekat atau bahkan mungkin sudah masuk wilayah taman nasional
memelihara walet. Sebab jika ada penyakit menular yang datang dari pemukiman
penduduk melalui binatang piaraan, maka walet tersebut dengan tidak sengaja akan bisa
tertular dan pada ujungnya walet itu akan menyebarluaskan penyakit tersebut ke satwa
liar penghuni taman nasional. Sebab jangkauan terbang walet itu cukup jauh bisa
mencapai 30 km (Noerdjito, komunikasi pribadi). Selain itu kami menjumpai di muara
Sungai Cikawung (Ujungjaya) yang dahulunya hutan mangrove telah berubah menjadi
kandang puluhan kerbau. Dan kerbau tersebut dilepas tanpa gembala. Sistem pelihara
hewan ternak dengan cara melepas bebas ini juga berbahaya untuk kelestarian satwa
ruminant di TNUK. Sebab tidak menutup kemungkinan kerbau-kerbau tersebut bisa
berkeliaran di kawasan TNUK. Kerbau tersebut bisa menularkan penyakit mulut dan
kuku pada banteng dan badak di TNUK. Demikian pula anjing kami lihat berkeliaran
dimana-mana sampai kawasan Cilintang, TNUK. Padahal anjing ini merupakan penyebar
penyakit rabies yang potensial.
Selain hal-hal yang telah kami sebutkan di atas, kami ikut prihatin selama survei
kami di TNUK. Kami menjumpai jembatan bambu yang melewati sungai Cilintang
tampak rusak, bambu patah-patah tetapi sebagian bambu masih bertaut. Kondisi ini
sebenarnya membahayakan orang-orang yang melewatinya.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


1. Hutan mangrove di sekitar pemukiman Desa Tamanjaya (S. Citamanjaya dan S.
Pinang Gading) dan Ujungjaya (S. Cikawung) telah habis ditebang. Hal ini pasti
berdampak terhadap produktivitas perikanan di sekitar Tamanjaya dan Ujungjaya.
2. Hasil koleksi fauna di TNUK telah ikut berkontribusi dalam penambahan jenis
fauna TNUK yang ada dalam website: www.ujung-kulon.net, contohnya untuk
mamalia menambah daftar jenis sebanyak 14 jenis. Untuk ikan sekurang-
kurangnya menambah 25 jenis lagi, herpetofauna menambah 12 jenis, kopepoda

22
menambah 43 jenis, kreustasea menambah 15 jenis, moluska Gastropoda
menambah 43 jenis.
3. Beberapa jenis fauna yang dikoleksi di mangrove merupakan informasi baru bagi
fauna mangrove, contoh ditemukannya Bajing Kelabu (Callosciurus
nigrovittatus) dan dua jenis kampret (Hipposideros larvatus dan Rhinolophus
affinis) serta satu jenis anggota Gastropoda (Cassidula schmackeriana).
4. Status perlindungan binatang untuk tando/kubung (Cynocephalus variegatus)
perlu ditinjau kembali karena di kebun-kebun kelapa Tamanjaya terdapat
melimpah populasinya dan tidak dijumpai perburuan terhadap binatang ini.
5. Kami usulkan sebaiknya binatang piaraan yang berkeliaran di wilayah taman
nasional dan rumah walet harus dimusnahkan demi menjaga kelestarian satwa
liar dan vaksinasi secara reguler bagi hewan piara yang dikandangkan atau diikat.
6. Jembatan bambu di atas Sungai Cilintang segera diperbaiki sebelum menelan
korban.
7. Akses jalan menuju TNUK maupun yang di dalam TNUK segera bisa diperbaiki
untuk kenyamanan para pengunjung/wisatawan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Ir. Agus Priambudi M.Sc., Kepala TNUK
dan segenap jajarannya yang telah memberikan ijin masuk ke TNUK dan membantu
kelancaran survei kami. Demikian pula kami juga mengucapkan banyak terima kasih
kepada Bpk. Komarudin, pemilik rumah singgah/home stay Sundajaya yang melayani
kebutuhan makan dan minum kami dengan cukup selama kami menginap dan membantu
kami mencarikan tenaga lapangan sehingga survei berjalan lancar. Semoga amal beliau
dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1998. Kebijakan pengelolaan hutan mangrove dilihat dari lingkungan
hidup. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove: 33-43

23
Allen, G.R., Swainston, R. 1988. The Marine Fishes of North Western Australia. Western
Australian Museum, Perth, Australia.

Barnes, R.S.K. 1974. Estuarine Biology. Edward Arnold ltd. London.

Burhanuddin dan Martosewojo,S. 1978. Pengamatan terhadap ikan Gelodok,


Periopthalmus koelreuteri (Pallas) di Pulau Pari. Prosiding Seminar I Ekosistem
Mangrove: 86-92

Hakim, I., Devi, A.L. dan Siswanto. 1982. Studi pendahuluan susunan jenis Moluska dan
Krustasea di Tanjung Karawang (Jawa Barat). Prosiding Seminar II Ekosistem
Mangrove: 224-227

Hardjowigeno, S. 1986. Status pengetahuan tanah-tanah mangrove di Indonesia.


Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove: 156-163

Hutomo, M dan Djamali, A. 1978. Penelaahan pendahuluan tentang komunitas ikan di


daerah mangrove Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu. Prosiding Seminar I Ekosistem
Mangrove.pp 93-105

Kottelat, M., Whitten, A.J., Kartikasari, S.N and Wirjoatmodjo, S. 1993. Freshwater
Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limited. Jakarta.p 229.

Macintosh, D. J. and Ashton, E. C. 2002. A Review of Mangrove Biodiversity


Conservation and Management. Centre for Tropical Ecosystems Research. Final Report,
University of Aarhus. Denmark.

Moro, D.S., Y. Irmawati., G. Reksodihardjo., T. Setyowati & Y. Asmara. 1987. Pola


sebaran moluska hutan mangrove Legon Lentah, Pulau Panaitan. Prosiding Seminar
Ekosistem Hutan Mangrove. Denpasar, Bali 5-8 Agustus 1986. 141-146.

Munif, A., T.M. Setia dan Suprianta 1984. Jenis-jenis tikus di hutan mangrove Tanjung
Karawang dan daerah sekitarnya. Dalam Soemodihardjo, S., I. Soerianegara, M. Sutisna,

24
K. Kartawinata, Supardi, N. Naamin dan H. Al Rasyid (Eds.): Prosiding Seminar II
Ekosistem Mangrove, MAB-LIPI: 235-237.

Pirzan, A.M., D. Rohama, Utojo, Burhanuddin, Suharyanto, Gunarto, dan H. Padda.


2001. Telaah Biodiversitas di Kawasan Tambak dan Mangrove. Laporan Akhir Proyek
Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Daya Perikanan Pesisir. Balai Penelitian Perikanan
Pantai, Maros.

Pratikto, W. 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Risiko


Terhadap Bahaya Tsunami. Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di
Jakarta 6-7 Agustus 2002.

Priambudi, A. et al., 1992. Survei Flora, Fauna dan Kesempatan Rekreasi Pulau Panaitan,
Taman Nasional Ujung Kulon. Proyek Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Selandia Baru. Laporan.

Reksodihardjo, G., Y. Irmawati & D.S Moro. 1987. Pola sebaran moluska suku
Potamididae di hutan mangrove Legon Lentah, Pulau Panaitan. Prosiding Seminar
Ekosistem Hutan Mangrove. Denpasar, Bali 5-8 Agustus 1986:136-140.

Sabar, F.,M. Djajasasmita dan A. Budiman, 1979. Susunan dan penyebaran moluska dan
krustasea pada beberapa hutan rawa payau: Suatu Studi Pendahuluan. Prosiding Seminar
Ekosistem Hutan Mangrove:120-125

Saenger, P. Hegerl, E. J. and Davie, J. D. S., 1983. Global Status of Mangrove


Ecosystems. The Environmentalist 3 (3): 81-88.

Sajudin, H.R., Rusmendaro, H. dan Afradi, D. 1982. Inventarisasi avifauna di kawasan


hutan mangrove Tanjung Karawang, Bekasi, Jawa Barat. Prosiding Seminar II Ekosistem
Hutan Mangrove: 228-231.

Suhardjono, Y.R. (Ed.) 1999. Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi.
Balai Penelitian dan Pengembangan, Puslit Biologi-LIPI, Bogor.

25
Supriatna, J. 1982. Jenis-jenis ular di hutan mangrove dan makanan ular tambak
Cerberus rynchops. Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove: 172-174.

Upadhyay, V.P, Ranjan, R and Singh, J.S. 2002. Human-Mangrove Conflicts: The Way
Out. Current Science, 83 (11):

Wahyuni, I.S. dan Nuraini, S. 1982. Beberapa jenis hasil perairan Segara Anakan Cilacap
yang telah dimanfaatkan oleh penduduk di sekitarnya. Prosiding Seminar II Ekosistem
Hutan Mangrove: 356-359

Weber, M. and de Beaufort, L.F. 1913. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. II.
Malacoptergii, Myctophoidea, Ostariophysi: I. Siluroidea. Brill Ltd., Leiden.

Weber, M. and de Beaufort, L.F. 1916. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. III.
Ostariophysi: II. Cyprinoidea, Apodes, Synbranchii. Brill Ltd., Leiden.

Yasman. 1998. Struktur komunitas Gastropoda (Moluska) hutan mangrove di pantai barat
Pulau Handeuleum, Taman Nasional Ujung Kulon dan di pantai UtaraPulau Penjaliran
Barat, Teluk Jakarta: Studi perbandingan. Prosiding Seminar Ekosistem Mangrove ke-6,
15-18 September 1998, Pekanbaru : 243 – 255.

26
Lampiran 1.
Jadwal Perjalanan

Tanggal Pelaksanaan Kegiatan

09-06-2008 Berangkat dari LIPI Cibinong menuju Labuan


09-06-2008 Menginap di Labuan dan mengurus SIMAKSI di kantor TNUK di Labuan
10-06-2008 Menuju desa Tamanjaya, mencari pembantu lapang dari penduduk lokal
11-06-2008 Survei pendahuluan lokasi dari Tamanjaya hingga muara S. Perepet
12-06-2008 Sampling & koleksi spesimen di muara S. Cilintang
13-06-2008 Sampling & koleksi spesimen di muara S. Perepet
14-6-2008 Menginap di Sunda Jaya home stay di desa Tamanjaya
15-6-2008 Sampling & koleksi spesimen di P. Handeuleum
16-6-2008 Sampling & koleksi spesimen di P. Handeuleum
17-6-2008 Sampling & koleksi spesimen P. Boboko
18-6-2008 Sampling & koleksi spesimen di muara S. Cigenter
19-6-2008 Sampling & koleksi spesimen di muara S. Cigenter
20-6-2008 Sampling & koleksi spesimen di muara S. Tamanjaya
21-6-2008 Sampling & koleksi spesimen di muara S. Cibanua
22-6-2008 Sampling & koleksi spesimen di muara S. Cikawung
23-6-2008 Pengepakan dan pengiriman spesimen, meninggalkan lokasi penelitian
24-6-2008 Menginap di Labuan
25-6-2008 Pulang kembali menuju LIPI Cibinong

27
Lampiran 2
Tabel 1. Daftar jenis koleksi kopepoda dari perairan mangrove dan pantai TNUK.

No. Famili Jenis Samudra Habitat


I P At
1. Acartiidae Acartia erythraea + + EN
A. pacifica + + + EN
2. Centropagidae Cetropages furcatus + + + O
C. orsini + + N
3. Tortanidae Tortanus forcipatus + + N
T. gracilis + + N
4. Eucalanidae Subeculanaus subcrassus + + O
S. subtenuis + + O
5. Calanidae Canthocalanus pauper + + + N-O
6. Pseudodiaptomidae Pseudodiaptomus philippinenis F EN
P. incisus C EN
Calanopia asymmetrica Ina EN
7. Pontellidae C. elliptica + + N
C. minor + + N
C. thompsoni + + EN
Pontella forcicula F N
Pontella sp. n N
Labidocera minuta + + NO
L. pavo + + N
Pontellopsis sp. Immature N
Paracalanus aculeatus + + + NO
8. Paracalanidae Parvocalanus crassirostris + + + N
Acrocalanus gibber + + N
Temora discaudata + + + NO
9. Temoridae T. turbinata + + NO
Candacia bradyii + + N
10. Candaciidae Euchaeta marina + + + O
11. Euchaetidae Metacalanus aurivilli Ina NO
12. Arietellidae Oncaea conifera + + NO
13. Oncaeidae O. media + + NO
Corycaeus andrewsi + + NO
14. Coryaeidae C. asiaticus + + NO
C. speciosus + + NO
C. crassiusculus + + NO
C. catus + + N
Copilia mirabilis, + + N
15. Tachidiidae Euterpina acutifrons + + + O
16. Macrosetelliidae Setella gracillis + + O

28
17. Clytemnestridae Clytemnestra scutellata + + O
18. Poecilostomatoidae Kelleria sp. + + N
19. Harpacticidae Harpacticus glabber + + O
20. Thallestridae Eudactylopus latipes + + O
21. Monstrillidae Monstrilla sp. + + O

Total 43 spesies
Lampiran 3

Keterangan: I, P dan At = samudra India, Pasifik dan Atlantik; O = oseanik, N = neritik, E =


estuario, Ina = perairan Indonesia, C = Laut Cina, F = perairan Filipina

Tabel 2. Daftar koleksi krustasea dari hutan mangrove dan pantai TNUK

Suku Jenis Jumlah


spesimen
Calappidae Calappa hepatica 1
Carpiliidae Carpilus convexus 1
Diogenidae 18
Gonodactylidae 2
Grapsidae Chiromantes eumolpe 4
Grapsus albolinearis 2
G. tenuicrustatus 2

Matutidae Matuta victor 1


Menippidae Myomenippe hardwicki 1
Ocypodidae Ocypod ceratopthalma 8
Uca coarecata 38
Uca lactea 31
Oziidae Epixanthus dentatus 1
Ozius guttatus 1
Ozius tuberculosus 1
Palinuridae Panulirus homarus 3
Portunidae Portunus pelagicus 3
Scylla paramamosain 3
Thalamita crenata 4
Thalassinidae Thalasinus gracilis 1
Total 20 spesies 126

29
Lampiran 4

Tabel 3. Daftar jenis koleksi moluska hutan mangrove dan sekitarnya TNUK, 2008

SUKU Jenis JUMLAH


SPESIMEN
1. Assiminidae Assiminea brevicula 28
2. Buccinidae Cantharus fumosus 2
3. Cerithidae Clypeomorus coralium 5
Clypeomorus moniliferus 14
4. Collumbelidae Pyrene ocellata 3
5. Ellobiidae Ellobium aurisjudae 6
Cassidula nucleus 3
Cassidula vespertilionis 4
Phytia scarabaeus 12
6. Littorinidae Littorina scabra 5
Littorina carinifera 42
7. Muricidae Morula musiva 6
Morula granulata 3
Chicoreus capucinus 2
8. Neritidae Nerita violacea 16
Nerita undata 2
Nerita polita 7
Nerita reticulata 4
Neritina turrita 30
Neritina subconica
Neritina zigzag 1
Cithon corona 52
Cithon oualaniensis 2
Cithon diadema 2
Cithon bicolor 5
Septaria lineata 2
9. Potamididae Telescopium mauritsi 3
Terebralia sulcata 3
Terebralia palustris 1
Cerithidea obtusa 8
Cerithidea alata 8
Cerithidea cingulata 7
10. Thiaridae Melanoides maculata 10
Melanoides plicaria 2
Melanoides riqueti 1
11. Trochidae Monodonta labio 9
12. Turbinidae Astraea calcar 1
Total 37 spesies 311

30
Lampiran 5
Tabel 4. Daftar koleksi ikan dari T.N Ujung Kulon, 2008

No Suku Jenis Lokasi ∑


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 (ekor)
1 Acanthuridae Acanthurus grammoptilus √ 1
2 Apogonidae Apogon hyalosoma √ √ √ √ √ 17
A. lateralis √ 6
Apogon cf orbicularis √ 2
3 Atherinidae Pranesus endrachtensis √ 1
4 Bagridae Mystus gulio √ √ √ √ 38
5 Batrachoididae Batrachomoeus trispinosus √ 1
6 Belonidae Strongylura leiura √ √ 3
7 Blennidae Omobranchus elongatus √ 1
8 Carangidae Caranx sexfasciatus √ √ √ √ √ √ √ √ 27
9 Chandidae Ambassis dussumieri √ √ 60
A. gymnocephalus √ √ √ 6
A. interrupta √ 1
A. urotaenia √ √ 7
10 Cyprinidae Puntius binotatus √ √ 3
11 Eleotrididae Butis butis √ √ √ 6
B. gymnopomus √ √ 4
Ophiocara porocephala √ 3
12 Engraulididae Stolephorus commersonii √ 2
Thryssa baelama √ 1
13 Exotidae Cypsilurus poecilopterus √ 1
14 Gerreidae Gerres filamentosus √ √ √ 5
Gerres oyena √ 2
15 Gobiidae Acentrogobius sp √ 7
Bathygobius petrophilus √ 6
Glossogobius aureus √ √ √ 5
G. biocellatus √ √ √ √ √ √ √ 22
G. giuris √ √ √ 3
G. latifrons √ 4
Istigobius ornatus √ √ 3
Istogobius sp √ 1
Oligolepis acutipennis √ 1
Oxyurichthys tentacularis √ 1
Periopthalmus
argentimaculatus √ √ √ 12

31
P. kalolo √ √ 4
Pseudogobius javanicus √ √ 7
Pseudogobius sp √ 1
Stigmatogobius sp √ 1
16 Hemirhamphidae Zenarchopterus dispar √ √ √ 5
17 Labridae Halichoeres sp √ 3
Pseudojulis sp √ 1
18 Leiognathidae Leiognathus decorus √ 4
Leiognathus equulus √ √ √ 13
Secutor insidiator √ 4
19 Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus √ √ √ √ √ √ √ 14
L. fulvus √ 1
L. johnii √ 1
L. russelli √ √ √ 4
20 Monodactylidae Monodactylus argenteus √ 3
21 Mugillidae Liza subviridis √ √ √ √ √ √ √ 61
L. tade √ √ 4
Valamugil engeli √ 16
Valamugil sp √ 2
22 Muraenidae Gymnothorax javanicus √ √ 1
G. polyuranodon √ 2
23 Oryziidae Oryzias javanicus √ √ √ √ √ √ √ √ 70
24 Plesiopidae Plesiops coeruleolineatus √ 1
25 Plotosidae Plotosus lineatus √ √ 66
26 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis √ 2
Pomacentrus
taeniometopon √ 19
27 Pomadaysidae Pomadays argenteus √ √ √ 4
28 Scatophagidae Scatophagus argus √ √ 2
29 Scorpaenidae Scorpaenopsis oxycephala √ 3
Tetraoge niger √ 2
Vespicula depressifrons √ 1
30 Serranidae Epinephelus coioides √ √ 6
E. lanceolatus √ √ 5
E. quoyanus √ √ 3
31 Sillaginidae Sillago macrolepis √ √ 5
32 Soleidae Achirus poropterus √ √ 8
33 Syngnathidae Microphis brachyurus √ √ 3
34 Teraponidae Terapon jarbua √ √ √ 4
35 Tetraodontidae Chelonodon patoca √ √ √ √ √ √ √ 17
Tetraodon nigroviridis √ √ √ 5
36 Toxotidae Toxotes jaculatrik √ √ √ √ 6
∑ 647

32
Keterangan : 1. S. Cilintang (St 1); 2. S. Cilintang (St 2); 3. S. Prepet (St 1);4. S. Prepet (St 2); 5.
S. Cikawung (St 1); 6. S. Cikawung (St 2); 7. S. Citamanjaya (St 1); 8. S. Citamanjaya (St 2); 9.
Pulau Boboko; 10. S. Cigenter (St 1); 11. S. Cigenter (St 2); 12. S. Pinang Gading.

Lampiran 6
Tabel 5. Biota Herpetofauna Mangrove Dan Non Mangrove Taman Nasional Ujung
Kulon (TNUK)

No Spesies Jumlah Mangrove Non Mangrove


Spesimen
1. Rana chalconota*) 3 - S. Citamanjaya
2. Fejervarya cancrivora*) 7 - S. Citamanjaya
3. Fejervarya limnocharis*) 4 - S. Citamanjaya
4. Polypedates leucomystax 2 - Legon Pakis &
Sungai Cilintang
5. Bufo melanostictus*) 1 - Tamanjaya
6. Occydoziga sumatrana 6 - Cigenter
7. Varanus salvator 1 Cilintang Tamanjaya &
Sungai Cilintang
8. Mabuya multifasciata 5 Cilintang, Tamanjaya
Prepet.
9. Emoia atrocostata 5 Boboko, Tamanjaya
Cigenter
10. Sphenomorphus sanctus 4 - Tamanjaya
11. Cyrtodactylus marmoratus 1 - Tamanjaya
12 Gekko gecko*) 6 - Tamanjaya
13. Hemydactilus frenatus*) 1 - Tamanjaya
14. Gehyra multifasciata 2 - Tamanjaya
15. Dasia olivacea 1 - Tamanjaya
16. Draco fimbriatus 1 - Tamanjaya
17. Draco haematopogon 13 - Tamanjaya dan
Cigenter
18. Calloselasma 2 - Tamanjaya
rhodostoma*)
19. Rhabdophis subminiatus 1 - Tamanjaya
20. Cerberus rynchops*) 2 Cilintang -
Total 68 4 spesies 19 spesies

Keterangan: *) = diperoleh dari koleksi pada malam hari

33
Lampiran 7
Tabel 6. Daftar jenis koleksi biota mamalia dari T.N. Ujung Kulon, 2008

Suku Jenis Jumlah


Spesimen

Pteropodidae Cynopterus brachyotis 9


Cynopterus sphinx 2
Cynopterus titthaecheilus 1
Eonycteris spelaea 1
Macroglosus sobrinus 29
Megadermatidae Rousetus amplexicaudatus 1
Vespertilionidae Megaderma spasma 1
Myotis muricola 2
Pipistrellus javanicus 2
Hipposideridae Scotophilus kuhlii 1
Rhinolophidae Hipposiderus larvatus * 2
Mollosidae Rhinolophus affinis * 1
Muridae Chaerephon plicata 10
Rattus tiomanicus * 5
Sciuridae Chiropodomys gliroides 1
Cynocephalidae Callosciurus nigrovittatus * 3
Cynocephalus variegatus 2
Total 17 spesies 73

Keterangan * Diperoleh di kawasan mangrove

34
35

Anda mungkin juga menyukai