Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Taman nasional merupakan salah satu kawasan konservasi terbaik dengan
keanekaragaman, keunikan, kekhasan dan keindahan flora/fauna endemik, langka
dan dilindungi, termasuk keindahan dan keajaiban fenomena alam. Taman
nasional mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam pelestarian
keanekaragaman hayati sehingga penunjukan dan penetapannya diupayakan
sedapat mungkin mencakup perwakilan semua tipe ekosistem yang berada dalam
tujuh wilayah biogeografi pulau di Indonesia.
Bioregion Wallacea merupakan kawasan yang secara biogeografi berbeda
dengan kawasan lainnya di dunia. Pulau Sulawesi sebagai “Jantung Wallacea”
terbentuk dari campuran berbagai bagian benua yang aslinya berasal dari Asia
bagian barat dan Australia bagian timur. Pulau ini merupakan pulau terbesar di
kawasan Wallacea dan secara geologis paling rumit karena menjadi tempat hidup
bagi fauna campuran Oriental dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai
jenis fauna endemik. Contohnya, dari delapan jenis primata yang ditemukan di
Sulawesi, seluruhnya adalah jenis endemik (Supriatna & Wahyono 2000 dalam
Comalasari 2006).
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) merupakan taman
nasional yang penunjukkannya dilakukan oleh Menteri Kehutanan melalui SK
Nomor 398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Taman Nasional
Bantimurung bulusaraung dengan luas + 43.750 ha, merupakan gabungan dari
Cagar Alam (CA) Karaenta, CA Bantimurung, CA Bulusaraung, Taman Wisata
Alam (TWA) Bantimurung dan TWA Pattunuang. Saat ini, TN Babul merupakan
habitat yang baik bagi flora fauna maskot Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu julang
sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan lontar (Borassus flabelliber). Keistimewaan
lainnya, bahwa Bantimurung dijuluki ”Kingdom of Butterfly” oleh A.R. Wallace.
Tercatat setidaknya 103 jenis kupu-kupu pada tahun 1977 walaupun menurun
menjadi 80 jenis pada tahun 1995, tetapi pada kawasan ini dijumpai Papilio
satapses yang endemik Bantimurung.
Keanekaragaman hayati yang tinggi serta berbagai jenis khas dan endemik
di kawasan TN Bantimurung, menjadikan kawasan ini menjadi penting untuk
dikelola secara intensif, agar kelestariannya dapat terjaga serta dapat memberikan
manfaat yang besar bagi kawasan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONDISI UMUM LOKASI


1. Sejarah Kawasan
Salah satu diantara sekian banyak kawasan konservasi yang ada di wilayah
Republik Indonesia, yaitu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha yang terletak di wilayah
administratif Kabupaten Maros dan Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan ditunjuk
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


Sebelum berubah fungsi menjadi taman nasional, kawasan ini berfungsi
sebagai cagar alam seluas ± 10.282,65 Ha, taman wisata alam seluas ± 1.624,25
Ha, hutan lindung seluas ± 21.343,10 Ha, hutan produksi tetap seluas ± 10.355 Ha
serta hutan produksi terbatas seluas ± 145 Ha. Alih fungsi kawasan-kawasan
tersebut menjadi taman nasional didasarkan atas pertimbangan bahwa kawasan
tersebut merupakan ekosistem karst yang memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi dengan jenis-jenis flora dan fauna endemik, unik dan langka, keunikan
fenomena alam yang khas dan indah serta ditujukan untuk perlindungan sistem
tata air.
2. Letak Kawasan
Taman Nasional Bantimurung adalah kawasan konservasi alam di daerah
Makassar yang terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, Propinsi
Sulawesi Selatan, yang memiliki luas ± 43.750 ha dengan letak geografis 4033’-
5002’ Lintang Selatan dan 119038’-119057’ Bujur Timur. TN Babul termasuk
dalam wilayah kerja seksi konservasi wilayah II tepatnya di Kabupaten Maros
pada BKSDA Sulsel I, wilayah kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Maros-
Pangkep.
Taman Nasional Bantimurung terletak di wilayah Kabupaten Maros-
Pangkep dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
 Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Barru dan Bone
 Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bone
 Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros
 Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Pangkep

3. Kondisi Fisik
Keadaan bentuk/topografi lapangan pada kawasan Taman Nasional
Bantimurung adalah mulai daratan, perbukitan dan pegunungan. Daerah daratan
dicirikan oleh bentuk topografi datar, relief rendah dan tekstur topografi halus.
Daerah perbukitan dapat dikelompokkan ke dalam perbukitan intrusi, perbukitan
sediment dan perbukitan karst. Daerah pegunungan terletak di bagian utara,
tengah dengan puncak tertinggi adalah Gunung Bulusaraung setinggi 1.300 mdpl.
Kawasan Taman Nasional Bantimurung tersusun atas beberapa geologi.
Formasi yang didasarkan pada ciri-ciri litologi dan dominasi batuan tersebut
antara lain adalah Formasi Balang Baru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa dan
Formasi Camba. Pada bukit kapur Maros-Pangkep terdapat dua jenis tanah yang
kaya akan kalsium dan Magnesium, yaitu Rendolis dan Eutripepts.
Berdasarkan data iklim yang tercatat oleh Badan Meteorologi dan Geofisika
Stasiun Klimatologi Kelas I Panakukang, Maros-Sulawesi Selatan (2006), iklim
Bantimurung termasuk tipe iklim C (Schmidth-Ferguson), dengan iklim basah
berlangsung selama delapan bulan yaitu Oktober-Mei, bulan kering selama tiga
bulan yaitu Juli-September dan bulan lembap berlangsung pada bulan Juni. Suhu
udara rata-rata berkisar 26,50C-27,80C dan kelembapan udara berkisar 66%-87%
(Mustari 2007). Kecepatan angin rata-rata 3 knot dan maksimum 20 knot.

4. Kondisi Biologi
Kawasan hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung
merupakan ekosistem karst Maros – Pangkep. Kawasan ini memiliki berbagai
jenis flora, antara lain bintangur (Calophyllum sp.), beringin (Ficus sp.), nyatoh
(Palaquium obtusifolium), lontar (Borassus flabelliber) dan flora endemik
Sulawesi yaitu kayu hitam (Diospyros celebica).
Berbagai jenis satwa liar yang khas dan endemik Sulawesi dapat ditemukan
di Taman Nasional Bantimurung. Diantaranya yaitu monyet hitam (Macaca
maura), kuskus sulawesi (Phalanger celebencis) dan musang sulawesi
(Macrogolidia musschenbroecki). Jenis mamalia lain diantaranya yaitu rusa timor
(Cervus timorensis) serta berbagai jenis kelelawar buah maupun kelelawar goa.
Diantara jenis burung yang ada yaitu julang sulawesi (Rhyticeros cassidix),
kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), kakatua jambul-kuning (Cactua
sulphurea), kakatua hijau danga (Tanycnatus sumatranus), punai (Treron sp.),
serta ayam hutan (Gallus gallus). Berbagai jenis reptili yang ada yaitu ular sanca
(Phyton reticulatus), ular daun, biawak (Varanus salvator) dan kadal terbang.
Selain itu, terdapat berbagai jenis kupu-kupu. Diantara jenis yang terkenal adalah
Papilio blumei, Papilio satapses, Troides halipton, Troides Helena dan Graphium
androcles.

5. Potensi Wisata
Kawasan Taman Nasional Bantimurung memiliki obyek wisata yang dapat
dikembangkan untuk dilestarikan oleh masyarakat antara lain air terjun, keindahan
pemandangan bukit karst, keindahan jenis flora dan fauna serta potensi goa.

6. Keadaan Sosial - Ekonomi Dan Budaya


Masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung didominasi oleh
etnis Bugis dan Makassar. Dalam komunikasi sehari-hari mereka menggunakan
bahasa Bugis dan Makassar, akan tetapi keduanya dapat saling berkomunikasi dan
saling mengerti kedua jenis bahasa tersebut. Adat istiadat yang mereka laksanakan
dalam kehidupan sehari-hari pun sangat dipengaruhi oleh kedua etnis tersebut.
Mayoritas masyarakat kawasan ini menganut agama Islam.

7. Aksesibilitas
Taman Nasional Bantimurung terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten
Pangkep merupakan kawasan konservasi yang memiliki aksesibilitas cukup
mudah. Rute perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat
kendaraan beroda dua ataupun beroda empat yang berjarak 30 km dari Makassar
(Comalasari, 2006).

B. MANAJEMEN SATWALIAR IN-SITU


1. Kondisi habitat
Secara umum kegiatan inventarisasi keanekaragaman satwaliar di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dibagi atas dua jalur pengamatan. Setiap jalur
pengamatan merupakan perwakilan dari tipe habitat berbeda dengan ciri khas
berdasarkan komposisi floranya. Kedua tipe habitat tersebut adalah:
a. Hutan
 Hutan Riparian
Habitat riparian di Panaikang memiliki komposisi vegetasi yang umumnya
terdiri atas semak-semak dan pepohonan dengan tajuk agak terbuka. Habitat ini
berada di pinggiran sungai berpasir dengan aliran air yang cukup deras dan jernih
berasal dari hutan yang masih tertutup rapat di sekitarnya. Kondisi riparian adalah
daerah terbuka hasil sedimentasi yang membentuk daratan dengan struktur batuan
sungai di bagian pinggir, kemudian berupa pasir dan hutan pada daerah tertutup.
Beberapa jenis tumbuhan yang ditemukan diantaranya adalah tempuyung
(Sonchus arvensis), asam (Tamarindus indica) dan bingkuru (Morinda
brancteae).
Habitat riparian
 Hutan Sekunder
Topografi hutan sekunder relatif bervariasi dari datar hingga curam dengan
kondisi tutupan vegetasi rapat. Hutan sekunder yang dimaksud adalah hutan yang
pernah mengalami gangguan disebabkan perambahan. Ketinggian lokasi
pengamatan 200-250 mdpl. Didominasi oleh pohon tinggi hasil suksesi sehingga
sinar matahari sulit menembus hingga tanah menyebabkan lantai hutan bersih.
Habitus lainnya yang ditemukan selain pohon berupa liana dan perdu. Beberapa
spesies tumbuhan diantaranya adalah sirih hutan (Piper sp), jambu biji (Psidium
guajava), jeruk bali (Cytrus maxima) dan Mangga hutan (Mangifera sp).

Hutan sekunder
b. Mamalia
Berdasarkan hasil inventarisasi mamalia yang dilakukan di Dusun
Panaikang Desa Kalabbirang, Resort Bantimurung Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (TNBB) diperoleh 4 jenis mamalia. Beberapa jenis mamalia tersebut
diperolah pada tipe habitat reparian skunder. Jenis-jenis mamalia yang
diindentifikasi pada jalur pengamatan yakni monyet sulawesi (Macaca maura)
dan babi sulawesi (Sus celebensisi) yang diidentifikasi melalui jejak kaki serta
kubangan. Selain dari hasil pengamatan, beberapa mamalia juga diidentifikasi
berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk yang tinggal di sekitar kawasan
kawasan TNBB adalah Tarsius spectrum dan kuskus sulawesi (Strigocuscus
celebensis). Jenis mamalia yang ditemukan di tempat ini relatif sedikit karena
dapat dipengaruhioleh aktivitas manusia. Menurut Alikodra (2010) ancaman
terhadap satwa dikarenakan jumlah manusia yang semakin bertambah dalam
pemanfaatan lahan. Sedangkan dari hasil wawancara cukup banyak diidentifikasi
karena pada umumnya masyarakat sekitar mengenal kondisi kawasan lebih
banyak, sehingga pengetahuan mengenai keberadaan satwa lebih banyak pula.

c. Kupu-kupu

Jumlah individu kupu-kupu pada jalur sungai (riparian) yang berada di


lokasi Panaikang. Sungai-sungai yang terdapat pada jalur pengamatan ini
umumnya cukup lebar dengan aliran air yang tidak terlalu. Habitat riparian ini
sangat mendukung untuk kehadiran kupu-kupu karena memiliki semua komponen
habitat yang dibutuhkan oleh kupu-kupu seperti sumber mineral, sinar matahari
yang cukup dan di sekitar pinggiran sungai banyak ditumbuhi vegetasi pakan
Kupu-kupu diantaranya bingkuru (Morinda brancteae) yang menjadi
pakan kupu-kupu dari famili Hesperiidae. Jumlah kupu-kupu yang dapat
ditemukan pada habitat ini sebanyak 75 individu yang terdiri dari 40 spesies.
Jalur kedua merupakan jalur hutan sekunder yang berada di lokasi
Kampoang. Banyaknya kupu-kupu yang berhasil diamati pada jalur ini karena
terdapat banyak pohon dan tumbuhan berbunga yang menjadi pakan kupu-kupu
berada di sepanjang jalur pengamatan. Beberapa vegetasi dominan pakan kupu-
kupu dari famili Papilionidae diantaranya adalah sirih hutan (Piper sp), kayu putih
(Melaleuca leucadendra) dan jambu biji (Psidium guajava). Terdapat juga
tumbuhan ketepeng (Cassia alata) dan mangga hutan (Mangifera sp) sebagai
pakan kupu-kupu dari famili Nymphalidae Jumlah kupu-kupu yang ditemukan
pada habitat ini sebanyak 241 individu yang terdiri dari 65 spesies.
Jenis kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN
Babul) yang ditemukan pada dua lokasi pengamatan disajikan dalam Tabel 2.
Jumlah total kupu-kupu yang teramati sebanyak 80 spesies (316 individu) yang
terbagi dalam 6 famili, yaitu: Papilionidae 17 spesies (58 individu), Pieridae 10
spesies (54 individu), Nymphalidae 34 spesies (140 individu), Danaidae 10
spesies (51 individu), Lycaenidae 6 spesies (9 individu) dan Hesperiidae 3 spesies
(3 individu).

Anda mungkin juga menyukai