Anda di halaman 1dari 5

REVIEW

TAMAN NASIONAL SEMBILANG


KABUPATEN BANYUASIN
PROVINSI SUMATERA SELATAN

Disusun oleh:
Yusuf Mathiinul Hakim
20012682125012
A. Pengenalan Taman Nasional Sembilang
Taman Nasional Sembilang terletak di pesisir timur Sumatera Selatan yang lebih
tepatnya berada di Kabupaten Banyuasin, memiliki luas +/- 200.000 ha dengan lebih dari 1/3
kawasan mangrove, yang menjadikannya kawasan mangrove terbesar di kawasan barat
Indonesia. Kawasan mangrove menjadi penting bagi bumi karena sebagai pelindung lahan,
menurunkan kadar karbon di udara, menjaga pencemaran di laut, dan menjaga nutrisi alam.
Taman nasional ini terbentuk dari struktur hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan
hutan riparian.

Taman nasional ini diberi nama Sembilang yang merujuk pada spesies ikan yang
banyak tumbuh di kawasan ini, yaitu ikan Sembilang. Ikan ini digolongkan ke keluarga ikan
lele, dengan penyebaran dari air tawar asin Indopasifik, dari Jepang sampai ke Australia.

Kawasan Taman Nasional Sembilang mencakup kawasan yang beririsan dengan


beberapa desa transmigrasi di Sumatera Selatan, yaitu Desa Tabaa Jaya, Maju Ria, Karang
Sari, Sumber Rejeki, Purwodadi, Perumpung Raya, Karang Mukti. Sebab berbatasan
langsung dengan kawasan pemukiman, muncul polemic yaitu warga yang tinggal tidak
seluruhnya mengerti tentang larangan untuk memanfaatkan sumber daya di kawasan

2
konservasi. Salah satu masalah yang banyak terjadi adalah para nelayan yang menggunakan
alat tangkap illegal seperti strum listrik untuk mengambil ikan.

B. Geomorfologi Taman Nasional Sembilang


Taman Nasional Sembilang membentang dari 1.632.48 LS dan dari 104.11-
104.94 BT. Taman Nasional Sembilang merupakan bagian dari daratan rawa terbesar di
Indonesia yang terisi dengan formasi sedimen Palembang. Selama Masa Pleistosen, kawasan
ini berada di pinggir Paparan Sunda dan telah mengalami Banjir sejak Masa Holosen dengan
adanya kenaikan permukaan air akibat naiknya suhu (Polak, 1941 dalam Dirjen PHKA dan
Wetlands International, 2002). Berdasarkan pada peta geologi dengan skala 1:250.000 Jambi
dan Palembang (Gafoer et al., 1986), kawasan ini tergolong dalam formasi kuarter yang
terdiri atas endapan alluvial dan endapan rawa (ENEX of New Zealand dan PT MES, 1995).
Secara geomorfologis, lahan Taman Nasional Sembilang dapat dibagi menjadi tiga jenis
(satuan) lahan: lahan alluvial (terbentuk dari sedimen sungai dan tergenang secara musiman),
lahan marin (terbentuk dari bahan-bahan yang dibawa oleh gerakan pasang surut dan aliran
sungai), dan lahan gambut (wilayah rawa dengan bahan-bahan organik pekat).
Lahan marin dapat dibagi menjadi: pantai (pantai lumpur, pantai pasir, beting pasir)
dan dataran pasang surut (dataran pasir pasang surut, dataran lumpur pasang surut, rawa
pasang surut bagian belakang). Wilayah rawa dapat dibagi menjadi: zona pasang surut payau,
zona pasang surut air tawar, dan zona non pasang surut (Dirjen PHKA dan Wetlands
International, 2002). Kawasan Taman Nasional Sembilang bertopografi datar, bervariasi
antara 0-20 m di atas permukaan laut, dan sebagian besar terdiri atas formasi hutan bakau dan
hutan rawa (belakang). Variasi pasang surut air laut berkisar antara 1,6 dan 2,8 meter, namun
pada bulan Desember-Januari pasang bisa mencapai 3,5 meter (Daniesel dan Verheught,
1990; Verheught, 1995).
Taman Nasional Sembilang mempunyai iklim tropis (equatorial monsoons) dengan
curah hujan tahunan rata-rata 2.455 mm/tahun. Berdasarkan data dari tahun 1989 hingga
1998. Rata-rata curah hujan bulanan pada musim hujan adalan 250 mm sedengkan pada
musim kemarau adalah 130 mm. Musim kemarau berlangsung dari bulan Mei hingga
Oktober sedangkan musim hujan terjadi dari November hingga April. Curah hujan dalam
tahun-tahun tertentu tidak selalu mengikuti pola umum, hal ini sangat tergantung pada pola
angin barat laut yang membawa butiran-butiran hujan. Berdasarkan pada Oldeman et al.
(1979) dan Whitten et al. (2000), klasifikasi iklim Sembilang sesuai dengan Zona C:
mengalami 5-6 bulan basah berturut-turut dan 3 bulan atau kurang bulan kering berturut-
turut. Suhu udara yang tercatat pada bulan Mei-Juni 2006 (oleh Tim Eksplorasi dan
Penelitian Kebun Raya Bogor berkisar antara 24 C pada dini hari sampai dengan 33 C pada
siang hari. Kelembapan udara bervariasi antar 68 persen pada siang hari dan 99 persen pada
dini hari.
Bentang alam kawasan Sembilang didominasi oleh sebuah gradien yang mencakup
hutan hujan dataran rendah (sebagai batas TN), hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar
(di daerah pedalaman) hingga hutan bakau, dataran lumpur pasang surut, dan pantai berpasir
(di sepanjang garis pantai). Sejumlah sungai pendek memotong hutan bakau dan membentuk
ekosistem-ekosistem bakau yang unik.

3
C. Ekosistem Taman Nasional Sembilang
1. Satwa
Selain ikan sembilang yang menjadi ikonik kota Palembang sebagai hewan endemik,
kawasan mangrove menjadi tempat hidup banyak spesies hewan. Tercatat ada 53 spesies
mamalia yang hidup di Taman Nasional Sembilang. Pada area hutan pantai, hidup hewan
seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris-sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatranus), Kucing Mas (Catopuma temminckii), Siamang (Hylobates
syndactylus), Tapir (Tapirus indicus), Rusa Sambar (Cervus unicolor), dan babi hutan (Sus
spp.). Adapun mamalia air yang hidup di kawasan ini, yaitu lumba-lumba tanpa sirip
punggung (Neophocaena phocaenoides), lumba-lumba air tawar atau pesut (Orcaella
brevirostris), dan lumba-lumba bungkuk (Souca chinensis). Kelompok reptil yang menghuni
kawasan perairan taman nasional ini berjumlah 16 spesies, antara lain buaya air asin
(Crocodylus porosus), buaya (Tomistoma schlegelii), biawak (Varanus salvator), labi-labi
berukuran besar (Chitra indica), dan ular punti masak (Boiga dendrophyla).
Ada cukup banyak kelompok aves yang hidup di Taman Nasional Sembilang, mulai
dari jenis endemik sampai migran. Beberapa diantaranya adalah bangau tongtong
(Leptoptilos javanicus), bangau bluwok putih (Mycteria cinerea), ibis cucuk besi
(Threskiornis melalochepalus), pecuk ular asia (Anhinga melanogaster), dan undan putih
(Pelecanus onocrotalus). Taman nasional sembilang merupakan lokasi favorit persinggahan
burung yang bermigrasi dari Siberia ke Australia, ataupun sebaliknya. Alasannya karena
banyak tanah berlumpur di area mangrove, untuk mencari makan. Burung migrasi mendapat
ancaman dari predator lokal, yaitu burung elang.

2. Tumbuhan
Beberapa jenis tumbuhan yang dapat dijumpai di Taman Nasional Sembilang antara
lain gajah paku (Acrostichum aureum), nipah (Nypa fruticans), cemara laut (Casuarina
equisetifolia), pandan (Pandanus tectorius), laut waru (Hibiscus tiliaceus), nibung
(Oncosperma tigillaria), jelutung, menggeris (Koompassia excelsa), dan gelam tikus
(Syzygium inophylla).
Adapun tumbuhan mangrove yang hidup di kawasan ini yaitu Rhizophora
(Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata), Nepenthes ampullaria yang merupakan
spesies indikator pada gambut dalam. Kemudian Brugierra (Bruguierra gymnorrhiza,
Bruguierra parviflora, Bruguierra sexangula, dan Bruguierra cylindrica), Aegiceras
(Aegiceras corniculatum dan Aegiceras floridum).Tumbuhan mangrove lainnya
adalah Kandelia candel, Sonneratia (Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba,  dan  Sonneratia
Ovata), Avicennia (Avicennia marina, Avicennia alba, dan Avicennia ofificinalis),Ceriops
(Ceriops decandra dan Ceriops taga), Xylocarpus (Xylocarpus granatum dan Xylocarpus
molucensis), dan Excoecaria agallocha.
Dijumpai pula flora jenis ramin yang merupakan tumbuhan dilindungi, spesies nibung
(Oncosperma tigillarium), kantong semar (Nepenthes sp.), dan berbagai spesies palem. TN
Sembilang juga menjadi habitat spesies anggrek lokal seperti Cymbidium
hartinahiahium and Dendrobium macrophylum.

4
Referensi:
LIPI Press, anggota Ikapi, 2009, hlm 226-231 ISSN/ISBN/IBSN: ISBN 978-979-799-493-8.
No. Arsip: LIPI-9030
Hardon, H.J. and Polak, B. 1941. De chemische samenstelling van enkele venen in
Nederlandsch Indië. Landbouw 17:1081-1093.
Gafoer, S., Cobrie, T. and Purnomo, J. (1986) “Peta geologi lembar Lahat (1012), Sumatera
Selatan, scale 1:250.000.” Bandung: Pusat Survey Geologi, p. 1.
Dirjen PHKA dan Wetlands International. 2002. Strategi dan Rencana Tindak Nasional
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
Daniesel dan Verheught, 1990. On WIIP 2001
Oldeman, L.R., I. Las, dan S.N. Darwis. 1979. An Agroclimatic Map of Sumatra. Contr.
Centr. Res. Inst. Agric. Bogor (52). Hal 35
Whitten, T., Damanik, S.J., Anwar, J. & Hisyam, N. 2000. The Ecology of Sumatra.
The Ecology of Indonesia Series Volume I. Periplus, Singapore.

Anda mungkin juga menyukai