TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mangrove
2.1.1. Definisi Mangrove
Asal kata mangrove tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai pendapat
mengenai asal-usul katanya. Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove merupakan
perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu,
menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi
yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat
ini di Indonesia bagian timur.
Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda-beda, namun pada
dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)
mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut
maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan
daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger,
dkk, 1983). Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai
hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia,
Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus,
Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
Mangrove adalah pohon yang sudah beradaptasi sedemikian rupa sehingga akan
mampu untuk hidup di lingkungan berkadar garam tinggi seperti lingkungan laut.
Sedangkan hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang
didominasi beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tunbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur. Mangrove tunbuh pada pantai-pantai yang
terlindung atau pada pantai yang datar, biasanya di tempat yang tidak ada muara
sungainya, biasanya tumbuh meluas. Mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan
berombak besar dengan arus pasang surut ayng kuat, karena hal ini tidak memungkinkan
terjadinya pengendapan lumpur dari pasir, sebagai substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhannya (Nontji, 1993).
c. Mangrove payau
Mangrove berada disepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini
biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di Karang Agung,
komunitas N. fruticans terdapat pada jalur yang sempit di sepanjang sebagian besar
sungai. Di jalur-jalur tersebut sering sekali ditemukan tegakan N.fruticans yang
bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena
palustris dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai, campuran komunitas Sonneratia -
Nypa lebih sering ditemukan. Di sebagian besar daerah lainnya, seperti di Pulau Kaget
dan Pulau Kembang di mulut Sungai Barito di Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai
Singkil di Aceh, Sonneratia caseolaris lebih dominan terutama di bagian estuari yang
berair hampir tawar (Giesen & van Balen, 1991).
d. Mangrove daratan
Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau
mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk
Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa,
Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup,
1993). Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona
lainnya.
2.1.5. Karakteristik Habitat Mangrove
Sebagian pohon mangrove dijumpai di sepanjang pantai terlindung yang
berlumpur, bebas dari angin yang kencang dan arus (misalnya di mulut muara sungai
besar). Mangrove juga dapat tumbuh diatas pantai berpasir dan berkarang , terumbu karang
dan di pulaupulau kecil. Sementara itu air payau bukanlah hal pokok untuk pertumbuhan
mangrove, mereka juga dapat tumbuh dengan subur jika terdapat persediaan endapan yang
baik dan pada air tawar yang berlimpah (Hamilton, 1984).
Hutan mangrove dapat tersebar luas dan tumbuh rapat mulut sungai besar di
daerah tropis, tetapi di daerah pesisir pantai pegunungan, hutan mangrove tumbuh di
sepanjang garis pantai yang terbatas dan sempit. Perluasan hutan mangrove banyak
dipengaruhi oleh topografi daerah pedalaman (Hamilton, 1984).
Ada hubungan yang erat antara kondisi air dengan vegetasi hutan mangrove. Di
beberapa tempat, mangrove menunjukkan tingkatan zonasi yang nyata yang cenderung
berubah dari tepi air menuju daratan. Namun kadangkadang tergantung pada undulasi
atau tinggi rendahnya lantai hutan atau anak sungai di dalam area yang skemanya khusus
dan menggambarkan keadaan umum dari dataran pasang surut (Hamilton, 1984).
Menurut Bengen (2001), karakteristik habitat hutan mangrove yaitu :
1. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal,
2. Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir,
3. Daerahnya tergenang air laut secara berkala,
4. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
5. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat,
6. Banyak ditemukan di pantai yang terlindungi, teluk dangkal, estuaria,
7. Air bersalinitas payau (222 permil) hingga asin (38 permil).
2.1.6. Bentuk Adaptasi Mangrove
Menurut Chapman (1984), beberapa bentuk adaptasi mangrove adalah:
a. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, mangrove memiliki perakaran yang khas untuk
mengambil oksigen dari udara, yakni bertipe cakar ayam yang mempunyai
pneumatofora atau akar nafas (misal: Avecennia, Xylocarpus, Sonneratia) atau bertipe
penyangga/tongkat yang memiliki lentisel (misal: Rhizophora).
b. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horizontal yang lebar sehingga memperkokoh pohon.
c. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi, dengan menghindari banyaknya garam dengan
cara menyaring melalui bagian akarnya. Beberapa spesies dapat menyaring sampai 90%
kadar garam air laut. Rhizophora, Ceriops, dan Bruguiera termasuk spesies penyaring
garam (saltexcluders).
d. Secepatnya mengeluarkan garam yang masuk ke dalam sistem pepohonan melalui pori-
pori daun. (Avicennia, Sonneratia and Acanthus).
e. Menumpuk kelebihan garam pada kulit batang pohon dan daun tua yang akan terlepas
dan jatuh dari pohon tersebut (Avicennia, Sonneratia dan Ceriops).
f. Berdaun kuat dan mengandung banyak air.
g. Mempunyai banyak jaringan internal penyimpan air dan kosentrasi garam tinggi.
1. Fisiografi pantai (topografi). Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove
lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena
pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga
distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar
2. Pasang (lama, durasi, rentang). Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat
mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat
pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut. Komposisi spesies dan
distribusi area yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi
penggenangan.
3. Gelombang dan arus. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem
mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar
biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga mengurangi kelangsungan hidup
mangrove.
4. Salinitas. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara
10-30 ppt. Salinitas terkait dengan frekuensi penggenangan, sehingga secara langsung
dapat mempengaruhi pertumbuhan zonasi, dan kelangsungan hidup mangrove.
5. Oksigen terlarut. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena
bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk
kehidupannya. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis.
7. Cara penanaman. Bibit mangrove yang ditanam secara langsung akan mengalami
tingkat kelulushidupan sangat rendah yakni sekitar 20%, sementara bila dilakukan
pembibitan terlebih dahulu, tingkat kelulushidupannya naik menjadi 60-70%.
2.2. Lamun
Lamun (seagrass) adalah salah satu tumbuhan laut yang termasuk tumbuhan sejati
karena sudah dapat dibedakan antara batang, daun, dan akarnya. Lamun adalah tumbuhan
berbunga yang tumbuh di perairan dangkal dan estuari yang ada di seluruh dunia. Lamun
merupakan tumbuhan laut monokotil yang secara utuh memiliki perkembangan sistem
perakaran dan rhizoma yang baik (Kawaroe 2009). Lamun dapat ditemukan pada berbagai
karakteristik substrat. Di Indonesia padang lamun dikelompokkan kedalam enam katagori
berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat berlumpur,
lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan batu karang (Kiswara dan
Hutomo 1985).
5. KecepatanArus
Kecepatan arus memiliki pengaruh terhadap padang lamun, contohnya pada daerah
yang arusnya cepat, sedimen pada padang lamun terdiri dari lumpur halus dan detritus.
Produktivitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Rendahnya
kecepatan arus sangat mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun dan
ikan, kecepatan arus berpengaruh besar dalam transportasi telur, larva dan ikan-ikan
kecil (Laevastu dan Hayes 1981 dalam Merryanto 2000).
a. Cahaya
Karena hewan karang bersimbiosis dengan alga zooxanthellae, maka cahaya menjadi
salah satu faktor pembatas bagi kehidupan karang. Oleh sebab itu hewan karang hanya
dapat hidup pada kedalaman kurang dari 30 m. Karena pada kedalaman yang lebih dari
30 m, maka hewan karang tersebut hanya sedikit mendapatkan sinar matahari.
b. Suhu
Suhu optimum untuk pertumbuhan hewan karang adalah berkisar 25-29OC, sedangkan
suhu minimal 20OC dan suhu maksimum 36OC. Kisaran suhu yang relatif sempit ini
(stenotermal), menyebabkan penyebaran karang hanya pada daerah tropik.
c. Salinitas
Salinitas yang sesuai dengan pertumbuhan hewan karang adalah sekitar 30-36 ppt, oleh
sebab itu jarang ditemukan terumbu di sekitar muara sungai yang besar.
d. Sedimentasi
Sedimentasi merupakan salah satu pembatas pertumbuhan karang. Daerah yang
memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat yang baik bagi
pertumbuhan karang. Tingginya sedimentasi menyebabkan penetrasi cahaya di air laut
akan berkurang dan hewan karang (polip) akan bekerja keras untuk membersihkan
partikel yang menutupi tubuhnya.
2.3.4. Faktor Kerusakan Karang
Faktor yang dapat merusak terumbu karang diantaranya adalah Pengendapan
kapur. Pengendapan kapur dapat berasal dari penebangan pohon yang dapat mengakibatkan
pengikisan tanah (erosi) yang akan terbawa kelaut dan menutupi karang sehingga karang
tidak dapat tumbuh karena sinar matahari tertutup oleh sedimen. Lalu, Aliran air tawar
yang terus menerus dapat membunuh karang, air tawar tersebut dapat berasal dari pipa
pembuangan, pipa air hujan ataupun limbah pabrik yang tidak seharusnya mengalir ke
wilayah terumbu karang. Bahan pencemar bisa berasal dari berbagai sumber, diantaranya
adalah limbah pertanian, perkotaan, pabrik, pertambangan dan perminyakan Pemanfaatan
sumber daya laut secara berlebihan. Adanya beberapa jenis biota laut diterumbu bisa jadi
merupakan faktor penentu kesehatan dan faktor penentu kesehatan dan kelangsungan hidup
koloni karang. Selain itu para penyelam yang tidak bertanggung jawab menyentuh karang
tanpa tahu bahaynya bagi kerusakan ekosistem menjadi salah satu masalah terbesar
kerusakan karang (Tomlinson, 1986).
2.3.5. Penyakit Karang
Penyakit merupakan suatu hal yang mengganggu dalam kehidupan karang,
laporan pertama tentang penyakit yang menyerang karang scleractinia muncul pada
pertengahan 1970-an. Penyakit Black-band Disease (BBD) pertama dilaporkan dari
terumbu karang di Belize dan Bermuda, tetapi kemudian ditemukan juga di Caribia dan
Indo-Pasifik. BBD ditemukan pada milleporinids (karang api) dan gorgonacean. Tidak
semua karang rentan terhadap penyakit ini. Karang otak massif (Diploria spp.,
Colpophyllia spp.) dan karang bintang (Montastraea spp.) umumnya paling banyak
diserang anggota family Faviidae, sementara elkhorn coral, staghorn coral, dan pillar coral
tahan terhadap infeksi (Peterson, 1991).
Terdapat empat kondisi karang yang telah diidentifikasikan sebagai penyakit yaitu
white band disease (WBD), Black band disease (BBD), infeksi bacterial dan shut down
reaction. BBD dan WBD mampu membunuh jaringan karang. Namun, Edmunds (1991)
menyatakan bahwa BBD, yang disebabkan oleh cyanophyta Phormidium corallyticum,
dapat memiliki suatu peran dalam menjaga diversitas karang karena paling umum dalam
spesies karang yang membentuk koloni besar dan membentuk struktur kerja bagi terumbu.
Ketika BBD membunuh bagian dari koloni-koloni ini, skeleton tersedia untuk dikolonisasi
oleh spesies koral yang lain. Tetapi setelah 25 bulan tidak ada rekriutmen karang diantara
karang yang terinfeksi BBD (Morton, 1990).