Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH EKOLOGI LAUT TROPIS

“EKOSISTEM MANGROVE”
Kamis, 12 September 2019

Nama : Dresti Ngurah Dwi Saputra


NIM : 1713521047
Kelas :A

I. PENDAHULUAN
Mangrove merupakan sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut pantai.
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland,
vloedbosschen, atau juga hutan payau. Oleh masyarakat semua hutan yang terdapat
dipinggir pantai disebut sebagai bakau. Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat dinamakan
hutan mangrove. Istilah ‘mangrove’ digunakan sebagai pengganti istilah bakau untuk
menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon
bakau Rhizophora spp, karena bakau hanya pohon bakau yang tumbuh di hutan
mangrove. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup pada hutan
mangrove tersebut (Bengen, 2004).
Selain itu Hutan mangrove atau yang sering disebut sebagai hutan bakau merupakan
hutan yang terletak di pinggiran atau di daerah pesisir pantai. Hutan mangrove
merupakan hutan yang khas karena memiliki jenis tumbuhan yang hanya bisa hidup di
kawasan hutan yang merupakan daerah perbatasan antara daratan dan lautan. Mangrove
merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya
pemanfataan berkelanjutan sumber daya pesisir dan laut. Mangrove merupakan
tumbuhan yang hidup disepanjang pantai, mangrove memiliki akar tunjang (stilt root),
akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh
ke dalam substrat, akar ini disebut juga sebagai akar napas kegunaan dari akar ini selain
untuk penyerapan zat hara juga sebagai penahan abrasi atau naiknya air laut (Bengen,
2004).
Ekosistem mangrove sering disebutkan sebagai hutan payau atau hutan bakau, ekosistem
mangrove merupakan tipe hutan daerah tropis yang khas tumbuh disepanjang pantai atau
muara sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove
banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak. Pengertian
ekosistem mangrove secara umum adalah merupakan komunitas vegetasi pantai tropis
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2004).
II. KOMPONEN-KOMPONEN DALAM EKOSISTEM MANGROVE
Struktur dan fungsi ekosistem mangrove, komposisi dan distribusi spesies, serta pola
pertumbuhan organisme mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan.
Adapun keseluruhan faktor yang mempengaruhi ekosistem mangrove mencakup:
1. Komponen Biotik
Komponen biotik yaitu Hewan mangrove, hewan manggrove dapat dibedakan atas
hewan darat, hewan perairan tawar dan hewan laut:
a. Hewan dari Darat
Hewan darat yang mengunjungi mangrove umumnya tergolong vertebrata, seperti
burung, amfibia, reptilia, dan mammalia.
1) Burung.
Mangrove merupakan habitat penting bagi burung migran dan tempat berlindung pada
musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebang. Burung air yang sering
mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau, heron, sedangkan burung daratan
yang sering berkunjung adalah kutilang, burung madu, dan raja udang (Ng dan Sivasothi,
2001). Di Segara Anak, Jawa Timur terdapat sekitar 30 spesies burung, di ekosistem
mangrove Muara Cimanuk, Jawa Barat terdapat 28 spesies burung. Di pulau Rambut,
terdapat 56 spesies burung, terdiri dari 18 burung air dan 38 bukan burung air (SNM,
2003).
2) Amfibia
Katak jarang dijumpai di kawasan mangrove. Airnya yang asin barangkali kurang cocok
dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Spesies katak yang kadang-kadang dapat
ditemukan di kawasan mangrove adalah Rana cancrivora (Ng dan Sivasothi, 2001).
3) Reptilia.
Spesies reptilia yang sering dijumpai di mangrove adalah biawak (Varanus salvator),
kadal (Mabouyamultifasciata), berbagai spesies ular seperti Boiga dendrophila dan buaya
muara (Crocodilus porosus) (SNM, 2003). Buaya muara bersarang di area mangrove dan
sungai-sungai kecil di sekitarnya. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk
mencari makan. Di kawasanmangrove terdapat beberapa spesies ular yang
menggunakannya sebagai habitat utama; demikian pula kadal dan biawak yang memakan
insekta, ikan, kepiting dan kadang-kadang burung (Ng dan Sivasothi, 2001).
4) Mammalia.
Primata yang terdapat di area mangrove Jawa dan Sumatera adalah Macaca fascicularis,
sedang di Kalimantan adalah Nasalis larvatus yang langka dan endemik. Pada beberapa
lokasi konservasi seperti CA Angke-Kapuk, TN Baluran dan TN Ujung Kulon dijumpai
Presbytis cristata (SNM, 2003). Kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni besar
di ekosistem mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mammalia lain yang dapat
dijumpai antara lain berang-berang, bajing, tikus, dan celeng (Ng dan Sivasothi, 2001).
2. Hewan dari Perairan Tawar
Hewan air tawar pada ekosistem mangrove termasuk ke dalam kelompok vertebrata
dengan jumlah spesies yang terbatas. Menurut Hutching dan Saenger, (1987 dalam SNM,
2003) di mangrove terdapat buaya air tawar (Crocodylus johnstone), dan kura-kura
berkulit alur (Carettochelys inscupta).
3. Hewan dari Laut
Hewan dari laut di area mangrove didominasi Molluska (Bivalvia dan Gastropoda),
Crustacea (Brachyura) dan ikan. Berdasarkan habitatnya, hewan ini tergolong dalam dua
tipe yaitu: (i) infaunayang hidup di kolom air, terutama berbagai spesies ikan dan udang,
dan (ii) epifaunayang menempati substrat baik yang keras (akar dan batang pohon
mangrove) maupun yang lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai spesies
invertebrata lainnya (SNM, 2003).
Hewan laut di area mangrove memiliki dua pola penyebaran (SNM, 2003): a)Hewan
yang menyebar secara vertikal (di batang dan daun pepohonan), yakni berbagai spesies
Molluska, misalnya Littorina scrabra, Cerithidea, Nerita birmanica, Chthalmus witthersii,
Murex adustus, Balanus amphitrite,Crassosraea cuculata, Nannosesarma minuta,dan
Clibanarius longitarsus. Hewan yang menyebar secara horizontal (di atas atau di dalam
tanah) yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: (1Zona pedalaman: Birgus
latro, Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma, Uca lactea, U. bellator, dan
lain-lain. (2)Hutan Bruguieradan Ceriop Sarmatium, Helice, Ilyoggrapsus, Sesarma,
Metopograpsus frontalis, Cleistosma, Thalassina anomala, Utica, Telescopium
telescopium, Uca, Cerithidea,dan lain-lain. (3)Hutan Rhizophor: Metopograpsus
latifrons, Macrophthalmus, Telescopium telescopium, dan lain-lain. (4)Zona pinggir
pantai dan saluran: Scartelaos viridus, Macropthalmus latrillei, Boleophthalmus
chrysospilos, Rachypleus gigas, Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus,
Eurycarcinus integrifrons, dan lain-lain. Ekosistem mangrove memberi lima tipe habitat
bagi hewan (SNM, 2003):
a) Tajuk pohon yang dihuni oleh burung, Mammalia dan serangga.
b) Lobang genangan air pada batang yang dihuni serangga (terutama nyamuk).
c) Permukaan tanah sebagai habitat siput/kerang dan ikan gelodok.
d) Lobang pada tanah sebagai habitat kepiting dan katak.
e) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.
Crustacea seperti remis, udang dan kepiting sangat melimpah di ekosistem mangrove.
Salah satu yang terkenal adalah kepiting lumpur (Thalassina anomala) yang dapat
membentuk gundukan tanah besar di mulut liangnya, serta kepiting biola (Uca)yang
salah satu capitnya sangat besar. Terdapat sekitar 60 spesies kepiting di ekosistem
mangrove. Kebanyakan memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau detritus di
sedimen tanah dan membuang sisanya dalam gumpalan-gumpalan pelet (Ng dan
Sivasothi, 2001). Molluska, beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling banyak
dijumpai di ekosistem mangrove, baik Gastropoda maupun Bivalvia (Ng dan Sivasothi,
2001).
2. Komponen Abiotik
1. Topografi dan Fisiografi Pantai
Formasi mangrove yang luas umumnya terdapat di dataran lumpur pantai (mudflat) dan
delta muara yang terlindung. Topografi pantai merupakan faktor penting yang
mempengaruhi komposisi spesies, distribusi spesies dan luas kosistem mangrove.
Karakteristik pantai dipengaruhi oleh penggenangan pasang, sedimentasi, dan sifat
sedimen. Dataran lumpur dan muara dipengaruhi oleh pasang surut air laut atau sungai
yang umumnya terkait dengan kesuburan dan mendukung keragaman tumbuhan dan
hewan. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar
ekosistem mangrovenya (SNM, 2003). Pada dataran pantai yang sempit, mangrove
tumbuh sempit, memanjang mengelilingi pulau, seperti di Nusa Tenggara. Pada daerah
pantai dengan gelombang laut yang besar dan tidak terlindung, misalnya di pantai selatan
Jawa, vegetasi mangrove sulit tumbuh. Area mangrove yang luas dengan lebar mencapai
beberapa kilometer biasanya terdapat di pantai yang luas, seperti teluk Bintuni, Papua,
berupa formasi mangrove pada daerah delta; dan pantai timur Sumatera berupa formasi
mangrove pada daerah pantai laut pedalaman (SNM, 2003).
2. Tanah
Vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada tanah lumpur, namun berberapa spesies
dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil, dan tanah gambut. Tanah
mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit, dan
kaya bahan organik. Pembentukan tanah mangrove dipengaruhi: (i) faktor fisik, seperti
transport nutrien oleh arus pasang surut dan aliran sungai, (ii) faktor fisik-kimia, seperti
agregasi berbagai partikel, dan (iii) faktor biotik, seperti produksi dan perombakan bahan
organik (SNM, 2003). Tanah mangrove tersusun atas pasir (sand), lumpur/debu (silt) dan
tanah liat (clay) dengan komposisi berbeda-beda. Topsoil tanah mangrove biasanya
bertipe pasir atau lempung. Topsoil pasir berwarna lebih terang, porous, dapat dilewati
air pada saat pasang dan mengalami aerasi pada saat surut, sedangkan topsoil lempung
berwarna lebih gelap, kurang porous dan tidak teraerasi dengan baik. Tanah subsoil
selalu jenuh air dan hanya teraerasi sedikit, sangat kaya bahan organik, namun terurai
sangat lambat. Tanah ini berwarna abu-abu gelap atauhitam (gleying), bersifat asam, dan
berbau menyengat (telur busuk) menunjukkan adanya hidrogen sulfida (H2S) (Ng dan
Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Berdasarkan kedalamannya, tanah mangrove dibagi
dalam dua kelas, yaitu (ii) kedalaman 0-10 m, tanah berwarna kelabu hijau, hijau, hijau
kelabu hingga kuning kelabu dan berstektur berat, dan (ii) kedalaman ≥10 cm, tanah
berwarna kelabu berbintik-bintik coklat dan bertekstur berat. Berdasarkan letaknya,
tanah mangrove dibagi dalam dua kategori, yaitu: (i) daerah dekat laut dengan pH ≥ 5,5
dan densitas rendah (0,6); (ii) daerah dekat darat dengan pH hampir netral dan
mengandung belerang (SNM, 2003). Kondisi tanah merupakan penyebab terbentuknya
zonasi hewan dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda menempati kondisi tanah
yang berbeda pula, di sisi lain tumbuhan Avicennia dan Sonneratia hidup dengan baik
pada tanah berpasir, sedangkan Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut, adapun
Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik. Adanya
kalsium dari cangkan Molluska dan karang lepas pantai menyebabkan air di ekosistem
mangrove bersifat alkali. Namun tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam,
karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan sedimentasi tanah lempung yang asam
(Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
3. Oksigen
Tanah mangrove umumnya berupa lumpur yang selalu jenuh air, sehingga hampir tidak
memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan
mangrove umumnya lebih rendah daripada di laut terbuka. Kandungan ini semakin
rendah pada tempat yang kelebihan bahan organik, mengingat oksigen diserap untuk
peruraian bahan organik, sehingga terbentuk zona anoksik. Oksigen pada permukaan
sedimen (sediment water interface) digunakan bakteri untuk mengurai bahan organik dan
respirasi. Oksigen ini diperoleh dari sirkulasi pasang-surut dan pengaruh atmosfer. Di
bawahnya, dalam kondisi anoksik tumbuh bakteri anaerob yang dapat mengurai bahan
organik dan menghasilkan H2S (Ng dan Sivasothi, 200). Untuk mengatasi kekurangan
oksigen, tumbuhan mangrove beradaptasi melaui sistem perakaran yang khas.
Kekurangan oksigen juga dipenuhi oleh adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat
oleh hewan, misalnya kepiting. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu,
musim, kesuburan tanah, keanekaragaman tumbuhan dan organisme akuatik. Konsentrasi
oksigen terlarut harian tertinggi terjadi pada siang hari dan terendah pada malam hari.
Konsentrasi oksigen terlarut di ekosistem mangrove 1,7-3,4 mg/L, lebih rendah
dibandingkan di luar ekosistem mangrove yang besarnya 4,4 mg/L (SNM, 2003).
4. Nutrien
Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan organik. Nutrien inorganik yang
penting adalah N (sering terbatas), P, K, Mg, dan Na. Sumber nutrien inorganik adalah
hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut, dan bahan organik yang terdegradasi. Nutrien
organik berasal dari bahan-bahan biogenik yang didegradasi mikrobia (SNM, 2003).
Nutrien ekosistem mangrove dihasilkan oleh ekosistem itu sendiri (autochthonous), serta
dari sungai atau laut di sekitarnya (allochthonous). Hujan secara teratur menyapu detritus
dari tepian pantai dan daerah aliran sungai ke dalam mangrove. Pada saat pasang, laut
membawa bahan organik atau organisme tersuspensi ke ekosistem mangrove yang pada
saat surut akan tersaring tanah (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Mangrove
merupakan komunitas paling produktif di dunia (Clough, 1992). Sebagian besar
biomassa mangrove dihasilkan dari serasah ( ±90%), yangselanjutnya disimpan dalam
sedimen ( ± 10%), terdekomposisi (± 40%), atau terbawa ke ekosisten lain (±30%)
(Duarte dan Cebrián, 1996). Biomassa ini merupakan makanan organisme detritus
(Manassrisuksi dkk., 2001). Ekosistem mangrove mendukung sejumlah besar kehidupan
melalui rantai makanan (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993; Clough, 1992).
Tumbuhan mangrove merupakan lumbung daun yang kaya nutrien yang akan diuraikan
oleh fungi dan bakteri atau langsung dimakan kepiting. Detritus merupakan sumber
pakan bagi Molluska, kepiting, udang dan ikan, yang selanjutnya dimakan hewan yang
lebih besar. Nutrien yang dilepaskan ke dalam air selama periuraian serasah juga
dimakan plankton dan alga. Detritus mangrove merupakan sumber utama karbon untuk
berbagai spesies laut yang terhubung dalam jaring-jaring makanan bersama dengan
plankton dan alga (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993; Clough, 1992). Ekosistem
mangrove, rumput laut dan karang disatukan oleh massa air yang mengalir pada saat
pasang surut, dan hewan yang hidup di kedua habitat tersebut. Berbagai ikan dan udang
yang biasa ditemukan di lepas pantai menggunakan mangrove pada sebagian siklus
hidupnya. Sebaliknya kepiting lumpur (Thalassina anomala) yang menghabiskan
sebagian besar hidupnya di mangrove dan bergerak ke laut saat bertelur. Aliran pasang
surut membawa nutrien dari mangrove ke rumput laut dan karang. Ekosistem mangrove
juga dapat mencegah sedimentasi berlebih pada ekosistem rumput laut dan terumbu
karang, sehingga mencegah kematian (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
5. Iklim
Sebagian besar daerah pantai Indonesia beriklim tropis basah, dengan kelembaban, angin
musim, curah hujan, dan temperatur tinggi, sehingga mencegah akumulasi garam-garam
tanah. Kondisi di atas dataran terbuka dan di bawah kanopi hutan sangat berbeda.
Dataran lumpur yang tersinari matahari langsung pada saat laut surut menjadi sangat
panas dan memantulkan cahaya, sedangkan permukaan tanah di bawah kanopi tetap
sejuk. Kelembaban ekosistem mangrove lebih rendah daripada hutan tropis pada
umumnya karena adanya angin. Suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh
terhadap keanekaragaman spesies (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
6. Cahaya
Tumbuhan mangrove umumnya membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi. Kisaran
intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m2/hari.
Pada saat bibit, tumbuhan mangrove memerlukan naungan. Intensitas cahaya 50% dapat
meningkatkan daya tumbuhbibit R. mucronata dan R.apiculata. (ii) Intensitas cahaya
75% mempercepat pertumbuhan bibit B. gymnorrhiza.(iii) Intensitas cahaya 75%
meningkatkan tinggi bibit R. mucronata, R. apiculata dan B.gymnorrhiza. Laju
pertumbuhan tahunan dari R. mucronata, R. apiculata dan Bruguiera, dengan naungan
lebih rendah daripada dengan sinar matahari penuh, sedangkan laju kematiannya lebih
tinggi. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan perkecambahan mangrove,
tumbuhan di luar gerombol menghasilkan lebih banyak bunga dan biji (SNM, 2003).
7. Suhu
Suhu penting dalam proses fisiologi, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan
mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata > 20oC dan perbedaan suhu musiman
tidak melebihi 5oC, kecuali di Afrika Timur yang perbedaan suhu musiman mencapai
10oC. Ekosistem mangrove di Sumatera Timur tumbuh pada suhu rata-rata bulanan
berkisar 26,3o-28,7oC (Kusmana, 1993 dalam SNM, 2003). Pertumbuhan optimum
Avicennia marina pada suhu 18-20oC, R. stylosa, Ceriops, E. agallocha dan Lumnitzera
racemosapada suhu 26-28oC, Bruguiera pada suhu 27oC, Xylocarpus pada suhu 21-
26oC dan X. granatumpada suhu 28oC (Hutching dan Saenger, 1987 dalam SNM, 2003).
8. Curah Hujan
Jumlah, durasi, dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur
perkembangan dan distribusi tumbuhan. Curah hujan juga mempengaruhi faktor
lingkungan lain, seperti suhu dan salinitas habitat mangrove. Berdasarkan klasifikasi
iklim Schmid-Ferguson, ekosistem mangrove di Indonesia tumbuh pada daerah dengan
tipe curah hujan A, B, C, dan D, dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0-73,7%
(Kartawinata, 1977 dalam SNM, 2003). Tumbuhan mangrove umumnya tumbuh baik di
daerah dengan curuh hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun, namun juga tumbuh pada
daerah yang bercurah hujan tinggi, yaitu 4000 mm/tahun yang tersebar selam 8-10 bulan
(Aksornkoae, 1993).
9. Angin dan Gelombang/Ombak Laut
Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui gelombang dan arus laut, yang
dapat menyebabkan abrasi dan meningkatkan evapotranspirasi. Angin kuat juga dapat
menghalangi pertumbuhan, namun diperlukan dalam polinasi dan penyebaran bibit. Pada
daerah pantai yang biasa terkena angin, tajuk pohon mangrove biasanya patah dan
pepohonannya lebih pendek. Gelombang laut merupakan penyebab penting abrasi dan
suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa
partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi
membentuk pantai berpasir. Keberadaan mangrove di pesisir pantai dapat melindungi
kerusakan pantai akibat gelombang dan arus laut. Di teluk Grajagan, Banyuwangi,
ekosistem mangrove dapat reduksi tinggi gelombang laut dari 1,09 m menjadi 0,7340 m
(SNM, 2003).
10. Pasang-surutLaut
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas area mangrove.
Salinitas air meningkat pada saat pasang naik, dan menurun pada saat pasang surut. Hal
ini dapat membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada
area yang selalu tergenang hanya R. mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera dan
Xylocarpusjarang mendominasi area ini. Pasang surut juga berpengaruh terhadap
perpindahan massa air tawar dan laut, sehingga mempengaruhi distribusi vertikal spesies
mangrove. Ekosistem mangrove yang tumbuh di daerah pasang harian memiliki struktur
dan kesuburan yang berbeda dari daerah semi-diurnal atau pasang campuran. Rentang
pasang surut dapat mempengaruhi sistem perakaran mangrove. Di daerah dengan rentang
pasang yang lebar, pneumatofora Rhizophora, Sonneratia, dan Aegialites tumbuh lebih
tinggi daripada di daerah yang rentangnya sempit (SNM, 2003).
11. Salinitas
Salinitas kawasan mangrove bervariasi, 0,5-35 ppt, karena adanya pasang surut dan
aliran sungai. Air tawar memiliki salinitas 0-0,4 ppt. Air payau merupakan air pada
derajat oligohalin (0,5-5 ppt) hingga mesohalin (5-18 ppt), sedangkan air laut umumnya
berderajat polihalin (18-30 ppt). Pada saat laut surut, kolam-kolam yang terbentuk dapat
menjadi hipersalin (>30 ppt), karena evaporasi. Sungai-sungai kecil dalam ekosistem
mangrove bersifat oligohalin, semakin ke arah daratan semakin tawar (Ng dan Sivasothi,
2001).
3. Kekayaan Flora Mangrove
a. Komponen penyusun utama (mayor) yaitu flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap
habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan
mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai tergenang pada waktu
pasang dan tidak tergenang pada saat surut, tetapi jumlah tergenang lebih tinggi daripada
tidak tergenang. Zona tengah di sekitar Segara Anak didominasi oleh marga Rhizophora,
Ceriops dan Bruguiera, demikian juga di sekitar Teluk Pangpang yang didominasi oleh
Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza (Odum et all., 1974).
b. Komponen penyusun ikutan (minor) yaitu flora mangrove yang tidak mampu
membentuktegakan murni, sehingga secara morfologis tidakberperan dominan dalam
struktur komunitas. Jenis yang berada di dalam TN Alas Purwo dan termasuk dalam
kelompok ini adalah Acrostichum aureum, Acrostichum speciosum, Aegiceras
corniculatum, Aegiceras floridum ,Excoecaria agallocha, Heritiera littoralis, Pemphis
ecidula , Scyphiphora hydrophyllacea, Xylocarpus granatum, Xylocarpusm olluccensis ,
dan Xylocarpus rumphii (Odum et all., 1974).
III. KARAKTERISTIK BIOLOGI DAN EKOLOGI MANGROVE
1. Adaptasi terhadap Tanah yang Tergenang Air yaitu Tanah yang jenuh air, sehingga
tanah mengandung sedikit oksigen direspon tumbuhan mangrove dengan memiliki
sistem perakaran yang khas dan lentisel pada bagian di atas permukaan substrat sehingga
memungkinkan penyerapan oksigen dari udara. Selain itu, keberadaan lubang-lubang
tanah yang dibuat oleh satwa tanah, seperti kepiting, juga membantu penyediaan oksigen
bagi akar. Oleh karena itu, respirasi dapat berjalan dengan baik (Sukardjo S. 1985).
2. Adaptasi terhadap Salinitas yaitu tumbuhan resisten terhadap garam (salt-resistant
plants) mampu memelihara pertumbuhannya dalam kondisi cekaman osmotik, seiring
dengan menghindari konsentrasi garam yang tinggi di dalam sitoplasmanya.
Pertumbuhan terutama dipelihara dengan meningkatkan jumlah larutan di dalam sel dan
berikutnya dengan pengaturan turgor. Mekanisme ini dapat meningkat dengan
peningkatan plastisitas dinding sel dan penurunan ambang turgor. Penurunan turgor
diatur oleh “sensor turgor” di dalam plasma membran. Mekanisme penting dalam
pengaturan keseimbangan garam pada mangrove, sehingga tidak lagi meracuni
tumbuhan, meliputi: (a) kapasitas akar untuk melawan NaCl yang berbeda, (b) pemilihan
kelenjar-kelenjar khas sekresi garam dari beberapa jenis pada daunnya, (c) akumulasi
garam pada berbagai bagian tumbuhan, dan (d) hilangnya garam ketika daun dan bagian
tumbuhan lainnya gugur. Sehingga Spesies mangrove mampu tumbuh pada lingkungan
dengan salinitas rendah hingga tinggi (Sukardjo S. 1985).
3. Adaptasi dalam Reproduksi yaitu Mangrove banyak yang bersifat vivipar, dengan biji
berkecambah di pohon induknya sebelum jatuh (Sukardjo S. 1985).
IV. KESIMPULAN
Ekosistem Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut
pantai berlumpur. Sehingga ekosistem mangrove dapat memberikan perbedaan
komponen abiotik dan biotik untuk menjaga keseimbangan ekosistem mangrove
disamping itu dapat beradaptasi antara laut dengan daratan.
V. DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor.

Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore.Volume 1:


The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The
Singapore Science Centre.

Odum, W.E. dan E.J. Heald. 1974. Mangrove forest and aquatic productivity. In : Hasler
(Ed.), Coupling of Land and Water Systems. Ecol.Stud. 10 : 129-136. Springer-Verlag,
Berlin : 309 hal

SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di


Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup.

Sukardjo S. 1985. Ekologi Acrostichum aureum L. di hutan mangrove Avicennia


officinalis L. Muara Pasir, Sungai Kandilo, Kalimantan Timur. Makalah diajukan pada
Seminar Biologi VII, Palembang 29-31 Juli 1985.

Anda mungkin juga menyukai