PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
1
dengan substrat yang keras (tanah) atau akar mangrove maupun pada substrat yang
lunak (lumpur). Fauna ini antara lain adalah jenis kepiting mangrove, kerang -
kerangan dan golongan invertebrata lainnya. Fauna perairan berada dalam kolom air
laut seperti macam-macam ikan dan udang. Hutan mangrove ini vegetasinya
didominasi oleh jenis Avicennia sp. Dari data yang diperoleh bahwa kawasan hutan
lindung tersebut dihinggapi aneka fauna langka dan endemik seperti burung bangau
hitam dan putih, belibis, biawak raksasa, burung mandar, termasuk burung pelikan
Australia (Pelecanus conspicillatus) yang bermigrasi (singgah) di kawasan hutan
mangrove (Kustanti, 2011).
Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem mangrove untuk mempertahan fungsi
ekologis suatu kawasan, maka perlu dilakukan upaya untuk mempertahankan fungsi ekologis
penting mangrove sebagai pengendali kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Terkait
dengan upaya tersebut, upaya mengatasi laju kerusakan lingkungan pesisir, berupa abrasi dan
intrusi air laut dengan pendekatakan ekosistem merupakan salah satu aspek keseimbangan
yang harus dicapai dan dipertahankan keberlanjutannya.
Sebagai suatu sistem yang utuh, wilayah pesisir memiliki dinamika yang khas yang
semestinya menjadi pertimbangan dalam pemanfaatannya. Dalam konteks ekologi wilayah
pesisir akan berakibat pada tidak mulusnya roda dinamika komponen sistem yang lain yang
ada dalam wilayah pesisir, termasuk dinamika pemanfaatannya (Abrahamsz et al, 2005).
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem unik yang tumbuh pada daerah peralihan
laut dan darat di atas substrat lumpur. Kondisi tersebut telah menempatkan ekosistem ini
menjadi sangat penting dalam peran ganda melalui aspek ekologis, sosial ekonomi dan fisik
perlindungan daerah pesisir. Dalam aspek fisik, mangrove berfungsi sebagai zona penyangga
(buffer zone) dari intrusi air laut, melindungi pantai dari erosi, gelombang badai/tsunami dan
angin topan serta mendukung pertumbuhan daratan pantai (Dahuri et al., 1996 dalam
Thaha et al, 2003). Salah satu spesies mangrove jenis pohon yang paling banyak terdapat di
Indonesia adalah jenis bakau (rhizopora sp.). dengan bentuk dan keunikan akarnya rumpun
bakau dikenal cukup efektif meredam energi gelombang.
Luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari
seluruh luas hutan Indonesia (Nontji, 1987 dalam Gunawan, 1998). Berdasarkan data tahun
1999, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 8,60 juta hektar dan 5,30 juta
hektar diantaranya dalam kondisi rusak (Direktorat Jendeeral Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial 2001). Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove yang
sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambahan terutama di Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan (Gunarto,
2004).
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan komunitas
yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau.
Pengertian mangrove sebagai hutan bakau adalah pohon-pohon yang tumbuh di daerah pantai
(pesisir), baik daerah yang dipengaruhi pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai
yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Sedangkan pengertian mangrove sebagai hutan
payau atau hutan bakau adalah pohon-pohon yang tumbuh di daerah payau pada tanah
alluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai (Harahab, 2010).
Vegetasi mangrove mempunyai arti yang sangat penting bagi berbagai jenis biota
yang hidup di kawasan mangrove maupun di perairan sekitarnya, salah satu hewan
makrobenthos yang berasosiasi dengan mangrove adalah krustasea. Secara ekologis, daerah
mangrove memiliki produktifitas yang tinggi untuk mendukung lingkungan di sekitarnya
karena kaya akan nutrien serta memiliki temperatur, cahaya, pH, oksigen, dan salinitas yang
optimum serta kondisi perairan yang tenang sehingga menjadikannya sebagai habitat yang
cocok untuk krustasea (Hogart, 1999).
Tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat terus hidup di
peraian laut yang dangkal. Daya adaptasi mangrove dilihat dari perakaran yang pendek dan
melebar luas dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan
sehingga struktur batang menjadi kokoh, berdaun padat dan mengandung banyak air sebagai
ciri khas mempunyai jaringan internal yang menyimpan air dan konsentrasi garam yang
tinggi.
3
Gambar 1. Diagram ilustrasi penyebaran fauna di habitat bakau Rhizopora sp. (Irwanto,
2006)
Hutan mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung
hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan mangrove merupakan
tempat mendaratnya ribuan burung pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka
Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus).
4
Sasaran pengelolaan kawasan lindung adalah
1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta
nilai sejarah dan budaya bangsa,
Kondisi tanah
• Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan, baik pada level ekosistem maupun
pada level sumber daya (jenis flora/fauna).
• Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan bukan kayu, baik yang sudah ada
peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang pasarnya.
Penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lindung dipandang perlu untuk
dilindungi dan dilestarikan,
misalnya:
• Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah gambut
• Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras
5
Contoh kawasan lindung mangrove di Indonesia
• Pulau Jawa telah kehilangan sekitar 90% mangrovenya dan hanya sedikit dari areal
mangrove yang tersisa masuk kedalam kawasan lindung. Kawasan lindung mangrove
yang terluas di Jawa mungkin di Pulau Panaitan, Jawa Barat (1.700 ha). Sekitar 1.000
hektar mangrove terdapat di bagian utara pantai Taman Nasional Ujung Kulon Areal
mangrove terluas yang ada di Jawa saat ini adalah di Segara Anakan, Cilacap yaitu
8.957 hektar.
• Areal mangrove di Nusa Tenggara telah masuk ke dalam kawasan lindung dengan
adanya 3.000 hektar mangrove di TN. Komodo dan SM Pulau Menipo. Sekitar 14.000
hektar mangrove telah dikukuhkan di Maluku yaitu di TN Manusela, Seram (3.000
hektar), CA. Yamdena, Tanimbar (10.000 hektar), dan SM. Pulau Baun, Kepulauan
Aru (1.000 hektar). Luas tersebut nampaknya sudah cukup mewakili, meskipun
sebenarnya untuk kepentingan konservasi keanekaragaman hayati akan lebih baik jika
areal mangrove di Kei dan Kepulauan Aru juga dilindungi.
Fauna yang berada di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan fauna laut
(Macnae, 1968).
1. Fauna Daratan
Umumnya fauna darat hanya menggunakan ekosistem mangrove sebagai tempat
mencari makan dan atau perlindungan. Di Indonesia dikenal hanya satu jenis fauna darat
yang seluruh siklus hidupnya bergantung pada habitat mangrove, yaitu bekantan (Nasalis
larvatus) yang penyebarannya terbatas di Kalimantan.
6
a) Burung
Beberapa jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove adalah
Phalacrocorax carbo, P. melanogaster, P. niger, Anhinga anhinga, Egretta spp.,
Halcyon chloris, dan lain-lain.
c) Mamalia
Beberapa jenis mamalia yang dijumpai di mangrove adalah Nasalis larvatus,
Presbytis cristatus, Cercoppithecus mitis, Macaca irus, Sus scrofa, Kerpestes spp., dan
lain-lain.
d) Serangga
Banyak jenis serangga yang menghuni habitat mangrove, yang mana umumnya
didominasi oleh nyamuk. Jenis-jenis serangga tersebut adalah semut, Aedes
pembaensis, Anopheles spp., Culicoides spp., dan lain-lain.
2. Fauna Laut
Fauna laut merupakan elemen utama dari fauna ekosistem mangrove. Fauna laut
di mangrove terdiri atas dua komponen, yaitu infauna yang hidup di lobang-lobang di
dalam tanah, dan epifauna yang bersifat mengembara di permukaan tanah. Fauna laut di
ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran, yaitu:
a) Fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di batang, cabang dan ranting, dan daun
pohon) yakni berbagai jenis Moluska, terutama keong-keongan, misalnya Littorina
scrabra, L. melanostoma, L. undulata, Cerithidea spp., Nerita birmanica,
Chthalmus witthersii, Murex adustus, Balanus amphitrite, Crassostraea cuculata,
Nannosesarma minuta, dan Clibanarius longitarsus; dan
b) Fauna yang menyebar secara horisortal (hidup di atas atau di dalam substratum) yang
menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut:
7
Habitat mangrove adalah sumber produktivitas yang bisa dimanfaatkan baik
dalam hal produktivitas perikanan dan kehutanan ataupun secara umum merupakan
sumber alam yang kaya sebagai ekosistem tempat bermukimnya berbagai flora dan
fauna. Mulai dari perkembangan mikro organisme seperti bakteri dan jamur yang
memproduksi detritus yang dapat dimakan larva ikan dan hewan-hewan laut kecil
lainnya.
Berbagai hewan seperti, reptil, hewan amphibia, mamalia, datang dan hidup
walaupun tidak seluruh waktu hidupnya dihabiskan di habitat mangrove. Berbagai
jenis ikan, ular, serangga dan lain-lain seperti burung dan jenis hewan mamalia dapat
bermukim di sini. Sebagai sifat alam yang beraneka ragam maka berbeda tempat atau
lokasi habitat mangrovenya maka akan berbeda pula jenis dan keragaman flora
maupun fauna yang hidup di lokasi tersebut.
Fauna laut didominasi oleh Phylum Mollusca (didominasi oleh Class Bivalvia
dan Gastropoda) dan Class Crustacea (didominasi oleh Brachyura). Berdasarkan
habitatnya, fauna laut di mangrove terdiri atas dua tipe yaitu : Infauna yang hidup di
kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang, dan epifauna yang menempati
subtrat yang keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun yang lunak (lumpur),
terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Fauna laut di
ekosistem mangrove fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di akar, batang,
cabang dan ranting, dan daun pohon) yakni berbagai jenis Mollusca, terutama keong-
keongan, misalnya Littorina scrabra, Littorina melanostoma, Littorina undulata,
Cerithidea spp., Nerita birmanica, Chthalmus witthersii, Murex adustus, Balanus
amphitrite, Crassostraea cuculata, Nannosesarma minuta, dan Clibanarius
longitarsus (Saru, 2013).
Beberapa jenis hewan yang bisa dijumpai dihabitat mangrove antara lain dari
jenis serangga misalnya semut (Oecophylla sp), ngengat (Attacus so), kutu
(Dysdercus sp), jenis crustacea seperti lobster lumpur (Thalassina sp) jenis laba-laba
(Argipe sp) Nephila spp, Cryptophora spp, jenis ikan seperti ikan blodok
(Periopthalmodon sp) ikan sumpit (Toxotes sp) jenis reptil seperti kadal (Varanus sp)
ular pohon (Chrysopelea sp) ular air (Cerberus sp) golongan primata (Natalis larvatus)
dan masih banyak lagi seperti nyamuk, ulat, lebah masdu, kelelawar dan lain-lain
(Irwanto , 2006).
Ada pula jenis aves yang brasosiasi di mangrove, salah satu jenis bangau yang
mencari ikan untuk makannya. Burung menjadikan mangrove tersebut sebagai tempat
bermukim dan berkunjung setelah bermigrasi. Jenis burung yang hidup di daerah
mangrove tidak selalu sama dengan jenis-jenis yang hidup di daerah hutan sekitarnya,
karena sifat khas hutan mangrove (Rusila-Noor dkk., 1995).
Secara lebih rinci, Rose dan Scott (1994) menggolongkan family burung air di
Indonesia sebagai berikut: Podicipedidae (titihan), Phalacrococidae (pecuk),
Pelecanidae (pelikan), Ardeidae (kuntul, cangak, kowak), Ciconiidae (bangau),
Threskiornithidae (pelatuk besi, burung paruh sendok), Anatidae (bebek, mentok,
angsa), Gruidae (burung jenjang), Rallidae (ayam-ayaman, mandar, kareo,
8
terbombok), Heliornithidae (finfoot), Jacanidae (ucing-ucingan), Rostratulidae,
Haemotopodidae, Charadriidae (trinil), Scolopacidae (gajahan berkek)
Recurvirostridae, Phalaropodidae, Burhinidae, Glareolidae (terik) dan Laridae
(camar).
9
rasa sedap ikan yang masih segar,
pneumarhophoranya dapat dipakai sebagai
bibit dalam usaha reboisasi hutan bakau.
8. Bruguiera parviflora Kayunya untuk arang dan kayu bakar.
9. Bruguiera sexangula Daun muda, embrio buah, buluh akar dapat
dimakan sebagai sayuran, daunnya
mengandung alkoloid yang dapat dipakai
untuk mengobati tumor kulit, akarnya dapat
untuk kayu menyan, buahnya dapat untuk
campuran obat cuci mata tradisional.
10. Ceriops tagal Kulit batang baik sekali untuk mewarnai dan
sebagai bahan pengawet/penguat jala-jala
ikan dan juga untuk industri batik, kayunya
baik untuk industri kayu lapis (plywood),
kulit batang untuk obat tradisional.
11. Excoecaria agallocha Getahnya beracun dan dapat dipakai untuk
meracun ikan.
12. Heritiera littoralis Kayunya baik untuk industri papan, air
buahnya beracur dan dapat untuk meracuni
ikan.
13. Lumnitzera racemosa Rebusan daunnya dapat untuk obat sariawan.
14. Oncosperma tigillaria Batangnya untuk pancang rumah, umbut
untuk sayuran, bunganya dapat untuk
menambah rasa sedap nasi.
15. Rhizophora mucronata. Kayunya untuk arang/kayu bakar dan chips.
Air buar dan kulit akar yangmuda dapat
dipakai untuk mengusir nyamuk dari
tubuh/badan.
16. Rhizophcra apiculata Kayunya untuk kayu bakar, arang, chips dan
kayu konstruksi.
17. Sonneratia caseolaris Buahnya dapat dimakan, cairan buah dapat
untuk menghaluskan kulit, daunnya dapat
untuk makanan kambing, dapat
menghasilkan pectine.
18. Xylocarpus woluccensis Kayunya baik sekali untuk papan, akar-
akarnya dapat dipakai sebagai bahan dasar
kerajinan tangan (hiasar dinding, dll),
kulitnya untuk obat tradisional (diarhea),
buahnya mengeluarkan minyak dapat
dipakai untuk minyak rambut tardisional.
19. Nipa fructicans Daun untuk atap rumah, dinding, topi, bahan
baku kertas, keranjang dan pembungkus
sigaret; nira untuk minuman dan
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ekosistem mangrove adalah ekosistem pantai yang disusun oleh berbagai jenis
vegetasi yang mempunyai bentuk adaptasi biologis dan fisiologis secara spesifik
terhadap kondisi lingkungan yang cukup bervariasi. Ekosistem mangrove umumnya
didominasi oleh beberapa spesies mangrove sejati diantaranya Rhizophora sp.,
Avicennia sp., Bruguiera sp. dan Sonneratia sp. Spesies mangrove tersebut dapat
11
tumbuh dengan baik pada ekosistem perairan dangkal, karena adanya bentuk
perakaran yang dapat membantu untuk beradaptasi terhadap lingkungan perairan, baik
dari pengaruh pasang surut maupun faktor - faktor lingkungan lainnya yang
berpengaruh terhadap ekosistem mangrove seperti: suhu, salinitas, oksigen terlarut,
sedimen, pH, arus dan gelombang.
Endemisitas dalam ekologi adalah gejala yang dialami oleh organisme untuk
menjadi unik pada suatu lokasi geografi tertentu, seperti pulau, lungkang (niche),
negara, atau zona ekologi tertentu. Untuk dapat dikatakan endemik suatu orgaisme
harus ditemukan hanya di suatu tempat dan tidak ditemukan di tempat lain.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Budiman, A., dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove
Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
12
Https://id.wikipedia.org/wiki/. (Diakses pada tanggal 16 Novemver 2016)
Irwanto. 2006. “Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove”, Yogyakarta.
Jakaria. 2000. Analisis Pengelolaan Hutan Mangrove Kearah Wilayah Pantai Berkelanjutan
dan Dampaknya Kepada Kesejahteraan Penduduk di Kabupaten Kutai Propinsi
Kalimantan Timur. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kartawinata, K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding
Kumar, J.I.N., P.R. Sajish, R.N. Kumar, B. George dan S. Viyol. 2010. An Assessment of the
Accumulation Potential of Lead (Pb), Zinc (Zn) and Cadmium (Cd) by Avicennia marina
(Forssk.) Vierh. In Vamleshwar Mangroves Near Narmada Estuary, West Coast of
Gujarat, India. World Journal of Fish and Marine Sciences 2(5): 450 – 454.
Kusnadi A., Triandiza T., dan Hernawan U.E. 2008. Inventarisasi Jenis dan Potensi Moluska
Padang Lamun di Kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara. UPT. Loka Konservasi Biota
Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Maluku Tenggara.
Noor, Rusila Yus. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor
:Noordhoff-Kollf
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology: An Ecological Approach. Terjemahan Dr. M.
Eidman. Gramedia Jakarta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga . Gajah mada University Press.
Jogjakarta. H. 134-162.
Pramudji. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan, Permasalahan dan
Pengelolaannya. Oseana XXV (1) : 13 – 20.
Purnobasuki, H. 2011. Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia dan Langkah
Strategis Pencegahannya. Bulletin PSL Universitas Surabaya, 25 (2011): 3-6.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000.
Jakarta, Indonesia.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut: Pendekatan Ekologi, Sosial-
Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Briliant Internasional, Surabaya.
13