Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN

BLOOMING ALGAE
I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Algae adalah organisme satu sel mikroskopik yang hidup di perairan tawar
maupun laut perannya sangat penting sebagai produsen utama pada rantai makanan.
Algae memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis untuk menghasilkan bahan
organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai dasar mata rantai pada siklus
makanan di laut. Namun algae tertentu mempunyai peran menurunkan kualitas
perairan apabila jumlahnya berlebih (blooming).
Algae adalah produsen energi (produsen primer) pada suatu rantai makanan
dalam ekosistem. Algae tidak berbahaya selama pertumbuhannya normal dan tidak
mengganggu ekosistem di sekitarnya. Namun bila terjadi pertumbuhan alga yang
sangat berlimpah yang dikenal dengan nama Blooming Algae atau HABs (Harmful Alga
Blooms) karena berlimpahnya nutrient pada badan air, maka akan berdampak besar
terhadap lingkungan perairan tersebut. Tingginya populasi algae di dalam suatu
perairan dapat menyebabkan berbagai akibat negatif bagi ekosistem perairan, seperti
berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai
makhluk air lainnya.

Jumlah fitoplankton berlebih di sebuah perairan berpotensi membunuh berbagai jenis


biota laut secara masal. Hal ini disebabkan keberadaan fitoplankton akan mengurangi jumlah
oksigen terlarut terutama pada malam hari serta saat algae tersebut mati akan terurai dan dalam
proses penguraian tersebut diperlukan oksigen, sehingga perairan akan kekurangan oksigen.
Salah satu pengelolaan blooming algae yaitu dengan menggunakan algisida Algasida ini dapat
berupa CuSO4, diuron, dan simazine. Dalam penggunaan algasida perlu diperhatikan aplikasi
pemakaiannya seperti dosis dan cara penggunaanya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
tentang dosis optimum algasida untuk pengelolaan blooming algae.
1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui berbagai dosis pemberian algisida
terhadap kelimpahan plankton.
II.

TINJAUAN PUSTAKA

Alga merupakan salah satu mikroorganisme akuatik yang dapat berperan sebagai
penyebab pencemaran pada air permukaan, menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan alga pada air permukaan dan memberikan uraian mekanisme proses pencemaran
air permukaan oleh alga. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan alga adalah nutrien,
salinitas, intensitas cahaya, temperatur dan pH serta aerasi. Konsentrasi nutrien yang terkandung
dalam air permukaan tropis yang menyebabkan pertumbuhan alga yang sangat pesat (algal
bloom) adalah 200 1000 gL-1 untuk fosfat dan 30 40 mgL-1 untuk nitrat (Zulfiyah, 2009).
Keberadaan alga dalam jumlah besar di perairan dalam banyak hal merupakan petunjuk
kesuburan perairan dan petunjuk adanya herbivora dalam jumlah besar pula, dan pada gilirannya
banyak terdapat ikan. Walaupun demikian keberadaan alga dalam jumlah besar tidak selalu
berarti banyak ditemukan ikan. Hal ini bisa terjadi jika banyaknya alga disini merupakan
penggangu (Benidictus and Oseanografi , 1993).
Menurut Boyd dan Linckoppler (1986) pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah besar
dapat membahayakan kehidupan organisme yang ada di dalamnya yaitu melalui kematiannya
secara tiba-tiba kemudian terurai dan menyebabkan habisnya oksigen terlarut karena terpakai
untuk dekomposisisi. HAB (harmful algal bloom) adalah istilah yang digunakan pada
pertumbuhan mikroalga (plankton) secara lebat, di laut atau di perairan payau yang dapat
menyebabkan kematian masal ikan, karena spesies HAB dapat mengontaminasi makanan bahari
(seafood) dengan toksin yang diproduksinya, sehingga dapat mengubah ekosistem yang
dipersepsikan manusia sebagai pengganggu (harmful) (GEOHAB, 2000 in Nontji, 2004).
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya HAB (Wiadnyana, 1995) yaitu:
1. Eutrofikasi atau pengkayaan unsur hara fosfat dan nitrat.
2. Adanya kista di dasar perairan yang terangkat ke lapisan permukaan melalui dua mekanisme,
yaitu:
a. Mekanisme malalui naiknya massa air (upwelling)
b. Mekanisme akibat pengaruh gempa tektonik

3. Bersifat biologis, yang artinya bahwa kurang adanya predator sebagai pemangsa spesies
penyebab HAB. Sebagai contoh populasi Pyrodinium, yang kurang dimangsa dalam waktu
singkat dapat mencapai kepadatan yang sangat tinggi, yaitu lebih dari satu juta sel/liter air laut.
Algisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk membunuh ganggang terutama di
perairan. Algisoda yang biasa digunakan yaitu CuSO4. CuSO4 adalah bahan kimia yang
mempunyai sifat melarut sempurna dalam air dan sedikit larut dalam etanol. Fitzgerald dan Faust
(1963) menyatakan bahwa bahan kimia khususnya cupri sulfat untuk menjadi algisida harus
memenuhi persyaratan tertentu yaitu konsentrasi bahan kimia tersebut harus dapat membunuh
semua algae yang diberi perlakuan.
III. MATERI DAN METODE
3.1.Materi
3.1.1. Alat
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum
Alat
Kegunaan
Ember
sebagai wadah menampung air sebanyak 5 L dengan
kelimpahan plankton yang tinggi.
Mikroskop cahaya Sebagai alat untuk mengamati kelimpahan plankton .
Haemositometer
Penghitungan plankton
Botol film
Sebagai wadah sampel plankton
3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam praktikum
Bahan
Kegunaan
Air dengan pedatan
Sebagai media atau bahan
plankton tinggi
Algasida (CuSO4)
Sebagai media atau bahan dalam pengendalian
blooming algae/plankton dan sebagai pakan alami
bagi ikan dan udang.
3.2. Metode
Parameter
Kelimpahan plankton

Satuan
Individu/L

rumus :
kelimpahan = K1+K2++Kn x 25 x 105 individu/ml
n
keterangan :

Alat/metode
-

K1= Kn = individu
n = kotak yang dihitung
25 = kotak besar dalam haemositometer

3.3. Prosedur Kerja


Ember diisi 5 liter air, kemudian dihitung kelimpahan plankton awal. Pada ember
dimasukkan algisida CuSO4 sesuai dosis yaitu 0; 0,1; 0,2; dan 0,3 ppm, diaerasi selama 10 menit
kemudian dihitung kelimpahan plankton akhir.
3.4. Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada Rabu, 25 September 2013 bertempat di Laboratorium
Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik
Universitas Jenderal Soedirman.
3.5. Analisis Data
Data perbandingkan kelimpahan plankton sebelum dan sesudah perlakuan pada masingmasing dosis algisida (CuSO4) dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan diagram batang.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil
Tabel 3. Data kelimpahan plankton dengan berbagai dosis perlakuan
Dosis
Kelimpahan
(CuSO4
Rata-Rata Standar Deviasi
) ppm
Awal
Akhir
0
438
375
406.5
44.5477272
0,1
438
313
375.5
88.3883476
0,2
438
313
375.5
88.3883476
0,3
438
188
313
176.776695

4.2.Pembahasan
Penggunaan algisida (CuSO4) dalam praktikum ini diupayakan untuk menurunkan populasi
algae atau plankton. Menurut Prihantini (2008), bahwa blooming alga disebabkan adanya
ledakan populasi plankton jenis tertentu yang ada di suatu perairan tertentu. Blooming alga dapat
menggangu kehidupan ikan dan udang di tambak. Untuk mengatasi ledakan populasi tersebut
dapat menggunakan algasida yang dapat mengurangi polulasi plankton.

Gambar 1. Pengaruh pemberian berbagai dosis CuSO4 terhadap kelimpahan plankton


Berdasarkan praktikum, diperoleh hasil bahwa pemberian CuSO4 pada plankton dapat
mengurangi jumlah plankton. pada perlakuan tanpa CuSO4 kelimpahan plankton menurun dari
438 sel /ml menjadi 375 sel/ml. Hal tersebut dipengaruhi oleh metode sampling yang digunakan
untuk menghitung kelimpahan plankton. pada perlakuan yang berbeda, kelimpahan awal
plankton 438 sel/ml, mengalami penurunan menjadi 313 sel/ml pada pemberian dosis 0,1 dan 0,2
ppm CuSO4, serta 188 sel/ml pada dosis 0,3 ppm CuSO4. Penurunan kelimpahan plankton
tertinggi dengan dosis algisida sebesar 0,3 ppm menjadi 181 Ind/L. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Syahril (1990) bahwa pemberian dosis cupri sulfat memberikan
pengaruh terhadap kelimpahan maupun komposisi fitoplankton. Penurunan kelimpahan
fitoplankton pada perlakuan 0.6 ppm dan 1.6 ppm terjadi pada pengamatan hari ke-2 sebesar
50.4 % dan 65 % sedangkan pada perlakuan 4 ppm penurunan kelimpahan fitoplankton tertinggi
terjadi pada pengamatan hari ke-3 sebesar 95.6 %.
Besarnya konsentrasi pemberian cupri sulfat dapat mempengaruhi banyaknya cupri sulfat
yang masuk ke sel algae. Cupri sulfat dapat mempengaruhi pertumbuhan pada algae toleran
maupun algae non toleran. Menurut Nielsen et al. (1969) cara penghambatan larutan cupri sulfat
terhadap pertumbuhan algae sebagai berikut cupri akan segera menembus ke dalam plasma sel
algae dan mengurangi laju fotosintesis. Hal yang sama dikemukakan oleh Hassal (1963) dalam
Shioi et al. (1978) bahwa hasil penelitian menunjukkan penurunan kelimpahan fitoplankton
setelah diberi cupri sulfat. hal ini diduga bahwa terjadi keracunan alat fotosintesis sehingga

fotosintesis dari fitoplankton tidak berjalan sempurna dan mengakibatkan kematian fitoplankton
sehingga kelimpahan fitoplanktonya menurun. Penanggulangan blooming algae yang baik yaitu
algae yang mati tidak mencapai 100% karena algae juga diperlukan untuk suplai oksigen pada
perairan melalui proses fotosintesis. Selain itu juga ada berbagai algae yang dapat dimanfaatkan
sebagai pakan alami ikan. Berdasarkan hasil praktikum dosis optimum pemberian CuSO4 untuk
penanggulangan bloming algae yaitu 0,3 ppm.
Ledakan populasi fitoplankton yang diikuti dengan keberadaan jenis fitoplankton beracun
akan menimbulkan Ledakan Populasi Alga Berbahaya (Harmful Algae Blooms HABs). Faktor
yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya
eutrofikasi adanya upwelling yang mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara; adanya hujan
lebat dan masuknya air ke laut dalam jumlah yang besar. Sejumlah spesies alga manghasilkan
toksin yang dapat ditransferkan melalui jaringan makanan di mana mereka dapat mempengaruhi
dan bahkan membunuh organisme yang lebih tinggi tingkatannya, seperti zooplankton,
kerangkerangan, ikan (Faisal, 2005). Peledakan algae tertentu pada perairan umum pada umunya
disebabkan karena tingginya bahan organik yang berasal dari cemaran limbah organik maupun
dari proses upwelling. Perubahan musim akan memepengaruhi kondisi perairan, missal
terjadinya proses upwelling. Menurut Sediadi (2004), upwellingmempengaruhi kelimpahan,
komposisi dan distribusi fitoplankton karena adanya faktor nitrat yang kandungannya relatif
tinggi. Fungsi dari CuSO4 (25% Cu) digunakan untuk mengendalikan lumut/alga untuk kolam
ikan, juga untuk mengendalikan jamur/preventif. Namun jika dosis yang digunakan berlebih
maka akan bersifat racun dan berbahaya bagi biota perairan seperti ikan. Dosis optimal
pemberian CuSO4 (terusi) dalam kolam yang mengandung tanaman air (mikroalgae) adalah
0,5gr/liter.
Kontrol biologi telah lama digunakan untuk menangani bloming alga, namun
perkembangannya lambat. Dinoflagellata heterotrofik Stoeckeria algisida di Korea terbukti
efisien untuk memangsa bloming alga Heterosigma (Jeong et al., 2002 dalam Rensel et al.,
2010). penelitian membuktikan bahwa heterotrofik Dinoflagellata Axyrrhis marina, Noctiluca
scintillans dan stoeckeria algisida mampu memakan ledakan pertumbuhan alga H.
akashiwo(Harvey, 2011).

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.

Pemberian CuSO4 pada perairan mampu menurunkan kelimpahan plankton.

2. Dosis pemberian CuSO4 yang optimum untuk penanganan blooming algae yaitu 0,3 ppm
5.2. Saran
Penanganan bloming algae dalam budidaya dapat menggunakan Algisida karena mampu
menurunkan kelimpahan plankton dalam perairan

DAFTAR PUSTAKA
Benedictus, A dan Puslitbang Oseanografi, 1993. Rantai Makanan Alga Pengganggu di Laut. Seminar
Nasional Bioteknologi Mikroalga. LIPI.
Faisal. W., k. T. Basuki, R. T. Sidharta. 2005. Studi Analisis Kista (Cyst) Harmful Algal
Bloom. Puslitbang Teknologi Maju. Batan.
Fitzgerald, P. G. and L. S. Faust. 1963. Factor Affecting The Algicidal and Algistic Properties of
Copper in Applied Microbiology. 11 : 345-351.
Harvey, E. L. and S. M. Deuer. 2011. Avoidance, movement, and mortality: The interactions between a
protistan grazer and Heterosigma akashiwo, a harmful algal bloom species.Limnol. Oceanogr.,
56(1) : 371378.
Nielsen, S. E., K. L. Nielsen danW. S. Andersen. 1969. The Effect of Deletorious of Copper on The
Photosynthesis of Chlorella pyrenoidosa in Physiolgia Plantarum. 22 : 1121-1133
Prihantini. 2008. Biodiversitas cyanobakteria dari beberapa siti/danau di kawasan Jakarta-DepokBogor, Indonesia. Makara. Sains. Volume:12 (1). 44-54.
Rensel J. E. J., N. Haigh, T. J. Tynan. 2010. Fraser river sockeye salmon marine survivaldecline and
harmful blooms of Heterosigma akashiwo. Elsevier. 10 : 98-115.
Sediadi, A. 2004. Effek upwelling terhadap kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan laut
banda dan sekitarnya. Makara, Sains, 8 (2) : 43-51.
Shioi, Y. H Tamai and T. Sasa. 1978. Inhibition of Photosystem II in The Green Alga Ankistrodesmus
falcatus by Copper in Pysiologia Plantarum. 44 : 434-438.
Syahril. 1990. Blooming Fitoplankton dengan menggunakan cupri Sulfat (CuSO4. 5H2O) Studi Kasus
di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Skripsi. Jurusan manajemen Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Wiadnyana, N. N. 1995. Informasi Tentang Dinoflagellata Beracun (Pyrodinium bahamense var.


Compressum). Lonawarta. XVIII(1):42-52.
Wiadnyana, N. N., A.Sediadi, T. Sidabutar and S.A Yusuf. 1994. Bloom of the
Dinoflagellata, Pyrodinium bahamense var. Compressum in Kao Bay, North Moluccas. IOCWEST-PAC Symposium. Bali, 22-26 November 1994.
Zulfiyah, E. 2009. Pencemaran Air Permukaan oleh Alga. Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan ITS Surabaya.

BAB I

PENDAHULUAN
Fitoplankton adalah organisme satu sel mikroskopik yang hidup di perairan tawar maupun laut perannya sangat
penting sebagai produsen utama pada rantai makanan. Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam
fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai dasar mata rantai
pada siklus makanan di laut. Namun fitoplankton tertentu mempunyai peran menurunkan kualitas perairan laut
apabila jumlahnya berlebih (blooming). (Aunurohim et al, 2006).
Kebanyakan fitoplankton tidak berbahaya selama pertumbuhannya normal dan tidak mengganggu ekosistem di
sekitarnya karena pada dasarnya fitoplankton adalah produsen energi (produsen primer) pada suatu rantai makanan
dalam ekosistem. Tetapi bila pada perairan tertentu terjadi pertumbuhan alga yang sangat berlimpah yang dikenal
dengan nama ledakan alga atau Blooming Algae dan dikenal juga dengan istilah HABs (Harmful Alga Blooms)
karena berlimpahnya nutrient pada badan air, maka akan berdampak besar terhadap lingkungan perairan tersebut.
Tingginya populasi fitoplankton beracun di dalam suatu perairan dapat menyebabkan berbagai akibat negatif bagi
ekosistem perairan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai makhluk
air lainnya. (Aunurohim et al, 2006).
Hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa peledakan alga selain disebabkan karena buangan domestik yang dibawa
aliran air sungai yang masuk ke perairan laut yang mengakibatkan tingginya konsentrasi nutrien di suatu badan air
(seperti Nitrogen, Fosfor dan Silikat), maka unsur hara yang cukup banyak bisa terkumpul di suatu kawasan laut
yang relatif tenang semisal teluk, akibat pergerakan arus yang memusat dan menuju ke tempat tertentu
(Mardiansyah).
Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya eutrofikasi
adanyaupwelling yang mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara, adanya hujan lebat dan masuknya air ke laut
dalam jumlah yang besar. Pada tahun 2004 muncul kematian massal ikan di Teluk Jakarta, banyak pernyataan yang
menyalahkan industri ataupun karena tumpahan minyak, tetapi tidak ada bukti nyata mengenai hal ini. Selain itu,
penelitian di Pulau Pari (bagian gugusan Kepulauan Seribu) pada tahun 2001 juga menunjukkan terjadinya
penurunan kualitas ekologik perairan sebagai dampak kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat disana, sehingga
menyebabkan kematian massal biota dasar perairan seperti karang, larva udang, dan teripang. Selain itu ada
beberapa kejadian fatal yang disebabkan oleh fitoplankton beracun tercatat di perairan Lewotobi dan Lewouran
(Nusa Tenggara Timur), Pulau Sebatik (Kalimantan Timur), perairan Makassar dan Teluk Ambon. Di beberapa negara
maju, ledakan fitoplankton juga mendapat prioritas penanganan mengingat dampak kerugiannya yang tinggi.
Beberapa penyakit akut yang disebabkan oleh racun dari kelompok fitoplankton berbahaya, racun-racun tersebut
sangat berbahaya karena di antaranya menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan.
(Aunurohim et al, 2006). Hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui fitoplankton jenis HABs,
BAB II
TINJAUAN UMUM
1.

A.

Definisi Alga Bloom

Alga merupakan salah satu mikroorganisme akuatik yang dapat berperan sebagai penyebab pencemaran pada air
permukaan, menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan alga pada air permukaan dan memberikan
uraian mekanisme proses pencemaran air permukaan oleh alga. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
alga adalah nutrien, salinitas, intensitas cahaya, temperatur dan pH serta aerasi. Konsentrasi nutrien yang
terkandung dalam air permukaan tropis yang menyebabkan pertumbuhan alga yang sangat pesat (algal bloom)
adalah 200 1000 gL-1 untuk fosfat dan 30 40 mgL-1 untuk nitrat (Zulfiyah, 2009)

Keberadaan alga dalam jumlah besar di perairan dalam banyak hal merupakan petunjuk kesuburan perairan dan
petunjuk adanya herbivora dalam jumlah besar pula, dan pada gilirannya banyak terdapat ikan. Walaupun demikian
keberadaan alga dalam jumlah besar tidak selalu berarti banyak ditemukan ikan. Hal ini bisa terjadi jika banyaknya
alga disini merupakan penggangu (Benidictus and Oseanografi , 1993)
Dilaut kadang kadang terjadi suatu pemandangan yang berupa hamparan luas berwarna kuning coklat atau merah.
Warna tersebut adalah fitoplankton dalam jumlah besar sehingga menyerupai bubur serbuk gergaji. Warna merah
berasal dari pigmen merah yang keluar pada saat dekomposisi alga. Perubahan warna air laut itu terjadi hanya
dalam periode tertentu. Di perairan tawar juga bisa terjadi hal tersebut teteapi data dari perairan tawar di Indonesia
sangat sedikit dan bahkan hampir tidak ada. Data dari perairan tawar di Eropa menyebutkan bahwa burung-burung
dan beberapa jenis binatang menyusui mati akibat minum air danau yang mengandungMycrocystis dan
Anabaena yang beracun, juga Prymnesium parvum di perairan payau yang terah menyebabkan banyak ikan mati
(Olson 1951; Shion et al dalam POGG 1962).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Blooming alga di Teluk Jakarta
Penentuan blooming dilakukan dengan cara sampel fitoplankton diambil dengan jaring Kitahara bermata jaring
ukuran 80 m. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara vertikal. Sampel plankton disimpan dalam botol sampel
dan diawetkan dengan larutan formalin 4%. Penelitian kualitas air ditinjau dari parameter kimia zat hara meliputi
salinitas, fosfat dan nitrat. Contoh air laut untuk parameter fosfat dan nitrat, dan salinitas diambil dengan
menggunakan botol Nansen. Kemudian sampel diuji di Laboratorium Oseanografi Kimia Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI, Jakarta. Pengamatan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan Sedgwik-Rafter Counting Cell
kemudian diidentifikasi menggunakan literatur, hasilnya dinyatakan dalam sel/m3.
Berdasarkan pengamatan pada bulan Juni 2011 berkisar 20 genus. Sedangkan pada saat pengamatan bulan
September 2011 didapatkan 17 genus. Indeks dominansi rerata paling tinggi atau dominan yaitu dari
genusSkeletonema (91,72%), Chaetoceros sebesar 5,4% dan Thalassiothrix merupakan genus yang sering dijumpai
namun indeks dominansinya rendah atau tidak dominan, yaitu kurang dari 2% (Cox et al, 1997). Skeletonemacukup
dominan (lebih dari 5%) dalam setiap musim dan terlihat bahwa, baik prosentase dominansi (%) maupun kepadatan
(sel/m3) menunjukkan peningkatan. Gejala ini sering terlihat di perairan subtropis, biasanya gejala ini berlangsung
pada musim semi yang dikenal sebagai spring diatoms increase (SDI) (Thoha, 2007).
Pada perairan Pulau Untung Jawa pada bulan September 2011 didapatkan 4 genus penyebab HABs, yaitu:
Ceratium, Dinophysis, Chaetoceros, dan Pseudonitzschia, kepadatan tertinggi dari genus HABs tersebut merupakan
kepadatan dari Chaetoceros, pada bulan Juni 2011
didapatkan 1.343.524 sel/m3 dan pada bulan September 2011 didapatkan 378.981 sel/m3.
Berdasarkan hasil identifikasi pada kedua stasiun di bulan Juni dan September 2011 terdapat 4 genus
penyebab HABs, yaitu Pseudonitzschia, Ceratium, Dinophysis, dan Chaetoceros. Dari data yang telah didapat, dapat
diketahui bahwa Chaetoceros merupakan genus penyebab HABs yang paling tinggi kepadatannya, yaitu antara
253.503-1.343.524 sel/m3. Chaetoceros merupakan genus yang umum ditemukan pada perairan karena mempunyai
toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan. Genus ini tidak secara langsung membahayakan manusia, namun
dapat menyebabkan masalah bagi biota laut saat kepadatannya tinggi, duri-duri yang terdapat
pada Chaetoceros dapat merangsang pembentukan lendir pada insang biota laut sehingga biota tersebut sukar
bernafas. Praseno dan Sugestiningsih (2000) mengatakan bahwa duri-duri tersebut bahkan dapat menyebabkan
pendarahan pada insang.

Sama halnya dengan Muara Cisadane, terdapat pergeseran puncak kepadatan di Pulau Untung Jawa dan secara
umum kepadatan tinggi pada siang hari di kedua musim. Namun puncak kepadatan fitoplankton pada bulan
September 2011 di Pulau Untung Jawa tidak setinggi di Muara Cisadane, hal ini berkaitan dengan rendahnya zat
hara di Pulau Untung Jawa,
terutama kandungan nitrat dan fosfat. Menurut Caraco et al (1978) dalam Pirzan (2008) pada perairan bersalinitas <
2 , pertumbuhan fitoplankton dibatasi oleh unsur fosfat, sedangkan pada perairan lebih asin dibatasi oleh unsur N,
dimana salinitas rerata Muara Cisadane berkisar antara 24,88 psu 25,63 psu, sedangkan pada Pulau Untung Jawa
salinitas rerata berkisar 32 psu
32,37 psu, hal ini berarti pada kedua perairan tersebut dibatasi oleh unsur N.
1.

B.
1.

Faktor yang memicu terjadinya Blooming alga


1.

Eutrofikasi

Eutofikasi merupakan Ledakan populasi alga yang berkaitan erat dengan kandungan nutrien yang cukup di perairan.
Di danau-danau Wisconsin dikatakan bahwa bloom fitoplankton terjadi jika kandungan posfor dalam fosfat melebihi
0,01 mg/liter, dan kandungan nitrogen dalam nitrat melebihi 0,3 mg/liter (Boney 1979). Ledakan alga bloom dapat
terjadi pada perairan yang eutrop yaitu perairan yang umurnya relatif tua, airnya lebih keruh, kandungan hara (N,P)
tinggi banyak plankton dan hewan air di dasar danau atau perairan oligotroph yaitu perairan yang umurnya relatif
muda, memiliki kandungan hara sedikit dan kurang produktif air dalam dan jernih.
Teluk jakarta bagian barat menentukan blooming Noctiluc, mengakibatkan menurunnya jumlah zooplankton copepod
yang merupakan komponen utama zooplankton di laut. Copepod adalah makanan utama ikan laying (Decapterus
sp.), ikan teri. Dengan menurunnya jumlah copepod sebagai makanan akan berpengaruh pda rantai makanan. Di
Teluk Jakarta juga pernah terjadi kematian ikan-ikan yang disebabkan oleh kandungan amoniak yang tinggi yang
diduga dihasilkan oleh Nocticula. Kandungan Nocticula yang tinggi ini tercermin dari warna air laut Teluk Jakarta
diduga oleh masuknya limbah perkotaan dan industri yang banyak mengandung bahan organik dan anorganik.
Kondisi perairan yang demikian terjadi pada perairan Pantai Utara Jawa. Kandungan Nocticula yang tinggi
menyebabkan air berwarna hijau, berlendir, bau anyir, serta dijauhi ikan. (Benidictus and Oseanografi , 1993).
1.

2.

Upwelling

Upwelling sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi ledakan alga, dapat didenfinisikan sebagai peristiwa
menaiknya massa air laut dari lapisan bawah ke permukaan (dari kedalaman 150 250 meter) karena proses fisik
perairan. Proses upwelling terjadi karena kekosongan massa air pada lapisan permukaan, akibat terbawa ke tempat
lain oleh arus. Upwelling dapat terjadi di daerah pantai dan di laut lepas. Di daerah pantai, upweling dapat terjadi jika
massa air lapisan permukaan mengalir meninggalkan pantai. Untuk laut lepas, proses upwelling dapat terjadi karena
adanya pola arus permukaan yang menyebar (divergence), sehingga massa air dari lapisan bawah permukaan akan
mengalir ke atas mengisi kekosongan yang terjadi karena menyebarnya arus. Adanya proses ini ditandai dengan
turunya suhu permukaan laut yang cukup mencolok (sekitar 2C untuk daerah tropis, dan > 2C untuk daerah sub
tropis). Upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya dapat berubah ubah. Di
sini akan berlangsung gerakan naiknya massa air dari lapisan bawah secara mantap dan setelah mencapai
permukaan, massa air bergerak secara horizontal ke luar, seperti yang terjadi di lepas pantai Peru.

Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan
permukaan meninggalkan lokasi air naik, dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas
mencapai permukaan.

Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air
(sinking). Dalam satu musim, air ringan di lapisan permukaan bergerak ke luar dari lokasi terjadinya air naik dan
air lebih berat di lapisan bawah bergerak ke atas yang kemudian tenggelam (Makmur).

1.

3.

Klorojil-a.

Kandungan klorofil-a juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesuburan dan kondisi blooming algae.
Kandungan klorofil-a dapat memberikan informasi yang standar tentang tingkat kesuburan perairan dikarenakan
klorofil-a merupakan ukuran biomassa fitoplankton. Penilaian tingkat kesuburan perairan melalui jumlah individu jenis
fitoplankton mungkin memberikan hasil yang berbeda untuk setiap jenis individu fitoplankton karena adanya
perbedaan ukuran volume dari masing-masing jenis fitoplankton (Sulastri, 2004)
1.

C.

Upaya Pengendalian Blooming Alga

Upaya pengendalian blooming alga memungkinkan untuk dilakukan dengan memanipulasi variabel-variabel yang
mengontrol suksesnya pertumbuhan alga atau fitoplankton tersebut di perairan. Kondisi lingkungan
mengelompokkan masing-masing jenis alga sesuai untuk pertumbuhannya. Keseimbangan nutrien, faktor fisik
seperti stabilitas dan pengadukan kolom air yang merupakan variable-variabel mengontrol suksesnya pertumbuhan
alga di perairan. Dari hasil pengamatan empiris yang dilaporkan Harris (1986) diketahui bahwa kehadiran blooming
alga merupakan fungsi dari stabilitas kolom air dan keseimbangan nutrien. Misalnya pada perairan yang stabilitas
kolom airnya (M) < 2 dengan rasio TN:TP < 30 maka komposisi fitoplakton dihuni oleh jenis-jenis alga biru hijau
pemfiksasi nitrogen yaitu Aphanizornenon dan Anabaena. Oleh karena itu melalui penurunan pasokan fosfor akan
merubah komposisi jenis alga dan menurunkan total biomasa alga.
Perubahan komposisi fitoplankton juga dapat dilakukan melalui manipulasi faktor fisik seperti rasio kedalaman eufotik
dan kedalaman teraduk. Adanya siklus musiman menyebabkan terjadinya fluktuasi rasio, dan berakibat munculnya
suksesi musiman jenis-jenis fitoplankton. Diberikan contoh yakni pada kondisi rasio, tinggi akan tumbuh jenis-jenis
kelompok spesies yaitu jenis- jenis yang memiliki ukuran kecil ditemukan pada kondisi lingkungan yang tidak stabil,
sedikit energi diperlukan untuk reproduksi, siklus hidupnya relatif pendek misalnya kelompok flagellata. Selanjutnya
ketika terjadi pengadukan secara vertikal komposisi fitoplankton berubah menjadi kelompok W spesies atau disebut
kelompok winter diatom untuk daerah temperate, yakni jenis-jenis diatom yang muncul dominan pada saat terjadi
pengadukan kolom air yang kuat seperti pada musim gugur (autum) dan musim dingin (winter) misanya Fragilaria,
Meosira, Diatoma. Kemudian pada musim panas terjadi stratifikasi kolom air dan tidak terjadi pengadukan pada
kolom air maka kelompok K spesies akan melimpah yakni jenis-jenis yang memiliki ukuran besar, hidup kondisi
lingkungan yang lebih stabil, memiliki siklus hidup yang lebih panjang, cenderung memiliki sifat kompetitor yang lebih
baik, dapat migrasi secara vertikal yang dapat mengatur dirinya untuk menyesuaikan diri terhadap perubahanperubahan kondisi lingkungan misalnya jenis-jenis alga biru hijau atau Microcystis dan dinoflagelata atau Ceratium
(Harris, 1986).
Melalui pemahaman ini maka metode pengendalian blooming alga seperti Microcystis atau C hirudinella dapat
dikendalikan melalui manipulasi rasio kedalaman eufotik dan kedalaman teraduk yang dapat dilakukan dengan
melakukan pengadukan kolom air secara buatan (artificial mixing) untuk merubah dominansi komposisi jenis dan
menurunkan biomasa fitoplankton. Dilaporkan bahwa perubahan selama 10 sampai 20 hari melalui pengadukan
yang kuat menghasilkan perubahan keragaman fitoplankton dari jenis-jenis W, r dan K species yang dapat hidup
secara bersama dan biomasa fitoplankton menurun (Harris, 1986). Selain itu hal yang paling sederhana dilakukan
agar tidak terjadi blooming alga adalah tidak membuang sampah ke dalam sungai ataupun perairan yang
menyebabkan tumbuhnya fitoplankton-fitoplankton penyebab HABs.
DAFTAR PUSTAKA

Oseanologi dan Limnologi Indonesia 2004 No. 36 : 51 -67 Blooming Alga Dinoflagelata Ceralium Ltirudinrlla 1)1
Waduk Kakangkates, Malang, Jawa Timur.
Kabinawa, Nyoman K., Made Sri Prana, Endang S., usep S. 1993. Seminar Nasional Bioteknologi Mikroalga.Bogor.
Februari 1993.
Zulfiyah, E. 2009. Pencemaran Air Permukaan oleh Alga. Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan ITS Surabaya.
Benedictus, A dan Puslitbang Oseanografi, 1993. Rantai Makanan Alga Pengganggu dilaut. Seminar Nasional
Bioteknologi Mikroalga. LIPI.
Rengganis, D.D. Aunurohim, Hikmah Thoha. 2011. Fitoplankton Penyebab Harmful Algae Blooms (Habs) Di Perairan
Teluk Jakarta. Jurusan Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. LIPI Oseanografi-Jakarta

Anda mungkin juga menyukai