Anda di halaman 1dari 137

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Responsi Praktikum Mata


Kuliah Limnologi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto

Disetujui,

Purwokerto,. .......... 2020

Mengetahui :

Koordinator asisten Asisten

Hasta Istikharoh Ahmad Hanif


Pranoto Utomo
NIM. L1A016039 NIM.L1B016066
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum mata kuliah “Limnologi”

tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada para asisten praktikum

Limnologi karena telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga laporan ini dapat

disusun dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini terdapat banyak

kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa serta materi yang terdapat di dalamnya.

Oleh karena itu, penulis menerima kritikan yang sifatnya membangun demi

kesempurnaan laporan praktikum di masa yang akan datang. Semoga laporan praktikum

ini bermanfaat bagi kita semua.

Purworejo,Mei 2020
ACARA I

ANALISIS SIFAT FISIK AIR DI SUNGAI


KRANJI

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang
banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air tersebut
harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia dan
makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan
secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan
generasi mendatang (Nugroho, 2008 dalam Ali et al, 2013). Salah satu sumber air
yang banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk
hidup lainnya yaitu sungai. Sungai merupakan ekosistem yang sangat penting bagi
manusia. Sungai juga menyediakan air bagi manusia baik untuk berbagai kegiatan
seperti pertanian, industri maupun domestik (Siahaan et al, 2011 dalam Ali et al,
2013).
Air sungai yang keluar dari mata air biasanya mempunyai kualitas yang sangat
baik. Namun dalam proses pengalirannya air tersebut akan menerima berbagai
macam bahan pencemar (Sofia et al., 2010 dalam Ali, 2013). Beberapa tahun
terakhir ini, kualitas air sungai di Indonesia sebagian besar dalam kondisi tercemar,
terutama setelah melewati daerah pemukiman, industri dan pertanian (Simon et al,
2008 dalam Ali, 2013). Meningkatnya aktivitas domestik, pertanian dan industri
akan mempengaruhi dan memberikan dampak terhadap kondisi kualitas air sungai
terutama aktivitas domestik yang memberikan masukan konsentrasi BOD terbesar ke
badan sungai (Priyambada et al., 2008 dalam Ali et al, 2013).
Sungai merupakan perairan yang mengalir karena kualitas airnya selalu berubah
dari waktu ke waktu atau bersifat dinamis. Soetjipto (1999:97) menyatakan
“Ekosistem air tawar memiliki kepentingan yang sangat berarti dalam kehidupan
manusia karena ekosistem air tawar merupakan sumber paling praktis dan murah
untuk memenuhi kepentingan domestik dan industri”. Oleh karena itu, sungai
merupakan salah satu tipe ekosistem perairan umum yang berperan bagi kehidupan
biota dan juga kebutuhan manusia untuk berbagai macam kegiatan seperti pertanian
dan industri yang dipengaruhi oleh banyak faktor, baik oleh aktifitas alam maupun
aktifitas manusia di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Susanto et al, 2012). Oleh karena
itu, diperlukan penelitian acara analisis sifat fisik Sungai Jengok ini.
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara analisis sifat fisik air di sungai kranji adalah
untuk mengetahui;
 teknik pengukuran air untuk penetrasi cahaya
 mengetahui teknik analisis perbandingan penetrasi cayaha dari masing masing
titik pengambilan sampel.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai
Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran
penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (Catchment
area) bagi daerah sekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh
karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan sekitarnya. Sebagai suatu ekosistem,
perairan sungai mempunyai berbagai komponen biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi
(Setiawan, 2009 dalam Mushthofa, 2014).
Menurut Mulyanto (2007) dalam Purnama (2015) sungai memiliki fungsi utama
yaitu mengalirkan air dan mengangkut material sedimen hasil erosi pada daerah
aliran sungai (DAS) dan alurnya. Material sedimen ini sebagian akan terbawa air
banjir ke luar alur aliran untuk kemudian diendapkan dan sebagian besar lainnya
akan terbawa sampai ke laut atau muara sungai. Berdasarkan hal tersebut maka
muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran atau pembuangan debit sungai terutama
pada saat banjir ke laut. Selain itu, muara sungai mempunyai nilai ekonomis yang
penting karena dapat berfungsi sebagai alur penghubung antara laut dengan daerah
yang cukup dalam di daratan. Permasalahan yang sering dihadapi adalah adanya
sedimentasi dan abrasi di sekitar muara yang dapat mempengaruhi kualitas perairan
sekitarnya.
Sungai merupakan perairan umum dengan sistem terbuka yang pergerakan airnya
satu arah (unidireksional). Tipologi sungai atau perairan mengalir mempunyai ciri
khas yaitu arah aliran, kecepatan aliran dan dasar aliran. Massa air mengalir ke satu
arah sehingga apa yang terjadi di daerah hulu dampaknya akan terbawa ke daerah
hilir tetapi tidak sebaliknya. Daerah hulu dicirikan dengan aliran deras, adanya arus
turbulensi, rata-rata suhu tahunannya tidak melebihi 200 C pada musim panas,
substrat kasar yang terdiri dari batuan besar, batu kerikil, dan puing-puing (Angelier,
2003 dalam Krisanti et al, 2013). Di beberapa wilayah Indonesia suhu di daerah hulu
sungai berkisar antara 19 – 26 0C (Y. Wardiatno; unpublished data dalam Krisanti et
al, 2013).

2.2. Faktor Fisik Perairan Lotik


2.2.1. Suhu
Suhu sangat berpengaruh terhadap proses-proses yang terjadi di dalam
air. Suhu pada air buangan (limbah) biasanya akan memiliki suhu yang lebih
tinggi dari pada suhu pada air murni. Hal ini disebabkan karena pada air
buangan (limbah) terjadi proses biodegradasi. Biodegradasi merupakan proses
pemecahan zat melalui aksi mikroorganisme (seperti bakteri atau jamur) yang
dapat menyebabkan kenaikan suhu pada air. Suhu pada air akan mempengaruhi
kecepatan reaksi kimia, baik pada lingkungan luar maupun di dalam tubuh
ikan. Semakin tinggi suhu, maka reaksi kimia akan semakin cepat, sedangkan
konsentrasi gas akan semakin turun, termasuk kadar oksigen dalam air. Suhu pada
suatu ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya
matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, dan ketinggian
geografis (Letterman, 1999). Disamping itu suhu perairan dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti limbah panas yang
berasal dari proses pendinginan pada pabrik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi suhu adalah penyerapan panas (heat flux), curah hujan (prespiration),
aliran sungai (Flux) dan pola sirkulasi air (Hadi, 2007).

2.2.2. Kecepatan Arus


(Effendi, 2003). Oleh karena itu, warna air dapat mengindikasikan adanya zat-
zat terlarut dalam air yang sangat berpengaruh terhadap kualitas air. Warna air dapat
diamati secara visual (langsung) ataupun diukur dengan menggunakan skala
platinum kobalt (dinyatakan dengan satuan (PtCo)), dengan membandingkan warna
air sempel dan warna standar (Effendi, 2003).

2.2.3. Debit Air


Debit sungai mempengaruhi pasokan sedimen tersuspensi dari darat dan
dipengaruhi oleh musim, curah hujan menentukan besar suatu debit. Jumlah curah
hujan kecil menyebabkan debit aliran kecil, sehingga material sedimen tersuspensi
yang diangkut sedikit, sedangkan jika curah hujan besar, nilai debit aliran besar
sehingga jumlah material sedimen tersuspensi yang diangkut pun banyak. Musim
berpengaruh terhadap jumlah curah hujan yang mengalir ke sungai dan
mempengaruhi debit aliran. Mulyanto (2007) menjelaskan bahwa curah hujan dan
debit sungai mempunyai hubungan, semakin tinggi suatu curah hujan maka run-off
dan debit sungai juga semakin besar. Hujan jangka pendek juga akan menghasilkan
run-off dan akan berpengaruh juga dengan debit sungai. Debit sungai membawa
partikel sedimen tersuspensi dari muara dan ketika menuju laut, pertikel sedimen
tersuspensi akan ditranspor oleh arus pasang surut (Umami et al, 2014).

2.2.4. Kekeruhan

Mahida (1986) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan


di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan
perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti
tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan
organisme lainnya. Effendi (2003), menyatakan bahwa tingginya nilai
kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi
efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air. Kekeruhan erat kaitannya
dengan nilai TDS dalam air. Semakin tinggi nilai TDS dalam air maka akan
semakin tinggi pula nilai kekeruhan dalam air. Kekeruhan menyebabkan cahaya
matahari tidak dapat masuk kedalam air sehingga proses fotosintesis terganggu yang
menybabkan adanya gangguan pada vegetasi lain dalam air.

2.2.5. TDS

Padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami
evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu (APHA, 1989). Padatan yang terdapat
di perairan diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameter partikel
yang diklasifikasikan.Sugiharto (1987) mendefinisikan sebagai jumlah berat dalam
air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45
mikro. Total padatan tersuspensi terdiri atas lumpur dan pasir halus serta
jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi
yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam
perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan
menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer
perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya
keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan
mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan
mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat
proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kedua, secara
langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena
tersaring oleh insang.

2.2.6. Konduktivitas
Daya Hantar Listrik (DHL) adalah gambaran numerik dari kemampuan
air untuk menghantarkan aliran listrik. Oleh karena itu, semakin banyak
garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL.
Nilai DHL dipengaruhi oleh nilai TDS, bahkan pada kondisi perairan tertentu,
penentuan nilai DHL dapat ditentukan menggunakan pendekatan nilai TDS.
Nilai DHL yang tinggi mengindikasikan konsentrasi TDS yang tinggi (Pasisingi
et al, 2014).

2.2.7. Penetrasi Cahaya

Kecerahan suatu perairan erat hubungannya dengan penetrasi cahaya yang


masuk ke dalam kolom perairan tersebut. Rendahnya kecerahan dipengaruhi oleh
partikel-partikel dan sedimen yang hanyut terbawa aliran sungai dari hasil pengikisan
daratan dan musim penghujan (Sinambela & Sipayung, 2015 dalam Ridwan et al,
2016).Menurut Berutu et al (2016), zat terlarut dalam air sangat mempengaruhi
penetrasi cahaya matahari yang berakibat penetrasi terbatas akan membatasi
organisme air. Pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi secara
mencolok sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga
akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan. Kekeruhan mengakibatkan
menurunnya penetrasi cahaya ke badan perairan sehingga menurunkan aktivitas
fotosintesis

2.2.8. Tipe Substrat


Susbstrat didefinisikan sebagai campuran dari lumpur, pasir dan tanah liat. Pada
perairan yang arusnya kuat, lebih banyak ditemukan substrat yang kasar yaitu pasir
atau kerikil karena partikel kecil akan terbawa arus air. Jika perairannya tenang dan
arusnya lemah, maka lumpur halus akan mengendap (Brower and Zar, 1977 dalam
Sari et al, 2016).
Sedimen berpasir umumnya miskin zat hara dan begitu sebaliknya substrat
yang lebih halus kaya akan unsur hara. Kandungan bahan organik dalam substrat
berkaitan erat dengan jenis substrat. Jenis substrat dasar perairan yang berbeda akan
memiliki kandungan bahan organik yang berbeda pula. Jumlah bahan organik yang
terdapat dalam substrat dasar secara keseluruhan disebut bahan organik total,
sedangkan bahan organik hasil dekomposisi yang mengendap di dasar perairan
disebut organik karbon (Kinasih et al., 2015).
Tipe dasar substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh letak geografis dan dari
partikel organik dan anorganik yang dapat tersebar oleh arus. Partikel-partikel dapat
berpindah tempat atau terikat kuat di dasar akibatnya penyebaran sedimen terjadi
pada daerah yang mengalir. Perairan yang menggenang bersifat lunak seperti
berpasir dan berlumpur, sedangkan perairan yang mengalir bersifat keras seperti
berbatu. Tipe substrat suatu perairan akan mempengaruhi keragaman komposisi
hewan benthos (Krisanti, 2013).

2.2.9. Warna

Warna perairan dapat ditimbulkan karena adanya bahan-bahan organik


(keberadaan plankton atau humus) maupun anorganik (seperti ion-ion logam besi,
dan mangan). Adanya kandungan bahan-bahan anorganik seperti oksida pada besi
menyebabkan air bewarna kemerahan, sedangkan oksida pada mangan
menyebabkan air menjadi berwarna kecoklatan/kehitaman. Kalsium karbonat
yang berasal dari daerah berkapur juga dapat menimbulkan warna kehijauan
pada air. Bahan-bahan organik, misalnya tanin, lignin, dan asam humus yang
berasal dari proses dekomposisi (pelapukan) tumbuhan yang telah mati
menimbulkan warna kecoklatan pada air (Effendi, 2003). Sementara itu, warna
air pada umumnya disebabkan oleh partikel koloid bermuatan negatif, sehingga
pemurnian warna pada air dilakukan dengan cara menambahkan bahan koagulan
yang bermuatan positif seperti alumunium dan besi (Gabriel, 2001). Warna
perairan juga dapat disebabkan oleh peledakan (blooming) Fitoplankton (algae)
(Effendi, 2003). Oleh karena itu, warna air dapat mengindikasikan adanya zat-zat
terlarut dalam air yang sangat berpengaruh terhadap kualitas air. Warna air dapat
diamati secara visual (langsung) ataupun diukur dengan menggunakan skala
platinum kobalt (dinyatakan dengan satuan (PtCo)), dengan membandingkan
warna air sempel dan warna standar (Effendi, 2003).

2.2.10. Bau
Beberapa sumber utama bau adalah hidrogen sulfida dan senyawa organik
yang dihasilkan oleh dekomposisi anaerob. Selain menyebabkan keluhan, bau
mungkin merupakan salah satu tanda dari adanya gas beracun atau kondisi anaerob
pada unit yang dapat memiliki efek merugikan bagi kesehatan atau
dampak lingkungan (Vanatta, 2000).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat
Tabel 1. Alat praktikum

No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi


1 Termometer 1 - Mengukur suhu perairan
2 Botol Mineral 600 ml / 6 - Menyimpan air sampel
3 Turbidimeter 1 - Mengukur kekeruhan
4 Stopwatch 1 - Mengukur waktu
5 Tali 10 m - Mengukur kecepatan arus
6 Desikator 1 - Mendinginkan kertas saring
Timbangan
7 1 - Menimbang kertas saring
Analitik
8 Secci disc 1 - Mengukur kecerahan air
9 Kertas Whatman no. 41 / 3 - Meyaring residu air sampel
10 Oven 1 - Mengeringkan kertas saring
11 TDS meter 1 - Mengukur TDS

3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

No Nama bahan Ukuran/ jumlah Merek Fungsi


Bahan pengukuran dan
Untuk disaring pada kertas
1 Air sampel - -
whatmann no 41 pada
pengukuran TSS
Untuk pembilasan pada saat
2 Akuades - - pengukuran TSS serta
pengencer

3.2. Metode
3.2.1. Suhu
Termometer celcius dengan bantuan nilon di celupkan ke dalam badan air yang
akan diteliti selama ± 10 menit. Angka yang tertera pada skala termometer yang
konstan di catat.

3.2.2. Kecepatan Arus


Sebuah botol mineral diisi air dengan volume 80%. Botol tersebut diikat
dengan tali sepanjang 10 m. Botol berisi air dan terikat dengan tali kemudian
dilepaskan di sungai sampai tali merenggang dengan sempurna. Perhitungan waktu
dimulai pada saat botol pertama kali dilepaskan sampai tali merenggang.
3.2.3. Debit Air
Pengukuran debit air dilakukan dengan cara pengukuran kecepatan arus dan luas
area sungai terlebih dahulu. Apabila kecepatan arus sudah diketahui, kemudian luas
area sungai diukur. Luas area sungai diukur dengan cara menghitung kedalaman tiap
jarak satu meter lebar sungai. Lebar sungai diukur dengan tiang pancang secara
horizontal dari batas air di bagian tepi sungai. Pengukuran dimulai dari tepi yang satu
sampai ke tepi yang lain. Setelah kedalaman tiap satu meter dan lebar sungai
diketahui, kita dapat mengukur luas area tiap satu meter. Luas area sungai
merupakan jumlah dari luas area sungai yang diukur tiap meter.

3.2.4. Kekeruhan
Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan menggunakan alat turbidimeter.
Turbidimeter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Setelah itu
kuvet diisi dengan air sampel, diukur, dan dicatat hasilnya.

3.2.5. TSS (Total Suspended Solid)


Kertas saring Whatman No. 41 yang akan digunakan terlebih dahulu dibilas
dengan akuades dan dikeringkan pada suhu 103 – 105 0C selama ± 1 jam. Kemudian
didinginkan dalam desikator (± 15 menit) dan ditimbang (sebagai nilai B). Setelah itu
saring sampel air sebanyak 50 – 100 mL dengan menggunakan kertas saring yang
telah ditimbang tersebut. Selanjutnya keringkan kembali kertas saring yang berisi
bahan-bahan yang tersaring tersebut pada suhu 103 – 105 0C selama ± 1 jam.
Kemudian didinginkan dalam desikator (± 15 menit) dan ditimbang beratnya
(sebagai nilai A).
Rumus perhitungannya yaitu sebagai berikut :
(𝐴−𝐵)×1000
TSS = 𝑚𝑔/𝐿
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑎𝑖𝑟

Keterangan :
A = berat kertas saring + residu (mg)
B = berat kertas saring (mg)

3.2.6. TDS (Total Dissolved Solid)


Pengukuran TDS dilakukan dengan menggunakan alat TDS meter. TDS
meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Setelah itu, kuvet
diisi dengan air sampel, diukur dan dicatat hasilnya.

3.2.7. Daya Hantar Listrik (DHL)


Pengukuran daya hantar listrik menggunakan alat TDS meter merk Lutron
YK-22CT. TDS meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada,
setelah itu kuvet diisi dengan air contoh, diukur dan hasiilnya dicatat.

3.2.8. Penetrasi Cahaya


Secchidisc diturunkan ke suatu kedalaman air tertentu, yaitu sampai tepat
hilang dari pandangan. Pada batas ini hanya tinggal 10 % saja intensitas cahaya
matahari yang menimpa permukaan air. Rumus perhitungannya adalah sebagai
berikut:
(𝑥1)+ (𝑥2)
PC = 2

Keterangan
X1 = Pembacaan Secchidisc Awal tidak terlihat (m)

X2 = Pembacaan Secchidisc Awal terlihat (m)

3.2.9. Tipe Substrat


Pengamatan tipe substrat dilakukan dengan mengambil bagian dasar kolam
dan dilihat jenis kandungan substrat nya.
3.2.10. Kedalaman
Dengan mengukur menggunakan secchi disc, ditenggelamkan ke
perairan hingga sekiranya sudah menuju dasar perairan, lalu dihitung tinggi air di
perairan tersebut
3.2.11. Warna
Warna air diamati dengan cara pengambilan sampel air sungai dengan botol
mineral atau telapak tangan. Warna yang tampak di dalam botol atau telapak tangan
itulah yang disimpulkan menjadi warna air.
3.2.12. Bau
Sampel air diambil dengan menggunakan botol atau telapak tangan.
Kemudian sampel dicium baunya. Bau yang didapat dan diperoleh dari pandangan
minimal lima orang itulah yang disimpulkan bau air.

3.3. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari sabtu 2 Mei 2020 di Google
classroom pada pukul 8;30 hingga selesai.Pengamatan terhadap sampel
dilakukan secara online/daring.
3.4. Analisis Data

Data pengamatan yang dapat dianalisis secara deskriptif dengan


histogram atau diagram batang antara titik sampling dan dengan bantuan
tabel.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Fisik Sungai ........


Sungai Kranji Standar
Parameter Satuan Hulu Tengah Hilir Baku Pustaka
Mutu
Penetrasi Cahaya Cm 28.5 19.8 24.35 20-40 PP NO. 82
Tahun 2001
o
Suhu C 25.9 29.3 27.3 27–32 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Kec. Arus m/s 0.81 0.39 0.55 0.2–0.5 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Kedalaman M 0.493 0.473 0.657 2 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Debit Air m3/s 1.06 0.53 0.82 0.54– PP NO. 82
1.14 Tahun 2001
Kekeruhan NTU 2.54 2.96 2.62 5 Keputusan
Menteri Negara
Lingkungan
Hidup No. 51
Tahun 2004
Tentang Baku
Mutu Air Laut
DHL µS/cm 87.3 80.3 109.3 139–186 PP NO.82
Tahun 2001
tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Bau Air – Amis Detergen Limbah Amis PP NO. 82
Kayu Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Warna Air – Tidak Cokelat Abu– Tidak PP NO. 82
Berwa Kehijaua abu Berwarn Tahun 2001
rna n a Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Tipe Substrat – Batu Pasir Bebatu Berbatu PP NO. 82
Berpas berbatu an dan Tahun 2001
ir pasir Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air

4.2. Pembahasan

4.2.1. Suhu
Suhu Sungai Kranji
32 Standar baku
30 mutu maximum

28
Suhu (°C)

Standar baku
26
mutu minimum
29.3
24 27.3
25.9
22

20
hulu tengah hilir
Suhu Sungai Kranji
Stasiun

Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan musim, letak lintang suatu
wilayah, ketinggian dari permukaan air laut, letak tempat terhadap garis edar matahari,
waktu pengukuran dan kedalaman air. Kenaikan suhu menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen, tetapi di lain pihak juga menyebabkan turunnya
kelarutan oksigen dalam air. Suhu suatu perairan merupakan salah satu faktor penting
dalam mempelajari gejala-gejala fisika di perairan. Suhu perairan dapat mempengaruhi
kehidupan hewan dan tumbuhan yang ada di perairan tersebut (Pratomo, 2001 dalam
Endi 2016).

Berdasarkan hasil data didapat bahwa suhu di Sungai Kranjik daerah hulu nilai
suhunya 25,9 ℃ , daerah tengah nilainya 29,3 ℃ dan hilir nilainya 27,3 ℃.suhu
disetiap bagian berbeda-beda Namun suhu air sungai dapakarena suhu t dipengaruhi
oleh variasi musim, iklim elevasi dan vegetasi sepanjang aliran sungai. Pada suatu
perairan suhu air tidak begitu banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan suhu
udara. Hal itu disebabkan panas jenisnya lebih tinggi dari udara (Allan 2001 dalam
Herdina 2014).
Dari hasil grafik tersebut didapatkan nilai suhu tertinggi di bagian tengah sebesar
29,3 ℃ dan suhu paling kecil dibagian hulu yaitu 25,9 ℃.Perbedaan nilai suhu
maksimun dan minimun tersebut dapat terjadi kemungkinan karena faktor perbedaan
waktu dan penetrasi cahaya matahari. Menurut Dallas (2008), bahwa suhu di hulu lebih
rendah dari tengah dan hilir. Faktor ketinggian tempat juga mempengaruhi tinggi
rendahnya suhu pada air sungai. Tingginya suhu disebabkan oleh tingginya cahaya dan
adanya pencampuran air, serta oleh faktor aktifitas yang ada pada stasiun tersebut.
Tingginya suhu air berkaitan dengan besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk
keperairan, karena intensitas cahaya yang masuk menentukan derajat panas. Semakin
banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi dan bertambahnya
kedalaman akan mengakibatkan suhu menurun (Nisa, dkk. 2015).

Standar baku mutu suhu minimum dan maksimum suatu perairan tawar
berdasarkan PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air yaitu sebesar 27 ˚C dan 32 ˚C, maka suhu perairan sungai Kranji pada
bagian tengah dan hilir masuk kedalam standar baku mutu tersebut. Suhu yang stabil
didalam suatu perairan adalah 250C – 300C. Suhu yang layak bagi kehidupan organisme
yaitu 250C – 280C.
(Kecepatan Arus

Kecepatan Arus Sungai Kranji


1
0.9
Kecepatan (m/s) 0.8
0.7
0.6
0.5 Standar baku
0.81
0.4 mutu maksimum
0.3 0.55
0.39
0.2 Standar baku
0.1 mutu minimum
hulu tengah hilir
Stasiun
Kecepatan Arus Sungai Kranji

Kecepatan arus merupakan salah satu parameter fisik yang biasa digunakan
dalam studi kualitas suatu perairan. Kecepatan arus air di sungai tergantung pada
kemiringan, kekasaran substrat, kedalaman, dan lebar sungai, dan musim (musim hujan
atau kemarau) (Jukri, 2013). Arus sangat berperan dalam sirkulasi air.Selain pembawa
bahan terlarut dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen dalam
air. Kekuatan arus dapat mengurangi organisme penempel (fouling) pada jaring
sehingga desain dan konstruksi keramba harus disesuaikan dengan kecepatan arus serta
kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, karang) (Affan, 2012).
Berdasarkan hasil data didapat bahwa kecepatan arus di Sungai Kranji daerah hulu
nilainya 0,81 m/s, daerah tengah nilainya 0,39 m/s dan hilir nilainya 0,55 m/s.
Perbedaan kecepatan arus dipengaruhi karena perbedaan substrat. Pada arus yang lebar,
deras dan dangkal atau saluran yang sangat licin kecepatan maksimum sering terjadi di
permukaan bebas (Junaidi, 2014).
Dari hasil grafik tersebut didapatkan nilai Kecepatan arus tertinggi di bagian
hulu sebesar 0,81 m/s dan suhu paling kecil dibagian tengah yaitu 0,39 m/s. Perbedaan
kecepatan arus dimungkinkan karena jika dilihat dari faktor penghambat kecepatan air
yakni antara lain: substrat sungai banyak mengandung lumpur, seresah, dan serat-serat
organik yang tersebar diseluruh perairan (Farichi dkk, 2013).
Standar baku mutu kecepatan arus minimum dan maksimum suatu perairan
tawar berdasarkan PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air yaitu sebesar 0,2 m/s dan 0,5 m/s , maka kecepatan arus
perairan sungai Kranji bagian tengah masuk kedalam standar baku arus mutu tersebut,
dapat dikatakan kecepatan di bagian tengah normal sedangkan kecepatan arus hulu dan
hilir cukup deras.

4.2.2. Debit Air

Debit Air Sungai Kranji

1.4

1.2
Debit air (m³/s)

0.8

0.6 1.06
0.82
0.4
0.53

0.2
hulu tengah hilir
Stasiun Debit Air Sungai Kranji

Debit adalah volume air yang mengalir per satuan waktu. Waktu konsentrasi

adalah waktu yang diperlukan limpasan air hujan dari titik terjauh menuju titik kontrol

yang ditinjau. Pengukur kecepatan aliran air dapat dijadikan sebagai sebuah alat untuk

memonitor dan mengevaluasi neraca air suatu kawasan melalui pendekatan potensi

sumber daya air permukaan yang ada (Neno et al, 2016).

Berdasarkan hasil data didapat bahwa debit air di Sungai Kranji daerah hulu

nilainya 1,06 m3/s, daerah tengah nilainya 0,53 m3/s dan hilir nilainya 0,82 m3/s.

Perbedaan nilai debit ini dikarenakan oleh lebar dan kedalaman sungai. Kecepatan arus

juga dapat mempengaruhi debit air. Pada musim hujan volume air relatif lebih besar

dibanding dimusim kemarau. Sedangkan pada musim kemarau panas matahari

menyebabkan terjadinya penguapan sehingga debit air berkurang di musim kemarau.

Selain itu penggunaan air oleh masyarakat juga berpengaruh terhadap berkurangnya

debit air terutama di daerah hilir. Debit air sungai dapat sebagai indikator beban
pencemaran di sungai (Agustiningsih, 2012).

Berdasarkan grafik dapat dilihat nilai debit air tertinggi ada di bagian hulu sebesar
1,06 m3/s, dan nilai terendah ada di tengah sebesar 0,53 m3/s. Debit air dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu curah hujan debit air juga dipengaruhi oleh aliran air yang
masuk dalam sungai yang membawa bahan terlarut akibat erosi pada suatu badan
perairan. Kecepatan arus juga dapat mempengaruhi debit air. Musim hujan volume air
relatif lebih besar dibanding dimusim kemarau. Sedangkan pada musim kemarau panas
matahari menyebabkan terjadinya penguapan sehingga debit air berkurang di musim
kemarau. Selain itu penggunaan air oleh masyarakat juga berpengaruh terhadap
berkurangnya debit air terutama di daerah hilir. Debit air sungai dapat sebagai indikator
beban pencemaran di sungai (Agustiningsih ,2012).

4.2.3. Kek
eruhan

Kekeruhan Sungai Kranji


5
standar baku
4.5
maksimum
4
3.5
Kekeruhan (NTU)

3
2.5
2
1.5 2.96
2.54 2.62
1
0.5
0
Hulu Tengah Hilir Kekeruhan Sungai Kranji
Stasiun

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya

cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air.

Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun

terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme

lainnya. Tingginya kisaran rata-rata kekeruhan diakibatkan oleh Musim Angin Utara
dengan kecepatan angin berkisar antara 8 – 10 knot/jam serta landainya dasar perairan

(Irawan dan Lily, 2013).

Berdasarkan hasil yang didapatkan nilai kekeruhan pada sungai Kranji bagian

hulu yaitu 2,54 NTU,bagian tengah yaitu 2,96 NTU dan pada bagian hilir yaitu 2,62

NTU.Perbedaan nilai kekeruhan dipengaruhioleh adanya bahan organic dan anorganik

yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organic

dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Semakin tinggi nilai

padatan tarsuspensi, nilai kekeruhan juga akan menjadi semakin tinggi. Kekeruhan pada

sungai pada saat banjir lebih banyak disebabkan oleh bahan – bahan tersuspensi yang

berukuran lebih besar, yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran

air pada saat hujan (Lim, 2011).

Kekeruhan tertinggi pada daerah tengah yaitu 2,96 NTU dan terendah pada

daerah hulu yaitu 2,54 NTU. Kekeruhan yang tinggi menyebabkan rendahnya intensitas

cahaya yang masuk ke dalam perairan. Sehingga proses fotosintesis fitoplankton

terhambat dan pertumbuhan fitoplankton tidak optimal (Dwirastina, 2015).

Standar baku mutu kekeruhan maksimum suatu perairan tawar berdasarkan PP

RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air

yaitu sebesar 5 NTU, kekeruhan perairan sungai Kranji pada bagian hulu, tengah, dan

hilir tidak melebihi standar baku mutu tersebut, maka dapat dikatakan di bagian hulu,

tengah, dan hilir sungai kranji masih jernih airnya.

4.2.4. DH
L
DHL Sungai Kranji
200
180
160
140
DHL (μS/cm) 120 Standar baku
minimum
100
80
60 109.3 DHL Sungai Kranji
40 87.3 80.3
20
0
Hulu Tengah Hilir
Stasiun

Besarnya nilai daya hantar listrik digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan

perairan.Tingginya daya hantar listrik menandakan banyaknya jenis bahan organik dan

mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan. Pada kondisi normal, perairan

memiliki nilai DHL berkisar antara 20 - 1500 µS/cm (Boyd, 1979 dalam Soraya 2014).

Daya Hantar Listrik (DHL) adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk

menghantarkan aliran listrik. Oleh karena itu, semakin banyak garam-garam terlarut

yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL (Pasisingi et al, 2012).

Berdasarkan hasil yang didapatkan, pengukuran konduktivitas di Sungai Kranji

bagian hulu yaitu 87,3 μmhos/cm, bagian tengah yaitu 80,3 μmhos/cm dan bagian hilir

yaitu 109,3 μmhos/cm.

Berdasarkan grafik nilai DHL tertinggi di hilir sebesar 109,3 μS/cm dan nilai
terendah di tengah sebesar 80,3 μS/cm. Konduktifitas suatu perairan sebanding dengan
konsentrasi ion-ion utaama yang terlarut di dalam air, seperti Mg2+, Ca2+, K+, dan Cl-.
Ion-ion terlart biasanya berasal dari sisa pakan atau partikel-partikel lain yang
mengendap di dasar suatu perairan (Sari, 2015). Nilai DHL pada perairan rawa banjiran
berkisar 20 – 80 μS/cm cenderung masih baik untuk mendukung kehidupan ikan
(Soraya dkk, 2014).
Standar baku mutu Daya Hantar Listrik minimum dan maksimum suatu perairan
tawar berdasarkan PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air yaitu 139 μS/cm dan 186 μS/cm, maka pada perairan
tersebut daya hantar listrik belum memasuki atau belum sesuai dengan standar baku
mutu yang berlaku.

4.2.5. Kedalaman

Kedalaman Sungai Kranji


1
0.9
0.8
Kedalaman (m)

0.7
0.6
0.5 Kedalaman Sungai Kranji

0.4 0.65
0.49 0.47
0.3
0.2
Hulu Tengah Hilir
Stasiun

4.2.6. Penetrasi cahaya

Penetrasi Cahaya
40
standar baku
35 maksimum
Penetrasi Cahaya (cm)

30

25

20
Penetrasi Cahaya Sungai
15 28.5 Ktranji
24.35
10 19.8
standar baku
5 minimum

0
Hulu Tengah Hilir
Stasiun

Penetrasi cahaya merupakan tranparansi perairan yang dapat ditentukan secara


visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai penetrasi cahaya dinyatakan dalam

satuan meter. Niliai penetrasi cahaya dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu

pengukuran dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran

(Irawan, 2013).

Berdasarkan hasil yang didapatkan, penetrasi cahaya padabagian hulu yaitu 28,5

cm, bagian tengah yiatu sebesar 19,8 cm dan pada bagian hilir yaitu sebesar 24,35

cm.Menurut Asmara (2005) semakin tinggi kedalaman secci disk semakin dalam

penetrasi cahaya ke dalam air, yang selanjutnya akan meningkatkan ketebalan lapisan

air yang produktif. Penetrasi cahaya badan perairan di pengaruhi oleh banyak tidaknya

cahaya yang masuk ke dalam perairan (Aditya dan Lily, 2013).

Berdasarkan grafik nilai penetrasi cahaya tertinggi yaitu pada bagian hulu
sebesar 28,5 cm, dan nilai terendah pada bagian tengah sebesar 19,8 cm. Asmara (2005)
bahwa semakin tinggi kedalaman secci disk semakin dalam penetrasi cahaya kedalam
air, yang selanjutnya akan meningkatkan ketebalan lapisan air yang produktif. Tebalnya
lapisan air yang produktif memungkinkan terjadinya pemanfaatan unsur hara secara
kontinyu oleh produsen primer (Nisa dkk, 2015). Kecerahan yang baik bagi usaha
budidaya budidaya ikan dan biota lainnya berkisar 30 – 40 cm. Bila kecerahan sudah
mencapai kedalaman kurang dari 25 cm, berarti akan terjadi penurunan oksigen terlarut
secara dratis (Richard dkk, 2013).
Standar baku mutu kecerahan minimum dan maksimum suatu perairan tawar
berdasarkan PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air yaitu sebesar 20 – 40, maka dapat dikatakan sungai kranji bagian hulu
dan hilir masuk ke standar baku mutu,sedangkan untuk bagian tengah masih dibawah
standar baku mutu.

4.2.8 Tipe Substrat.


Tipe dasar substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh letak geografis dan
dari partikel organik dan anorganik yang dapat tersebar oleh arus. Partikel-partikel
dapat berpindah tempat atau terikat kuat di dasar akibatnya penyebaran sedimen
terjadi pada daerah yang mengalir. Perairan yang menggenang bersifat lunak seperti
berpasir dan berlumpur, sedangkan perairan yang mengalir bersifat keras seperti
berbatu. Tipe substrat suatu perairan akan mempengaruhi keragaman komposisi
hewan benthos (Majarina, 2013).
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa tipe substrat pada daerah
hulu Sungai Kranji adalah batu berpasir , bagian tengah adalah pasir berbatu,
sedangkan bagian pasir berbatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Barus (2002), bahwa
substrat dasar di daerah hulu pada umumnya merupakan batu-batuan yang
mempunyai diameter yang lebih besar dan akan semakin kecil diameternya pada
daerah hilir. Daerah hilir atau muara substrat dasar pada umumnya berupa partikel
halus berupa batu berpasir dan lumpur. Penyebabnya yaitu karena pada daerah hulu
kecepatan arusnya sangat tinggi, terutama diakibatkan oleh kecuraman topografi
aliran yang terbentuk dan akibat adanya sedimentasi.
Standar baku mutu tipe substrat suatu perairan tawar berdasarkan PP RI no. 82
tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu
berbatu dan pasir, hal ini sudah sesuai dengan kondisi dibagian hulu yaitu berbatu
pasir

4.2.9. Warna
Warna air ditentukan secara organoleptik yang memberikan hasil yaitu pada

bagian hulu wrna putih, tengah warna coklat kehijauaan, hilir warna putih keruh. Air

yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan.

Warna pada air dapat disebabkan oleh kontak antara air dengan zat organik yang sudah

lapuk sehingga menghasilkan senyawa yang larut, unsur Fe dan Mn dan kadar yang

tinggi, senyawa-senyawa lainnya seperrti zat warna yang digunakan dalam pencelupan,

adanya tannin, lignin dan humus serta adanya bahan kimia atau mikroorganik

(plankton) yang terlarut dalam air (Rahayu, 2011 dalam Harahap et al., 2012).

Berdasarkan hasil yang didapatkan, pengamatan warna sungai Kranji yaitu

bagian hulu yaitu Tidak Berwarna,bagian tengah yaitu cokelat kehijauan dan bagian

hilir abu-abu. Warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi 2, yaitu warna


sesungguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color).Warna sesungguhnya

adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut.Warna tampak

adalah warna yang tidak hanya disebabkan bahan terlarut tetapi juga oleh bahan

tersuspensi.Kadar warna diambil dengan satuan TCU (true color unit) yang berarti

warna ditimbulkan karena adanya bahan-bahan kimia terlarut (Krisnandi, 2009 dalam

Dyah 2012).

Standar baku mutu Warna air suatu perairan tawar berdasarkan PP RI no. 82

tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu

tidak berwarna, maka dapat disimpulkan perairan sungai Kranji tidak memenuhi standar

baku jutu yang berlaku

4.3.0. Bau
Bau yang ditimbulkan oleh suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah-
limbah, organisme perairan yang mati dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan yang telah
dilakukan semua bagian badan sungai dari hulu berbau amis, pada bagian tengah
detergen dan hilir berbau limbah kayu. Perairan yang memancarkan bau terjadi karena
adanya degradasi biologis. Tidak hanya itu masuknya limbah ke sungai dapat
mempengaruhi bau perairan. Air yang memancarkan bau organik yang buruk dan
berbahaya tidak cocok untuk usaha budidaya (Krisnandi, 2009).
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

5.2. Saran

Untuk praktikum selanjutnya


DAFTAR PUSTAKA

Andara, Diani Riezki., Haeruddin., Agung Suryanto. 2014. Kandungan Total


Padatan Tersuspensi, Biochemical Oxygen Demand Dan Chemical
Oxygen Demand Serta Indeks Pencemaran Sungai Klampisan Di
Kawasan Industri Candi, Semarang. Diponegoro Journal Of Maquares. 3(3):
177-187.
Angelier, E. 2003. Ecology of streams and rivers. Science Publishers, Inc., Enfield,
NH, USA.
Asdak, C., 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Jogjakarta.
Barus, A. T. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMPI USU. Medan
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
USU PRESS. Medan.
Berutu, Eta Rinayanta dan Masdiana Sinambela. 2016. Analisis Substrat dan
Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai Babura Kota
Medan. Jurnal Biosains.2(1): 39-46.
Davis, M.L. and D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental
Engineering. Second edition. Mc-Graw-Hill, Inc. New York.
Dwirastina, M. Wibowo, A. 2015. Karakteristik Fisika-Kimia dan Struktur Komunitas
Plankton Perairan Sungai Manna, Bengkulu Selatan. Limnotek. Nomor 22 (1): 76-
85.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Junaidi, Fathona Fajri. 2014. Analisis Distribusi Kecepatan Aliran Sungai Musi
(Ruas Jembatan Ampera Sampai Dengan Pulau Kemaro). Jurnal Teknik
Sipil dan Lingkungan.2(3): 542-552.
Krisanti, Majariana., Susilowati, Emi., Wardiatno, Yusli. 2013. Analisis
Komunitas Makrozoobenthos Dengan Beberapa Indeks Biologi Dalam
Penentuan Tingkat Pencemaran Hulu Sungai Cisadane, Bogor. Jurnal
Biologi Tropis. Vol.13 No. 1 Januari 2013.
Mahyudin., Soemarno., Tri Budi Prayogo. 2015. Analisis Kualitas Air dan
Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Metro di Kota Kepanjen
Kabupaten Malang. J-PAL. 6(2): 105-114.
Mulyanto, H.R. 2007. Sungai Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Mushthofa, Aqil., Max Rudolf Muskananfola., Siti Rudiyanti. 2014. Analisis
Struktur Komunitas Makrozoobenthos sebagai Bioindikator Kualitas
Perairan Sungai Wedung Kabupaten Demak. Diponegoro Journal Of
Maquares. 3(1): 81-88.
Nisa, Khairatun., Zulkifli Nasution., Khadijah EL Ramija. 2015. Studi Kualitas
Perairan Sebagai Alternatif Pengembangan Budidaya Ikan di Sungai
Keureuto Kecamatan Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal AQUACOASTMARINE. 10(5): 1-15.
Pasisingi, Nuralim., Niken TM Pratiwi., Majariana Krisanti. 2014. Kualitas
perairan Sungai Cileungsi bagian hulu berdasarkan kondisi fisik-kimia.
Depik. 3(1): 56-64.
Poerbandono dan E. Djunarsjah. 2005. Survey Hidrografi. Refika Aditama,
Bandung.
Priyambada, I. B., W. Oktiawan, dan R.P.E Suprapto. 2008. “Analisa Pengaruh
Perbedaan Fungsi Tata Guna Lahan Terhadap Beban Pencemaran BOD
Sungai (Studi Kasus Sungai Serayu Jawa Tengah)”. Jurnal Presipitasi, 5. 55-
62.
Purnama., Aditya Eka., Hariadi., Siddhi Saputro. 2015. Pengaruh Arus, Pasang
Surut dan Debit Sungai Terhadap Distribusi Sedimen Tersuspensi di
Perairan Muara Sungai Ciberes, Cirebon. Jurnal Oseanografi. 4(1): 74–84.
Putra, Indra Setya. 2015. Studi Pengukuran Kecepatan Aliran pada Sungai
Pasang Surut. Info Teknik. 16(1): 33-46.
Putri,. Afdal., Puryanti, Dwi. 2014. Profil Pencemaran Air Sungai Siak Kota
Pekanbaru Dari Tinjauan Fisis Dan Kimia. Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No.
3, Juli 2014. Padang : Universitas Andalas.
Quddus, Rachmat. 2014. Teknik Pengolahan Air Bersih Dengan Sistem Saringan
Pasir Lambat (Downflow) yang Bersumber dari Sungai Musi. Jurnal Teknik
Sipil dan Lingkungan. 2(4): 669-675.
Ridwan, Muhammad., Rizal Fathoni., Ishma Fatihah., Danang Aji Pangestu.
2016. Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Empat Muara Sungai
Cagar Alam Pulau Dua, Serang, Banten. Al-Kauniyah Jurnal Biologi.9(1): 57-
65.
Saratoga, Esha Etlin., Siddhi Saputro., Sugeng Widada. 2015. Sebaran Sedimen
Dasar di Perairan Muara Sungai Bagong, Teluk Lembar. Jurnal Oseanografi.
4(1): 116 – 123.
Sari, Wanti Puspita., Bahtiar., Emiyarti. 2016. Studi Preferensi Habitat Siput
Tutut (Bellamya javanica) di Desa Amonggedo Kabupaten Konawe. Jurnal
Manajemen Sumber Daya Perairan. 1(1): 111-112.
Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Hilir Sungai
Lematang Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat. Jurusan Biologi
FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatra Selatan.
Siahaan, R.,A. Indawan, D. Soedharma, dan L.B. Prasetyo. 2011. “Kualitas Air
Sungai Cisadane, Jawa Barat – Banten”. Jurnal Ilmiah Sains, 11. 268-273.
Simon, S.B. dan R. Hidayat. 2008. Pengendalian Pencemaran Sumber Air
Dengan Ekoteknologi (Wetland Buatan)”. Jurnal Sumber Daya Air, 4. 111-
124.
Sinambela, M. & Sipayung, M. (2015). Makrozoobenthos dengan paramater
fisika dan kimia di Perairan Sungai Babura Kabupaten Deli Serdang.
Jurnal Biosains, 1(2), 44-50
Soebarkah. I. 1978. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Idea Dharma.
Bandung.

.
LAMPIRAN

1.1. Sifat Fisik Sungai


Tabel 1. Sifat Fisik Sungai
Sungai Kranji Standar
Parameter Satuan Hulu Tengah Hilir Baku Pustaka
Mutu
Penetrasi Cahaya Cm 28.5 19.8 24.35 20-40 PP NO. 82
Tahun 2001
o
Suhu C 25.9 29.3 27.3 27–32 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Kec. Arus m/s 0.81 0.39 0.55 0.2–0.5 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Kedalaman M 0.493 0.473 0.657 2 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Debit Air m3/s 1.06 0.53 0.82 0.54– PP NO. 82
1.14 Tahun 2001
Kekeruhan NTU 2.54 2.96 2.62 5 Keputusan
Menteri Negara
Lingkungan
Hidup No. 51
Tahun 2004
Tentang Baku
Mutu Air Laut
DHL µS/cm 87.3 80.3 109.3 139–186 PP NO.82
Tahun 2001
tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Bau Air – Amis Detergen Limbah Amis PP NO. 82
Kayu Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Warna Air – Tidak Cokelat Abu– Tidak PP NO. 82
Berwa Kehijaua abu Berwarn Tahun 2001
rna n a Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air
Tipe Substrat – Batu Pasir Bebatu Berbatu PP NO. 82
Berpas berbatu an dan Tahun 2001
ir pasir Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Air

1.2. Perhitungan
Penetrasi Cahaya
(𝑋1 + 𝑋2) Kecepatan Arus (v)
a. Hulu: S = 10 m; t1 = 13s,
2
t2 = 15s, t3 = 10s
Rumus : 𝑠 10
V1=𝑡 = 13 = 0,77 𝑚/𝑠
Keterangan: 𝑠 10
PC = Penetrasi Cahaya V2 =𝑡 = 15 = 0,67 𝑚/𝑠
𝑠 10
X1 = Pembacaan Secchidisc awal V3 = 𝑡 = 10 = 1 𝑚/𝑠
tidak terlihat Vrata-rata
X2 = Pembacaan Secchidisc awal 0,77+0,67+1
terlihat = = 0,81 𝑚/𝑠
3

b. Tengah: S = 10 m; t1 = 24s,
1. Hulu : X1 = 30,3 cm ; t2 = 27s, t3 =26s
X2 = 26,7 cm 𝑠 10
V1 =𝑡 = 24 = 0,42m/s
∑ PC rata-rata 𝑠 10
30.3 + 26.7 V2 = = 27 = 0,37m/s
= 𝑡
𝑠 10
2
V3 = 𝑡 = 26 = 0,38m/s
= 28,5 cm
Vrata-rata
2. Tengah : X1 = 20,9 cm ;
0,42+0,37+0,38
X2 = 18,7cm = = 0,39m/s
3
∑ PC rata-rata
20.9 + 18.7 c. Hilir: S = 10 m; t1 = 19s,
= t2 = 21s, t3 = 16s
2
𝑠 10
= 19,8 cm V1 =𝑡 = 19 = 0,53m/s
3. Hilir : X1 = 25,1 cm ; 𝑠 10
V2 =𝑡 = 21 = 0,48m/s
X2 = 23,6 cm 𝑠 10
∑ PC rata-rata V3 = = = 0,63m/s
𝑡 16
25.1 + 23.6
= 2
Vrata-rata
= 24,35 cm
0,53+0,48+0,63
= = 0,55 m/s
3
Suhu
a. Hulu: T.Ki = 26,2⁰C;
Kedalaman
T.T = 25,9⁰C ;T.Ka = 25,6⁰C
Suhu rata-rata  Hulu
26,2+25,9+25,6 Kedalaman rata-rata
= = 25,90C 0,45 + 0,57 + 0,46
3
=
b. Tengah: T.Ki = 29,8⁰C ; 3
T.T = 28,9⁰C ;T.Ka = 29,3⁰C = 0,493 𝑚
Suhu rata-rata  Tengah
Kedalaman rata-rata
29,8+28,9+29,3
= = 29,30C 0,42 + 0,49 + 0,51
3 =
3
c. Hilir: T.Ki = 27,4⁰C; = 0,473 𝑚
T.T = 26,9⁰C; T.Ka = 27,5⁰C  Hilir
Suhu rata-rata Kedalaman rata-rata
27,4+26,9+27,5
= =27,30C
3
0,62 + 0,69 + 0,66  A4 =
(43+37)𝑥 50
= 2000 cm2
= 2
3
= 0,657 𝑚  A5 = 35 x 50 = 1750 cm2
(35+29)𝑥 50
 A6 = = 1600 cm2
2

Debit Air  A7 = 25 x 50 = 1250 cm2


(21+17)𝑥 50
a. Hulu : S = 10 m ; t1 = 13s,  A8 = = 950 cm2
2
t2 = 15s, t3 =10s 15 𝑥 50
𝑆 10  A9 = = 375 cm2
2
V1 = 𝑡1 = 13 = 0,77m/s
𝑆 10
Atotal = 13625 cm2 = 1,3625m2
V2 = 𝑡2 = 15 = 0,67m/s D=VxA
𝑆 10
V3 = 𝑡3 = 10 = 1m/s = 0,39 m/s x 1,3625 m2
Vrata = 0,53 m3 /s
= 0,77 + 0,67 + 1
= 2,44/3 = 0,81m/s c. Hilir : S = 10 m ; t1 = 19s,
30 𝑥 50
 A1 = 2 = 750 cm2 t2 = 21s, t3 =16s
𝑆 10
(36+42)𝑥 50 V1 = 𝑡1 = 19 = 0,53m/s
 A2 = 2
= 1950 cm2
𝑆 10
(44+47)𝑥 50 V2 = 𝑡2 = 21 = 0,48m/s
 A3 = = 2275 cm 2
𝑆 10
2
V3 = 𝑡3 = 16 = 0,63m/s
 A4 = 50 x 50 = 2500 cm 2

(39+33)𝑥 50
Vrata
 A5 = = 1800 cm2 = 0,53 + 0,48 + 0,63
2
(35+29)𝑥 50 = 1,64/3 = 0,55m/s
 A6 = = 1600 cm2 20 𝑥 50
2  A1 = 2 = 500 cm2
(27+22)𝑥 50
 A7 = = 1225 cm2 (17+24)𝑥 50
2  A2 = = 1025 cm2
 A8 = 15 x 50 = 750 cm 2 2
10 𝑥 50  A3 = 30 X 50 = 1500 cm2
 A9 = = 250 cm2 (36+37)𝑥 50
2
2 2
 A4 = = 1825 cm2
Atotal = 13100cm = 1,31m 2

D=VxA  A5 = 40 x 50 = 2000 cm2


(45+49)𝑥 50
= 0,81 m/s x 1,31 m2  A6 = = 2350 cm2
2
= 1,06 m3 /s  A7 = 65 x 50 = 3250 cm2
(40+30)𝑥 50
 A8 = = 1750 cm2
b. Tengah : S = 10 m ; t1 = 24s, 2
26 𝑥 50
t2 = 27s, t3 =26s  A9 = = 650 cm2
2
𝑆 10
V1 = 𝑡1 = 24 = 0,42m/s Atotal = 14850cm2 = 1,485m2
𝑆 10 D=VxA
V2 = = = 0,37m/s
𝑡2 27
𝑆 10 = 0,55 m/s x 1,485 m2
V3 = 𝑡3 = 26 = 0,38m/s
= 0,82 m3 /s
Vrata
= 0,42 + 0,37 + 0,38
Kekeruhan
= 1,17/3 = 0,39 m/s
35 𝑥 50  Hulu
 A1 = = 875 cm2
2 Kekeruhan rata-rata
(43+50)𝑥 50
 A2 = = 2325 cm2 =
2,39+2,49+2,76
= 2,54 NTU
2
3
 A3 = 50 X 50 = 2500 cm 2
 Tengah
Kekeruhan rata-rata
3,12+2,96+2,81
= = 2,96 NTU
3
 Hilir
Kekeruhan rata-rata
2,62+2,59+2,66
= = 2,62 NTU
3

DHL
 Hulu
DHL rata-rata
87+ 86 + 89
= 3
= 87.3 µS/cm
 Tengah
DHL rata-rata
80 + 78 + 83
= 3
= 80.3 µS/cm
 Hilir
DHL rata-rata
110 +114 + 105
= 3
=
109.3µS/cm
ACARA II

ANALISIS SIFAT KIMIA AIR DI SUNGAI


KRANJI

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

Sungai merupakan perairan terbuka yang mengalir (lotic) dan mendapat


masukan dari semua buangan berbagai kegiatan manusia di daerah pemukiman,
pertanian, dan industri di daerah sekitarnya. Masuknya bahan buangan limbah kegiatan
ke dalam sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia, dan
biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat menghabiskan bahan-bahan yang penting
dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan . Sungai air tawar
sangat rentan bagi kehidupan organisme (Jena, 2013).
Menurut Triatmojo (1999) menjelaskan bahwa masukkan buangan ke dalam
sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia dan biologi di
dalam perairan. Perubahan ini dapat mempengaruhi keberadaan bahan-bahan yang
essensial dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan dan biota
perairan yang merupakan salah satu biota yang rentan terhadap perubahan lingkungan
adalah moluska. Jika polusi masih sedikit atau bahkan tidak ada maka moluska yang
hidup akan jauh lebih banyak dan beragam dengan pertimbangan tekstur sedimen,
kandungan bahan organik pada sedimen serta parameter fisika kimia yang mendukung
untuk tumbuh berkembangnya moluska itu sendiri (Shalihah, 2017).
Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari
daerah tangkapan sedangkan kualitas pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan
dengan aktivitas manusia yang ada di dalamnya. Perubahan kondisi kualitas air pada
aliran sungai merupakan dampak dari buangan dari penggunaan lahan yang ada. Selain
itu, berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berasal dari
kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian akan menghasilkan limbah yang
memberi sumbangan pada penurunan kualitas air sungai (Agustiningsih, 2012).
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

Sungai merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaakan untuk


berbagai keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri,
sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bila tidak
dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya air, diantaranya
adalah menurunnya kualitas air. Kondisi ini akan menimbulkan gangguan, kerusakan,
dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air. Sifat atau
mutu perairan dapat diketahui melalui pendugaan terhadap hasil
pengukuran/pengamatan parameter fisika, kimia, dan biologi. Untuk pengukuran/
pengamatan parameter kimia dapat dilihat dari derajat keasaman (pH), kandungan
oksigen terlarut, karbondioksida bebas, BOD, dan COD (Odum, 1971).
Sungai memiliki peranan penting dalam kehidupan setiap makhluk hidup.
Dengan perannya, air akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi/komponen
lainnya. Fungsi sungai bagi sektor pertanian adalah sebagai sarana irigasi bagi lahan
pertanian seperti sawah, kebun dan sektor pertanian lainnya. Sungai mempunyai
kapasitas tertentu dan ini dapat berubah karena aktivitas alami maupun antropogenik
sehingga dibutuhkan pelestarian agar sungai dapat berjalan sesuai dengan fungsinya
(Agurtira, dkk., 2013).

2.2. Parameter Kimia Sungai

2.2.1. pH (Derajat Keasaman)


Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan baik
buruknya suatu perairan. Pengaruh pH terhadap toksisitas bagi mikroorganisme
menunjukkan bahwa toksisitasnya meningkat sejalan dengan kenaikkan pH.
Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen
dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat
keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral,
pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifatasam, sedangkan pH > 7 dikatakan
kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003 dalam Mukarromah, 2016). Adanya
karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air. Sementara
itu, adanya asam pada mineral bebas dan asam karbonat akan menaikkan keasaman
suatu perairan. Menurut Rahayu (2009) bahwa pH 6,5-8,2 merupakan
kondisioptimum untuk makhluk hidup. pH yang terlalu asam atau terlalu basa
akanmematikan makhluk hidup. pH dapat berubah antar musim, bahkan antar jam
dalam satu hari

2.2.2. Oksigen Terlarut


Oksigen terlarut (dissolved oxygen) merupakan parameter mutu air yang
sangat penting, karena nilai oksigen terlarut dapat menunjukkan tingkat
pencemaran di perairan atau tingkat pengolahan air limbah. Besarnya nilai
oksigen terlarut dalam suatu perairan akan menentukan kesesuaian kualitas air
sebagai sumber kehidupan (Sunu, 2001 dalam Dewi, 2014). Banyaknya oksigen
terlarut menunjukkan kemampuan badan perairan di dalam mengelola kadar
minimal oksigen. Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari atmosfer, atau
proses fotosintesis tumbuhan air. Jumlah oksigen terlarut dalam air tergantung
pada suhu, tekanan atmosfer dan kadar mineral dalam air (Miller, 2007 dalam
Dewi, 2014).

2.2.3. CO2 Bebas


Karbondioksida akan selalu berreaksi dengan air hingga menghasilkan asam
karbonat (H2CO3). Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari atmosfir
dan hasil respirasi organisme perairan. Udara yang selalu bersentuhan dengan air
akan mengakibatkan terjadinya proses difusi CO2 ke dalam air. Peningkatan kadar
CO2 diikuti oleh penurunan kadar oksigen terlarut. Pada kondisi demikian, maka
akan terjadi keracunan CO2, sehingga daya serap oksigen oleh hemoglobin akan
terganggu yang disebut dengan methemoglobinemia. Keadaan ini dapat
mengakibatkan organisme mati lemas karena sesak nafas. Kadar CO 2 jenuh biasa
terjadi diperairan tropis, terutama jika dekat dengan lahan gambut, sumber geogenic
juga memberikan kontribusi CO2 jenuh dalam sistem perairan (Johnson et al.,
2010).

2.2.4. BOD (Biological Oxygen Demand)


BOD merupakan banyaknya oksigen dalam mg/l yang dibutuhkan oleh bakteri
aerobik untuk menguraikan dan menstabilkan banyaknya senyawa organik dalam air
melalui proses oksidasi biologis aerobik. Menurut Ferdiaz (1992) dalam Romanto
(2013) nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, akan
tetapi hanya untuk mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan buangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya BOD adalah pH, suhu, jenis
mikroorganisme dan jenis bahan organik dan inorganik di dalam air. Sumber BOD
daun-daun dan potongan kayu pada air tergenang,tumbuhan atau hewan yang sudah
mati, kotoran hewan, dan lain-lainSemakin tinggi BOD, semakin cepat oksigen di
dalam air habis, sehingga akan membawa dampak negatif bagi perkembangan
makhluk hidup yang ada di dalam air (Rahayu, 2009).

2.2.5. COD (Chemical Oxygen Demand)


COD menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan agar bahan
buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi secara kimiawi. Bahan buangan
organik akan dioksidasi oleh Kalium Bichromat menjadi gas CO2 dan H2O menjadi
ion Chrom. Kalium Bichromat digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing
agent). Jumlah oksigen yang diperlukan untuk reaksi oksidasi terhadap bahan
buangan organik sama dengan jumlah Kalium Bichromat yang dipakai pada reaksi
oksidasi (Wardhana, 2004 dalam Agustiningsih, 2012). Chemical Oxygen Demand
atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan
buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Sumber COD
berasal dari kegiatan industri kertas, penyamakan kulit, gula, pemotongan daging,
pengalengan ikan,pembekuan udang, roti, susu, keju, dan mentega, limbah domestik
dan lain-lain. Keberadaan COD di lingkungan akan memberikan dampak pada
manusia dan lingkungan, diantaranya adalah banyaknya biota air yang mati karena
konsentrasi oksigen terlarut dalam air terlalu sedikit dan semakin sulitnya
mendapatkan air sungai yang memenuhi kriteria sebagai bahan baku air minum
(Lumaela, 2013).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat praktikum

No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi


1 Termometer 1 - Mengukur suhu
2 Botol Mineral 600 ml - Menyimpan air sampel
3 Botol Winkler 250 ml - Menyimpan sampel DO
4 Biuret 1 - Titrasi
5 Erlenmeyer 100 ml - Menyimpan sampel
Kertas pH
6 - - Mengukur pH
Universsal
7 Statif 1 - Menjepit biuret
8 Penangas air 1 - Memanaskan sampel
9 Pipet tetes - - Memindahkan larutan
10 Gelar ukur 100 ml - Meyimpan sampel
Menyimpan sampel DO
11 Inkubator 1 -
selama 5 hari

3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

No Nama bahan Ukuran/ jumlah Merek Fungsi


1 Air sampel - - Objek yang diamati
Untuk membilas alat
2 Akuades - -
dan/atau untuk pengenceran
3 Na2CO# 0,01 N - Titrasi CO2 bebas
4 KMnO4 0,25 N - Mengikat O2 dalam air
5 H2SO4 0,01 N - Melarutkan O2
6 KOH – KI 1 ml - Mengikat O2
7 MnSO4 1 ml - Mengikat O2
8 Amilum 0,5 % - Indikator DO
9 Na2S2O3 0,025 N - Titrasi DO
10 Phenolpthalein 0,5 % - Indikator CO2 bebas
11 Asam Oksalat 0,01 N - Titrasi COD
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel 2. Sifat Kimia Sungai
Sungai Standar Baku
Parameter Satuan Pustaka
Hulu Tengah Hilir Mutu
Ph – 7,68 7,56 7,48 6-9 PP RI Nomor 82
Tahun 2001
CO2 mg/L 1,87 3,19 4,40 5.0 PP RI No.82 Thn.
2001
COD mg/L 5.467 7.703 9.80 <25 PP RI Nomor 82
Tahun 2001
DO mg/L 7,8 5,4 3,4 >2 mg O2/L PP No. 82 Tahun
2001 Kelas II
BOD5 mg/L 0.178 0.4 0.8 >2 PP RI Nomor 82
Tahun 2001

4.2. Pembahasan
4.2.1. pH
pH sungai Kranji
7.7

7.65

7.6

7.55
7.68
7.5

7.45 7.56

7.48
7.4

7.35
HULU TENGAH HILIR

pH Sungai Kranji

Bahan kimia yang terkandung dalam suatu perairan memberikan respon kimia

pada kondisi perairan tersebut. Perubahan pH dan konsentrasi oksigen menjadi indikator

untuk kualitas air. Nilai pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
produktifitas perairan. Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar

terhadap organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan

baik buruknya suatu perairan (Mahajan, 2015).b

Berdasarkan grafik di atas nilai derajat keasaman tertinggi ada di hulu sebesar
7,682 dan nilai terendah ada di hilir sebesar 7,48.Toleransi organisme air terhadap pH
bervariasi, hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, keberadaan anion dan
kation serta jenis dan stadium organisme (Fajri, dkk. 2013). Kenaikan pH pada badan
perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-
senyawa logam. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan
bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan
permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan , lama-kelamaan
persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel-patikel yang ada di badan
perairan akan mengendap membentuk lumpur (Aziz, 2013).
Standar baku mutu untuk pH di perairan berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001
tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu berkisar antara
6 – 9, maka dapat dikatakan bahwa perairan tersebut standar pH sudah memenuhi
standar baku mutu air. pH perairan yang mendukungkehidupan organisme adalah 5-9,
apabila krang dari it maka organisme perairan akan mengalami kematian (Siska & Thamrin,
2013).

4.2.2 CO2
KARBONDIOKSIDA BEBAS
5
4.5
4
3.5
3
2.5
4.4
2
1.5 3.19

1 1.87
0.5
0
HULU TENGAH HILIR

KARBONDIOKSIDA BEBAS
Kadar karbondioksida diperairan dapat mengalami pengurangan, bahkan hilang

akibat proses fotosintesis, evaporasi dan agitasi air. Kadar karbondioksida di hulu,

tengah dan di hilir berbeda disebabkan karena adanya arus dan angin diduga

menyebabkan bergeraknya massa CO2 terlarut ini. Selain faktor cuaca seperti kecepatan

angin, arah angin dan curah hujan, salinitas dan pH juga mempengaruhi konsentrasi

karbondioksida terlarut (CO2 larut) (Tahir, 2014).

Berdasarkan hasil yang didapatkan, pengukuran CO2 bebas di Sungai Kranji

pada bagian hulu 1,87 mg/L,bagian tengah adalah 3,19 mg/L dan hilir adalah 4.4 mg/L.

Dari hasil tersebut bisa disimpulkan bahwa kandungan CO2 bebas dari hulu ke hilir

semakin meningkat. Kadar karbondioksida yang diperbolehkan bagi perairan yang

dimanfaatkan untuk perikanan adalah < 5 mg/L. Boyd (1988) dalam Siregar (2015)

menambahkan bahwa kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/L masih dapat

ditolerir oleh organisme akuatik, dengan syarat disertai kadar oksigen yang cukup.

Maka, kandungan CO2 bebas pada perairan Sungai Jengok masih cukup normal atau

baik untuk kehidupan biota yang ada di perairan tersebut.

Berdasarkan grafik diatas kadar Karbondioksida bebas tertinggi ada di hilir


sebesar 4,4 mg/L dan kadar terendah adadi hulu sebesar 1,87 mg/L. Hasil ini
dikarenakan tingkat respirasi oleh organisme periaran di hilir lebih tinggi dibandingkan
di hulu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar CO2 di perairan adalah difusi
karbondioksida dari atmosfir langsung ke perairan, hasil respirasi organisme, dan air
hujan karena di dalam air hujan terdapat kandungan karbondioksida (Sary, 2006).

. Standar baku mutu untuk karbondioksida bebas di perairan menurut PP RI


No.82 Thn. 2001 yaitu 5 mg/L p. Kandungan CO2 bebas pada perairan Sungai Kranji
masih dibawah standar baku mutu.

4.2.3. COD
chemical oxygen demand
12

10

6
9.8
4 7.703
5.467
2

0
hulu tengah hilir

chemical oxygen demand

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah total oksigen yang


dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi. Limbah
rumah tangga dan industri merupakan sumber utama limbah organik dan
merupakan penyebab utama tingginya konsentrasi COD, selain itu limbah
peternakan juga menjadi penyebab tinggi konsentrasi COD (Lumaela, dkk.
2013).
Berdasarkan grafik nilai COD tertinggi ada di hilir sebesar 9,80 mg/L dan nilai
terendah ada di hulu sebesar 5,467 mg/L. Nilai COD yang cenderung tinggi
menunjukkan bahwa bahan organik yang ada di perairan lebih banyak berada dalam
bentuk yang sukar terdegradasi secara biologis (Soraya & Windusari, 2014). Menurut
Tanjung, dkk (2016) , bahwa kandungan COD yang tinggi juga menggambarkan
kandungan bahan organik yang dapat diurai lewat prsoses kimia juga tinggi, dimana
COD menunjukkan banyaknya oksigen total yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
senyawa organik secara kimiawi.
Standar baku mutu untuk Chemical Oxygen Demand di perairan berdasarkan PP
RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
yaitu <25 mg/L, dapat dikatakan bahwa Sungai Kranji masih dibawah standar mutu.

4.2.4. DO
DISOLVED OXYGEN
9

4 7.8
3
5.4
2
3.4
1

0
HULU TENGAH HILIR

DISOLVED OXYGEN

Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen
terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur
metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber
oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di
atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh
tumbuhan air dan fitoplankton (Mahajan, 2015).
Berdasarkan grafik nilai oksigen terlart tertinggi ada di hulu sebesar 7,8 mg/L
dan nilai terendah ada di hilir sebesar 3,4 mg/L. Tingginya nilai oksigen terlarut pada
perairan diduga karena sedikitnya aktivitas manusia di kawasan ini, sehingga tidak
memberikan pengaruh langsung pada kandungan oksigen terlarut (Fajri, 2013).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena
oksigen terlarut berperan dalam prosesoksidasi dan reduksi bahan organik dan
anorganik. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut
sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara
alami (Azwar, dkk. 2013).
Standar baku mutu untuk Dissolved Oxygen di perairan berdasarkan PP RI No.
82 tahun 2001 kelas II tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air yaitu berkisar antara > 2 mg/L, maka dapat dikatakan bahwa perairan tersebut
standar pH sudah memenuhi standar baku mutu air (Kelas II) untuk budidaya ikan air
tawar. Menurut Frasawi (2013) menyatakan bahwa DO >5 mg/L sangat baik untuk
kelangsungan kegiatan budidaya ikan.

4.2.5. BOD
Biochemical Oxygen Demand
0.9

0.8

0.7

0.6

0.5

0.4 0.8

0.3

0.2 0.4

0.1 0.178
0
HULU TENGAH HILIR

Biochemical Oxygen Demand

BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bakteri


pengurai untuk menguraikan bahan pencemar organik dalam air. Makin besar
kosentrasi BOD suatu perairan, menunjukan konsentrasi bahan organik di
dalam air juga tinggi (Yudo, 2010 dalam Azwar 2013). Nilai BOD atau
Biological Oxygen Demand pada air sungai menunjukkan banyaknya
pencemar organik yang ada dalam air sungai (Tahir, 2014).
Berdasarkan grafik nilai BOD tertinggi ada di hilir sebesar 0,8 mg/L dan nilai
terendah ada di hulu sebesar 0,178 mg/L. Makin besar kadar BOD nya, maka
merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar. Kadar BOD dalam air yang
tingkat pencemarannya masih rendah dan dapat dikategorikan sebagai perairan yang
baik berkisar 0 – 10 ppm. Naiknya angka BOD dapat berasal dari bahan-bahan organik
yang berasal dari limbah domestik dan limbah lainnya (Ali, dkk., 2013). Sungai dengan
BOD rendah memiliki tingkat nutrisi yang rendah dan ini berarti konsentrasi tinggi
oksigen terlarut (Anhwange, dkk. 2012)
Standar baku mutu untuk Biochemical Oxygen Demand di perairan berdasarkan
PP RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air yaitu berkisar >2 mg/L, nilai yang diperoleh tidak melebihi standar baku mutu
tersebut dan dapat dikatakan bahwa perairan tersebut masih normal untuk kelangsungan
hidup organisme akuatik. Menurut Frasawi (2013), bahwa kandungan BOD dalam
suatu perairan untuk ikan air tawar 6 mg/L, baik untuk kelangsungan kegiatan budidaya
ikan maka kondisi air masih baik untuk kelangsungan hidup ikan.
V. KESIMPULAN DAN

SARAN DAFTAR

PUSTAKA

LAMPIRAN
ACARA III

ANALISIS SIFAT BIOLOGI AIR DI


SUNGAI PANEMON

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang

banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air

tersebut harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh

manusia dan makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai

kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan

kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang (Nugroho, 2008). Salah

satu sumber air yang banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup

manusia dan makhluk hidup lainnya yaitu sungai. Sungai merupakan

ekosistem yang sangat penting bagi manusia. Sungai juga menyediakan air bagi

manusia baik untuk berbagai kegiatan seperti pertanian, industri maupun

domestik (Siahaan, et al., 2011 dalam Ali 2013).

Di dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai, sungai yang berfungsi sebagai

wadah pengaliran air selalu berada di posisi paling rendah dalam landskap

bumi, sehingga kondisi sungai tidak dapat dipisahkan dari kondisi Daerah

Aliran Sungai (PP 38 Tahun 2011). Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas

pasokan air yang berasal dari daerah tangkapan sedangkan kualitas pasokan

air dari daerah tangkapan berkaitan dengan aktivitas manusia yang ada di

dalamnya (Wiwoho, 2005 dalam Dyah 2012). Perubahan kondisi kualitas air

pada aliran sungai merupakan dampak dari buangan dari penggunaan lahan

yang ada (Tafangenyasha dan Dzinomwa, 2005 dalam Dyah 2012).

Perubahan pola pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian, tegalan dan

permukiman serta meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak


terhadap kondisi hidrologis dalam suatu Daerah Aliran Sungai. Selain itu,

berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berasal

dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian akan menghasilkan limbah

yang memberi sumbangan pada penurunan kualitas air sungai (Suriawiria,

2003 dalam Dyah 2012).

Makrobenthos merupakan salah satu komponen penting pada suatu

ekosistem, karena berperan dalam membantu proses penguraian bahan

organik. Makrobenthos memiliki beberapa sifat yang tidak dimiliki organisme

lainnya, antara lain tidak berpindah-pindah tempat dan mempunyai daya

adaptasi yang bervariasi terhadap perubahan lingkungan. Biota yang dapat

digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan kondisi suatu

perairan adalah hewan makrozoobentos, contohnya adalah anggota

gastropoda (Kristanto, 2004 dalam Ayu et al., 2015). Oleh karena itu, perlunya

penelitian acara sifat biologi air di Sungai Jengok.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum acara analisis sifat biologi air di Sungai Jengok

adalah untuk mengetahui perbedaan sifat biologi air sungai Jengok pada

stasiun tengah dan hilir.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

2.1.1. Sungai
Menurut Effendi (2003) dalam Ayu et al (2015), sungai merupakan sumber

air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan

kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral,

dan pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bila tidak dikelola

dengan baik akan berdampak negative terhadap sumber daya air, diantaranya

adalah menurunnya kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan,

kerusakan dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada sumber

daya air. Bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing

bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memiliki suatu

tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut.

Sungai terdapat interaksi antara faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik

diantaranya adalah zooplankton, sedangkan abiotik adalah suhu, penetrasi

cahaya kedalaman, kekeruhan oksigen terlarut, karbondioksida bebas, salinitas,

arus, dan pH. Faktor-faktor tersebut merupakan pembatas yang dapat

digunakan untuk dapat mengetahui keragaman organisme dan kelimpahannya

(Odum, 1998 dalam Rahayu et al., 2015).

Sungai memiliki dua daerah (zona) utama, yaitu zona air deras daerah

yang dangkal di mana kecepatan arus cukup tinggi untuk menyebabkan dasar

sungai bersih dari endapan dan materi lainnya, sehingga dasarnya padat, zona

ini dihuni oleh benthos yang beradaptasi khusus atau organisme perifitik yang

dapat melekat atau berpegangan kuat pada dasar sungai dan ikan perenang
kuat. Zona Air Tenang yaitu bagian air yang dalam dimana kecepaan arus telah

berkurang, maka lumpur dan materi yang berada dalam air cenderung

mengendap pada dasar perairan, sehingga dasarnya lunak dan tidak sesuai

untuk benthos permukaan tapi cocok untuk penggali nekton dan beberapa

plankton (Odum, 1996 dalam Rahayu et al., 2015).

2.2. Parameter Biologi Sungai

2.2.1. Bentos
Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di
dalam atau melekat pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan ukuran tubuhnya
benthos dapat dibagi atas makrobenthos yaitu kelompok benthos yang berukuran
>2 mm, meiobenthos yaitu kelompok benthos yang berukuran 0,2–2 mm, dan
mikrobenthos yaitu kelompok benthos yang berukuran <0,2 mm (Barus, 2004).

2.2.2. Makrobentos
Makrobenthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada
dasar atau hidup pada sedimen dasar (Hariyanto et al., 2008). Perairan yang
tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup makrobenthos karena
makrobenthos merupakan organisme air yang mudah terpengaruh oleh adanya
bahan pencemar, baik pencemar fisik maupun kimia.

2.2.3. Kepadatan
Kepadatan makrobentos harus diperhatikan untuk mengetahui seberapa

banyak organisme yang berada pada daerah yang diamati. Saat mencari

kepadatan maka ketelitian harus benar-benar diperhatikan agar kesalahan dalam

menentukan banyaknya spesies makrobentos tidak mengalami kesalahan

(Suryanti, 2013). Kepadatan makrobentos dari suatu perairan tergantung pada

prokduktivitas perairan. Biomassa atau kepadatan makrobentos dari suatu dasar

perairan bervariasi dari tempat ke tempat tergantung dari tersedianya makanan.

Kepadatan yang tidak berbeda dari kedua perairan disebabkan oleh persediaan

makanan atau produktivitas kedua perairan tidak berbeda (Siti, 2013).

2.2.4. Keragaman
Keragaman makrozoobentos menunjukan ekspresi sintetik kualitas air
sungai tersebut (Angeleier, 2003 dalam Saiful 2014). Pada saat ini penggunaan
bioindikator menjadi sangat penting untuk memperlihatkan hubungan antara
lingkungan biotik dengan non-abiotik. Bioindikator ekologis merupakan
kelompok organisme yang sensitive dan dapat dijadikan petunjuk bahwa mereka
dipengarui oleh tekanan akibat dari kegiatan manusia dan destruksi system
biotik (Alis dan Fajar, 2007 dalam Saiful 2014).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.Alat
Tabel 1. Alat praktikum

No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi


Buku identifikasi
Membantu mengidentifikasi
1 invertebrata air - -
invertebrata air tawar
tawar
2 kamera 1 - Dokumentasi
3 Transek 1x1m - Area pengambilan sampel
Tempat sementara
4 Plastik bening 1 pak -
makrobenthos
5 Ember 1 - Menyimpan sampel
6 Mikroskop 1 - Pengamatan makrobenthos

3.2.Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

No Nama bahan Ukuran/ jumlah Merek Fungsi


1 Formalin 4% - Mengawetkan sampel
Indikator keragaman dan
2 Invertebrata akuatik - -
kekayaan biota sungai

3.2. Metode

Pengambilan sampel makrobentos dilakukan dengan menggunakan metode hand


sorting dengan luasan transek 1x1 m2. Substrat yang berada dalam kotakan transek
diambil menggunakan tangan dan dimasukan ke dalam kantong plastik yang telah
disediakan. Kemudian sampel yang telah diperoleh tersebut kemudian disimpan dalam
botol sampel dan diberi larutan formalin 4% secukupnya. Sampel kemudian
diindentifikasi dan dihitung jumlahnya dengan bantuan mikroskop stereo atau loupe.
Variabel yang diamati adalah kepadatan dan keragaman. Setelah mendapat data
kemudian kepadatan dan keragaman dihitung dengan rumus sebagai berikut:
a. Kepadatan Makobenthos

X=
 ni
AxS
Dimana :
X = kepadatan individu/m2,
A = luas transek pengambilan sampel 1 x 1 m
S = jumlah transek pengambilan sampel (....kali)
ni = jumlah individu suatu spesies/genus ke-i

b. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’)


ni ni
H = − ∑ 𝑁 ln 𝑁
Dimana :
H’ = indeks keragaman
S = jumlah spesies
Ni = jumlah individu tiap spesies ke-i
N = jumlah total individu semua spesies

3.2. Waktu dan Tempat

3.3. Analisis Data

Data pegamatan dianalisis berdasarkan perhitungan dan disajikan dalam grafik


batang, yakni membandingkan makrobentos pada daerah hulu, tengah dan hilir Sungai
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 3. Sifat Biologi Sungai Panemon

Jumlah
Stasiun Genus Spesies Tepi Tepi Total Kepadatan Keragaman
Tengah
Kiri Kanan
Hulu SulcoSulcosp 15 8 11 34 11.33 0
spiraira individu/
testudin m2
aria
Tengah Soma Sulcosp 9nj 5 6 20 6.67 3.09
nniath ira individu/
elphu testudin m2
sa aria
Thiar Thiara 1 0 0 1 0.33
a scabra individu/
m2
Hilir Sulco Sulcosp 11 9 9 29 9.67 2.81
spira ira individu/
testudin m2
aria
Parat Parath 0 2 0 2 0.67
helpu elpusa individu/
sa convex m2
a

4.2. Pembahasan

4.2.1. Kepadatan
Keragaman dan kelimpahan makrobentos dapat dijadikan indikator

kesuburan suatu perairan. Keberadaan makrobentos sangat tergantung pada

ketersediaan nitrat dan fosfat. Bentos merupakan organism perairan yang

menjadi pakan alami bagi benih ikan. Bentos dapat ditemukan dalam keadaan

terapung di permukaan kolam, di dasar kolam atau melayang memenuhi air

kolam. Pertumbuhan bentos dipengaruhi oleh kehadiran unsur hara di perairan

(Syamsul, 2013).
Berdasarkan hasil yang didapatkan, dari pengamatan sifat biologi di

Sungai bagian hulu didapatkan spesies Sulcospira testudinaria total 34 buah

dengan kepadatan 11.33 individu/ m2 ,bagian tengah didapatkan spesies

Sulcospira testudinaria total 20 buah dengan kepadatan yaitu 6.67 ndividu/ m2

dan spesies Thiara scabra total 1 buah dengan kepadatan 0.33 individu/ m2. Lalu

di bagian hilir didapatkan spesies Sulcospira testudinaria dengan total 29 buah

dengan kepadatan 9.67 individu/ m2 dan spesies Parathelpusa convexa total 2 buah

dengan kepadatan 0.67 individu/ m2 . Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa

kepadatan makrozoobentos paling banyak ditemukan di bagian hulu

sedangkan daerahtengah lebih sedikit..

Pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya matahari dapat

menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan, daerah

dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah

yang lebih dalam sehingga cenderung mempunyai makrozoobentos yang

beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan

perairan cenderung lebih dalam jika dibandingkan dengan saat musim

kemarau. Hal tersebut dapat mempengaruhi kepadatan makrozoobentos di

dasar suatu perairan (Setiawan, 2008 dalam Singh 2014).

Makrozoobentos yang bertahan hidup adalah makrozoobentos yang bisa

memanfaatkan oksigen terlarut dalam jumlah sedikit. Makrozoobentos

berkontribusi dalam memanfaatkan bahan organik yang masuk ke

perairan.Bentos merupakan sumber makanan alami yang baik bagi ikan.Selain

penting sebagai makanan alami untuk ikan, bentos juga memegang peranan
penting lainnya dalam ekosistem perairan.Bentos berperan dalam mineralisasi

dan merubah balik bahan organik dalam perairan, dan bentos menduduki

urutan kedua dan ketiga dalam kehidupan komunitas perairan (Odum, 1994

dalam Mazidah 2013). Standar baku perairan pada parameter suhu

untukkehidupan makrobenthos adalah 26 – 30 derajat celcius dan juga

kecepatan arus yang tidak terlalu deras.

4.2.2. Keragaman
Keragaman merupakan karakteristik tingkat komunitas berdasarkan

organism biologi. Keragaman jenis merupakan karakteristik tingkat komunitas

berdasarkan organisme biologisnya (Sharma, 2013). Keragaman adalah sifat

suatu komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis

organisme yang ada di dalamnya.

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dari pengamatan sifat biologi air di

Sungai bagian hulu didapatkan spesies Sulcospira testudinaria dengan

keraagaman 0, bagian tengah didapatkan spesies Sulcospira testudinaria dan

Thiara scabra, dengan keragaman 3,09. Lalu di bagian hilir didapatkan spesies

Sulcospira testudinaria dan Parathelpusa convexa dengan keragaman 2,81. Hal ini

menunjukkan keragamaan paling tinggi yaitu terdapat di daerah bagian tengah

dibandingkan dengan hilir. Keragaman jenis merupakan parameter yang sering

digunakan untuk mengetahui tingkat kestabilan yang mencirikan kekayaan

jenis dan keseimbangan suatu komunitas.

Dari data yang didapat keragaman di sungai dari tengah ke hilir


termasuk rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Krebs (1985) bahwa nilai

indeks keragaman “0<H’<2,302” berarti keanekaragaman rendah. Berdasarkan

indeks tersebut menandakan keragaman di tengah dan hilir rendah, karena

kemungkinan di daerah tengah dan hulu sudah tercemar oleh berbagai limbah

dari aktivitas manusia.

Struktur komunitas hewan makrozoobentos dapat diketahui

berdasarkan kelimpahan dan keanekaragaman, antara struktur komunitas

makrozoobenthos dan parameter fisika kimia menunjukkan adanya karakter

penciri habitat. Semakin dalam substrat dasar suatu perairan, maka semakin

sedikit jumlah makrozoobenthos yang terdapat pada tempat tersebut.

Kelompok kedua dicirikan oleh kedalaman serta fraksi substrat berupa debu,

liat dan pasir.Indikator penting yang sangat menentukan kualitas perairan

adalah famili Tubificidae dan family Chironomidae (Beck dan Driver dalam

Kasry et al., 1989 dalam Rohul 2013).


V. KESIMPULAN DAN

SARAN DAFTAR

PUSTAKA

2.
Hendra Febbyanto*, Bambang Irawan, Noer Moehammadi, Thin Soedarti.
STUDI KELIMPAHAN DAN JENIS MAKROBENTHOS DI SUNGAI CANGAR DESA
SUMBER BRANTAS KOTA BATU.
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi tentang

Ekosistem Sungai dan Danau. Program Studi Biologi.

Medan : Fakultas MIPA USU.

Hariyanto, S., B. Irawan, dan T. Soedarti. 2008. Teori

dan Praktik Ekologi. Airlangga University Press.

Surabaya. n

LAMPIRAN
ACARA IV

ANALISIS SIFAT FISIK AIR KOLAM


DI BPBAT PANDAK BATURADEN

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki ciri

ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana

budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari

waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik

yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang

dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum.

Tingkat produktifitas kolam antara lain ditentukan oleh faktor lingkungan,

terutama kesesuaian kualitas air yang digunakan untuk mengairinya (Ningsih,

2013)

Perairan lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau tenang

seperti danau, situ, rawa, waduk atau telaga. Adapun perairan lotik merupakan

suatu habitat perairan yang mengalir seperti sungai dan kanal. Situ merupakan

salah satu tipe perairan lentik, dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai

telaga atau danau, namun biasanya situ lebih kecil ukurannya dibandingkan

danau. Tipe perairan menggenang seperti rawa dan situ dicirikan dengan

tepian yang landai, kedalaman < 10 m, fluktuasi air 2–5 m, daerah derodon

luas, daerah tangkap hujan sedang, masa simpan air sedang, pengeluaran air

atas (Kasasiah et al., 2009 dalam Marwoto, 2014).

Karakteristik tanah dasar kolam sangat jarang diteliti secara

komprehensif. menggambarkan horizon tanah kolam yang digunakan untuk

sistematika karakteristik tanah kolam. Deskriptif karakteristik tanah kolam

digambarkan melalui pendekatan sifat fisika dan kimiawinya, diantaranya


kandungan air tanah, berat volume tanah kering, warna tanah (Munsell color

chart), pH tanah kering, berat jenis tanah, bahan organik tanah dan N total

tanah. Analisis karakteristik sifat fisikokimia tanah dasar kolam merupakan

perangkat terbaik dalam mengelola budidaya (Munsiri et al., 1995 dalam

Hasibuan, 2013).

1.2.Tujuan

Tujuan praktikum analisis sifat fisik air kolam yaitu untuk mengetahui tentang
perbedaan analisis sifat fisik air kolam Pendederan Ikan Nilem (Osteochilus
hasselti)
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam

2.1.1. Kolam Pemijahan

2.1.2. Karakteristik Kolam

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki

ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana

budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari

waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik

yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang

dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum.

Balai Benih dan Induk Ikan Air Tawar (BBIIAT) Karang Intan adalah salah satu

Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di bawah Dinas Perikanan dan Kelautan

Provinsi Kalimantan Selatan (Hasibuan, 2013).

Tugas pokok dan fungsi UPTD ini, disamping sebagai penghasil benih

dan induk untuk keperluan Balai Benih Ikan (BBI) Lokal, Unit Pembenihan

Rakyat (UPR), pembinaan dan pemantauan penerapan teknik perbenihan,

distribusi benih pengendalian mutu benih di daerah serta pelestarian

sumberdaya ikan dan lingkungan, juga dibebani tugas meningkatkan

Penerimaan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.

Tingkat produktifitas kolam antara lain ditentukan oleh faktor lingkungan,

terutama kesesuaian kualitas air yang digunakan untuk mengairinya

(Hasibuan, 2013).

Kualitas air pada sumbernya (sungai dan saluran irigasi) maupun yang

telah digunakan sebagai media budidaya ikan di petak-petak kolam, yang


mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Fluktuasi tersebut dapat terjadi baik

sebagai akibat dari kondisi eksternal harian yang berhubungan dengan cahaya

matahari, iklim dan cuaca, juga dapat diakibatkan secara in situ oleh

faktorfaktor operasional kegiatan budidaya itu sendiri seperti pemberian

makanan dan tindakan operasional lainnya (Hasibuan, 2013).

2.2. Sifat Fisik Kolam

2.2.1. Suhu
Suhu adalah salah satu faktor yang penting dalam suatu perairan untuk
mengukur temperatur lingkungan tersebut. Suhu merupakan salah satu faktor
yang penting dalam suatu perairan karena suhu merupakan faktor pembatas bagi
ekosistem perairan dan akan membatasi kehidupan organisme akuatik (Odum,
1971). Suhu sangat penting bagi berlangsungnya proses metabolisme dalam
perairan. Bagi komponen biotik, temperatur mempengaruhi kandungan gas
terlarut. Tiap-tiap organisme mempunyai suhu optimum dan minimum yang
berbeda-beda dalam hidupnya dan mempunyai kemampuan menyesuaikan diri
hingga titik tertentu, sehingga untuk menyesuaikan temperatur suatu habitat
yang lainnya dapat beradaptasi (Odum, 1971).

2.2.2. Penetrasi Cahaya


Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual
dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan panjang.
Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan
padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi, 2003).
Kondisi kecerahan pada kolam yang hendak digunakan untuk pemeliharaan ikan adalah
lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar perairan (Susanto, 2002). Menurut
Prihatman (2000), untuk di kolam dan tambak, angka kecerahan yang baik antara 20-35
cm.

2.2.3. Kedalaman

Kedalaman adalah jarak antara dasar sampai ke permukaan. Kedalaman

merupakan penyebab terjadinya perbedaan dan keanekaragaman didalam

perairan dasar, tengah dan permukaan. Kedalaman merupakan salah satu faktor

yang menentukan hidrobiota di dalam suatu perairan. Habitat dengan kedalaman

berbeda akan berpengaruh terhadap struktur komunitas organisme yang ada di

dalamnya (Odum, 1971). Kolam harus memiliki kedalaman yang berbeda-beda


untuk dapat berfungsi dengan baik. Daerah kolam yang dangkal memberikan

tempat bagi tanaman air yang menyediakan pakan bagi ikan dan rumah bagi

ikan-ikan kecil dan daerah dengan suhu yang lebih hangat akan mendorong

plankton dan hewan kecil (yang menjadi pakan ikan) untuk tumbuh di daerah

ini.

2.1.1. TSS

Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir,
lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat
berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi,
ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel partikel anorganik
(Boyd, 1982 dalam Ramadhan, 2012 ). Zat padat tersuspensi dapat
dikelompokkan menjadi zat padat terapung dan zat padat terendap. Zat padat
terapung ini selalu bersifat organik, sedangkan zat padat terendap dapat bersifat
organik dan anorganik (Ramadhan, 2012).
2.1.2. TDS

TDS (Total Dissolve Solid) adalah ukuran zat terlarut (baik itu zat organik
maupun anorganik, misalnya garam dan sebagainya) yang terdapat pada sebuah larutan.
TDS meter menggambarkan jumlah zat terlarut dalam Part Per Million (PPM) atau
sama dengan milligram per Liter (mg/L). Umumnya berdasarkan definisi di atas
seharusnya zat yang terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati saringan yang
berdiameter 2 micrometer (2×10-6 meter). Aplikasi yang umum digunakan adalah untuk
mengukur kualitas cairan biasanya untuk pengairan, pemeliharaan aquarium, kolam
renang, proses kimia, pembuatan air mineral, dan sebagainya. Setidaknya, kita dapat
mengetahui air minum mana yang baik dikonsumsi tubuh, ataupun air murni untuk
keperluan kimia (misalnya pembuatan kosmetika, obat-obatan, makanan, dan lain-lain)
(Insan, 2008 dalam Agustira, 2013).
2.1.3. Kekeruhan

Kekeruhan adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk
mengukur keadaan air baku dengan skala NTU (nephelo metrix turbidity unit) atau JTU
(jackson turbidity unit) atau FTU (formazin turbidity unit), kekeruhan ini disebabkan
oleh adanya benda tercampur atau benda koloid di dalam air. Hal ini membuat
perbedaan nyata dari segi estetika maupun dari segi kualitas air itu sendiri. Kekeruhan,
disebabkan adanya kandungan Total Suspended Solid baik yang bersifat organik
maupun anorganik. Zat organik berasal dari lapukan tanaman dan hewan, sedangkan zat
anorganik biasanya berasal dari lapukan batuan dan logam. Zat organik dapat menjadi
makanan bakteri sehingga mendukung perkembangannya. Kekeruhan dalam air minum
tidak boleh lebih dari 5 NTU. Penurunan kekeruhan ini sangat diperlukan karena selain
ditinjau dari segi estetika yang kurang baik juga proses desinfeksi untuk air keruh
sangat sukar, hal ini disebabkan karena penyerapan beberapa koloid dapat melindngi
organisme dari desinfektan (Joko,tri. 2010 dalam Nuzula, 2013).
2.1.4. Konduktivitas

Konduktivitas (Daya Hantar Listrik/DHL) adalah gambaran numeric dari


kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Oleh karena itu, semakin banyak
garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, maka semakin tinggi pula nilai DHLnya.
Reaktivitas, bilangan valensi dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh
terhadap nilai DHL. Konduktivitas dinyatakan dengan satuan µmhos/cm atau
µSiemens/cm. Parameter fisik kualitas air seperti kekeruhan, konduktivitas dan massa
air mempengaruhi sifat kimia dari air (Gupte, 2013).
2.1.5. Warna

Warna adalah kenampakan visual dari badan air (jernih, coklat, atau hitam),
semakin gelap air menunjukkan bahwa kualitas air yang semakin jelek (Supangat dkk,
2002). Warna air dalam suatu perairan dipengaruhi oleh cahaya matahari yang masuk ke
perairan disebabkan oleh pembiasan yang dilakukan oleh air. Cahaya matahari akan
menyebabkan warna yang berbeda terhadap perairan yang satu dengan yang lainnya.
Warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi 2, yaitu warna sesungguhnya (true
color) dan warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya adalah warna yang
hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut. Warna tampak adalah warna yang
tidak hanya disebabkan bahan terlarut tetapi juga oleh bahan tersuspensi.
2.1.6. Bau

Bau adalah udara yang ditangkap oleh indera penciuman. Persoalan bau di kolam secara
umum disebabkan oleh empat penyebab, antara lain: rendahnya tingkat kandungan
oksigen menyebabkan kondisi anaerob, beberapa tipe alga, polusi kimia dan kondisi
geologi. Peningkatan tingkat kandungan oksigen dan berputarnya air kaya oksigen di
dalam kolam, kondisi anaerob dapat diminimalkan dan gas bau dapat dihilangkan dari
air (Rochdianto, 1995). Effendi (2004) menyatakan bahwa kondisi perairan yang baik
untuk budidaya ikan adalah tidak berwarna dan tidak berbau.
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
1.1 Materi
3.1.1. Alat
Tabel 1. Alat Praktikum
No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi
1. Keping Secchi Mengukur kedalaman dan
Diameter 10 cm/1
kecerahan
2. Termometer celcius Mengukur suhu badan
1
perairan kolam
3. Botol Winkler 6 Mengambil sampel air
4. Desikator Mendinginkan kertas
1
Whatman
5. Oven Mengeringkan kertas
1
Whatman
6. Erlenmeyer Menampung air yang sudah
tersaring
7. Gelas ukur Mengukur banyaknya
sampel air yang dipakai
8. Cawan porselen Sebagai wadah filtrat yang
sudah ditampung
9. Timbangan analitik Mengukur berat bahan-
1 bahan tersuspensi yang
tersaring
10. TDS meter 1 Lutron Mengukur nilai TDS
11. Turbidimeter 1 Lutron Mengukur kekeruhan air

3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan Praktikum
No Nama bahan Ukuran/ jumlah Merek Fungsi
Badan perairan Untuk dilakukan
1 kolam pengukuran parameter
fisika
Sampel air Untuk dilakukan
2 pengukuran parameter
kimia
Kertas Whatman Untuk menyaring bahan-
3 No. 41 bahan padatan terlarut dan
tersuspensi
Larutan standar Untuk mengkalibrasikan
4
SiO2 Turbidimeter
3.2. Metode
3.2.1. Kedalaman
Pengukuran kedalaman menggunakan secci disk berukuran. Terlebih dahulu
masuk ke dalam badan perairan yang akan di ukur dan penentuan pengambilan titik
kedalaman. Masukan secci disk sampai dasar , liat skala di secci disk lalu diukur
kedalamanya dan dihitung kedalamnya.

3.2.2. Penetrasi Cahaya


Pengukuran kecerahan/penetrasi cahaya menggunakan keping secchi, yang di
celupkan ke dalam badan air sampai warna pada keping secchi disk sudah sukar di lihat
oleh mata. Lakukan pencatatan dan menghitung hasilnya.

3.2.3. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer celcius dengan
bantuan tali rafia dicelupkan ke dalam badan air yang akan diteliti selama kurang lebih
10 menit. Kemudian melakukan pencatatan setelah skala menunjukkan angka yang
konstan.

3.2.4. Kekeruhan
Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan menggunakan alat turbiditimeter
dengan merk Lutron TU-2016. Turbiditi terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan
standar yang ada 15(0 NTU dan 100 NTU), setelah itu isi kuvet dengan air sampel,
kemudian diukur dan dicatat hasil pengukurannya

3.2.5. DHL (Daya Hantar Listrik)


Pengukuran DHL dilakukan menggunakan alat TDS meter merk Lutron YK-
22CT. TDS meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada, setelah
itu isi kuvet dengan air contoh, diukur dan dicatat hasilnya.

3.2.6. TDS (Total Dissolved Solid)


Pengukuran TDS dilakukan menggunakan alat TDS meter merk Lutron YK-
22CT. TDS meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada, setelah
itu kuvet diisi dengan air contoh, diukur dan dicatat hasilnya.
3.2.7. Warna
Warna pada kolam ditentukan dengan indera penglihatan (mata).

3.2.8. Bau
Bau pada kolam ditentukan dengan indera penciuman. Sampel air yang akan di
uji diambil ke dalam wadah, lalu dekatkan dengan hidung catat hasil yang di dapat.

3.2.9. Tipe Substrat


Tipe substrat pada kolam ditentukan dengan diliat dan dirasakan tekstur
substratnya lunak ata yang lainnya.

3.2. Waktu dan Tempat

3.3. Analisis Data

Data parameter fisika air yang diperoleh dianalisis secara deskriptif


dengan histogram atau diagram blok antara titik sampling atau waktu sampling.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Fisik Kolam ....


Tabel 1.Sifat Fisik Kolam BBI Pandak
Standar
Waktu (WIB) Pustaka
Parameter Satuan Baku Mutu
05.30 13.00
0
Suhu C 25,24 0C 29,96 0C 20–310C
PP RI No.
82 Tahun
2001
Penetrasi Cahaya cm 0 35 19.5 PP RI No.
82 Tahun
2001
Kedalaman m 0.5933 0.4833 0.5–0.7 PP No. 38
Tahun
2011
Kekeruhan NTU 7.87 14.46 Maks 25 PP RI No.
NTU NTU NTU 82 Tahun
2001
Total Dissolved mg/L 49,67 54,33 41–278 PP RI No.
Solid (TDS) mg/L mg/L mg/L 82 Tahun
2001
Daya Hantar μmhos⁄cm 76 76 500 PP RI No.
Listrik (DHL) ⁄
μmhos cm μmhos cm⁄ μmhos ⁄ cm 82 Tahun
2001
Warna Air – Hijau Hijau Tidak PP RI No.
Bening Kecoklata Berwarna 82 Tahun
n 2001
Bau – Tidak Sedikit Tidak PP RI No.
berbau amis Berbau 82 Tahun
2001
Tipe Substrat – Berlump Berlumpur Berbatu dan PP NO. 82
ur Berpasir Tahun
2001

4.2. Pembahasan

4.2.1. Suhu
Suhu air mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan organisme,
keperluan oksigen, dan penguraian di perairan (Parihar, 2012).
Berdasarkan grafik tersebut suhu tertinggi pada pukul 13.00 sebesar
29,96 oC dan terendah pada pukul 05.30 sebesar 25,24 oC. Suhu perairan
mengalami fluktuasi setiap hari, terutama mengikuti pola suhu udara lingkungan,
intensitas cahaya matahari, letak geografis, penaungan, dan kondisi internal
perairan seperti kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus, dan timbunan bahan
organik di dasar perairan. Meningkatnya suhu sebesar 10°C akan meningkatkan
laju metabolisme sebesar 2–3 kali lipat. Naiknya suhu menyebabkan kelarutan
oksigen dalam air menurun, sehingga organisme air sulit untuk respirasi. Suhu
udara yang baik untuk perkembangan organisme akuatik dan tidak menimbulkan
tekanan yang berbahaya berkisar antara 24 oC - 27 oC (Sinambela, 2015).
Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengenai kondisi
suhu perairan yang baik yaitu sebesar 21-30℃.

4.2.2. Penetrasi

Cahaya

Makin besar kecerahan air, maka penetrasi cahaya juga makin

tinggi, sehingga proses fotosintesis bisa berlangsung semakin dalam.

Akan tetapi semakin besar nilai kecerahan pada suatu perairan, maka

suhu air semakin besar (Pramleonita, 2018).

Berdasarkan data pengamatan diambil pada 2 waktu yaitu pukul

05.30 pagi tidak terdapat penetrasi cahaya dan pada waktu siang hari

yaitu 13.00 sebesar 35 cm. Kecerahan kolam tertinggi pada pukul 13.00

sedangkan terendah pada pukul 05.30. Hal ini telah sesuai dengan

referensi bahwa kecerahan yang tinggi terjadi pada waktu siang hari

karena pada waktu ini cahaya dapat masuk ke dalam perairan.

Kecerahan badan perairan di pengaruhi oleh banyak tidaknya cahaya

yang masuk kedalam perairan. Menurut Ariawan dan Poniran (2004)

dalam Pramleonita (2018), nilai kecerahan di atas 35 cm tergolong kurang

baik, karena diasumsikan terjadinya pengurangan plankton dan


fitoplankton, sehingga air akan semakin transparan dan dapat

menaikkan suhu air. Kecerahan dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam

air. Makin besar kecerahan air, maka penetrasi cahaya juga makin tinggi,

sehingga proses fotosintesis bisa berlangsung semakin dalam. Akan

tetapi semakin besar nilai kecerahan pada suatu perairan, maka suhu air

semakin besar (Pramleonita, 2018).

4.2.3. Kedalama

Kedalaman merupakan salah satu faktor yang dapat membedakan


temperatur dan kecerahan (Supangat, 2002). Kedalaman suatu perairan
dipengaruhi oleh tipe topografi di perairan tersebut (Nyabakken, 1992).
Kedalaman adalah lokasi sebuah titik yang diukur secara vertikal terhadap
ketinggian titik acuan. Kedalaman merupakan jarak dari permukaan sampai pada
dasar kolam. Kolam harus meiliki kedalaman yang berbeda-beda agar dapat
berfungsi dengan baik (Asmawi 1983).
Kedalaman pada waktu pagi hari pukul 05.30 yaitu 0.5933 meter

dan kedalaman pada waktu siang hari yaitu pukul 13.00 adalah 0.4833

m. Hal ini sesuai dengan referensi karena seharusnya semakin siang

maka kedalamannya semakin dangkal karena rendah dan tingginya

kedalaman kolam dapat disebabkan karena tingginya penumpukan

bahan organik yang berupa kotoran ikan dan sisa pakan serta batas

pandang manusia karena cahaya (Ma’rufi, et al.,2015).

Standar baku mutu kedalaman menurut PP No. 38 Tahun 2011

adalah 0,5-0,7 meter.Kolam tersebut masuk dalam standar baku mutu.


4.2.4. Kekeruhan
Kekeruhan perairan merupakan keadaan terbalik dari kecerahan

perairan. Kekeruhan perairan atau yang biasa disebut dengan turbiditas

perairan merupakan suatu keadaan perairan disaat semua zat padat

berupa pasir, lumpur dan tanah liat atau partikel-partikel tersuspensi

dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti

fitoplankton (Edward danTarigan, 2003 dalam Maturbongs, 2015).

Berdasarkan grafik menunjukkan nilai kekeruhan tertinggi pada pukul


13.00 sebesar 14,46 NTU dan yang terendah pada pukul 05.30 sebesar 7,87
NTU. Kekeruhan yang tinggi menyebabkan rendahnya intensitas cahaya yang
masuk ke dalam perairan. Sehingga proses fotosintesis fitoplankton terhambat
dan pertumbuhan fitoplankton tidak optimal (Dwirastina, 2015). Pengaruh
ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya penetrasi cahaya matahari ke
dalam perairan juga akan berakibat terhadap mekanisme pernafasan organisme
perairan (Sinambela, 2015). Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun
2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
mengenai kondisi kekeruhan suatu perairan yaitu sebesar 25 NTU, maka kolam
tersebut dapat dikatakan kurang baik untuk dilakukan budidaya pada kolam
tersebut.

4.2.5. TDS
TDS (Total Dissolve Solid) adalah ukuran zat terlarut (baik itu zat

organik maupun anorganik, misalnya garam dan sebagainya) yang

terdapat pada sebuah larutan (Agustira, 2013). TDS mengandung

berbagai zat terlarut (baik itu zat organik, anorganik, stsu material

lainnya) dengan diameter < 10-3 μm yang terdapat pada sebuah larutan

yang terlarut dalam air (Mukhtasor, 2007 dalam Rinawati 2016).


Perubahan dalam konsentrasi TDS dapat berbahaya karena akan

menyebabkan perubahan salinitas, perubahan komposisi ion-ion, dan

toksisitas masing-masing ion (Rinawati, 2016).

Berdasarkan grafik menunjukkan nilai TDS tertinggi pada pukul 13.00


sebesar 54,33 mg/L dan yang terendah pada pukul 05.30 sebesar 49,67 mg/L.
Bahan-bahan terlarut pada perairan alami secara umum tidak bersifat toksik,
akan tetapi jika berlebihan akan dapat menurunkan kualitas perairan. Bahan
yang tidak larut akan membentuk koloid atau tersuspensi, yang akan
meningkatkan nilai kekeruhan perairan, yang selanjutnya akan menghambat
penetrasi cahaya matahari dan mempengaruhi proses fotosintesis atau proses lain
diperairan (Tanjung, 2016). Peningkatan TDS akan meningkatkan konduktivitas
dalam air karena konduktivitas air bergantung kepada kehadiran ion-ion bahan
non organic (Miefthawati, 2014).
Nilai TDS yang masih mendukung kehidupan organisme akuatik
menurut Effendi (2003), air tawar memiliki nilai TDS antara 0-1000 mg/L dan
air payau memiliki nilai TDS antara 1.001-3.000 mg/L. Sehingga berdasarkan
hasil pengukuran di kolam dalam waktu yang berbeda masih berpotensi untuk
kehidupan organisme, karena nilai TDS nya kurang dari 1000 mg/L. Hal tesebut
pun sesuai dengan standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001
tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengenai
kondisi TDS suatu perairan yaitu sebesar 41–278 mg/L L, maka perairan
tersebut masih dikatakan baik untuk organisme akuatik.

4.2.6. DHL
Daya Hantar Listrik (DHL) adalah kemampuan air untuk
menghantarkan arus listrik yang dipengaruhi oleh garam-garam terlarut
yang dapat terionisasi. DHL dipengaruhi oleh jenis ion, valensi, dan
konsentrasi. Daya hantar listrik berhubungan dengan pergerakan suatu
ion di dalam larutan ion yang mudah bergerak mempunyai daya hantar
listrik yang besar (Effendi, 2003 dalam Meilasari, 2014
Berdasarkan hasil data pada grafik dapat diketahui tingkat DHL
pada pukul 05.30 pagi yaitu sebesar 76 µmhos/cm dan tingkat DHL
pada pukul 13.00 sama yaitu sebesar 76 µmhos/cm. TDS akan tinggi
dengan banyaknya ionik yang bisa disebabkan oleh hasil ekskresi dari
mikroorganisme (Miefthawati, 2014).Nilai konduktivitas suatu larutan
dipengaruhi oleh zat yang terlarut didalamnya sebagai contoh larutan
garam (NaCl), semakin bnyak jumlah garam yang terlarut maka
konduktivitasnya semakin besar (Arthana, 2006 dalam Wiono, 2014).
Daya hantar listrik (DHL) yang semakin jauh darisumber pencemar
(limbah) justru memiliki nilai kandungan DHL semakin tinggi. DHL
merupakan kemampuandari substansi untuk menghantarkan arus
listrikyang berupa kadar garam yang terlarut (Uktiani, 2016)
Sesuia standar baku mutu PP RI No. 82 Tahun 2001 maka kolam
tersebut belum memenuhi kriteria dan kurang baik untuk kehidupan ikan.
4.2.7. Warna air
Warna yang disebabkan oleh senyawa organik yang mudah larut

dan beberapa ion logam ini disebut warna sejati, jika air tersebut

mengandung kekeruhan atau adanya bahan tersuspensi dan juga oleh

penyebab warna sejati maka warna tersebut dikatakan warna semu

(Chatib,B, 1989 dalam Hastutiningrum, 2017). Warna pada air dapat

disebabkan karena adanya bahan organik dan bahan anorganik, karena

keberadaan plankton, humus dan ion-ion logam (misalnya besi dan

mangan), serta bahan-bahan lain.

Berdaarkan hasil praktikum warna air kolam pukul 05.30 adalah

hijau bening dan pukul 13.00 berwarna hijau kecoklatan.Warna pada air

disebabkan oleh adanya partikel hasil pembusukan bahan organik, ion-

ion metal alam (besi dan mangan), plankton, humus, buangan industri,

dan tanaman air (Munfiah, 2013). Hal ini disebabkan oleh tipe substrat

kolam yaitu tanah berlumpur. Kemudian warna pada kolam yaitu pada
pagi hari warna tampak coklat, warna sesungguhnya coklat muda. Pada

siang hari warna tampak coklat kehijauan, warna sesungguhnya coklat.

Standar baku mutu berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001 air kolam

yang baik tidak berwarna.sehingga kolam tersebut kurang baik untuk kehidupan

ikan.

4.2.8. Bau
Rasa dan bau pada air diakibatkan oleh material-material terlarut,

yang dapat berupa zatorganik seperti phenol dan khlorophenol. Bau dan

rasa merupakan sifat air yang sangat subyektif, karena itu sulit diukur,

tetapi bisa diidentifikasi seperti bau busuk, bau gas, rasa pahit, dan rasa

masam (Herlambang, 2006 dalam Sulistyorini, 2016). Bau pada air dapat

disebabkan karena benda asing yang masuk ke dalam air seperti bangkai

binatang,bahan buangan, ataupun disebabkan karena proses penguraian

senyawa organik oleh bakteri (Quddus, 2014).

Berdasarkan hasil pengamatan bau air pada pukul 05.30 diperoleh tidak

berbau dan pada pukul 13.00 diperoleh sedikit amis. Bau amis yang ditimbulkan

berasal dari bau ikan itu sendiri karena sisa metabolisme yang berupa amoniak.

Amoniak merupakan salah satu bahan organik yang mempengaruhi bau kolam

itu sendiri. Selain itu, air yang berbau dapat disebabkan oleh reduksi sulfat

dengan adanya bahan-bahan organik dan mikroorganisme anaerobik (Gandhi,

2012).

Standar baku mutu sesuai dengan PP RI No. 82 Tahun 2001 adalah kolam

yang baik tidak berbau..Maka kolam tersebut cukup baik untuk kehidupan ikan.

4.2.9. Tipe Substrat


Susbstrat didefinisikan sebagai campuran dari lumpur, pasir dan

tanah liat. Pada perairan yang arusnya kuat, lebih banyak ditemukan

substrat yang kasar yaitu pasir atau kerikil karena partikel kecil akan

terbawa arus air. Jika perairannya tenang dan arusnya lemah, maka

lumpur halus akan mengendap (Brower and Zar, 1977 dalam Sari et al.,

2016).

Berdasarkan hasil pengamatan tipe substrat pada pukul 05.30 dan pada
pukul 13.00 menunjukkan tipe substrat yang sama yaitu berlumpur. Hal ini
sesuai dengan pendapat Saberina, dkk (2013) bahwa tanah dasar kolam yang
tidak dilakukan pengelolaan secara baik akan berdampak pada akumulasi
sedimen lunak di daerah kolam yang lebih dalam sehingga menjadi masalah
setelah 15-20 tahun bila dilakukan budidaya secara kontinyu. Faktor-Faktor
yang mempengaruhi substrat adalah kandungan bahan organik menggambarkan
tipe dan substrat dan kandungan nutrisi di dalam perairan. Tipe substrat berbeda-
beda seperti pasir lumpur dan tanah liat (Sembiring, 2008).

V. KESIMPULAN DAN

SARAN DAFTAR

PUSTAKA

LAMPIRAN
ACARA V

ANALISIS SIFAT KIMIA AIR KOLAM


DI BPBAT PANDAK BATURADEN

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang

memiliki ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun

sebagai sarana budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air

umumnya berasal dari waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam

melalui saluran irigasi, baik yang dibangun khusus untuk mengairi

kolam, maupun saluran irigasi yang dibangun untuk mememuhi

kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum. Tingkat produktifitas

kolam antara lain ditentukan oleh faktor lingkungan, terutama kesesuaian

kualitas air yang digunakan untuk mengairinya (Ningsih, 2013)

Perairan lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau

tenang seperti danau, situ, rawa, waduk atau telaga. Adapun perairan

lotik merupakan suatu habitat perairan yang mengalir seperti sungai dan

kanal. Situ merupakan salah satu tipe perairan lentik, dalam kamus

bahasa Indonesia diartikan sebagai telaga atau danau, namun biasanya

situ lebih kecil ukurannya dibandingkan danau. Tipe perairan

menggenang seperti rawa dan situ dicirikan dengan tepian yang landai,

kedalaman < 10 m, fluktuasi air 2–5 m, daerah derodon luas, daerah

tangkap hujan sedang, masa simpan air sedang, pengeluaran air atas

(Kasasiah et al., 2009 dalam Marwoto, 2014).

Karakteristik tanah dasar kolam sangat jarang diteliti secara

komprehensif. menggambarkan horizon tanah kolam yang digunakan

untuk sistematika karakteristik tanah kolam. Deskriptif karakteristik


tanah kolam digambarkan melalui pendekatan sifat fisika dan

kimiawinya, diantaranya kandungan air tanah, berat volume tanah

kering, warna tanah (Munsell color chart), pH tanah kering, berat jenis

tanah, bahan organik tanah dan N total tanah. Analisis karakteristik sifat

fisikokimia tanah dasar kolam merupakan perangkat terbaik dalam

mengelola budidaya. (Munsiri et al., 1995 dalam Hasibuan, 2013).

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum analisis sifat kimia air kolam


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam

2.1.1. Kolam Pemijahan


Kolam pemijahan adalah kolam yang sengaja dibuat sebagai tempat
perkawinan induk-induk ikan budidaya. Ukuran kolam pemijahan ikan
bergantung kepada ukuran besar usaha, yaitu jumlah induk ikan yang akan
dipijahkan dalam setiap kali pemijahan. Bentuk kolam pemijahan biasanya
empat persegi panjang dan lebar kolam pemijahan misalnya untuk kolam
pemijahan ikan mas sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan panjang kakaban.
Sebagai patokan untuk 1 kg induk ikan mas membutuhkan ukuran kolam
pemijahan 3 x 1,5 m dengan kedalaman air 0,75 – 1,00 m. Kolam pemijahan
sebaiknya dibuat dengan sistem pengairan yang baik yaitu mudah dikeringkan
dan pada lokasi yang mempunyai air yang mengalir serta bersih. Selain itu
kolam pemijahan harus tidak bocor dan bersih dari kotoran atau rumput-rumput
liar.

2.1.2. Karakteristik Kolam

Kolam merupakan salah satu contoh ekosistem yang sederhana, sehingga


mudah dipelajari dan sangat sesuai untuk diperkenalkan kepada pemula.
Meskipun sederhana dan mudah dipelajari, kolam merupakan ekosistem yang
sempurna, lengkap dengan ke enam komponen serta proses-prosesnya. Dalam
suatu kolam dapat diamati komponen-komponennya yaitu: komponen abiotik,
produsen, makro konsumen dan saprotrof atau organisme pengurai (mikro
konsumen) (Utomo, 2014).
Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah
tertentu sehingga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air
lainnya. Berdasarkan pengertian teknis kolam merupakan suatu perairan buatan
yang luasnya terbatas dan sengaja dibuat manusia agar mudah agar mudah
dikelola dalam hal pengaturan air, jenis hewan budidaya dan target produksinya.
Kolam selain sebagai media hidup ikan juga harus dapat berfungsi sebagai
sumber makanan alami bagi ikan, artinya kolam harus berpotensi untuk dapat
menumbuhkan makanan alami (Darfianto,2013).
Syarat esensial bagi suatu kolam yang efektif adalah (1) kondisi topografi
di tempat yang akan dibangun kolam harus memungkinkan pembangunan yang
ekonomis, tenaga dan biaya adalah fungsi langsung panjang dan dalam kolam,
(2) cukup air yang memenuhi syarat, (3) terdapat bahan tanah yang kedap air,
bukan pasir, (4) semua kolam harus dilengkapi fasilitas pelimpasan untuk
menyalurkan air kalau terjadi terjadi banjir, dengan aman, dan (5) kolam harus
dapat dikeringkan untuk perbaikan (Darfianto,2013).

2.2. Sifat Fisik Kolam

2.2.1. pH (Derajat Keasaman)


Derajat keasaman merupakan faktor lingkungan kimia air yang berperan
dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut pendapat Soesono
(1988) dalam Armita (2011) bahwa pengaruh bagi organisme sangat besar dan
penting, kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan menekan laju pertumbuhan
bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak ada laju reproduksi
sedangkan pH 6,5 – 9 merupakan kisaran optimal dalam suatu perairan.

2.2.2. Oksigen Terlarut


Oksigen terlarut atau sering disebut DO (Dissolved Oxygen) merupakan
gas oksigen dalam bentuk terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup organisme perairan. Secara umum
organisme perairan membutuhkan oksigen terlarut pada konsentrasi antara 5
sampai dengan 8 mg/L. Tingginya nilai DO suatu perairan disebabkan
banyaknya tumbuhan air yang berada di dalam perairan tersebut. Dalam proses
fotosintesis tumbuhan air akan menghasilkan oksigen dan melepaskannya ke
dalam perairan (Nugroho et.al, 2013).

2.2.3. CO2 Bebas


Karbondioksida bebas adalah gas karbondioksida yang terlarut di dalam
air (Marganof, 2007). Karbondioksida bebas merupakan parameter penting
dalam menunjang produktivitas alami perairan.Karbondioksida dalam air
dipengaruhi oleh temperatur, banyaknya bahan organik yang masuk ke perairan,
gerakan air dan evaporasi. Lebih lanjut Triyatmo (2001), menyatakan bahwa
karbondioksida dalam air juga dipengaruhi oleh kedalaman.

2.2.4. DMA (Daya Menggabung Asam)


Daya Menggabung Asam (DMA) dapat disebut sebagai nilai alkalinitas
suatu perairan yang menunjukkan kapasitas penyangga perairan dan dapat
digunakan sebagai parameter untuk menduga kesuburan suatu perairan
(Wardoyo, 1982). Soeseno (1974) menyebutkan bahwa daya menggabung asam
dapat digunakan untuk menentukan baik buruknya perairan sebagai lingkungan
hidup. Nilai DMA yang baik yaitu berkisar antara 2-2,5 mg/L. Apabila daya
menggabung asam memiliki nilai yang terlalu rendah, maka dapat dipastikan
bahwa perairan tersebut kurang baik daya penyangganya. Sebaliknya apabila
daya menggabung asamnya tinggi maka daya produksinya secara hayati cukup
besar.

2.2.5. Dst
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1 Alat
Tabel 1. Alat Praktikum
No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi
Milwaukee
1. pH meter 1 Mengukur pH air
MW 101
Digunakan dalam
2. Labu erlenmeyer 1 melakukan pengujian
parameter kimia
Mengukur volume larutan
sesuai kebutuhan
3. Tabung ukur 1
pengujian parameter
kimia
Digunakan dalam
4. Buret 3
melakukan titrasi
Digunakan untuk
5. Statip 3
menegakkan buret
Mengambil larutan dalam
6. Pipet tetes 4
volume kecil
Mengambil sampel air
7. Botol winkler 250 ml / 6
tanpa gelembung udara
Mengambil air sampel
8. Gelas ukur 100 ml / 1 dan larutan sesuai
kebutuhan
Digunakan untuk
9. Kamera digital 1
dokumentasi
10. Jarum suntik 1 Sebagai alat titrasi
Digunakan untuk
11. Botol mineral 600 ml / 3
pengambilan air sampel

3.1.2 Bahan

No Nama bahan Ukuran/ jumlah Merek Fungsi

1. Sampel air kolam Sebagai sampel uji

2. Larutan MnSO4 Mengikat oksigen terlarut

3. Larutan KOH-KI Mengikat oksigen terlarut


Larutan H2SO4
4. Sebagai pelarut
pekat
Sebagai indikator titrasi (uji
5. Larutan Amilum
DO)
6. Larutan Na2S2O3 0,025 N Sebagai pentitran (uji DO)
Larutan Sebagai indikator titrasi (uji
7.
Phenolpthalein CO2 bebas)
Sebagai pentitran (uji CO2
8. Larutan Na2CO3 0,01 N
bebas)

3.2 Metode
3.2.1 Derajat Keasaman (Ph)
Pengukuran menggunakan alat pH meter, setelah dikalibrasi sipkan air
sampel pada gelas dan celupkan elektroda kedalam gelas yang berisi air sampel,
tunggu sampai pH stabil dan catat hasil yang tertera pada alat.

3.2.2 Oksigen Terlarut (DO)


Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 mL, lalu ke dalamnya
tambahkan 1 mL larutan MnSO4 dan 1 mL larutan KOH-KI dengan bantuan pipet
seukuran. Kemudian botol sampel tersebut tutup dengan hati-hati agar udara tidak
masuk ke dalam botol dan bolak-balik minimal sebanyak 15 kali dan diamkan
(± 2 menit) sampai terjadi endapan warna coklat atau cairan supernatan menjadi
tampak jernih. Selanjutnya ke dalamnya masukkan larutan H2SO4 pekat sebanyak
1 mL dengan bantuan pipet Mohr. Ambil sebanyak 100 mL dengan gelas ukur dan
masukkan ke dalam labu erlenmeyer. Kemudian titrasi dengan larutan Na 2S2O3
0,025 N. Lalu ke dalamnya tambahkan indikator amilum sebanyak 10 tetes
sehingga larutan berubah menjadi warna biru. Titrasi dilanjutkan kembali sampai
warna biru hilang. Volume titrasi yang digunakan dicatat dan hitung kadar
oksigen terlarutnya.
Rumus perhitungan :
Oksigen terlarut (DO) = 1000/100 x p x q x 8 mL/L
Keterangan :
q : normalitas larutan Na2S2O3
p : volumen larutan
8 : bobot setara larutan

3.2.3 Karbondioksida Bebas (CO2 Bebas)


Sampel air ambil dengan botol Winkler 250 mL, dengan gelas ukur
ambil 100 mL dan pindahkan ke dalam labu erlenmeyer. Setelah itu ke
dalamnya tambahkan 10 tetes indikator phenolpthalein (pp). Kemudian titrasi
dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan berwarna merah jambu muda dan
titrasi dilakukan duplo.

1000
Kadar CO₂ bebas = x p x q x 22 mL/L
100

Keterangan :

p = jumlah mL NaCO3 yang terpakai ; q = normalitas larutan Na2CO3 ; 22 = bobot

setara CO2

3.2.4 DMA
Sampel air ambil dengan botol Winkler 250 ml, dengan gelas ukur ambil
100 ml dan pindahkan ke dalam labu erlenmeyer. Setelah itu tambahkan 3 tetes
indikator methyl orange (MO). Kemudian titrasi dengan larutan HCl 0,1 N sampai
larutan berwarna merah bata dan titrasi dilakukan duplo.
1000
Kadar DMA = x p x q mL/L
100

Keterangan : p = jumlah mL HCl yang terpakai ; q = normalitas larutan HCl

3.2. Waktu dan Tempat

3.3. Analisis Data

Data parameter kimia air yang diperoleh dianalisis secara deskriptif

dengan histogram atau diagram blok antara titik sampling atau waktu sampling.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Kimia Kolam ....

Tabel 2. Sifat kimia Kolam BBI Pandak


Standar
Waktu (WIB) Pustaka
Parameter Satuan Baku Mutu
05.30 12.30
pH – 7.50 9.15 6–9 PP RI No. 82
Tahun 2001
O2 Terlarut mg/L 2.3 9.9 >4 mg/L PP RI No. 82
mg/L mg/L Tahun 2001
CO2 Bebas mg/L 1.65 – 5.0 mg/L PP RI No. 82
mg/L Tahun 2001
DMA mg/L 0.15 0.6 10.5 mg/L PP RI No. 82
mg/L Tahun 2001

4.2. Pembahasan

4.2.1. pH (Derajat Keasaman)


Perubahan nilai pH bisa disebabkan oleh masukan senyawa organik
maupun anorgani kedalam air (Rizki, 2015). Faktor yang mempengaruhi
rendahnya pH suatu perairan disebabkan karena kandungan asam sulfat yang
terkandung pada perairan cukup tinggi. Sebaliknya untuk tingginya pH suatu
perairan dapat disebabkan oleh tingginya kapur yang masuk ke perairan tersebut
(Richard, 2013).

Berdasarkan grafik diatas maka nilai derajat keasaman tertinggi pada


pengukuran pukul 12.30 sebesar 9,15 , sedangkan nilai derajat keasaman
terendah pada pengukuran pukul 05.30 sebesar 7,50. Kondisi pH yang sangat
rendah, menyebabkan kelarutan logam-logam dalam air makin besar, yang
bersifat toksik bagi organisme air, sebaliknya pH yang tinggi dapat
meningkatkan konsentrasi amoniak dalam air yang juga bersifat toksik bagi
organisme air (Frits, 2013). Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun
2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
mengenai kondisi pH suatu perairan yaitu sebesar 6 -9, maka kolam tersebut
dapat dikatakan baik untuk dilakukan budidaya pada kolam tersebut.
4.2.2. Oksigen Terlarut
DO merupakan oksigen terlarut yang digunakan untuk mengukur
kualitas kebersihan air. Semakin besar nilai kandungan DO menunjukan
bahwa kualitas air tersebut semakin bagus. Oksigen terlarut atau
Dissolved Oxygen (DO) merupakan salah satu parameter mengenai
kualitas air. Tersedianya oksigen terlarut didalam air sangat
menentukan kehidupan di perairan tersebut (Prahutama, 2013).
Berdasarkan hasil pengukuran Dissolved Oxygen pada kolam yaitu
memiliki nilai tertinggi yaitu pada siang hari pukul 12.30 sebesar 9,9 mg/L, dan
pada pagi hari pukul 05.30 sebesar 2,3 mg/L. Tinggi rendahnya nilai oksigen
terlarut erat hubungannya dengan pergerakan air pada suatu perairan. Oksigen
terlarut dalam suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi organisme akuatik
dalam melakukan aktifitas (Richard, 2013). Jika oksigen terlarut tidak seimbang
akan menyebabkan stress pada ikan karena otak tidak mendapat suplai oksigen
yang cukup, serta kematian akibat kekurangan oksigen (anoxia) yang disebabkan
jaringan tubuh ikan tidak dapat mengikat oksigen yang terlarut dalam darah.
Pada siang hari, oksigen dihasilkan melalui proses fotosintesa sedangkan pada
malam hari, oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh alga untuk
proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kadar oksigen maksimum
terjadi pada sore hari dan minimum menjelang pagi hari (Frits, 2013).
Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengenai kondisi
oksigen terlarut suatu perairan yaitu sebesar >4 mg/L, maka kolam tersebut
dapat dikatakan cukup baik untuk dilakukan budidaya pada kolam tersebut.

4.2.3. C

O2 Bebas

Berdasarkan hasil pengukuran Karbondioksida bebas pada kolam yaitu


pada siang hari pukul 12.30 tidak ada, dan pada pagi hari pukul 05.30 sebesar
1,65mg/L. Effendi (2003) menyatakan bahwa, kadar karbondioksida diperairan
dapat mengalami pengurangan, bahkan hilang akibat proses fotosintesis,
evaporasi dan agitasi air. Pada siang hari ditemukan karbondioksida bebas
terendah karena digunakan untuk proses fotosintesis. Sedangkan di pagi hari
dijumpai CO2 bebas yang tinggi, karena tidak ada fotosintesis. Nilai
karbondioksida bebas (CO2) pada kolam menunjukan perairan yang baik untuk
kehidupan ikan karena nilai karbondioksida bebas (CO2) pada pagi, siang, sore,
dan malam hari kurang dari 12 mg/L.
Pada umumnya perairan alami mengandung karbondioksida sebesar 2
mg/l. Pada kosentrasi yang tinggi (> 10 mg/l), karbondioksida dapat beracun,
karena keberadaannya dalam darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh
hemoglobin (Frasawi, 2013). Menurut Zaki et.al., (2014) , kandungan karbon
dioksida < 5 mg/L = baik untuk kegiatan perikanan, toleransi 10-20 mg/L.
Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengenai kondisi karbondioksida
bebas suatu perairan yaitu sebesar 5 mg/L, maka kolam tersebut dapat dikatakan
baik untuk dilakukan budidaya pada kolam tersebut.
4.2.4.

DMA

DMA adalah kapasitas air untuk menerima proton, sama dengan larutan

buffer. Besar kecilnya nilai DMA suatu perairan dapat menunjukkan kapasitas

penyangga dan tingkat kesuburannya (Siregar, 2000).

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan DMA pada jam 05.30

yaitu sebesar 0.15 mg/L dan pada siang hari jam 12.30 yaitu sebesar 0.6

mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa daya menggabung asam tertinggi

yaitu pada siang hari. DMA pada siang hari lebih tinggi daripada pagi

hari. Hal ini terjadi karena pengaruh pH di perairan. DMA dipengaruhi

oleh faktor zat organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan.

DMA dapat menggambarkan produktifitas perairan, dapat menilai

renmdah, sedang, dan tingginya aktivitas organisme kolam (Fuady,

2013).
V. KESIMPULAN DAN

SARAN DAFTAR

PUSTAKA

LAMPIRAN
ACARA VI

ANALISIS SIFAT BIOLOGI AIR KOLAM


DI BPBAT PANDAK BATURADEN

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Salah satu cara untuk pemantauan kualitas perairan dapat

dilakukan penelitian secara biologi menggunakan indikator fitoplankton.

Fitoplankton dijadikan sebagai indikator kualitas perairan karena siklus

hidupnya pendek, respon yang sangat cepat terhadap perubahan

lingkungan (Nugroho, 2006 dalam Ramadhania et al., 2015) dan

merupakan produsen primer yang menghasilkan bahan organik serta

oksigen yang bermanfaat bagi kehidupan perairan dengan cara

fotosintesis (Nybakken, 1992 dalam Ramadhania et al., 2015).

Fitoplankton yang dijadikan sebagai indikator kualitas perairan

berhubungan dengan indeks saprobitas perairan. Fitoplankton

berpotensi menjadi indikator terbaik dalam pencemaran organik karena

mudah dicuplik dan diidentifikasi sehingga dapat menjadi indikator

pencemaran yang baik di suatu perairan (Ramadhania et al., 2015).

Arinardi et al. (1994) dalam Lombok (2003) dalam Usman et al. (2013)

mencatat bahwa banyaknya plankton di suatu perairan dapat digunakan

sebagai petunjuk bahwa perairan ini merupakan tempat pemijahan dari

biota tersebut.

Perairan lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau

tenang seperti danau, situ, rawa, waduk atau telaga (Marwoto dan Nur,

2015). Kolam tergolong dalam perairan lentik karena memiliki perairan

yang tenang. Dalam membudidayakan ikan diperlukan beberapa

parameter air yang harus dipenuhi.


1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum acara analisis sifat biologi air kolam adalah
untuk mengetahui tentang perbedaan analisis sifat biologi air kolam
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam

2.1.1. Kolam Pemijahan


Kolam pemijahan adalah kolam yang sengaja dibuat sebagai tempat
perkawinan induk-induk ikan budidaya. Ukuran kolam pemijahan ikan
bergantung kepada ukuran besar usaha, yaitu jumlah induk ikan yang akan
dipijahkan dalam setiap kali pemijahan. Bentuk kolam pemijahan biasanya
empat persegi panjang dan lebar kolam pemijahan misalnya untuk kolam
pemijahan ikan mas sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan panjang kakaban.
Sebagai patokan untuk 1 kg induk ikan mas membutuhkan ukuran kolam
pemijahan 3 x 1,5 m dengan kedalaman air 0,75 – 1,00 m. Kolam pemijahan
sebaiknya dibuat dengan sistem pengairan yang baik yaitu mudah dikeringkan
dan pada lokasi yang mempunyai air yang mengalir serta bersih. Selain itu
kolam pemijahan harus tidak bocor dan bersih dari kotoran atau rumput-rumput
liar.

2.1.2. Karakteristik Kolam

Kolam merupakan salah satu contoh ekosistem yang sederhana, sehingga


mudah dipelajari dan sangat sesuai untuk diperkenalkan kepada pemula.
Meskipun sederhana dan mudah dipelajari, kolam merupakan ekosistem yang
sempurna, lengkap dengan ke enam komponen serta proses-prosesnya. Dalam
suatu kolam dapat diamati komponen-komponennya yaitu: komponen abiotik,
produsen, makro konsumen dan saprotrof atau organisme pengurai (mikro
konsumen) (Utomo, 2014).
Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah
tertentu sehingga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air
lainnya. Berdasarkan pengertian teknis kolam merupakan suatu perairan buatan
yang luasnya terbatas dan sengaja dibuat manusia agar mudah agar mudah
dikelola dalam hal pengaturan air, jenis hewan budidaya dan target produksinya.
Kolam selain sebagai media hidup ikan juga harus dapat berfungsi sebagai
sumber makanan alami bagi ikan, artinya kolam harus berpotensi untuk dapat
menumbuhkan makanan alami (Darfianto,2013).
Syarat esensial bagi suatu kolam yang efektif adalah (1) kondisi topografi
di tempat yang akan dibangun kolam harus memungkinkan pembangunan yang
ekonomis, tenaga dan biaya adalah fungsi langsung panjang dan dalam kolam,
(2) cukup air yang memenuhi syarat, (3) terdapat bahan tanah yang kedap air,
bukan pasir, (4) semua kolam harus dilengkapi fasilitas pelimpasan untuk
menyalurkan air kalau terjadi terjadi banjir, dengan aman, dan (5) kolam harus
dapat dikeringkan untuk perbaikan (Darfianto,2013).

2.2. Sifat Fisik Kolam

2.2.1. Plankton
Plankton adalah jasad-jasad renik yang melayang dalam air, tidak
bergerak atau bergerak sedikit dan selalu mengikuti arus (Sachlan, 1972).
Sedangkan menurut Hutabarat dan Evans (1986), plankton adalah suatu
organisme yang berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus
sebagai hewan (Zooplankton) dan sebagai tumbuhan (fitoplankton). Menurut
Nybakken (1988) zooplankton ialah hewan-hewan yang planktonik sedangkan
fitoplankton terdiri dari tumbuhan yang bebas melayang dan hanyut dalam
perairan serta mampu berfotosintesis. Fitoplankton merupakan tumbuhan renik
dari alga monoseluler sampai algae multiseluler, sedangkan zooplankton terdiri
dari hewan renik (Soeseno, 1970). Kehadiran plankton di suatu ekosistem
perairan sangat penting, karena fungsinya sebagai produsen primer atau karena
kemampuannya dalam mensintesis senyawa organik dari senyawa anorganik
melalui proses fotosintesis (Heddy & Kurniati, 1996 dalam Yazwar, 2008).

2.2.2. Kelimpahan
Kesuburan suatu perairan dapat ditentukan oleh kelimpahan plankton,
khususnya fitoplankton. Hal ini disebabkan kemampuan fitoplankton untuk
melakukan fotosintesis. Fitoplankton menggunakan garam-garam anorganik,
karbondioksida, air, dan energi matahari untuk memproduksi makanan (Pescod,
1973). Kualitas perairan kolam juga dapat ditentukan dari kelimpahan populasi
plankton. Menurut Boyd (1990) dalam Yudiati et al (2010) bahan organik yang
berasal dari pakan yang tidak termakan, plankton mati, aplikasi pemupukan dan
feces udang secara berkelanjutan akan terakumulasi di dasar tambak udang.
Sehingga dalam suatu kolam dapat terjadi peningkatan ataupun penurunan
kepadatan populasi suatu plankton. Menurut Payne (1986), kepadatan populasi
plankton dapat menurun secara tiba-tiba. Beberapa faktor yang menyebabkan
penurunan densitas tersebut adalah faktor fisik seperti rendahnya intensitas
cahaya yang masuk dan faktor kimia, misalnya kurangnya nutrien atau
akumulasi bahan yang bersifat racun.

2.2.3. Keragaman

Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat


keanekaragaman jenis organisme yang ada didalamnya. Untuk memperoleh
keanekaragaman jenis cukup diperlukan kemampuan mengenal atau
membedakan jenis meskipun tidak dapat mengidentifikasi jenis organisme yang
ada secara pasti (Krebs, 1978). Menurut Odum (1971), kisaran total indeks
keragaman plankton dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 2. Kisaran Total Indeks Keragaman Plankton
KERAGAMAN KETERANGAN
H’ < 2,3026 Keanekaragaman kecil dan kestabilan komunitas rendah.
Keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas
2,3026 - 6,9078
sedang.
H’ > 6,9078 Keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat
Tabel 1. Alat Praktikum
No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi
Digunakan untuk
1. Kamera digital 1
dokumentasi
Buku identifikasi Digunakan untuk
2. 1
plankton air tawar mengidentifikasi plankton
Sebagai alat pengamblan
3. Planktonet 1
plankton
4. Botol vial 12 Sebagai wadah plankton

3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan Praktikum
No Nama bahan Ukuran/ jumlah Merek Fungsi
1. Kolam Sebagai sampel uji
2. Formalin 4% Pengawet spesimen
Sebagai indikator
3. Plankton kolam keragaman dan kekayaan
biota kolam

3.2. Metode

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara disaringnya air suatu perairan


yang akan diteliti (dalam hal ini kolam) sebanyak 100 liter dengan digunakan
plankton net no.25. pengambilan sampel mewakili stasiun pengambilan sampel
(zona inlet, tengah, dan outlet). Sampel yang diperoleh diberi formalin 4%
secukupnya dan larutan lugol atau larutan CuSO4 jenuh. Sampel yang didapat
selanjutnya diidentifikasi da dihitung jumlahnya dengan bantuan mikroskop
binokuler. Variabel yang diamati adalah kelimpahan dan keragaman. Perhitungan
dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
Kelimpahan plankton :

Jumlah plankton per liter = N x F

di mana,
𝑄1 𝑉1 1 1
F = 𝑄2x𝑉2x𝑃x𝑊
N = jumlah plankton rataan pada setiap preparat
Q1 = luas gelas penutup 18 x 18 mm (324 mm2)
Q2 = luas lapang pandang (1,11279 mm2)
V1 = volume air dalam botol penampung (25 ml)
V1 = volume air di bawah gelas penutup (1 tetes = 0,05 ml)
P = jumlah lapang pandang yang diamati (30 kali)
W = volume air yang disaring (liter)

Indeks Diversitas Shanon-Wiener (H’) :


𝒏𝒊 𝒏𝒊
H’ = - ∑ 𝑵 ln 𝑵

H’ = indeks keragaman
ni = jumlah individu tiap spesies ke-i
N = jumlah total individu semua spesies

3.3. Waktu dan Tempat

3.4. Analisis Data

Data parameter yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan


histogram atau diagram balok antara titik sampling atau waktu sampling
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 3. Sifat Biologi Kolam BBI Pandak

Kelimpahan
Waktu Genus Jumlah Keragaman
(ind/L)
Achanthes 1 48.53
Anabaena 1 48.53
Arcella 6 291.18
Calothrix 2 97.06
Closterium 3 145.59
Daphnia 3 145.59
Fragilidinium 6 291.18
05.30 Gleocystis 1 48.53 2.45
Microspora 1 48.53
Nauphlius 15 727.95
Nitzchia 6 291.18
Protoperidinium 4 194.12
Rhizoctonium 7 339.71
Stepanodiscus 2 97.06
Synedra 4 194.12
Total 62 3008.86
Chlorella 2 97.06
Cyclops 3 145.59
Daphnia 2 97.06
Echinosphaerella 3 145.59
13.00 Microspora 1 48.53 1.00
Navicula 4 194.12
Oscillatoria 6 291.18
Pediastrum 1 48.53
Synedra 5 242.65
Total 27 1310.31

4.2. Pembahasan
4.2.1. Kelimpahan
Keragaman dan kelimpahan makrobentos dapat dijadikan

indikator kesuburan suatu perairan. Keberadaan makrobentos sangat

tergantung pada ketersediaan nitrat dan fosfat. Bentos merupakan

organism perairan yang menjadi pakan alami bagi benih ikan. Bentos

dapat ditemukan dalam keadaan terapung di permukaan kolam, di


dasar kolam atau melayang memenuhi air kolam. Pertumbuhan bentos

dipengaruhi oleh kehadiran unsur hara di perairan (Syamsul, 2013).

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dari pengamatan sifat biologi

di kolam pada pagi hari jam 05.30 didapatkan genus Achanthes sebanyak 1

buah dengan kelimpahan 48,53 , Anabaena sebanyak 1 buah dengan

kelimpahan 48,53, Arcella sebanyak 6 buah dengan kelimpahan 291,18,

Calothrix sebanyak 2 buah dengan kelimpahan 97.06, Closterium sebanyak 3

buah dengan kelimpahan 145.59, Daphnia sebanyak 3 buah 145.59,

Fragilidinium sebanyak 6 buah dengan kelimpahan dengan 291.18,

Gleocystis sebanyak 1 buah dengan kelimpahan 48,53, Microspora sebanyak

1 buah dengan kelimpahan 48,53, Nauphlius sebanyak 15 buah dengan

kelimpahan 727.95. Nitzchia sebanyak 6 buah dengan kelimpahan 291,18,

Protoperidinium sebanyak 4 buah dengan kelimpahan 194.12, Rhizoctonium

sebanyak 7 buah dengan kelimpahan 339.71, Stepanodiscus sebanyak 2

buah dengan kelimpahan 97.06 dan Synedra sebanyak 4 buah dengan

kelimpahan 194.12. Pada siang hari pukul 13.00 didapatkan genus

Chlorella sebnayak 2 buah dengan kelimpahan 97,06, Cyclops sebanyak 3 buah

dengan kelimpahan 145.59, Daphnia sebanyak 2 buah dengan kelimpahan

97,06, Echinosphaerella sebanyak 3 buah dengan kelimpahan 145,59,

Microspora sebnyak 1 buah dengan kelimpahan 48,53, Navicula sebanyak 4

buah dengan kelimpahan 194.12, Oscillatoria sebanyak 6 buah dengan

kelimpahan 291.18, Pediastrum sebanyak 1 buah dengan kelimpahan 48,53 dan

Synedra sebanyak 5 buah dengan kelimpahan 242.65.Kesuburan suatu

perairan ditentukan oleh kelimpahan plankton. Plankton adalah


organisme yang berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh

arus. Kelimpahan plankton pada suatu perairan akan menentukan

pertumbuhan dan perkembangan ikan, baik langsung maupun tidak

langsung sumber makanan ikan tersebut adalah fitoplankton dan

zooplankton (Agustini & Madyowati, 2014).

Pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya matahari

dapat menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan,

daerah dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari

pada daerah yang lebih dalam sehingga cenderung mempunyai

makrozoobentos yang beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih

kompleks. Pada musim hujan perairan cenderung lebih dalam jika

dibandingkan dengan saat musim kemarau. Hal tersebut dapat

mempengaruhi kepadatan makrozoobentos di dasar suatu perairan

(Setiawan, 2008 dalam Singh 2014).

4.2.2. Keragaman

Keragaman merupakan karakteristik tingkat komunitas

berdasarkan organism biologi. Keragaman jenis merupakan karakteristik

tingkat komunitas berdasarkan organisme biologisnya (Sharma, 2013).

Keragaman adalah sifat suatu komunitas yang memperlihatkan tingkat

keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya.

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dari pengamatan sifat biologi

air di kolam pada pagi hari jam 05.30 didapatkan total spesies 62 buah

dengan keragaman 2,45. Sedangkan pada siang hari jam 13.00


didapatkan total spesies 27 buah dengan keragaman 1,00.Keragaman

tertinggi pada pagi hari. Hal ini karena sedang terjadi transisi habit

behaviour atau kebiasaan sehari-hari antara fitoplankton dan

zooplankton. Akibatnya keragaman menjadi tinggi, kategori tinggi yaitu

saat dan H’ > 3 (Dwirastina, 2013). Menurut Odum (1971), tingginya

keanekaragaman menunjukkan suatu ekosistem yang seimbang.

Keragaman dipengaruhi oleh faktor keseimbangan antara produsen

fitoplankton, dan konsumen primer atau zooplankton, dan juga faktor

fisik kolam seperti kekeruhan dan kecerahan, serta faktor kimia yaitu

pH, CO2, dan DO (Dwirastina, 2013).

V. KESIMPULAN DAN

SARAN DAFTAR

PUSTAKA

LAMPIRAN
ACARA VII

EFEK KEKERUHAN TERHADAP IKAN

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kekeruhan adalah kecenderungan ukuran sampel untuk

menyebarkan cahaya. Sementara hamburan diproduksi oleh adanya

partikel tersuspensi dalam sampel. Kekeruhan adalah murni sebuah sifat

optik (Weiner, 2012 dalam Prihartanto, 2017). Kekeruhan menggambarkan

sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang

diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air

(Davis dan Cornwell, 1991 dalam Darmasusantini, 2015). Kekeruhan

disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun

terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik seperti plankton dan

mikroorganisme lainnya (Irawan, 2013).

Totok Sutrisno (1991: 30) menyatakan bahwa air dikatakan keruh,

apabila air tersebut mengandung begitu banyak partikel bahan yang

tersuspensi sehingga memberikan warna/rupa yang berlumpur dan

kotor. Bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan ini meliputi: tanah

liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan

partikel-partikel kecil yang tersuspensi lainnya. Kekeruhan tidak

merupakan sifat dari air yang membahayakan, tetapi ia menjadi tidak

disenangi karena rupanya (Irawan, 2015).

Menurut Chay Asdak (2002: 505) bahwa kekeruhan menunjukan

tingkat kejernihan aliran air atau kekeruhan aliran air yang diakibatkan

oleh unsur-unsur muata sedimen, baik yang bersifat mineral atau organik.
Kekeruhan air dapat dianggap sebagai indikator kemampuan air dalam

meloloskan cahaya yang jatuh di atas badan air. Semakin kecil atau

rendah tingkat kekeruhan suatu perairan, semakin dalam cahaya dapat

masuk ke dalam badan air dan dengan demikian semakin besar

kesempatan bagi vegetasi akuatis untuk melakukan prosos fotosintesis.

Semakin meningkatnya proses fotosintetis, maka semakin besar

persediaan oksigen dalam air (Irawan, 2015).

Menurut Effendi (2003), kekeruhan yang tinggi dapat

mengakibatkan terganggunya sistem pernafasan dan daya lihat organisme

akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke dalam

perairan (Mushthofa, 2014). Berutu (2016) menyatakan pengaruh utama

dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi secara mencolok sehingga

menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga akibatnya akan

menurunkan produktivitas perairan. Kekeruhan mengakibatkan

menurunnya penetrasi cahaya kebadan perairan sehingga menurunkan

aktivitas fotosintesis. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi proses

fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan air karena intensitas cahaya

yang masuk ke dalam badan perairan akan dipantulkan kembali oleh

partikel-partikel tersuspensi, sehingga secara langsung dapat

mempengaruhi laju partumbuhan mikroorganisme (Kartika, 2014). Untuk

itu perlunya penelitian efek kekeruhan terhadap ikan.

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh kekeruhan terhadap biota


akuatik serta mengetahui dosis yang mematikan bagi organisme akuatik.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nama Ikan (Nama latin)

2.1.1. Klasifikasi

Gambar X. Keterangan
Gambar
Sumber : ....

Ikan nilem yang terletak pada gambar 1 merupakan ikan air

tawar yang termasuk famili cyprinidae. Menurut Retno (2002) klasifikasi

ikan nilem adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Ostariophysi

Famili : Cyprinidae

Genus : Osteochilus

Spesies : Osteochilus hasellti

2.1.2. Morfologi ikan

Ciri – ciri ikan nilem adalah badan memanjang dan pipih ke

samping
(compress) memiliki panjang baku 2,5 – 3,0 kali tinggi badan, mulut dapat

disembulkan dengan bibir berkerut, sungut ada dua pasang dan

permukaan sirip

punggung terletak di permukaan sirip dada. Menurut siripnya warna ikan

nilem

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan nilem yang berwarna coklat

kehitaman

dan coklat kehijauan pada punggungnya, terang dibagian perut dan ikan

nilem

dengan punggung merah (Hardjamulia 1980 dalam Retno 2002).

2.2. Kekeruhan
Kekeruhan adalah kecenderungan ukuran sampel untuk menyebarkan

cahaya. Sementara hamburan diproduksi oleh adanya partikel tersuspensi dalam

sampel. Kekeruhan adalah murni sebuah sifat optik (Weiner, 2012 dalam

Prihartanto, 2017). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan

berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan

yang terdapat di dalam air (Davis dan Cornwell, 1991 dalam Darmasusantini,

2015). Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik

tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik seperti plankton

dan mikroorganisme lainnya (Irawan, 2013).

2.3. Efek Kekeruhan terhadap Ikan

Dengan mengetahui kekeruhan suatu perairan dapat diketahui sampai


dimana masih ada kemungkinan terjadinya proses asimilasi dalam air (Asmawi,

1986). Pengaruh tingginya nilai kekeruhan pada suatu perairan dapat

menyebabkan 1) Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis

dari

tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3)

Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen

karena terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan terhadap proses makan, termasuk

proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan ( terutama bagi predation dan

filter feeding; 5) Gangguan terhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau

rumput air karena padatan menghalangi sinar yang masuk; 6) Perubahan

integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel (Lensun, 2013).


I. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

No. Nama alat Ukuran/Jumlah Merek Fungsi

1. Turbidimeter 1 buah - Untuk mengukur


kekeruhan air

2. Aerator 1 buah - Sebagai mengabil


oksigen

3. Ember 1 buah - Untuk tempat


menaruh ikan

4. Batu aerasi 1 buah - Untuk menyaluarkan


oksigen

1.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan Praktikum

No. Nama alat Ukuran/Jumlah Merek Fungsi

1. Sampel erosi - - Untuk menguji


tinggi ketahanan ikan

2. Ikan Nilem 10 ekor - Untuk menguji


mortalitas ikan

3.2. Metode

Persiapan media percobaan sebanyak 12 buah per kelompok praktikum

dan masing-masing media percobaan berisi 10 ekor ikan. Pengukuran efek

kekeruhan dilakukan dengan melihat tingkat kematian atau perubahan

tingkah laku ikan.


3.2. Waktu dan Tempat

3.3. Analisis Data

Data di analisis secara deskriptif komperatif menggunakan


diagram batang dengan membandingkan hasil data perlakuan
II. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 1. Hasil pengamatan mortalitas ikan nilem (Osteochilus hasselti)


Dosis Kekeruhan Mortalitas (%)
(%) Sebelum Sesudah
0 100
25 25
50 0 30
75 40
100 55

4.2. Pembahasan
Ciri – ciri ikan nilem adalah badan memanjang dan pipih ke
samping
(compress) memiliki panjang baku 2,5 – 3,0 kali tinggi badan, mulut dapat
disembulkan dengan bibir berkerut, sungut ada dua pasang dan
permukaan sirip punggung terletak di permukaan sirip dada. Menurut
siripnya warna ikan nilem dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan
nilem yang berwarna coklat kehitaman dan coklat kehijauan pada
punggungnya, terang dibagian perut dan ikan nilem dengan punggung
merah (Hardjamulia 1980 dalam Retno 2002).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap 10 ekor ikan

Nilem di setiap perlakuan, didapatkan hasil bahwa pada dosis

kekeruhan 0 NTU tingkat mortalitas 100%, pada dosis kekeruhan 25

NTU tingkat mortalitas 25% pada, dosis kekeruhan 50 NTU tingkat

mortalitas 30%, pada dosis kekeruhan 75 NTU tingkat mortalitas 40 %

dan pada dosis kekeruhan 100 NTU tingkat mortalitas 55 %. Artinya

semakin tinggi nilai kekeruhannya semakin tinggi pula tingkat

mortalitas terhadap ikan. Hal ini sesuai menurut Effendi (2003),


kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem

pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat

penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan (Mushthofa, 2014).

Berutu (2016) menyatakan pengaruh utama dari kekeruhan adalah

penurunan penetrasi secara mencolok sehingga menurunkan aktivitas

fotosintesis fitoplankton dan alga akibatnya akan menurunkan

produktivitas perairan. Kekeruhan mengakibatkan menurunnya

penetrasi cahaya kebadan perairan sehingga menurunkan aktivitas

fotosintesis.

Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999), yang

mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) adalah faktor panjang

maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu

suhu rata-rata perairan (Sapriyadi, 2013). Penurunan terhadap jumlah

stok disebabkan oleh dua faktor yaitu mortalitas alami dan eksploitasi

spesies berupa mortalitas penangkapan. Mortalitas alami disebabkan

oleh berbagai faktor diantaranya pemangsaan, penyakit, stress,

pemijahan, umur, dan ketersediaan makanan. Mortalitas penangkapan

merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort) yang

mencakup jumlah dan jenis ikan, efektivitas dari alat tangkap dan waktu

yang digunakan untuk melakukan penangkapan (King, 1995 dalam

Kartini, 2017). Mortalitas ikan di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti,

salinitas, oksigen terlarut, temperatur, dan pH. Semakin tinggi

temperatur dan pH makin tinggi nilai amoniak. Hal ini diperkuat oleh
Kordi (2015), makin tinggi temperature dan pH air makin tinggi pula

presentase konsentrasi amoniak (NH3-N) dalam artian, peluang ikan

keracunan NH3-N lebih besar pada suhu dan pH tinggi (Haeruddin,

2017)
III. KESIMPULAN DAN

SARAN DAFTAR

PUSTAKA

LAMPIRAN
ACARA VIII

EFEK AMONIAK TERHADAP IKAN

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Adanya proses kimia dan biologi juga memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap peningkatan konsentrasi nitrat seperti adanya pengikatan nitrogen bebas
dari udara oleh mikroorganisme dan proses nitrifikasi yang sempurna oleh
mikroorganisme yaitu bakteri. Menurut Williams (2001) keberadaan nitrogen di
dalam air tidak terlepas dari peran kerjasama mikroorganisme yang saling
terintegrasi. Bakteri-bakteri yang berperan dalam proses pembentukan nitrogen
dikenal sebagai chemoautotroph. Bakteri ini merubah amonia menjadi nitrit dan
nitrat melalui proses nitrifikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Wardayono
(1987) yang menyatakan nitrogen diperairan terdapat dalam bentuk nitrat
(Kartika, 2014).
Amonia merupakan produk akhir metabolisme ikan dan dekomposisi material
organik oleh bakteri. Sisa-sisa makanan yang terbuang ke perairan menghasilkan
produk buangan yang meliputi karbondioksida, amonia, fosfat dan material
organik
lainnya (Boyd, 1979 dalam Yuningsi, 2002). Nilai amonia selama penelitian
masih
dalam kisaran toleransi untuk kehidupan ikan tambakan. Menurut Asmawi (1983)
dalam Hidayat (2008) kandungan amonia yang baik untuk kehidupan ikan dan
organisme lainnya adalah kurang dari 1 mg.L-1. Sementara itu Yurisman (2009),
menyatakan bahwa kadar amonia yang masih dalam batas toleransi aman untuk
kehidupan larva ikan tambakan adalah 0,001-0,120 mg. L-1. Selanjutnya
Zonneveld et al. (1991) dalam Mudi (2008) menyatakan bahwa amonia yang
tidak terionisasi
merupakan racun bagi ikan sekalipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Joko,
2013).
Ammo nia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut
dalam air, io n ammo niu m merupakan bent uk t ransis i dar i ammo nia.
Selain t erdapat bent uk gas ammo nia, me mbent uk ko mpleks dengan
beberapa io n logam. Ammonia banyak digunakan dalam proses produksi
urea, industri bahan kimia, serta industri bubur kertas dan kertas. Ammonia yang
terukur di perairan berupa ammonia total (NH3 dan NH4 -). Ammonia bebas
tidak terionisasi (Effendi, 2003).
1.2. Tujuan

Untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh ammonia terhadap

biota akuatik serta mengetahui dosis yang mematikan bagi organisme

akuatik..

III. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nama Ikan (Nama latin)

2.1.1. Klasifikasi

Gambar X. Keterangan
Gambar
Sumber : ....
Ikan nilem yang terletak pada gambar 1 merupakan ikan air

tawar yang termasuk famili cyprinidae. Menurut Retno (2002) klasifikasi

ikan nilem adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Ostariophysi
Famili : Cyprinidae

Genus : Osteochilus

Spesies : Osteochilus hasellti

2.1.2. Morfologi

Ciri – ciri ikan nilem adalah badan memanjang dan pipih ke

samping

(compress) memiliki panjang baku 2,5 – 3,0 kali tinggi badan, mulut dapat

disembulkan dengan bibir berkerut, sungut ada dua pasang dan

permukaan sirip

punggung terletak di permukaan sirip dada. Menurut siripnya warna ikan

nilem

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan nilem yang berwarna coklat

kehitaman

dan coklat kehijauan pada punggungnya, terang dibagian perut dan ikan

nilem

dengan punggung merah (Hardjamulia 1980 dalam Retno 2002).

2.2. Amoniak
Amonia merupakan produk akhir metabolisme ikan dan dekomposisi material

organik oleh bakteri. Sisa-sisa makanan yang terbuang ke perairan menghasilkan

produk buangan yang meliputi karbondioksida, amonia, fosfat dan material

organik

lainnya (Boyd, 1979 dalam Yuningsi, 2002). Nilai amonia selama penelitian

masih
dalam kisaran toleransi untuk kehidupan ikan tambakan. Menurut Asmawi (1983)

dalam Hidayat (2008) kandungan amonia yang baik untuk kehidupan ikan dan

organisme lainnya adalah kurang dari 1 mg.L-1. Sementara itu Yurisman (2009),

menyatakan bahwa kadar amonia yang masih dalam batas toleransi aman untuk

kehidupan larva ikan tambakan adalah 0,001-0,120 mg. L-1. Selanjutnya

Zonneveld et al. (1991) dalam Mudi (2008) menyatakan bahwa amonia yang

tidak terionisasi

merupakan racun bagi ikan sekalipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Joko,

2013).

2.3. Efek Amoniak terhadap Ikan

Menurut Asmawi (1983) dalam Hidayat (2008) kandungan amonia yang


baik untuk kehidupan ikan dan organisme lainnya adalah kurang dari 1 mg.L-1.
Sementara itu Yurisman (2009), menyatakan bahwa kadar amonia yang masih
dalam batas toleransi aman untuk kehidupan larva ikan tambakan adalah 0,001-
0,120 mg. L-1. Selanjutnya Zonneveld et al. (1991) dalam Mudi (2008)
menyatakan bahwa amonia yang tidak terionisasi merupakan racun bagi ikan
sekalipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Joko, 2013).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

No. Nama alat Ukuran/Jumlah Merek Fungsi

1. Spektrofotom 1 buah - Untuk mengukur


eter kadar amoniak dalam
air

2. Aerator 1 buah - Sebagai mengabil


oksigen

3. Ember 1 buah - Untuk tempat


menaruh ikan

4. Batu aerasi 1 buah - Untuk menyaluarkan


oksigen

1.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan Praktikum

No. Nama alat Ukuran/Jumlah Merek Fungsi

1. Limbah - - Untuk menguji


bioflok ketahanan ikan

2. Ikan Nilem 10 ekor - Untuk menguji


mortalitas ikan

3.2. Metode

Persiapankan ikan uji sebanyak 10 ekor per pelakuan (perlakuan

uji ada sebanyak 5 konsentrasi yaitu kontrol, limbah bioflok sebanyak


25%, 50% dan 100%) selama 3 hari. Pengukuran efek ammoniak

dilakukan dengan melihat tingkat kematian atau perubahan tingkah

laku ikan.

3.2. Waktu dan Tempat

3.3. Analisis Data

Data di analisis secara deskriptif komperatif menggunakan

diagram batang dengan membandingkan hasil data perlakuan.


I. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 2. Hasil pengamatan mortalitas ikan nilem (Osteochilus hasselti)
Dosis amonia Mortalitas ( % )
(%) Sebelum sesudah
0% 0
25% 15
50% 0 15
75% 65
100% 95

4.2. Pembahasan

Ciri – ciri ikan nilem adalah badan memanjang dan pipih ke samping
(compress) memiliki panjang baku 2,5 – 3,0 kali tinggi badan, mulut dapat
disembulkan dengan bibir berkerut, sungut ada dua pasang dan permukaan sirip
punggung terletak di permukaan sirip dada. Menurut siripnya warna ikan nilem
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan nilem yang berwarna coklat kehitaman
dan coklat kehijauan pada punggungnya, terang dibagian perut dan ikan nilem
dengan punggung merah (Hardjamulia 1980 dalam Retno 2002).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan tehadap 4 perlakuan dimana


masing-masing perlakuan diberi 10 ekor ikan Nilem mendapatkan hasil bahwa
dosis amoniak 0 % tingkat mortalitas yaitu 0%, pada dosis amoniak 25% tingkat
mortalitas yaitu 15%, pada dosis amoniak 50% tingkat mortalitas yaitu
115%,pada dosisi amoniak 75% tingkat mortalitas 65% dan pada dosis
amoniak100% tingkat mortalitas yaitu 95%. Hal ini menunjukkan semakin besar
dosis amoniak di perairan semakin tinggi pula tingkat mortalitas terhadap ikan.
Hal ini terjadi karena adanya stres terhadap ikan sehingga metabolisme
terganggu,. Amoniak (NH3) sangat beracun karena mudah terdifusi melalui
membran sel organisme akuatik dan mudah larut di dalam lemak terutama pada
pH dan suhu yang tinggi (Jamal et al, 2013). Menurut Agung et al (2013)
toleransi maksimum ikan terhadap konsentrasi amonia adalah 0.1 mg/L.

Hal ini sesuai menurut Asmawi (1983) dalam Hidayat (2008) kandungan
amonia yang baik untuk kehidupan ikan dan organisme lainnya adalah kurang
dari 1 mg.L-1. Sementara itu Yurisman (2009), menyatakan bahwa kadar
amonia yang masih dalam batas toleransi aman untuk kehidupan larva ikan
tambakan adalah 0,001-0,120 mg. L-1. Selanjutnya Zonneveld et al. (1991)
dalam Mudi (2008) menyatakan bahwa amonia yang tidak terionisasi merupakan
racun bagi ikan sekalipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Joko, 2013).
Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999), yang mempengaruhi
nilai mortalitas alami (M) adalah faktor panjang maksimum (L∞) dan laju
pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan (Sapriyadi,
2013). Penurunan terhadap jumlah stok disebabkan oleh dua faktor yaitu
mortalitas alami dan eksploitasi spesies berupa mortalitas penangkapan.
Mortalitas alami disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya pemangsaan,
penyakit, stress, pemijahan, umur, dan ketersediaan makanan. Mortalitas
penangkapan merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort) yang
mencakup jumlah dan jenis ikan, efektivitas dari alat tangkap dan waktu yang
digunakan untuk melakukan penangkapan (King, 1995 dalam Kartini, 2017).
II. KESIMPULAN DAN

SARAN DAFTAR

PUSTAKA

LAMPIRAN
Panduan dan Format Laporan Limnologi 2020 (Diketik)

Penulisan laporan bersifat INDIVIDU

Margin: Kiri 3,5 cm, Atas Kanan Bawah 2,5 cm. Huruf Book

Antiqua 12, spasi 2, before after 2. Kertas yang digunakan

ukuran A4

Revisian laporan dalam bentuk softcopy, untuk waktu revisian

silahkan disesuaikan dengan jadwal asisten praktikum masing-

masing.

Revisi laporan terakhir tanggal 15 Juni 2020, Sekaligus

pengumpulan Laporan kepada Asisten masing-masing Dikumpulkan

ke Asisten masing-masing Paling Lambat tanggal

15 Juni 2020 jam 21.00 WIB (diusahakan sebelum tanggal

tersebut. Pengumpul tercepat dan benar akan mendapat poin

plus).

Anda mungkin juga menyukai