Anda di halaman 1dari 36

Tugas Mata Kuliah

Fisiologi Organisme Akuatik


Kelas 02

SISTEM RESPIRASI PADA IKAN

Oleh

Ketua : Muhammad Tareqh Al-Ihsan /1811102010056


Anggota :
1. Andra Nita /1811102010091
2. Bella Astari /1811102010077
3. Defri Permadana /1811102010072
4. Fadilatun Masna /1811102010026
5. Sri Jumiati /1811102010031
6. Vivi Alaida /1811102010020

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan paper tentang “Sistem Respirasi Pada Ikan” ini.
Shalawat serta salam senantiasa kita sanjung sajikan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta semua umatnya hingga kini. Dan
Semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Hanya Puji dan Syukur yang bisa penulis sampaikan sehingga paper yang
menjadi tugas mata kuliah Fisiologi Organisme Akuatik ini bisa terselesaikan
dengan baik. Dilain sisi, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan paper ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga paper ini dapat menjadi
salah satu panduan untuk lebih baik kedepannya bagi para pembaca. Kritik dan
saran senantiasa kami harapkan agar paper ini dapat lebih ditingkatkan
kedepannya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Banda aceh, November 2019

i
Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah..........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Klasifikasi Ikan...............................................................................................3
2.2 Habitat Ikan....................................................................................................4
2.3 Sistem Respirasi Ikan.....................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................9
3.1 Ikan Pari (Dasyati sp.)....................................................................................9
3.2 Ikan Kakap (Lates calcarifer).......................................................................11
3.3 Ikan Belut (Monopterus sp.).........................................................................12
3.4 Ikan Lele (Clarias batracus).........................................................................14
3.5 Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)....................................................19
BAB IV PENUTUP..............................................................................................23
4.1 Kesimpulan...................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Ikan Pari .......................................................................................10
Gambar 3.2. Perbandingan tingkat kerusakan jaringan....................................11
Gambar 3.3. Perbandingan profil organ insang Kakap Putih...........................12
Gambar 3.4. Ikan Belut.....................................................................................13
Gambar 3.5. a. arborescene dan b. insang........................................................14
Gambar 3.6. Histologis sistem respirasi ikan lele.............................................19
Gambar 3.7. Histologis filamen insang ikan lele..............................................19
Gambar 3.8. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di kolam......................20
Gambar 3.9. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam....................20
Gambar 3.10. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam...................20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap makhluk hidup memerlukan udara untuk bernapas.Udara tersebut


masuk kedalam tubuh melalui proses. Proses ini dinamakan respirasi. Respirasi
adalah suatu proses perombakan bahan makanan dengan menggunakan oksigen,
sehingga diperoleh energi dan gas CO2. Selain manusia hewan pun melakukan
respirasi,respirasi pada hewan juga terjadi dalam 2 fase.Ikan merupakan salah satu
hewan yang memiliki sistem pernafasan berbeda daripada makhluk lainnya.
Hewan Vertebrata telah memiliki sistem sirkulasi yang fungsinya antara lain
untuk mengangkut gas pernapasan (O2) dari tempat penangkapan gas menuju sel-
sel jaringan. Begitu pula sebaliknya, untuk mengangkut gas buangan (CO2) dari
sel-sel jaringan ke tempat pengeluarannya, mekanisme pernapasan pada hewan
Vertebrata beragam.

Tutup insang berfungsin melindungi bagian kepala dan mengatur


mekanisme aliran air sewaktu bernafas. Membrane brankiostega(selaput tipis
ditepi operculum) berfungsi sebagai katup pada waktu air masuk kedalam rongga
mulut. Lengkung insang sebagai tempat melekatnya tulang tapis insang dan daun
insang,mempunyai banyak saluran saluran darah dan saluran syaraf. Tulang tapis
insang berfungsi dalam system pencernaan untuk mencegah keluarnya makanan
melalui celah insang. Daun insang berfunsi dalam system pernapasan dan
peredaran darah,tempat terjadinya pertukaran gas O2 dan CO2. Saringan insang
berfungsi untuk menjaga agar tidak ada benda asing yang masuk kedalam rongga
insang. Mekanisme pernafasan pada ikan terdapat dua fase yaitu fase inspirasi dan
ekspirasi. System pernapasan pada ikan.

Golongan ikan bertulang sejati (Osteichthyes) insangnya dilengkapi


dengan tutup insang(operkulum),sedangkan pada ikan bertulang rawan
(Chondrichthyes) insangnyatidak mempunyai tutup insang. Selain bernapas
dengan insang, ada pula kelompokikan yang bernapas dengan gelembung udara
(pulmosis), yaitu ikan paru-paru (Dipnoi). Insang tidak hanya berfungsi sebagai
alat pernapasan, tetapi juga berfungsisebagai alat ekskresi garam-garam,
penyaring makanan, alat pertukaran ion, danosmoregulator.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar para pembaca dapat
memahami sistim respirasi pada hewan Vertebrata air terutama ikan, serta dapat
menambah pengetahuan mengenai alat pernafasan tambahan pada ikan.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan sistem respirasi ikan dan organ respirasi ikan ?

2. Apa yang dimaksud dengan insang dan sistem kerja insang ?

3. Apa saja Alat pernafasan tambahan pada ikan ?

4. Bagaimana sistem kerja respirasi pada ikan Pari, Nila/Mas, kakap, Belut/Sidat
dan ikan Lele?

5. Apa perbedaaan sistem respirasi pada ketujuh ikan tersebut?

6. Bagaimana Mekanisme pernafasan fase inspirasi dan ekspirasi pada ikan ?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ikan

2.1.1 Ikan Pari 

Menurut Anonim (a) (2008), ikan pari merupakan salah satu jenis ikan
yang termasuk sub kelas Elasmobranchii. Ikan ini dikenal sebagai ikan batoid,
yaitu sekelompok ikan bertulang rawan yang mempunyai ekor seperti cambuk.

Kedudukan taksonomi ikan pari adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Chondrichtyes

Subkelas : Elasmobranchii

Famili : Dasyatidae

Species : Dasyatis sp.

2.1.2 Ikan Kakap

3
Klasifikasi ikan kakap merah (Lutjanus sp.) (Saanin, 1968) adalah sebagai
berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea

Famili : Lutjanidae

Genus : Lutjanus

Spesies : Lutjanus sp.

2.1.3 Ikan Belut

Klasifikasi belut adalah sebagai berikut :

Kelas : Pisces

4
Subkelas : Teleostei

Ordo : Synbranchoidae

Famili : Synbranchidae

Genus : Synbranchus

Species : Synbranchus bengalensis (belut rawa)

2.1.4 Ikan Lele

KINGDOM : ANIMALIA

Phylum : Chordata

Class : Pisces

Sub-Class : Teleostei

Ordo : Ostariophysi

Famili : Clariidae

Genus : Clarias

Species : Clarias Sp

5
2.1.5 Ikan Mujair

2.2 Habitat Ikan

2.2.1 Ikan Pari

Ikan pari (famili Dasyatidae) mempunyai variasi habitat yang sangat luas
dengan pola sebaran yang unik. Daerah sebaran ikan pari adalah perairan pantai
dan kadang masuk ke daerah pasang surut. Ikan pari biasa ditemukan di perairan
laut tropis. Di perairan tropis Asia Tenggara (Thailand; Indonesia; Papua Nugini)
dan Amerika Selatan (Sungai Amazon), sejumlah spesies ikan pari bermigrasi dari
perairan laut ke perairan tawar (Endang, 2009).

2.2.2 Ikan Kakap Merah

Ikan kakap merah (Lutjanus sp.) umumnya menghuni daerah perairan


karang ke daerah pasang surut di muara, bahkan beberapa spesies cenderung
menembus sampai ke perairan tawar. Jenis kakap merah berukuran besar
umumnya membentuk gerombolan yang tidak begitu besar dan beruaya ke dasar
perairan menempati bagian yang lebih dalam dari pada jenis yang berukuran kecil.
Selain itu biasanya kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antara 40–50
meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30–33 ppt serta suhu antara 5-
32ºC (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, 1991). Jenis yang
berukuran kecil seringkali dijumpai beragregasi di dekat permukaan perairan
karang pada waktu siang hari. Pada malam hari umumnya menyebar guna mencari
makanannya baik berupa jenis ikan maupun crustacea. Ikan-ikan berukuran kecil
untuk beberapa jenis ikan kakap biasanya menempati daerah bakau yang dangkal
atau daerah-daerah yang ditumbuhi rumput laut. Potensi ikan kakap merah jarang

6
ditemukan dalam gerombolan besar dan cenderung hidup soliter dengan
lingkungan yang beragam mulai dari perairan dangkal, muara sungai, hutan
bakau, daerah pantai sampai daerah berkarang atau batu karang (Gunarso, 1995).

2.2.3 Ikan Belut

Habitat belut adalah di air tawar, seperti sungai, danau, rawa-rawa dan
sawah serta menyenangi tempat yang dangkal. Belut menyukai perairan yang
banyak mengandung lumpur seperti sawah, rawa-rawa, kolam ikan dan pinggiran
danau. Belut menyukai perairan tersebut, karena belut merendam atau mengubur
diri dalam lumpur. Belut membuat lubang persembunyian di dalam lumpur. Belut
hidup di air tawar dan dataran rendah hingga dataran tinggi, yaitu dan 0 sampai
lebih dan 1.200 m di atas permukaan laut (dpl). Belut termasuk jenis ikan yang
memiliki toleransi cukup tinggi dan penyebaran wilayah goegrafi yang cukup
luas. Namun untuk budi daya belut ketinggian yang cocok adalah 0-1.000 m dpl,
ini terkait dengan suhu yang ideal untuk pertumbuhan belut. Belut bisa hidup
dengan baik pada suhu 25-320 C. Sekalipun, belut dapat bertahan hidup pada
perairan minim oksigen dan dasar perairan yang mengandung bahan organik
tinggi, namun pada fase larva dan benih, belut tidak dapat bertahan pada perairan
minim oksigen. Karena itu, untuk pembenihan, kualitas air yang dibutuhkan
adalah suhu 25-32 derajat celcius oksigen 3-7, dan pH 5-7. Belut sawah berasal
dari Asia Timur dan Asia Tenggara barat. Belut sekarang bahkan dilaporkan telah
menghuni rawa-rawa di Hawaii, Florida, dan Georgia di Amerika Serikat dan
dianggap sebagai hewan invasif.

2.2.4 Ikan Lele

7
Habitat ikan lele di sungai dengan arus yang perlahan, rawa, telaga,
waduk, sawah yang tergenang air (Daulay,2010). Ikan lele relative tahan terhadap
kondisi lingkungan dengan kualitas air yang buruk. Ikan lele dapat di budidayakan
baik di kolam tanah, kolam semen, maupun kolam plastik terpal (Suprapto dan
Samtafsir,2013). Tingkah lanku lele bersifat nocturnal, yaitu aktif bergerak
mencaari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan
berlindung di tempat - tempat gelap (Daulay,2010). Pakan alami ikan lele adalah
binatang - binatang renik seperti kutu air dari kelompok Daphnia, Cladocera atau
Copepoda. Meskipun ikan lele bersifat karnivora, ikan ini akan memakan
dedaunan bila dibiasakan, sehingga lele juga disebut sebagai pemakan detritus
atau scavenger (Suprapto dan Samtafsir, 2013)

2.2.5 Ikan Mujair

2.3 Sistem Respirasi Ikan

2.3.1 Ikan Pari

Insang merupakan ciri pernafasan pada ikan pada umumnya, termasuk hiu
dan pari. Secara embriologis celah insang hiu tumbuh sebagai hasil dari serentetan
evaginasi faring yang tumbuh ke luar dan bertemu dengan envaginasi dari luar.
Setiap kali mulut hiu dibuka maka air dari luar akan masuk ke faring kemudian
keluar lagi melalui celah insang. Peristiwa keluar masuknya air ini melibatkan
kartilago sebagai penyokong filament insang. Ikan hiu memiliki 5-7 pasang celah
insang ditambah pasangan celah anterior non respirasi yang disebut dengan
spirakel

8
2.3.2 Ikan Kakap

Insang merupakan organ respirasi utama pada ikan, bekerja dengan


mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida)
antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam
kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin untuk selanjutnya
didistribusikan keseluruh tubuh. Karbondioksida dikeluarkan dari sel dan jaringan
untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Saputra dkk., 2013). Struktur histologi
insang terdiri dari beberapa lamela primer dan satu lamela primer terdiri dari
beberapa lamela sekunder. Ukuran panjang dan lebar lamela sekunder cenderung
hampir sama. Sel-sel pernapasan ikan hanya terdiri dari dua atau tiga lapis epitel
yang terletak di membran basal. Sel-sel tersebut terbungkus oleh selaput
epidermis yang tipis dan bersifat semipermeabel (Sukarni dkk., 2012)

2.3.3 Ikan Belut

Belut bernafas dengan insang dan kulit tipis berlendir di dalam rongga
mulutnya. Ukuran insang sangat kecil, dilengkapi dengan lubang yang
menghubungkan insang dengan media di luar tubuh. Insang digunakan untuk
menghirup oksigen dari air, sementara saat berada di habitat lumpur dengan
sedikit air dan miskin kandungan oksigen, belut menggunakan lipatan kulit di
rongga mulutnya sebagai alat bantu pernafasan.

Secara morfologi belut yang berjenis kelamin betina punggungnya


berwarna coklat kehitaman, perutnya putih kekuningan, kepalanya kecil, dan
ekornya panjang dengan ujung yang lancip. Sedangkan yang berjenis kelamin
jantan punggungnya coklat kehijauan, perutnya kuning kecoklatan, kepalanya
besar, dan ekornya agak pendek dengan bagian ujung yang tumpul. 

9
Belut juga memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam 2 kondisi alam yang
berbeda, kemudian para ahli menggolongkan belut sebagai kelompok air
breathing fishes, yaitu ikan yang mampu mengambil oksigen langsung dari udara
selama musim kering tanpa air di sekelilingnya. Hal ini dikarenakan belut
memiliki alat pernapasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat
didalam rongga mulut. 

Alat pernapasan tambahan ini memiliki fungsi untuk mengambil oksigen


secara langsung dari udara, selain insangnya juga bertugas  mengambil oksigen
dari air (Sarwono, 2011). Belut akan melakukan aktivitasnya pada malam hari dan
cenderung akan bersembunyi di celah- celah tanah liat. (Wirosaputro, 2009). 

2.3.4 Ikan Lele

Berdasarkan pengamatan secara makroskopis, sistem respirasi ikan lele terdiri dari
insang dan labirin. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras,
dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas
banyak lamela, rigi-rigi insang (gill rakers), dan lengkung insang (arcus
branchialis). Menurut Bahuguna dkk. (2014), jumlah lamela pada hewan
tergantung dari ukuran dan aktivitas hewan tersebut, lebih besar dan lebih aktif
hewan maka lamela semakin banyak. Ikan lele memiliki organ pernapasan
tambahan yaitu labirin dan energi yang diserap dari makanan dapat digunakan
untuk tumbuh dan menjaga kelangsungan hidupnya (Extrada dkk., 2013). Organ
labirin bernama divertikula yang terletak di bagian atas insang yang
memungkinkan menyerap oksigen dari udara sehingga mampu hidup di tempat
yang kekurangan air. Sebagaimana ikan-ikan yang juga mempunyai labirin, ikan
gabus mampu bertahan dalam kondisi perairan rawa dengan kandungan oksigen
terlarut rendah dan pH berkisar 4,5-6 (Listyanto dan Adriyanto, 2009;
Muthmainnah, 2013). Ikan yang memiliki alat bantu pernapasan mampu

10
memanfaatkan oksigen yang ada di atmosfer sebagai sumber gas pernapasan,
sehingga ikan gabus mampu mempertahankan hidupnya lebih dari 8 jam tanpa air
(Chandra dan Banerjee, 2004).

2.3.5 Ikan Mujair

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Ikan Pari (Dasyati sp.)

Ikan termasuk dalam golongan hewan bertulang belakang (vertebrata)


yang hidup di air dan memiliki ciri-ciri antara lain : berdarah dingin
( Poikiloterm ), bernafas dengan insang dan mempunyai sirip. Jenis ikan sangat
beraneka ragam dengan jumlah jenis mencapai lebih dari 28.900 di seluruh dunia.
Di Indonesia, keanekaraman jenis ikan sangatlah tinggi yaitu tercatat sebanyak
3.648 jenis ikan air laut dan 1.248 jenis air tawar (Elizabeth et al. . 2014; Fishbase
2017).

Tingginya tingkat keragaman jenis ikan merupakan kekayaandan sumber


daya alam yang harus dijaga dan dilestarikan, agar pemanfaatannya dapat berjalan
secara berkelanjutan. Salah satu kelompok ikan yang memiliki potensi ekonomi
tinggi adalah ikanikan anggota Famili Dasyatidae. Jenis-jenis anggota Dasyatidae
diketahui hidup di perairan laut dan juga tawar. Famili Dasyatidae merupakan
kelompok ikan bertulang rawan yang masuk ke dalam Ordo Myliobatiformes dan
terdiri dari beberapa genus yaitu Dasyatis , Himantura , Pastinachus ,
Pteroplatytrygon , Taeniura , Urogymnus , Neotrygon , dan Telatrygon (Fishbase
2017, Nelson 2006). Genus Dasyatis diketahui mempunyai 39 jenis, Himantura
33 jenis, Neotrygon 5 jenis, Pastinachus 5 jenis, yaitu Pteroplatytrygon 1
jenis,Taeniura 3 jenis,Telatrygon 4 jenis, dan Urogymnus 2 jenis. Secara umum
Famili Dasyatidae lebih dikenal dengan nama Ikan Pari, Pari Ekor Panjang atau
Stingray (Fishbase, 2017).

Secara umum Pari mempunyai bentuk tubuh sangat pipih, gepeng melebar
( depressed ) sehingga menyerupai piringan cakram yang lebarnya ditambah sirip
dada yang lebar seperti sayap yang bergabung dengan bagian depan kepala
(Gambar 1). Apabila dilihat dari bagian atas (anterior) dan bawah (posterior),
tubuh Pari tampak oval atau membundar (Last & Stevens 2009). Lebar atau

12
luasan piringan cakram tersebut dapat mencapai 1,2 kali dari panjangnya dan
umumnya diduga dapat untuk melihat pola pertumbuhan serta ukuran pada saat
ikan matang gonad (Henningsen & Leaf 2010).

Gambar 3.1. Ikan Pari; A. Sirip dada yang menyatu dengan bagian depan kepala,
B. Mata, C.Lubang bernafas, D. Batang ekor, E. Duri penyengat (Mc Eachran &
de Carvalho 2013).

Mata Ikan Pari cenderung menonjol dan terletak di bagian samping kepala.
Pada bagian belakang mata terdapat lubang yang berfungsi untuk bernafas . Udara
hasil pernafasan dibuang melalui celah insang ( gill opening atau gill slits ) yang
berjumlah lima sampai enam pasang, dan terdapat di sisi kepala bagian ventral
atau bawah. Bentuk mulutnya terminal, dengan posisi di bagian bawah tubuh.
Sirip punggung hampir dikatakan tidak ada atau tidak jelas terlihat (Sylvy Meyta
Kinakesti dan Gema Wahyudewantoro, 2017).

Insang merupakan ciri pernafasan pada ikan pada umumnya, termasuk hiu
dan pari. Secara embriologis celah insang hiu tumbuh sebagai hasil dari serentetan
evaginasi faring yang tumbuh ke luar dan bertemu dengan envaginasi dari luar.
Setiap kali mulut hiu dibuka maka air dari luar akan masuk ke faring kemudian
keluar lagi melalui celah insang. Peristiwa keluar masuknya air ini melibatkan
kartilago sebagai penyokong filament insang. Ikan hiu memiliki 5-7 pasang celah
insang ditambah pasangan celah anterior non respirasi yang disebut dengan
spirakel (Sylvy Meyta Kinakesti dan Gema Wahyudewantoro. 2017)

13
Ikan Pari mendiami perairan pesisir tropis dan subtropis yang hangat dan
beberapa diantaranya dapat dijumpai di perairan tawar. Seringkali Pari dijumpai
berenang di perairan dangkal, atau bahkan berdiam diri di dalam pasir. Di muara
sungai Cibariang Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang
Banten, Pari jenis Himantura sp. dan Taeniural sp. terlihat diantara akar-akar
tumbuhan mangrove (Wahyudewantoro & Dahruddin 2015).

Secara umum Pari mempunyai bentuk tubuh sangat pipih, gepeng melebar
(depressed ) sehingga menyerupai piringan cakram yang lebarnya ditambah sirip
dada yang lebar seperti sayap yang bergabung dengan bagian depan kepala.
Apabila dilihat dari bagian atas (anterior) dan bawah (posterior), tubuh Pari
tampak oval atau membundar (Last & Stevens 2009). Lebar atau luasan piringan
cakram tersebut dapat mencapai 1,2 kali dari panjangnya dan umumnya diduga
dapat untuk melihat pola pertumbuhan serta ukuran pada saat ikan matang gonad
(Henningsen & Leaf , 2010).
3.2 Ikan Kakap (Lates calcarifer)

Insang merupakan organ respirasi utama pada ikan, bekerja dengan


mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida)
antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam
kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin untuk selanjutnya
didistribusikan keseluruh tubuh. Karbondioksida dikeluarkan dari sel dan jaringan
untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Saputra dkk., 2013).

Struktur histologi insang terdiri dari beberapa lamela primer dan satu
lamela primer terdiri dari beberapa lamella sekunder. Ukuran panjang dan lebar
lamela sekunder cenderung hampir sama. Sel-sel pernapasan ikan hanya terdiri
dari dua atau tiga lapis epitel yang terletak di membran basal. Sel-sel tersebut
terbungkus oleh selaput epidermis yang tipis dan bersifat semipermeabel (Sukarni
dkk., 2012).

14
Gambar 3.2. Perbandingan tingkat kerusakan jaringan (Lates calcarifer) setelah
diinjeksi dengan Vibrio alginolyticus

Perbedaan profil histopatologis organ insang terjadi pada setiap perlakuan


pemberian jintan hitam yang berbeda. Insang berfungsi sebagai alat respirasi pada
ikan yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga berpeluang
besar terinfeksi penyakit. Insang tersusun dari lengkung insang, gerigi insang (gill
raker) dan tapis insang. Tapis insang ini tersusun dari lamella primer,
disepanjang lamella primer terdapat lembaran-lembaran halus lamella sekunder.
Lamella sekunder inilah yang berfungsi untuk mengambil oksigen dari air.
Lamella primer tersusun dari sel-sel pilar (pillaster cells) yang tersusun berjajar
dan sel-sel tersebut terbungkus oleh selaput epidermis yang tipis dan bersifat
semipermeabel (Genten et al. 2009).

Profil histopatologis dengan penambahan jintan hitam 0% terjadi nekrosis,


hiperplasia,dan rupture epitel. Hiperplasia memiliki gejala terjadinya perubahan
ukuran sel yang lebih besar dibandingkan ukuran sel lainnya, hiperplasia juga
dapat dilihat pada gambar C. Ruptur epitel memiliki gejala lepasnya epite-lepitel
insang akibat gangguan yang ditimbulkan bakteri V.alginolyticus. Struktur lamela
primer dan sekunder gambar D terlihat lebih rapi dibandingkan dengan gambar A,
B, dan C (Ahmad Fauzy, Tarsim dan Agus Setyawan, 2014).

15
Gambar 3.3. Perbandingan profil organ insang Kakap Putih dengan pewarnaan H-
E perbesaran 400x. Keterangan: 1. Lamela Primer, 2. Lamela Sekunder, 3.
Nekrosis, 4. Ruptur Epitel, dan 5. Hiperplasia.
3.3 Ikan Belut (Monopterus sp.)

Secara morfologi belut yang berjenis kelamin betina punggungnya


berwarna coklat kehitaman, perutnya putih kekuningan, kepalanya kecil, dan
ekornya panjang dengan ujung yang lancip. Sedangkan yang berjenis kelamin
jantan punggungnya coklat kehijauan, perutnya kuning kecoklatan, kepalanya
besar, dan ekornya agak pendek dengan bagian ujung yang tumpul. Belut juga
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam 2 kondisi alam yang berbeda,
kemudian para ahli menggolongkan belut sebagai kelompok air breathing fishes,
yaitu ikan yang mampu mengambil oksigen langsung dari udara selama musim
kering tanpa air di sekelilingnya. Hal ini dikarenakan belut memiliki alat
pernapasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat didalam rongga
mulut. 

16
Gambar 3.4. Belut

Belut bernafas dengan insang dan kulit tipis berlendir di dalam rongga
mulutnya. Ukuran insang sangat kecil, dilengkapi dengan lubang yang
menghubungkan insang dengan media di luar tubuh. Insang digunakan untuk
menghirup oksigen dari air, sementara saat berada di habitat lumpur dengan
sedikit air dan miskin kandungan oksigen, belut menggunakan lipatan kulit di
rongga mulutnya sebagai alat bantu pernafasan. Alat pernapasan tambahan ini
memiliki fungsi untuk mengambil oksigen secara langsung dari udara, selain
insangnya juga bertugas  mengambil oksigen dari air (Sarwono, 2011). Belut akan
melakukan aktivitasnya pada malam hari dan cenderung akan bersembunyi di
celah- celah tanah liat. (Wirosaputro, 2009). 

Belut bertahan pada perairan yang minim oksigen dan kekeringan, asalkan
masih becek dan tubuhnya masih basah. Hal ini karena belut mempunyai alat
pernapasan tambahan, yakni berupa kulit tipis berlendir yang terdapat di rongga
mulut. Alat tersebut berfungsi untuk menyerap oksigen secara langsung dan
udara, selain insangnya yang digunakan untuk menghirup oksigen di dalam air.
Organ pernapasan tambahan pada belut biasanya terdapat pada ikan yang hidup di
perairan yang minim oksigen, seperti ikan yang hidup di perairan bersuhu tinggi,
air tenang, atau perairan yang miskin oksigen akibat adanya penguraian bahan
organik.

17
Organ pernapasan tersebut biasanya berupa arboresen yang terdapat pada
bagian rongga buko-faring dan branchi, dinding lambung atau usus dan
gelembung renang. Pada belut (Monopterus sp) rongga buko-faring-nya memiliki
lapisan mukosa tipis dan berkapiler darah yang berfungsi untuk pernapasan di
udara. Sering kali belut menampakkan sebagian tubuhnya di luar air dan
membiarkan bagian ekornya saja yang berada di dalam air, hal ini berarti kapiler-
kapiler darah pada kulitnya (cutane) membantu dalam pernapasan.

Belut dapat hidup di perairan tenang minim oksigen dan perairan yang
berlumpur, karena dapat mengambil oksigen langsung dan udara. Belut juga
bertahan hidup di dalam lumpur yang mulai mengering, tapi masih becek. Belut
terus bertahan jika kulit tubuhnya masih lembab. Belut akan berjalan mencari
sumber air jika lingkungan yang ditempatinya telah mengering. Karena mampu
menghirup oksigen langsung dari udara, maka belut dapat bertahan hidup tanpa
air cukup lama, asalkan tubuhnya selalu basah. Pada siang hari, belut berdiam di
dalam lubangnya, namun jika terdapat mangsa atau makanan yang dekat dengan
lubangnya dengan segera disergap, karena itu belut dapat dipancing pada siang
hari. Pada malam hari, belut ke luar dari lubangnya mencari makan di sekitar
lubang. Jika bahaya mengancam, belut segera masuk kembali ke dalam lubang.
Tentang Belut. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Belut. Diunduh oktober
2015
3.4 Ikan Lele (Clarias batracus)

Menurut Suryaningsih (2014), lele dapat hidup dengan baik di perairan


dengan kondisi yang buruk, seperti di air comberan, perairan yang berlumpur di
sawah dengan ketinggian air 10-15 cm, asalkan tidak di perairan yang
mengandung air sabun, deterjen dan bahan racun lainnya, seperti obat anti
serangga, karbol dan kreolin. Lele juea dapat hidup di perairan yang miskin
kandungan oksigen terlarutnya, seperti perairan berlumpurdan comberan, karena
lele mempunyai arborescent atau labyrinth yang memungkinkan ikan.

18
Proses pernafasan pada ikan dimulai dari ikan membuka mulut dan
menutup operkulumnya sedemikian rupa sehingga air yang kaya oksigen dapat
terdorong ke dalam mulut dan melewati insang. Jaringan pembuluh darah dalam
insang akan menangkap oksigen dan melepaskan karbondioksida dan buangan
respirasi lainnya. Terakhir ikan akan menutup mulutnya dan membuka operkulum
untuk mengalirkan air yang telah melalui insang (Harpeni et.all  2011).

Gambar 3.5. a. arborescene dan b. insang

Berdasarkan pengamatan secara makroskopis, sistem respirasi ikan lele


terdiri dari insang dan labirin. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan
yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Tiap-tiap filamen
insang terdiri atas banyak lamela, rigi-rigi insang (gill rakers), dan lengkung
insang (arcus branchialis). Menurut Bahuguna dkk. (2014), jumlah lamela pada
hewan tergantung dari ukuran dan aktivitas hewan tersebut, lebih besar dan lebih
aktif hewan maka lamela semakin banyak. Ikan lele memiliki organ pernapasan
tambahan yaitu labirin dan energi yang diserap dari makanan dapat digunakan
untuk tumbuh dan menjaga kelangsungan hidupnya (Extrada dkk., 2013).

Organ labirin bernama divertikula yang terletak di bagian atas insang yang
memungkinkan menyerap oksigen dari udara sehingga mampu hidup di tempat

19
yang kekurangan air. Sebagaimana ikan-ikan yang juga mempunyai labirin, ikan
gabus mampu bertahan dalam kondisi perairan rawa dengan kandungan oksigen
terlarut rendah dan pH berkisar 4,5-6 (Listyanto dan Adriyanto, 2009;
Muthmainnah, 2013). Ikan yang memiliki alat bantu pernapasan mampu
memanfaatkan oksigen yang ada di atmosfer sebagai sumber gas pernapasan,
sehingga ikan gabus mampu mempertahankan hidupnya lebih dari 8 jam tanpa air
(Chandra dan Banerjee, 2004).

Clarias batrachus memiliki organ insang tambahan (arborescent) yang


berwarna merah segar serta memungkinkan dapat mengambil oksigen langsung
dari udara, sehingga dapat hidup dalam air yang kandungan oksigennya sedikit.
Bukaan operkulum atau proses Ram Jet Ventilation Clarias batrachus merupakan
proses penting dalam respirasi ikan karena proses tersebut adalah proses menelan
air dengan mulutnya dan menekannya melewati insang kemudian keluar melalui
lubang di bawah operkulum (Huri et al, 2009). Clarias batrachus akan
menggerakkan operkulum lebih cepat ketika mengalami stress dan akan lebih
sering muncul ke permukaan air sebagai upaya untuk mendapatkan udara
(Musman et al, 2011 ).

Indikator yang penting dalam proses respirasi pada Clarias batrachus


adalah laju kecepatan Ram Jet Ventilation dan anatomi insang karena kedua
indikator ini sangat berhubungan erat, proses Ram Jet Ventilation Clarias
batrachus merupakan proses penting dalam respirasi karena proses tersebut adalah
proses menelan air dengan mulutnya dan menekannya melewati insang kemudian
keluar melalui lubang di bawah operkulum sedangkan anatomi insang yang
meliputi makro maupun mikroanatomi adalah berkaitan mengenai gambaran
anatomi organ insang Clarias batrachus dalam proses respirasi (Huri et al 2009).

Ikan bernapas dengan Insang (branchia) yang terdapat di sisi kanan dan
kiri kepala. Insang berbentuk lembaran-lembaran tipis berwarna merah muda dan
selalu lembap. Bagian terluar dari insang berhubungan dengan air, sedangkan

20
bagian dalam berhubungan erat dengan kapiler-kapiler darah. Tiap lembaran
insang terdiri dari sepasang filamen, dan tiap filamen mengandung banyak lapisan
tipis (lamela). Pada filamen terdapat pembuluh darah yang memiliki banyak
kapiler sehingga memungkinkan Oksigen berdifusi masuk dan Karbondioksida
berdifusi keluar. Insang pada ikan bertulang sejati ditutupi oleh tutup insang yang
disebut operkulum, sedangkan insang pada ikan bertulang rawan tidak ditutupi
oleh operculum (Defrianto Alfika Putra, 2013).

Beberapa jenis ikan mempunyai organ Arborescent yang merupakan


perluasan ke atas dari insang dan membentuk lipatan-lipatan sehingga merupakan
rongga-rongga tidak teratur. Arborescent ini berfungsi menyimpan cadangan
sehingga ikan tahan pada kondisi yang kekurangan. Untuk menyimpan cadangan ,
selain dengan menggunakan Arborescent, ikan memiliki gelembung renang yang
terletak di dekat punggung. Meskipun dapat ditemukan di banyak perairan,
Clarias batrachus memiliki kriteria tersendiri mengenai kondisi lingkungannya.
Kondisi lingkungan inilah yang menjadi parameter ada tidaknya pengaruh yang
signifikan antara faktor ekologis dan fisiologis (Defrianto Alfika Putra, 2013).

Proses pernafasan pada ikan adalah dengan membukanya mulut, sehingga


terdapat sedikit tekanan negatif dalam rongga maupun rongga insang. Begitu
mulut ditutup, tekanan dalam rongga mulut meningkat (menjadi positif), air di
dorong masuk rongga insang dan selanjutnya mendorong operkulum, dan air
keluar rongga insang. Tekanan dalam rongga mulut dari rongga insang menjadi
lebih kecil daripada tekanan air diluar tubuh, sehingga tutup insang menutup
kembali. Pada saat air masuk ke dalam rongga maka oksigen yang terlarut dalam
air masuk berdifusi ke dalam pembuluh kapiler darah yang terdapat dalam insang
sedangkan pada saat air keluar melalui insang karbondioksida juga dikeluarkan
(Defrianto Alfika Putra, 2013).

Clarias batrachus tergolong ikan karnivora yang memiliki alat bantu


pernafasan atau Arborescent organ, sehingga sanggup hidup dalam kondisi

21
oksigen terbatas dan tahan terhadap kondisi limbah, Clarias batrachus dapat
hidup dengan baik di dataran rendah sampai daerah perbukitan yang tidak terlalu
tinggi. Adapun kondisi lingkungan yang optimal bagi Clarias batrachus adalah
jenis tanah liat/lempung, tidak berporos, berlumpur dan subur. Lahan yang dapat
digunakan untuk budidaya lele dapat berupa: sawah, kecomberan, kolam
pekarangan, kolam kebun, dan blumbang. Ikan lele hidup dengan baik di daerah
dataran rendah sampai daerah yang tingginya maksimal 700 m dpl. Elevasi tanah
dari permukaan sumber air dan kolam adalah 5-10%. Ikan lele dapat hidup pada
suhu 20 C, dengan suhu optimal antara 25-28C ( Mahyudin 2011).

Arborescent organ Clarias batrachus adalah organ tambahan yang membantu


pada proses respirasi Clarias batrachus yaitu pada kondisi kekurangan O2.
Pengamatan morfologi insang dan Arborescent Organ Clarias batrachus adalah
dengan mengamati dan membedakan antara insang dan Arborescent organ
Clarias batrachus kondisi normal dengan kondisi yang di beri paparan limbah
cair pewarna batik. Hasil pengamatan terhadap morfologi insang dan Arborescent
Clarias batrachus menunjukkan perbedaan warna antara kondisi yang diberi
paparan limbah cair pewarna batik dengan kondisi normal, perbedaan tersebut
terlihat pada gambar diatas (Defrianto Alfika Putra, 2013).

Terdapat beberapa perubahan atau kerusakan yang terjadi pada jaringan/ organ
insang ikan antara lain inflamasi, edema, hemoragi dan kongesti, nekrosis, dan
hiperplasia lamela sekunder. Inflamasi (peradangan) ditandai dengan vasodilatasi
pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang
berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran banyak
sekali keruang interstisial, seringkali terjadi pembekuan cairan dalam ruang
interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari
kapiler dalam jumlah berlebihan, inflamasi merupakan suatu respon pertahanan
jaringan yang rusak dan terjadi pada semua vertebrata. Inflamasi dapat
mengakibatkan pembatasan area yang terluka dari jaringan yang tidak mengalami
inflamasi. Ruang jaringan dan cairan limfatik dalam daerah yang meradang

22
dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga sedikit saja cair yang melintasi ruang
(Defrianto Alfika Putra, 2013).

Labirin terdiri dari tunika mukosa dan tunika submukosa. Histologis sistem
respirasi ikan lele ditampilkan :

Gambar 3.6. Histologis sistem respirasi ikan lele. Insang (A), labirin (B),
lengkung insang (li), filamen insang (fi), tunika mukosa (tm), tunika
submukosa (tsb). HE (Perbesaran : A. 4x, B. 10x)

Filamen insang terdiri dari lamela primer, dan di sepanjang lamela


primer terdapat lamela sekunder. Lamela sekunder inilah yang berfungsi
untuk mengambil oksigen dari air.

23
Gambar 3.7. Histologis filamen insang ikan lele. Lamela primer (lp), lamela
sekunder (ls). HE (Perbesaran 10x)
3.5 Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)

Masuknya bahan pencemar di perairan dapat menurunkan kualitas air dan


kerusakan struktur histologi beberapa organ pada ikan (Mandia dkk., 2013).
Perubahan keadaan di lingkungan perairan menyebabkan perubahan struktur
histologi, terutama pada organ insang . Insang memiliki permukaan yang luas dan
terbuka sehingga mengakibatkan bagian ini menjadi sasaran utama terpapar bahan
toksik di perairan (Saputra dkk., 2013).

Gambar 3.8. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 2B dan 3 yang
Mengalami Edema Lamela Sekunder (B) Dibandingan dengan Insang Normal (A)
(Perbesaran 400x) (El-Shebly and Gad, 2011).

Gambar 3.9. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 3. (A) Hiperplasia
Lamela Sekunder, dan (B) Fusi Lamela Sekunder.

24
Gambar 3.10. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 2B (A)
Telengiektaksis, (B) Fusi Lamela Sekunder, dan (C) Hiperplasia Lamella
Sekunder. (Gambar atas perbesaran 100x dan gambar bawah perbesaran 400x).

Berdasarkan hasil pengamatan preparat organ insang di bawah mikroskop


ditemukan perubahan histologi insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus)
yang hidup di kolam 2B dan 3 berupa edema lamela sekunder (Gambar 1),
hiperplasia lamela sekunder, dan fusi lamela sekunder (Gambar 2 dan 3). Insang
merupakan organ pertama yang terpapar zat toksik yang ada diperairan karena
kontak langsung dengan air selama proses respirasi. Zat toksik yang ada di
perairan lagoon dapat menyebabkan pembendungan aliran darah sehingga terjadi
pembengkakan sel atau edema pada lamela sekunder (Maftuch dkk., 2015).

Hiperplasia lamela sekunder merupakan suatu respon fisiologis untuk


melindungi jaringan dari zat toksik dengan cara menstimulasi pertumbuhan sel
epitel insang dengan sangat cepat (Sudaryatma dkk., 2013). Pertumbuhan sel yang
sangat cepat dan banyak menyebabkan fusi lamela sekunder. Kejadian hiperplasia
selalu disertai dengan fusi lamela. Fusi lamela yang terjadi akibat hiperplasia sel
lamela secara terus menerus mengisi ruang antar lamela sekunder dengan sel baru
sehingga menyebabkan perlekatan antar lamela sekunder (Sipahutar dkk., 2013).

Perubahan histologi yang terjadi pada jaringan insang karena keadaan air di
lagoon baik di kolam 2B maupun kolam 3 sangat keruh. Kekeruhan tersebut

25
karena jumlah materi yang terlarut dalam air yang banyak, sehingga semakin
banyak materi yang terlarut dapat menyebabkan air semakin keruh. Hal ini
diperkuat dengan hasil analisis air yang menunjukkan tingginya nilai zat yang
tersuspensi pada kolam 2B sebesar 538,1 mg/L dan pada kolam 3 sebesar 524,3
mg/L dimana ambang batas hanya sebesar 50 mg/L.

Aulia dkk (2014) menyatakan bahwa tingginya nilai Total Suspended Solid
(TSS) dapat menganggu sistem respirasi pada ikan. Air masuk melalui lamela-
lamela insang, sehingga materi yang tersuspensi dalam air sangat mudah
menempel pada mukus insang. Semakin banyak materi yang menempel maka sel
mukus pada insang akan memproduksi lebih banyak mukus. Mukus ini berfungsi
untuk menangkap partikel asing dari air yang masuk ke dalam insang. Banyaknya
mukus di lamela ini yang menyebabkan difusi oksigen terganggu (Indrayani dkk.,
2011), akibatnya tubuh akan mengalami hipoksia (kekurangan oksigen dalam
jaringan). Hipoksia dapat menyebabkan efek patologis pada organ hati, limfa, dan
insang (Sipahutar dkk., 2012).

Selain perubahan histologi yang telah ditemukan pada insang juga ditemukan
patologi berupa telengiektaksis (Gambar 3). Telengiektaksis merupakan patologi
akibat adanya edema dan hiperplasia yang mengakibatkan salah satu bagian
mengalami pembengkakan dan bagian lain mengecil, sehingga terjadi
penyempitan pembuluh darah yang berdampak pada penumpukan darah pada
salah satu bagian. Hal ini diperkuat dengan penelitian bahwa paparan besi (Fe)
pada ikan dapat menyebabkan telengiektaksis dan hemoragi pada insang (Lujic et
al., 2013).

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah Sistem Respirasi pada ikan
ini adalah:

1. Respirasi merupakan suatu proses mulai dari pengambilan oksigen,


pembongkaran makanan hingga penggunaan energi dalam tubuh
organisme.
2. Alat respirasi pada ikan yaitu insang, namun ada beberapa jenis ikan
memiliki alat pernapasan tambahan
3. Alat pernapasan tambahan pada ikan berupa Aborensen, Gelembung udara
(pulmonalis), Labirin, Kulit dan Devertikula.
4. Pada jenis ikan bertulang rawan tidak memiliki operculum, sedangkan
pada ikan bertulang sejati memiliki operculum.
5. Mekanisme pernafasan pada ikan terdapat dua fase, yaitu fase inspirasi dan
fase eksperasi
6. Insang terdiri dari bagian-bagian insang yaitu daun tutup insang
(operculum), tulang tipis insang, lembar (filamen insang) dan rigi-rigi
insang.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fauzy, Tarsim Dan Agus Setyawan, 2014. HISTOPATOLOGI ORGAN


KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer) DENGAN INFEKSI Vibrio Gambar
10. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam
Alginolyticus DAN JINTAN HITAM (Nigella Sativa) SEBAGAI
IMUNOSTIMULAN . Volume III No 1 Oktober 2014 ISSN: 2302-3600

Elizabeth A.W., Y. Rahayuningsih., J.S. Rahajoe., R. Ubaidillah., I. Maryanto.,


E.B. Walujo Dan G. Semiadi. 2014. Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia
2014. Lipi Press. Jakarta. 344 Hal.

El-Shebly, A.A And H.A. M. Gad. 2011. Effect Of Chronic Amonia Exposure Nn
Growth Performance, Serum Growth Hormone (GH) Levels And Gill
Histology Ff Nile Tilapia (Oreochromis Niloticus). Journal Of
Microbiology And Biotechnology Research. 1(4): 183197.

Fishbase 2017. All Fishes Reported From Indonesia. Www. Fishbase.Org.


Diakses Tanggal 3 Agustus 2017.

Genten, F., E. Terwinghe And A. Dangui. 2009. Atlas Of Fish Histology. Science
Publishers. USA.

Henningsen, A.D & R.T. Leaf. 2010. Observations On The Captive Biology Of
The Southern Stingray. T R A N S A C Ti O N S O F The American
Fisheries Society 139:783– 791.

28
Huri E, & Syafriadiman. 2009. Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. Volume 37
Nomor 2 (Pengaruh Konsentrasi Alk (SO4)2 12H2O (Aluminium
Potassium Sulfat) Terhadap Perubahan Bukaan Operkulum Dan Sel
Jaringan Insang Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus).
Universitas Riau : Riau

Indrayani, D., Yusfiati, Dan R. Elvyra. 2014. Struktur Insang Ikan Ompok
Iypophthalmus (Bleeker 1846) Dari Perairan Sungai Siak Kota
Pekanbaru. JOM FMIPA. 1(2): 402-408.

Last, P.R & J.D. Stevens. 2009. Sharks And Rays Of Australia Second Edition.
CSIRO. Victoria Asutralia.

Lujic, J., Z. Marinovic, And B. Miljanovic. 2013. Histological Analysis Of Fish


Gills As An Indicator Of Water Pollution In The Tamis River. Acta
Agriculturae Serbica, 18(36): 133-141.

Maftuch, M, V.D Putri, M.H Lulloh Dan F.K.H Wibisono. 2015. Studi Ikan
Bandeng (Chanos Chanos) Yang Dibudidayakan Di Tambak Tercemar
Limbah Kadmium (Cd) Dan Timbal (Pb)Di Kalanganyar, Sidoarjo, Jawa
Timur Terhadap Histologi Hati, Ginjal Dan Insang. Journal Of
Environmental Engineering And Sustainable Technology. 2(2): 114-122.

Mahyuddin K. 2011. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar


Swadaya.

Murtidjo BA. 2001. Beberapa Metode Pembenihan Ikan Lele. Yogyakarta :


Kanisius

29
Musman M ,Sofyatudin K & Kavinta M. 2009. Jurnal Depik. Volume 1 Nomor 1
(Uji Selektifitas Ekstrak Etil Asetat Biji Putat Air Terhadap Keong Mas
Dan Ikan Lele Lokal). Universitas Syiah Kuala : Banda Aceh

Putra, Defrianto Alfika. 2013. Ram Jet Ventilation, Perubahan Struktur Morfologi
Dan Gambaran Mikroanatomi Insang Ikan Lele (Clarias Batrachus)
Akibat Paparan Limbah Cair Pewarna Batik. Skripsi, Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Dr. Lisdiana, M.Si
Dan Ir. Tyas Agung Pribadi M.Sc, ST.

Saputra, H.M., N. Marusin Dan P. Santoso. 2013. Struktur Histologis Insang Dan
Kadar Hemoglobin Ikan Asang (Osteochilus Hasseltii C.V) Di Danau
Singkarak Dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas. 2(2): 138-144.

Sipahutar, L.W., D. Aliza, Winaruddin, Dan Nazaruddin. 2013. Gambaran


Histopatologi Insang Ikan Nila Yang Dipelihara Dalam Tempratur Air Di
Atas Normal. Jurnal Medika Veterinaria. 7(1): 1-3.

Suryaningsih, Suhestri. 2014. BIOLOGI IKAN LELE Suatu Bahan Penyuluhan:"

Sylvy Meyta Kinakesti Dan Gema Wahyudewantoro. 2017. Kajian Jenis Ikan
Pari (Dasyatidae) Di Indonesia. Vol 16 (2): 17-25

Wahyu Puji Lestari, Dkk. 2018. Histological Structures Of Gills Of Tilaphia Fish
(Oreochromis Mossambicus L.) As A Water Quality Indicator In The
Nusa Dua Sewage Tretment Ponds, Bali. SIMBIOSIS VI (2):45−49
ISSN: 2337-7224 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana.

Wahyudewantoro, G & H. Dahrudin. 2016. Komposisi Dan Potensi Jenis Fauna


Ikan Di Pulau Panaitan, Taman. Nasional Ujung Kulon, Pandeglang-

30
Banten. Prosiding Masyarakat Limnologi Indonesia.Auditorium Pusinov
LIPI Tanggal 10 Desember 2015. Hal. 125136.

31

Anda mungkin juga menyukai