Oleh
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan paper tentang “Sistem Respirasi Pada Ikan” ini.
Shalawat serta salam senantiasa kita sanjung sajikan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta semua umatnya hingga kini. Dan
Semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Hanya Puji dan Syukur yang bisa penulis sampaikan sehingga paper yang
menjadi tugas mata kuliah Fisiologi Organisme Akuatik ini bisa terselesaikan
dengan baik. Dilain sisi, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan paper ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga paper ini dapat menjadi
salah satu panduan untuk lebih baik kedepannya bagi para pembaca. Kritik dan
saran senantiasa kami harapkan agar paper ini dapat lebih ditingkatkan
kedepannya.
i
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah..........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Klasifikasi Ikan...............................................................................................3
2.2 Habitat Ikan....................................................................................................4
2.3 Sistem Respirasi Ikan.....................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................9
3.1 Ikan Pari (Dasyati sp.)....................................................................................9
3.2 Ikan Kakap (Lates calcarifer).......................................................................11
3.3 Ikan Belut (Monopterus sp.).........................................................................12
3.4 Ikan Lele (Clarias batracus).........................................................................14
3.5 Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)....................................................19
BAB IV PENUTUP..............................................................................................23
4.1 Kesimpulan...................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Ikan Pari .......................................................................................10
Gambar 3.2. Perbandingan tingkat kerusakan jaringan....................................11
Gambar 3.3. Perbandingan profil organ insang Kakap Putih...........................12
Gambar 3.4. Ikan Belut.....................................................................................13
Gambar 3.5. a. arborescene dan b. insang........................................................14
Gambar 3.6. Histologis sistem respirasi ikan lele.............................................19
Gambar 3.7. Histologis filamen insang ikan lele..............................................19
Gambar 3.8. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di kolam......................20
Gambar 3.9. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam....................20
Gambar 3.10. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam...................20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar para pembaca dapat
memahami sistim respirasi pada hewan Vertebrata air terutama ikan, serta dapat
menambah pengetahuan mengenai alat pernafasan tambahan pada ikan.
1. Apa yang dimaksud dengan sistem respirasi ikan dan organ respirasi ikan ?
4. Bagaimana sistem kerja respirasi pada ikan Pari, Nila/Mas, kakap, Belut/Sidat
dan ikan Lele?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Anonim (a) (2008), ikan pari merupakan salah satu jenis ikan
yang termasuk sub kelas Elasmobranchii. Ikan ini dikenal sebagai ikan batoid,
yaitu sekelompok ikan bertulang rawan yang mempunyai ekor seperti cambuk.
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Chondrichtyes
Subkelas : Elasmobranchii
Famili : Dasyatidae
3
Klasifikasi ikan kakap merah (Lutjanus sp.) (Saanin, 1968) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Subordo : Percoidea
Famili : Lutjanidae
Genus : Lutjanus
Kelas : Pisces
4
Subkelas : Teleostei
Ordo : Synbranchoidae
Famili : Synbranchidae
Genus : Synbranchus
KINGDOM : ANIMALIA
Phylum : Chordata
Class : Pisces
Sub-Class : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Species : Clarias Sp
5
2.1.5 Ikan Mujair
Ikan pari (famili Dasyatidae) mempunyai variasi habitat yang sangat luas
dengan pola sebaran yang unik. Daerah sebaran ikan pari adalah perairan pantai
dan kadang masuk ke daerah pasang surut. Ikan pari biasa ditemukan di perairan
laut tropis. Di perairan tropis Asia Tenggara (Thailand; Indonesia; Papua Nugini)
dan Amerika Selatan (Sungai Amazon), sejumlah spesies ikan pari bermigrasi dari
perairan laut ke perairan tawar (Endang, 2009).
6
ditemukan dalam gerombolan besar dan cenderung hidup soliter dengan
lingkungan yang beragam mulai dari perairan dangkal, muara sungai, hutan
bakau, daerah pantai sampai daerah berkarang atau batu karang (Gunarso, 1995).
Habitat belut adalah di air tawar, seperti sungai, danau, rawa-rawa dan
sawah serta menyenangi tempat yang dangkal. Belut menyukai perairan yang
banyak mengandung lumpur seperti sawah, rawa-rawa, kolam ikan dan pinggiran
danau. Belut menyukai perairan tersebut, karena belut merendam atau mengubur
diri dalam lumpur. Belut membuat lubang persembunyian di dalam lumpur. Belut
hidup di air tawar dan dataran rendah hingga dataran tinggi, yaitu dan 0 sampai
lebih dan 1.200 m di atas permukaan laut (dpl). Belut termasuk jenis ikan yang
memiliki toleransi cukup tinggi dan penyebaran wilayah goegrafi yang cukup
luas. Namun untuk budi daya belut ketinggian yang cocok adalah 0-1.000 m dpl,
ini terkait dengan suhu yang ideal untuk pertumbuhan belut. Belut bisa hidup
dengan baik pada suhu 25-320 C. Sekalipun, belut dapat bertahan hidup pada
perairan minim oksigen dan dasar perairan yang mengandung bahan organik
tinggi, namun pada fase larva dan benih, belut tidak dapat bertahan pada perairan
minim oksigen. Karena itu, untuk pembenihan, kualitas air yang dibutuhkan
adalah suhu 25-32 derajat celcius oksigen 3-7, dan pH 5-7. Belut sawah berasal
dari Asia Timur dan Asia Tenggara barat. Belut sekarang bahkan dilaporkan telah
menghuni rawa-rawa di Hawaii, Florida, dan Georgia di Amerika Serikat dan
dianggap sebagai hewan invasif.
7
Habitat ikan lele di sungai dengan arus yang perlahan, rawa, telaga,
waduk, sawah yang tergenang air (Daulay,2010). Ikan lele relative tahan terhadap
kondisi lingkungan dengan kualitas air yang buruk. Ikan lele dapat di budidayakan
baik di kolam tanah, kolam semen, maupun kolam plastik terpal (Suprapto dan
Samtafsir,2013). Tingkah lanku lele bersifat nocturnal, yaitu aktif bergerak
mencaari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan
berlindung di tempat - tempat gelap (Daulay,2010). Pakan alami ikan lele adalah
binatang - binatang renik seperti kutu air dari kelompok Daphnia, Cladocera atau
Copepoda. Meskipun ikan lele bersifat karnivora, ikan ini akan memakan
dedaunan bila dibiasakan, sehingga lele juga disebut sebagai pemakan detritus
atau scavenger (Suprapto dan Samtafsir, 2013)
Insang merupakan ciri pernafasan pada ikan pada umumnya, termasuk hiu
dan pari. Secara embriologis celah insang hiu tumbuh sebagai hasil dari serentetan
evaginasi faring yang tumbuh ke luar dan bertemu dengan envaginasi dari luar.
Setiap kali mulut hiu dibuka maka air dari luar akan masuk ke faring kemudian
keluar lagi melalui celah insang. Peristiwa keluar masuknya air ini melibatkan
kartilago sebagai penyokong filament insang. Ikan hiu memiliki 5-7 pasang celah
insang ditambah pasangan celah anterior non respirasi yang disebut dengan
spirakel
8
2.3.2 Ikan Kakap
Belut bernafas dengan insang dan kulit tipis berlendir di dalam rongga
mulutnya. Ukuran insang sangat kecil, dilengkapi dengan lubang yang
menghubungkan insang dengan media di luar tubuh. Insang digunakan untuk
menghirup oksigen dari air, sementara saat berada di habitat lumpur dengan
sedikit air dan miskin kandungan oksigen, belut menggunakan lipatan kulit di
rongga mulutnya sebagai alat bantu pernafasan.
9
Belut juga memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam 2 kondisi alam yang
berbeda, kemudian para ahli menggolongkan belut sebagai kelompok air
breathing fishes, yaitu ikan yang mampu mengambil oksigen langsung dari udara
selama musim kering tanpa air di sekelilingnya. Hal ini dikarenakan belut
memiliki alat pernapasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat
didalam rongga mulut.
Berdasarkan pengamatan secara makroskopis, sistem respirasi ikan lele terdiri dari
insang dan labirin. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras,
dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas
banyak lamela, rigi-rigi insang (gill rakers), dan lengkung insang (arcus
branchialis). Menurut Bahuguna dkk. (2014), jumlah lamela pada hewan
tergantung dari ukuran dan aktivitas hewan tersebut, lebih besar dan lebih aktif
hewan maka lamela semakin banyak. Ikan lele memiliki organ pernapasan
tambahan yaitu labirin dan energi yang diserap dari makanan dapat digunakan
untuk tumbuh dan menjaga kelangsungan hidupnya (Extrada dkk., 2013). Organ
labirin bernama divertikula yang terletak di bagian atas insang yang
memungkinkan menyerap oksigen dari udara sehingga mampu hidup di tempat
yang kekurangan air. Sebagaimana ikan-ikan yang juga mempunyai labirin, ikan
gabus mampu bertahan dalam kondisi perairan rawa dengan kandungan oksigen
terlarut rendah dan pH berkisar 4,5-6 (Listyanto dan Adriyanto, 2009;
Muthmainnah, 2013). Ikan yang memiliki alat bantu pernapasan mampu
10
memanfaatkan oksigen yang ada di atmosfer sebagai sumber gas pernapasan,
sehingga ikan gabus mampu mempertahankan hidupnya lebih dari 8 jam tanpa air
(Chandra dan Banerjee, 2004).
11
BAB III
PEMBAHASAN
Secara umum Pari mempunyai bentuk tubuh sangat pipih, gepeng melebar
( depressed ) sehingga menyerupai piringan cakram yang lebarnya ditambah sirip
dada yang lebar seperti sayap yang bergabung dengan bagian depan kepala
(Gambar 1). Apabila dilihat dari bagian atas (anterior) dan bawah (posterior),
tubuh Pari tampak oval atau membundar (Last & Stevens 2009). Lebar atau
12
luasan piringan cakram tersebut dapat mencapai 1,2 kali dari panjangnya dan
umumnya diduga dapat untuk melihat pola pertumbuhan serta ukuran pada saat
ikan matang gonad (Henningsen & Leaf 2010).
Gambar 3.1. Ikan Pari; A. Sirip dada yang menyatu dengan bagian depan kepala,
B. Mata, C.Lubang bernafas, D. Batang ekor, E. Duri penyengat (Mc Eachran &
de Carvalho 2013).
Mata Ikan Pari cenderung menonjol dan terletak di bagian samping kepala.
Pada bagian belakang mata terdapat lubang yang berfungsi untuk bernafas . Udara
hasil pernafasan dibuang melalui celah insang ( gill opening atau gill slits ) yang
berjumlah lima sampai enam pasang, dan terdapat di sisi kepala bagian ventral
atau bawah. Bentuk mulutnya terminal, dengan posisi di bagian bawah tubuh.
Sirip punggung hampir dikatakan tidak ada atau tidak jelas terlihat (Sylvy Meyta
Kinakesti dan Gema Wahyudewantoro, 2017).
Insang merupakan ciri pernafasan pada ikan pada umumnya, termasuk hiu
dan pari. Secara embriologis celah insang hiu tumbuh sebagai hasil dari serentetan
evaginasi faring yang tumbuh ke luar dan bertemu dengan envaginasi dari luar.
Setiap kali mulut hiu dibuka maka air dari luar akan masuk ke faring kemudian
keluar lagi melalui celah insang. Peristiwa keluar masuknya air ini melibatkan
kartilago sebagai penyokong filament insang. Ikan hiu memiliki 5-7 pasang celah
insang ditambah pasangan celah anterior non respirasi yang disebut dengan
spirakel (Sylvy Meyta Kinakesti dan Gema Wahyudewantoro. 2017)
13
Ikan Pari mendiami perairan pesisir tropis dan subtropis yang hangat dan
beberapa diantaranya dapat dijumpai di perairan tawar. Seringkali Pari dijumpai
berenang di perairan dangkal, atau bahkan berdiam diri di dalam pasir. Di muara
sungai Cibariang Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang
Banten, Pari jenis Himantura sp. dan Taeniural sp. terlihat diantara akar-akar
tumbuhan mangrove (Wahyudewantoro & Dahruddin 2015).
Secara umum Pari mempunyai bentuk tubuh sangat pipih, gepeng melebar
(depressed ) sehingga menyerupai piringan cakram yang lebarnya ditambah sirip
dada yang lebar seperti sayap yang bergabung dengan bagian depan kepala.
Apabila dilihat dari bagian atas (anterior) dan bawah (posterior), tubuh Pari
tampak oval atau membundar (Last & Stevens 2009). Lebar atau luasan piringan
cakram tersebut dapat mencapai 1,2 kali dari panjangnya dan umumnya diduga
dapat untuk melihat pola pertumbuhan serta ukuran pada saat ikan matang gonad
(Henningsen & Leaf , 2010).
3.2 Ikan Kakap (Lates calcarifer)
Struktur histologi insang terdiri dari beberapa lamela primer dan satu
lamela primer terdiri dari beberapa lamella sekunder. Ukuran panjang dan lebar
lamela sekunder cenderung hampir sama. Sel-sel pernapasan ikan hanya terdiri
dari dua atau tiga lapis epitel yang terletak di membran basal. Sel-sel tersebut
terbungkus oleh selaput epidermis yang tipis dan bersifat semipermeabel (Sukarni
dkk., 2012).
14
Gambar 3.2. Perbandingan tingkat kerusakan jaringan (Lates calcarifer) setelah
diinjeksi dengan Vibrio alginolyticus
15
Gambar 3.3. Perbandingan profil organ insang Kakap Putih dengan pewarnaan H-
E perbesaran 400x. Keterangan: 1. Lamela Primer, 2. Lamela Sekunder, 3.
Nekrosis, 4. Ruptur Epitel, dan 5. Hiperplasia.
3.3 Ikan Belut (Monopterus sp.)
16
Gambar 3.4. Belut
Belut bernafas dengan insang dan kulit tipis berlendir di dalam rongga
mulutnya. Ukuran insang sangat kecil, dilengkapi dengan lubang yang
menghubungkan insang dengan media di luar tubuh. Insang digunakan untuk
menghirup oksigen dari air, sementara saat berada di habitat lumpur dengan
sedikit air dan miskin kandungan oksigen, belut menggunakan lipatan kulit di
rongga mulutnya sebagai alat bantu pernafasan. Alat pernapasan tambahan ini
memiliki fungsi untuk mengambil oksigen secara langsung dari udara, selain
insangnya juga bertugas mengambil oksigen dari air (Sarwono, 2011). Belut akan
melakukan aktivitasnya pada malam hari dan cenderung akan bersembunyi di
celah- celah tanah liat. (Wirosaputro, 2009).
Belut bertahan pada perairan yang minim oksigen dan kekeringan, asalkan
masih becek dan tubuhnya masih basah. Hal ini karena belut mempunyai alat
pernapasan tambahan, yakni berupa kulit tipis berlendir yang terdapat di rongga
mulut. Alat tersebut berfungsi untuk menyerap oksigen secara langsung dan
udara, selain insangnya yang digunakan untuk menghirup oksigen di dalam air.
Organ pernapasan tambahan pada belut biasanya terdapat pada ikan yang hidup di
perairan yang minim oksigen, seperti ikan yang hidup di perairan bersuhu tinggi,
air tenang, atau perairan yang miskin oksigen akibat adanya penguraian bahan
organik.
17
Organ pernapasan tersebut biasanya berupa arboresen yang terdapat pada
bagian rongga buko-faring dan branchi, dinding lambung atau usus dan
gelembung renang. Pada belut (Monopterus sp) rongga buko-faring-nya memiliki
lapisan mukosa tipis dan berkapiler darah yang berfungsi untuk pernapasan di
udara. Sering kali belut menampakkan sebagian tubuhnya di luar air dan
membiarkan bagian ekornya saja yang berada di dalam air, hal ini berarti kapiler-
kapiler darah pada kulitnya (cutane) membantu dalam pernapasan.
Belut dapat hidup di perairan tenang minim oksigen dan perairan yang
berlumpur, karena dapat mengambil oksigen langsung dan udara. Belut juga
bertahan hidup di dalam lumpur yang mulai mengering, tapi masih becek. Belut
terus bertahan jika kulit tubuhnya masih lembab. Belut akan berjalan mencari
sumber air jika lingkungan yang ditempatinya telah mengering. Karena mampu
menghirup oksigen langsung dari udara, maka belut dapat bertahan hidup tanpa
air cukup lama, asalkan tubuhnya selalu basah. Pada siang hari, belut berdiam di
dalam lubangnya, namun jika terdapat mangsa atau makanan yang dekat dengan
lubangnya dengan segera disergap, karena itu belut dapat dipancing pada siang
hari. Pada malam hari, belut ke luar dari lubangnya mencari makan di sekitar
lubang. Jika bahaya mengancam, belut segera masuk kembali ke dalam lubang.
Tentang Belut. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Belut. Diunduh oktober
2015
3.4 Ikan Lele (Clarias batracus)
18
Proses pernafasan pada ikan dimulai dari ikan membuka mulut dan
menutup operkulumnya sedemikian rupa sehingga air yang kaya oksigen dapat
terdorong ke dalam mulut dan melewati insang. Jaringan pembuluh darah dalam
insang akan menangkap oksigen dan melepaskan karbondioksida dan buangan
respirasi lainnya. Terakhir ikan akan menutup mulutnya dan membuka operkulum
untuk mengalirkan air yang telah melalui insang (Harpeni et.all 2011).
Organ labirin bernama divertikula yang terletak di bagian atas insang yang
memungkinkan menyerap oksigen dari udara sehingga mampu hidup di tempat
19
yang kekurangan air. Sebagaimana ikan-ikan yang juga mempunyai labirin, ikan
gabus mampu bertahan dalam kondisi perairan rawa dengan kandungan oksigen
terlarut rendah dan pH berkisar 4,5-6 (Listyanto dan Adriyanto, 2009;
Muthmainnah, 2013). Ikan yang memiliki alat bantu pernapasan mampu
memanfaatkan oksigen yang ada di atmosfer sebagai sumber gas pernapasan,
sehingga ikan gabus mampu mempertahankan hidupnya lebih dari 8 jam tanpa air
(Chandra dan Banerjee, 2004).
Ikan bernapas dengan Insang (branchia) yang terdapat di sisi kanan dan
kiri kepala. Insang berbentuk lembaran-lembaran tipis berwarna merah muda dan
selalu lembap. Bagian terluar dari insang berhubungan dengan air, sedangkan
20
bagian dalam berhubungan erat dengan kapiler-kapiler darah. Tiap lembaran
insang terdiri dari sepasang filamen, dan tiap filamen mengandung banyak lapisan
tipis (lamela). Pada filamen terdapat pembuluh darah yang memiliki banyak
kapiler sehingga memungkinkan Oksigen berdifusi masuk dan Karbondioksida
berdifusi keluar. Insang pada ikan bertulang sejati ditutupi oleh tutup insang yang
disebut operkulum, sedangkan insang pada ikan bertulang rawan tidak ditutupi
oleh operculum (Defrianto Alfika Putra, 2013).
21
oksigen terbatas dan tahan terhadap kondisi limbah, Clarias batrachus dapat
hidup dengan baik di dataran rendah sampai daerah perbukitan yang tidak terlalu
tinggi. Adapun kondisi lingkungan yang optimal bagi Clarias batrachus adalah
jenis tanah liat/lempung, tidak berporos, berlumpur dan subur. Lahan yang dapat
digunakan untuk budidaya lele dapat berupa: sawah, kecomberan, kolam
pekarangan, kolam kebun, dan blumbang. Ikan lele hidup dengan baik di daerah
dataran rendah sampai daerah yang tingginya maksimal 700 m dpl. Elevasi tanah
dari permukaan sumber air dan kolam adalah 5-10%. Ikan lele dapat hidup pada
suhu 20 C, dengan suhu optimal antara 25-28C ( Mahyudin 2011).
Terdapat beberapa perubahan atau kerusakan yang terjadi pada jaringan/ organ
insang ikan antara lain inflamasi, edema, hemoragi dan kongesti, nekrosis, dan
hiperplasia lamela sekunder. Inflamasi (peradangan) ditandai dengan vasodilatasi
pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang
berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran banyak
sekali keruang interstisial, seringkali terjadi pembekuan cairan dalam ruang
interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari
kapiler dalam jumlah berlebihan, inflamasi merupakan suatu respon pertahanan
jaringan yang rusak dan terjadi pada semua vertebrata. Inflamasi dapat
mengakibatkan pembatasan area yang terluka dari jaringan yang tidak mengalami
inflamasi. Ruang jaringan dan cairan limfatik dalam daerah yang meradang
22
dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga sedikit saja cair yang melintasi ruang
(Defrianto Alfika Putra, 2013).
Labirin terdiri dari tunika mukosa dan tunika submukosa. Histologis sistem
respirasi ikan lele ditampilkan :
Gambar 3.6. Histologis sistem respirasi ikan lele. Insang (A), labirin (B),
lengkung insang (li), filamen insang (fi), tunika mukosa (tm), tunika
submukosa (tsb). HE (Perbesaran : A. 4x, B. 10x)
23
Gambar 3.7. Histologis filamen insang ikan lele. Lamela primer (lp), lamela
sekunder (ls). HE (Perbesaran 10x)
3.5 Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)
Gambar 3.8. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 2B dan 3 yang
Mengalami Edema Lamela Sekunder (B) Dibandingan dengan Insang Normal (A)
(Perbesaran 400x) (El-Shebly and Gad, 2011).
Gambar 3.9. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 3. (A) Hiperplasia
Lamela Sekunder, dan (B) Fusi Lamela Sekunder.
24
Gambar 3.10. Gambaran Histologi Insang yang Hidup di Kolam 2B (A)
Telengiektaksis, (B) Fusi Lamela Sekunder, dan (C) Hiperplasia Lamella
Sekunder. (Gambar atas perbesaran 100x dan gambar bawah perbesaran 400x).
Perubahan histologi yang terjadi pada jaringan insang karena keadaan air di
lagoon baik di kolam 2B maupun kolam 3 sangat keruh. Kekeruhan tersebut
25
karena jumlah materi yang terlarut dalam air yang banyak, sehingga semakin
banyak materi yang terlarut dapat menyebabkan air semakin keruh. Hal ini
diperkuat dengan hasil analisis air yang menunjukkan tingginya nilai zat yang
tersuspensi pada kolam 2B sebesar 538,1 mg/L dan pada kolam 3 sebesar 524,3
mg/L dimana ambang batas hanya sebesar 50 mg/L.
Aulia dkk (2014) menyatakan bahwa tingginya nilai Total Suspended Solid
(TSS) dapat menganggu sistem respirasi pada ikan. Air masuk melalui lamela-
lamela insang, sehingga materi yang tersuspensi dalam air sangat mudah
menempel pada mukus insang. Semakin banyak materi yang menempel maka sel
mukus pada insang akan memproduksi lebih banyak mukus. Mukus ini berfungsi
untuk menangkap partikel asing dari air yang masuk ke dalam insang. Banyaknya
mukus di lamela ini yang menyebabkan difusi oksigen terganggu (Indrayani dkk.,
2011), akibatnya tubuh akan mengalami hipoksia (kekurangan oksigen dalam
jaringan). Hipoksia dapat menyebabkan efek patologis pada organ hati, limfa, dan
insang (Sipahutar dkk., 2012).
Selain perubahan histologi yang telah ditemukan pada insang juga ditemukan
patologi berupa telengiektaksis (Gambar 3). Telengiektaksis merupakan patologi
akibat adanya edema dan hiperplasia yang mengakibatkan salah satu bagian
mengalami pembengkakan dan bagian lain mengecil, sehingga terjadi
penyempitan pembuluh darah yang berdampak pada penumpukan darah pada
salah satu bagian. Hal ini diperkuat dengan penelitian bahwa paparan besi (Fe)
pada ikan dapat menyebabkan telengiektaksis dan hemoragi pada insang (Lujic et
al., 2013).
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah Sistem Respirasi pada ikan
ini adalah:
27
DAFTAR PUSTAKA
El-Shebly, A.A And H.A. M. Gad. 2011. Effect Of Chronic Amonia Exposure Nn
Growth Performance, Serum Growth Hormone (GH) Levels And Gill
Histology Ff Nile Tilapia (Oreochromis Niloticus). Journal Of
Microbiology And Biotechnology Research. 1(4): 183197.
Genten, F., E. Terwinghe And A. Dangui. 2009. Atlas Of Fish Histology. Science
Publishers. USA.
Henningsen, A.D & R.T. Leaf. 2010. Observations On The Captive Biology Of
The Southern Stingray. T R A N S A C Ti O N S O F The American
Fisheries Society 139:783– 791.
28
Huri E, & Syafriadiman. 2009. Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. Volume 37
Nomor 2 (Pengaruh Konsentrasi Alk (SO4)2 12H2O (Aluminium
Potassium Sulfat) Terhadap Perubahan Bukaan Operkulum Dan Sel
Jaringan Insang Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus).
Universitas Riau : Riau
Indrayani, D., Yusfiati, Dan R. Elvyra. 2014. Struktur Insang Ikan Ompok
Iypophthalmus (Bleeker 1846) Dari Perairan Sungai Siak Kota
Pekanbaru. JOM FMIPA. 1(2): 402-408.
Last, P.R & J.D. Stevens. 2009. Sharks And Rays Of Australia Second Edition.
CSIRO. Victoria Asutralia.
Maftuch, M, V.D Putri, M.H Lulloh Dan F.K.H Wibisono. 2015. Studi Ikan
Bandeng (Chanos Chanos) Yang Dibudidayakan Di Tambak Tercemar
Limbah Kadmium (Cd) Dan Timbal (Pb)Di Kalanganyar, Sidoarjo, Jawa
Timur Terhadap Histologi Hati, Ginjal Dan Insang. Journal Of
Environmental Engineering And Sustainable Technology. 2(2): 114-122.
29
Musman M ,Sofyatudin K & Kavinta M. 2009. Jurnal Depik. Volume 1 Nomor 1
(Uji Selektifitas Ekstrak Etil Asetat Biji Putat Air Terhadap Keong Mas
Dan Ikan Lele Lokal). Universitas Syiah Kuala : Banda Aceh
Putra, Defrianto Alfika. 2013. Ram Jet Ventilation, Perubahan Struktur Morfologi
Dan Gambaran Mikroanatomi Insang Ikan Lele (Clarias Batrachus)
Akibat Paparan Limbah Cair Pewarna Batik. Skripsi, Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Dr. Lisdiana, M.Si
Dan Ir. Tyas Agung Pribadi M.Sc, ST.
Saputra, H.M., N. Marusin Dan P. Santoso. 2013. Struktur Histologis Insang Dan
Kadar Hemoglobin Ikan Asang (Osteochilus Hasseltii C.V) Di Danau
Singkarak Dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas. 2(2): 138-144.
Sylvy Meyta Kinakesti Dan Gema Wahyudewantoro. 2017. Kajian Jenis Ikan
Pari (Dasyatidae) Di Indonesia. Vol 16 (2): 17-25
Wahyu Puji Lestari, Dkk. 2018. Histological Structures Of Gills Of Tilaphia Fish
(Oreochromis Mossambicus L.) As A Water Quality Indicator In The
Nusa Dua Sewage Tretment Ponds, Bali. SIMBIOSIS VI (2):45−49
ISSN: 2337-7224 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana.
30
Banten. Prosiding Masyarakat Limnologi Indonesia.Auditorium Pusinov
LIPI Tanggal 10 Desember 2015. Hal. 125136.
31