Anda di halaman 1dari 159

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum mata kuliah

“Limnologi” tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada para asisten

praktikum Limnologi karena telah memberikan arahan dan bimbingan

sehingga laporan ini dapat disusun dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini terdapat banyak

kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa serta materi yang terdapat di

dalamnya. Oleh karena itu, penulis menerima kritikan yang sifatnya

membangun demi kesempurnaan laporan praktikum di masa yang akan

datang. Semoga laporan praktikum ini bermanfaat bagi kita semua.

Purworejo,Mei 2020
ACARA I

ANALISIS SIFAT FISIK AIR DI SUNGAI PANEMON

Oleh :

Nama : Abdul Rahman

NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2020
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup

orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber

daya air tersebut harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik

oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai

kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan

kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang (Nugroho, 2008 dalam

Ali et al, 2013). Salah satu sumber air yang banyak dimanfaatkan untuk

memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya yaitu sungai.

Sungai merupakan ekosistem yang sangat penting bagi manusia. Sungai juga

menyediakan air bagi manusia baik untuk berbagai kegiatan seperti pertanian,

industri maupun domestik (Siahaan et al, 2011 dalam Ali et al, 2013).

Air sungai yang keluar dari mata air biasanya mempunyai kualitas yang

sangat baik. Namun dalam proses pengalirannya air tersebut akan menerima

berbagai macam bahan pencemar (Sofia et al., 2010 dalam Ali, 2013). Beberapa

tahun terakhir ini, kualitas air sungai di Indonesia sebagian besar dalam

kondisi tercemar, terutama setelah melewati daerah pemukiman, industri dan

pertanian (Simon et al, 2008 dalam Ali, 2013). Meningkatnya aktivitas domestik,

pertanian dan industri akan mempengaruhi dan memberikan dampak

terhadap kondisi kualitas air sungai terutama aktivitas domestik yang

memberikan masukan konsentrasi BOD terbesar ke badan sungai (Priyambada

et al., 2008 dalam Ali et al, 2013).


Sungai merupakan perairan yang mengalir karena kualitas airnya selalu

berubah dari waktu ke waktu atau bersifat dinamis. Soetjipto (1999:97)

menyatakan “Ekosistem air tawar memiliki kepentingan yang sangat berarti

dalam kehidupan manusia karena ekosistem air tawar merupakan sumber

paling praktis dan murah untuk memenuhi kepentingan domestik dan

industri”. Oleh karena itu, sungai merupakan salah satu tipe ekosistem

perairan umum yang berperan bagi kehidupan biota dan juga kebutuhan

manusia untuk berbagai macam kegiatan seperti pertanian dan industri yang

dipengaruhi oleh banyak faktor, baik oleh aktifitas alam maupun aktifitas

manusia di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Susanto et al, 2012).

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum acara analisis sifat fisik air adalah

1. Untuk mengetahui teknik pengukuran parameter fisika di Sungai

Panemon.

2. Untuk mengetahui teknik analisis perbandingan parameter fisika Sungai

Panemon masing-masing titik pengambilan sampel.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran

penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

(Catchment area) bagi daerah sekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat

dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan sekitarnya. Sebagai

suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai komponen biotik dan abiotik

yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang saling

mempengaruhi (Setiawan, 2009 dalam Mushthofa, 2014).

Menurut Mulyanto (2007) dalam Purnama (2015) sungai memiliki fungsi utama

yaitu mengalirkan air dan mengangkut material sedimen hasil erosi pada daerah

aliran sungai (DAS) dan alurnya. Material sedimen ini sebagian akan terbawa air

banjir ke luar alur aliran untuk kemudian diendapkan dan sebagian besar lainnya

akan terbawa sampai ke laut atau muara sungai. Berdasarkan hal tersebut maka

muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran atau pembuangan debit sungai

terutama pada saat banjir ke laut. Selain itu, muara sungai mempunyai nilai

ekonomis yang penting karena dapat berfungsi sebagai alur penghubung antara laut

dengan daerah yang cukup dalam di daratan. Permasalahan yang sering dihadapi

adalah adanya sedimentasi dan abrasi di sekitar muara yang dapat mempengaruhi

kualitas perairan sekitarnya.

Sungai merupakan perairan umum dengan sistem terbuka yang pergerakan

airnya satu arah (unidireksional). Tipologi sungai atau perairan mengalir

mempunyai ciri khas yaitu arah aliran, kecepatan aliran dan dasar aliran. Massa air

mengalir ke satu arah sehingga apa yang terjadi di daerah hulu dampaknya akan
terbawa ke daerah hilir tetapi tidak sebaliknya. Daerah hulu dicirikan dengan aliran

deras, adanya arus turbulensi, rata-rata suhu tahunannya tidak melebihi 20 0 C pada

musim panas, substrat kasar yang terdiri dari batuan besar, batu kerikil, dan puing-

puing (Angelier, 2003 dalam Krisanti et al, 2013). Di beberapa wilayah Indonesia suhu

di daerah hulu sungai berkisar antara 19 – 26 0C (Y. Wardiatno; unpublished data

dalam Krisanti et al, 2013).

2.1.1. Sungai Panemon

Sungai Panemon merupakan salah satu sungai kecil yang berada di Dusun

Kebanggan Kec. Sumbang, Kab. Banyumas, Jawa Tengah. Daerah Aliran Sungai

(DAS) Panemon secara keseluruhan dengan titik koordinat 7.37667 ° S 109.265 ° E.

Dengan kondisi di sekitar hulu sungai ini dikelilingi oleh semak-semak, di bagian

tengah sungai ini dikelilingi oleh pepohonan, dan di hilir sungai ini berada di sekitar

pemukiman warga. Sungai tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk

keperluan MCK, irigasi, bahkan untuk membuang limbah industri rumah tangga.

Akibat pemanfaatan tersebut sungai Panemon mengalami perubahan dari aspek

fisika,kimia dan biologinya.

2.2. Faktor Fisik Perairan Lotik

2.2.1. Suhu

Pada suatu perairan suhu memegang peranan penting dalam siklus materi,

yang akan mempengaruhi sifat fisik kimia dan biologi perairan. Suhu berpengaruh

terhadap kelarutan oksigen dalam air, proses metabolisme dan reaksi-reaksi kimia

dalam perairan. Kenaikan suhu dalam perairan dapat meningkatkan metabolism

tubuh organisme termasuk bakteri pengurai, sehingga proses dekomposisi bahan

organik juga meningkat. Proses ini menyebabkan kebutuhan akan oksigen terlarut
menjadi tinggi yang selanjutnya kandungan oksigen terlarut di dalam air menjadi

menurun ( Sastrawijaya, 1991 dalam Gazali, 2013).

2.2.2. Kecepatan Arus

Arus air adalah faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting baik

pada perairan lotik maupu pada perairan lentik. Sedangkan kecepatan arus berperan

penting dalam perairan, misalnya, pencampuran masa air, pengangkutan unsur

hara, transportasi oksigen. Pada saat yang sama penting bagi usaha budidaya dalam

hal sistem penjangkaran, pengrusakan instalasi (penempelan biofouling,

pengubahan posisi kerambah), sirkulasi air dan pengangkutan sisa pakan. Setiap

proses aktivitas pasang maupun surut menimbulkan arus (Wibisono, 2005 dalam

Wardi, 2017).

2.2.3. Debit Air

Debit adalah volume per satuan waktu. Waktu konsentrasi adalah waktu yang

diperlukan limpasan air hujan dari titik terjauh menuju titik kontrol yang ditinjau

(Barid dan Yakob, 2007 dalam Neno, 2016). Debit air sungai tergantung pada curah

hujan dan kualitas ruang hidrologi. Debit adalah laju aliran air (dalam bentuk

volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu.

Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per

detik (m3/dt) (Asdak C. 1995 dalam Gazali, 2013).

2.2.4. Kekeruhan

Mahida (1986) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di

dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan

umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat,

lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya


2.2.5. TDS

Padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami

evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu (APHA, 1989). Padatan yang terdapat

di perairan diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameter partikel

yang diklasifikasikan.Sugiharto (1987) mendefinisikan sebagai jumlah berat dalam

air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikro.

2.2.6. Konduktivitas

Daya Hantar Listrik (DHL) adalah gambaran numerik dari kemampuan air

untuk menghantarkan aliran listrik. Oleh karena itu, semakin banyak garam-garam

terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL.

2.2.7. Penetrasi Cahaya

Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan

cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu (Sari dan Usman, 2012

dalam Wardi, 2017). Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat

kaitannya dengan aktifitas fotosintesa. Kecerahan merupakan faktor penting bagi

proses fotosintesa dan produksi primer dalam suatu perairan.

2.2.8. Tipe Substrat

Susbstrat didefinisikan sebagai campuran dari lumpur, pasir dan tanah liat.

Pada perairan yang arusnya kuat, lebih banyak ditemukan substrat yang kasar yaitu

pasir atau kerikil karena partikel kecil akan terbawa arus air. Jika perairannya tenang

dan arusnya lemah, maka lumpur halus akan mengendap (Brower and Zar, 1977

dalam Sari et al, 2016).

2.2.9. Warna
Warna perairan dapat ditimbulkan karena adanya bahan-bahan organik

(keberadaan plankton atau humus) maupun anorganik (seperti ion-ion logam besi,

dan mangan). Adanya kandungan bahan-bahan anorganik seperti oksida pada besi

menyebabkan air bewarna kemerahan, sedangkan oksida pada mangan

menyebabkan air menjadi berwarna kecoklatan/kehitaman. Kalsium karbonat yang

berasal dari daerah berkapur juga dapat menimbulkan warna kehijauan pada air

(Effendi, 2003).

2.2.10. Bau

Beberapa sumber utama bau adalah hidrogen sulfida dan senyawa organik yang

dihasilkan oleh dekomposisi anaerob. Selain menyebabkan keluhan, bau mungkin

merupakan salah satu tanda dari adanya gas beracun atau kondisi anaerob pada unit

yang dapat memiliki efek merugikan bagi kesehatan atau dampak lingkungan

(Vanatta, 2000).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat
Tabel 1. Alat praktikum

N Nama alat Ukuran/ Mere Fungsi


o jumlah k
1 Termometer 1 - Mengukur suhu perairan
2 Botol 600 ml / 6 - Menyimpan air sampel
Mineral
3 Turbidimeter 1 - Mengukur kekeruhan
4 Stopwatch 1 - Mengukur waktu
5 Tali 10 m - Mengukur kecepatan
arus
6 Desikator 1 - Mendinginkan kertas
saring
Timban
7 1 - Menimbang kertas
gan saring
Analit
ik
8 Secci disc 1 - Mengukur kecerahan air
9 Kertas no. 41 / 3 - Meyaring residu air
Whatman sampel
1 Oven 1 - Mengeringkan kertas
0 saring
1 TDS meter 1 - Mengukur TDS
1

3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan praktikum

N Nama Ukuran/ Mer Fungsi


o bahan jumlah ek
Bahan pengukuran dan
Untuk disaring pada
1 Air - -
kertas whatmann no 41
sampel
pada
pengukuran TSS
Untuk pembilasan pada
2 Akuades - - saat pengukuran TSS
serta
pengencer

3.2. Metode
3.2.1. Suhu

Termometer celcius dengan bantuan nilon di celupkan ke dalam badan air yang

akan diteliti selama ± 10 menit. Angka yang tertera pada skala termometer yang

konstan di catat.

3.2.2. Kecepatan Arus

Sebuah botol mineral diisi air dengan volume 80%. Botol tersebut diikat

dengan tali sepanjang 10 m. Botol berisi air dan terikat dengan tali kemudian

dilepaskan di sungai sampai tali merenggang dengan sempurna. Perhitungan waktu

dimulai pada saat botol pertama kali dilepaskan sampai tali merenggang.

3.2.3. Debit Air

Pengukuran debit air dilakukan dengan cara pengukuran kecepatan arus dan

luas area sungai terlebih dahulu. Apabila kecepatan arus sudah diketahui, kemudian

luas area sungai diukur. Luas area sungai diukur dengan cara menghitung

kedalaman tiap jarak satu meter lebar sungai. Lebar sungai diukur dengan tiang

pancang secara horizontal dari batas air di bagian tepi sungai. Pengukuran dimulai

dari tepi yang satu sampai ke tepi yang lain. Setelah kedalaman tiap satu meter dan

lebar sungai diketahui, kita dapat mengukur luas area tiap satu meter. Luas area

sungai merupakan jumlah dari luas area sungai yang diukur tiap meter.

3.2.4. Kekeruhan

Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan menggunakan alat turbidimeter.

Turbidimeter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Setelah

itu kuvet diisi dengan air sampel, diukur, dan dicatat hasilnya.

3.2.5. TSS (Total Suspended Solid)


Kertas saring Whatman No. 41 yang akan digunakan terlebih dahulu dibilas

dengan akuades dan dikeringkan pada suhu 103 – 105 0C selama ± 1 jam. Kemudian

didinginkan dalam desikator (± 15 menit) dan ditimbang (sebagai nilai B). Setelah itu

saring sampel air sebanyak 50 – 100 mL dengan menggunakan kertas saring yang

telah ditimbang tersebut. Selanjutnya keringkan kembali kertas saring yang berisi

bahan-bahan yang tersaring tersebut pada suhu 103 – 105 0C selama ± 1 jam.

Kemudian didinginkan dalam desikator (± 15 menit) dan ditimbang beratnya

(sebagai nilai A).

Rumus perhitungannya yaitu sebagai berikut :

3.1.1. TDS (Total Dissolved Solid)

Pengukuran TDS dilakukan dengan menggunakan alat TDS meter. TDS meter

terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Setelah itu, kuvet diisi

dengan air sampel, diukur dan dicatat hasilnya.

3.1.2. Daya Hantar Listrik (DHL)

Pengukuran daya hantar listrik menggunakan alat TDS meter merk Lutron

YK-22CT. TDS meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada,

setelah itu kuvet diisi dengan air contoh, diukur dan hasiilnya dicatat.

3.1.3. Penetrasi Cahaya

Secchidisc diturunkan ke suatu kedalaman air tertentu, yaitu sampai tepat

hilang dari pandangan. Pada batas ini hanya tinggal 10 % saja intensitas cahaya

matahari yang menimpa permukaan air. Rumus perhitungannya adalah sebagai

berikut:
3.2.6. Tipe Substrat

Pengamatan tipe substrat dilakukan dengan mengambil bagian dasar kolam

dan dilihat jenis kandungan substrat nya.

3.2.7. Kedalaman

Dengan mengukur menggunakan secchi disc, ditenggelamkan ke perairan

hingga sekiranya sudah menuju dasar perairan, lalu dihitung tinggi air di perairan

tersebut

3.2.8. Warna

Warna air diamati dengan cara pengambilan sampel air sungai dengan botol

mineral atau telapak tangan. Warna yang tampak di dalam botol atau telapak tangan

itulah yang disimpulkan menjadi warna air.

3.2.9. Bau

Sampel air diambil dengan menggunakan botol atau telapak tangan.

Kemudian sampel dicium baunya. Bau yang didapat dan diperoleh dari pandangan

minimal lima orang itulah yang disimpulkan bau air.

3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari sabtu 2 Mei 2020 di Google classroom

pada pukul 8;30 hingga selesai.Pengamatan terhadap sampel dilakukan secara

online/daring.

3.4. Analisis Data

Data pengamatan yang dapat dianalisis secara deskriptif dengan histogram

atau diagram batang antara titik sampling dan dengan bantuan tabel.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Fisik Sungai Panemon

Sungai Panemon Standar


Satua
Parameter Hulu Tengah Hilir Baku Pustaka
n
Mutu
Penetrasi Cm 28.5 19.8 24.35 20-40 PP NO. 82
Cahaya Tahun
2001
Suhu o
C 25.9 29.3 27.3 27–32 PP NO. 82
Tahun
2001
Tentang
Pengelola
an
Kualitas
Air dan
Pengendal
ian
Pencemar
an Air
Kec. Arus m/s 0.81 0.39 0.55 0.2–0.5 PP NO. 82
Tahun
2001
Tentang
Pengelola
an
Kualitas
Air dan
Pengendal
ian
Pencemar
an Air
Kedalaman M 0.493 0.473 0.657 2 PP NO. 82
Tahun
2001
Tentang
Pengelola
an
Kualitas
Air dan
Pengendal
ian
Pencemar
an Air
Debit Air m3/s 1.06 0.53 0.82 0.54– PP NO. 82
1.14 Tahun
2001
Kekeruhan NTU 2.54 2.96 2.62 5 Keputusa
n Menteri
Negara
Lingkung
an Hidup
No. 51
Tahun
2004
Tentang
Baku
Mutu Air
Laut
DHL µS/c 87.3 80.3 109.3 139–186 PP NO.82
m Tahun
2001
tentang
Pengelola
an
Kualitas
Air dan
Pengendal
ian
Pencemar
an Air
Bau Air – Amis Deterge Limba Amis PP NO. 82
n h Kayu Tahun
2001
Tentang
Pengelola
an
Kualitas
Air dan
Pengendal
ian
Pencemar
an Air
Warna Air – Tidak Cokelat Abu– Tidak PP NO. 82
Berwa Kehijaua abu Berwar Tahun
rna n na 2001
Tentang
Pengelola
an
Kualitas
Air dan
Pengendal
ian
Pencemar
an Air
Tipe Substrat – Batu Pasir Bebatu Berbatu PP NO. 82
Berpa berbatu an dan Tahun
sir pasir 2001
Tentang
Pengelola
an
Kualitas
Air dan
Pengendal
ian
Pencemar
an Air

4.2. Pembahasan

4.2.1. Suhu

Berdasarkan hasil data didapat bahwa suhu di Sungai Panemon daerah hulu

nilai suhunya 25,9 ℃ , daerah tengah nilainya 29,3 ℃ dan hilir nilainya 27,3 ℃.suhu

disetiap bagian berbeda-beda Namun suhu air sungai dipengaruhi oleh variasi

musim, iklim elevasi dan vegetasi sepanjang aliran sungai. Pada suatu perairan suhu

air tidak begitu banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan suhu udara.

Hal itu disebabkan panas jenisnya lebih tinggi dari udara (Allan 2001 dalam
Herdina2014).

Suhu Sungai Panemon


40

35

30 29.3
27.3
25.9
25

20

15
Suhu Sungai
10 Panemon

0
Hulu Tengah Hilir

Dari hasil grafik tersebut didapatkan nilai suhu tertinggi di bagian tengah sebesar

29,3 ℃ dan suhu paling kecil dibagian hulu yaitu 25,9 ℃.Perbedaan nilai suhu

maksimun dan minimun tersebut dapat terjadi kemungkinan karena faktor

perbedaan waktu dan penetrasi cahaya matahari. Menurut Dallas (2008), bahwa

suhu di hulu lebih rendah dari tengah dan hilir. Faktor ketinggian tempat juga
mempengaruhi tinggi rendahnya suhu pada air sungai. Tingginya suhu disebabkan

oleh tingginya cahaya dan adanya pencampuran air, serta oleh faktor aktifitas yang

ada pada stasiun tersebut. Tingginya suhu air berkaitan dengan besarnya intensitas

cahaya matahari yang masuk keperairan, karena intensitas cahaya yang masuk

menentukan derajat panas. Semakin banyak sinar matahari yang masuk maka suhu

semakin tinggi dan bertambahnya kedalaman akan mengakibatkan suhu menurun

(Nisa, dkk. 2015).

Standar baku mutu suhu minimum dan maksimum suatu perairan tawar

berdasarkan PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan

pengendalian pencemaran air yaitu sebesar 27 ˚C dan 32 ˚C, maka suhu perairan

sungai Panemon pada bagian tengah dan hilir masuk kedalam standar baku mutu

tersebut. Suhu yang stabil didalam suatu perairan adalah 25 0C – 300C. Suhu yang

layak bagi kehidupan organisme yaitu 250C – 280C.

4.2.2. Kecepatan Arus

Berdasarkan hasil data didapat bahwa kecepatan arus di Sungai Panemon

daerah hulu nilainya 0,81 m/s, daerah tengah nilainya 0,39 m/s dan hilir nilainya

0,55 m/s. Perbedaan kecepatan arus dipengaruhi karena perbedaan substrat. Pada

arus yang lebar, deras dan dangkal atau saluran yang sangat licin kecepatan

maksimum sering terjadi di permukaan bebas (Junaidi, 2014).


Kecepatan Arus
0.9
0.8
0.7
0.6 Kecepatan Arus
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Hulu Tengah Hilir

Dari hasil grafik tersebut didapatkan nilai Kecepatan arus tertinggi di bagian

hulu sebesar 0,81 m/s dan suhu paling kecil dibagian tengah yaitu 0,39 m/s.

Perbedaan kecepatan arus dimungkinkan karena jika dilihat dari faktor penghambat

kecepatan air yakni antara lain: substrat sungai banyak mengandung lumpur,

seresah, dan serat-serat organik yang tersebar diseluruh perairan (Farichi dkk, 2013).

Standar baku mutu kecepatan arus minimum dan maksimum suatu perairan

tawar berdasarkan PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan

pengendalian pencemaran air yaitu sebesar 0,2 m/s dan 0,5 m/s , maka kecepatan

arus perairan sungai Panemon bagian tengah masuk kedalam standar baku arus

mutu tersebut, dapat dikatakan kecepatan di bagian tengah normal sedangkan

kecepatan arus hulu dan hilir cukup deras.

4.2.3. Debit Air

Berdasarkan hasil data didapat bahwa debit air di Sungai Panemon

daerah hulu nilainya 1,06 m3/s, daerah tengah nilainya 0,53 m3/s dan hilir

nilainya 0,82 m3/s. Perbedaan nilai debit ini dikarenakan oleh lebar dan
kedalaman sungai. Kecepatan arus juga dapat mempengaruhi debit air. Pada

musim hujan volume air relatif lebih besar dibanding dimusim kemarau.

Sedangkan pada musim kemarau panas matahari menyebabkan terjadinya

penguapan sehingga debit air berkurang di musim kemarau. Selain itu

penggunaan air oleh masyarakat juga berpengaruh terhadap berkurangnya

debit air terutama di daerah hilir. Debit air sungai dapat sebagai indikator

beban pencemaran sungai (Agustiningsih, 2012).

Debit Air
1.4
1.2 1.06
1
0.82
0.8
(m3/s)

0.6 0.53
0.4
0.2
0 Debit Air Sungai
Panemon
Hulu Tengah Hilir
Stasiun

Berdasarkan grafik dapat dilihat nilai debit air tertinggi ada di bagian hulu

sebesar 1,06 m3/s, dan nilai terendah ada di tengah sebesar 0,53 m 3/s. Debit air

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu curah hujan debit air juga dipengaruhi oleh

aliran air yang masuk dalam sungai yang membawa bahan terlarut akibat erosi pada

suatu badan perairan. Kecepatan arus juga dapat mempengaruhi debit air. Musim

hujan volume air relatif lebih besar dibanding dimusim kemarau. Sedangkan pada

musim kemarau panas matahari menyebabkan terjadinya penguapan sehingga debit

air berkurang di musim kemarau. Selain itu penggunaan air oleh masyarakat juga

berpengaruh terhadap berkurangnya debit air terutama di daerah hilir. Debit air

sungai dapat sebagai indikator beban pencemaran di sungai (Agustiningsih ,2012).


Standar Baku mutu debit air minimum dqan maksimum berdasar PP RI no. 82

tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu

sebesar 0,54 m3/s dan 1,14 m3/s.Maka debit air di Sungai Panemon hulu dan hilir

masuk kedalam standar baku mutu tersebut,sedangkan bagian tengah masih

diketegorikan standar karena nilai debit air hampir memenuhi batas minimum.

4.2.4. Kekeruhan

Berdasarkan hasil yang didapatkan nilai kekeruhan pada sungai Panemon

bagian hulu yaitu 2,54 NTU,bagian tengah yaitu 2,96 NTU dan pada bagian hilir

yaitu 2,62 NTU.Perbedaan nilai kekeruhan dipengaruhioleh adanya bahan organic

dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus)

maupun bahan organic dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme

lain. Semakin tinggi nilai padatan tarsuspensi, nilai kekeruhan juga akan menjadi

semakin tinggi. Kekeruhan pada sungai pada saat banjir lebih banyak disebabkan

oleh bahan – bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar, yang berupa lapisan

permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan (Lim, 2011).

Kekeruhan
6
5
Kekeruhan (NTU)

4
2.96
3 2.54 2.62
Kekeruhan Sungai Panemon
2
1
0
Hulu Tengah Hilir
Stasiun
Kekeruhan tertinggi pada daerah tengah yaitu 2,96 NTU dan terendah pada

daerah hulu yaitu 2,54 NTU. Kekeruhan yang tinggi menyebabkan rendahnya

intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan. Sehingga proses fotosintesis

fitoplankton terhambat dan pertumbuhan fitoplankton tidak optimal (Dwirastina,

2015).

Standar baku mutu kekeruhan maksimum suatu perairan tawar berdasarkan

PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian

pencemaran air yaitu sebesar 5 NTU, kekeruhan perairan sungai Panemon pada

bagian hulu, tengah, dan hilir tidak melebihi standar baku mutu tersebut, maka

dapat dikatakan di bagian hulu, tengah, dan hilir sungai kranji masih jernih airnya.

4.2.5. DHL

Berdasarkan hasil yang didapatkan, pengukuran konduktivitas di Sungai

Panemon bagian hulu yaitu 87,3 μmhos/cm, bagian tengah yaitu 80,3 μmhos/cm

dan bagian hilir yaitu 109,3 μmhos/cm.Semakin tingginya konduktivitas suatu

perairan disebabkan karena banyaknya kandungan bahan-bahan organik maupun

anorganik di dalam air yang dapat menghantarkan listrik, serta semakin banyak

garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL

(Rahman et al, 2013).


Konduktivitas
215

165
(µSiemens/cm)

115 109.3
87.3 80.3
65
Konduktivitas Sungai
15 Panemon
Hulu Tengah Hilir
Stasiun

Berdasarkan grafik nilai DHL tertinggi di hilir sebesar 109,3 μS/cm dan nilai

terendah di tengah sebesar 80,3 μS/cm. Konduktifitas suatu perairan sebanding

dengan konsentrasi ion-ion utaama yang terlarut di dalam air, seperti Mg2+, Ca2+,

K+, dan Cl-. Ion-ion terlart biasanya berasal dari sisa pakan atau partikel-partikel

lain yang mengendap di dasar suatu perairan (Sari, 2015). Nilai DHL pada perairan

rawa banjiran berkisar 20 – 80 μS/cm cenderung masih baik untuk mendukung

kehidupan ikan (Soraya dkk, 2014).

Standar baku mutu Daya Hantar Listrik minimum dan maksimum suatu

perairan tawar berdasarkan PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air

dan pengendalian pencemaran air yaitu 139 μS/cm dan 186 μS/cm, maka pada

perairan tersebut daya hantar listrik belum memasuki atau belum sesuai dengan

standar baku mutu yang berlaku.

4.2.6. Kedalaman

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil nilai kedalaman pada bagian

hulu 0,493 meter, bagian tengsh 0,473 meter dan bagian hilir 0,657. Kedalaman
sungai harus selalu diukur secara periodik, karena kedalaman sungai berperan

penting untuk menampung air hujan dalam jumlah besar sehingga dapat

mengurangi terjadinya banjir (Susilo et al, 2015).

Kedalaman
4

3
Kedalaman (m)

2
Kedalaman Sungai Panemon

1 0.66
0.49 0.47

0
Hulu Tengah Hilir
Stasiun

Berdasarkan grafik nilai tertinggi kedalaman pada bagian hilir yaitu 0,657 dan

terendah pada bagian hulu yaitu 0,493.Kedalaman suatu perairan berhubungan erat

dengan produktivitas,suhu vertikal,penetrasi ccahaya,densitas,kandunngan oksigen

serta unsur hara.Kedalaman perairan akan memepengaruhi biota yang ada>hal ini
berhubungan dengan tekanan yang diterima didalam air,sebab tekanan bertambah

seiring dengan bertambahnya kedalaman (Nybakken,1992).

Standar baku mutu kedalaman berdasarkan PP NO. 82 Tahun 2001 Tentang

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air adalah 2 meter.Maka

Sungai Panemon masih masuk standar baku mutu tersebut.

4.2.7. Penetrasi cahaya

Berdasarkan hasil yang didapatkan, penetrasi cahaya padabagian hulu yaitu

28,5 cm, bagian tengah yiatu sebesar 19,8 cm dan pada bagian hilir yaitu sebesar

24,35 cm.Menurut Asmara (2005) semakin tinggi kedalaman secci disk semakin

dalam penetrasi cahaya ke dalam air, yang selanjutnya akan meningkatkan ketebalan

lapisan air yang produktif. Penetrasi cahaya badan perairan di pengaruhi oleh

banyak tidaknya cahaya yang masuk ke dalam perairan (Aditya dan Lily, 2013).

Penetrasi Cahaya
40
35
30 28.5
24.35
25
19.8
(cm)

20
15
10
5 Penetrasi
Hulu Tengah Hilir Cahaya
Stasiun

Berdasarkan grafik nilai penetrasi cahaya tertinggi yaitu pada bagian hulu

sebesar 28,5 cm, dan nilai terendah pada bagian tengah sebesar 19,8 cm. Asmara

(2005) bahwa semakin tinggi kedalaman secci disk semakin dalam penetrasi cahaya

kedalam air, yang selanjutnya akan meningkatkan ketebalan lapisan air yang

produktif. Tebalnya lapisan air yang produktif memungkinkan terjadinya


pemanfaatan unsur hara secara kontinyu oleh produsen primer (Nisa dkk, 2015).

Kecerahan yang baik bagi usaha budidaya budidaya ikan dan biota lainnya berkisar

30 – 40 cm. Bila kecerahan sudah mencapai kedalaman kurang dari 25 cm, berarti

akan terjadi penurunan oksigen terlarut secara dratis (Richard dkk, 2013).

Standar baku mutu kecerahan minimum dan maksimum suatu perairan tawar

berdasarkan PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan

pengendalian pencemaran air yaitu sebesar 20 – 40, maka dapat dikatakan sungai

kranji bagian hulu dan hilir masuk ke standar baku mutu,sedangkan untuk bagian

tengah masih dibawah standar baku mutu.

4.2.8 Tipe Substrat.

Tipe dasar substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh letak geografis dan

dari partikel organik dan anorganik yang dapat tersebar oleh arus. Partikel-partikel

dapat berpindah tempat atau terikat kuat di dasar akibatnya penyebaran sedimen

terjadi pada daerah yang mengalir. Perairan yang menggenang bersifat lunak seperti

berpasir dan berlumpur, sedangkan perairan yang mengalir bersifat keras seperti

berbatu. Tipe substrat suatu perairan akan mempengaruhi keragaman komposisi

hewan bentho (Majarina, 2013).

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa tipe substrat pada daerah

hulu Sungai Panemon adalah batu berpasir , bagian tengah adalah pasir berbatu,

sedangkan bagian pasir berbatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Barus (2002),

bahwa substrat dasar di daerah hulu pada umumnya merupakan batu-batuan yang

mempunyai diameter yang lebih besar dan akan semakin kecil diameternya pada

daerah hilir. Daerah hilir atau muara substrat dasar pada umumnya berupa partikel

halus berupa batu berpasir dan lumpur. Penyebabnya yaitu karena pada daerah
hulu kecepatan arusnya sangat tinggi, terutama diakibatkan oleh kecuraman

topografi aliran yang terbentuk dan akibat adanya sedimentasi.

Standar baku mutu tipe substrat suatu perairan tawar berdasarkan PP RI no. 82

tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu

berbatu dan pasir, hal ini sudah sesuai dengan kondisi dibagian hulu yaitu berbatu

pasir

4.2.9. Warna

Warna air ditentukan secara organoleptik yang memberikan hasil yaitu pada

bagian hulu wrna putih, tengah warna coklat kehijauaan, hilir warna putih keruh.

Air yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi

kesehatan. Warna pada air dapat disebabkan oleh kontak antara air dengan zat

organik yang sudah lapuk sehingga menghasilkan senyawa yang larut, unsur Fe dan

Mn dan kadar yang tinggi, senyawa-senyawa lainnya seperrti zat warna yang

digunakan dalam pencelupan, adanya tannin, lignin dan humus serta adanya bahan

kimia atau mikroorganik (plankton) yang terlarut dalam air (Rahayu, 2011 dalam

Harahap et al., 2012).

Berdasarkan hasil yang didapatkan, pengamatan warna Sungai Panemon

yaitu bagian hulu yaitu Tidak Berwarna,bagian tengah yaitu cokelat kehijauan dan

bagian hilir abu-abu. Warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi 2, yaitu

warna sesungguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color).Warna

sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia

terlarut.Warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan bahan terlarut

tetapi juga oleh bahan tersuspensi.Kadar warna diambil dengan satuan TCU (true
color unit) yang berarti warna ditimbulkan karena adanya bahan-bahan kimia

terlarut (Krisnandi, 2009 dalam Dyah 2012).

Standar baku mutu Warna air suatu perairan tawar berdasarkan PP RI no. 82

tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu

tidak berwarna, maka dapat disimpulkan perairan sungai Kranji tidak memenuhi

standar baku jutu yang berlaku

4.3.0. Bau

Bau yang ditimbulkan oleh suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah-

limbah, organisme perairan yang mati dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan yang

telah dilakukan semua bagian badan sungai dari hulu berbau amis, pada bagian

tengah detergen dan hilir berbau limbah kayu.


Perairanlzxm yang memancarkan bau terjadi karena adanya degradasi

biologis. Tidak hanya itu masuknya limbah ke sungai dapat mempengaruhi

bau perairan. Air yang memancarkan bau organik yang buruk dan berbahaya

tidak cocok untuk usaha budidaya (Krisnandi, 2009).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah :

1. Kondisi fisik perairan Sungai Panemon pada bagian hulu, tengah, dan hilir

meliputi suhu, kecepatan arus, debit air, penetrasi cahaya, kedalaman,

kekeruhan, konduktivitas, warna, bau, dan tipe substrat.

2. Data dianalisis dibandingkan secara deskriptif kompratif dengan

menggunakan diagram batang untuk membandingkan parameter sifat fisik

bagian hulu, tengah, dan hilir Sungai Panemon. Serta dilakukan perhitungan

pada beberapa parameter yang ada.

5.2. Saran
Untuk praktikum selanjutnya agar lebih memberikan waktu dalam

pengerjaan kuis dan pemberian materi yang ada, agar para mahasiswan

dapatmengerjakandenganbaikdanbenar.
DAFTAR PUSTAKA

Andara,Diani Riezki., Haeruddin., Agung Suryanto.2014. Kandungan Total Padatan


Tersuspensi, Biochemical Oxygen Demand Dan Chemical Oxygen Demand
Serta Indeks Pencemaran Sungai Klampisan Di Kawasan Industri Candi,
Semarang. Diponegoro Journal Of Maquares. 3(3): 177-187.
Angelier, E. 2003. Ecology of streams and rivers. Science Publishers, Inc., Enfield, NH,
USA.78p.
Asdak, C., 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Jogjakarta.56 hal.
Barus, A. T. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMPI USU. Medan.82 hal.
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
USU PRESS. Medan.110 hal.
Berutu, Eta Rinayanta dan Masdiana Sinambela. 2016. Analisis Substrat dan Indeks
Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai Babura Kota Medan. Jurnal
Biosains.2(1): 39-46.
Davis, M.L. and D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Engineering.
Second edition. Mc-Graw-Hill, Inc. New York.132p.
Dwirastina, M. Wibowo, A. 2015. Karakteristik Fisika-Kimia dan Struktur Komunitas
Plankton Perairan Sungai Manna, Bengkulu Selatan. Limnotek. Nomor 22 (1):
76- 85.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.32 hal.
Junaidi, Fathona Fajri. 2014. Analisis Distribusi Kecepatan Aliran Sungai Musi (Ruas
Jembatan Ampera Sampai Dengan Pulau Kemaro). Jurnal Teknik Sipil dan
Lingkungan.2(3): 542-552.
Krisanti, Majariana., Susilowati, Emi., Wardiatno, Yusli. 2013. Analisis Komunitas
Makrozoobenthos Dengan Beberapa Indeks Biologi Dalam Penentuan Tingkat
Pencemaran Hulu Sungai Cisadane, Bogor. Jurnal Biologi Tropis. Vol.13 No. 1.
Mahyudin., Soemarno., Tri Budi Prayogo. 2015. Analisis Kualitas Air dan Strategi
Pengendalian Pencemaran Air Sungai Metro di Kota Kepanjen Kabupaten
Malang. J-PAL. 6(2): 105-114.
Mulyanto, H.R. 2007. Sungai Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta.56 hal.
Mushthofa, Aqil., Max Rudolf Muskananfola., Siti Rudiyanti. 2014. Analisis Struktur
Komunitas Makrozoobenthos sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Sungai
Wedung Kabupaten Demak. Diponegoro Journal Of Maquares. 3(1): 81-88.
Nisa, Khairatun., Zulkifli Nasution., Khadijah EL Ramija. 2015. Studi Kualitas
Perairan Sebagai Alternatif Pengembangan Budidaya Ikan di Sungai Keureuto
Kecamatan Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Jurnal AQUACOASTMARINE. 10(5): 1-15.
Pasisingi, Nuralim., Niken TM Pratiwi., Majariana Krisanti. 2014. Kualitas perairan
Sungai Cileungsi bagian hulu berdasarkan kondisi fisik-kimia. Depik. 3(1): 56-
64.
Poerbandono dan E. Djunarsjah. 2005. Survey Hidrografi. Refika Aditama, Bandung.25
hal.
Priyambada, I. B., W. Oktiawan, dan R.P.E Suprapto. 2008. “Analisa Pengaruh
Perbedaan Fungsi Tata Guna Lahan Terhadap Beban Pencemaran BOD Sungai
(Studi Kasus Sungai Serayu Jawa Tengah)”. Jurnal Presipitasi.5:55- 62.
Purnama., Aditya Eka., Hariadi., Siddhi Saputro. 2015. Pengaruh Arus, Pasang Surut
dan Debit Sungai Terhadap Distribusi Sedimen Tersuspensi di Perairan Muara
Sungai Ciberes, Cirebon. Jurnal Oseanografi. 4(1): 74–84.
Putra, Indra Setya. 2015. Studi Pengukuran Kecepatan Aliran pada Sungai Pasang
Surut. Info Teknik. 16(1): 33-46.
Putri,. Afdal., Puryanti, Dwi. 2014. Profil Pencemaran Air Sungai Siak Kota
Pekanbaru Dari Tinjauan Fisis Dan Kimia. Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 3, Juli
2014. Padang : Universitas Andalas.117 hal.
Quddus, Rachmat. 2014. Teknik Pengolahan Air Bersih Dengan Sistem Saringan
Pasir Lambat (Downflow) yang Bersumber dari Sungai Musi. Jurnal Teknik Sipil
dan Lingkungan. 2(4): 669-675.
Ridwan, Muhammad., Rizal Fathoni., Ishma Fatihah., Danang Aji Pangestu. 2016.
Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Empat Muara Sungai Cagar Alam
Pulau Dua, Serang, Banten. Al-Kauniyah Jurnal Biologi.9(1): 57- 65.
Saratoga, Esha Etlin., Siddhi Saputro., Sugeng Widada. 2015. Sebaran Sedimen Dasar
di Perairan Muara Sungai Bagong, Teluk Lembar. Jurnal Oseanografi. 4(1): 116 –
123.
Sari, Wanti Puspita., Bahtiar., Emiyarti. 2016. Studi Preferensi Habitat Siput Tutut
(Bellamya javanica) di Desa Amonggedo Kabupaten Konawe. Jurnal Manajemen
Sumber Daya Perairan. 1(1): 111-112.
Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Hilir Sungai
Lematang Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat. Jurusan Biologi
FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatra Selatan.111 hal.
Siahaan, R.,A. Indawan, D. Soedharma, dan L.B. Prasetyo. 2011. “Kualitas Air Sungai
Cisadane, Jawa Barat – Banten”. Jurnal Ilmiah Sains.11:268-273.
Simon, S.B. dan R. Hidayat. 2008. Pengendalian Pencemaran Sumber Air Dengan
Ekoteknologi (Wetland Buatan)”. Jurnal Sumber Daya Air.4:111- 124.
Sinambela, M. & Sipayung, M. (2015). Makrozoobenthos dengan paramater fisika
dan kimia di Perairan Sungai Babura Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Biosains,
1(2), 44-50
Soebarkah. I. 1978. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Idea
Dharma.Bandung.87 hal.
LAMPIRAN

I.1. Sifat Fisik Sungai


Tabel 1. Sifat Fisik Sungai
Sungai Panemon Standar
Satua
Parameter Hulu Tengah Hilir Baku Pustaka
n
Mutu
Penetrasi Cm 28.5 19.8 24.35 20-40 PP NO. 82
Cahaya Tahun 2001
Suhu C
o
25.9 29.3 27.3 27–32 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran
Air
Kec. Arus m/s 0.81 0.39 0.55 0.2–0.5 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran
Air
Kedalaman M 0.493 0.473 0.657 2 PP NO. 82
Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran
Air
Debit Air m3/s 1.06 0.53 0.82 0.54– PP NO. 82
1.14 Tahun 2001
Kekeruhan NTU 2.54 2.96 2.62 5 Keputusan
Menteri
Negara
Lingkungan
Hidup No. 51
Tahun 2004
Tentang Baku
Mutu Air Laut
DHL µS/c 87.3 80.3 109.3 139–186 PP NO.82
m Tahun 2001
tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran
Air
Bau Air – Amis Deterge Limba Amis PP NO. 82
n h Kayu Tahun 2001
Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran
Air
Warna Air – Tidak Cokelat Abu– Tidak PP NO. 82
Berwa Kehijaua abu Berwar Tahun 2001
rna n na Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran
Air
Tipe Substrat – Batu Pasir Bebatu Berbatu PP NO. 82
Berpa berbatu an dan Tahun 2001
sir pasir Tentang
Pengelolaan
Kualitas Air
dan
Pengendalian
Pencemaran
Air

I.2. Perhitungan
Penetrasi Cahaya 29,8+28,9+29,3
= = 29,30C
3
(X 1+ X 2)
2 c. Hilir: T.Ki = 27,4⁰C;
Rumus : T.T = 26,9⁰C; T.Ka =
27,5⁰C
Keterangan: Suhu rata-rata
PC = Penetrasi Cahaya 27,4+26,9+27,5
X1 = Pembacaan Secchidisc = =27,30C
3
awal tidak terlihat
X2 = Pembacaan Secchidisc
Kecepatan Arus (v)
awal terlihat
a. Hulu: S = 10 m; t1 = 13s,
t2 = 15s, t3 = 10s
1. Hulu : X1 = 30,3 cm ; s 10
X2 = 26,7 cm V1= = =0,77 m/s
t 13
∑ PC rata-rata s 10
V2 = = =0,67 m/s
30.3+ 26.7 t 15
¿
2 s 10
V3 = = =1 m/ s
= 28,5 cm t 10
2. Tengah : X1 = 20,9 cm ; Vrata-rata
X2 = 18,7cm 0,77+0,67+ 1
= =0,81m/ s
∑ PC rata-rata 3
20.9+18.7 b. Tengah: S = 10 m; t1 = 24s,
=
2 t2 = 27s, t3 =26s
= 19,8 cm s 10
V1 = = =0,42m/s
3. Hilir : X1 = 25,1 cm ; t 24
s 10
X2 = 23,6 cm V2 = = =0,37m/s
t 27
∑ PC rata-rata s 10
25.1+ 23.6 V3 = = = 0,38m/s
= t 26
2 Vrata-rata
= 24,35 cm
0,42+0,37+0,38
= =0,39m/s
3
Suhu
c. Hilir: S = 10 m; t1 = 19s,
a. Hulu: T.Ki = 26,2⁰C;
t2 = 21s, t3 = 16s
T.T = 25,9⁰C ;T.Ka = 25,6⁰C
s 10
Suhu rata-rata V1 = = =0,53m/s
t 19
26,2+ 25,9+25,6 s 10
= = 25,90C V2 = = =0,48m/s
3 t 21
s 10
b. Tengah: T.Ki = 29,8⁰C ; V3 = = = 0,63m/s
t 16
T.T = 28,9⁰C ;T.Ka =
29,3⁰C
Suhu rata-rata Vrata-rata
0,53+0,48+0,63
= =0,55m/s
3
 A8 = 15 x 50 = 750 cm2
Kedalaman 10 x 50
 A9 = = 250 cm2
2
 Hulu
Atotal = 13100cm2 = 1,31m2
Kedalaman rata-rata
0,45+0,57+0,46 D=VxA
¿ =0,493 m = 0,81 m/s x 1,31 m2
3
 Tengah = 1,06 m3 /s
Kedalaman rata-rata
0,42+ 0,49+0,51 b. Tengah : S = 10 m ; t1 = 24s,
¿ =0,473 m
3 t2 = 27s, t3 =26s
 Hilir S 10
Kedalaman rata-rata V1 = = = 0,42m/s
t 1 24
0,62+ 0,69+0,66 S 10
¿ =0,657 m V2 = = = 0,37m/s
3 t 2 27
S 10
V3 = = = 0,38m/s
t 3 26
Debit Air Vrata
a. Hulu : S = 10 m ; t1 = 13s, = 0,42 + 0,37 + 0,38
t2 = 15s, t3 =10s = 1,17/3 = 0,39 m/s
S 10 35 x 50
V1 = = = 0,77m/s  A1 = = 875 cm2
t 1 13 2
S 10 ( 43+50 ) x 50
V2 = = = 0,67m/s  A2 = = 2325
t 2 15 2
S 10 cm2
V3 = = = 1m/s
t 3 10  A3 = 50 X 50 = 2500 cm2
Vrata
( 43+37 ) x 50
= 0,77 + 0,67 + 1  A4 = = 2000
2
= 2,44/3 = 0,81m/s
30 x 50 cm2
 A1 = = 750 cm2  A5 = 35 x 50 = 1750 cm2
2
( 36+42 ) x 50 ( 35+29 ) x 50
 A2 = = 1950  A6 = = 1600
2 2
cm2 cm2
( 44+ 47 ) x 50  A7 = 25 x 50 = 1250 cm2
 A3 = = 2275 ( 21+ 17 ) x 50
2  A8 = = 950
cm2 2
 A4 = 50 x 50 = 2500 cm2 cm2
( 39+33 ) x 50 15 x 50
 A5 = = 1800  A9 = = 375 cm2
2 2
cm2 Atotal = 13625 cm2 = 1,3625m2
( 35+29 ) x 50 D=VxA
 A6 = = 1600 = 0,39 m/s x 1,3625 m2
2
cm2 = 0,53 m3 /s
( 27+22 ) x 50
 A7 = = 1225
2 c. Hilir : S = 10 m ; t1 = 19s,
cm2 t2 = 21s, t3 =16s
S 10 2,62+ 2,59+ 2,66
V1 = = = 0,53m/s ¿ =2,62 NTU
t 1 19 3
S 10
V2 = = = 0,48m/s
t 2 21 DHL
S 10
V3 = = = 0,63m/s
t 3 16  Hulu
Vrata DHL rata-rata
= 0,53 + 0,48 + 0,63 87+86+ 89
¿ =87.3µS/cm
= 1,64/3 = 0,55m/s 3
20 x 50  Tengah
 A1 = = 500 cm2
2 DHL rata-rata
( 17+24 ) x 50 80+78+83
 A2 = = 1025 ¿ =80.3 µS/cm
2 3
cm2  Hilir
 A3 = 30 X 50 = 1500 cm2 DHL rata-rata
( 36+37 ) x 50 110+114 +105
 A4 = = 1825 ¿ =109.3µS/cm
2 3
cm2
 A5 = 40 x 50 = 2000 cm2
( 45+ 49 ) x 50
 A6 = = 2350
2
cm2
 A7 = 65 x 50 = 3250 cm2
( 40+30 ) x 50
 A8 = = 1750
2
cm2
26 x 50
 A9 = = 650 cm2
2
Atotal = 14850cm2 = 1,485m2
D=VxA
= 0,55 m/s x 1,485 m2
= 0,82 m3 /s

Kekeruhan
 Hulu
Kekeruhan rata-rata
2,39+ 2,49+2,76
¿ =2,54 NTU
3
 Tengah
Kekeruhan rata-rata
3,12+ 2,96+2,81
¿ =2,96 NTU
3
 Hilir
Kekeruhan rata-rata
ACARA II

ANALISIS SIFAT KIMIA AIR DI SUNGAI PANEMON

Oleh :

Nama : Abdul Rahman

NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2020
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai merupakan perairan terbuka yang mengalir (lotic) dan mendapat

masukan dari semua buangan berbagai kegiatan manusia di daerah pemukiman,

pertanian, dan industri di daerah sekitarnya. Masuknya bahan buangan limbah

kegiatan ke dalam sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika,

kimia, dan biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat menghabiskan bahan-

bahan yang penting dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan

perairan . Sungai air tawar sangat rentan bagi kehidupan organisme (Jena, 2013).

Menurut Triatmojo (1999) menjelaskan bahwa masukkan buangan ke dalam

sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia dan biologi di

dalam perairan. Perubahan ini dapat mempengaruhi keberadaan bahan-bahan yang

essensial dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan dan

biota perairan yang merupakan salah satu biota yang rentan terhadap perubahan

lingkungan adalah moluska. Jika polusi masih sedikit atau bahkan tidak ada maka

moluska yang hidup akan jauh lebih banyak dan beragam dengan pertimbangan

tekstur sedimen, kandungan bahan organik pada sedimen serta parameter fisika

kimia yang mendukung untuk tumbuh berkembangnya moluska itu sendiri

(Shalihah, 2017).

Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari

daerah tangkapan sedangkan kualitas pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan

dengan aktivitas manusia yang ada di dalamnya. Perubahan kondisi kualitas air

pada aliran sungai merupakan dampak dari buangan dari penggunaan lahan yang

ada. Selain itu, berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
yang berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian akan menghasilkan

limbah yang memberi sumbangan pada penurunan kualitas air sungai

(Agustiningsih, 2012).

1.1 Tujuan

Tujuan dari praktikum acara analisis sifat fisik air adalah

1. Untuk mengetahui teknik pengukuran parameter fisika di Sungai Panemon.

2. Untuk mengetahui teknik analisis perbandingan parameter fisika Sungai

Panemon dan masing-masing titik pengambilan sampel.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

Sungai merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaakan untuk

berbagai keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian,

industri, sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bila

tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya air,

diantaranya adalah menurunnya kualitas air. Kondisi ini akan menimbulkan

gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada

sumberdaya air. Sifat atau mutu perairan dapat diketahui melalui pendugaan

terhadap hasil pengukuran/pengamatan parameter fisika, kimia, dan biologi. Untuk

pengukuran/ pengamatan parameter kimia dapat dilihat dari derajat keasaman

(pH), kandungan oksigen terlarut, karbondioksida bebas, BOD, dan COD (Odum,

1971).

Sungai memiliki peranan penting dalam kehidupan setiap makhluk hidup.

Dengan perannya, air akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

kondisi/komponen lainnya. Fungsi sungai bagi sektor pertanian adalah sebagai

sarana irigasi bagi lahan pertanian seperti sawah, kebun dan sektor pertanian

lainnya. Sungai mempunyai kapasitas tertentu dan ini dapat berubah karena

aktivitas alami maupun antropogenik sehingga dibutuhkan pelestarian agar sungai

dapat berjalan sesuai dengan fungsinya (Agurtira, dkk., 2013).

2.1.1. Sungai Panemon

Sungai Panemon merupakan salah satu sungai kecil yang berada di Dusun

Kebanggan Kec. Sumbang, Kab. Banyumas, Jawa Tengah. Daerah Aliran Sungai
(DAS) Panemon secara keseluruhan dengan titik koordinat 7.37667 ° S 109.265 ° E.

Dengan kondisi di sekitar hulu sungai ini dikelilingi oleh semak-semak, di bagian

tengah sungai ini dikelilingi oleh pepohonan, dan di hilir sungai ini berada di sekitar

pemukiman warga. Sungai tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk

keperluan MCK, irigasi, bahkan untuk membuang limbah industri rumah tangga.

Akibat pemanfaatan tersebut sungai Panemon mengalami perubahan dari aspek

fisika,kimia dan biologinya.

2.2. Parameter Kimia Sungai

2.2.1. pH (Derajat Keasaman)

Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap

organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan baik

buruknya suatu perairan. Pengaruh pH terhadap toksisitas bagi mikroorganisme

menunjukkan bahwa toksisitasnya meningkat sejalan dengan kenaikkan pH.

Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen

dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat

keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral,

pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifatasam, sedangkan pH > 7 dikatakan

kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003 dalam Mukarromah, 2016

2.2.2. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut (dissolved oxygen) merupakan parameter mutu air yang

sangat penting, karena nilai oksigen terlarut dapat menunjukkan tingkat

pencemaran di perairan atau tingkat pengolahan air limbah. Besarnya nilai

oksigen terlarut dalam suatu perairan akan menentukan kesesuaian kualitas air

sebagai sumber kehidupan (Sunu, 2001 dalam Dewi, 2014).


2.2.3. CO2 Bebas

Karbondioksida akan selalu berreaksi dengan air hingga menghasilkan asam

karbonat (H2CO3). Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari atmosfir

dan hasil respirasi organisme perairan. Udara yang selalu bersentuhan dengan air

akan mengakibatkan terjadinya proses difusi CO2 ke dalam air. Peningkatan kadar

CO2 diikuti oleh penurunan kadar oksigen terlarut. (Johnson et al., 2010).

2.2.4. BOD (Biological Oxygen Demand)

BOD merupakan banyaknya oksigen dalam mg/l yang dibutuhkan oleh bakteri

aerobik untuk menguraikan dan menstabilkan banyaknya senyawa organik dalam

air melalui proses oksidasi biologis aerobik. Menurut Ferdiaz (1992) dalam Romanto

(2013) nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, akan

tetapi hanya untuk mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk

mengoksidasi bahan-bahan buangan.

2.2.5. COD (Chemical Oxygen Demand)

COD menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan agar bahan buangan

yang ada dalam air dapat teroksidasi secara kimiawi. Bahan buangan organik akan

dioksidasi oleh Kalium Bichromat menjadi gas CO2 dan H2O menjadi ion Chrom.

Kalium Bichromat digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). Jumlah

oksigen yang diperlukan untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan organik

sama dengan jumlah Kalium Bichromat yang dipakai pada reaksi oksidasi

(Wardhana, 2004 dalam Agustiningsih, 2012).


III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat praktikum

No Nama alat U Merek Fungsi


k
u
r
a
n
/
j
u
m
l
a
h
1 Termometer 1 Mengukur
suhu
2 Botol 600 ml Menyimpan
Mineral air sampel
3 Botol 250 ml Menyimpan
Winkler sampel DO
4 Biuret 1 Titrasi
5 Erlenmeyer 100 ml Menyimpan
sampel
Kertas pH
6 - Mengukur pH
Universsal
7 Statif 1 Menjepit
biuret
8 Penangas 1 Memanaskan
air sampel
9 Pipet tetes - Memindahkan
larutan
10 Gelar ukur 100 ml Meyimpan
sampel
Menyimpan
11 Inkubator 1
sampel DO
selama 5
hari
3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

No N U Merek Fungsi
a k
m u
a r
b a
a n
h /
a j
n u
m
l
a
h
1 Air sampel - - Objek yang
diamati
Untuk membilas
2 Akuades - -
alat
dan/atau untuk
pengenceran
3 Na2CO# 0,01 N - Titrasi CO2 bebas
4 KMnO4 0,25 N - Mengikat O2
dalam air
5 H2S 0,01 N - Melarutkan O2
O4
6 KOH – KI 1 ml - Mengikat O2
7 MnSO4 1 ml - Mengikat O2
8 Amilum 0,5 % - Indikator DO
9 Na2S2O3 0,025 N - Titrasi DO
10 P 0,5 % - Indikator CO2
h bebas
e
n
ol
pt
h
al
ei
n
11 A 0,01 N - Titrasi COD
sa
m
O
k
sa
la

3.2. Metode

3.2.1 Ph

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH

meter. Pertama, setiap stasiun diambil air sampel masing-masing

inlet, tengah, dan outlet untuk setiap 1 botol berukuran 600 ml. Air

sampel dimasukkan ke dalam botol kemudian diukur dengan

menggunakan pH Meter dengan 3 kali pengulangan.

3.2.2 Oksigen Terlarut

Sampel air diambil dengan menggunakan botol Winkler

250 ml diletakan di dalam air sungai dimiringkan botol

membelakangai arus. Saat sampel air diperkirakan sudah penuh

tutup dengan rapat menggunkan tutup botol Winkler di dalam air,

pastikan di dalam botol tidak ada gelembung udara. Selanjutnya,

sampel diikat O2 nya menggunakan larutan KOH-KI dan MnSO4

masing-masing 1 ml (15 tetes). Kemudian botol sampel ditutup

dengan hati- hati agar udara tidak masuk dalam botol dan bolak –

balik agar tercampur merata dan didiamkan beberapa menit

sampai terbentuk endapan bewarna coklat. Kemudian sampel air

ditambah larutan H2SO4 pekat sebanyak 1 ml dengan bantuan

pipet. Tutup kembali dan kocok sampai terbentuk endapan

bewarna coklat kekuningan. Air sampel diambil sebanyak 100 ml


dengan gelas ukur dan dimasukan ke dalam labu erlenmayer. Lalu

ditritrasi dengan larutan Na2S2O3 ditambah 5 tetes amilum dan

labu erlenmayer kocok hingga tercampur merata sampai terjadi

perubahan warna larutan coklat sampai kuning muda. Lalu

indikator amilum ditambahkan sebanyak 3 tetes hingga larutan

berubah warna menjadi biru. Titrasi dilanjutkan kembali sampai

warna biru tepat hilang. Titran ditambahkan satu tetes bila saat

titik akhir tercapai dan titrasi dilakukan duplo. Volume titrasi

yang dipergunakan dicatat.

3.2.3 CO2 Bebas

Sampel air diambil dengan menggunakan botol Winkler

250 ml, dengan gelas ukur diambil sebanyak 100 ml dan

dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer. Kemudian indikator

phenolphthalein ditambahkan 10 tetes. Kemudian larutan sampel

dititrasi dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan berwarna

merah jambu muda dan titrasi dilakukan duplo.

3.2.4 BOD (Biological Oxygen Demand)

Pengukuran BOD dimulai dengan mempersiapkan sebanyak

empat buah botol air mineral 600 ml, dua buah botol untuk

masing-masing sampel dan blanko. Untuk 2 botol pertama

langsung diukur kandungan O2 terlarutnya sebagai t=0,

sedangkan untuk dua botol kedua diinkubasi selama 5 hari dalam

temperatur 20˚C. Tingkat pengenceran yang digunakan sebesar 0,9

atau 90%. Setelah hari kelima, baru diukur kandungan O2


terlarutnya sebagai t=5. Kandungan O2 yang masih tersisa dalam

botol sampel tersebut antara 40-70% dari kandungan.

3.2.5 COD (Chemical Oxygen Demand)

Sampel air diambil dengan botol sampel dan dilakukan

pengenceran. Larutan ditempatkan ke dalam labu Erlenmeyer

sebanyak 100 ml dan ditambahkan 5 ml larutan H2SO4 4 N dan 10

ml larutan KMnO4 0,01 N. Larutan dididihkan selama 10 menit

dan setelah dingin tambahkan sebanyak 10 ml larutan asam

oksalat 0,01 N. Selanjutnya, dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01

N sampai terbentuk larutan berwarna merah muda. Pada

perlakuan terhadap blanko sama dengan sampel air. Pembuatan

faktor koreksi dengan cara akuades diambil sebanyak 100 ml dan

ditempatkan ke dalam labu Erlenmeyer. Larutan H2SO4 4 N

sebanyak 5 ml dan 10 ml larutan asam oksalat 0,01 N ditambahkan

lalu digoyang-goyang hingga merata dan didiamkan selama 10

menit. Selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N sampai

terbentuk larutan berwarna merah muda.

3.3. Waktu dan tempat

Praktikum acara analisis sifat fisika air ini

dilaksanakankan pada hari Sabtu tanggal 30 April 2020 di Sungai

Pengkon pada bagian hulu, tengah, dan hilir melalui Google

Classroom

3.4. Analisis data


Data dianalisis secara deskriptif kompratif dengan

menggunakan diagram batang untuk membandingkan parameter

sifat fisik bagian hulu, tengah, dan hilir Sungai Panemon. Serta

dilakukan perhitungan, hasil perhitungan masing-masing

parameter dibandingkan dengan Nilai Standar Baku Mutu.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 2. Sifat Kimia Sungai Panemom

4.2. Pembahasan

4.2.1. pH

Berdasarksn hasil ysng didapatkan nilai pH pada bagian hulu sebesar 7,68,

bagian tengah 7,56 dan bagian hilir 7,48. Tingginya nilai pH pada sungai disebabkan

oleh pengaruh buangan limbah penduduk yang masuk ke perairan sungai. Limbah

atau sampah seperti buangan detergen mengandung senyawa kimia yang dapat

meningkatkan Nilemi pH atau dipengaruhi oleh adanya buangan senyawa-senyawa

yang masuk kedalam lingkungan perairan. (Ginting 2011 dalam Gulo 2015)

Berdasarkan grafik di atas nilai derajat keasaman tertinggi ada di hulu sebesar

7,682 dan nilai terendah ada di hilir sebesar 7,48.Toleransi organisme air terhadap

pH bervariasi, hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, keberadaan anion

dan kation serta jenis dan stadium organisme (Fajri, dkk. 2013). Kenaikan pH pada

badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari

senyawa- senyawa logam. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan

akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida ini mudah sekali membentuk

ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan ,

lama-kelamaan persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel-patikel

yang ada di badan perairan akan mengendap membentuk lumpur (Aziz, 2013).
Standar baku mutu untuk pH di perairan berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001

tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu berkisar

antara 6 – 9, maka dapat dikatakan bahwa perairan tersebut standar pH sudah

memenuhi standar baku mutu air. pH perairan yang mendukungkehidupan

organisme adalah 5-9, apabila krang dari it maka organisme perairan akan

mengalami kematian (Siska & Thamrin, 2013).

4.2.2. CO2

Berdasarkan hasil yang didapatkan, pengukuran CO2 bebas di Sungai

Panemon pada bagian hulu 1,87 mg/L,bagian tengah adalah 3,19 mg/L dan hilir

adalah 4.4 mg/L. Dari hasil tersebut bisa disimpulkan bahwa kandungan CO2 bebas

dari hulu ke hilir semakin meningkat. Kadar karbondioksida yang diperbolehkan

bagi perairan yang dimanfaatkan untuk perikanan adalah < 5 mg/L. Boyd (1988)

dalam Siregar (2015) menambahkan bahwa kadar karbondioksida bebas sebesar 10

mg/L masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, dengan syarat disertai kadar

oksigen yang cukup. Maka, kandungan CO2 bebas pada perairan Sungai Panemon

masih cukup normal atau baik untuk kehidupan biota yang ada di perairan tersebut.

Berdasarkan grafik diatas kadar Karbondioksida bebas tertinggi ada di hilir

sebesar 4,4 mg/L dan kadar terendah adadi hulu sebesar 1,87 mg/L. Hasil ini

dikarenakan tingkat respirasi oleh organisme periaran di hilir lebih tinggi

dibandingkan di hulu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar CO2 di perairan

adalah difusi karbondioksida dari atmosfir langsung ke perairan, hasil respirasi

organisme, dan air hujan karena di dalam air hujan terdapat kandungan

karbondioksida (Sary, 2006).


Standar baku mutu untuk karbondioksida bebas di perairan menurut PP RI

No.82 Thn. 2001 yaitu 5 mg/L p. Kandungan CO2 bebas pada perairan Sungai Kranji

masih dibawah standar baku mutu.

4.2.3. COD

Berdasarkan hasi pengamatannilai COD sungai Panemon di bagian hulu

adalah 5,467 , bagian tengah 7,703 dan bagian hilir 9,80. Faktor yang mempengaruhi

kandungan COD dalam suatu perairan adalah pencemaran oleh limbah industri dan

rumah tangga, dan juga penetrasi cahaya matahari. Semakin tinggi penetrasi cahaya

matahari maka oksigen di perairan meningkat sehingga aktifitas mikroorganisme

akan meningkat pula (Patil, 2012).

Berdasarkan grafik nilai COD tertinggi ada di hilir sebesar 9,80 mg/L dan nilai

terendah ada di hulu sebesar 5,467 mg/L. Nilai COD yang cenderung tinggi

menunjukkan bahwa bahan organik yang ada di perairan lebih banyak berada dalam

bentuk yang sukar terdegradasi secara biologis (Soraya & Windusari, 2014). Menurut

Tanjung, dkk (2016),bahwa kandungan COD yang tinggi juga menggambarkan

kandungan bahan organik yang dapat diurai lewat prsoses kimia juga tinggi, dimana

COD menunjukkan banyaknya oksigen total yang dibutuhkan untuk mengoksidasi

senyawa organik secara kimiawi.

Standar baku mutu untuk Chemical Oxygen Demand di perairan berdasarkan PP

RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran

air yaitu <25 mg/L, dapat dikatakan bahwa Sungai Panemon memenuhi standar

mutu.
4.2.4. DO

Berdasarkan hasil pengamatan nilai DO sungai Panemon bagian hulu adalah

7,8 O2/L, bagian tengah 5,4 O2/L dan bagian hilir 3,4 O2/L. Perbedaan Nila kadar

oksigen terlarut disebabkan oleh beberapa faktor seperti arus dan kekeruhan.

Perairan dapat dikategorikan sebagai perairan yang baik dan tingkat pencemarannya

rendah, jika kadar oksigen terlarutnya > 5 mg/l (Salmin 2005 dalam Ali et al, 2013).

Berdasarkan grafik nilai oksigen terlart tertinggi ada di hulu sebesar 7,8 mg/L

dan nilai terendah ada di hilir sebesar 3,4 mg/L. Tingginya nilai oksigen terlarut

pada perairan diduga karena sedikitnya aktivitas manusia di kawasan ini, sehingga

tidak memberikan pengaruh langsung pada kandungan oksigen terlarut (Fajri, 2013).

Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena

oksigen terlarut berperan dalam prosesoksidasi dan reduksi bahan organik dan

anorganik. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut

sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan

secara alami (Azwar, dkk. 2013).

Standar baku mutu untuk Dissolved Oxygen di perairan berdasarkan PP RI No.

82 tahun 2001 kelas II tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian

pencemaran air yaitu berkisar antara > 2 mg/L, maka dapat dikatakan bahwa

perairan tersebut sudah memenuhi standar baku mutu air (Kelas II) untuk budidaya
ikan air tawar. Menurut Frasawi (2013) menyatakan bahwa DO >5 mg/L sangat baik

untuk kelangsungan kegiatan budidaya ikan.

4.2.5. BOD

Berdasarkan hasil pengamatan nilai BOD sungai Panemon bagian hulu adalah

0,178 mg/L, bagian tengah 0,4 mg/L dan bagian hilir 0,8 mg/L. Sungai yang

mengalami tingkat pencemaran tinggi memiliki Nilemi BOD diatas 25 ppm dan

tingkat BOD dikatakan rendah antara 0-10 ppm , jika BOD dalam suatu perairan

tinggi maka DO turun karena oksigen yang terlarut tersebut digunakan oleh bakteri..

Makin besar kadar BOD nya, maka merupakan indikasi bahwa perairan tersebut

telah tercema

Berdasarkan grafik nilai BOD tertinggi ada di hilir sebesar 0,8 mg/L dan nilai

terendah ada di hulu sebesar 0,178 mg/L. Makin besar kadar BOD nya, maka

merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar. Kadar BOD dalam air

yang tingkat pencemarannya masih rendah dan dapat dikategorikan sebagai

perairan yang baik berkisar 0 – 10 ppm. Naiknya angka BOD dapat berasal dari

bahan-bahan organik yang berasal dari limbah domestik dan limbah lainnya (Ali,

dkk., 2013). Sungai dengan BOD rendah memiliki tingkat nutrisi yang rendah dan ini

berarti konsentrasi tinggi oksigen terlarut (Anhwange, dkk. 2012)

Standar baku mutu untuk Biochemical Oxygen Demand di perairan berdasarkan

PP RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian

pencemaran air yaitu berkisar >2 mg/L, nilai yang diperoleh tidak melebihi standar

baku mutu tersebut dan dapat dikatakan bahwa perairan tersebut masih normal

untuk kelangsungan hidup organisme akuatik. Menurut Frasawi (2013), bahwa


kandungan BOD dalam suatu perairan untuk ikan air tawar 6 mg/L, baik untuk

kelangsungan kegiatan budidaya ikan maka kondisi air masih baik untuk

kelangsungan hidup ikan.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah :

1. Parameter kimia perairan untuk uji kualitas perairan lotik meliputi pH, DO, CO2,

COD, dan BOD.

2. Kualitas perairan Sungai Panemon dilihat dari aspek kimia masih cukup baik

untuk digunakan karena masih dalam rentang standar mutu baku perairan.
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A. Soemarno. Mangku P. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu Air

Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari.

Nomor 2 (13): 265-274.

Berutu, Eta Rinayanta dan Masdiana Sinambela. 2016. Analisis Substrat dan

Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai Babura Kota

Medan. Jurnal Biosains.2(1): 39-46.

Darmasusantini, Putu Desy., I Nyoman Merit., I G.B Sila Dharma. 2016.

Identifikasi Sumber Pencemar dan Analisis Kualitas Air Tukad Saba

Provinsi Bali. ECOTROPHIC.9 (2):57-63.

Daulat, August., Mariska Astrid Kusumaningtyas., Rizki Anggoro Adi.,

Widodo Setiyo Pranowo. 2014. Sebaran kandungan CO 2 terlarut di

perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna.Depik. 3(2): 166-177..

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan

Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.98 hal.

Gazali, dkk. 2013. Evaluasi Dampak Pembuangan Limbah Cair Pabrik Kertas

Terhadap Kualitas Air Sungai Klinter Kabupaten Nganjuk. Jurnal

Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 1(2) : 1-8

Lumaela, A. K., Bambang W. O., & Sutikno. 2013. Pemodelan Chemical Oxygen

Demand (COD) Sungai di Surabaya Denagn Metode Mixed Geographically

Weighted Regression, 2(1): 2337-3520.


Mahyudin., Soemarno.,Tri Budi Prayogo. 2015. Analisis Kualitas Air dan

Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Metro di Kota Kepanjen

Kabupaten Malang. J-PAL. 6 (2) : 105-114.

Nayan, Nasir, et al. 2012. Trend of River Water Quality and Pollution in Coastal

Zone: A Case Study of Perak State Malaysia. World Applied Sciences

Journal 19 (11): 1687-1698, ISSN 1818-4952

Nisa, Khairatun., Zulkifli Nasution., Khadijah EL Ramija. 2015. Studi Kualitas

Perairan Sebagai Alternatif Pengembangan Budidaya Ikan di Sungai

Keureuto Kecamatan Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal AQUACOASTMARINE. 10(5): 1-15.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Cetakan

Kedua. Diterjemahkan oleh H. M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M.

Hutomo, dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta.44 hal.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. W. B. Sanders Company

Philadelphia, London.88p.

Pasisingi, Nuralim., Niken TM Pratiwi., Majariana Krisanti. 2014. Kualitas

perairan Sungai Cileungsi bagian hulu berdasarkan kondisi fisik-kimia.

Depik. 3(1): 56-64.

Rachmaningrum, Mutiara., Eka Wardhani., Kancitra Pharmawati. 2015.

Konsentrasi Logam Berat Kadmium (Cd) pada Perairan Sungai Citarum

Hulu Segmen Dayeuhkolot-Nanjung. Reka Lingkungan. 3(1): 1-11.

Salmin. 2005. “Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)

sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan”.

Jurnal Oseana, 30. 21-26.


Siska, SS., & Thamrin. 2013. Analisis Aktifitas Sosial Ekonomi Terhadap

Kualitas Perairan Danau Oxbow di Desa Buluh Cina Kecamatan Siak

Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. Program

Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau

Soraya, Hanafiah, Z., & Windusari, Y. 2014. Analisis Fisik Kimia Perairan untuk

Mendeteksi Kualitas Perairan Sungai Rambang Kabupaten Ogan Ilir

Sumatra Selatan. Biospecies. 7(2):43-46.

Tanjung, R. H. R., Maury, H. K., Suwito. 2016. Pemantauan Kualitas Air Sungai

Digoel, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Jurnal Biologi

Papua.8(1):38–47.

Umiatun, Siti., Carmudi., Christiani. 2017. Hubungan Antara Kandungan Silika

dengan Kelimpahan Diatom Benthik di Sepanjang Sungai Pelus

Kabupaten Banyumas. Scripta Biologica. 4(1): 61–67.

Wakman, Dolvinus., Suzanne L. Undap., Indra Salindeho. 2015. Evaluasi

Kondisi Lingkungan Akuakultur pada DAS Tondano di Kelurahan

Ternate Baru Kota Manado. Jurnal Budidaya Perairan. 3(1): 165-171.

Yogafanny, Ekha. 2015. Pengaruh Aktifitas Warga di Sempadan Sungai

terhadap Kualitas Air Sungai Winongo. Jurnal Sains dan Teknologi

Lingkungan. 7(1): 41-50.

LAMPIRAN
ACARA III

ANALISIS SIFAT BIOLOGI AIR DI SUNGAI PANEMON

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup

orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber

daya air tersebut harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik

oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai

kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan

kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang (Nugroho, 2008). Salah

satu sumber air yang banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup

manusia dan makhluk hidup lainnya yaitu sungai. Sungai merupakan

ekosistem yang sangat penting bagi manusia. Sungai juga menyediakan air bagi

manusia baik untuk berbagai kegiatan seperti pertanian, industri maupun

domestik (Siahaan, et al., 2011 dalam Ali 2013).

Di dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai, sungai yang berfungsi

sebagai wadah pengaliran air selalu berada di posisi paling rendah dalam

landskap bumi, sehingga kondisi sungai tidak dapat dipisahkan dari kondisi

Daerah Aliran Sungai (PP 38 Tahun 2011). Kualitas air sungai dipengaruhi oleh

kualitas pasokan air yang berasal dari daerah tangkapan sedangkan kualitas

pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan dengan aktivitas manusia yang

ada di dalamnya (Wiwoho, 2005 dalam Dyah 2012). Perubahan kondisi kualitas

air pada aliran sungai merupakan dampak dari buangan dari penggunaan

lahan yang ada (Tafangenyasha dan Dzinomwa, 2005 dalam Dyah 2012).
Perubahan pola pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian, tegalan dan

permukiman serta meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak

terhadap kondisi hidrologis dalam suatu Daerah Aliran Sungai. Selain itu,

berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berasal

dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian akan menghasilkan limbah

yang memberi sumbangan pada penurunan kualitas air sungai (Suriawiria,

2003 dalam Dyah 2012).

Makrobenthos merupakan salah satu komponen penting pada suatu

ekosistem, karena berperan dalam membantu proses penguraian bahan

organik. Makrobenthos memiliki beberapa sifat yang tidak dimiliki organisme

lainnya, antara lain tidak berpindah-pindah tempat dan mempunyai daya

adaptasi yang bervariasi terhadap perubahan lingkungan. Biota yang dapat

digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan kondisi suatu

perairan adalah hewan makrozoobentos, contohnya adalah anggota

gastropoda (Kristanto, 2004 dalam Ayu et al., 2015). Oleh karena itu, perlunya

penelitian acara sifat biologi air di Sungai Jengok.

1.1. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara analisis sifat fisik air adalah

1. Untuk mengetahui teknik pengukuran parameter fisika di Sungai Panemon.

2. Untuk mengetahui teknik analisis perbandingan parameter fisika Sungai

Peznemon masing-masing titik pengambilan sampel.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

2.1.1. Sungai

Menurut Effendi (2003) dalam Ayu et al (2015), sungai merupakan sumber

air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan

kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral,

dan pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bila tidak dikelola

dengan baik akan berdampak negative terhadap sumber daya air, diantaranya

adalah menurunnya kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan,

kerusakan dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada sumber

daya air. Bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing

bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memiliki suatu

tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut.

Sungai terdapat interaksi antara faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik

diantaranya adalah zooplankton, sedangkan abiotik adalah suhu, penetrasi

cahaya kedalaman, kekeruhan oksigen terlarut, karbondioksida bebas, salinitas,

arus, dan pH. Faktor-faktor tersebut merupakan pembatas yang dapat

digunakan untuk dapat mengetahui keragaman organisme dan kelimpahannya

(Odum, 1998 dalam Rahayu et al., 2015).

Sungai memiliki dua daerah (zona) utama, yaitu zona air deras daerah

yang dangkal di mana kecepatan arus cukup tinggi untuk menyebabkan dasar

sungai bersih dari endapan dan materi lainnya, sehingga dasarnya padat, zona
ini dihuni oleh benthos yang beradaptasi khusus atau organisme perifitik yang

dapat melekat atau berpegangan kuat pada dasar sungai dan ikan perenang

2.1.1. Sungai Panemon

Sungai Panemon merupakan salah satu sungai kecil yang berada di

Dusun Kebanggan Kec. Sumbang, Kab. Banyumas, Jawa Tengah. Daerah Aliran

Sungai (DAS) Panemon secara keseluruhan dengan titik koordinat 7.37667 ° S

109.265 ° E. Dengan kondisi di sekitar hulu sungai ini dikelilingi oleh semak-

semak, di bagian tengah sungai ini dikelilingi oleh pepohonan, dan di hilir

sungai ini berada di sekitar pemukiman warga. Sungai tersebut dimanfaatkan

oleh masyarakat sekitar untuk keperluan MCK, irigasi, bahkan untuk

membuang limbah industri rumah tangga. Akibat pemanfaatan tersebut sungai

Panemon mengalami perubahan dari aspek fisika,kimia dan biologinya.Zona

Air Tenang yaitu bagian air yang dalam dimana kecepaan arus telah berkurang,

maka lumpur dan materi yang berada dalam air cenderung mengendap pada

dasar perairan, sehingga dasarnya lunak dan tidak sesuai untuk benthos

permukaan tapi cocok untuk penggali nekton dan beberapa plankton (Odum,

1996 dalam Rahayu et al., 2015).

2.2. Parameter Biologi Sungai

2.2.1. Bentos

Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di

dalam atau melekat pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan ukuran

tubuhnya benthos dapat dibagi atas makrobenthos yaitu kelompok benthos

yang berukuran >2 mm, meiobenthos yaitu kelompok benthos yang berukuran
0,2–2 mm, dan mikrobenthos yaitu kelompok benthos yang berukuran <0,2 mm

(Barus, 2004).

2.2.2. Makrobentos

Makrobenthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada

dasar atau hidup pada sedimen dasar (Hariyanto et al., 2008). Perairan yang

tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup makrobenthos karena

makrobenthos merupakan organisme air yang mudah terpengaruh oleh adanya

bahan pencemar, baik pencemar fisik maupun kimia.

2.2.3. Kepadatan

Kepadatan makrobentos harus diperhatikan untuk mengetahui seberapa

banyak organisme yang berada pada daerah yang diamati. Saat mencari

kepadatan maka ketelitian harus benar-benar diperhatikan agar kesalahan

dalam menentukan banyaknya spesies makrobentos tidak mengalami

kesalahan (Suryanti, 2013). Kepadatan makrobentos dari suatu perairan

tergantung pada prokduktivitas perairan. Biomassa atau kepadatan

makrobentos dari suatu dasar perairan bervariasi dari tempat ke tempat

tergantung dari tersedianya makanan. Kepadatan yang tidak berbeda dari

kedua perairan disebabkan oleh persediaan makanan atau produktivitas kedua

perairan tidak berbeda (Siti, 2013).

2.2.4. Keragaman

Keragaman makrozoobentos menunjukan ekspresi sintetik kualitas air

sungai tersebut (Angeleier, 2003 dalam Saiful 2014). Pada saat ini penggunaan

bioindikator menjadi sangat penting untuk memperlihatkan hubungan antara

lingkungan biotik dengan non-abiotik. Bioindikator ekologis merupakan


kelompok organisme yang sensitive dan dapat dijadikan petunjuk bahwa

mereka dipengarui oleh tekanan akibat dari kegiatan manusia dan destruksi

system biotik (Alis dan Fajar, 2007 dalam Saiful 2014).


III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1. Alat
Tabel 1. Alat praktikum

3.2. Bahan

Tabel 2. Bahan praktikum

3.2. Metode
Pengambilan sampel makrobentos dilakukan dengan menggunakan

metode hand sorting dengan luasan transek 1x1 m2. Substrat yang berada dalam

kotakan transek diambil menggunakan tangan dan dimasukan ke dalam

kantong plastik yang telah disediakan. Kemudian sampel yang telah diperoleh

tersebut kemudian disimpan dalam botol sampel dan diberi larutan formalin

4% secukupnya. Sampel kemudian diindentifikasi dan dihitung jumlahnya

dengan bantuan mikroskop stereo atau loupe. Variabel yang diamati adalah

kepadatan dan keragaman. Setelah mendapat data kemudian kepadatan dan

keragaman dihitung dengan rumus sebagai berikut:

a. Kepadatan Makobenthos
3.2. Waktu dan Tempat
Praktikum acara analisis sifat fisika air ini dilaksanakankan pada hari

Sabtu tanggal 30 April 2020 di Sungai Panemon pada bagian hulu, tengah, dan

hilir.

3.3. Analisis Data


Data pegamatan dianalisis berdasarkan perhitungan dan disajikan dalam
grafik batang, yakni membandingkan makrobentos pada daerah hulu, tengah
dan hilir Sungai.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 3. Sifat Biologi Sungai Panemon

4.1. Pembahasan

4.1.1. Kepadatan

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dari pengamatan sifat biologi di

Sungai bagian hulu didapatkan spesies Sulcospira testudinaria total 34 buah

dengan kepadatan 11.33 individu/ m2 ,bagian tengah didapatkan spesies

Sulcospira testudinaria total 20 buah dengan kepadatan yaitu 6.67 ndividu/ m 2

dan spesies Thiara scabra total 1 buah dengan kepadatan 0.33 individu/ m 2. Lalu

di bagian hilir didapatkan spesies Sulcospira testudinaria dengan total 29 buah

dengan kepadatan 9.67 individu/ m2 dan spesies Parathelpusa convexa total 2

buah dengan kepadatan 0.67 individu/ m2 .

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa kepadatan makrozoobentos

paling banyak ditemukan di bagian hulu sedangkan paling sedikit didaerah

tengah.

Pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya matahari dapat

menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan, daerah

dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah

yang lebih dalam sehingga cenderung mempunyai makrozoobentos yang

beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan

perairan cenderung lebih dalam jika dibandingkan dengan saat musim


kemarau. Hal tersebut dapat mempengaruhi kepadatan makrozoobentos di

dasar suatu perairan (Setiawan, 2008 dalam Singh 2014).

Makrozoobentos yang bertahan hidup adalah makrozoobentos yang bisa

memanfaatkan oksigen terlarut dalam jumlah sedikit. Makrozoobentos

berkontribusi dalam memanfaatkan bahan organik yang masuk ke

perairan.Bentos merupakan sumber makanan alami yang baik bagi ikan.Selain

penting sebagai makanan alami untuk ikan, bentos juga memegang peranan

penting lainnya dalam ekosistem perairan.Bentos berperan dalam mineralisasi

dan merubah balik bahan organik dalam perairan, dan bentos menduduki

urutan kedua dan ketiga dalam kehidupan komunitas perairan (Odum, 1994

dalam Mazidah 2013). Standar baku perairan pada parameter suhu

untukkehidupan makrobenthos adalah 26 – 30 derajat celcius dan juga

kecepatan arus yang tidak terlalu deras.

4.1.2. Keragaman

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dari pengamatan sifat biologi air di

Sungai bagian hulu didapatkan spesies Sulcospira testudinaria dengan

keraagaman 0, bagian tengah didapatkan spesies Sulcospira testudinaria dan

Thiara scabra, dengan keragaman 3,09. Lalu di bagian hilir didapatkan spesies

Sulcospira testudinaria dan Parathelpusa convexa dengan keragaman 2,81. Hal ini

menunjukkan keragamaan paling tinggi yaitu terdapat di daerah bagian tengah

dibandingkan dengan hilir. Keragaman jenis merupakan parameter yang sering

digunakan untuk mengetahui tingkat kestabilan yang mencirikan kekayaan

jenis dan keseimbangan suatu komunitas.


Dari grafik yang didapat keragaman di sungai panemon paling rendah

bagian hulu sebesar 0 dan paling tinggi daerah tengah sebesar 3.09termasuk

rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Krebs (1985) bahwa nilai indeks

keragaman “0<H’<2,302” berarti keanekaragaman rendah. Berdasarkan indeks

tersebut menandakan keragaman di tengah dan hilir rendah, karena

kemungkinan di daerah tengah dan hulu sudah tercemar oleh berbagai limbah

dari aktivitas manusia.

Struktur komunitas hewan makrozoobentos dapat diketahui berdasarkan

kelimpahan dan keanekaragaman, antara struktur komunitas makrozoobenthos

dan parameter fisika kimia menunjukkan adanya karakter penciri habitat.

Semakin dalam substrat dasar suatu perairan, maka semakin sedikit jumlah

makrozoobenthos yang terdapat pada tempat tersebut. Kelompok kedua

dicirikan oleh kedalaman serta fraksi substrat berupa debu, liat dan

pasir.Indikator penting yang sangat menentukan kualitas perairan adalah

famili Tubificidae dan family Chironomidae (Beck dan Driver dalam Kasry et

al., 1989 dalam Rohul 2013).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum ini adalah :

1. Teknik pengambilan makrobenthos dilakukan secara Hand sorting

dengan luasan transek 1 x 1 m2.

2. Kepadatan makrobenthos di Sungai Panemon dihitung menggunakan rumus

kepadatan makrobenthos. Sedangkan perhitungan keragaman dihitung

menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Winner (H’). Keragaman

makrobenthos di Sungai Panemon tergolong rendah.

5.2. Saran

Untuk praktikum selanjutnya agar lebih memberikan waktu dalam

pemberian materi yang ada, agar para mahasiswan dapat mengerjakan dengan

baik dan benar.


DAFTAR PUSTAKA

Astrini, A. D. R., M. Yusuf, & A. Santoso.2014.Kondisi Perairan Terhadap

Struktur KomunitasMakrozoobenthos Di Muara Sungai Karanganyar

DanTapak, Kecamatan Tugu, Semarang. Journal Of Marine Research. 3 (1):

27-36.

Berutu, Eta Rinayanta dan Masdiana Sinambela. 2016. Analisis Substrat dan
Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai Babura Kota
Medan. Jurnal Biosains.2(1): 39-46.

Darmasusantini, Putu Desy., I Nyoman Merit., I G.B Sila Dharma. 2016.


Identifikasi Sumber Pencemar dan Analisis Kualitas Air Tukad Saba
Provinsi Bali. ECOTROPHIC.9 (2): 57-63.

Faisal, Muhammad., Harmadi., Puryanti, Dwi. 2016. Perancangan Sistem


Monitoring Tingkat Kekeruhan Air Secara Realtime Menggunakan Sensor
TSD-10. Jurnal Ilmu Fisika (Jif).Vol 8 No 1.

Krisanti, Majariana., Susilowati, Emi., Wardiatno, Yusli. 2013. Analisis


Komunitas Makrozoobenthos Dengan Beberapa Indeks Biologi Dalam
Penentuan Tingkat Pencemaran Hulu Sungai Cisadane, Bogor. Jurnal
Biologi Tropis. Vol.13 No.

Ma’rufi, M., Yunasfi, &A. Muhtadi.2015.Kajian Morfometri Danau Pondok


Lapan Desa NamanJahe Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat.Acta
Aquatica.2(3):89-100.

Ningsih, Fidia., Rahman, Mijani., Rahman, Abdur. 2013. Analisis Kesesuaian


Kualitas Air Kolam Berdasarkan Parameter Ph, Do, Amoniak,
Karbondioksida Dan Alkalinitas Di Balai Benih Dan Induk Ikan Air Tawar
(Bbi-Iat) Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Fish Scientiae.Volume
4 Nomor 6, hal. 102-113
Nisa, Khairatun., Zulkifli Nasution., Khadijah EL Ramija. 2015. Studi Kualitas
Perairan Sebagai Alternatif Pengembangan Budidaya Ikan di Sungai
Keureuto Kecamatan Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal AQUACOASTMARINE. 10(5): 1-15.

Oktarini, A. Syamsudin, TS. 2015. Keanekaragaman dan Distribusi


Makrozoobentos di Perairan Lotik dan Lentik di Kawasan Kampus
Institut Teknologi Bandung, Jatinangor, Sumedang. Jawa Barat. Pros Sem
Nas Masy Biodiv Indon. Nomor 2 (1): 227-235.

Rinawati., Hidayat, Dicky., Suprianto, R., Dewi, Putri Sari. 2016. Penentuan
Kandungan Zat Padat (Total Dissolve Solid Dan Total Suspended Solid)Di
Perairan Teluk Lampung. Analit: Analytical And Environmental
Chemistry.Volume 1, No 01.

Sari, T Ersti Yulika., Usman. 2012. Studi Parameter Fisika Dan Kimia Daerah
Penangkapan Ikan Perairan Selat Asam Kabupaten Kepulauan Meranti
Propinsi Riau. Jurnal Perikanan Dan Kelautan.17,1 (2012) : 88-100.

Wozniak, M. 2011. Investigation of total dissolved solids regulation in the


Appalachian Plateau Physiographic Province: a case study from
Pennsylvania and recommendations for the future. North Carolina State
University, Pennsylvania.76p.

Zulfia, Naila., Aisyah. 2013. Status Trofik Perairan Rawapening Ditinjau Dari
Kandungan Unsur Hara (No3 Dan Po4) Sertaklorofil-A. BAWAL Vol. 5:
189-199 .
LAMPIRAN
ACARA IV

ANALISIS SIFAT FISIK AIR KOLAM PENDEDERAN IKAN NILA


(Oreochromis niloticus) DI BBI PANDAK BATURADEN

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
20
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki ciri ekologis

hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana budidaya berbagai

macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari waduk atau sungai yang

dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik yang dibangun khusus untuk

mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang dibangun untuk mememuhi

kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum. Tingkat produktifitas kolam

antara lain ditentukan oleh faktor lingkungan, terutama kesesuaian kualitas air yang

digunakan untuk mengairinya (Ningsih, 2013)

Perairan lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau tenang seperti

danau, situ, rawa, waduk atau telaga. Adapun perairan lotik merupakan suatu

habitat perairan yang mengalir seperti sungai dan kanal. Situ merupakan salah satu

tipe perairan lentik, dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai telaga atau

danau, namun biasanya situ lebih kecil ukurannya dibandingkan danau. Tipe

perairan menggenang seperti rawa dan situ dicirikan dengan tepian yang landai,

kedalaman < 10 m, fluktuasi air 2–5 m, daerah derodon luas, daerah tangkap hujan

sedang, masa simpan air sedang, pengeluaran air atas (Kasasiah et al., 2009 dalam

Marwoto, 2014).

Karakteristik tanah dasar kolam sangat jarang diteliti secara komprehensif.

menggambarkan horizon tanah kolam yang digunakan untuk sistematika

karakteristik tanah kolam. Deskriptif karakteristik tanah kolam digambarkan melalui

pendekatan sifat fisika dan kimiawinya, diantaranya kandungan air tanah, berat

volume tanah kering, warna tanah (Munsell color chart), pH tanah kering, berat jenis
tanah, bahan organik tanah dan N total tanah. Analisis karakteristik sifat fisikokimia

tanah dasar kolam merupakan perangkat terbaik dalam mengelola budidaya

(Munsiri et al., 1995 dalam Hasibuan, 2013).

1.1. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini adalah :

1. Untuk mengetahui teknik pengukuran parameter fisika di BPBAT Pandak

2. Untuk mengetahui teknik analisis perbandingan parameter fisika BPBAT Pandak

dari masing-masing titik pengambilan sampel.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam
Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki ciri

ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana budidaya

berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari waduk atau

sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik yang dibangun

khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang dibangun untuk

mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum.

Kualitas air pada sumbernya (sungai dan saluran irigasi) maupun yang telah

digunakan sebagai media budidaya ikan di petak-petak kolam, yang mengalami

fluktuasi dari waktu ke waktu. Fluktuasi tersebut dapat terjadi baik sebagai akibat

dari kondisi eksternal harian yang berhubungan dengan cahaya matahari, iklim dan

cuaca, juga dapat diakibatkan secara in situ oleh faktorfaktor operasional kegiatan

budidaya itu sendiri seperti pemberian makanan dan tindakan operasional lainnya

(Hasibuan, 2013).

2.1.1. Kolam Pendederan


Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki ciri

ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana budidaya

berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari waduk atau

sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik yang dibangun

khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang dibangun untuk

mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum.

Kualitas suatu perairan menggenang dapat ditentukan berdasarkan fluktuasi

populasi plankton yang mempengaruhi tingkat tropik perairan atau kolam tersebut
(Agustini dan Sri, 2014). Dikatakan pula oleh Nybakken (1992) dalam Agustini dan

Sri (2014) bahwa sifat fisik-kimia suatu perairan sangat penting dalam ekologi.

Sehingga selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan

pengamatan faktor abiotik perairan, aspek saling ketergantungan antara organisme

dengan faktor abiotik akan dapat diperoleh gambaran tentang kualitas suatu

perairan. Kehidupan fitoplankton dalam perairan dipengaruhi oleh kondisi dari

beberapa faktor fisika kimia perairan. Adapun faktor fisika kimia yang cenderung

mempengaruhi kehidupan fitoplankton adalah: suhu, kecepatan arus, CO2 bebas,

pH dan DO (Suin, 2002 dalam Widiana, 2012).

2.2. Sifat Fisik Kolam

2.2.1. Suhu

Suhu adalah salah satu faktor yang penting dalam suatu perairan untuk

mengukur temperatur lingkungan tersebut. Suhu merupakan salah satu faktor yang

penting dalam suatu perairan karena suhu merupakan faktor pembatas bagi

ekosistem perairan dan akan membatasi kehidupan organisme akuatik (Odum,

1971). Suhu sangat penting bagi berlangsungnya proses metabolisme dalam

perairan. Bagi komponen biotik, temperatur mempengaruhi kandungan gas terlarut.

Tiap-tiap organisme mempunyai suhu optimum dan minimum yang berbeda-beda

dalam hidupnya dan mempunyai kemampuan menyesuaikan diri hingga titik

tertentu, sehingga untuk menyesuaikan temperatur suatu habitat yang lainnya dapat

beradaptasi (Odum, 1971).

2.2.2. Penetrasi Cahaya


Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara

visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan

panjang. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran,

kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan

pengukuran (Effendi, 2003). Kondisi kecerahan pada kolam yang hendak digunakan

untuk pemeliharaan ikan adalah lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar

perairan (Susanto, 2002).

2.2.3. Kedalaman

Kedalaman adalah jarak antara dasar sampai ke permukaan. Kedalaman

merupakan penyebab terjadinya perbedaan dan keanekaragaman didalam perairan

dasar, tengah dan permukaan. Kedalaman merupakan salah satu faktor yang

menentukan hidrobiota di dalam suatu perairan. Habitat dengan kedalaman berbeda

akan berpengaruh terhadap struktur komunitas organisme yang ada di dalamnya

(Odum, 1971).

2.1.1. TSS

Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat

(pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan

dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri,

fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel partikel

anorganik (Boyd, 1982 dalam Ramadhan, 2012 ).

2.1.2. TDS

TDS (Total Dissolve Solid) adalah ukuran zat terlarut (baik itu zat organik

maupun anorganik, misalnya garam dan sebagainya) yang terdapat pada sebuah
larutan. TDS meter menggambarkan jumlah zat terlarut dalam Part Per Million (PPM)

atau sama dengan milligram per Liter (mg/L) (Insan, 2008 dalam Agustira, 2013).

2.1.3. Kekeruhan

Kekeruhan adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk

mengukur keadaan air baku dengan skala NTU (nephelo metrix turbidity unit) atau

JTU (jackson turbidity unit) atau FTU (formazin turbidity unit), kekeruhan ini

disebabkan oleh adanya benda tercampur atau benda koloid di dalam air. Hal ini

membuat perbedaan nyata dari segi estetika maupun dari segi kualitas air itu sendiri

(Joko,tri. 2010 dalam Nuzula, 2013).

2.1.4. Konduktivitas

Konduktivitas (Daya Hantar Listrik/DHL) adalah gambaran numeric dari

kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Oleh karena itu, semakin banyak

garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, maka semakin tinggi pula nilai

DHLnya. Reaktivitas, bilangan valensi dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat

berpengaruh terhadap nilai DHL. Konduktivitas dinyatakan dengan satuan

µmhos/cm atau µSiemens/cm. Parameter fisik kualitas air seperti kekeruhan,

konduktivitas dan massa air mempengaruhi sifat kimia dari air (Gupte, 2013).

2.1.5. Warna

Warna adalah kenampakan visual dari badan air (jernih, coklat, atau hitam),

semakin gelap air menunjukkan bahwa kualitas air yang semakin jelek (Supangat

dkk, 2002). Warna air dalam suatu perairan dipengaruhi oleh cahaya matahari yang

masuk ke perairan disebabkan oleh pembiasan yang dilakukan oleh air. Cahaya

matahari akan menyebabkan warna yang berbeda terhadap perairan yang satu

dengan yang lainnya.Warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi 2, yaitu


warna sesungguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color). Warna

sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia

terlarut. Warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan bahan terlarut

tetapi juga oleh bahan tersuspensi.

2.1.6. Bau

Bau adalah udara yang ditangkap oleh indera penciuman. Persoalan bau di

kolam secara umum disebabkan oleh empat penyebab, antara lain: rendahnya

tingkat kandungan oksigen menyebabkan kondisi anaerob, beberapa tipe alga,

polusi kimia dan kondisi geologi. Peningkatan tingkat kandungan oksigen dan

berputarnya air kaya oksigen di dalam kolam, kondisi anaerob dapat diminimalkan

dan gas bau dapat dihilangkan dari air (Rochdianto, 1995).


III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1.Alat
Tabel 1. Alat Praktikum

Tabel2. Bahan Praktikum

3.2. Metode
3.2.1. Kedalaman

Pengukuran kedalaman menggunakan secci disk berukuran. Terlebih

dahulu masuk ke dalam badan perairan yang akan di ukur dan penentuan

pengambilan titik kedalaman. Masukan secci disk sampai dasar , liat skala di

secci disk lalu diukur kedalamanya dan dihitung kedalamnya.

3.2.2. Penetrasi Cahaya

Pengukuran kecerahan/penetrasi cahaya menggunakan keping secchi,

yang di celupkan ke dalam badan air sampai warna pada keping secchi disk

sudah sukar di lihat oleh mata. Lakukan pencatatan dan menghitung hasilnya.

3.2.3. Suhu

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer celcius

dengan bantuan tali rafia dicelupkan ke dalam badan air yang akan diteliti

selama kurang lebih 10 menit. Kemudian melakukan pencatatan setelah skala

menunjukkan angka yang konstan.

3.2.4. Kekeruhan
Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan menggunakan alat

turbiditimeter dengan merk Lutron TU-2016. Turbiditi terlebih dahulu

dikalibrasi dengan larutan standar yang ada 15(0 NTU dan 100 NTU), setelah

itu isi kuvet dengan air sampel, kemudian diukur dan dicatat hasil

pengukurannya

3.2.5. DHL (Daya Hantar Listrik)

Pengukuran DHL dilakukan menggunakan alat TDS meter merk Lutron

YK- 22CT. TDS meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang

ada, setelah itu isi kuvet dengan air contoh, diukur dan dicatat hasilnya.

3.2.6. TDS (Total Dissolved Solid)

Pengukuran TDS dilakukann,m menggunakan alat TDS meter merk

Lutron YK- 22CT. TDS meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan

standar yang ada, setelah itu kuvet diisi dengan air contoh, diukur dan dicatat

hasilnya.

3.2.7. Warna

Warna pada kolam ditentukan dengan indera penglihatan (mata).

3.2.8. Bau

Bau pada kolam ditentukan dengan indera penciuman. Sampel air yang

akan di uji diambil ke dalam wadah, lalu dekatkan dengan hidung catat hasil

yang di dapat.

3.2.9. Tipe Substrat

Tipe substrat pada kolam ditentukan dengan diliat dan dirasakan tekstur

substratnya lunak ata yang lainnya.


3.2. Waktu dan Tempat

3.3. Analisis Data

Data parameter fisika air yang diperoleh dianalisis secara deskriptif

dengan histogram atau diagram blok antara titik sampling atau waktu

sampling.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Fisik Kolam

Tabel 1.Sifat Fisik Kolam BBI Pandak

4.1. Pembahasan
4.1.1. Suhu

Berdasarkan hasil pengamatan nilai suhu pada pukul 05.30 sebesar 25,24 oC dan pada pukul

13.00 sebesar 29,96 oC. Waktu siang memiliki nilai temperature tertinggi, diperkirakan karena

ketika siang kolam terpapar sinar matahari dengan minimnya vegetasi tutupan di sekitar kolam

membuat panas matahari masuk dan terjadi penyerapan oleh materi perairan. Sesuai dengan

pustaka yang menyebutkan kenaikan temperature berhubungan lansung dengan TSS dan TDS.

Kenaikan nilai TSS dan TDS disebabkan oleh kenaikan temperatur perairan terjadi sejak

penyerapan cahaya matahari oleh materi perairan. Temperatur juga merupakan parameter fisika

yang dapat dipengaruhi oleh kecerahan dan kedalaman. Air yang dangkal dan daya tembus

matahari yang tinggi dapat meningkatkan suhu perairan (Kamsuri et al., 2013).

Berdasarkan grafik tersebut suhu tertinggi pada pukul 13.00 sebesar 29,96 oC dan terendah

pada pukul 05.30 sebesar 25,24 oC. Suhu perairan mengalami fluktuasi setiap hari, terutama

mengikuti pola suhu udara lingkungan,intensitas cahaya matahari, letak geografis, penaungan,

dan kondisi internal perairan seperti kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus, dan timbunan bahan

organik di dasar perairan. Meningkatnya suhu sebesar 10°C akan meningkatkan laju metabolisme

sebesar 2–3 kali lipat. Naiknya suhu menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menurun,

sehingga organisme air sulit untuk respirasi. Suhu udara yang baik untuk perkembangan

organisme akuatik dan tidak menimbulkan tekanan yang berbahaya berkisar antara 24 oC - 27 oC

(Sinambela, 2015).
Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan

pengendalian pencemaran air mengenai kondisi suhu perairan yang baik minimal 20 ℃ dan

maksimal 31℃.Maka Sungai Panemon memenuhi standar bakumutu tersebut.

4..2.2. Penetrasi Cahaya

Berdasarkan data pengamatan diambil pada 2 waktu yaitu pukul 05.30 pagi tidak terdapat

penetrasi cahaya dan pada waktu siang hari yaitu 13.00 sebesar 35 cm.

Berdasarkan grafik penetrasi cahaya kolam tertinggi pada pukul 13.00 sedangkan terendah

pada pukul 05.30. Hal ini telah sesuai dengan referensi bahwa kecerahan yang tinggi terjadi pada

waktu siang hari karena pada waktu ini cahaya dapat masuk ke dalam perairan. Kecerahan badan

perairan di pengaruhi oleh banyak tidaknya cahaya yang masuk kedalam perairan. Menurut

Ariawan dan Poniran (2004) dalam Pramleonita (2018), nilai kecerahan di atas 35 cm tergolong

kurang baik, karena diasumsikan terjadinya pengurangan plankton dan fitoplankton,

sehingga air akan semakin transparan dan dapat menaikkan suhu air. Kecerahan dipengaruhi

oleh zat-zat terlarut dalam air. Makin besar kecerahan air, maka penetrasi cahaya juga makin

tinggi, sehingga proses fotosintesis bisa berlangsung semakin dalam. Akan tetapi semakin besar

nilai kecerahan pada suatu perairan, maka suhu air semakin besar (Pramleonita, 2018).

Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air

dan pengendalian pencemaran air nilai standar penetrasi cahaya adalah 20 cm.Maka Sungai

panemon melebihi batas standar mutu tersebut.

4.1.2. Kedalaman

Kedalaman pada waktu pagi hari pukul 05.30 yaitu 0.5933 meter dan kedalaman pada

waktu siang hari yaitu pukul 13.00 adalah 0.4833 m. Hal ini sesuai dengan referensi karena

seharusnya semakin siang maka kedalamannya semakin dangkal karena rendah dan tingginya
kedalaman kolam dapat disebabkan karena tingginya penumpukan bahan organik yang berupa

kotoran ikan dan sisa pakan serta batas pandang manusia karena cahaya (Ma’rufi, et al.,2015).

Berdasarkan grafik tersebut nilai kedalam kolam minimum pada pukul 13.00 dan kedalaman

maksimal pada pukul 05.30.

Standar baku mutu kedalaman menurut PP No. 38 Tahun 2011 adalah 0,5-0,7 meter.Kolam

tersebut masuk dalam standar baku mutu.

4.1.3. Kekeruhan

Berdasarkan hasil pengamatan nilai kekeruhan kolam pada pukul 05.30 adalah 7,87

dan pada pukul 13.00 adalah 14.46.

Berdasarkan grafik menunjukkan nilai kekeruhan tertinggi pada pukul 13.00 sebesar 14,46

NTU dan yang terendah pada pukul 05.30 sebesar 7,87 NTU. Kekeruhan yang tinggi

menyebabkan rendahnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan. Sehingga proses

fotosintesis fitoplankton terhambat dan pertumbuhan fitoplankton tidak optimal (Dwirastina,

2015). Pengaruh ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya penetrasi cahaya matahari ke

dalam perairan juga akan berakibat terhadap mekanisme pernafasan organisme perairan

(Sinambela, 2015).

Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan

pengendalian pencemaran air mengenai kondisi kekeruhan suatu perairan yaitu sebesar 25 NTU,

maka kolam tersebut dapat dikatakan kurang baik untuk dilakukan budidaya pada kolam

tersebut.

4.1.4. TDS

Berdasarkan grafik menunjukkan nilai TDS tertinggi pada pukul 13.00 sebesar 4,33 mg/L

dan yang terendah pada pukul 05.30 sebesar 49,67 mg/L. Bahan-bahan terlarut pada perairan
alami secara umum tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan akan dapat menurunkan

kualitas perairan. Bahan yang tidak larut akan membentuk koloid atau tersuspensi, yang akan

meningkatkan nilai kekeruhan perairan, yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya

matahari dan mempengaruhi proses fotosintesis atau proses lain diperairan (Tanjung, 2016).

Peningkatan TDS akan meningkatkan konduktivitas dalam air karena konduktivitas air

bergantung kepada kehadiran ion-ion bahan non organic (Miefthawati, 2014).

Nilai TDS yang masih mendukung kehidupan organisme akuatik menurut Effendi (2003),

air tawar memiliki nilai TDS antara 0-1000 mg/L dan air payau memiliki nilai TDS antara 1.001-

3.000 mg/L. Sehingga berdasarkan hasil pengukuran di kolam dalam waktu yang berbeda masih

berpotensi untuk kehidupan organisme, karena nilai TDS nya kurang dari 1000 mg/L. Hal tesebut

pun sesuai dengan standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan

kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengenai kondisi TDS suatu perairan yaitu sebesar

41–278 mg/L L, maka perairan tersebut masih dikatakan baik untuk organisme akuatik.

4.1.5. DHL

Berdasarkan hasil data pada grafik dapat diketahui tingkat DHL pada pukul 05.30 pagi yaitu

sebesar 76 µmhos/cm dan tingkat DHL pada pukul 13.00 sama yaitu sebesar 76 µmhos/cm. TDS

akan tinggi dengan banyaknya ionik yang bisa disebabkan oleh hasil ekskresi dari

mikroorganisme (Miefthawati, 2014).Nilai konduktivitas suatu larutan dipengaruhi oleh zat yang

terlarut didalamnya sebagai contoh larutan garam (NaCl), semakin bnyak jumlah garam yang

terlarut maka konduktivitasnya semakin besar (Arthana, 2006 dalam Wiono, 2014). Daya hantar

listrik (DHL) yang semakin jauh darisumber pencemar (limbah) justru memiliki nilai kandungan

DHL semakin tinggi. DHL merupakan kemampuandari substansi untuk menghantarkan arus

listrikyang berupa kadar garam yang terlarut (Uktiani, 2016)

Sesuai standar baku mutu PP RI No. 82 Tahun 2001 maka kolam tersebut belum memenuhi

kriteria dan kurang baik untuk kehidupan ikan.


4.1.6. Warna air

Berdasarkan hasil praktikum warna air kolam pukul 05.30 adalah hijau bening dan pukul

13.00 berwarna hijau kecoklatan.Warna pada air disebabkan oleh adanya partikel hasil

pembusukan bahan organik, ion- ion metal alam (besi dan mangan), plankton, humus, buangan

industri, dan tanaman air (Munfiah, 2013). Hal ini disebabkan oleh tipe substrat kolam yaitu tanah

berlumpur. Kemudian warna pada kolam yaitu pada pagi hari warna tampak coklat, warna

sesungguhnya coklat muda. Pada siang hari warna tampak coklat kehijauan, warna

sesungguhnya coklat.

Standar baku mutu berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001 air kolam yang baik tidak

berwarna.sehingga kolam tersebut kurang baik untuk kehidupan ikan.

4.1.7. Bau

Berdasarkan hasil pengamatan bau air pada pukul 05.30 diperoleh tidak berbau dan pada

pukul 13.00 diperoleh sedikit amis. Bau amis yang ditimbulkan berasal dari bau ikan itu sendiri

karena sisa metabolisme yang berupa amoniak. Amoniak merupakan salah satu bahan organik

yang mempengaruhi bau kolam itu sendiri. Selain itu, air yang berbau dapat disebabkan oleh

reduksi sulfat dengan adanya bahan-bahan organik dan mikroorganisme anaerobik (Gandhi,

2012).

Standar baku mutu sesuai dengan PP RI No. 82 Tahun 2001 adalah kolam yang baik tidak

berbau..Maka kolam tersebut cukup baik untuk kehidupan ikan.

4.1.8. Tipe Substrat

Berdasarkan hasil pengamatan tipe substrat pada pukul 05.30 dan pada pukul 13.00

menunjukkan tipe substrat yang sama yaitu berlumpur. Hal ini sesuai dengan pendapat Saberina,

dkk (2013) bahwa tanah dasar kolam yang tidak dilakukan pengelolaan secara baik akan

berdampak pada akumulasi sedimen lunak di daerah kolam yang lebih dalam sehingga menjadi

masalah setelah 15-20 tahun bila dilakukan budidaya secara kontinyu. Faktor-Faktor yang

mempengaruhi substrat adalah kandungan bahan organik menggambarkan tipe dan substrat dan
kandungan nutrisi di dalam perairan. Tipe substrat berbeda- beda seperti pasir lumpur dan tanah

liat (Sembiring, 2008).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah :

1. Parameter fisik perairan untuk uji kualitas perairan lentik meliputi suhu,

penetrasi cahaya, kedalaman, kekeruhan, TDS, konduktivitas, warna, substrat

dasar, warna, dan bau perairan.

2. Kualitas perairan kolam di BBI Pandak dilihat dari aspek fisik masih cukup baik

untuk digunakan karena masih dalam rentang standar mutu baku perairan.

V.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Astrini, A. D. R., M. Yusuf, & A. Santoso.2014.Kondisi Perairan Terhadap


Struktur KomunitasMakrozoobenthos Di Muara Sungai Karanganyar
DanTapak, Kecamatan Tugu, Semarang. Journal Of Marine Research. 3 (1):
27-36.

Brower JE., Zar JH. 1977. Field and Laboratory Method for General Ecology.
Buduque. Brown Pulb.

Darmasusantini, Putu Desy., I Nyoman Merit., I G.B Sila Dharma. 2016.


Identifikasi Sumber Pencemar dan Analisis Kualitas Air Tukad Saba
Provinsi Bali. ECOTROPHIC.9 (2): 57-63.

Faisal, Muhammad., Harmadi., Puryanti, Dwi. 2016. Perancangan Sistem


Monitoring Tingkat Kekeruhan Air Secara Realtime Menggunakan Sensor
TSD-10. Jurnal Ilmu Fisika (Jif).Vol 8 No 1.

Hasibuan, Saberina., Syafriadiman. 2013. Karakteristik Fisika Dan Kimia Profil


Tanah Dasar Kolam Di Desa Koto Mesjid Kabupaten Kampar. Jurnal
Perikananan Dan Kelautan.ISSN 0853-7607

Irawan, David. 2015. Kualitas Air Tanah Pada Lahan Gambut Di Desa Eka
Mulya Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji. Skripsi. Bandar
Lampung : Universitas Lampung.80 hal.

Kasasiah A, DI Hartoto, F Yulianda, Haryono, dan M Marzuki. 2009. Pedoman


Penilaian Kerusakan habitat Sumberdaya Ikan di Perairan Daratan, 92. Jakarta :
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI.45 hal.

Marwoto, Ristiyanti M., Isnaningsih Nur R. 2014. Tinjauan Keanekaragaman


Moluska Air Tawar Di Beberapa Situ Di Das Ciliwung – Cisadane. Berita
Biologi 13(2).
Miefthawati, N. P. 2014. Analisa Penentuan Kualitas Air Tasik Bera Di Pahang
Malaysia Berdasarkan Pengukuran Parameter Fisika-Kimia.Jurnal Sains,
Teknologi dan Industri . 12 (1): 32-40.

Muarif. 2016. Karakteristik Suhu Perairan di Kolam Budidaya Perikanan. Jurnal


Mina Sains ISSN: 2407-9030 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2016

Munsiri, P, C.E. Boyd, and B.J. Hajek. 1995. Physical and Chemical
Characteristics of Bottom Soil Profiles in Ponds at Auburn, Alabama, USA,
and a Proposed Method for Describing Pond Soil Horizons. Journal of the
World Aquaculture Socieety. 26:346–377.

Mushthofa, Aqil., Max Rudolf Muskananfola., Siti Rudiyanti. 2014. Analisis


Struktur Komunitas Makrozoobenthos sebagai Bioindikator Kualitas
Perairan Sungai Wedung Kabupaten Demak. Diponegoro Journal Of
Maquares. 3(1): 81-88.

Oktarina, A., & T. S. Syamsudin. 2015. Keanekaragaman dan distribusi


makrozoobentos di perairan lotik dan lentik Kawasan Kampus Institut
Teknologi Bandung, Jatinangor Sumedang, Jawa Barat. Pros Sem Nas
Masy Biodiv Indon. 1 (2): 227-235.

Pasisingi, Nuralim., Niken TM Pratiwi., Majariana Krisanti. 2014. Kualitas


perairan Sungai Cileungsi bagian hulu berdasarkan kondisi fisik-kimia.
Depik. 3(1): 56-64.

Pramleonita, Meilinda., Yuliani, Nur., Arizal, Ridha., Wardoyo, Supriyono Eko.


2018. Parameter Fisika Dan Kimia Air Kolam Ikan Nila Hitam
(Oreochromis niloticus). Jurnal Sains Natural.Vol. 8, No.1:24 – 34

Richard, M., Sipriana, S., Tumembouw., & Yoppy, M. 2013. Analisis Kualitas
Fisika Kimia Air di Areal Budidaya Ikan Danau Tondano Sulawesi Utara.
Jurnal Budidaya Perairan. 2 (1): 29-37

Rizki, A., Yunasfi., & Muhtadi, A.,. 2015. Analisis Kualitas Air dan Beban
Pencemaran di Danau Pondok Lapan Kecamatan Salapian Kabupaten
Langka. Jurnal Universitas Sumatera Utara.
Saberina, H., & Syafriadiman. 2013. Karakteristik Fisika dan Kimia Profil Tanah
Dasar Kolam di Desa Koto Mesjid Kabupaten Kampar. Jurnal Perikanan
dan Kelautan. 1 (18).

Sinambela, M. 2015. Makrozoobentos Dengan Parameter Fisika dan Kimia di


Perairan Sungai Babura Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Biosains.(1):44-50

Tanjung, R.H.R., Maury, HK., & Suwito. 2016. Pemantauan Kualitas Air Sngai
Digoel, Distrik Jair, Kabpaten Boven Digoel. Papua. Jurnal Biologi Papua.1
(8): 38-47

Taqwa, Rella Nur., Muskananfola, Max Rudolf., Ruswahyuni. 2014. Studi


Hubungan Substrat Dasar Dan Kandungan Bahan Organik Dalam
Sedimen Dengan Kelimpahan Hewan Makrobenthos Di Muara Sungai
Sayung Kabupaten Demak . Diponegoro Journal Of Maquares. Volume 3,
Nomor 1:125-133

Uktiani, Arum. 2016. Dampak Pembuangan Limbah Industri Batu Alam


Terhadap Kualitas Air Irigasi Di Kecamatan Palimanan Kabupaten
Cirebon. Jurnal Geografi Media Infromasi Pengembangan Ilmu Dan Profesi
Kegeografian. Semarang : Unnes.57 hal.

Yazwar. 2008. Keanekaragaman Plankton dan Keterkaitannya dengan Kualitas


Air di Parapat Danau Toba. [Tesis] Universitas Sumatera Utara. Medan.90
hal.

Yogafanny, Ekha. 2015. Pengaruh Aktifitas Warga di Sempadan Sungai


terhadap Kualitas Air Sungai Winongo. Jurnal Sains dan Teknologi
Lingkungan. 7(1): 41-50.

Zulfia, Naila., Aisyah. 2013. Status Trofik Perairan Rawapening Ditinjau Dari
Kandungan Unsur Hara (No3 Dan Po4) Sertaklorofil-A. BAWAL Vol. 5 (3):
189-199
LAMPIRAN
ACARA V

ANALISIS SIFAT KIMIA AIR KOLAM PENDEDERAN IKAN NILA


(Oreochromis niloticus) DI BPBAT PANDAK

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki

ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana

budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari

waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik

yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang

dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum.

Tingkat produktifitas kolam antara lain ditentukan oleh faktor lingkungan,

terutama kesesuaian kualitas air yang digunakan untuk mengairinya (Ningsih,

2013)

Perairan lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau tenang

seperti danau, situ, rawa, waduk atau telaga. Adapun perairan lotik merupakan

suatu habitat perairan yang mengalir seperti sungai dan kanal. Situ merupakan

salah satu tipe perairan lentik, dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai

telaga atau danau, namun biasanya situ lebih kecil ukurannya dibandingkan

danau. Tipe perairan menggenang seperti rawa dan situ dicirikan dengan

tepian yang landai, kedalaman < 10 m, fluktuasi air 2–5 m, daerah derodon

luas, daerah tangkap hujan sedang, masa simpan air sedang, pengeluaran air

atas (Kasasiah et al., 2009 dalam Marwoto, 2014).


Karakteristik tanah dasar kolam sangat jarang diteliti secara

komprehensif. menggambarkan horizon tanah kolam yang digunakan untuk

sistematika karakteristik tanah kolam. Deskriptif karakteristik tanah kolam

digambarkan melalui pendekatan sifat fisika dan kimiawinya, diantaranya

kandungan air tanah, berat volume tanah kering, warna tanah (Munsell color

chart), pH tanah kering, berat jenis tanah, bahan organik tanah dan N total

tanah. Analisis karakteristik sifat fisikokimia tanah dasar kolam merupakan

perangkat terbaik dalam mengelola budidaya. (Munsiri et al., 1995 dalam

Hasibuan, 2013).

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum analisis sifat kimia air kolam Pendederan Ikan

Nilem (Osteochilus hasselti) di BPBAT Pandak adalah untuk mengetahui

perbedaan analisis sifat kimia air kolam Pendederan Ikan Nilem (Osteochilus

hasselti) di BPBAT Pandak pada pagi dan siang hari.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam

Kolam merupakan salah satu contoh ekosistem yang sederhana,

sehingga mudah dipelajari dan sangat sesuai untuk diperkenalkan kepada

pemula. Meskipun sederhana dan mudah dipelajari, kolam merupakan

ekosistem yang sempurna, lengkap dengan ke enam komponen serta proses-

prosesnya. Dalam suatu kolam dapat diamati komponen-komponennya yaitu:

komponen abiotik, produsen, makro konsumen dan saprotrof atau organisme

pengurai (mikro konsumen) (Utomo, 2014).

Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam

jumlah tertentu sehingga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau

hewan air lainnya. Berdasarkan pengertian teknis kolam merupakan suatu

perairan buatan yang luasnya terbatas dan sengaja dibuat manusia agar mudah

agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis hewan budidaya dan

target produksinya. Kolam selain sebagai media hidup ikan juga harus dapat

berfungsi sebagai sumber makanan alami bagi ikan, artinya kolam harus

berpotensi untuk dapat menumbuhkan makanan alami (Darfianto,2013).

Syarat esensial bagi suatu kolam yang efektif adalah (1) kondisi

topografi di tempat yang akan dibangun kolam harus memungkinkan

pembangunan yang ekonomis, tenaga dan biaya adalah fungsi langsung

panjang dan dalam kolam, (2) cukup air yang memenuhi syarat, (3) terdapat

bahan tanah yang kedap air, bukan pasir, (4) semua kolam harus dilengkapi

fasilitas pelimpasan untuk menyalurkan air kalau terjadi terjadi banjir, dengan
aman, dan (5) kolam harus dapat dikeringkan untuk perbaikan

(Darfianto,2013).

2.1.1. Kolam Pendederan

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki

ciri ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana

budidaya berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari

waduk atau sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik

yang dibangun khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang

dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum.

Kualitas suatu perairan menggenang dapat ditentukan

berdasarkan fluktuasi populasi plankton yang mempengaruhi tingkat tropik

perairan atau kolam tersebut (Agustini dan Sri, 2014). Dikatakan pula oleh

Nybakken (1992) dalam Agustini dan Sri (2014) bahwa sifat fisik-kimia suatu

perairan sangat penting dalam ekologi. Sehingga selain melakukan

pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan pengamatan faktor

abiotik perairan, aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor

abiotik akan dapat diperoleh gambaran tentang kualitas suatu perairan.

Kehidupan fitoplankton dalam perairan dipengaruhi oleh kondisi dari

beberapa faktor fisika kimia perairan. Adapun faktor fisika kimia yang

cenderung mempengaruhi kehidupan fitoplankton adalah: suhu, kecepatan

arus, CO2 bebas, pH dan DO (Suin, 2002 dalam Widiana, 2012).

2.2. Sifat Fisik Kolam

2.2.1. pH (Derajat Keasaman)


Derajat keasaman merupakan faktor lingkungan kimia air yang berperan

dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut pendapat

Soesono (1988) dalam Armita (2011) bahwa pengaruh bagi organisme sangat

besar dan penting, kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan menekan laju

pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak ada

laju reproduksi sedangkan pH 6,5 – 9 merupakan kisaran optimal dalam suatu

perairan.

2.2.2. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut atau sering disebut DO (Dissolved Oxygen) merupakan

gas oksigen dalam bentuk terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut

sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup organisme perairan. Secara

umum organisme perairan membutuhkan oksigen terlarut pada konsentrasi

antara 5 sampai dengan 8 mg/L. Tingginya nilai DO suatu perairan disebabkan

banyaknya tumbuhan air yang berada di dalam perairan tersebut. Dalam

proses fotosintesis tumbuhan air akan menghasilkan oksigen dan

melepaskannya ke dalam perairan (Nugroho et.al, 2013).

2.2.3. CO2 Bebas

Karbondioksida bebas adalah gas karbondioksida yang terlarut di dalam

air (Marganof, 2007). Karbondioksida bebas merupakan parameter penting

dalam menunjang produktivitas alami perairan.Karbondioksida dalam air

dipengaruhi oleh temperatur, banyaknya bahan organik yang masuk ke

perairan, gerakan air dan evaporasi. Lebih lanjut Triyatmo (2001),

menyatakan bahwa karbondioksida dalam air juga dipengaruhi oleh

kedalaman.
2.2.4. DMA (Daya Menggabung Asam)

Daya Menggabung Asam (DMA) dapat disebut sebagai nilai alkalinitas

suatu perairan yang menunjukkan kapasitas penyangga perairan dan dapat

digunakan sebagai parameter untuk menduga kesuburan suatu perairan

(Wardoyo, 1982). Soeseno (1974) menyebutkan bahwa daya menggabung asam

dapat digunakan untuk menentukan baik buruknya perairan sebagai

lingkungan hidup. Nilai DMA yang baik yaitu berkisar antara 2-2,5 mg/L.

Apabila daya menggabung asam memiliki nilai yang terlalu rendah, maka

dapat dipastikan bahwa perairan tersebut kurang baik daya penyangganya.

Sebaliknya apabila daya menggabung asamnya tinggi maka daya produksinya

secara hayati cukup besar.


I. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1 Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

3.1.2 Bahan

3.2 Metode

3.2.1 Derajat Keasaman (Ph)

Pengukuran menggunakan alat pH meter, setelah dikalibrasi sipkan air

sampel pada gelas dan celupkan elektroda kedalam gelas yang berisi air

sampel, tunggu sampai pH stabil dan catat hasil yang tertera pada alat.

3.2.2 Oksigen Terlarut (DO)

Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 mL, lalu ke dalamnya

tambahkan 1 mL larutan MnSO4 dan 1 mL larutan KOH-KI dengan bantuan

pipet seukuran. Kemudian botol sampel tersebut tutup dengan hati-hati agar

udara tidak masuk ke dalam botol dan bolak-balik minimal sebanyak 15 kali

dan diamkan (± 2 menit) sampai terjadi endapan warna coklat atau cairan

supernatan menjadi tampak jernih. Selanjutnya ke dalamnya masukkan larutan

H2SO4 pekat sebanyak 1 mL dengan bantuan pipet Mohr. Ambil sebanyak 100

mL dengan gelas ukur dan masukkan ke dalam labu erlenmeyer. Kemudian

titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,025 N. Lalu ke dalamnya tambahkan


indikator amilum sebanyak 10 tetes sehingga larutan berubah menjadi warna

biru. Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru hilang. Volume titrasi yang

digunakan dicatat dan hitung kadar oksigen terlarutnya.

Rumus perhitungan :

3.2.3 Karbondioksida Bebas (CO2 Bebas)

Sampel air ambil dengan botol Winkler 250 mL, dengan gelas ukur ambil

100 mL dan pindahkan ke dalam labu erlenmeyer. Setelah itu ke dalamnya

tambahkan 10 tetes indikator phenolpthalein (pp). Kemudian titrasi dengan

larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan berwarna merah jambu muda dan

titrasi dilakukan duplo.

3.2.4 DMA

Sampel air ambil dengan botol Winkler 250 ml, dengan gelas ukur ambil

100 ml dan pindahkan ke dalam labu erlenmeyer. Setelah itu tambahkan 3 tetes

indikator methyl orange (MO). Kemudian titrasi dengan larutan HCl 0,1 N

sampai larutan berwarna merah bata dan titrasi dilakukan duplo.

3.2. Waktu dan Tempat

3.3. Analisis Data


Data parameter kimia air yang diperoleh dianalisis secara deskriptif

dengan histogram atau diagram blok antara titik sampling atau waktu

sampling.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 3. Sifat Kimia Kolam ....

Tabel 2. Sifat kimia Kolam BBI Pandak

4.2. Pembahasan

4.2.1. pH (Derajat Keasaman)

Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH kolam pada pukul 05.30 adalah

7.5 dan pada pukul 12.30 adalah 9.15

Berdasarkan grafik diatas maka nilai derajat keasaman tertinggi pada

pengukuran pukul 12.30 sebesar 9,15 , sedangkan nilai derajat keasaman

terendah pada pengukuran pukul 05.30 sebesar 7,50. Kondisi pH yang sangat

rendah, menyebabkan kelarutan logam-logam dalam air makin besar, yang

bersifat toksik bagi organisme air, sebaliknya pH yang tinggi dapat

meningkatkan konsentrasi amoniak dalam air yang juga bersifat toksik bagi

organisme air (Frits, 2013).

Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengenai kondisi

pH suatu perairan yaitu sebesar 6 -9, maka kolam tersebut dapat dikatakan baik

untuk dilakukan budidaya pada kolam tersebut.


4.2.2. Oksigen Terlarut

Berdasarkam hasil pengamatan nilai Oksigen terlarut kolam pada pukul

05.30 adalah 2,2 mg/L dan pada pukul 12.30 adalah9,9 mg/L

Berdasarkan hasil pengukuran Dissolved Oxygen pada kolam yaitu

memiliki nilai tertinggi yaitu pada siang hari pukul 12.30 sebesar 9,9 mg/L, dan

pada pagi hari pukul 05.30 sebesar 2,3 mg/L. Tinggi rendahnya nilai oksigen

terlarut erat hubungannya dengan pergerakan air pada suatu perairan. Oksigen

terlarut dalam suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi organisme

akuatik dalam melakukan aktifitas (Richard, 2013). Jika oksigen terlarut tidak

seimbang akan menyebabkan stress pada ikan karena otak tidak mendapat

suplai oksigen yang cukup, serta kematian akibat kekurangan oksigen (anoxia)

yang disebabkan jaringan tubuh ikan tidak dapat mengikat oksigen yang

terlarut dalam darah. Pada siang hari, oksigen dihasilkan melalui proses

fotosintesa sedangkan pada malam hari, oksigen yang terbentuk akan

digunakan kembali oleh alga untuk proses metabolisme pada saat tidak ada

cahaya. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum

menjelang pagi hari (Frits, 2013).

Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengenai kondisi

oksigen terlarut suatu perairan yaitu sebesar >4 mg/L, maka kolam tersebut

dapat dikatakan cukup baik untuk db ilakukan budidaya pada kolam tersebut.
4.2.3. CO2 Bebas

Berdasarkan hasil pengamatan nilai CO2 Bebas kolam pada pukul 05.30

adalah 1,65 dan pada pukul adalah 0.

Berdasarkan hasil pengukuran Karbondioksida bebas pada kolam yaitu

pada siang hari pukul 12.30 tidak ada, dan pada pagi hari pukul 05.30 sebesar

1,65mg/L. Effendi (2003) menyatakan bahwa, kadar karbondioksida diperairan

dapat mengalami pengurangan, bahkan hilang akibat proses fotosintesis,

evaporasi dan agitasi air. Pada siang hari ditemukan karbondioksida bebas

terendah karena digunakan untuk proses fotosintesis. Sedangkan di pagi hari

dijumpai CO2 bebas yang tinggi, karena tidak ada fotosintesis. Nilai

karbondioksida bebas (CO2) pada kolam menunjukan perairan yang baik

untuk kehidupan ikan karena nilai karbondioksida bebas (CO2) pada pagi,

siang, sore, dan malam hari kurang dari 12 mg/L.

Pada umumnya perairan alami mengandung karbondioksida sebesar 2

mg/l. Pada kosentrasi yang tinggi (> 10 mg/l), karbondioksida dapat beracun,

karena keberadaannya dalam darah dapat menghambat pengikatan oksigen

oleh hemoglobin (Frasawi, 2013). Menurut Zaki et.al., (2014) , kandungan

karbon dioksida < 5 mg/L = baik untuk kegiatan perikanan, toleransi 10-20

mg/L. Standar baku mutu air menurut PP RI no. 82 tahun 2001 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengenai kondisi

karbondioksida bebas suatu perairan yaitu sebesar 5 mg/L, maka kolam

tersebut dapat dikatakan baik untuk dilakukan budidaya pada kolam tersebut.

4.2.4. DMA
Berdasarkan hasil pengamatan nilai DMA kolam pada pukul 05.30 adalah

0,15 dan pada pukul 12.30 adalah 0,6.

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan DMA pada jam 05.30 yaitu

sebesar 0.15 mg/L dan pada siang hari jam 12.30 yaitu sebesar 0.6 mg/L. Hal

ini menunjukkan bahwa daya menggabung asam tertinggi yaitu pada siang

hari. DMA pada siang hari lebih tinggi daripada pagi hari. Hal ini terjadi

karena pengaruh pH di perairan. DMA dipengaruhi oleh faktor zat organik dan

anorganik yang terdapat dalam perairan. DMA dapat menggambarkan

produktifitas perairan, dapat menilai renmdah, sedang, dan tingginya aktivitas

organisme kolam (Fuady, 2013).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah :

1. Pada pagi hari jam 05.30 didapatkan pH 7,50, DO 2,3 mg/L, CO2 Bebas 1,65

mg/L, dan DMA 0,15 ml/L.

2. Pada siang hari jam 12.30 didapatkan pH 9,15, DO 9,9 mg/L, CO2 Bebas

tidak terdeteksi, dan DMA 0,6 ml/L.

5.2. Saran

Perlu adanya pemeliharaan dan penjagaan kualitas air di kolam permanen,

karena perairan tersebut merupakan salah satu aspek pendukung bagi

kehidupan makhluk hidup.


DAFTAR PUSTAKA

Andara, Diani Riezki., Haeruddin., Agung Suryanto. 2014. Kandungan Total


Padatan Tersuspensi, Biochemical Oxygen Demand Dan Chemical
Oxygen Demand Serta Indeks Pencemaran Sungai Klampisan Di
Kawasan Industri Candi, Semarang. Diponegoro Journal Of Maquares. 3(3):
177-187.

Frasawi, A. Robert, R. Juliaan, W. 2013. Potensi Budidaya Ikan di Waduk


Embung Klamalu Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat: Kajian
Kualitas Fisika Kimia Air. Jurnal Budidaya Perairan. Nomor 3 (1): 24-30.

Frits, T. Ockstan,, K. Robert, R. 2013. Studi Parameter Fisika Kimia Air pada
Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan, Kabpaten
Minahasa. Jurnal Budidaya Perairan. Nomor 2 (1): 8-19.

Hasibuan, Saberina., Syafriadiman. 2013. Karakteristik Fisika Dan Kimia Profil


Tanah Dasar Kolam Di Desa Koto Mesjid Kabupaten Kampar. Jurnal
Perikananan Dan Kelautan.ISSN 0853-7607

Irawan, David. 2015. Kualitas Air Tanah Pada Lahan Gambut Di Desa Eka
Mulya Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji. Skripsi. Bandar
Lampung : Universitas Lampung.116 hal.

Kasasiah A, DI Hartoto, F Yulianda, Haryono, dan M Marzuki. 2009. Pedoman


Penilaian Kerusakan habitat Sumberdaya Ikan di Perairan Daratan, 92. Jakarta :
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI. 87 hal.

Lukman., Mulyana., Mumpuni Fs. 2014. Efektivitas Pemberian Akar Tuba


(Derris Elliptica) Terhadap Lama Waktu Kematian Ikan Nila (Oreochromis
Niloticus). Jurnal Pertanian.Volume 5 Nomor 1.

Marwoto, Ristiyanti M., Isnaningsih Nur R. 2014. Tinjauan Keanekaragaman


Moluska Air Tawar Di Beberapa Situ Di Das Ciliwung – Cisadane. Berita
Biologi.13(2).
Millero, F. J., Huang, F., & Lafereire, A. L. (2002). The Solubility Of Oxygen In
The Major Sea Salts And Their Mixtures At 25oc. Geochimica Et
Cosmochimica Acta.66(13):2349-2359.

Mulyadi, Tang, U., Yani, E. S. 2014. Sistem Resirkulasi dengan Menggunakan


Filter yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila
(Oreochromis niloticus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2(2):117-124

Munsiri, P, C.E. Boyd, and B.J. Hajek. 1995. Physical and Chemical
Characteristics of Bottom Soil Profiles in Ponds at Auburn, Alabama, USA,
and a Proposed Method for Describing Pond Soil Horizons. Journal of the
World Aquaculture Socieety. 26:346–377.

Ningsih, Fidia., Rahman, Mijani., Rahman, Abdur. 2013. Analisis Kesesuaian


Kualitas Air Kolam Berdasarkan Parameter Ph, Do, Amoniak,
Karbondioksida Dan Alkalinitas Di Balai Benih Dan Induk IkanAir Tawar
(Bbi-Iat) Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Fish Scientiae.Volume
4 Nomor 6:hal. 102-113

Pamukas, Niken Ayu. 2011. Perkembangan Kelimpahan Fitoplankton Dengan


Pemberian Pupuk Organik Cair. Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2011.
39(1):0126-6265

Prasetyawan, Indra Budi., Maslukah, Lilik., Rifai, Azis. 2017. Pengukuran


Sistem Karbon Dioksida (Co2) Sebagai Data Dasar Penentuan Fluks
Karbon Di Perairan Jepara. Buletin Oseanografi Marina.6(1):9–16

Puspitasari, Ade Tyas T., Amron., Alisyahbana, Syswaludin., 2016. Struktur


Komunitas Karang Berdasarkan Karakteristik Perairan Di Taman Wisata
Perairan (Twp) Kep Ulauan Anambas. Omniakuatika. 12(1):55–72.

Richard, M. Sipriana, S. Tumembouw. Yoppy, M. 2013. Analisis Kualitas Fisika


Kimia Air di Areal Budidaya Ikan Danau Tondano Sulawesi Utara. Jurnal
Budidaya Perairan. Nomor 2 (1): 29-37

Rizki, Ahmad., Yunasfi., & Muhtadi, A.,. 2015. Analisis Kualitas Air dan Beban
Pencemaran di Danau Pondok Lapan Kecamatan Salapian Kabupaten
Langka. Jurnal Universitas Sumatera Utara.88 hal.
Rukminasari, Nita., Nadiarti., Awaluddin, Khaerul. 2014. Pengaruh Derajat
Keasaman (Ph) Air Laut Terhadap Konsentrasi Kalsium Dan Laju
Pertumbuhan Halimeda Sp. Torani.Jurnal Ilmu Kelautan Dan Perikanan.24 (1):
28-34

Siahaan, R.,A. Indawan, D. Soedharma, dan L.B. Prasetyo. 2011. “Kualitas Air
Sungai Cisadane, Jawa Barat – Banten”. Jurnal Ilmiah Sains, 11. 268-273.

Susanto, R. D., Gordon, A. L., & Sprintall, J. (2012). Observations And Proxies
Of Surface Layer Throughflow In Lombok Strait. J. Geophys. Research, 112

Zaki, M. Siagian, M. & Simarmata, HA. 2014. The Vertical Profile Of Nitrate in
Pinang Dalam Oxbow Lake Buluh China Village Siak Hulu Sub District
Kampar District Riau Province. JOM Oktober. Universitas Riau.
LAMPIRAN
ACARA VI

ANALISIS SIFAT BIOLOGI AIR KOLAM DI BPBAT PANDAK


BATURADEN

Oleh :
Nama : Abdul Rahman
NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Salah satu cara untuk pemantauan kualitas perairan dapat dilakukan penelitian

secara biologi menggunakan indikator fitoplankton. Fitoplankton dijadikan sebagai

indikator kualitas perairan karena siklus hidupnya pendek, respon yang sangat cepat

terhadap perubahan lingkungan (Nugroho, 2006 dalam Ramadhania et al., 2015) dan

merupakan produsen primer yang menghasilkan bahan organik serta oksigen yang

bermanfaat bagi kehidupan perairan dengan cara fotosintesis (Nybakken, 1992 dalam

Ramadhania et al., 2015).

Fitoplankton yang dijadikan sebagai indikator kualitas perairan berhubungan

dengan indeks saprobitas perairan. Fitoplankton berpotensi menjadi indikator

terbaik dalam pencemaran organik karena mudah dicuplik dan diidentifikasi

sehingga dapat menjadi indikator pencemaran yang baik di suatu perairan

(Ramadhania et al., 2015). Arinardi et al. (1994) dalam Lombok (2003) dalam Usman et

al. (2013) mencatat bahwa banyaknya plankton di suatu perairan dapat digunakan

sebagai petunjuk bahwa perairan ini merupakan tempat pemijahan dari biota

tersebut.

Perairan lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau tenang seperti

danau, situ, rawa, waduk atau telaga (Marwoto dan Nur, 2015). Kolam tergolong

dalam perairan lentik karena memiliki perairan yang tenang. Dalam

membudidayakan ikan diperlukan beberapa parameter air yang harus dipenuhi.


1.1. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara analisis sifat biologi air kolam adalah untuk

mengetahui tentang perbedaan analisis sifat biologi air kolam Pemijahan Ikan

Nila di BPBAT Pandak pada pagi dan siang hari.


I. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolam
Kolam merupakan salah satu contoh ekosistem yang sederhana, sehingga

mudah dipelajari dan sangat sesuai untuk diperkenalkan kepada pemula. Meskipun

sederhana dan mudah dipelajari, kolam merupakan ekosistem yang sempurna,

lengkap dengan ke enam komponen serta proses-prosesnya. Dalam suatu kolam

dapat diamati komponen-komponennya yaitu: komponen abiotik, produsen, makro

konsumen dan saprotrof atau organisme pengurai (mikro konsumen) (Utomo, 2014).

Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah

tertentu sehingga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air

lainnya. Berdasarkan pengertian teknis kolam merupakan suatu perairan buatan

yang luasnya terbatas dan sengaja dibuat manusia agar mudah agar mudah dikelola

dalam hal pengaturan air, jenis hewan budidaya dan target produksinya. Kolam

selain sebagai media hidup ikan juga harus dapat berfungsi sebagai sumber

makanan alami bagi ikan, artinya kolam harus berpotensi untuk dapat

menumbuhkan makanan alami (Darfianto,2013).

Syarat esensial bagi suatu kolam yang efektif adalah (1) kondisi topografi di

tempat yang akan dibangun kolam harus memungkinkan pembangunan yang

ekonomis, tenaga dan biaya adalah fungsi langsung panjang dan dalam kolam, (2)

cukup air yang memenuhi syarat, (3) terdapat bahan tanah yang kedap air, bukan

pasir, (4) semua kolam harus dilengkapi fasilitas pelimpasan untuk menyalurkan air

kalau terjadi terjadi banjir, dengan aman, dan (5) kolam harus dapat dikeringkan

untuk perbaikan (Darfianto,2013).

2.1.1. Kolam Pendederan


Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki ciri

ekologis hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana budidaya

berbagai macam jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari waduk atau

sungai yang dialirkan ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik yang dibangun

khusus untuk mengairi kolam, maupun saluran irigasi yang dibangun untuk

mememuhi kebutuhan air bagi lahan pertanian secara umum.

Kualitas suatu perairan menggenang dapat ditentukan berdasarkan fluktuasi

populasi plankton yang mempengaruhi tingkat tropik perairan atau kolam tersebut

(Agustini dan Sri, 2014). Dikatakan pula oleh Nybakken (1992) dalam Agustini dan

Sri (2014) bahwa sifat fisik-kimia suatu perairan sangat penting dalam ekologi.

Sehingga selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan

pengamatan faktor abiotik perairan, aspek saling ketergantungan antara organisme

dengan faktor abiotik akan dapat diperoleh gambaran tentang kualitas suatu

perairan. Kehidupan fitoplankton dalam perairan dipengaruhi oleh kondisi dari

beberapa faktor fisika kimia perairan. Adapun faktor fisika kimia yang cenderung

mempengaruhi kehidupan fitoplankton adalah: suhu, kecepatan arus, CO2 bebas,

pH dan DO (Suin, 2002 dalam Widiana, 2012).

2.2. Sifat Fisik Kolam

2.2.1. Plankton

Plankton adalah jasad-jasad renik yang melayang dalam air, tidak bergerak

atau bergerak sedikit dan selalu mengikuti arus (Sachlan, 1972). Sedangkan menurut

Hutabarat dan Evans (1986), plankton adalah suatu organisme yang berukuran kecil
yang hidupnya terombang-ambing oleh arus sebagai hewan (Zooplankton) dan

sebagai tumbuhan (fitoplankton).Kehadiran plankton di suatu ekosistem perairan

sangat penting, karena fungsinya sebagai produsen primer atau karena

kemampuannya dalam mensintesis senyawa organik dari senyawa anorganik

melalui proses fotosintesis (Heddy & Kurniati, 1996 dalam Yazwar, 2008).

2.2.2. Kelimpahan

Kesuburan suatu perairan dapat ditentukan oleh kelimpahan plankton,

khususnya fitoplankton. Hal ini disebabkan kemampuan fitoplankton untuk

melakukan fotosintesis. Fitoplankton menggunakan garam-garam anorganik,

karbondioksida, air, dan energi matahari untuk memproduksi makanan (Pescod,

1973). Kualitas perairan kolam juga dapat ditentukan dari kelimpahan populasi

plankton. Menurut Boyd (1990) dalam Yudiati et al (2010) bahan organik yang berasal

dari pakan yang tidak termakan, plankton mati, aplikasi pemupukan dan feces

udang secara berkelanjutan akan terakumulasi di dasar tambak udang.

2.2.3. Keragaman

Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat

keanekaragaman jenis organisme yang ada didalamnya. Untuk memperoleh

keanekaragaman jenis cukup diperlukan kemampuan mengenal atau membedakan

jenis meskipun tidak dapat mengidentifikasi jenis organisme yang ada secara pasti

(Krebs, 1978). Menurut Odum (1971), kisaran total indeks keragaman plankton dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:


II. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1.Alat
Tabel 1. Alat Praktikum

3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan Praktikum
3.2. Metode

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara disaringnya air suatu

perairan yang akan diteliti (dalam hal ini kolam) sebanyak 100 liter dengan

digunakan plankton net no.25. pengambilan sampel mewakili stasiun

pengambilan sampel (zona inlet, tengah, dan outlet). Sampel yang diperoleh

diberi formalin 4% secukupnya dan larutan lugol atau larutan CuSO4 jenuh.

Sampel yang didapat selanjutnya diidentifikasi da dihitung jumlahnya dengan

bantuan mikroskop binokuler. Variabel yang diamati adalah kelimpahan dan

keragaman. Perhitungan dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

Kelimpahan plankton :

3.3. Waktu dan Tempat


Praktikum Analisis Sifat Biologi Air Kolam dilakukan pada hari Rabu

tanggal 2 Mei 2020 di Kolam Pendederan Ikan Nila di BPBAT Pandak dan

kemudian dilanjutkan pengamatan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman melaului media Google

Classroom

3.4. Analisis Data

Data parameter yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan


histogram atau diagram balok antara titik sampling atau waktu sampling
II. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 3. Sifat Biologi Kolam BBI Pandak
4.1. Pembahasan

4.1.1. Kelimpahan

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dari pengamatan sifat biologi di

kolam pada pagi hari jam 05.30 didapatkan genus Achanthes sebanyak 1 buah

dengan kelimpahan 48,53 , Anabaena sebanyak 1 buah dengan kelimpahan

48,53, Arcella sebanyak 6 buah dengan kelimpahan 291,18, Calothrix sebanyak 2

buah dengan kelimpahan 97.06, Closterium sebanyak 3 buah dengan

kelimpahan 145.59, Daphnia sebanyak 3 buah 145.59, Fragilidinium sebanyak 6

buah dengan kelimpahan dengan 291.18, Gleocystis sebanyak 1 buah dengan

kelimpahan 48,53, Microspora sebanyak 1 buah dengan kelimpahan 48,53,

Nauphlius sebanyak 15 buah dengan kelimpahan 727.95. Nitzchia sebanyak 6

buah dengan kelimpahan 291,18, Protoperidinium sebanyak 4 buah dengan

kelimpahan 194.12, Rhizoctonium sebanyak 7 buah dengan kelimpahan 339.71,

Stepanodiscus sebanyak 2 buah dengan kelimpahan 97.06 dan Synedra sebanyak

4 buah dengan kelimpahan 194.12. Pada siang hari pukul 13.00 didapatkan

genus Chlorella sebnayak 2 buah dengan kelimpahan 97,06, Cyclops sebanyak 3

buah dengan kelimpahan 145.59, Daphnia sebanyak 2 buah dengan kelimpahan

97,06, Echinosphaerella sebanyak 3 buah dengan kelimpahan 145,59, Microspora

sebnyak 1 buah dengan kelimpahan 48,53, Navicula sebanyak 4 buah dengan

kelimpahan 194.12, Oscillatoria sebanyak 6 buah dengan kelimpahan 291.18,

Pediastrum sebanyak 1 buah dengan kelimpahan 48,53 dan Synedra sebanyak 5


buah dengan kelimpahan 242.65.Kesuburan suatu perairan ditentukan oleh

kelimpahan plankton. Plankton adalah organisme yang berukuran kecil

yang hidupnya terombang-ambing oleh arus. Kelimpahan plankton pada suatu

perairan akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan ikan, baik

langsung maupun tidak langsung sumber makanan ikan tersebut adalah

fitoplankton dan zooplankton (Agustini & Madyowati, 2014).

Pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya matahari dapat

menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan, daerah

dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah

yang lebih dalam sehingga cenderung mempunyai makrozoobentos yang

beranekaragam dan interaksi kompetisi lebih kompleks. Pada musim hujan

perairan cenderung lebih dalam jika dibandingkan dengan saat musim

kemarau. Hal tersebut dapat mempengaruhi kepadatan makrozoobentos di

dasar suatu perairan (Setiawan, 2008 dalam Singh 2014).

4.1.2. Keragaman

Keragaman merupakan karakteristik tingkat komunitas berdasarkan

organism biologi. Keragaman jenis merupakan karakteristik tingkat komunitas

berdasarkan organisme biologisnya (Sharma, 2013). Keragaman adalah sifat

suatu komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis

organisme yang ada di dalamnya.

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dari pengamatan sifat biologi air di

kolam pada pagi hari jam 05.30 didapatkan total spesies 62 buah dengan

keragaman 2,45. Sedangkan pada siang hari jam 13.00 didapatkan total spesies
27 buah dengan keragaman 1,00.Keragaman tertinggi pada pagi hari. Hal ini

karena sedang terjadi transisi habit behaviour atau kebiasaan sehari-hari antara

fitoplankton dan zooplankton. Akibatnya keragaman menjadi tinggi, kategori

tinggi yaitu saat dan H’ > 3 (Dwirastina, 2013). Menurut Odum (1971),

tingginya keanekaragaman menunjukkan suatu ekosistem yang seimbang.

Keragaman dipengaruhi oleh faktor keseimbangan antara produsen

fitoplankton, dan konsumen primer atau zooplankton, dan juga faktor fisik

kolam seperti kekeruhan dan kecerahan, serta faktor kimia yaitu pH, CO2, dan

DO (Dwirastina, 2013).
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah bahwa pada pagi hari jam

05.30 didapatkan total keragaman 2,45. Sedangkan pada siang hari jam 12.00

didapatkan total keragaman 1.

5.2. Saran

Dalam praktikum, dilakukan dengan sungguh-sungguh dan fokus agar

dapat berjalan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Agustini, Maria., Madyowati, Sri Oetami. 2014. Identifikasi Dan Kelimpahan


Plankton Pada Budidaya Ikan Air Tawar Ramah Lingkungan. Jurnal
Agroknow.2(1).

Ali, A., Soemarno, Purnomo, M. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu Air
Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari.
13(2):265-274.

Jipsa, J. R., Divya, K.R., S. Logaswany, and K. Manonmani. 2013. Physico


Chemical and Biological Study on the Lentic Water Bodies of Palakkad,
Kerala. IOSR Journal of Pharmacy and Bioogical Sciences. 8 (1) : 21 – 25.

Munthe, VY. Aryawati, R. Isnaini. 2013. Struktur dan Sebaran Fitoplankton di


Perairan Sungsang Sumatera Selatan. Maspari Jurnal.4 (1): 122-130.

Nisa, K. Nasution, Z. EL Ramija, K. 2015. Studi Kualitas Perairan Sebagai


Alternatif Pengembangan Budidaya Ikan di Sungai Keureuto
Kecamatan Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Universitas Sumatera Utara.156 hal.

Pagora, Henny., Ghitarina., Udayana, Deni. 2015. Kualitas Plankton Pada


Kolam Pasca Tambang Batu Bara Yang Dimanfaatkan Untuk Budidaya
Perairan. Ziraa’ah.40(2):108-113.

Sachlan,M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat


Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Simarmata,P. 2012.
Kelimpahan Plankton Dan Tumbuhan Air (Laporan Praktikum Plankton
Dan Tumbuhan Air).99 hal.

Samudra, RS., Soeprobowati, RT., & Izzati, M. 2013. Komposisi, Kemelimpahan


dan Keanekaragaman Fitoplankton Danau Rawa Pening Kabupaten
Semarang. Bioma.1(15): 6-13.

Wijiyono., Artiningsih, Sri. 2013. Keanekaragaman Fitoplanton Di Dalam


Kolam Biorel\Fediasi Di Ptapb - Batan Yogyakarta. Pro Siding Seminar
Penelitian Dan Pengelolaan Perangkat Nuklir Pusat Teknologi Akselerator
Dan Proses Bahan Yogyakarta.13 hal.
LAMPIRAN
ACARA VII

EFEK KEKERUHAN TERHADAP IKAN

Oleh :

Nama : Abdul Rahman

NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2020
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kekeruhan adalah kecenderungan ukuran sampel untuk menyebarkan cahaya.

Sementara hamburan diproduksi oleh adanya partikel tersuspensi dalam sampel.

Kekeruhan adalah murni sebuah sifat optik (Weiner, 2012 dalam Prihartanto, 2017).

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya

cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air

(Davis dan Cornwell, 1991 dalam Darmasusantini, 2015). Kekeruhan disebabkan oleh

bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur,

pasir, bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (Irawan, 2013).

Totok Sutrisno (1991: 30) menyatakan bahwa air dikatakan keruh, apabila air

tersebut mengandung begitu banyak partikel bahan yang tersuspensi sehingga

memberikan warna/rupa yang berlumpur dan kotor. Bahan-bahan yang

menyebabkan kekeruhan ini meliputi: tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang

tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil yang tersuspensi lainnya. Kekeruhan

tidak merupakan sifat dari air yang membahayakan, tetapi ia menjadi tidak

disenangi karena rupanya (Irawan, 2015).

Menurut Chay Asdak (2002: 505) bahwa kekeruhan menunjukan tingkat

kejernihan aliran air atau kekeruhan aliran air yang diakibatkan oleh unsur-unsur

muata sedimen, baik yang bersifat mineral atau organik.


Kekeruhan air dapat dianggap sebagai indikator kemampuan air

dalam meloloskan cahaya yang jatuh di atas badan air. Semakin kecil atau

rendah tingkat kekeruhan suatu perairan, semakin dalam cahaya dapat

masuk ke dalam badan air dan dengan demikian semakin besar

kesempatan bagi vegetasi akuatis untuk melakukan prosos fotosintesis.

Semakin meningkatnya proses fotosintetis, maka semakin besar

persediaan oksigen dalam air (Irawan, 2015).

Menurut Effendi (2003), kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan

terganggunya sistem pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat

menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan (Mushthofa,

2014). Berutu (2016) menyatakan pengaruh utama dari kekeruhan adalah

penurunan penetrasi secara mencolok sehingga menurunkan aktivitas

fotosintesis fitoplankton dan alga akibatnya akan menurunkan produktivitas

perairan. Kekeruhan mengakibatkan menurunnya penetrasi cahaya kebadan

perairan sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis. Kekeruhan yang tinggi

akan mempengaruhi proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan air

karena intensitas cahaya yang masuk ke dalam badan perairan akan

dipantulkan kembali oleh partikel-partikel tersuspensi, sehingga secara

langsung dapat mempengaruhi laju partumbuhan mikroorganisme (Kartika,

2014). Untuk itu perlunya penelitian efek kekeruhan terhadap ikan.

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh kekeruhan terhadap biota

akuatik serta mengetahui dosis yang mematikan bagi organisme akuatik.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Nila (Nama latin)

2.1.1. Klasifikasi

Ikan nila merupakan jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai konsumsi

cukup tinggi. Bentuk tubuh memanjang dan pipih ke samping dan warna putih

kehitaman atau kemerahan. Ikan nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau

sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua

yang beriklim tropis dan subtropis. Di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila

tidak dapat hidup baik (Sugiarto, 1988).

Gambar X. Keterangan Gambar


Sumber : ....

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Subkelas : Acanthopterygii

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies :

Oreochromis niloticus

2.1.2. Morfologi ikan


Morfologi ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Saanin (1968),
mempunyai ciri-ciri bentuk tubuh bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada

badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Pada sirip

punggung ditemukan garis lurus memanjang. Ikan Nila (oreochormis niloticus)

dapat hidup diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk bergerak,

sirip perut, sirip dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung

badannya. Nila memiliki lima buah Sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin),

sirip data (pectoral fin) sirip perut (ventral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip

ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup

ingsang sampai bagian atas sirip ekor. Terdapat juga sepasang sirip dada dan

sirip perut yang berukuran kecil dan sirip anus yang hanya satu buah

berbentuk agak panjang. Sementara itu, jumlah sirip ekornya hanya satu buah

dengan bentuk bulat.

2.2. Kekeruhan

Kekeruhan adalah kecenderungan ukuran sampel untuk menyebarkan

cahaya. Sementara hamburan diproduksi oleh adanya partikel tersuspensi

dalam sampel. Kekeruhan adalah murni sebuah sifat optik (Weiner, 2012 dalam

Prihartanto, 2017). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan

berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-

bahan yang terdapat di dalam air (Davis dan Cornwell, 1991 dalam

Darmasusantini, 2015).

2.3. Efek Kekeruhan terhadap Ikan

Dengan mengetahui kekeruhan suatu perairan dapat diketahui sampai

dimana masih ada kemungkinan terjadinya proses asimilasi dalam air

(Asmawi, 1986). Pengaruh tingginya nilai kekeruhan pada suatu perairan dapat
menyebabkan 1) Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan

tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan

lainnya; 3) Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan

oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan terhadap proses makan,

termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan ( terutama bagi

predation dan filter feeding; 5) Gangguan terhadap proses fotosintesis oleh

ganggang atau rumput air karena padatan menghalangi sinar yang masuk; 6)

Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel (Lensun, 2013).


III. METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan Praktikum

3.2. Metode
Persiapan media percobaan sebanyak 12 buah per kelompok praktikum

dan masing-masing media percobaan berisi 10 ekor ikan. Pengukuran efek

kekeruhan dilakukan dengan melihat tingkat kematian atau perubahan tingkah

laku ikan.

3.2. Waktu dan Tempat


Praktikum acara analisis sifat fisika air ini dilaksanakankan pada hari

Jumat tanggal 1 Mei 2020 di Google Classroom

3.3. Analisis Data

Data di analisis secara deskriptif komperatif menggunakan diagram

batang dengan membandingkan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Hasil

Tabel 1. Hasil pengamatan mortalitas ikan nilem (Osteochilus hasselti)

4.2. Pembahasan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap 10 ekor ikan Nila di

setiap perlakuan, didapatkan hasil bahwa pada dosis kekeruhan 0 NTU tingkat

mortalitas 100%, pada dosis kekeruhan 25 NTU tingkat mortalitas 25% pada,

dosis kekeruhan 50 NTU tingkat mortalitas 30%, pada dosis kekeruhan 75 NTU

tingkat mortalitas 40 % dan pada dosis kekeruhan 100 NTU tingkat mortalitas

55 %. Artinya semakin tinggi nilai kekeruhannya semakin tinggi pula tingkat

mortalitas terhadap ikan. Hal ini sesuai menurut Effendi (2003),kekeruhan yang

tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem pernafasan dan daya lihat

organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke

dalam perairan (Mushthofa, 2014). Berutu (2016) menyatakan pengaruh utama

dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi secara mencolok sehingga

menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga akibatnya akan

menurunkan produktivitas perairan. Kekeruhan mengakibatkan menurunnya

penetrasi cahaya kebadan perairan sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis.

Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999), yang mempengaruhi

nilai mortalitas alami (M) adalah faktor panjang maksimum (L∞) dan laju

pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan (Sapriyadi,


2013). Penurunan terhadap jumlah stok disebabkan oleh dua faktor yaitu

mortalitas alami dan eksploitasi spesies berupa mortalitas penangkapan.

Mortalitas alami disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya pemangsaan,

penyakit, stress, pemijahan, umur, dan ketersediaan makanan. Mortalitas

penangkapan merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort) yang

mencakup jumlah dan jenis ikan, efektivitas dari alat tangkap dan waktu yang

digunakan untuk melakukan penangkapan (King, 1995 dalam Kartini, 2017).

Mortalitas ikan di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti, salinitas, oksigen

terlarut, temperatur, dan pH. Semakin tinggi temperatur dan pH makin tinggi

nilai amoniak. Hal ini diperkuat oleh Kordi (2015), makin tinggi temperature

dan pH air makin tinggi pula presentase konsentrasi amoniak (NH3-N) dalam

artian, peluang ikan keracunan NH3-N lebih besar pada suhu dan pH tinggi

(Haeruddin, 2017)
V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah Efek Kekeruhan air terlalu

keruh tidak baik untuk kehidupan ikan. Bila kekeruhan sebabkan oleh plankton

hal ini memang diharapkan namun bila kekeruhan akibat endapan lumpur

yang terlalu tebal dan pekat hal itulah yang tidak diinginkan.

V.2. Saran

Untuk praktikum selanjutnya agar lebih memberikan waktu dalam

pengerjaan kuis dan pemberian materi yang ada, agar para mahasiswan dapat

mengerjakan dengan baik dan benar.


DAFTAR PUSTAKA

Berutu, Eta Rinayanta dan Masdiana Sinambela. 2016. Analisis Substrat dan
Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai Babura Kota
Medan. Jurnal Biosains.2(1): 39-46.

Darmasusantini, Putu Desy., I Nyoman Merit., I G.B Sila Dharma. 2016.


Identifikasi Sumber Pencemar dan Analisis Kualitas Air Tukad Saba
Provinsi Bali. Ecotrophic.9 (2): 57-63.

Hardjamulia.A, dan Atmawinata S. 1980. Teknik Hipofisasi Beberapa Jenis Ikan


Air Tawar.Pros. Lokakarya Nasional Teknologi Tepat Guna Bagi
Pengembangan Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor, Hlm 1-16.

Irawan, Aditya., Sari, Lily Inderia. 2013. Karakteristik Distribusi Horizontal


Parameter Fisika-Kimia Perairan Permukaan Di Pesisir Bagian Timur
Balikpapan. Balikpapan : Universitas Mulawarman. Jurnal Ilmu Perikanan
Tropis.18(2).

Irawan, David. 2015. Kualitas Air Tanah Pada Lahan Gambut Di Desa Eka
Mulya Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji. Skripsi. Bandar
Lampung : Universitas Lampung.155 hal.

Kartika, Ganis Fia., Jose, Christine., Nurbalatif., Ridho, Muhammad Rasyid.


2014. Kuantifikasi Parameter Fisikokimia Dan Total Mikroba Indikator
Pada Aliran Sungai Siak Daerah Meredan Dan Perawang. Ind.Che.Acta.5
(1).

Kartini, Nidya., Boer, Mennofatria., Affandi, Ridwan. 2017. Pola Rekrutmen,


Mortalitas, Dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster Sirm,
Walbaum 1792) Di Perairan Selat Sunda. Biospecies.10(1):11 – 16.

Lensun, Melky., Tumembouw, Sipriana. 2013. Tingkat Pencemaran Air Sungai


Tondano Di Kelurahan Ternate Baru Kota Manado. Budidaya
Perairan.1(2) : 43-48
Mushthofa, Aqil., Max Rudolf Muskananfola., Siti Rudiyanti. 2014. Analisis
Struktur Komunitas Makrozoobenthos sebagai Bioindikator Kualitas
Perairan Sungai Wedung Kabupaten Demak. Diponegoro Journal Of
Maquares. 3(1): 81-88.

Prihartanto. 2017. Pola Fluktuasi Kekeruhan Air Di Area Potensial Banjir


Sungai Ciujung Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang. Jurnal Alami.1(1).

Retno D. 2002. Pengaruh Aromatase Inhibitor Terhadap Nisbah Kelamin Ikan


Nilem (Ostheochilus hasselti C.V) Hasil Ginogenesis. Skripsi. Jurusan
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Sapriyadi., Efrizal, T., Zulfikar. 2013. Kajian Mortalitas Dan Laju Eksploitasi
Ikan Ekor Kuning (Caesio Cuning) Dari Laut Natuna Yang Di Daratkan
Pada Tempat Pendaratan Ikan Barek Motor Kelurahan Kijang Kota.
Universitas Maritim Raja Ali Haji.22 hal.

Sparre, P., and Venema S,C. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-I
manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan
Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm.
LAMPIRAN
ACARA VIII
EFEK AMONIAK TERHADAP IKAN

Oleh :

Nama : Abdul Rahman

NIM : L1A018024

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2020
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Adanya proses kimia dan biologi juga memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap peningkatan konsentrasi nitrat seperti adanya pengikatan

nitrogen bebas dari udara oleh mikroorganisme dan proses nitrifikasi yang

sempurna oleh mikroorganisme yaitu bakteri. Menurut Williams (2001)

keberadaan nitrogen di dalam air tidak terlepas dari peran kerjasama

mikroorganisme yang saling terintegrasi. Bakteri-bakteri yang berperan dalam

proses pembentukan nitrogen dikenal sebagai chemoautotroph. Bakteri ini

merubah amonia menjadi nitrit dan nitrat melalui proses nitrifikasi. Hal ini

sesuai dengan pendapat Wardayono (1987) yang menyatakan nitrogen

diperairan terdapat dalam bentuk nitrat (Kartika, 2014).

Amonia merupakan produk akhir metabolisme ikan dan dekomposisi

material organik oleh bakteri. Sisa-sisa makanan yang terbuang ke perairan

menghasilkan produk buangan yang meliputi karbondioksida, amonia, fosfat

dan material organik lainnya (Boyd, 1979 dalam Yuningsi, 2002). Nilai amonia

selama penelitian masih dalam kisaran toleransi untuk kehidupan ikan

tambakan. Menurut Asmawi (1983) dalam Hidayat (2008) kandungan amonia

yang baik untuk kehidupan ikan dan organisme lainnya adalah kurang dari 1

mg.L-1. Sementara itu Yurisman (2009), menyatakan bahwa kadar amonia yang

masih dalam batas toleransi aman untuk kehidupan larva ikan tambakan

adalah 0,001-0,120 mg. L-1. Selanjutnya Zonneveld et al. (1991) dalam Mudi

(2008) menyatakan bahwa amonia yang tidak terionisasi merupakan racun

bagi ikan sekalipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Joko, 2013).
Ammonia ( NH3) dan garam- garamnya bersifat mudah larut dalam air,

ion ammonium merupakan bentuk t ransisi dari ammonia. Selain terdapat

bentuk gas ammonia, membentuk kompleks dengan beberapa ion logam.

Ammonia banyak digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan

kimia, serta industri bubur kertas dan kertas. Ammonia yang terukur di

perairan berupa ammonia total (NH3danNH4-).Ammonia bebas tidak

terionisasi (Effendi, 2003).

1.1. Tujuan

Untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh ammonia terhadap biota

akuatik serta mengetahui dosis yang mematikan bagi organisme akuatik..


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nama Ikan (Nama latin)

2.1.1. Klasifikasi

Ikan nila merupakan jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai konsumsi

cukup tinggi. Bentuk tubuh memanjang dan pipih ke samping dan warna putih

kehitaman atau kemerahan. Ikan nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau

sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua

yang beriklim tropis dan subtropis. Di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila

tidak dapat hidup baik (Sugiarto, 1988).

Gambar X. Keterangan Gambar

Sumber : ....

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Subkelas : Acanthopterygii

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis
Spesies :

Oreochromis niloticus

2.1.2. Morfologi ikan


Morfologi ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Saanin (1968),

mempunyai ciri-ciri bentuk tubuh bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada

badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Pada sirip

punggung ditemukan garis lurus memanjang. Ikan Nila (oreochormis niloticus)

dapat hidup diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk bergerak,

sirip perut, sirip dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung

badannya. Nila memiliki lima buah Sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin),

sirip data (pectoral fin) sirip perut (ventral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip

ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup

ingsang sampai bagian atas sirip ekor. Terdapat juga sepasang sirip dada dan

sirip perut yang berukuran kecil dan sirip anus yang hanya satu buah

berbentuk agak panjang. Sementara itu, jumlah sirip ekornya hanya satu buah

dengan bentuk bulat.

2.2. Amoniak

Amonia merupakan produk akhir metabolisme ikan dan dekomposisi

material organik oleh bakteri. Sisa-sisa makanan yang terbuang ke perairan

menghasilkan produk buangan yang meliputi karbondioksida, amonia, fosfat

dan material organik lainnya (Boyd, 1979 dalam Yuningsi, 2002). Menurut

Asmawi (1983) dalam Hidayat (2008) kandungan amonia yang baik untuk

kehidupan ikan dan organisme lainnya adalah kurang dari 1 mg.L-1.

Zonneveld et al. (1991) dalam Mudi (2008) menyatakan bahwa amonia yang
tidak terionisasimerupakan racun bagi ikan sekalipun pada konsentrasi yang

sangat rendah (Joko, 2013).

2.3. Efek Amoniak terhadap Ikan

Menurut Asmawi (1983) dalam Hidayat (2008) kandungan amonia yang

baik untuk kehidupan ikan dan organisme lainnya adalah kurang dari 1 mg.L-

1. Sementara itu Yurisman (2009), menyatakan bahwa kadar amonia yang

masih dalam batas toleransi aman untuk kehidupan larva ikan tambakan

adalah 0,001- 0,120 mg. L-1. Selanjutnya Zonneveld et al. (1991) dalam Mudi

(2008) menyatakan bahwa amonia yang tidak terionisasi merupakan racun bagi

ikan sekalipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Joko, 2013).


III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

3.1.2. Bahan
3.2. Metode
Persiapankan ikan uji sebanyak 10 ekor per pelakuan (perlakuan uji ada

sebanyak 5 konsentrasi yaitu kontrol, limbah bioflok sebanyak 25%, 50% dan

100%) selama 3 hari. Pengukuran efek ammoniak dilakukan dengan melihat

tingkat kematian atau perubahan tingkah laku ikan.

3.2. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 1 Mei 2020 di

Google Classroom

3.3. Analisis Data


Data di analisis secara deskriptif komperatif menggunakan diagram

batang dengan membandingkan hasil data perlakuan.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 2. Hasil pengamatan mortalitas ikan nilem (Osteochilus hasselti)

4.2. Pembahasan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan tehadap 4 perlakuan dimana

masing-masing perlakuan diberi 10 ekor ikan Nilem mendapatkan hasil bahwa

dosis amoniak 0 % tingkat mortalitas yaitu 0%, pada dosis amoniak 25% tingkat

mortalitas yaitu 15%, pada dosis amoniak 50% tingkat mortalitas yaitu

115%,pada dosisi amoniak 75% tingkat mortalitas 65% dan pada dosis

amoniak100% tingkat mortalitas yaitu 95%. Hal ini menunjukkan semakin

besar dosis amoniak di perairan semakin tinggi pula tingkat mortalitas

terhadap ikan. Hal ini terjadi karena adanya stres terhadap ikan sehingga

metabolisme terganggu,. Amoniak (NH3) sangat beracun karena mudah

terdifusi melalui membran sel organisme akuatik dan mudah larut di dalam

lemak terutama pada pH dan suhu yang tinggi (Jamal et al, 2013). Menurut

Agung et al (2013) toleransi maksimum ikan terhadap konsentrasi amonia

adalah 0.1 mg/L.

Hal ini sesuai menurut Asmawi (1983) dalam Hidayat (2008) kandungan

amonia yang baik untuk kehidupan ikan dan organisme lainnya adalah kurang

dari 1 mg.L-1. Sementara itu Yurisman (2009), menyatakan bahwa kadar

amonia yang masih dalam batas toleransi aman untuk kehidupan larva ikan

tambakan adalah 0,001-0,120 mg. L-1. Selanjutnya Zonneveld et al. (1991) dalam

Mudi (2008) menyatakan bahwa amonia yang tidak terionisasi merupakan

racun bagi ikan sekalipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Joko, 2013).
Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999), yang mempengaruhi

nilai mortalitas alami (M) adalah faktor panjang maksimum (L∞) dan laju

pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan (Sapriyadi,

2013). Penurunan terhadap jumlah stok disebabkan oleh dua faktor yaitu

mortalitas alami dan eksploitasi spesies berupa mortalitas penangkapan.

Mortalitas alami disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya pemangsaan,

penyakit, stress, pemijahan, umur, dan ketersediaan makanan. Mortalitas

penangkapan merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort) yang

mencakup jumlah dan jenis ikan, efektivitas dari alat tangkap dan waktu yang

digunakan untuk melakukan penangkapan (King, 1995 dalam Kartini, 2017).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah amoniak (NH3) sangat beracun

bagi ikan karena mudah terdifusi melalui membran sel organisme akuatik dan

mudah larut di dalam lemak terutama pada pH dan suhu yang tinggi. Selain

itu, amoniak yang tinggi dapat membuat metabolisme ikan terganggu dan

menjadi stress.

5.2. Saran

Saran untuk praktikum selanjutnya agar lebih bisa kondusif pada saat

melakukan praktikum dan semua praktikan harus melakukan praktikum

dengan baik dan benar agar hasil yang didapatkan maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya


Alam dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Hardjamulia.A, dan Atmawinata S. 1980. Teknik Hipofisasi


Beberapa Jenis Ikan Air Tawar.Pros. Lokakarya Nasional
Teknologi Tepat Guna Bagi Pengembangan Perikanan
Budidaya Air Tawar. Bogor, Hlm 1-16.

Hidayat, R. 2008. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan


tambakan dengan kombinasi pakan yang berbeda. Skripsi.
Universitas Riau. (tidak dipublikasikan).

Joko., Muslim., Ht, Ferdinand. 2013. Pendederan Larva Ikan


Tambakan (Helostoma temmincki) Dengan Padat Tebar
Berbeda. Jurnal Perikananan Dan Kelautan .SSN 0853-7607

Kartika, Ganis Fia., Jose, Christine., Nurbalatif., Ridho,


Muhammad Rasyid. 2014. Kuantifikasi Parameter
Fisikokimia Dan Total Mikroba Indikator Pada Aliran Sungai
Siak Daerah Meredan Dan Perawang. Ind.Che Acta.5 (1).

Mudi, E. B. 2008. Pertumbuhan ikan tambakan dengan pemberian


pakan yang berbeda. Skripsi. Universitas Riau. (tidak
dipublikasikan)

Retno D. 2002. Pengaruh Aromatase Inhibitor Terhadap Nisbah


Kelamin Ikan Nilem (Ostheochilus hasselti C.V) Hasil
Ginogenesis. Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sapriyadi., Efrizal, T., Zulfikar. 2013. Kajian Mortalitas Dan Laju


Eksploitasi Ikan Ekor Kuning (Caesio Cuning) Dari Laut
Natuna Yang Di Daratkan Pada Tempat Pendaratan Ikan
Barek Motor Kelurahan Kijang Kota. Universitas Maritim
Raja Ali Haji.56 hal.

Sparre, P., and Venema S,C. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan
tropis buku-I manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama
Organisas Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm.

Wardoyo, S.T.H. 1987. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan


Pertanian dan Perikanan.Training Analisa Dampak
Lingkungan.PPLH-PS Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal
40.

Wiliams, I. 2001. Environmental Chemistry. John Wiley and


Sons.Inc. 605. Third Aveneu. New York.

Yuningsih, Y. S., 2002. Perkembangan larva ikan tambakan


(Helostoma temmincki). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor (tidak dipublikasikan)

Yurisman. 2009. The influence of injection ovaprim by different dosage to

ovulation and hatching of tambakan (Helostoma temmincki).Berkala

PerikananTerubuk.37(1):68-85.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai