Anda di halaman 1dari 23

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

PAPER EKO-HIDROLIK

“MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN


EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR KOTA BOGOR ”

Dosen Pengampu:

Dr. Very Dermawan, ST., MT., IPM.

Disusun Oleh:

As’idatu Viddaroini (195060401111009)


Acha Octa Friyana (195060401111033)
Aurelia Saskarina Saputra (195060401111045)
Dwi Nugraha Putra A (195060407111029)
Muhammad Francsdito (195060407111010)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK PENGAIRAN
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT karena


berkat rahmat dan ridho-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan paper tugas
Eko-Hidrolik ini dengan baik.

Laporan tugas ini disusun sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir
semester genap mata kuliah Pengembangan Eko-Hidrolik. Dalam pembuatan
laporan ini, penyusun telah mendapat bantuan dari banyak pihak. Untuk itu tidak
lupa penyusun menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Very Dermawan, ST., MT., IPM. selaku dosen mata kuliah Eko-
Hidrolik,

2. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tugas ini,

3. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan paper ini masih


terdapat banyak kekurangan. Untuk itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca. Semoga paper tugas ini dapat berguna bagi kita semua.
Amin.

Malang,M
aret 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa


memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah.
Salah satu masalah lingkungan di Indonesia adalah degradasi fungsi ekosistem
daerah aliran sungai. Dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air diuraikan bahwa daerah aliran sungai adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Peningkatan jumlah DAS kritis yaitu data pada tahun 1984 tercatat 22
DAS yang mencapai status kritis, tahun 1992 meningkat menjadi 39, dan tahun
1998 menjadi 59 DAS. Pada 2005, jumlah DAS yang kritis di Indonesia mencapai
62 DAS dan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis yaitu di Pulau
Jawa sebanyak 116 DAS dari 141 DAS, sedang di luar Pulau Jawa terdapat 175
DAS yang rusak dari 326 DAS (Murtilaksono, 2009).

Adapun kriteria penetapan DAS kritis antara lain dipengaruhi oleh


prosentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya rasio debit
sungai maksimum dan debit minimum, serta kandungan lumpur (sediment load)
yang berlebihan (Suripin, 2002). Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan
berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir.
Menurut Maryono (2002), terdapat limafaktor penyebab banjir. Kelima faktor
tersebut adalah faktor tingginya curah hujan, perubahan fisik di sekitar Daerah
Aliran Sungai (DAS), kesalahan pembangunan alur sungai, pendangkalan sungai,
dan tata wilayah dan pembangunan sarana-prasarana di daerah-daerah rawan
banjir
Hasil penelitian beberapa kejadian banjir menunjukkan bahwa banjir
terjadi apabila lebih dari 60 persen curah hujan tidak dapat disimpan oleh DAS
dengan kecepatan aliran permukaan lebih dari 1.2 meter/detik. Penurunan besaran
banjir secara bertahap kecepatan aliran permukaan harus diturunkan menjadi lebih
kecil dari 0.7 meter/detik agar cukup waktu bagi tanah dan vegetasi untuk
menyerap air hujan. Apabila kecepatan limpasan dapat diturunkan menjadi kurang
dari 0.1 meter/detik maka air hujan akan menjadi aliran bawah permukaan.
Bahkan jika dapat diturunkan lagi menjadi kurang dari 0.01 meter/detik dapat
menjadi penyumbang terbentuknya mata air tanah. Untuk menurunkan kecepatan
aliran permukaan dan volume limpasan harus dilakukan pemanenan aliran
permukaan (run off harvesting) baik secara sipil teknis maupun vegetatif.

Dahulu kanalisasi sungai dianggap dapat menanggulangi banjir serta


longsor, akan tetapi dengan berkembangnya keilmuan baru yaitu ekohidrologi dan
ekohidraulika, kanalisasi sungai banyak ditinggalkan. Penanganan banjir dengan
pendekatan Ekohidraulika untuk mengatasi longsoran dapat diterapkan di Sungai
Ciliwung, yaitu melihat permasalahan sungai sebagai suatu sistem yang terdiri
dari komponen fisik dan non fisik, biotic maupun abiotik, dari hulu sampai hilir
sungai.

Setiap kali Jakarta dilanda banjir, Kota Bogor selalu dicap sebagai
penyebabnya. Pembangungan hotel dan lapangan golf serta Rumah Potong Hewan
di bantaran sungai adalah beberapa kasus perubahan fisik DAS di Kota Bogor.
Belum lagi banyaknya perumahan di bantaran dan tebing sungai. Hal ini
menyebabkan retensi DAS tersebut berkurang secara drastis. Seluruh air hujan
akan dilepaskan DAS ke arah hilir yang pada akhirnya menyebabkan banjir di
daerah hilir. Selain itu, kebiasaan warga perumahan di bantaran dan tebing sungai
membuang sampah ke sungai menyebabkan pendangkalan sungai. Banjir
menyebabkan kerugian materiil yang tidak sedikit sehingga perlu dilakukan
tindakan pengelolaan sungai. Sehubungan dengan upaya pengendalian dan
pencegahan banjir ini dapat dimulai dengan pengelolaan dan penataan kawasan
sungai atau yang dikenal dengan istilah restorasi sungai.
BAB II

DASAR TEORI

Berdasarkan pemantauan terhadap kualitas air sungai di Indonesia pada


tahun 2004 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan air sungai
telah tercampuri dengan limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan
limbah peternakan. Dari seluruh sungai yang dipantau, hilir Sungai Ciliwung
mendapatkan tekanan polusi terberat. Bagian hulu sungai tercemari dengan fecal
coli dan total coliform yang melebihi baku mutu yang ditetapkan. Bakteri tersebut
berpengaruh sangat besar terhadap status mutu air sungai. Bila parameter itu dapat
dikendalikan, status mutu air sungai dapat meningkat menjadi lebih baik.

Sungai Ciliwung dibagi dalam lima segmen menurut wilayah administratif


yang dilintasi, yakni segmen 1 (Kabupaten Bogor), segmen 2 (Kota Bogor),
segmen 3 (Kabupaten Bogor), segmen 4 (Kota Depok), dan segmen 5 (DKI
Jakarta). Pada segmen 1 di titik pemantauan Cisarua (Kabupaten Bogor), air
Sungai Ciliwung masuk kriteria kelas II yaitu kualitas airnya dapat digunakan
untuk prasarana/sarana rekreasi air, perikanan, peternakan, dan pertamanan. Pada
Segmen 2 (Ciawi, Kota Bogor) dan 4 (Cimanggis, Kota Depok), kondisi kualitas
airnya termasuk kelas IV yang pemanfaatannya hanya layak untuk mengairi
pertamanan. Segmen 3 di Cibinong (Kabupaten Bogor) berkualitas kelas III, bisa
untuk perikanan, peternakan, dan pertamanan. Sedangkan segmen 5 di wilayah
DKI Jakarta, tidak termasuk dalam kelas mana pun sehingga tidak layak
dimanfaatkan untuk kegiatan apa pun. Dengan teknologi tinggi, kualitas air dapat
ditingkatkan.

Persoalan umum yang dihadapi di sepanjang aliran Sungai Ciliwung


adalah pencemaran limbah domestik, limbah industri, limbah peternakan, erosi,
dan kurangnya resapan air. Saat ini sedang dibahas upaya peningkatan kualitas
sungai 7 di Indonesia yang kondisinya kritis. Proyek percontohan untuk sekitar 19
sungai kritis itu dilakukan pada Sungai Ciliwung, dan sebanyak 12 institusi terkait
telah menyepakati sebuah program terpadu peningkatan kualitas air Sungai
Ciliwung. Fokus utamanya adalah mengatasi beban pencemaran serta memulihkan
dan meluaskan daerah konservasi.

Dalam jangka panjang, menurut rencana induk (master plan) yang


disepakati, seluruh segmen Sungai Ciliwung akan menjadi kelas I, yang artinya
dapat digunakan sebagai air baku air minum. Namun, dalam 15 tahun ke depan
diperkirakan kualitas air kelas I hanya bisa tercapai sampai pada segmen 4 (Kota
Depok), dan pada saat itu segmen 5 (DKI Jakarta) baru sampai pada kelas II, baru
layak digunakan untuk sarana rekreasi air dan perikanan.

Perlu tambahan sedikitnya lima tahun lagi untuk meningkatkan kualitas air
Sungai Ciliwung di Jakarta menjadi kelas I. Itu pun bila pemerintah daerah
berhasil membenahi tata ruang, membebaskan bantaran sungai dari permukiman,
dan yang lebih penting adalah kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke
sungai.

I. Longsoran Tebing

Longsoran tebing dan erosi pada dinding penahan tanah merupakan


konsekuensi dari meningkatnya kecepatan air dan debit air yang melewati suatu
wilayah tertentu di sungai. Meningkatnya kecepatan aliran dengan pembangunan
fisik dengan sudetan, pelurusan kanal, pembetonan tebing merupakan usaha
campur tangan manusia untuk mempercepat pembuangan air banjir. Akan tetapi
hal tersebut berdampak pada terjadinya percepatan arus air yang menuju hilir.
Peningkatan kecepatan aliran akan berdampak pada peningkatan erosi dasar
sungai dan tanah longsor di kanan-kiri sungai.

II. Stabilitas Tebing


Pada stabilitas tebing terdapat armor dan struktur kanalnya. Ada dua
bentuk dari armor yaitu bank armor dan levees. Bank armor adalah selimut bahan
resisten yang ditempatkan sepanjang tebing sungai. Riprap merupakan bentuk
yang umum dari bank armor. Jika air menerjang permukaan keras riprap maka air
tersebut tidak dapat membersihkan tebing sungai sehingga erosi tebing ditekan.
Levees adalah struktur yang terdiri dari batuan atau material yang dibangun di
dataran banjir. Levees mencegah dan menekan erosive force dari aliran banjir.
Struktur kanal adalah adalah dinding yang dibangun pada sisi aktif dari kanal
sungai. Tujuannya untuk menghindarkan sungai dari longsoran tebing. Yang
termasuk struktur ini antara lain barbs, jetties, vanes, dan weirs. Dalam jangka
panjang bangunan hidrolika murni (armor dan struktur kanal) akan meningkatkan
erosi di daerah hilir dan mempercepat aliran air. Di Indonesia, pelurusan
Bengawan Solo di Kab.Sukoharjo telah menyebabkan hancurnya flora dan fauna
di riparian sungai, sungai yang terputus menjadi sungai mati tempat bersarangnya
nyamuk. Sehingga dalam pengelolaan DAS terpadu yang berwawasan lingkungan
hal tersebut tidak sustainable.
III. Restorasi Sungai
Desain kanal dua tingkat untuk restorasi proses alluvial alami dan
menciptakan sistem yang berkelanjutan. Sistem ini dapat memperbaiki fungsi
drainase dan fungsi ekologis sekaligus.

Gambar 1. Desain kanal dua tingkat

Opsi desain kanal terdiri dari self design dan desain perluasan floodplain
(floodplain expansion design). Maksud dari self design yaitu floodplain dan
kanal sungai terbentuk secara alami tanpa campur tangan manusia. Desain pola
aliran sungai yaitu pemilihan area dimana pola aliran dirancang meandering
dan straight pattern. Vegetasi yang digunakan juga harus sesuai desain.
Untuk restorasi riparian diperlukan data historis penggunaan lahan.
Selanjutnya survey dilakukan untuk mengetahui tipe tanah, bulk density, dan
prosentase bahan organik tanah.

IV. Ekohidraulika Sungai

Dalam kaitan dengan eko-hidraulik, konservasi atau pemeliharaan


sungai didefinisikan sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan
mekanisme ekosistem sungai (perpaduan antara habitat dan organisme sungai)
secara mikro maupun secara makro dari hulu hingga hilir, sehingga sungai
dapat bermanfaat dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Konsep restorasi sungai dengan pendekatan ekohidraulika berbeda


dengan konsep konvensional penanganan masalah sungai yang selama ini
banyak dianut seperti pembuatan talud, dinding parapet, pembangunan tanggul,
pelurusan, sudetan, relokasi sungai, pembangunan bendung tanpa fish way, dan
lain sebagainya. Gambaran berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa
restorasi sungai dengan pendekatan ekohidraulika dapat diterapkan dengan
penanaman vegetasi pada bantaran sungai.
BAB III

IMPLEMENTASI KONSEP EKOHIDROLIK PADA DAERAH STUDI

I. Narasi Umum
a. Gambaran Umum DAS Ciliwung
DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan di Teluk
Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah
117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga
bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun
pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya
Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selata. Masing-masing bagian
tersebut mempunyai karakteristik fisik, penggunaan lahan, dan sosial
ekonomi masyarakat yang sedikit banyak berbeda. Distribusi penutupan
lahan di DAS Ciliwung diperoleh berdasarkan hasil penafsiran citra
satelit Landsat ETM tahun 2001 oleh Fakultas Kehutanan IPB.
Gambar 3. Penutupan Lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001

b. Pembagian DAS Ciliwung


 Bagian hulu DAS Ciliwung: Di bagian hulu paling sedikit terdapat
7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek,
Ciseuseupan, dan Katulampa.
 Bagian Tengah DAS Ciliwung: Di bagian tengah terdapat dua anak
sungai, yaitu: 30 Cikumpay dan Ciluar, yang keduanya bermuara di
sungai Ciliwung. Bagian tengah Ciliwung didominasi area dengan
kemiringan lereng 2-15%.
 Bagian Hilir DAS Ciliwung: Bagian hilir sampai stasiun
pengamatan Kebon Baru/Manggarai mencakup areal seluas 82 km2
merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi
antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi area dengan
kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus sungai yang tenang.

c. Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil kajian Direktorat Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah, Ditjen RRL, Departemen Kehutanan (1997), pola
penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung bagian hulu danbagian
tengah secara garis besar dibedakan menjadi 4 (empat) jenis
pemanfaatan lahan yaitu hutan, pertanian, pemukiman (termasuk
diantaranya industri, perdagangan, dll), dan lain-lain (termasuk situ).
Baik DAS bagian hulu maupun bagian tengah masih didominasi oleh
kawasan pertanian yaitu masing-masing sebesar 63,9% dan 72,2%.
Akan tetapi, DAS bagian hulu masih terdapat kawasan hutan sekitar 25
% sedangkan DAS bagian tengah sudah tidak mempunyai kawasan
hutan sama sekali. Berdasarkan penggunaan lahan tahun 1996, ternyata
daerah permukiman (11.590 ha) merupakan penggunaan lahan terluas
di DAS Ciliwung dan diikuti secara berurutan oleh pertanian tegalan
(7.770 ha), kebun campuran (5.730), hutan (5.094 ha), sawah (1.665
ha), dan penggunaan lainnya (724 ha).

Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan tahun 2001-2002,


jenis pemanfaatan lahannya semakin bertambah yaitu antara lain sawah,
tegalan, perkebunan, kebun campuran, hutan, pemukiman, dan kawasan
industri. Pada tahun 2001, daerah pemukiman masih merupakan
penggunaan lahan terluas dari DAS Ciliwung namun prosentasenya
meningkat drastis yaitu menjadi 64%, sedangkan luasan hutan menurun
secara drastis yaitu menjadi hanya 0,17%. Prosentase penggunaan lahan
pada tahun 2001-2002 dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 4. Tata Guna Lahan di Das Ciliwung tahun 2001 -2002

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa PS


DAS IPB melalui simulasi model, dengan data penggunaan lahan tahun
1996 dan curah hujan 88 mm pada 11 Februari 1996, maka debit
Stasiun Katulampa hanya 205 m3, debit di Stasiun Ratujaya 320 m3
dan debit di Stasiun Manggarai 383 m3. Data tersebut menunjukkan
bahwa kontribusi bagian hulu sekitar 33 %, tengah 35 %, dan hilir 32
%.

Proyeksi penggunaan lahan sampai tahun 2012 yang didasarkan


pada kecenderungan perubahan 1990-1996 menunjukkan bahwa daerah
permukiman akan meningkat menjadi 48 %. Hal ini akan meningkatkan
koefisien limpasan meningkat menjadi 48 % di bagian hulu, 60 % di
bagian tengah, dan 65 % di bagian hilir.

Perubahan penggunaan lahan dari pertanian (tegalan dan kebun


campuran) menjadi permukiman di bagian tengah dan hilir DAS
Ciliwung tampaknya lebih cepat daripada proyeksi tahun 2012 karena
besarnya tekanan penduduk. Hal ini akan mengakibatkan kontribusi
bagian tengah DAS terhadap banjir Jakarta semakin besar. Apabila
tidak ada inisiatif mengatasi perubahan itu, maka aliran Ciliwung akan
menjadi lebih tidak terkendali. Jakarta dapat terhindar dari amukan
banjir yang lebih dahsyat dengan cara Sungai Ciliwung harus diatur
dengan debit aliran di Stasiun Ratujaya Depok tidak melebihi 350 m3.

d. Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur


Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur sudah
tidak memiliki bantaran sungai yang ideal. Bantaran sungai di sebelah
sisi timur Sungai Ciliwung ini telah penuh dengan perumahan padat
penduduk. Sedangkan bantaran sebelah barat Sungai Ciliwung hanya
sekitar 1 meter. Hasil survey yang dilakukan menunjukkan sungai
Ciliwung ini pun telah mengalami banyak yang mengalami
penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan Sungai Ciliwung
memiliki potensi terbesar penyebab banjir. Dinding atau tebing
sungaipun banyak yang telah mengalami penggerusan dikarenakan
aliran yang deras. Dari sisi kualitas air, air sungai itu bahkan tak layak
lagi dipakai untuk konsumsi sehari-hari (mandi, cuci dan sanitasi).

II. Narasi Khusus


a. Kondisi Bantaran Sungai

Sempadan sungai atau bantaran sungai merupakan (buffer)


penyangga daerah pengelolaan air berfungsi sebagai tanggul sungai,
berada pada kanan dan kiri badan sungai. Penutupan vegetasinya
spesifik riparian, membentuk satuan ekologik terkecil, dipengaruhi oleh
bentuk fisiografi dan jenis batuannya.

Sungai Ciliwung yang mengalir melewati Kelurahan Sempur


sepanjang 1 Km dibagi menjadi empat segmen wilayah penelitian,
berikut adalah ke empat segmen tersebut,

 Segmen 1, yaitu wilayah antara Jembatan Jl. Jalak Harupat sampai


dengan Jembatan Lebak Kantin.
 Segmen 2, yaitu wilayah antara Jembatan Lebak Kantin sampai
dengan Jembatan Sempur Kidul.
 Segmen 3, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kidul sampai
dengan Jembatan Sempur Kaler.
 Segmen 4, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kaler sampai
dengan Lebak Pilar.

Pada bantaran Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan


Sempur dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penutupan
vegetasi yang berbeda. Hal ini didasarkan pada pendapat yang
menyebutkan bahwa terkendalinya neraca keseimbangan air sangat
ditentukan oleh penutupan vegetasi dan ketersediaan serasah di lapisan
tanah teratas, karena berpengaruh langsung terhadap permeabilitas dan
porositas tanahnya. Ketiga tipe tersebut adalah sebagai berikut :
 Tipe A merupakan hamparan atau bantaran yang bervegetasi
riparian masih utuh.
 Tipe B merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi
riparian yang telah terokupasi oleh penduduk 21-54%.
 Tipe C merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi
riparian yang terokupasi oleh penduduk lebih dari 70%.

Tipe A merupakan tipe bantaran dengan tutupan vegetasi yang


masih utuh, sedangkan Tipe B dan Tipe C cenderung dipengaruhi oleh
okupasi pemukiman penduduk yang berpengaruh langsung terhadap
luasan bantaran hingga terganggunya peluang infiltrasi air kedalam
tanah.

Berdasarkan data yang ada dapat dibuat perbandingan tutupan


vegetasi dan bangunan pada masing-masing segmen area penelitian
seperti dibawah ini.

Dapat dibuat kesimpulan mengenai tipe bantaran Sungai Ciliwung


yang melintas Kelurahan dimana bantaran sungai di sepanjang lokasi
tersebut adalah termasuk dengan Tipe B dan Tipe C. Yang termasuk
dalam Tipe B yaitu lokasi di Segmen 3, sedangkan yang termasuk
dalam Tipe C adalah lokasi di Segmen 1, Segmen 2, dan Segmen 4.

b. Kondisi Dasar Sungai


Dasar sungai tersusun oleh material yang terangkut secara
alamiah oleh aliran air dan mengendap pada daerah tertentu. Bentuk
dasar sungai beragam, dari bergelombang, landai atau dari bentuk
keduanya; sering terendapkan material yang terbawa oleh aliran sungai
(endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh
batuan dasarnya. Kondisi dasar sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
bervariasi. Pada wilayah pengukuran sepanjang 1 kilometer terdapat
33% panjang sungai yang dasarnya terbentuk oleh batuan besar dengan
ukuran 5 mm – 20 mm. Hal ini sesuai dengan gambar di bawah ini:

Perbedaan sedimen dasar dapat diuraikan bahwa semakin ke hilir,


maka sedimen sungai semakin halus. Dasar sungai pada lokasi Segmen
1 yang terletak di hulu sungai didominasi oleh batuan dengan diameter
yang lebih besar 20 mm. Dasar sungai pada lokasi Segmen 2
didominasi dengan batuan kerikil diameter 5 mm hingga 20 mm.

c. Analisis Hidraulika Sungai


Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh seberapa besar
debit yang dapat ditampung oleh sungai sebelum terjadi banjir. Sebagai
saluran terbuka, maka sungai yang memiliki penampang alami
diidealisasikan dengan bentuk trapesium. Pengukuran lebar saluran
dilakukan di empat titik pengamatan. Hasil pengukuran lapangan
menujukkan variasi karakteristik penampang sungai pada daerah hulu,
tengah dan daerah hilir sebagaimana disajikan pada Tabel berikut.

Tabel di atas menunjukkan bahwa lebar sungai pada lokasi Segmen 1


yang berada pada daerah hulu lebih besar dibandingkan dengan lebar
sungai pada lokasi Segmen 2. Hal ini disebabkan karena pada daerah
Segmen 1 nampak terjadi erosi tebing yang tinggi sedangkan pada daerah
Segmen 2 terjadi banyak tumpukan sediman batuan sehingga lebar
sungai menyempit. Pada daerah Segmen 4 terjadi pengikisan akibat erosi
tebing tanpa adanya tindakan perkuatan sehingga terjadi pelebaran
sungai.

Tabel di atas juga menunjukkan bahwa lokasi Segmen 1 dan


Segmen 2 memiliki luas penampang sungai yang relatif sama,
sedangkan pada lokasi Segmen 3 luas penampang mengalami
peningkatan, dan di lokasi Segmen 4 memiliki luas penampang yang
lebih rendah dibandingkan di lokasi lainnya.

Karakteristik hidraulika lain adalah kemiringan sungai. Dasar


sungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi),
dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut dengan istilah
“gradien sungai” yang memberikan gambaran berapa persen rataan
kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai
gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air.

Daerah dengan kemiringan memanjang yang tinggi akan


menyebabkan terjadinya kecepatan yang tinggi dan memungkinkan
terjadinya erosi tebing. Sedangkan pada daerah dengan kemiringan
kecil akan menyebabkan terjadinya sedimentasi. Kecepatan air di
sepanjang lokasi ini terhitung cepat sehingga di beberapa titik terdapat
erosi dinding akibat tergerus air.

Kondisi hidraulika lain yang juga mempengaruhi kapasitas sungai


adalah kedalaman sungai. Hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat
pada Tabel di bawah berikut. Data tersebut juga menunjukkan bahwa
lokasi yang lebih di bawah yaitu di Segmen 2 dan Segmen 3 lebih
dalam dibandingkan dengan kedalaman sungai di lokasi Segmen 1, dan
pada lokasi Segmen 4 sungai kembali mengalami pendangkalan.

Kemiringan sungai akan berpengaruh terhadap kecepatan aliran.


Semakin tidak teratur tampungan saluran maka semakin tidak seragam
distribusi kecepatan alirannya. Sehingga kecepatan rata-rata yang
diperoleh dapat memiliki derajat penyimpangan besar dengan
kecepatan real yang ada. Besarnya kecepatan rata-rata secara kasar
dapat ditentukan dengan mengukur kecepatan di permukaan air.
Pengukuran kecepatan aliran dalam penelitian ini dilakukan
menggunakan current meter. Hasil pengukuran kecepatan aliran pada
kedua penampang melintang sungai disajikan dalam tabel berikut.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui kecepatan aliran dan luas


penampang sungai pada kedua lokasi pengukuran tersebut, maka
dengan menggunakan hitungan hidraulis sungai dapat ditentukan debit
pada masing-masing titik pengamatan.

Dimana Q adalah debit air (m3 /det), V adalah kecepatan aliran sungai
(m/det) dan A adalah luas penampang sungai (m2). Berdasarkan nilai
debit sungai yang telah diperoleh, dapat diperoleh kecepatan (Vm)
yaitu:

d. Desain Pengelolaan Sungai Berbasis Konsep Ekohidraulika


Kondisi Sungai Ciliwung menuntut adanya tindakan
pengelolaan. Konsep pengelolaan sungai secara ekohidraulik dapat
dilakukan dengan melakukan pengaturan tataguna lahan di bantaran
sungai yang dapat memperkecil kecepatan air. Selanjutnya
berdasarkan hasil analisis hidraulika maka dibuat desain pengelolaan
sungai pada setiap lokasi. Desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidraulik adalah mendesain vegetasi tanaman pada bantaran sungai
dan area dataran banjir, dan menjadikannya sebagai areal banjir.
Adapun pengaruh vegetasi pada bantaran dan dataran banjir sungai
tergantung pada tingkat kekasarannya.
Tingkat kekasaran daerah bantaran dipengaruhi oleh diameter
vegetasi, jarak tanaman dan lebar bantaran sungai. Pada penelitian ini,
pelebaran bantaran sungai akan sangat sulit dilakukan karena
sepanjang kanan kiri sungai sudah merupakan kawasan permukiman
padat penduduk. Oleh karena itu, desain pengelolaan sungai berbasis
ekohidraulika, dilakukan dengan menafaatkan area dataran banjir
(floodplain) dengan semaksimal mungkin.
Salah satu hal yang dapat dilakukan di lokasi penelitian ini,
dengan kondisi yang sama (luas penampang dan debit banjir yang
sama) tetapi dapat menahan air selama mungkin di hulu sehingga bisa
terserap atau infiltrasi ke dalam tanah maka harus menurunkan
kecepatan air. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbesar koefisien
kekasaran yang telah ada dengan cara menambahkan hambatan pada
tebing sungai maupun pada bantaran sungai terutama pada lokasi
Segmen 1 dan Segmen 2.
Desain pengelolaan sungai yang dibuat dengan menambahkan
vegetasi pada area dataran banjir untuk menurunkan kecepatan aliran
pada saat banjir. Sebagai bahan pertimbangan dalam hal biaya dan
adaptasi cepat dan sukses dari lingkungan lokal, disarankan
menggunakan vegetasi yang saat ini dilokasi.
Gambar contoh desain pengelolaan sungai dengan konsep
ekohidrolika

Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi segmen 1

Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi segmen 3


Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi segmen 4

BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik


kesimpulan dari penelitian sebagai berikut:

1. Bantaran atau sempadan Sungai Ciliwung di sepanjang Kelurahan Sempur


telah mengalami kerusakan. Hal ini ditandai dengan kondisi bantaran
sungai yang telah mengalami perubahan. Pada sisi sebelah kiri sungai
sudah tidak memiliki sempadan sungai. Dimana di lokasi tersebut
seharusnya memiliki bantaran sungai sekurang-kurangnya 15 meter
dihitung dari tepi sungai. Untuk sungai dengan kedalaman lebih dari 3
meter maka seharusnya bantaran sungai sekurang-kurangnya 20 meter
berdasarkan Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung. Kerusakan bantaran Sungai Ciliwung juga
terlihat dari kondisi tebing Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan
Sempur. Erosi tebing sungai mencapai 84% di sisi kanan sungai dan
mencapai 45% di sisi kiri sungai. Sedangkan berdasarkan tata guna lahan,
bantaran sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur sebagian besar lahan
digunakan untuk pemukiman. Pada sisi kanan sungai, lahan pemukiman
sebesar 82%, sedang pada sisi kiri lahan pemukiman sebanyak 91%.
2. Tingkat kekasaran daerah bantaran dipengaruhi oleh diameter vegetasi,
jarak tanaman dan lebar bantaran sungai. Pada penelitian ini, pelebaran
bantaran sungai akan sangat sulit dilakukan karena sepanjang kanan kiri
sungai sudah merupakan kawasan permukiman padat penduduk. Oleh
karena itu, desain pengelolaan sungai berbasis ekohidraulika, dilakukan
dengan memanfaatkan area dataran banjir (floodplain) dengan semaksimal
mungkin. Salah satu hal yang dapat dilakukan di lokasi penelitian ini,
dengan kondisi yang sama (luas penampang dan debit banjir yang sama)
tetapi dapat menahan air selama mungkin di hulu sehingga bisa terserap
atau infiltrasi ke dalam tanah maka harus menurunkan kecepatan air.
3. Kondisi Sungai Ciliwung menuntut adanya tindakan pengelolaan sungai
secara ekohidraulik. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
pengaturan tataguna lahan di bantaran sungai sehingga dapat memperkecil
kecepatan air. Desain pengelolaan sungai yang digunakan berbasis
ekohidraulika, dilakukan dengan memanafaatkan area dataran banjir
(floodplain) semaksimal mungkin dengan menambahkan vegetasi pada
area dataran banjir untuk menurunkan kecepatan aliran pada saat banjir.

Anda mungkin juga menyukai