Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bendungan Besar di Surabaya 2-3 Juli 2008
Direktur Pengairan dan Irigasi, Kementerian PPN/Bappenas
3 Fungsional Perencana di Direktorat Pengairan dan Irigasi, Kementerian PPN/Bappenas
1
2
Crest of Dam
EL. 142.0 m
Irrigation &
Hydroprower
440 x 10 6 m 3
Flood Control
220 x 10 6 m 3
0.9% Lost
13.4 % Lost
Sedimentatio
49.1% Lost
SCORE
50
40
30
20
10
0
yang menjadi concern dunia internasional. Permasalahan yang sering dikaitkan dengan isu hak asasi
manusia ini akan menghambat pelaksanaan pekerjaan pembangunan bendungan, bahkan bisa
menghasilkan keputusan pemberhentian pelaksanaan pembangunan. Tidak sedikit pula protes dari
para pemerhati lingkungan terhadap potensi perubahan lingkungan yang akan ditimbulkan.
Potensi permasalahan tidak berhenti seiring dengan selesainya pelaksanaan konstruksi.
Masih terdapat isu-isu lain dalam tahap pemanfaatan bendungan ini, yaitu (1) potensi kegagalan
konstruksi yang akan mengancam masayarakat yang bermukim di hilir bendungan, dan (2)
permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi bendungan.
Mengingat sifatnya yang termasuk kedalam heavy construction maka bendungan menyimpan
potensi bahaya yang besar. Namun di sisi lain, pada saat ini pemeliharaan merupakan suatu tahapan
pasca konstruksi yang sering terabaikan bahkan terlupakan. Hasrat untuk membangun terkadang tidak
diimbangi oleh kemampuan dari setiap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk memelihara apa
yang telah dibangun. Potensi kegagalan dan kerusakan yang terjadi pada bendungan di Indonesia
sangat terkait dengan rendahnya tingkat pemeliharaan termasuk di dalamnya sistem monitoring
keamanan bendungan. Akibat minimnya biaya Operasi dan Pemeliharaan (OP) yang dianggarkan oleh
pemerintah saat ini yang tidak sebanding dengan tingginya biaya pemeliharaan bendungan, maka
tingkat resiko kerusakan bendungan akan semakin tinggi.
Secara umum kegagalan dan kerusakan yang terjadi pada bendungan di Indonesia
diantaranya adalah :
1. Erosi akibat mengalirnya air melalui lubang-lubang/pondasi (piping) suatu bendungan
penyebab utama kerusakan bendungan di dunia, dibandingkan dengan sebab-sebab yang
lain kecuali peluapan diatas tubuh bendungan (overtopping), bila air dari waduk merembes
melalui tubuh atau pondasi bendungan urugan yang terdiri atas material tanah yang
dipadatkan, maka tekanan hidrolisnya akan didistribusikan terhadap tegangan pori yang
merupakan pengikat antar butiran material. Jenis kegagalan ini terjadi pada bendungan
Solorejo, Kedung Sengon dan Kaliulo.
2. kerusakan akibat retakan (Crack), retakan sering kali menjadi penyebab kebocoran pada
bendungan yang berkembang menjadi erosi buluh dan akhirnya menyebabkan kerusakan
bendungan. Retakan yang patut diwaspadai adalah retakan dengan lebar lebih dari inchi.
Retakan yang paling bahaya yakni jenis melintang as bendungan, sebab retakan ini
berpotensi menjadi alur buluh yang menembus tubuh bendungan dan disebabkan konsolidasi
yang tak seragam pada tubuh bendungan atau pondasi. Hal tersebut juga dapat
mengindikasikan tidak memadainya proses pemadatan pada saat konstruksi. Jenis
kerusakan ini terjadi pada bendungan Kedung Ombo dan Kedung Bendo di Provinsi Jawa
Tengah.
3. Longsoran (slide), pada bendungan urugan disebabkan karena penyebab yang sama yakni
kejadian longsoran pada tebing atau lereng yang biasa ketika gaya yang bekerja pada suatu
bidang geser melampui batas gaya yang dapat ditahan. Terdapat tiga jenis longsoran yakni
longsoran selama konstruksi, longsoran pada lereng timbunan sebelah hilir sebelum waduk
dioperasikan dan longosorang lereng timbunan sebelah hulu. Jenis kerusakan ini terjadi pada
bendungan Way Curug di Provinsi Lampung dan Kedung Sengon di Provinsi Jawa Tengah.
4. Peluapan (Overtopping) yakni peristiwa meluapnya air waduk melalui puncak bendungan
yang terjadi karena banjir besar melebihi kapasitas dan gelombang tinggi melampaui puncak
bendungan yang diakibatkan gempa tektonik atau kelongsoran pada dinding waduk.
bendungan beton pada umumnya tahan peristiwa ini namun peluapan sangat fatal pada
bendungan urugan, sebab aliran yang melampaui puncak bendungan urugan sedemikian
derasnya dan mampu menggerus puncak bendungan urugan, baik tanah maupun batu,
sehingga keruntuhan total hampir selalu terjadi. Di Indonesia, peristiwa semacam ini pernah
terjadi satu kali, yakni di anak bendungan
( urugan batu) Waduk Sempor Jawa Tengah
yang belum selesai, runtuh total akibat banjir besar pada tahun 1967 dan mengibatkan 125
meninggal dunia.
5. Gempa Bumi, siaga gempa bumi terjadi apabila gempa bumi terasa dan membawa akibat
pada bangunan-bangunan utama di daerah bendungan/embung. Akibat terjadinya gempa
bumi sangat tergantung pada besar kecilnya gempa. Guncangan gempa bumi yang
membahayakan bendungan/embung adalah jika terjadi hal sebagai berikut :
- Lebih besar dari 4 MMI (Modified Marcalli Intensity),
- Lebih dari 15 18 detik pada frekuensi 3 Hz dan akselerasi lebih besar dari 0,12
gal,
- Terdapat gempa bumi dengan kekuatan :
Lebih dari 4 Skala Riechter dalam radius < 50 km,
Lebih dari 5 Skala Riechter dalam radius < 80 km,
Lebih dari 6 Skala Riechter dalam radius < 80 km,
Lebih dari 7 Skala Riechter dalam radius < 80 km,
Tingkat frekuensi dari kerusakan yang telah diuraikan diatas dapat terlihat dari tabel di bawah
ini.
No
1
2
3
4
5
6
Mekanisme
Terjadinya
banjir
Faktor Penyebab
Limpasan (Overtopping)
Piping/aliran buluh atau longsoran
pada timbunan atau pada pondasi
Kebocoran pipa saluran
Kerusakan pada lapisan permukaan
timbunan bagian hulu
Ketidakstabilan lereng timbunan
Penyebab lain (gempa, liquefaction,
sabotase, dll)
Prosentase
30%
25%
13%
5%
bervariasi
15%
bervariasi
12%
Kebocoran Saluran
Rerata
Rembesan
Gelincir
(%)
0-1
23
16
29
19
1-5
17
50
34
24
31
5 - 10
13
12
11
10 - 20
30
13
12
16
20 - 50
32
24
23
22
50 - 100
Tabel 2: Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan Ditinjau dari Usia Bendungan
Sumber Dam Safety Guidelines, Washington Departemen of Ecology 2005
Menutur data yang telah dipublikasikan oleh World Comission on Dam, dengan tingkat
kompleksitas yang sangat tinggi dalam perencanaan dan pembangunannya maka beberapa fakta
yang harus diperhatikan dan dijadikan pertimbangan dalam pembangunan sebuah bendungan
diantaranya adalah :
1. Hanya 50% (n=99) bendungan sampel di seluruh dunia yang selesai tepat waktu, Hal
tersebut tentu saja berhubungan erat dengan membengkaknya anggaran proyek hingga
mencapai 56% (n=80) melebihi anggaran awal
2. Bendungan dengan tujuan irigasi sebanyak 50% (n=52) tidak mampu memenuhi target
jangkauan irigasinya
3. Bendungan dengan tujuan PLTA sebanyak 54 % proyek tidak menghasilkan output yang
ditargetkan
4. Bendungan dengan tujuan sebagai penyimpan air sebanyak 70% gagal memenuhi suplai air
yang ditargetkan. Bahkan ditemukan bahwa semakin kecil area reservoir semakin tinggi
tingkat keberhasilannya untuk memenuhi target penyuplaian air. Hal ini menunjukkan
bendungan untuk tujuan ini seringkali dibangun berlebihan dan mubazir.
5. 60% mitigasi yang dilakukan untuk menanggulangi dampak dam tidak berhasil sehingga
kerusakan terus berlangsung.
6. Jumlah masyarakat yang dipindahkan selalalu lebih besar dari yang diperkirakan bahkan
mencapai 44% lebih banyak. Dan dari jumlah yang akan dipindahkan sebanyak 1% harus
pindah dengan biaya sendiri karna tidak mendapatkan biaya translokasi.
7. Sebanyak 70% pembuatan kesepakatan-kesepakatan menyangkut kehidupan penduduk
lokal tidak melibatkan penduduk lokal tersebut.
8. Pembangunan bendungan multipurpose (seperti bendungan Jatigede) umumnya terlambat
selesai dan memakan biaya yang jauh lebih besar dari anggaran awal dibandingkan
pembangunan bendungan single purpose.
Meninjau permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi bendungan,
sedimen yang menyebabkan kritisnya kondisi bendungan diIndonesia pada umumnya diakibatkan oleh
tingginya tingkat erosi yang terjadi di daerah hulu bendungan, akibat maraknya pengalihan fungsi
lahan hutan menjadi lahan permukiman penduduk atau areal pertanian baru. Dengan adanya
tumpukan sedimen dibeberapa wilayah tersebut, maka daya tampung air waduk atau bendungan pada
waktu musim hujan menjadi semakin berkurang yang pada akibatnya mengakibatkan banjir, ditambah
lagi pemenuhan kebutuhan air baku baik untuk air minum, industri maupun air untuk irigasi tidak
sesuai dengan desain layanan yang telah direncanakan sebelumnya.
Seperti disampaikan di atas, yang menjadi penyebab utama pengurangan kapasitas
tampungan bendungan-bendungan di Indonesia adalah tingginya laju sedimentasi yang disebabkan
karena adanya kerusakan hutan budidaya dan lahan pertanian di daerah hulu. Oleh karena itu upayaupaya vegetasi dalam konservasi hutan harus dilakukan secepatnya . Upaya vegetasi ini tidak bisa
langsung dirasakan manfaatnya, sedangkan dalam jangka waktu tersebut kebutuhan air semakin
meningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat maupun pertambahan penduduk.
Upaya yang dilakukan pemerintah selama ini adalah bagaimana agar bagian penampung
sedimen tidak cepat penuh, antara lain dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun cekdam
penampung sedimen, dan mengonservasi areal penangkap air hujan di sekitar waduk, mencegah
erosi, yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidak
menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali.
3. Belajar dari Pengalaman
Mengingat potensi permasalahan yang ada sekaligus melihat potret kondisi bendunganbendungan di Indonesia saat ini, maka dapat diambil sebagai spelajaran dalam memformulasikan
kebijakan pembangunan dan penanganan bendungan ke depan. Dalam paparan kami mencoba
membagi kebijakan menjadi dua opsi utama, yaitu (1) Kebijakan pembangunan bendungan baru, dan
(2) Kebijakan terhadap bendungan yang telah ada.
Rencana Tindak Darurat (RTD), dalam setiap perencanaan bendungan harus didukung
dengan adanya suatu Rencana Tindak Darurat (RTD) yang disesuaikan dengan
karakteristik setiap bendungan, sebagai salah satu standar dalam pengamanan
bendungan apabila terjadi kegagalan bendungan. Pada RTD tersebut harus dapat
tercantum Klasifikasi Tingkat Bahaya Bendungan (Hazzard Classification) yang memuat
tingkatan tingkatan bahaya, potensi kerusakan, dan upaya yang harus dilakukan dalam
rangka mengeliminir kerugian dan korban jiwa. Setiap bendungan yang dibagun harus
memiliki permodelan bahaya (Hazzard Model) yang diketahui dan dapat diakses oleh
masyarakat atau stake holder yang terkait, sehingga setiap komponen yang terlibat di
dalamnya memiliki kesiagaan yang lebih baik dalam menghadapi kegagalan bendungan
yang terjadi di kemudian hari.
kritis yang dialami bendungan-bendungan besar secara tidak langsung akan mempengaruhi kapasitas
listrik yang dihasilkan. Kabijakan terkait bendungan yang diterapkan juga akan berdampak terhadap
pemanfaatannya sebagai pembangkit listrik.
Isu global warming maupun climate change akibat dari penumpukan green house gasses
(GHGs) ditambah harga minyak dunia yang semakin melonjak telah memaksa pemerintah untuk
mencari sumber energi primer yang lebih ramah lingkungan dan renewable. Keputusan pemerintah
untuk lebih berhati-hati dalam pembangunan bendungan baru akan mengarahkan kepada pencarian
alternative sumber energi primer yang lain dalam pemenuhan kebutuhan listrik nasional, misalnya
panas bumi. Dengan strategi pengelolaansumber daya air ke arah pembangunan tampungan air skala
kecil dan menengah akan menyebabkan potensi tenaga air tidak akan bisa dimanfaatkan secara
maksimal. Tapi keputusan ini merupakan konsekuensi dari potensi permasalahan yang akan
ditimbulkan dalam pembangunan bendunganbesar.
Di lain sisi, optimalisasi PLTA yang sudah terbangun telah sejalan dengan kebijakan
pemerintah untuk mempertahankan fungsi bendungan melalui rehabilitasi waduk dan penanganan
kawasan tangkapan air. Salah satu isu yang mengemuka mengenai hal ini terkait dengan
permasalahan pembiayaan bendungan yang dioperasikan dan dipelihara oleh swatsa (BUMN) non
river basin organization seperti halnya PB. Sudirman di Propinsi Jawa Tengah yang dikelola oleh
Indonesia Power sebagai kepanjangan tangan dari PLN. Mengingat pentingnya fungsi bendungan
dalam mendukung penyediaan sumber energi primer, Pemerintah perlu mencari mekanisme
pembiayaan yang tepat untuk menghindari permasalahan administrasi di kemudian hari.
5. Bibliografi
Balai Besar Sungai Bengawan Solo. (2008). Dipresentasikan di Departemen Pekerjaan Umum tanggal
11 Januari 2008.
Balai Keamanan Bendungan. (2006) Kegagalan Bendungan di Indonesia. Direktorat Sungai, Danau
dan Waduk, Departemen Pekerjaan Umum
Balitbang Pekerjaan Umum. (2003). Bendungan Besar di Indonesia. Proyek Pembinaan Teknis
Pembangunan dan Pengamanan Waduk, Direktorat Jendral Pengairan, Departemen
Pekerjaan Umum
Departemen Pekerjaan Umum (2008) Project Implementation Plan for Dam Operational Improvement
and Safety Project (DOISP). Water Resources and Irrigation Sector Management Project
(WISMP)
Dinas Infokom Jatim. (2004). Minimalkan Resiko, Pemerintah Susun Operasi Pemeliharaan Dan
Pengamanan Bendungan. Diakses 11 Juni 2008, dari http://www.d-infokomjatim.go.id/news.php?id=1148. Surabaya: Pemda Jatim
Gabbrielli, E. (2006) Why Integrated Water Resources Management is relevant to water utilities.
Diakses 11 Juni 2008, dari http://www.adb.org/water/operations/2006/ Gabbrielli.pdf.
Kemitraan Air Indonesia. (2008). Bendungan di Indonesia dalam Kondisi Kritis Akibat Sedimentasi.
Diakses 11 Juni 2008, dari www.inawater.com/news/ wmview.php. Jakarta : KAI
Kuswardono, T. (2006). Bendungan Jatigede, Pengulangan Sejarah Kegagalan. Diakses 11 Juni 2008,
dari http://www.walhi.or.id/kampanye/air/bendungan/061026_ jatigede_li/ . Jakarta:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Maryono, E., et al. (2004). Atasi Krisis Air, Haruskah Dengan Bendungan Besar ? Diakses 11 Juni
2008,
dari
http://www.suarapublik.org/index.php?option=com_content&task
=view&id=67&Itemid=26 .Jakarta: Suara Publik, Jaringan Informasi Kebijakan Publik
Washington Departemen of Ecology. (2005) Dam Safety Guidelines. Washington