Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DaerahhAliranhSungaih(DAS)
Pada PP No. 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1 menyebutkan bahwa daerah aliran
sungai yang selanjutnya disebut dengan DAS adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dantmengalirkantair yang berasal dari curah hujan ke danau atau
ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas laut
sampai dengantdaerahtperairantyangtmasihtterpengaruhtaktivitastdaratan.
DAS dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya
proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat
yang kompleks. Proses-proses biofisik hidrologis DAS merupakan proses alami sebagai
bagian dari suatu daur ulang hidrologi atau yang dikenal dengan siklus air.
Kegiatanhsosial-ekonomifdanhbudaya masyarakathmerupakan bentuk intervensi manusia
terhadap sistem alami DAS. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas
sumberdayahalamh(air, tanah, dan hutan)hyanggdisebabkannmeningkatnya pertumbuhan
penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS.
Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan
pemukiman yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah
dan air seringkali mengarah pada peningkatan erosi, percepatan degradasi lahan, dan
sebagainya. Oleh karena itu ekosistem DAS perlu ditata pemanfaatannya agar dapat
digunakan untuk berbagairkeperluan, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, dan lain sebagainya.
Sungai merupakan perairan mengalir yangtdicirikan oleh arus yang searah dan relatif
kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1 – 1,0 m/detik serta sangat dipengaruhiloleh waktu,
iklim, bentang alam, dan curah hujan. Sungai bagianthulu dicirikan dengan badan sungai
yang dangkal dan sempit, tebing curam dan tinggi, berair jernih, dan mengalir cepat.
Badan sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam atau landai badan air
dalam, keruh, dan aliran air lambat. Menurut Newson (2007) sungai merupakan bagian
lingkungan yang paling cepat mengalami perubahan jika terdapat aktivitas manusia di
sekitarnya.
7
8

Sungai yang menerima bahan pencemar mampu memulihkan diri (self purification)
dengan sendirinya. Kemampuan sungai dalam memulihkan diri dari pencemaran
tergantung pada ukuran sungai dan laju aliran air sungai dan volume serta frekuensi limbah
yang masuk (Lehler dalam Miller, 1975). Senyawa non-biodegradable yang dapat
merusak kehidupan di dasar sungai, menyebabkan kematian ikan-ikan dan biota yang ada
di dasar sungai.

2.2. Gambaran Umum Tukad Badung

Gambar 2.1. Peta DAS Tukad Badung


DAS Tukad Badung berlokasilpada 8,54o – 8,74o LS dan 115,18o – 115,23o BT. Luas
DAS Tukad Badung adalah 3.770 ha dan merupakan salah satu DAS yang berada di KSN
SARBAGITA (Perpres No.45 Tahun 2011) yang melintasi 2 wilayah administrasi dengan
pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang tinggi yaitu Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar. Panjang aliran DAS Tukad Badung 17 km dan luas daerah pengaliran sungai
22,55 km2. Sebagian besar dari wilayah DAS Tukad Badung berada di wilayah Kota
Denpasar yaitutseluas 2.466,16 ha atau 65,42% dari luas DAS Tukad Badung, sedangkan
yang beradaldi wilayahtKabupatentBadungthanya seluas 1.303,84 ha atau 34,58% dari luas
DAS Tukad Badung. Jumlahlpenduduk di dalamtwilayahtDAS TukadtBadung padaltahun
2007 telah mencapai 170.249 orang (As-syakur dkk., 2010), keadaan tersebut
menggambarkan bahwa kepadatan penduduk dihdalam DAS Tukad Badung telah
9

mencapai 4.516 orang/km2. Menurut Undang-undang No. 56/PRP/Tahun 1960 kepadatan


penduduk di wilayah DAS Tukad Badung berada pada tingkatan kelas sangat padat.
Tabel 2.1. Karakteristik Sungai-Sungai di Kabupaten Badung
No. Nama Sungai SUB - SWS Panjang (km) Catchment Area (km2)
1. Tukad Ayung 03.01.01 62,50 109,30
2. Tukad Siap 03.01.01 24,20 21,80
3. Tukad Sengkulung 03.01.01 55,50 5,53
4. Tukad Pungsu 03.01.01 16,00 19,55
5. Tukad Ngongkong 03.01.01 12,00 11,25
6. Tukad Badung 03.01.01 17,00 22,55
7. Tukad Mati 03.01.01 12,00 25,40
8. Tukad Yeh Poh 03.01.02 16,00 14,03
9. Tukad Sungi 03.01.02 40,50 39,20
10. Tukad Penet 03.01.02 45,30 58,40
11. Tukad Dangkang 03.01.02 21,40 15,80
Sumber: Proyek Pengelolaan dan Konservasi Sumber Air Bali (2014)

2.3. Pencemaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad Badung


Pencemaran adalah suatu penyimpangan dari keadaan normalnya. Jadi pencemaran
air adalah suatu keadaan air yang telahtmengalamitpenyimpangantdari keadaan normalnya.
Kumar (1977) berpendapat bahwa air dapat tercemar jika kualitas atau komposisinya baik
secarablangsungbatauutidakklangsungbberubahholehhaktivitas manusia sehingga tidak lagi
berfungsi sebagai air minum,kkeperluannrumahhtangga,ppertanian,rrekreasi,aataunmaksud
lainrsepertirsebelumrterkenarpencemaran.
Air Tukad Badung merupakan salah satu sumber air yang digunakan oleh PDAM
sebagai sumber air minum, oleh karena itu kriteria penentuan kualitas air Sungai Tukad
Badung menggunakan pembanding Baku Mutu Air Kelas 1 (Peraturan Gubernur Bali No.
08 Tahun 2007, tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan
LingkunganfHidup). Saat ini DAS Tukad Badung telah mengalamilperubahan penggunaan
lahanwyangwcukup luas antara tahunm1992wsampaiw2008, dimana luas lahan sawah
mengalami pengurangan dan luas lahan pemukiman meningkat (As-syakur dkk., 2010).
Kondisi hidrologi DAS dapat terpengaruhmakibat terjadinya perubahan penggunaan
lahanm(derlarCretaz and Barte, 2007),sselain ituskualitassair DAS yang melewati daerah
perkotaan jugaadipengaruhi oleh perkembangannkota/perubahan penggunaan lahan seperti
perkembangannindustri dan perkembangannpemukimanndinwilayahnDAS (Coskunnet al.,
2008). Menurut Prayitna (2003) terdapat 9 kelompok aktivitas masyarakat di dalam
wilayah DAS Tukad Badung yang dapat menyumbangkan limbah-limbah domestik dan
10

industri serta mempengaruhi tingkat kualitas air Sungai Badung, yaitu aktivitas rumah
sakit, hotel, pasar, bengkel, pertanian, peternakan, industri pencelupan/sablon, industri
tahu/tempe, dan aktivitas rumah tangga.
Berdasarkan laporan Neraca Kualitas Daerah Bali tahun 2001, Tukad Badung telah
terindikasi mengalami pencemaran sehingga terjadi penurunan kualitas air yang cukup
signifikan terhadap fungsi sungai sebagai sumber air baku air minum. Sistem pengelolaan
limbah cair rumah tangga yang ada di sepanjang DAS Tukad Badung umumnya berupa
tangki septik (septic tank) dengan atau tanpa bidang resapan. Sistem dengan tangki septik
tersebut diprioritaskan untuk mengolah limbah yang berasal dari kamar mandi khususnya
dari limbah wc atau kegiatan-kegiatan lainnya dari masyarakat seperti kegiatan
perdagangan/pasar, perhotelan, perbengkelan, dan kegiatan home industry yang berada di
sepanjang DAS Tukad Badung.
Peningkatan pencemaran di sepanjang DAS Tukad Badung sebagian disebabkan oleh
airrbekasskegiatanrmanusia yang dibuanggke badan air yang sedikit atauttanpafpengolahan
samaasekalitterlebihtdahulu. Haltini yang menyebabkannpenurunannkualitasnairnsungai.

Gambar 2.2. Contoh limbah rumah tangga yang dialirkan langsung ke badan sungai

2.4. Limbah
Limbahhadalahhzat ataubbahan buanganryang dihasilkantdari proses kegiatan manusia
(IgnnSuharto,n2011:n226). Limbah dapat berupantumpukanjbarang bekas, sisa kotoran
hewan, tanaman, atau sayuran. Keseimbangan lingkungan menjadi terganggu jika jumlah
hasil buangan tersebut melebihi ambang batas toleransi lingkungan. Apabila konsentrasi
11

dan kuantitas melibihi ambang batas, keberadaan limbah dapat berdampak negatif terhadap
lingkungan terutama bagi kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan penanganan
terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah bergantung
pada jenis dan karakteristik limbah.
Adapun karakteristik limbah secarauumum adalah sebagai berikut:
1. Berukurannmikro, maksudnyalukurannya terdiriaatas partikel-partikelkkecil yangtdapat
kitatlihat.
2. Penyebarannyamberdampakmbanyak,mmaksudnya bukan hanya berdampak pada
lingkungan yang terkena limbah saja melainkannberdampak pada sektor-sektor
kehidupannlainnya, sepertissektoreekonomi,esektorkkesehatan,hdanhlain-lain.
3. Berdampakkjangkappanjangm(antargenerasi),nmaksudnya masalahflimbah tidak dapat
diselesaikanfdalam waktu singkat. Sehinggaddampaknyaaakanaada pada generasi yang
akanndatang.

2.4.1. Klasifikasi Limbah


2.4.1.1. Berdasarkan Jenis Zat
Klasifikasi air limbah menurut jenis zatnya dibedakannmenjadindua, yaitunlimbah
organikkdannlimbah anorganik. Limbahhorganik adalah limbah yang berasal dari sisa-sisa
makhlukhhidup, sehingga limbah organik mudah diuraikan oleh mikroorganisme sehingga
mudah membusuk. Contohnya seperti: bahan pangan,folahan makanan, sayuran, buah-
buahan, tanaman,fkotoran manusia atauhhewan,hbangkai,hdan lain-lain.
Limbahhanorganik adalahhlimbah yang bukanhberasal dari sisa makhluk hidup,
limbah anorganiklmengandung unsur-unsur kimia anorganik yang sifatnya sangat sulit
sekali diuraikan oleh mikroorganisme. Contohnya antara lain sisa plastik, kaca, karet,
kaleng, logam, dan lain sebagainya.

2.4.1.2. Berdasarkan Wujud


Jenis limbah berdasarkan wujudnya meliputi limbah cair, padat, dan gas. Limbah cair
adalah semua limbah yang berwujud cair denganrkomposisi 99,9% air dan 0,1% bahan
buangan yang terlarut didalamnya, contohnya air bekas cucian pakaian,rair bekas cucian
peralatan rumah tangga, air bekas cucian kendaraan bermotor,lair bekas mandi, tinja, dan
lain-lain.
12

Limbah cair diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu limbah cairrdomestik


(domestic wastewater), limbah cair industri (industrial wastewater), rembesan dan luapan
(infiltration and inflow), dan air hujan (storm water).
1. Limbah cair domestik (domestic wastewater)
Limbah cair domestik adalah limbah cair yang dihasilkanldari kegiatan rumah tangga,
restoran, mall, dan lain-lain. Contoh:tair bekas cuci pakaian atau peralatan makan, air
bekas mandi, tinja, sisa makanan yang berwujud cair, dan lain-lain.
2. Limbah cair industri (industrial wastewater)
Limbah cair industri adalah limbahrcair yang berasal dari hasil buangan industri.
Contoh: air sisa cucian ikan, air sisa cucian buah, air sisa cucian sayuran dari industri
makanan, air sisa pewarnaan pada industri tekstil, dan lain-lain.
3. Rembesan dan luapan (infiltration and inflow)
Rembesan adalah limbah cair yang berasal dari saluran pembuangan yang rusak atau
pecah atau bocor, sehingga air merembes ke dalam tanah. Sedangkanlluapan adalah
limbah cair yang meluap dari saluran pembuangan yang terbuka. Contoh: air
buangantdari talang atap, AC, pertanian dan perkebunan, dan lain-lain.
4. Air hujan(storm water)
Air hujan dikatakan sebagai limbah apabila hujan terjadi di daerah yang tercemar
udaranya oleh gas sulfur maupun nitrogen.. Sehingga ketika hujan turun, terjadilah
hujan asam sebagai akibat terjadinya reaksi antara gas belerangldan nitrogen di udara
dengan air hujan.
Limbahhrumahhtanggaayangbberwujudfpadat misalnya sisa kegiatanbmengolah bahan
makanan, sisanmakanan,kkemasannmakanan, kaleng, botol, dan lain-lain. Limbahhpadat
berupa Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)mmisalnya oli bekas, pemutih, pembersih kaca,
pengharumnruangan, plastik, dannlain-lain.
Limbah rumah tanggalyang berwujud gassbiasanya hanya berupa asap yang dihasilkan
selama proses memasak ataupunnmembakar sampah padat, contohnya karbonldioksida
(CO2), karbonnmonoksidat(CO), HCl, NO2, SO2, dan lain-lain.

2.4.2. Air Limbah Deterjen


Deterjen adalah campurangberbagai bahan yang digunakan untuk membantu
pembersihanndannterbuatrdarirbahan-bahantturunantminyaktbumi. Saat inirdeterjenrsudah
menjadimkebutuhanmwajib dalamrseluruh aspekmkehidupan,mbaikkdihrumahhtangga,hdi
restoran,dlaundry,dsalon mobil, cleaning service,ddandsebagainya. Harga yang murah
13

dengan fungsi deterjen yang maksimal sangat digemari oleh masyarakat karena
penggunaannya yang cepat dan instan. Akan tetapi kelemahannya adalah strukturnya yang
stabil sehingga membuat deterjen sulit terdegradasi di alam (Connell & Miller, 1995 dalam
R. Savitri, 2007). Dibandingrdenganrsabun, detergentmempunyaitkeunggulantantara lain
mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air.
Sifat-sifat fisik dari deterjen antara lain sebagai berikut:
1) Detergen bersifat dapat melarutkan lemak dan tidak dipengaruhi oleh kesahan air.
2) Berdasarkan bentuk fisiknya, deterjen dibedakan atas:ldeterjen cair, deterjen krim/sabun
colek, deterjen bubuk.
3) Tingkat keasaman (pH) detergenlkurang lebih berkisar antara 10-12.
4) Deterjen bersifat non-biodegradable, yang berarti sulitluntuk diuraikan secara alami
oleh mikroorganisme.
Pada umumnya, detergen mengandung bahan-bahan sebagai berikut:
a) Surfaktan
Surfaktanm(surfacemactivemagent) merupakanlzat aktifppermukaannyanggmempunyai
ujungmberbedabyaituuhidrofil (sukamair)ddan hidrofob (sukamlemak). Bahannaktifnini
berfungsinmenurunkan teganganppermukaanaair sehinggaadapat melepaskantkotoran yang
menempelppadaapermukaanbbahan.
b) Builder
Builder (pembentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan
caramenon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air.
c) Filler
Filter adalah bahanhtambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Bahan pengisifmenetralisir
kesadahan air atau melunakkan air, mencagah menempelnya kembali kotoran pada bahan
yang dicuci dan mencegah terbentuknya gumpalan dalam air cucian.
d) Aditif
Aditif adalah bahan suplemenfatau tambahan untuk membuat produk lebih
menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan seterusnya, tidak
berhubungan langsung dengan dayalcuci deterjen.
14

2.5. Indikator Pencemaran Air


Beberapa indikator kualitas air yang disarankan untuk dianalisis sehubungan dengan
pemanfaatan sumber daya air, antara lain parameter kimia, fisika, dan biologi.
Indikator bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda
yang dapat diamati yang digolongkan menjadi:
1. Pengamatan fisik, yaitu pengamatanhpencemaran air berdasarkan dari tingkat
kejernihan air (kekeruhannya), perubahan suhu, warna, dan adanyatperubahan bau dan
juga rasa.
2. Pengamatan biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan dari
mikroorganisme yang ada di dalam air, terutama ada atau tidaknya bakteri patogen.
3. Pengamatan kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkantzat kimia yang
terlarut dan perubahan pH.
Indikatormyang digunakan pada penelitain constructed wetland adalahmBiological
Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan fosfat.

2.5.1. BOD (Biological Oxygen Demand)


Sering kita membaca di media masa bahwa air sungai mengalami pencemaran, bahkan
menurut evaluasi bahwa kandungan BOD melampaui ambang batas baku mutu.
Pencemaran tidak hanya pada air sungai, tetapi juga air sumur yang lokasinya dekat
pembuangan sampah. Air yang merupakan kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup.
Untuk itu pengadaannya serta sirkulasinya harus dapat menjamin keseimbangan ekosistem
yang ada. Kadar oksigen terlarut mempunyai peranan penting untuk kehidupan
mikroorganisme. Sejumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme itu kemudian
dikenal dengan pengertian Biologycal Oxygen Demand (BOD). Jelaslah BOD adalah
sejumlahhoksigennyang dibutuhkannoleh bakteri untuktmendekomposisi dantmenstabilkan
sejumlahhbahannorganik di dalam ekosistem air melalui proses aerobik. Dalam hal ini
jumlah oksigen yang diperlukan adalah oksigen yang dihabiskan dalam kondisi
percobaan/penetapan (inkubasi selama 5 hari pada temperatur 20oC) oleh mikroorganisme
yang aerobik untuk penguraian senyawa organik yang terkandung dalam contoh air.
Pemeriksaan BOD5 diperlukan untuk menentukan beban pencemaran terhadap air
buangan domestik atau industri selain ituddigunakan untukkmendesain sistem pengolahan
limbahbbiologis bagi airrtercemar. Penguraian zat organik merupakan sebuah peristiwa
yang terjadi secara alamiah,njika suatuubadannairntercemar oleh zat organik maka bakteri
akan dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses biodegradable
15

berlangsung, sehingga dapat mengakibatkan kematiannpada biota air dantkeadaan pada


badan airtdapatkmenjadi anaerobiktyang ditandai denganttimbulnya bau busuk.
Penetapan BOD merupakan pelaksanaan proses penguraian bahan organik di
laboratorium sebagaimana terjadi dalam lingkungan alamiah. Penguraian bahan organik
tersebut sejalan dengan pemakaian oksigen. Dalam penetapan BOD, yang dianalisis
adalahhkadarooksigen terlarutnya pada saat t = 0 hari dan t = 5 hari, pada temperatur 20oC.
Untuk memperoleh hasil yang lebih teliti, kondisi yang harus dipenuhi antara lain:
a. Bebas bahan beracun sehingga tidak mengganggu pertumbuhan dan kehidupan
mikroorganisme
b. Cukup bahan nutrien yang diperlukan oleh mikroorganisme
c. Temperatur standar (20oC)
d. Ada mikroorganisme dalam jumlah yang cukup
Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya adalah mengukur oksigen terlarut awal (DO1)
pada sampel. Setelah pengambilan contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen
terlarut pada sampel yang sudah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu
yang tetap yang biasa disebut DO5. Selisih dari DO1 dan DO5 merupakan nilai BOD yang
dinyatakan dalam satuan miligram per liter (mg/l). Karena melibatkan mikroorganisme
bakteri sebagai pengurai bahan organik, maka analisis BOD memang memerlukan waktu.
Oksidasi biokimialmerupakan proses yang lambat. Dalam waktu 20 hari, oksidasi bahan
organik karbon mencapai 95-99%, dan dalam waktu 5 hari sekitar 60-70% bahan organik
telah terdekomposisi (Metcalf & Eddy, 1991). Lima hari merupakan kesepakatan umum
dalam penentuan lama inkubasi pada BOD (Biological Oxygen Demand).

2.5.2. COD (Chemical Oxygen Demand)


CODaatauuChemical Oxygen Demand adalahhjumlah oksigentyangtdiperlukan untuk
menguraisseluruhrbahantorganik yang terkandungrdalam airr(Boyd, 1990). Halnini karena
bahan organik sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuatkkalium
bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Boyd, 1990;
Metcalf & Eddy, 1991), sehinggatsegala macam bahan organik akan teroksidasi. Dengan
demikian, maka selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan
organik yang sulit urai yang ada di perairan. Nilai BOD bisa saja sama dengan COD,
namun nilai BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan total
jumlah bahan organik yang ada.
16

Pengukuran COD adalah penambahan sejumlah kalium bikromat (K2Cr2O7) sebagai


oksidator pada sampellyang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat,
kemudian dipanaskan selama beberapa waktu. Selanjutnya kelebihan kalium bikromat
ditera dengan cara titrasi. Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi
bahan organik dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan.
Kelemahannya, senyawa kompleks anorganik yang ada di perairan yang dapat teroksidasi
juga ikut dalam reaksi (De Santo, 1978), sehingga terkadang dalam hal tertentu nilai COD
mungkin sedikit „over estimate‟ gambaran kandungan bahan organiknya. Keuntungannya
adalah tingkat ketelitian dan ketepatan tes COD adalah 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibanding tes BOD dan hasil pengukuran dapat diperoleh dalam waktu 2 sampai 3 jam
dibandingkan BOD yang membutuhkan inkubasilselama 5 hari. Walaupun total bahan
organik dapat diketahui melalui COD dengan waktu penentuan yang lebih cepat, nilai
BOD masih tetap diperlukan. Dengan mengetahui nilai BOD, akan diketahui proporsi
jumlah bahan organik yang mudah urai (biodegradable),tdan ini akan memberikan
gambaran jumlah oksigen yang akan terpakai untuk dekomposisi di perairan dalam
sepekan (5 hari) mendatang. Lalu dengan membandingkan nilai BOD dan COD juga akan
diketahui seberapa besar jumlah bahan-bahan organik yang lebih persisten yang ada di
perairan.

2.5.3. Fosfat (Total Phospat)


Fosfor merupakan salah satu unsur penting bagi kehidupan yang diserap oleh akar
tumbuhan dalam bentuk larutan ion fosfat (H2PO4- atau HPO42-) (Khiatuddin, 2003).
Senyawa fosfor sukar terlarut dalam air, sehingga secara alami boleh dikatakan hampir
tidak ada larutan fosfor di dalam sungai, danau, atau laut (badan air). Kehadiran fosfat
dalam air menimbulkan permasalahan terhadap kualitas air, misalnya terjadi eutrofikasi.
Di danau, senyawa fosfor mengendap di dasar, sehingga jika air terlalu dalam, akar
tumbuhan air tidak mampu menjangkaunya.
Walaupun unsur lain seperti nitrogen banyak terlarut di dalam air, keterbatasan
pasokan senyawa fosfor meningkat, pertumbuhan tanaman air seperti alga meningkat
dengan cepat. Hal ini yang terjadi ketika salah satu senyawa fosfor (ion fosfat, PO43-) yang
terdapat di dalam deterjen masuk ke dalam perairan. Tumbuhan air (terutama alga) yang
sebelumnya hidup dalam keterbatasan unsur fosfor akan mampu tumbuh secara berlebihan.
Berkat tersedianya unsur fosfor, tumbuhan akan mampu memanfaatkan secara maksimal
17

unsur hara lainnya yang terlarut di dalam air. Organisme konsumen dalam rantai makanan
memperoleh unsur fosfor secara tidak langsung melalui produsen primer.
Sementara itu, kandungan fosforlpada tanaman membantu dalam pertumbuhan bunga,
buah dan biji, serta mempercepat pematangan buah. Jika tanaman kekurangan unsur ini
biasanya menyebabkan mengecilnya daun dan batang, perubahan warna daun menjadi
hijau tua keabu-abuan, mengilat, dan terlihat pigmen merah di daun bagian bawah. Selain
itu, pembentukan bunga terhambat dan produksilbuah atau bijinya kecil. Kondisi tersebut
lama-kelamaan menyebabkan tanaman mati.

2.6. Pengolahan Limbah Menggunakan Metode Constructed Wetland


Sistem pengolahan air limbah terdiri dari beberapa macam pengolahan, seperti
pengolahan individual, pengolahan individu pada lingkungan terbatas, pengolahan
komunal, dan sistem penyaluran air limbah. Pada penanganan air limbahidomestik secara
komunal diperlukan saluran air limbah yang dapat mengalirkan air limbah dari tempat
sumbernya hingga ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Saluran air limbah
tersebut berupa jaringan pipa yang ditanam di bawah permukaan tanah. Pengolahan
terpusat seperti pengolahan pada IPAL membutuhkan bantuan peralatan bak-bak treatment
dan mesin-mesin tertentu dalam setiap proses pengolahannya. Hal tersebut dapat
memakan biaya operasional yang cukup tinggi. Atas dasar pertimbangan tersebut maka
diperlukan alternatif pengolahan limbah yang lebih sederhana dan praktis yang tidak
mengurangi keefektifan dari sistem pengolahan limbah yang lain. Pertimbangan tersebut
menunjuk pada salah satu alternatif sistem pengolahan air limbah secara alamiah yang
dilakukan dengan bantuan kolam dan media tanaman air yaitu Sistem Lahan Basah Buatan
atau Constructed Wetlands.

2.6.1. Pengertian Constructed Wetland


Penggunaan kata wetland berasal dari bahasa Inggris yaitu wet yang berarti basah dan
land yang berarti tanah atau lahan. Jadi wetland diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
sebagai lahan basah. Wetland adalah suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air
tipikal yang kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air emergent,
misalnya Cattail, Bulrush, Umbrella Plant, dan Canna (Metcalf dan Eddy,1991), wetland
adalah area yang setidaknya tergenangi air secara intermiten (Campbell and Ogden, 1999
dalam Rizka, 2005), wetland adalah area dimana air meliputi tanah, baik di atau dekat
permukaan tanah sepanjang tahun atau untuk berbagai periode waktu sepanjang tahun,
18

termasuk selama musim tanam (US EPA), lahan basah atau wetland adalah wilayah-
wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau
musiman.

Gambar 2.3. Contoh Constructed Wetland


Sumber: https://www.melbournewater.com.au/whatwedo/projectsaroundmelbourne
Wetlandddibedakanmmenjadi duaayaitu themnaturalmwetland dan themconstructed
wetlandd(yanggselanjutnyaadisebutdwetland). The natural wetland adalah area yang
sudah ada secaravalami dengan debitwdan strukturdyanggtidakddirencanakan,dmisalnya
rawa–rawappesisirppantaiaatauamangroove wetland. Natural wetland banyakkditumbuhi
olehvvegetasi emergent, misalnyaaCattail (Thypa sp), Reed (Phragmites sp), Sedges
(Carex sp), Bulrushes (Scirpus sp), Rushes (Juncus sp) dan spesiesntanamannrumput–
rumputannyangnlain.
Menurut Novotny, pengertian constructed wetland adalah wetland yang dikelola dan
dikontrol oleh manusia (NovotnygdangOlem, 1994). Proses pengolahannlimbahhyang
meniru/aplikasi dari proses penjernihan air yang terjadiddilahanbbasah/rawa (Wetlands),
dimana tumbuhan airq(Hydrophita) yang tumbuhddidaerahhtersebuthmemegang peranan
pentinggdalampprosesppemulihankkualitas air limbahhsecaraaalamiah (self purification).
The constructed wetland atauudisebutuwetland buatannyang dikelolaadanadikontrol
olehhmanusiahuntukhkeperluannfiltrasi airtbuangan dengan penggunaan tanaman, aktivitas
mikroba,rdanrprosesrlainnya (HeskettdantBartholomewtdalamtPancawardhani, 2004).
Menurut Hammer (1986) pengolahan limbah wetland system didefinisikan sebagai
sistem pengolahan yang memasukkan faktor utama, yaitu :
19

a. Area yangltergenangi airrdan mendukung kehidupan tumbuhan air sejenis hydrophyta.


b. Media tempat tumbuh berupa tanah yangrselalu digenangi air (basah).
c. Media bisarjugarbukanrtanah, tetapi media yangrjenuhrdenganrair.
Constructed wetland memiliki kemampuan efisiensi yang lebih tinggi, jika
dimanfaatkan untuk pengolahan air limbah (Kurniadie, 2000). Hal ini disebabkan karena
wetland buatan ini, lebih mudah dikontrol dan konstruksinya dapat di desain sesuai dengan
fasilitas yang dikehendaki, seperti komposisi substrat, jenis vegetasi, kecepatan aliran, dan
debit aliran. Constructed wetland menggunakan teknologi sederhana dengan pendekatan
baru untuk menurunkan pencemaran lingkungan dengan bantuan mikroorganisme dan
tanaman. Sistem constructed wetland bisa digunakan untuk membersihkan sungai
tercemar dan badan air lainnya. Teknologi ini dapat digunakan untuk merehabilitasi
sungai yang tercemar terutama di Sub DAS Tukad Badung Hulu.
Terdapat beberapa parameter operasional yang diperlukan untuk menganalisa efisiensi
dari penggunaan sistem constructed wetland. Parameter operasional tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 2.3. Efisiensi Penurunan Beberapa Komponen pada Sistem Constructed Wetland
Komponen Satuan Efisiensi Penurunan (%)
BOD5 Mg/l O2 71
TSS Mg/l 68
NH4 -N Mg/l 38
NO3 -N Mg/l 51
PO4-P Mg/l 41
COD Mg/l 37,5 - 79
Tembaga Mg/l 90 - 96
Nikel Mg/l 70,7 - 88
Sumber: Kaldec and Knight, 1996 dalam Reitberger, Monkry and Knight, 2000.
Penelitian terdahulu tentang constructed wetland yang dapat memperkuat pemilihan
constructed wetland sebagai salah satu alternatif pengolahan air limbah dalam tabel 2.4.
berikut:
Tabel 2.4. Efisiensi Penurunan Pencemaran Air Menggunakan Metode Constructed
Wetland oleh Beberapa Peneliti
Efisiensi
No. Peneliti Komponen
Penurunan
Anna Catharina Sri Purna Suswati dan
1. COD 72%
Gunawan Wibisono (2013)
Rudatin Windraswara dan Arum BOD 65%
2.
Siwiendrayanti (2011) COD 58,6%
20

Efisiensi
No. Peneliti Komponen
Penurunan
BOD 77,6% - 91,8%
3. Euis Nurul Hidayah dan Wahyu Aditya COD 47,4% - 91,6%
TSS 33,3% - 83,3%
COD 82%
4. Setyowati dan Trihadiningrum (2000) N 74%
P 75%
Amoniak 76,07% - 87,52%
BOD 85,83% - 90,33%
Hamdani Abdulgani, Munifatul Azzati,
5. COD 86,94% - 94,87%
dan Sudarno (2014)
Sulfida 94,56% - 99,81%
TSS 73,78% - 84,71%
Ashila Rieska Munazah dan Prayatni
6. COD 96,33%
Soewondo (2008)
7. Tangahu (2005) N 91,24%
Sumber: Penulis
Tujuan utama dari dibangun sistem constructed wetland adalah untuk mengobati
berbagai macam air limbah (kota, industri, pertanian, dan perindustrian). Namun sistem ini
melayani tujuan lain juga. Lahan basah dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan
satwa liar dan menyediakan habitat bagi hewan lahan basah. Sistem constructed wetland
juga dapat estetis dan berfungsi sebagai tujuan yang menarikbagi wisatawan dan penduduk
kota setempat.

2.6.2. Tipe Constructed Wetland


Menurut Novotny dan Olem, 1994 yang dikutip oleh Widyastuti, 2005, constructed
wetland dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu sebagai berikut:
21

2.6.2.1. Constructed Wetland dengan Aliran di Bawah Permukaan Tanah (Sub-


Surface Flow System)

Gambar 2.4. Pengolahan Constructed Wetland dengan Tipe Sub-surface Flow System
Sumber: Morel and Diener (2006) dalam Sustainable Sanitation and Water Management
Pada Sub-surface Flow (SSF) system, pengolahanllimbahrterjadirketikarairrmengalir
secara perlahan melalui tanaman yang ditanam pada media berpori, misalnya pecahan batu,
gravel, atau media berpori lainnya. Air limbahhyang dialirkan akanrmengalami pengolahan
denganrcararfiltrasi, adsorbsi oleh mikroorganisme, adsorbsi oleh tanah dan juga oleh akar
tumbuhan (Novotny and Olem, 1994). Dalam sistemlini tanaman melalui akar rhizoma
yang mentransfer oksigen ke dalam media subsurface dan menciptakan kondisi aerobik
(Robert, et all). Removel bahantorganik pada sistem SSF dibatasi oleh dua faktor yaitu
wakturtinggalrdanrtransferrO2(Crites, 1998 dalam Yuanita, 2000).
Kemampuan sistem sangat dipengaruhi olehhwaktu detensiaair limbah dalamnreaktor
sertambebanmlimbahmyangmmasuk,mkondisimbiota,mdanmketerbatasanmoksigen dalam
sistemg(Anonymous,h2006).
Untukkmengatasikkemungkinan clogging pada SSF dapattdilakukantdengantmengatur
mediaapadaabagianainlet digunakanadenganadiameter besar. Media dengan diameter besar
mempunyaikkonduktivitashhidraulikbbesar dan mampu mengurangi terjadinya clogging di
bagiannawalnreaktor. Setelahhzonaainlet yanggberdiameter besar digunakan mediatdengan
diameter kecil. Mediaddengan diameterkkecillmemberinmanfaat berupaatersedianyaaarea
permukaan yang lebih banyak yang dapat digunakan untuk membantu pengolahan. Rongga
udara yang lebihhkecil lebihhkompatibel bagi vegetasi akar dan rhizoma. Selain ituldengan
22

diameter yang lebih kecil konduktivitas hidrauliknya lebih rendah dan kondisi aliran lebih
mendekati linier.
Perencanaan ini membutuhkan pengetahuan mengenai media filter. Filter aliran
vertikal dan horizontal adalah dua sistem yang secara prinsip berbeda. Filter aliran vertikal
diisi secara periodik dengan interval tertentu dan kondisi dominannya adalah aerobik,
sedangkan filter aliran horizontal adalah filter yang secara terus menerus direndam oleh air
dan dioperasikan secara partly aerobic (ada kehadiran oksigen bebas), partly anoxic (tanpa
kehadiran oksigen bebas tetapi ada NO3), dan partly anaerobic (tanpa kehadiran oksigen
bebas maupun NO3).

2.6.2.2. Constructed Wetland dengan Aliran di Atas Permukaan Tanah (Free Water
Surface System)

Gambar 2.5. Pengolahan Wetland dengan Tipe Free Water Surface System
Sumber: TILLEY et al (2008) dalam Sustainable Sanitation and Water Management
Free Water Surface (FWS) system, dikenal juga sebagai constructed wetland aliran
permukaan atau constructed wetland permukaan air bebas), air mengalir di atas tanah dan
tanaman berakar pada lapisan sedimen di dasar cekungan atau mengambang di air. Ketika
air perlahan mengalir melalui Constructed wetland (CW), fisik simultan, kimia dan biologi
padatan proses filter, menurunkan organik dan menghapus nutrisi dari air limbah. Saluran
atau cekungan dilapisi dengan penghalang kedap air (tanah liat atau geo-tekstil) ditutupi
dengan batu, kerikil, dan tanah dan ditanami vegetasi asli (misalnya, tanaman rawa, alang-
alang dan/atau bergegas). Constructed wetland dialiri air limbah hingga kedalaman 10
sampai 45 cm di atas permukaan tanah.Agregat biasanya memiliki kedalaman antara 12
dan 24 inci.Efisiensi permukaan bebas air dibangun lahan basah juga tergantung pada
seberapa baik air didistribusikan di inlet.Dibandingkan dengan Sub-Surface Flow (SSF)
system, Free Water Surface (FWS) dapat bervegetasi dengan tanaman yang muncul,
23

terendam dan tanaman mengambang (Sa‟at 2006; Tilley et al 2008). Selain itu Free Water
Surface (FWS) juga memiliki biaya pemeliharaan dan perbaikan yang lebih rendah.
Dibandingkan dengan pengolahan intensif (high-rate) pilihan perlakuan aerobik
lainnya (misalnya lumpur aktif), constructed wetland (CW) dibangun dengan sistem alam,
yang bekerja secara ekstensif. Itu berarti pengobatan mungkin memerlukan lebih banyak
tanah dan waktu, tetapi dapat biaya yang aman karena sistem operasi yang lebih rendah,
yang tidak membutuhkan orang-orang atau hanya sedikit energi listrik dan operator dapat
dilatih dari masyarakat (orang berketerampilan rendah). Ini juga berarti bahwa tidak ada
kebutuhan untuk peralatan canggih, suku cadang yang mahal, atau bahan kimia (GAUSS
2008).
Sistem FWS dinilai lebih tepat digunakan untuk menghapus limbah sekunder dan
tersier, dan menyediakan sebuah habitat. Sistem FWS mampu dalam menghapus material
organik, nitrogen, fosfor, logam berat, patogen, dan polutan lainnya. Lingkungan dalam
FWS umumnya akan aerobik di dan dekat permukaan.
Tabel 2.5. Kelebihan dan Kekurangan Constructed Wetland Tipe Free Water Surface
Free Water Surface
Kelebihan Kekurangan
Memiliki tingkat yang lebih rendah dari
Lebih murah dalam membangun dan penghapusan kontaminan per unit lahan
mengoperasikan dan lebih sederhana daripada metode SSF, sehingga
dibandingkan mendesain SSF dan membutuhkan lebih banyak tanah untuk
pengolahan limbah konvensional mencapai tingkat pengolahan tertentu dari
metode SSF
Dapat digunakan untuk air limbah
Membutuhkan lahan yang lebih daripada
dengan kandungan padatan tersuspensi
metode pengolahan konvensional
yang tinggi
Menawarkan kontrol aliran yang lebih Risiko paparan ekologi dan manusia untuk
besar dibandingkan metode SSF air limbah permukaan
Menawarkan habitat satwa liar yang lebih Mungkin lebih lambat dalam pengolahan
beragam dibanding pengolahan konvensional
Memberikan habitat bagi tanaman dan Bau dan serangga mungkin menjadi
satwa liar masalah untuk metode FWS
Sumber: Penulis
24

2.6.3. Variabel dalam Constructed Wetland


Sistem constructed wetland dikonstruksikannsedemikiannrupaadimanaddidalamnya
diisiddengan batuan, tanah, dan zat organik untuklmendukung tanaman-tanaman emergent.
Variabelddalam constructed wetland yang strukturnyaddirencanakan adalah (Yuanita,
2003):
1) Debitbyangbmengalir
2) Bahanborganikbtertentu
3) Kedalamanbmediabtanah
4) Pemeliharaanbtanamanbselamabprosesbpengolahan
Kondisi tanah seperti permeabilitas tanah, konduktivitaslhidrolis sangatbberpengaruh
padaawaktuadetensiaairalimbah dalam sistem constructed wetland. Waktuddetensidyang
mencukupi akan memberikan kesempatan kontak lebih lama antar mikroorganisme,
oksigennyangndikeluarkannoleh akar tumbuhannairnlimbahn(Wood, 1993). Untuknlebih
jelasnyaatentanggkarakteristikkmediaauntukkconstructed wetland seperti di pada tabel 2.2.

2.6.4. Penggunaan Tanaman Air pada Constructed Wetland


Dalam sistem constructed wetland terjadi beberapa proses antara lain proses fisik,
kimia, dan biologi dengan adanya interaksi antara mikroorganisme, tanaman, dan substrat
(Haberl et al., 1995).Ketika air limbah rumah tangga memasuki constructed wetland,
berbagai jenis organisme mikro dan tanaman air yang hidup dalam constructed
wetlandakan menyerap dan mencerna sebagian bahan pencemar.Akibatnya, efek
pencemaran yang terjadi akan semakin berkurang dari influent (hulu) tempat limbah
sampai ke bagian effluent (hilir).Hal ini sama seperti efek pencemaran yang terjadi
sepanjang aliran sungai. Karena proses fisika, kimia, dan biologis yang terjadi terhadap
bahan pencemar, kadar bahan pencemar dalam air akan berkurang (Haslam, 1990).
Tanaman yang hidup dalam constructed wetland membutuhkan unsur hara yang
terkandung dalam air.Bila yang tertahan adalah air yanglmengandung bahan pencemar
berbahaya bagi lingkungan tetapi bermanfaat bagi tanaman, bahan pencemar tersebut akan
diserapnya.Rapatnya tanaman air memperlambat aliran air yang masuk ke perairan
sehingga akan memacu proses pengendapan partikel bahan pencemar yang terkandung
dalam air.
Selain itu, tanaman pada constructed wetland juga berfungsi secara tidak langsung
dalam proses pembersihan air, yaitu mendukung kehidupan mikroorganisme mikro
pengurai limbah, misalnya bakteri, jamur, alga, dan protozoa. Batang, cabang, dan daun
25

tanaman air yang beradaadi dalamggenangan air akanlmemperluas areaatempatoorganisme


mikro menempel. Di bawah permukaan tanah yang tergenang air di dasar constructed
wetland, akar tanaman air mengeluarkanooksigen,hsehingga akan terbentuk zona rizosfer
yang kaya oksigen di seluruh permukaan rambut akar. Oksigen tersebut mengalir ke akar
melalui batang setelah berdifusi dari atmosfer melalui pori-pori daun (Brix, 1987).
Pelepasantoksigen oleh akar tanaman constructed wetland menyebabkan air/tanah di
sekitar serabut akar memiliki kadar oksigen terlarut yang lebih tinggi dibandingkanldengan
air/tanahhyanghtidakhditumbuhi tanamaniair, sehinggahmemungkinkanhorganisme mikro
penguraihsepertibbakteriaaerob dapathhidupddalamdlingkungan constructed wetland yang
berkondisiaanaerob.
Diperkirakan, oksigen yanghdilepasoolehaakaratanaman air dalam satu haribberkisar
antara 5-45 mg/m2 (Reed, et.al., 1995).Pelepasan oksigenloleh akar tanaman constructed
wetland menyebabkan air/tanah di sekitar serabut akar memiliki kadar oksigen terlarut
yang lebih tinggitdibandingkan dengan air/tanah yang tidak ditumbuhi tanaman air,
sehingga memungkinkan organisme mikro pengurai seperti bakteri aerob dapat hidup
dalam lingkungan constructed wetland yang berkondisi anaerob.
Semakin banyakldan dalam jaringan akar di dalam tanah, semakin luas zona rizosfer
yang tercipta, sehingga kemampuan constructed wetland untuk mendukung organisme
mikro semakin meningkat. Banyaknyatorganisme mikro yang hidup dalam constructed
wetland akan meningkatkan kinerja pembersihan constructed wetland secara menyeluruh,
mengingat makhluk hidup tersebut mencerna bahan pencemar dalam rangka memperoleh
energi. Organisme mikro ini jugalbermanfaat bagi tanaman itu sendiri, karena pengubahan
unsur hara dari senyawa komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana memungkinkan
tanaman untuk menyerapnya.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terdapat suatu ketergantungan yang erat
antara tanaman dan organisme mikro.Tanaman menyediakan tempat hidup dan memasok
sebagian oksigen sehingga membantu organisme mikro menguraikan bahan pencemar
menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman.

2.6.5. Karakteristik Tanaman Air


Tanaman air mempunyai media tumbuh di perairan. Daerah sebarannya cukup luas
meliputi perairan air tawar, payau, hingga ke lautan dengan berbagai jenis ragam, bentuk,
serta sifat-sifatnya. Berdasarkan habitat dan karakteristiknya, tanaman air dibagi menjadi
empat golongan, yaitu:
26

2.6.5.1. Tanaman Air Penghuni Permukaan Perairan (Floating Aquatic Plant)

Gambar 2.6. Skema Representasi Constructed Wetland dengan Tanaman Air Permukaan
Perairan (Floating Aquatic Plant)
Sumber: Vymazal (2001a) dalam Backhuys Publishers
Tanamannair ini hiduppterapungddippermukaan perairantdengan posisiaakaryyang
melayanggdiddalam air. Mempunyai bentukkakarkyanggterjurai, sehingga memungkinkan
tanamanntersebut untuk menyerappzat-zat yangtdiperlukan terutamaabahannterlarutddan
melayang yang ada di dalam perairan. Contoh dari golongan Floating Aquatic Plant
diantaranya tanaman Azolla, Lemna Minor, Pistria Stratiotes, dan Eichhornia Crassipes.

2.6.5.2. Tanaman Air yang Hidup di Dasar Perairan (Deep Aquatic Plant)

Gambar 2.7. Skema Representasi Constructed Wetland dengan Tanaman Air Dasar
Perairan (Deep Aquatic Plant)
Sumber: Vymazal (2001a) dalam Backhuys Publishers
Tanaman air ini hidup di dasar perairan yang mempunyailakar yang tertanam kuat
pada bagian dasar perairan, sedangkan batangnya berdiri tegak menopang daunldan bunga
yang muncul pada permukaan air. Yang mana tinggildan posisi batang biasanya tergantung
pada kedalaman perairan tempat hidupnya. Sehingga tinggi batanglserta posisi tanaman
yang berbeda-beda. Contoh dari golongan Deep Aquatic Plant diantaranya tanaman
Nuphar dan Nymphania.
27

2.6.5.3. Tanaman Air yang Terendam/Tenggelam di Dalam Perairan (Submerged


Aquatic Plant)

Gambar 2.8. Skema Representasi Constructed Wetland dengan Tanaman Air Terendam
atau Tenggelam di dalam Perairan (Submerged Aquatic Plant)
Sumber: Vymazal (2001a) dalam Backhuys Publishers
Tanaman air ini hidup di dalam perairan dengan seluruh bagian tubuhnyatterendam
air. Akar dari tanaman jenis ini dapat menyentuh dasar perairan, namuntsebagian besar
diantaranya melayang. Posisinya di perairan sangat menunjang fungsinya untuk menjadi
saringan (filter) bagilberbagai jenis bahan terlarut yang ada di dalam perairan. Contoh dari
golongan Submerged Aquatic Plant diantaranya tanaman Hydrilla, Charra, Egeria Densa,
Myriophyllum, dan Elodea Nutalli.

2.6.5.4. Tanaman Air yang Muncul di Permukaan Perairan (Emergent Aquatic Plant)

Gambar 2.9. Skema Representasi Constructed Wetland dengan Tanaman Air Muncul di
Permukaan Perairan (Emergent Aquatic Plant)
Sumber: Vymazal (2001a) dalam Backhuys Publishers
Tanaman air ini hidup pada bagian tepi suatu perairan. Jenis i ni dapat hidup pada
bagian perairan yang dangkal sampai bagian yang tidak tergenang oleh air, sesuai dengan
bentuk akar, batang, dan daunnya. Contoh dari golongan Emergent Aquatic Plant
28

diantaranya tanaman Thypa Angustifolia, Phragmites Australis, Cyperus Papyrus, Canna


Sp, Scirpus Validus, dan Iris Pseuadacorus.
Macam tanaman air yang muncul di permukaan (emergent aquatic plant) antara lain:
1. Akar Wangi (Chrysopogon Zizanioides)

Gambar 2.10. Rumput Vetiver/Akar Wangi


Sumber: http://www.tanamanobat.net/manfaat-khasiat-tanaman-akar-wangi/
Tabel 2.6. Klasifikasi Ilmiah Tanaman Akar Wangi
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom Plantae
Division Magnoliophyta
Class Liliopsida
Order Poales
Family Poaceae
Genus Chrysopogon
Spesies C. Zizanioides
Binomial Name Chrysopogon Zizanioides
Sumber: Wikipedia
Rumput vetiver (Chrysopogon Zizanioides) adalah tumbuhan yang berasal dari
India. Karakteristik vetiver sendiri adalah tanaman yang memiliki toleransi yang
tinggi terhadap tingkat salinitas, keasaman, alkalinitas, sodisitas, dan berbagai jenis
logam berat dan bahan kimia pertanian, juga kemampuan yang luar biasa untuk
menyerap dan mentolerir kadar peningkatan nutrisi untuk mengkonsumsi sejumlah air
dalam proses pertumbuhan yang pesat. Dalam constructed wetland, rumput vetiver
29

berperan sebagai tanaman fitomediator karena dapat mengakumulasi logam pada


bagian akarnya.
Di Indonesia, rumput vetivertlebih dikenal dengan nama “akar wangi” yang
biasanya dimanfaatkan minyak atsiri dari akarnya. Akar wangi adalah tanaman
rumputtdengan tinggi 1,5 – 2,5 meter. Setiap rumpun akan melahirkan anakan
lengkap denganlakar yang jumlahnya cukup banyak sekali. Keistimewaan akar wangi
ini adalahlakarnya yang sangat panjang sehingga dapat melebihi panjang bagian yang
tumbuh di atas tanah. Akar wangi juga mamputtumbuh dengan baik pada tempat yang
tergenang (wetland area). Truong, dkk (2008) menyatakan bahwa akar wangi mampu
tumbuhtdi wetland area dan efektif mengurangi limbah. Akar wangi mempunyai
kemampuan hidup dengan cakupan kondisilyang sangat beragam dan sangatlluas, baik
terhadap kondisi iklim, habitat, dan kondisi lingkungan lainnya (kualitas air) karena
tanaman ini mempunyai karakteristik yang unik (Truong, dkk, 2008).
2. Cattails (Typha Angustifolia)

Gambar 2.11. Tanaman Cattail (Typha Angustifolia)


Sumber: http://www.illinoiswildflowers.info/wetland/plants/nl_cattail.htm
30

Tabel 2.7. Klasifikasi Ilmiah Tanaman Cattails


Klasifikasi Ilmiah
Kingdom Plantae
Division magnoliophyta
Class Liliopsida
Order Thyphales
Family Typhaceae
Genus Typha
Species
Scientific Name Common Name
1. Typha angustifolia Narrow leaf Cattail
2. Typha domingensi Southern Cattail
3. Typha latifolia Broad leaf Cattail
4. Typha laxmanii Dwarf Cattail
5. Typha minima
6. Typha schuttleworthii
7. Typha xglauca Hybrid Cattail
Sumber: wikipedia.org/wiki/Typha_angustifolia
Cattails merupakan salah satu tanaman yang selalu ada (wajib) dalam constructed
wetland. Tanaman ini umumnya tumbuh di daerah dimana kedalaman air tidak
melebihi 2,6 kaki (0,8 meter). Tanaman ini dapat tumbuh diberbagai iklim, termasuk
tropis, subtropis, sedang, lembab, dan kering. Cattails dapat tumbuh di daerah
keasaman yang tinggi atau daerah yang tinggi mengandung logam berat. Tinggi dari
tanaman ini bisa mencapai 1,5 meter.
Cattails mempunyai manfaat untuk banyak hewan, salah satunya dia dapat
menyediakan area bersarang untuk burung serta memberikan perlindungan bagi ikan
yang berenang diantara rimpang mereka.
31

3. Papirus (Cyperus Papyrus)

Gambar 2.12. Tanaman Cyperus Papirus


Sumber: https://alchetron.com/Cyperus-papyrus-2326389-W
Tabel 2.8. Klasifikasi Ilmiah Tanaman Papirus
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom Plantae
(unranked) Angiosperms
Klasifikasi Ilmiah
(unranked) Monocots
(unranked) Commelinids
Order Poales
Family Cyperaceae
Genus Cyperus
Species C. Papyrus
Binomial Name Cyperus papyrus L.
Sumber: wikipedia.org/wiki/Cyperus_papyrus
Tanaman Cyperus Papyrus berfungsi untuk mengontrol nutrisi dan air yang
mengalir untuk badan air terkait, penyaringan lumpur, nutrisi, dan polutan. Papyrus
merupakan tanaman yang tinggi dan kuat. Tanaman berdaun yang panjangnya
mencapai 4-5 meter. Papyrus dapat tumbuh di iklim subtropis hingga tropis dengan
toleransi suhu sekitar 20° C (68° F) hingga 30° C (86° F).
Beberapa percobaan menyebutkan bahwa produksi biomassa tinggi pada cyperus
papyrus membuatnya efektif dalam menghilangkan N dan P dari air limbah. Tindakan
32

penghapusan nutrisi dan polutan dalam air limbah dapat dimanfaatkan dalam
pengolahan air limbah buatan atau pada constructed wetland.

2.6.6. Kelebihan dan Kekurangan Metode Constructed Wetland


Sistem constructed wetland menawarkan pengolahan yang efektif dan terpercaya
untuk pengolahan air limbah yang praktis dan murah. Aplikasi pengolahan air limbah
menawarkan banyak keuntungan dibandingkan dengan teknologi pengolahan air limbah
yang lebih konvensional. Berikut merupakan kelebihan dari constructed wetland.
a. Biaya pembangunan yang murah dibandingkan pengolahan limbah lainnya.
b. Konstruksi bangunan dan beroperasi dengan simpel.
c. Memanfaatkan proses alami.
d. Biaya pengoperasian dan pemeliharaan rendah (energi dan persediaan).
e. Pengoperasian dan pemeliharaannya secara periodik, tidak terus menerus.
f. Mampu mentolerir fluktuasi aliran.
g. Mampu mengolah air limbah dengan konstituen dan konsentrasi yang sangat berbeda.
h. Mampu mengolah air limbah domestik dan industri dengan baik ditunjukkan dengan
efisiensi pengolahan yang tinggi yaitu lebih dari 80% (Tangahu, 2001 dalam Rizka,
2005).
i. Memiliki proses stabilitas yang tinggi.
j. Produksi lumpur secara berlebih cenderung rendah.
k. Memfasilitasi penggunaan air kembali dan daur ulang.
l. Menyediakan habitat bagi banyak organisme wetland.
m. Dapat dibangun sesuai keharmonisan pemandangan.
n. Memberikan banyak manfaat selain peningkatan kualitas air, seperti habitat satwa liar
dan peningkatan estetika ruang terbuka.
o. Memberikan kesempatan rekreasi dan pendidikan.
p. Merupakan „lingkungan sensitif‟ dengan pendekatan yang dapat dilihat dengan
nyaman oleh masyarakat umum.
Sedangkan kelemahan dari sistem Constructed wetland antara lain :
a. Pengoperasian sistem inittergantung pada kondisi lingkungan termasuk iklim dan
suhu.
b. Pengolahan kurangtoptimal untuk daerah dengan suhu rendah.
c. Berpotensi menimbulkantbau seperti hasil dari proses dekomposisi tanaman.
d. Dapat terjadilsarang nyamuk jika terjadi genangan air.
33

e. Kriteria desain dantoperasi masih belum jelas untuk saat ini.


f. Kompleksitas biologis dan hidrolis, serta masih kurangnya kemampuan untuk
memahami proses yang terjadi dalam pengolahan.
34

-Halaman ini sengaja dikosongkan-

Anda mungkin juga menyukai