Anda di halaman 1dari 9

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN SAMPAH SALURAN DRAINASE

DI KECAMATAN COBLONG, BANDUNG


PROBLEM IDENTIFICATION OF WASTE IN DRAINAGE CHANNELS
AT COBLONG SUB-DISTRICT, BANDUNG

Mouldie Satria Eka Putra1 dan Benno Rahardyan2


Program Studi Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
1
mouldie.satria@gmail.com dan 2 benno@tl.itb.ac.id

Abstrak: Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat sekaligus menjadi ibu kota
provinsi tersebut. Sebagai Kota layanan jasa, Bandung memproduksi sampah rumah tangga kurang lebih 4.500
m3/hari, sampah pasar 600 m3/hari, kawasan komersial 300 m3/hari, kawasan non komersial 300 m3/hari,
kawasan industri 750 m3/hari, sampah jalanan 450 m3/hari, sampah yang dibuang ke saluran 15 m3. Jumlah
produksi sampah Kota Bandung 6.915 m3 setiap harinya. Dengan jumlah sampah tersebut, terkadang sebagian
sampah tersebut tidak berada pada tempatnya, termasuk saluran drainase. Hal ini menyebabkan pengendapan
sampah di drainase kota sehingga mengurangi kapasitas drainase tersebut dan menyebabkan banjir di beberapa
tempat. Pengukuran sampah di saluran drainase ini menggunakan indeks kekotoran Frisellya (2009), parameter
lain yang diukur antara lain tinggi saluran drainase,lebar saluran, kemiringan saluran, dan komposisi sampah
pada saluran drainase. Tata guna lahan pada suatu sistem aliran dari hulu ke hilir juga di tinjau sehingga pada
akhirnya di dapatkan data besaran sampah di saluran drainase dalam bentuk volume per meter panjang saluran
dan tata guna lahan apa yang memiliki kontribusi terbesar pada timbulan sampah di drainase dan juga sebaran
sampah saluran drainase di kecamatan Coblong.

Kata kunci : besaran sampah, sampah saluran drainase, sebaran sampah

Abstract: Bandung is the biggest metropolitan city in West Java and the capital of the province. As city services,
Bandung producing less household waste over 4,500 m3/day, 600 m3/day waste market, commercial areas 300
m3/day, 300 m3/day non-commercial areas, industrial areas 750 m3, 450 m3 of street trash / day, garbage is
dumped into the channel 15 m3. The amount of waste production Bandung 6,915 m3 per day. With that amount
of waste much, sometimes most of the waste is not in place, including drainage. This leads to the deposition of
waste in the city's drainage thus reducing the capacity of the drainage and cause flooding in some places.
Measurement of garbage in the drainage channel using Frisellya soiling index (2009), the other parameters
measured include high drainage channels, channel width, channel slope, and the composition of waste in
drainage channels. Land use on a system flow from upstream to downstream also in the review so that in the
end the amount of data get waste in drainage channels in the form of volume per meter length of the channel
and what land use that has the largest contribution to waste in drainage and waste distribution in the drainage
on Coblong district.

Keywords : amount of waste , waste distribution, waste in drainage channels.

PENDAHULUAN

Penelitian ini terlatarbelakangi dengan perkembangan sistem drainase di Indonesia


yang nampaknya jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Perkembangan teknologi
pembangunan drainase sudah diperkenalkan sejak abad 19 dimana faktor utama dari
perawatan drainase adalah membangunnya secara terintegrasi dengan mencegah gas saluran
masuk ke area masyarakat. Begitu pula faktor perangkap air dan sistem ventilasi yang mampu
meningkatkan performa drainase dan mencegah fluktuasi tekanan (Gormley & Swaffield,
2007). Terlihat bahwa perkembangan drainase di negara lain sangat berbeda dengan kondisi
di Indonesia. Curah hujan yang cukup tinggi di Indonesia termasuk di Kota Bandung,

1
memberikan sinyal harus adanya perubahan sistem drainase. Kota Bandung adalah salah satu
kota yang memiliki curah hujan tinggi dan aktivitas masyarakat yang semakin tinggi.
Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat sekaligus menjadi
ibu kota provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km sebelah tenggara Jakarta, dan merupakan
kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya menurut jumlah penduduk.
Sedangkan wilayah Bandung Raya (Wilayah Metropolitan Bandung) merupakan
metropolitan terbesar ketiga di Indonesia setelah Jabodetabek dan Gerbangkertosusila
(Grebangkertosusilo).
Sebagai Kota layanan jasa, Bandung memproduksi sampah rumah tangga kurang
lebih 4.500 m3/hari, sampah pasar 600 m3/hari, kawasan komersial 300 m3/hari, kawasan
non komersial 300 m3/hari, kawasan industri 750 m3/hari, sampah jalanan 450 m3/hari,
sampah yang dibuang ke saluran 15 m3. Jumlah produksi sampah Kota Bandung 6.915 m3
setiap harinya. Dengan sampah yang sangat banyak, terkadang sebagian sampah tersebut
tidak berada pada tempatnya, termasuk saluran drainase. Penelitian in serupa dengan
penelitian di salah satu kota di India yang melakukan survei primer untuk mengetahui
bagaimana kondisi drainase yang tidak mampu menampung air hujan dan membawa banyak
sampah racun maupun bahan berbahaya lainnya. Serta perbedaan antara perawatan dan
penanganan sampah membuat kondisi lingkungan tidak sehat (Ghosh & Maji, 2011).
Pengendapan sampah di drainase kota sehingga mengurangi kapasitas drainase tersebut dan
menyebabkan banjir di beberapa tempat. Banjir didefinisikan sebagai air yang tidak mampu
mampu masuk ke dalam water seal / water trap atau drainase sehingga berada di atas
permukaan. Fenomena banjir di perkotaan adalah sebuat indikasi adanya kegagalan sistem
drainase pada perkotaan tersebut serta sistem dual drainase menjadi salah satu rekomendasi
dalam penanganan banjir (Schmitt, Thomas, & Ettrich, 2004). Oleh karena itu diperlukan
penelitian untuk mengukur besaran dan sebaran sampah saluran drainase sebagai tindakan
preventif dalam mengatasi persoalan ini.

METODOLOGI

Penelitian pada pengukuran sampah saluran drainase di kecamatan Coblong ini


dilakukan dengan cara survei secara langsung pada lokasi drainase. Survei yang dilakukan
adalah dengan cara melakukan sampling termasuk pengambilan sampah pada drainase
kecamatan Coblong.

Gambar 1 Peta daerah studi

2
Dari proses pengambilan sampel tersebut maka dapat diperoleh besaran dan sebaran
dari sampah saluran drainase tersebut. Berikut tahapan sampling yang dilakukan di drainase
Kecamatan Coblong :
1. Survei dilakukan pada drainase sepanjang hulu hilir di Kecamatan Coblong. Jarak
antar setiap titik sampel drainase terhitung 100-150 meter.
2. Panjang drainase yang di sampling memiliki panjang satu hingga dua meter.
3. Pada drainase tersampling, sampah diambil dan diukur berat basahnya.
Perhitungan berat basah sampah dilakukan untuk mengetahui beban drainase.
4. Selain itu pengukuran indeks kekotoran sampah dapat dilakukan dengan
membandingkan standar kekotorannya dengan besaran yang terjadi di drainase.
Besaran sampah akan dikuantifikasikan dengan beban sampah saluran drainase pada
setiap titik sampling. Sedangkan sebaran sampling dilakukan dengan analisis indeks
kekotoran pada titik-titik drainase. Untuk mendapatkan kedua bagian pembahasan tersebut,
sampling akan dilakukan pada titik drainase di sepanjang jalan pada kecamatan Coblong dari
hulu ke hilir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan sampel sampah saluran drainase dilakukan dengan cara mengukur lebar
saluran, tinggi saluran, tebal dari sampah saluran drainase dan komposisi dari sampah
tersebut. Sistem pengambilan sampel dilakukan dari hulu ke hilir dan juga memetakan arah
aliran drainase tersebut. Panjang sampel yang diambil sepanjang 50 cm dari panjang saluran.
Sampling yang dilakukan pada drainase Kecamatan Coblong menggambarkan kondisi
drainase. Drainase Kecamatan Coblong memiliki kemiringan yang berbeda-berbeda
bergantung dengan kondisi topografi lokasi drainase. Sehingga dihipotesiskan bahwa
kemiringan saluran drainase akan memberikan dampak pada volume timbulan sampah pada
drainase.

Gambar 2 Hubungan rata-rata beban sampah di saluran drainase (SSD) tanpa air dengan
kemiringan saluran (slope)

3
Dengan menampilkan data rata-rata pada tiga kategori slope, dapat dilihat pengaruh
yang cukup jelas antara kemiringan saluran dengan timbulan sampah. Semakin tinggi
kemiringan suatu saluran drainase maka semakin kecil timbulan sampah pada saluran
drainase. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kemiringan saluran drainase, semakin
tinggi timbulan sampah yang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan karena sampah yang berada
pada saluran drainase terbawa dan terakumulasi pada saluran dengan kemiringan rendah.
Namun dapat terlihat juga bahwa pada slope kategori kurang dari 0,05 menunjukkan
hasil terkecil. Hal ini disebabkan tidak banyak saluran memiliki slope sekecil itu dan secara
kebetulan tidak ditemukan lokasi sampling yang memiliki timbulan sampah besar pada
kategori slope tersebut.
Dari data primer dapat dihitung beban yang ditimbulkan dari sampah saluran drainase
(SSD) dengan cara menghitung volume per meter panjang saluran. Tata guna lahan juga
menjadi bahan analisis yang menghasilkan timbulan sampah di drainase. Namun, berbeda
dengan sampah di jalan, sampah pada drainase memiliki kecenderungan untuk terbawa dan
terakumulasi pada daerah yang memiliki kemiringan saluran rendah, sehingga tempat dengan
aktivitas produksi sampah drainase yang tinggi belum tentu memiliki timbulan sampah
drainase tinggi karena sampah tersebut akan terbawa ke hilir jika memiliki kecepatan aliran
yang cukup. Interpretasi tingkat kekotoran drainase menggunakan indeks kekotoran dari
Frisellya (2009). Indeks kekotoran (Frisellya,2009) dapat digunakan untuk menganalisa
tingkat timbulan sampah pada saluran drainase. Dari 39 titik drainase sasaran terlihat bahwa
setidaknya delapan titik memiliki indeks kekotoran di atas 50 persen, yang artinya timbulan
sampah cukup besar. Sedangkan mayoritas titik drainase sasaran memiliki tingkat kekotoran
dibawah 30 persen. Titik drainase sasaran dengan tingkat kekotoran lebih dari 50 persen,
dimungkinkan adalah titik dimana sampah terakumulasi di hilirnya.
SSD sering dikaitkan dan dihipotesiskan dengan aktivitas masyarakat di sekitar
drainase, atau dapat disebut dengan tata guna lahan di sekitar drainase. Tata guna lahan pada
penelitian ini terbagi menjadi empat bagian yaitu perdagangan (baik kecil maupun besar),
pendidikan, jalan raya dan trotoar. Jika dikaitkan maka kategori tata guna lahan mungkin
akan memberikan dampak yang berbeda pada kondisi drainase, seperti timbulan sampah yang
terjadi di drainase pada wilayah tersebut.
140

120 Hubungan antara


beban sampah pada
100 saluran drainase per
volume drainase tanpa
80 air dengan indeks
kekotoran
60
Hubungan antara
40 beban sampah pada
saluran drainase per
20 volume drainase
dengan air dengan
0
indeks kekotoran
0% 20% 40% 60% 80% 100%
-20
Gambar 3 Beban sampah saluran drainase dengan indeks kekotoran

Indeks kekotoran hanya dapat digunakan pada saluran drainase ketika saluran
drainase tersebut tidak terdapat aliran air. Karena ada beberapa saluran yang memiliki

4
ketinggian muka air yang cukup tinggi dan berwarna gelap, sehingga sampah yang berada
pada saluran drainase tersebut tidak dapat terlihat dengan jelas.
Pada saluran drainase kering, terlihat hubungan yang jelas dan berbanding lurus
antara beban sampah pada saluran drainase dengan indeks kekotoran. Semakin tinggi nilai
indeks, maka semakin besar nilai beban pada saluran tersebut, namun indeks kekotoran
memiliki keterbatasan jika mencapai nilai indeks lebih dari 80%, karena indeks kekotoran
hanya menilai tingkat kekotoran dari permukaan sedangkan terkadang ditemukan saluran
drainase yang memiliki timbulan sampah yang cukup besar dan memiliki ketebalan sampah
dalam jumlah tertentu.
Dengan menggunakan data beban saluran drainase dan indeks kekotoran pada
drainase yang memiliki aliran air, dapat terlihat hasil yang dapat dibilang tidak konsisten.
Dengan indeks kekotoran yang sama dapat menghasilkan data beban yang jauh berbeda, hal
ini disebabkan karena terkadang aliran dalam drainase tersebut terlalu pekat sehingga sampah
dalam saluran drainase tersebut tidak dapat terlihat dengan jelas.

Gambar 4 Perbandingan beban sampah pada drainase tanpa aliran air dengan drainase
dengan aliran air

Drainase yang memiliki air dalam salurannya berkecenderungan untuk memiliki


beban sampah yang lebih besar. Ini terjadi karena sampah yang terdapat dalam saluran
tersebut memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Berbeda dengan drainase yang tidak
terdapat air dalam salurannya. Sampah cenderung lebih kering dan memiliki berat yang lebih
kecil karena memiliki kandungan air yang lebih rendah. Namun, drainase yang tidak
memiliki air juga dapat memiliki timbulan sampah yang jauh lebih besar karena berbeda
dengan drainase yang memiliki aliran air, sampah pada drainase tanpa aliran air tidak terbawa
aliran. Hal ini dapat terlihat pada gambar 5, terdapat data outlayer yang memiliki nilai beban
yang cukup tinggi.

5
10000

Berat sampah saluran drainase (kg)


9000
8000
7000
6000
5000 Jumlah sampah pada
4000 satu sistem saluran
hulu-hilir Dago-
3000 Tubagus Ismail
2000
1000
0
0 500 1000 1500 2000 2500
Panjang saluran (m)

Gambar 5 Jumlah berat sampah pada saluran drainase pada satu sistem hulu-hilir

Dalam sebuah saluran dengan sistem hulu-hilir atau saluran yang tersambung dalam
satu aliran terlihat jumlah sampah yang ada dalam satu saluran air tesebut. Hal ini
menunjukkan bahwa sampah pada saluran drainase terbawa dan terakumulasi pada hilir
saluran. Pada saluran ini air mengalir dari Jalan Dago menuju ke Tubagus Ismail dan masuk
ke sungai.
7
Beban saluran per volume drainase

4
(Kg/m3)

0
Perbandingan rata-rata SSD berdasarkan jenis
saluran
Proteksi 2,635081478
Tanpa Proteksi 6,006715756

Gambar 6 Pengaruh jenis saluran pada rata-rata timbulan sampah di saluran drainase

Jika dibandingkan berdasarkan jenis salurannya yaitu yang terproteksi dan tidak
terproteksi, sampah saluran drainase yang timbul pada saluran dengan saluran tanpa proteksi
jauh lebih besar jika dibandingkan dengan saluran dengan proteksi. Hasil ini membuktikan
bahwa saluran dengan proteksi dapat mengurangi timbulan sampah pada saluran drainase.

6
Gambar 7 Beban sampah per volume drainase berdasarkan tata guna lahan

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sektor pendidikan menyumbangkan beban
rata-rata terbesar pada sistem drainase. Hasil ini dikarenakan terjadi timbulan yang cukup
besar di satu lokasi survei pada sektor pendidikan sehingga dapat dikatakan bahwa tata guna
lahan pada sektor pendidikan tidak representatif.

Gambar 8 Indeks kekotoran berdasarkan tata guna lahan

Sedangkan pada indeks kekotorannya memberikan hasil yang agak berbeda karena
indeks kekotoran tidak serta merta menggambarkan beban pada saluran drainase karena
beban pada saluran drainase tergantung pada jenis sampah yang memiliki berat jenis berbeda.
Indeks kekotoran juga tidak dapat menjelaskan jumlah sampah dengan indeks diatas 80
persen, karena sampah yang memiliki indeks kekotoran 80 persen biasanya memiliki
ketebalan sampah dalam jumlah tertentu, sehingga indeks kekotoran tak lagi efektif untuk
saluran drainase dengan indeks kekotoran diatas 80 persen.

7
100%
90%
80%
Lainnya
70%
Logam/ Besi
60%
Beling/ Kaca
50%
Kertas
40%
Karet
30%
Plastik/ Kemasan
20%
Organik
10%
0%
Perdagangan Pendidikan Jalan raya Trotoar

Gambar 9 Komposisi jenis sampah saluran drainase berdasarkan tata guna lahan

Secara umum, gambar 9 menjelaskan bahwa dari seluruh tipe penggunaan lahan di
wilayah terpilih memiliki komponen sampah organik terbesar dibandingkan dengan jenis
komponen sampah lainnya. Sampah organik adalah sampah dengan jenis seperti daun dan
kayu atau ranting. Hal tersebut mengindikasikan bahwa wilayah sasaran masih memiliki
kondisi yang rindang sehingga banyak dedaunan maupun ranting yang berjatuhan. Secara
normatif, sampah organik pun seharusnya tidak bertumpuk pada saluran drainase.
Dihipotesiskan bahwa perilaku masyarakat seperti sistem penyapuan jalan menjadi
penyumbang banyaknya timbulan sampah organik. Hipotesa ini didukung oleh salah satu
penemuan dari hasil observasi dimana salah satu penyapu jalan cenderung membuang
sampah sapuannya ke drainase terdekat.
Sampah plastik/kemasan berkontribusi 20-30 persen pada komposisi sampah pada
kategori tata guna lahan untuk perdagangan dan pendidikan. Persentase terendah pada
sampah plastik/kemasan terletak pada kategori tata guna lahan untuk trotoar. Pada kategori
tata guna lahan untuk jalan raya, sampah dengan jenis karet memberikan kontribusi sebesar
15 persen dan jenis sampah lainnya sebesar 10 persen (kain, bata, dll). Tata guna lahan jalan
raya memiliki tingkat/jumlah sampah plastik/kemasan terbanyak dibandingkan tata guna
lahan lainnya. Sedangkan pada kategori tata guna lahan pendidikan, tiga jenis sampah dengan
terbesar adalah sampah organik, diikuti plastik/kemasan, dan beling/kaca

KESIMPULAN

Sampah saluran drainase dipengaruhi oleh adanya aktifitas manusia di sekitar drainase
tersebut misalnya perdagangan, pendidikan, jalan raya atau digunakan sebagai trotoar.
Namun timbulan sampahnya tidak selalu berada pada tata guna lahan pada saluran drainase
tersebut. Hal ini dikarenakan sampah yang di produksi pada tata guna lahan tersebut terbawa
dan terakumulasi pada saluran dengan kondisi tertentu. Kondisi yang dimaksud di pengaruhi
oleh dua parameter yaitu kemiringan saluran dan tingginya muka air pada saluran drainase
tersebut.
Semakin tinggi kemiringan saluran dan muka air saluran akan memperkecil
kemungkinan terjadi timbulan sampah. Begitu pula sebaliknya, jika suatu saluran memiliki
kemiringan dan muka air kecil, maka kemungkinan terakumulasi sampah pada drainase
tersebut semakin tinggi.
8
Belum adanya penanganan yang tepat terhadap sampah organik meningkatkan beban
sampah yang terjadi di saluran drainase. Dengan lebih dari 50 persen sampah pada saluran
drainase berasal dari sampah organik seperti dedaunan, ranting pohon dan lain-lain

DAFTAR PUSTAKA

Abdeldayem. S, 2005, Agricultural Drainage : Towards an Integrated Approach, Irrigation


and Drainage Systems, 19:71-87
Amini. A, 2009, Adjustment of Peak Streamflows of a Tropcial River for Urbanization,
American Journal of Environmental Sciences 5, 3:285-294
Association, B. A. (t.thn.). Dipetik Juli 29, 2013, dari
http://strawberrycreek.berkeley.edu/pdfs/start@source/sats5drainagesystems.pdf
Graham, A., Day, J., Bray, B., & Mackenzie, S. (2012). Sustainable Drainage Systems :
Maximising the Potential for People and Wildlife (A guide for local authorities and
developers). RSPB and Wildfowl and Wetlands Trust (WWT).
Ghosh, S., & Maji, T. (2011). An Enviromental Assessment of Urban Drainage, Sewage and
Solid Waste Managemnt in Barddhaman Municipality, West Bengal. International
Journal of Enviromental Sciences Volume 2 , 92-105.
Gormley, M., & Swaffield, J. A. (2007). Building Drainage Waste and Vent systems :
Options for Efficient Pressure Control.
Hardjosuprapto. Masduki, 1998. Drainase Perkotaan Volume 1, Bandung: Penerbit ITB
Inbar. M, 2002, A Geeomorphic and Environmental Evaluation of the Hula Drainage Project,
Israel, Australian Geographical Studies, 40:155-166
Long. A.R , 2007, Drainage Evaluation at the U.S. 50 Joint Sealant Experiment, Journal of
Transportation Engineering, 133
Lo Russo. S, 2009, Groundwater in the Urban Environment: Management Needs and
Planning Strategies, American Journal of Environmental Sciences 5, 3:493-499
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Yogyakarta: ANDI
Yogyakarta
Schmitt, T. G., Thomas, M., & Ettrich, N. (2004). Analysis and Modeling of Flooding in
Urban Drainage Systems. Journal of Hydrology , 300-311.
Triputra, A. I. (2010). Perencanaan Sistem Penyapuan Jalan dan Fasilitas Umum Di Kota
Bandung. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Anda mungkin juga menyukai