Anda di halaman 1dari 52

LAMPIRAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN


PERHUTANAN SOSIAL
NOMOR : P. 001/V-DAS/2007
TANGGAL : 30 Januari 2007

PEDOMAN PEMANTAUAN TATA AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI


DENGAN PENDEKATAN MODEL HIDROLOGI

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerusakan ekosistem daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia terus berlanjut
seperti ditunjukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004
– 2009 dimana DAS berkondisi kritis semakin meningkat dari 22 DAS (1984) menjadi 39
DAS (1994), kemudian 62 DAS (1999), dan pada saat ini diperkirakan sekitar 282 DAS
dalam kondisi kritis (Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005). Sheng (1986) menyatakan
bahwa permasalahan DAS tumbuh seiring dengan pertambahan penduduk dan waktu,
sehingga tugas pengelolaan DAS hampir tanpa akhir. Dengan demikian pengelolaan DAS
bersifat sinambung (continuous) dan lentur (flexible), tidak bisa diselesaikan dengan sekali
selesai tuntas, karena masalah baru selalu timbul, baik oleh aktivitas manusia maupun oleh
proses alam. Semakin memburuknya kondisi DAS di Indonesia menunjukkan masih
lemahnya sistem pengelolaan dimana dinamika kondisi DAS kurang terdeteksi secara dini
dan periodik sehingga penanganannya sering menjadi terlambat dan kurang tepat.
Pemantauan tata air pada suatu titik keluaran (outlet) pada suatu daerah tangkapan air
(DTA) atau DAS/Sub DAS dapat digunakan sebagai alat diagnosis atau deteksi dinamika
perubahan kondisi DAS.
Untuk melakukan pemantauan tata air secara langsung, terus-menerus, dan akurat
tersebut diperlukan sarana prasarana yang cukup mahal dan sumberdaya manusia yang
handal. Sedangkan wilayah yang perlu dipantau cukup luas sehingga tidak mungkin
semuanya bisa dilakukan karena terbatasnya sumberdaya manusia dan dana. Untuk
mengatasi kendala tersebut dapat digunakan dengan pendekatan modeling hidrologi
dimana kondisi tata air merupakan gambaran dari tanggapan kondisi DAS sebagai
prosesor terhadap air hujan yang jatuh di atasnya.
Dengan menggunakan pemodelan hidrologi sederhana akan dapat diketahui
potensi sumberdaya air DAS/SubDAS terkini, yaitu: parameter kuantitas hasil air berupa
volume limpasan (Q), parameter kontinuitas hasil air berupa debit banjir (qp atau Qmaks)
dan debit minimum (Qmin), dan parameter kualitas hasil air berupa hasil sedimen (Sy).
Pengembangan model empiris pada pemodelan hidrologi sebagai dasar pendekatan proses
1
alami telah banyak jenis dan macamnya, namun dalam buku pedoman ini hanya akan
digunakan model-model empiris yang saat ini banyak dipakai dalam bidang hidrologi.
Untuk mengestimasi volume limpasan (Q) yang paling banyak digunakan adalah
model “SCS Curve Number” (Soil Conservation Service, 1964), karena sederhana/simpel,
akurasinya dapat dipercaya, menggunakan data hujan dan karakteristik DAS yang mudah
didapat (Singh, 1989), dan dapat digunakan untuk DAS kecil sampai besar, yakni pada
luasan sampai dengan 2.590 km2 atau 259.000 ha (McCuen, 1989; dan Williams dan
LaSeur (1976) dalam Singh, 1989). Untuk mengestimasi debit banjir (qp) digunakan
model “Rumus Rational” (Chow, 1964; McCuen, 1989; Sosrodarsono dan Takeda, 1993).
Walaupun rumus ini sudah tua dan tidak jelas asalnya (Chow, 1964), namun sangat
popular dan banyak dipakai dalam praktek lapangan (McCuen, 1989; dan Sosrodarsono
dan Takeda, 1993), dan dapat ditenerapkan pada DAS kecil (<15 km2 atau 1.500 ha)
sampai DAS besar (s/d 200.000 km2 atau 2.000.000 ha) dengan kombinasi penggunaan
lahan yang kompleks. Untuk mengestimasi hasil sediment (Sy) digunakan model MUSLE
(Modified Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Williams (1975) dan
Williams dan Berndt (1977) dari model aslinya USLE untuk menprediksi tingkat
kehilangan tanah rata-rata dari suatu lahan (Wischmeier dan Smith, 1978). Model ini dapat
digunakan untuk DAS dengan luas < 1000 mil2 atau 259.000 ha (Williams, 1975).

B. Tujuan
Penerbitan Pedoman ini bertujuan untuk memudahkan penyelenggara pengelolaan
DAS dalam melakukan pemantauan tata air dari parameter volume debit (Q), debit puncak
(qp) dan hasil sediment (Sy) pada DAS/Sub DAS yang belum memiliki stasiun
pengamatan arus sungai (SPAS) dengan bantuan teknologi Sistim Informasi Geografi
(SIG).

C. Ruang Lingkup
Luas setiap DAS di Indonesia sangat beragam, mulai kurang dari 100.000 ha
sampai dengan lebih dari 4 juta ha, sehingga penggunaan istilah “Wilayah Kerja”
pemantauan tata air DAS atau Sub DAS atau Sub-sub DAS perlu disertai pembatasan
luasan. Untuk memperoleh keandalan hasil estimasi dari model hidrologi yang digunakan

2
agar mendekati seperti proses alaminya, maka penerapannya harus sesuai dengan
persyaratan penggunaan model, seperti batasan luas daerah tangkapan air. Luas daerah
tangkapan air (DAS/Sub DAS) pemantauan akan lebih berdayaguna bagi pengambil
kebijakan apabila cakupan luasannya bias diselaraskan dengan kewenangan
penyeleggaraan daerah otonom kabupaten. Dalam Pedoman ini, batasan wilayah kerja
daerah tangkapan air atau DAS/Sub DAS untuk pemantauan tata air dengan pendekatan
model hidrologi dapat dilakukan sampai dengan luasan 100.000 ha serta dilakukan dalam
satu wilayah kabupaten.
Penggunaan model tersebut diasumsikan bahwa dalam DAS tidak terdapat
bagunan air yang dapat menghambat aliran air sungai seperti adanya bangunan waduk
(tandon air) dan bendung sadap (weir) untuk irigasi atau penggunaan lainnya. Adanya
bangunan air tersebut akan mengurangi nilai estimasi dari model.
Dalam sistem pengelolaan DAS, hasil pemantauan tata air dari parameter Q, qp
dan Sy pada DAS/Sub DAS melalui pendekatan model hidrologi dengan bantuan
teknologi Sistim Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan sebagai alat (metode) untuk
menilai kinerjanya, melalui informasi tingkat kerentanan atau degradasinya. Untuk
selanjutnya informasi tersebut dapat digunakan sebagai salah satu dasar penyusunan
rencana pengelolaan DAS terpadu.

D. Pengertian-Pengertian

Pengertian-pengertian terkait dengan buku pedoman ini diambil dari beberapa


sumber, yaitu: Seyhan (1977), Arronof (1989), Gupta (1989), Harto (1993), Asdak (1995),
Departemen Kehutanan (2000), UU RI No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air,), dan
Draft 12-Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pengelolaan DAS
Terpadu (2006).

1. Daerah Alian Sungai (DAS, catchment area, watershed) adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis

3
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan;
2. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui
anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis kedalam Sub DAS – Sub DAS;
3. Wilayah Sungai (WS) atau wilayah DAS adalah kesatuan wilayah pengelolaan
sumberdaya air dalam satu atau lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (200.000 ha);
4. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik
antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya,
dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan
kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan;
5. Rencana Pengelolaan DAS terpadu adalah konsep pembangunan yang
mengakomodasikan berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan
dijabarkan secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu rencana berjangka pendek,
menengah maupun panjang yang memuat perumusan masalah spesifik di dalam DAS,
sasaran dan tujuan pengelolaan, arahan kegiatan dalam pemanfaatan, peningkatan dan
pelestarian sumberdaya alam air, tanah dan vegetasi, pengembangan sumberdaya
manusia, arahan model pengelolaan DAS, serta sistem monitoring dan evaluasi
kegiatan pengelolaan DAS;
6. Pengelolaan DAS Terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi
program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya DAS lintas
multipihak secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial,
politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS;
7. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang
berada di darat ;
8. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah;
9. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah;

4
10. Tata Air DAS adalah hubungan kesatuan individu unsur-unsur hidrologis yang
meliputi hujan, aliran permukaan dan aliran sungai, peresapan, aliran air tanah dan
evapotranspirasi dan unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air suatu DAS;
11. Pemantauan Tata Air adalah pengamatan dan pengukuran potensi sumberdaya air
(kuntitas, kualitas, dan kontinuitas) pada suatu titik pengukuran dalam suatu daerah
tangkapan air atau DAS secara periodik dan terus-menerus;
12. Aliran Air atau Limpasan (runoff) sinonim dengan aliran sungai (stream flow), hasil air
daerah tangkapan air (catchment yield), adalah bagian dari air hujan (presipitasi) yang
mengalir di atas permukaan tanah (surface runoff) dan atau di dalam tanah (subsurface
runoff) menuju ke suatu sungai;
13. Debit Air (discharge, Q) adalah volume air (cairan) yang mengalir melalui suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu, dalam satuan m3/detik;
14. Volume Debit (Q) adalah total volume aliran (limpasan) yang keluar dari daerah
tangkapan air atau DAS/Sub DAS, dalam satuan mm atau m3;
15. Debit Puncak atau Debit Banjir (qp, Qmaks) adalah besarnya volume air (cairan)
maksimum (terbesar) yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu sungai
per satuan waktu, dalam satuan m3/detik;
16. Debit Minimum (Qmin) adalah besarnya volume air (cairan) minimum (terendah)
yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu sungai per satuan waktu,
dalam satuan m3/detik;
17. Aliran/Limpasan Permukaan (surface runoff) adalah bagian limpasan yang melintas di
atas permukaan tanah menuju saluran sungai;
18. Aliran/Limpasan Bawah Permukaan (subsurface runoff) adalah bagian dari limpasan
permukaan yang disebabkan oleh bagian air hujan yang berinfiltrasi/meresap ke dalam
tanah dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah bagian atas menuju
sungai;
19. Aliran/Limpasan Permukaan Langsung (direct runoff) adalah bagian limpasan
permukaan memasuki sungai secara langsung setelah curah hujan. Limpasan
permukaan langsung merupakan sinonim dengan ”hujan efektif” (efektif rainfall);
20. Hasil Air (water yield) adalah total limpasan dari suatu daerah pengaliran air (drainage
basin) yang disalurkan melalui saluran air permukaan dan akuifer (reservoir air tanah);

5
21. Hujan Lebih (rainfall excess) adalah kontribusi curah hujan terhadap limpasan
permukaan langsung;
22. Infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam permukaan tanah dengan gaya gerak
gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran;
23. Laju infiltrasi aktual adalah laju air berpenetrasi ke permukaan tanah pada setiap
waktu dengan kombinasi gaya-gaya gravitasi, viskositas, dan kapilaritas;
24. Kapasitas infiltrasi adalah laju maksimum presipitasi yang dapat diserap oleh tanah
pada kondisi tertentu;
25. Model adalah penyederhanaan sistem yang digunakan untuk menggambarkan sistem
kehidupan nyata (real world) dengan suatu tujuan tertentu. Suatu model merupakan
pengungkapan bentuk konsep dari sistem yang sebenarnya;
26. Model Hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang
kompleks;
27. Sistem adalah sekumpulan urutan antar hubungan dari unsur-unsur yang
dialihragamkan (transform), dalam referensi waktu yang diberikan, dari unsur
masukan yang terukur menjadi unsur keluaran yang terukur;
28. Model Matematis adalah sebuah sajian sistem dalam rangkaian persamaan, dan
kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang menyajikan hubungan antar variabel
dan parameter;
29. Model Konseptual adalah sebuah sajian proses-proses hidrologi dalam persamaan
matematik dan membedakan antara fungsi produksi dan fungsi penelusuran (routing);
30. Parameter adalah besaran yang menandai suatu sistem hidrologi yang memiliki nilai
tetap, tidak tergantung dari waktu;
31. Variabel adalah besaran yang menandai suatu sistem, yang dapat diukur dan memiliki
nilai berbeda pada waktu yang berbeda;
32. Model ”lumped” adalah suatu model hidrologi yang besaran dari variabel dan
parameter yang diwakilinya tidak mempunyai variabilitas ruang (spatial variability),
misalnya masukan berupa hujan rata-rata DAS;
33. Model ”distributed” adalah suatu model hidrologi yang besaran dari variabel dan
parameter yang diwakilinya mengandung variabilitas ruang dan waktu;

6
34. Erosi adalah pindahnya atau terangkutnya material tanah atau bagian-bagian tanah dari
satu tempat ke tempat lain oleh media alami (air/angin);
35. Sedimentasi adalah proses perpindahan dan pengendapan erosi tanah, khususnya hasil
erosi permukaan dan erosi parit. Sedimentasi menggambarkan material tersuspensi
(suspended load) yang diangkut oleh gerakan air dan atau diakumulasi sebagai
material dasar (bed load). Dari proses sedimentasi, hanya sebagian material aliran
sedimen di sungai yang diangkut keluar dari DAS, sedang yang lain mengendap di
lokasi tertentu di sungai selama menempuh perjalanannya;
36. Hasil Sedimen adalah besarnya sedimen yang keluar dari suatu DAS/SubDAS;
37. Degradasi DAS adalah hilangnya nilai dengan waktu, termasuk menurunnya potensi
produksi lahan dan air yang diikuti tanda-tanda perubahan watak hidrologi sistem
sungai (kualitas, kuantitas, kontinuitas), yang akhirnya membawa percepatan degradasi
ekologi, penurunan peluang ekonomi, dan peningkatan masalah sosial.
38. Banjir adalah debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat
hujan yang turun di hulu atau disuatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga
air limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai yang ada, maka air
melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya. Banjir bandang (flash flood)
terjadi pada aliran sungai yang kemiringan dasar sungainya curam.
39. Karakteristik DAS adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh
parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi,
vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi, dan manusia;
40. Koefisien Limpasan (C) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan (nisbah)
antara besarnya limpasan terhadap besar curah hujan penyebabnya, nilainya lebih
besar dari 0 (nol) dan lebih kecil atau sama dengan 1 (satu). Misalnya, nilai C = 20,
artinya 20 persen dari curah hujan menjadi limpasan;
41. Koefisien Regim Sungai (KRS) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan
antara nilai debit maksimum (Qmaks) dengan nilai debit minimum (Qmin) pada suatu
DAS/Sub DAS;
42. Nisbah Hantar Sedimen (Sediment Delivery Ratio, SDR) adalah bilangan yang
menunjukkan perbandingan antara nilai total hasil sedimen dengan nilai total erosi
yang terjadi di DAS/Sub DAS;

7
43. Lahan Kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan
tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media
produksi maupun pengatur tata air;
44. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan memanipulasi
informasi geografi.

8
II. PRINSIP DASAR PEMANTAUAN TATA AIR DAS

A. Pemantauan dan Evaluasi DAS

Setiap daerah aliran sungai (DAS) memiliki karakteristik atau ciri, atau kualitas
yang khas yang dicirikan oleh parameter-parameter yang berkaitan dengan keadaan
morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, tata guna (penggunaan) lahan, hidrologi,
dan manusia (Seyhan, 1977). DAS merupakan suatu ekosistem sehingga setiap masukan
(inputs) ke dalam ekosistem dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung
dengan memperhitungkan keluaran (outputs) dari ekosistem tersebut (Asdak, 1995).
Dalam sistem tata air ekosistem DAS, komponen masukannya berupa curah hujan,
sedangkan komponen luarannya terdiri dari debit air dan sedimen yang terangkut. DAS
merupakan prosesor yang terdiri dari komponen alami yang sulit dikelola (morfometri
DAS, geologi, dan sebagian sifat fisik tanah) dan komponen yang relatif mudah dikelola
(vegetasi, kesuburan dan struktur tanah, dan lereng mikro). Dalam memenuhi
kehidupannya, manusia melakukan intervensi terhadap sumberdaya alam dalam DAS,
yang merupakan masukan, baik berupa teknologi mapun sistem sosial ekonomi dan
kelembagaan yang terbangun.

Gambar 1. Ekosistem DAS Sebagai Basis Pemantauan dan Evaluasi


(Diadopsi dari Paimin, dkk, 2006)

9
Secara skematis sistem DAS sebagai basis pemantauan dan evaluasi tata air dapat
digambarkan seperti diagram Gambar 1 (diadopsi dari Paimin, dkk., 2006).
Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian penting karena memiliki fungsi
perlindungan terhadap sistem DAS, terutama terhadap daerah hilirnya, sebagai pengendali
banjir, cadangan dan pasokan sumberdaya air, dan pengendali erosi tanah serta sedimen.
Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu dan hilir dalam suatu DAS adalah
siklus/daur hidrologi (Dixon dan Easter, 1986). Sifat alami dan intervensi manusia yang
merupakan perwujudan pengelolaan atas sumberdaya alam DAS akan mempengaruhi laju
siklus air dalam sistem ekologi DAS. Pengelolaan DAS yang dilakukan melalui kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan, diarahkan untuk menghambat proses siklus air melalui
pengelolaan lahan, yakni dengan praktek konservasi tanah dan air secara vegetatif dan
mekanis, sehingga air hujan yang jatuh bisa dihambat untuk lebih banyak dimanfaatkan
bagi kehidupan di bumi dari pada dibiarkan lebih banyak yang menjadi limpasan atau
banjir.
Karakteristik DAS di Indonesia sangat beragam, sebagai interaksi dari seluruh
faktor, baik faktor alami maupun faktor yang mudah dikelola (Gambar 1). Sebagai contoh,
interaksi alam dari vegetasi, tanah, dan air (hujan) disertai intervensi manusia dengan
aplikasi teknologi dan pengelolaannya (masukan) akhirnya membentuk berbagai bentuk
penggunaan lahan dan pola budidaya yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dengan memberikan pupuk, baik organik maupun anorganik, dan penerapan teknik
pengelolaan lahan yang berasaskan konservasi akan memberikan pertumbuhan vegetasi
yang lebih baik. Pertumbuhan vegetasi akan memberikan perlindungan tanah terhadap
pengikisan dan memperbesar air masuk ke dalam tanah atau memperkecil limpasan
permukaan melalui peran perakaran, seresah, dan tajuk. Sedangkan sifat alami seperti
morfometri DAS, geologi, dan sifat fisik tanah (kecuali struktur dan porositas) merupakan
faktor yang sulit dikelola, namun perlu difahami sebagai dasar penyususan perencanaan
pengelolaan. Penggunaan lahan dalam wilayah DAS tidak hanya lahan pertanian atau non
hutan tetapi seluruh bentuk penggunaan lahan, termasuk hutan, pemukiman, dan
perkebunan. Dengan demikian watak tata air DAS (luaran) sangat beragam, tergantung
dari hasil interaksi seluruh faktor penyusun daerah tangkapan air (prosesor) dengan
karakteristik hujan yang jatuh di atasnya (masukan).

10
Berdasarkan prinsip pemikiran demikian maka tata air DAS dapat diprakirakan
dari karakteristik hujan dan karakteristik DAS sebagai prosesornya. Beberapa ahli
mencoba untuk menelusuri proses alami curah hujan yang jatuh dalam DAS tersebut
menjadi limpasan dalam suatu pendekatan model hidrologi. Pengembangan model
hidrologi dimaksudkan untuk menduga atau memprediksi hasil air DAS pada daerah yang
tidak memilki stasiun pengamatan arus sungai (debit aliran). Melalui model demikian
maka limpasan yang akan terjadi dapat diprakirakan dari kondisi aktual yang dilakukan di
dalam DAS. Hasil pemantauan tata air DAS, selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk
evaluasi kinerja DAS, berupa data/informasi awal untuk penyusunan rencana pengelolaan
DAS agar kondisi tata air yang diharapkan sesuai dengan batas faktor yang bisa dikelola.

B. Metoda Pemantauan Tata Air DAS

Kararakteristik tata air DAS yang akan dibahas dalam buku ini yaitu limpasan
permukaan. Limpasan permukaan adalah bagian dari curah hujan dalam siklus hidrologi
yang mengalir diatas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan (Gambar 2).

Gambar 2. Siklus Hidrologi

11
Parameter limpasan permukaan, meliputi : (1) volume limpasan (surface runoff), (2)
debit puncak (peak runoff), (3) kualitas air limpasan (sedimen terangkut) dari titik
pengukuran. Menyadari bahwa tidak setiap tempat yang diperlukan untuk dilakukan
pemantauan tata air DAS memiliki pos duga air atau stasiun pengamatan arus sungai
(SPAS) maka parameter tata air tersebut bisa didekati melalui prakiraan dengan metoda
matematis, empirik, dan atau modeling. Model yang digunakan untuk menghitung nilai: 1)
volume limpasan (Q) adalah dengan metode SCS (Soil Conservation Service), 2) debit
puncak (qp) dengan metoda Rasional, dan 3) hasil sedimen terangkut (Sy) dengan
metode MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation). Ketiga metode tersebut
tersusun dari parameter yang saling berhubungan satu dengan lainnya, sehingga setiap
perubahan nilai parameter akan berpengaruh pada ketiga nilai tata air DAS tersebut.
Disamping itu himpunan data yang diperlukan tidak terlalu banyak dan saling terkait.

1. Volume Limpasan (Q)


Metode perhitungan volume limpasan (Q) dengan metode SCS (Dinas Konservasi
Tanah Amerika Serikat) didasarkan perilaku infiltrasi tanah dari air hujan yang jatuh pada
berbagai jenis tanah dengan vegetasi penutupan yang berbeda. Pada prakiraan total
volume limpasan ini data yang digunakan meliputi data hujan (harian) yang terdia sebagai
masukan (input); serta data tanah (kelompok hidrologi tanah dan kelembaban tanah
awal/AMC), jenis penutupan vegetasi dan cara pengelolaannya sebagai karakteristik dari
DAS yang ada (Soil Conservation Service, 1964). Persamaan metode pendugaan volume
limpasan (Q) dengan metode SCS, yaitu:

( P − 0.2S ) 2
Q= ...dan P ≥ 0.2 S ..................................................................................... (1)
( P + 0.8S )
25400
S= − 254 .............................................................................................................. (2)
CN
dimana,
Q = tebal limpasan permukaan (mm)
P = curah hujan (mm)
S = potensi retensi air (infiltrasi) maksimum (mm)
CN = curve number atau bilangan kurva

12
Gambar 3. Diagram perhitungan volume limpasan (Q, mm) berdasarkan masukan
hujannya (P, mm) dan nilai CN

dimana angka CN (curve number atau bilangan kurva) DAS/SubDAS yang besarnya
antara 0 sampai 100 nilainya dipengaruhi oleh kondisi hidrologi, kelompok hidrologi
tanah, kelembaban tanah awal, jenis penutupan lahan dan cara pengelolaannya. Nilai CN
spasial untuk setiap jenis penggunaan lahan yang ada diperoleh dengan menggunakan
perhitungan rata-rata tertimbang seperti dijelaskan pada Lampiran 1. Nilai masing-
masing CN yang ada pada Lampiran 1 didasarkan pada kelompok hidrologi tanah A, B,
C, dan D serta untuk antecedent moisture condition (AMC) II (kelembaban tanah rata-
rata pada curah hujan 5 hari terakhir antara 35-52,5 mm) yang nilainya dikategorikan
menurut besarnya laju infiltrasi tanah dan atau tekstur tanah, seperti disajikan pada
Lampiran 2. Sedang untuk nilai CN pada kondisi AMC I (kering: curah hujan 5 hari
terakhir <35 mm) dan AMC III (jenuh air: curah hujan yang terjadi pada 5 hari terakhir
>52,5 mm), disajikan pada Lampiran 3. Biasanya nilai Q pada setiap kejadian hujan
harian dihitung berdasarkan rumus/persamaan (1) dan (2) atau diagram pada Gambar 3.

13
2. Debit Puncak (qp)
Cara prakiraan debit puncak aliran (qp) saat ini dikenal beberapa metode, a.l.: metode
hidrograf satuan, metode analisis frekuensi, metode rasional, dan metode SCS (Singh,
1989). Pada metode hidrograf satuan, penentuan debit puncak didasarkan pada derivasi
hidrograf banjir dari hujan efektif setebal 1 mm. Pada metode analisis frekuensi, debit
puncak dihitung dengan mengetahui masa ulang tertentu dari histori data debit puncak
yang telah ada pada periode waktu yang panjang (misal 30 tahun). Pada metode SCS,
perhitungan debit puncak didasarkan pada besarnya volume limpasan (Q x A) selama
waktu konsentrasi (tc). Pada metode rasional, debit puncak dihitung hanya didasarkan
pada karakteristik hujan (curah harian maksimum dan waktu konsentrasi/tc), karakteristik
DAS (penutupan lahan dan luas), dan saat ini telah banyak digunakan karena
kepraktisannya.

Persamaam prakiraan debit puncak (qp) Metoda Rasional, yaitu:


qp = f CIA ............................................................................................................ (3)
dimana,
qp = debit puncak atau laju puncak aliran permukaan (m3/detik)
f = faktor koreksi, jika satuan luas A dalam km2 maka f = 0,278; dan jika A dalam ha
maka f = 0,00278.
C = koefisen limpasan, yaitu nisbah laju puncak aliran permukaan terhadap intensitas
hujan (disajikan pada Lampiran 4)
I = intensitas hujan (mm/jam) dari hujan maksimum (mm) yang diharapkan terjadi
dalam interval tertentu dan untuk kurun waktu yang sama dengan waktu
konsentrasi (tc, jam))
A = luas DAS atau daerah tangkapan air (ha atau km2)

Nilai tc dihitung dengan metode Kirpich (1940), yaitu:

tc = 0,0195 L0,77 S-0,385 4)


dimana,
tc = waktu konsentrasi (menit)

14
L = panjang aliran (m)
S = lereng aliran (m/m) – perbedaan tinggi elevasi antara tempat keluar (outlet) aliran
dari DAS dengan titik terjauh aliran (H) dibagi panjang aliran (L), S = H/L
Perhitungan nilai intensitas hujan (I) metode Mononobe (Sosrodarsono dan Takeda,
1993), yaitu:
I = (P24/24) x (24/tc)0,67 (5)
dimana,
I = intensitas hujan yang lamanya sama dengan waktu konsentrasi (mm/jam)
P24 = curah hujan harian maksimum selama 24 jam (mm)
tc = waktu konsentrasi - waktu tiba banjir yang lamanya = waktu konsentrasi (jam)

Persamaam prakiraan debit puncak (qp) Metoda SCS, yaitu:


qp = 0,0021 Q*A/tp (7)
dimana,
qp = debit puncak m3/detik)
Q = volume limpasan (mm)
A = luas daerah tangkapan air (DAS) – (Ha)
tp = waktu puncak aliran (jam) yang dihitung berdasarkan nilai tc

3. Sedimen Terangkut (Sy)


Hasil sedimen yang terangakut oleh aliran/limpasan (Sy) merupakan hasil erosi tanah
yang terbawa oleh aliran (limpasan) permukaan, sehingga sedimen diduga dari hasil erosi
tanah dikurangi dengan jumlah partikel tanah yang terdeposisi/terendapkan selama
perjalananya. Metode MUSLE yang dikembangkan oleh Williams (1975) sudah
mengakomodasi proses erosi dan deposisi sepanjang perjalanan aliran tersebut, sehingga
nilai hasil sedimen yang diperoleh tidak lagi mempertimbangkan nilai nisbah hantar
sedimen (SDR) DAS, seperti jika menggunakan persamaan USLE (Universal Soil Loss
Equation) yang diterapkan pada skala DAS.

Perhitungan Hasil Sedimen (Sy) dengan metode MUSLE:


Sy = Rm x K x L x S x C x P (8)

15
dimana,
Rm = 11,8 (Q.qp)0,56 (9)
Q = volume limpasan (m3)
qp = debit puncak m3/detik)

Perhitungan Hasil Sedimen (Sy, ton) dengan metode USLE:

Sy = A x SDR (10)
dimana,
A=RxKxLxSxCxP (11)
dimana,
A = laju erosi tanah (ton/ha/th),
R = faktor erosivitas hujan,
K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan pada petak tanah
ukuran standar (panjang 22 m, lereng 9%),
L = faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara erosi tanah pd panjang lereng tertentu
terhadap erosi tanah dgn panjang lereng 22 m di bawah keadaan yang identik
S = faktor kemiringan lereng, yaitu nisbah antara erosi tanah pada kecuraman lereng
tertentu terhadap erosi tanah pada kemiringan lereng 9% dgn keadaan yang identik
C = faktor pengelolaan tanaman, yaitu nisbah erosi pada penutupan lahan dan
pengelolaan tanaman tertentu terhadap lahan terbuka pd tanah identik
P = faktor tindakan konservasi tanah mekanis, yaitu nisbah erosi pada lahan dengan
perlakuan konservasi mekanis tertentu terhadap lahan bero pada keadaan identik.

Apabila menggunakan pendekatan USLE, maka nilai R diduga dengan nilai R-bulanan
dengan rumus Bols (1978) :
EI30 = 6,119 (RAIN)1,21 (DAYS)-0,47 (MAXP)0,53 (12)
dimana,
EI30 = indeks erosi hujan bulanan (R-bulanan)
RAIN = curah hujan rata-rata bulanan (Cm)

16
DAYS = jumlah hari hujan rata-rata per bulan
MAXP = curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan yang bersangkutan
Nilai nisbah hantar sedimen (SDR) dapat menggunakan Tabel 1 (disadur dari
Robinson, 1979 dalam Arsyad, 1989).
Tabel 1. Luas Daerah Tangkapan Air Terhadap Nisbah Hantar Sedimen
No Luas Daerah Tangkapan Air Nisbah Hantar Sedimen
(ha) (%)
1 10 53
2 50 39
3 100 35
4 500 27
5 1.000 24
6 5.000 15
7 10.000 13
8 20.000 11
9 50.000 8,5

17
III. METODE PENGUMPULAN DATA

A. Persiapan

1. Pembentukan Tim Pelaksana


Untuk melaksankan kegiatan pemantauan tata air DAS perlu dibentuk Tim
Kerja dari staf teknis Balai Pengelolaan DAS dengan susunan Tim yang terdiri dari
beberapa bidang keahlian/ketrampilan antara lain bidang lahan, hidrologi,
penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan juga anggota tim administrasi.
Anggota Tim lebih baik personel yang lebih memahami wilayah yang akan dilakukan
pemantauan sehingga proses kerja berjalan lebih cepat dan lancar.

2. Sarana Pendukung
Sarana dan sarana pendukung, bahan dan peralatan, perlu dipersiapkan agar
pelakasanaan kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Apabila kebutuhan tersebut perlu pengadaan baru maka penyelenggaraannya harus
diprioritaskan sehingga bukan merupakan penghambat pelaksanaan kegiatan.
Persiapan administrasi yang diperlukan terutama surat-surat untuk memperlancar
pelaksanaan kegiatan, antara lain :
a. Surat Tugas bagi para pelaksan kegiatan
b. Surat untuk instansi terkait dalam rangka koordinasi, konsultasi, maupun
untuk memperoleh data dan informasi relevan
c. Surat lainya yang diperlukan

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang diperlukan dalam melakukan pemantauan tata air DAS antara lain:
abney level, meteran, altimeter, GPS, bor tanah, unit computer dengan software ArcView
3.x, ERDAS Imagine 8.x , R2V, dll. Sedangkan bahan yang dibutuhkan meliputi:

18
- Peta adiminstrasi, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000 atau peta
topografi, peta tanah, peta penggunaan/ penutupan lahan, citra satelit, data digital
DEM (digital elevation model) dll.,
- bahan untuk operasional computer seperti kertas HVS, kertas cetak peta, tinta
printer dan plotter,
- alat tulis kantor,
- blanko isian lapangan,
- dll

C. Penetapan Lokasi Pantauan


Agar hasil pemantauan tata air memberikan hasil dan konsep dasar dalam sistem
pengelolaan DAS diperlukan pemilihan lokasi yang memadai. Penentuan titik keluaran
(outlets) pemantauan dapat menggunakan dasar pertimbangan dari salah satu atau
gabungan lebih dari satu ciri kondisi sebagai berikut :
1. kondisi fisik daerah tangkapan air telah mengalami degradasi baik oleh erosi
permukaan, jurang, dan tanah longsor maupun oleh penurunan fungsi hutan
karena deforestasi.
2. keberdayaan sosial ekonomi masyarakat di daerah tangkapan air masih lemah
3. daerah hilir dari titik pemantauan merupakan wilayah rentan/rawan terkena
banjir atau kebanjiran.
4. wilayah daerah tangkapan air berada dalam satu wilayah kabupaten
5. luas wilayah daerah tangkapan air tidak lebih dari 100.000 ha – bisa merupakan
DAS, Sub DAS, atau Sub-sub DAS, tergantung luas DAS-nya.
Teknik penetapan wilayah pemantauan dilakukan dengan mendeliniasi peta Rupa
Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.0000 atau peta digital dari radar (SRTM).

D. Teknik Pengumpulan Data

Data dan informasi yang dikumpulkan untuk melakukan pemantauan (monitoring) tata
air dengan menggunakan pendekatan pemodelan hidrologi meliputi data primer maupun
data sekunder. Data sekunder umumnya berupa parameter penyusun yang relatif tidak

19
mengalami banyak perubahan dengan waktu, sedangkan data primer umumnya bersifat
dinamis, baik oleh intervensi pengelolaan maupun oleh proses alami. Kebutuhan data dan
informasi serta kegunaannya dalam model yang akan diaplikasikan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Data, Cara Pengumpulan dan Kegunaann dalam Model


N Cara
Jenis Data Untuk Parameter Model
o. Pengumpulan
1. Hujan Harian St. Hujan terdekat
a. Tinggi hujan Hujan (P) Q (tinggi limpasan)
b. Hujan tertinggi Hujan maks (Pmaks), R qp (debit puncak),
A
c. Hari hujan R (erosivitas hujan) A (USLE)
2. Tanah Peta tanah/ Survai lap
& Analisis Lab.
a. Jenis K (erodibilitas tanah) Sy (MUSLE), A
b.Tekstur/fraksi K, CN (kelompok Q,qp, Sy, A
hidrologi)
c.Struktur K Sy, A
d. Permeabilitas K, CN Q, Sy, A
e. Bahan organik K Sy, A
f. Infiltrasi CN (kel hidrologi) Q
3. Pengelolaan Peta RBI, Citra, Survai Koeff-C, faktor C&P, CN Q, Sy, A
Lahan (jenis penutupan lahan)
a. Penutupan lahan Koeff-C, CN, faktor C&P Q, Sy, A
b. Praktek CN dan faktor P Q, Sy, A
konservasi
4. Topografi Peta RBI atau tc, L, S qp, Sy, A
Topografi, Radar
(SRTM), data DEM
5. Lokasi Peta RBI atau Deskripsi lokasi
Topografi, Citra

Data pengelolaan lahan (pengelolaan tanaman dan praktek konservasi tanah


mekanis) bersifat dinamis, selalu berubah dengan waktu, sehingga penggunaan data
sekunder perlu hati-hati, dan biasanya perlu koreksi. Berdasarkan pengalaman lapangan,
penutupan lahan pada peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) banyak memerlukan koreksi. Data
praktek konservasi tanah sangat jarang tersaji dalam data sekunder, sehingga pengamatan
lapangan masih diperlukan. Demikian juga data atau peta penutupan lahan secara rinci
untuk keperluan nilai C pada USLE juga tidak mudah diperoleh melalui data sekunder.
Data pengelolaan lahan dihimpun dalam unit (satuan) lahan yang pengamatan
lapangannya dilakukan dengan pendekatan transek yang dibuat dengan garis yang

20
memotong sebagian terbesar unit lahan. Data untuk unit lahan yang tidak terpotong
transek didekati dengan data unit lahan sekitar. Apabila diperlukan peta tematik dari data
dalam unit lahan (sistem multi faktor) dapat dipenuhi melalui bantuan SIG. Unit Lahan
dapat disusun dengan menggunakan keseragaman lereng dan jenis tanah.
Data dan informasi dikumpulkan dalam tabel berdasarkan parameter-parameter
seperti pada Lampiran 1, 2, 3 dst. Data/informasi tersebut sebagai hasil dari tumpang
susun peta-peta tersedia maupun hasil pengamatan lapangan.

21
IV. ANALISIS DATA DAN EVALUASI

A. Analisis Data
1. Volume Limpasan (Q)
Berdasarkan persamaam (1) dan (2) untuk perhitungan volume limpasan (Q) dari
suatu DAS/SubDAS yang menjadi sasaran kegiatan (misal SubDAS Pantauan), maka
perhitungan dimulai dari persamaam (2) kemudian persamaan (3), dengan tahapan
sebagai berikut (Sukresno, 1997):
a. Membatasi SubDAS Pantauan (dari peta topografi/ peta kontur/ data DEM);
b. Membuat peta digital untuk jenis penutupan lahan aktual (dari peta penutupan
lahan atau citra satelit terbaru) dan jenis tanah (peta tanah detil/semi detil) di
SubDAS Pantauan;
c. Mengumpulkan data hujan harian pada lokasi SubDAS Pantauan;
d. Membuat peta sebaran nilai-nilai CN pada SubDAS Pantauan, dilakukan dengan
cara menumpang-tindihkan (overlay) peta penutupan lahan pada peta tanah;
e. Menghitung nilai CN tertimbang dari nilai-nilai CN SubDAS Pantauan pada
berbagai tipe penggunaan lahan dengan cara pengelolaannya (dari peta penutupan
lahan), kondisi hidrologi dan kelompok hidrologi tanahnya (dari peta tanah),
untuk kondisi AMC II pada SubDAS Pantauan (dari data hujan harian 1 tahun),
Penetapan nilai CN pada setiap poligon merupakan hasil tumpang susun dari peta
penutupan lahan dan peta tanah (kelompok hidrologi tanah) seperti tertera pada
Lampiran (1) dan (2).

(13)

dimana:

CNaw = nilai CN tertimbang untuk seluruh DAS/SubDAS

CNi = nilai CN untuk setiap poligon hasil tumpang susun dari penutupan lahan-
kelompok tanah,

22
Ai = luasan setiap poligon hasil tumpang susun dari penutupan lahan-kelompok
tanah;

n = jumlah setiap poligon penutupan lahan-kelompok tanah di DAS/SubDAS.

f. Menghitung nilai potensi retensi air maksimum (s) SubDAS Pantauan dengan
menggunakan persamaan (2);
g. Menghitung nilai volume limpasan (Q) SubDAS Pantauan dengan menggunakan
persamaan (1) dan data hujan harian (P), serta dihitung nilainya untuk selama satu
tahun. Untuk AMC I dan III ditetapkan dengan menggunakan Tabel Lampiran 3.

2. Debit Puncak Aliran (qp)


Perhitungan debit puncak aliran (qp) dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: 1)
metode rational dan 2) metode SCS.
Pada perhitungan debit puncak dengan metode rational, qp = f CIA, tahapan
perhitungannya (Sukresno, 1997), sebagai berikut:
a. Membatasi SubDAS Pantauan (dari peta topografi/ peta kontur/ data DEM);
b. Membuat peta kontur dengan data DEM;
c. Membuat peta jaringan sungai dengan data DEM;
d. Nilai tc dihitung dengan menggunakan persamaan (4), beda tinggi titik terjauh dan
titik terendah (H) dari panjang sungai utama pada peta kontur (L) dapat diketahui
nilai S (lereng/gradien sungai);
e. Dengan mengumpulkan data hujan harian selama 1 tahun pada lokasi SubDAS
Pantauan dapat dipilih besar curah hujan harian maksimum (P24) yang terjadi
antara bulan Januari – Desember, sehingga diperoleh nilai P24 tahunannya;
f. Dengan metode Mononobe maka nilai intensitas hujan (I) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan (5);
g. Dengan peta SubDAS maka luasnya (A) dapat dihitung;
h. Nilai koefisien limpasan (C) spasial dihitung dengan menggunakan Tabel
Lampiran (4) yang didasarkan pada hasil tumpang susun peta penutupan lahan
akual yang diperoleh dari peta RBI dan atau citra satelit terbaru, peta tanah
(kelompok hidrologi tanah), dan peta kelerengan lahan;

23
i. Nilai koefisien limpasan (C) tertimbang untuk SubDAS Pantauan dihitung dengan
cara menjumlah semua hasil kali luasan setiap poligon penutupan lahan pada
SubDAS dikalikan dengan nilai koefisien C masing-masing jenis penutupan lahan
(Lampiran 4) pada poligon tersebut kemudian dibagi total luas SubDAS;
j. Dengan diketahuinya nilai f, C, I, dan A SubDAS Pantauan maka nilai qp untuk
bulanan dan tahunan dapat diprakirakan dengan menggunakan persamaan (3).

Pada perhitungan debit puncak dengan metode SCS, qp = 0,0021 Q*A/tp, tahapannya
sebagai berikut:
a. Memilih besar curah hujan (harian) tertinggi (P24) bulanan dan atau tahunan;
b. Menghitung nilai Q dengan menggunakan persamaan (1) dengan P = P24, dan
nilai s yang telah dihitung pada Bab IV-SubBab A.1.f.;
c. Menghitung luas (A) SubDAS dari peta SubDAS Pantauan (telah dihitung pada
Bab IV-SubBab A.2.g);
d. Menghitung nilai tp yang didekati dengan perhitungan nilai tc seperti yelah
dihitung pada Bab IV-SubBab A.2.d;
e. Dengan diketahuinya nilai Q, A, dan tp maka nilai qp untuk nilai bulanan dan
tahunan dapat diprakirakan dengan menggunakan persamaan (7).

3. Hasil Sedimen (Sy)


Perhitungan hasil sedimen (Sy), dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu
menggunakan metode USLE (Wischmeier dan Smith, 1978), dimana Sy = A x SDR. Nilai
A (laju erosi tanah tahunan, ton/ha/th) dihitung dengan rumus, A = R x K x LS x C x P,
seperti diuraikan pada diagram Gambar 3.
Cara lain untuk menghitung nilai hasil sedimen (Sy) DAS/SubDAS yaitu dengan
menggunakan metode MUSLE (persamaan 8), dimana nilai faktor R (erosivitas hujan)
dalam USLE diganti dengan nilai faktor energi hujan (Rm), seperti pada persamaan (9),
yaitu Rm = 11,8 (Q qp)0,56 , dimana Q adalah volume runoff dari hujan dan qp adalah laju
puncak runoff dari hujan (Williams, 1975).

24
Erosivitas Hujan (R)
x
Digital Elevation Model Erodibilitas Tanah (K)
(DEM)
x

Panjang & Kemiringan


Buat Buat Buat
Lereng (LS)
Klas Arah Akum x
Slope Aliran ulasi
Penutupan Tanaman (C)

x
Jaringan Sungai Pratek Konservasi
Tanah (P)

Batas DAS/SubDAS =
Rata Erosi Tanah
Tahunan (A)
SDR

Peta Spasial Distribusi


Hasil Sedimen (Sy)

Gambar 3. Diagram alir perhitungan Hasil Sedimen (Sy) dengan metode USLE

Dengan mengetahui nilai Q (dalam m3) yang telah dihitung dengan menggunakan
persamaan (1) yang dikalikan dengan luas DAS (A) atau (Q x A); dan nilai qp (m3/detik)
yang telah dihitung dengan menggunakan persamaan (7), maka nilai Rm dapat diketahui.
Selanjutnya dengan mengalikan nilai Rm dengan hasil nilai tertimbang dari menumpang-
tindihkan (overlay) nilai-nilai faktor K x LS x CP pada SubDAS Pantauan, maka nilai Sy
(dalam satuan ton) dari SubDAS Pantauan dapat diketahui. Nilai faktor K diperoleh
dengan menggunakan nomogram (Lampiran 5) dimana parameter-parameternya adalah
fraksi pasir sangat halus + debu (%), fraksi pasir (%) bahan organik (%) dengan 5 kelas,
strauktur tanah (4 kelas) dan permeabilitas tanah (6 kelas). Nilai K (untuk satuan metrik) ini
juga dapat dihitung dengan persamaan:

100 K = 1,292 [2,1 M1,14(10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3)] .......................................... (14)


Faktor panjang dan kemiringan lereng (L dan S) dihitung melalui pendekatan persamaan:
LS = (L)1/2 [0,0138 + 0,00965S + 0,00138S2] ..................... .......................... (15)

25
Faktor C untuk kondisi Indonesia penilaiannya dapat dilihat pada Lampiran 6. Sedang untuk
faktor P penilaiannya dapat dilihat pada Lampiran 7.

B. Aplikasi Software

Untuk penghitungan model volume limpasan (Q), debit puncak (qp) dan hasil sedimen
(Sy) suatu DAS/DTA maka perangkat SIG seperti software ArcView 3.x dan Erdas
Imagine 8.x dapat digunakan untuk analisis data spasial dari parameter-parameter
masukan pada model. Pedoman pengoperasian ArcView GIS dan perangkat
pendukungnya disajikan pada Lampiran 8 dan 9. SubDAS Lesti merupakan bagian dari
DAS Brantas Hulu digunakan sebagai contoh untuk menerapkan perhitungan-perhitungan
parameter dari model: Q, qp, dan Sy sebagai berikut:

1. Volume Limpasan (Q)


Tahapan perhitungan nilai Q metode SCS, yaitu:
a. Membatasi SubDAS Lesti (dari peta topografi/ peta kontur/ data DEM)

b. Membuat peta digital untuk jenis penutupan lahan aktual (dari peta penutupan
lahan atau citra satelit terbaru – Landsat 7ETM+ atau SPOT 4/SPOT 5) kemudian
dioverlay dengan peta tanah (kondisi hidrologi tanah/infiltrasi) di SubDAS Lesti

26
c. Mengumpulkan data hujan harian pada lokasi SubDAS Lesti
d. Membuat peta sebaran nilai-nilai CN pada SubDAS Lesti, dilakukan dengan cara
menumpang-tindihkan (overlay) peta penutupan lahan pada peta tanah (kelompok
hidrologi tanah). Nilai CN dari setiap poligon perpotongan antara peta penutupan
lahan dan peta tanah ditetapkan dengan Lampiran (Lampiran 2 atau Gambar 3).

27
e. Menghitung nilai CN tertimbang dari nilai-nilai CN SubDAS Lesti pada berbagai
tipe penggunaan lahan dengan cara pengelolaannya (dari peta penutupan lahan),
kondisi hidrologi dan kelompok hidrologi tanahnya (dari peta tanah), untuk
kondisi AMC II pada SubDAS Lesti (dari data hujan harian 1 tahun),

28
CN tertimbang untuk SubDAS Lesti = 1681664/24472,320 = 68,72 ≈ 69

f. Menghitung nilai potensi retensi air maksimum (s) SubDAS Lesti dengan
menggunakan persamaan (2) untuk kondisi AMC II
S = (25400/CNav) – 254 = 25400/69 – 254 = 114,12
g. Menghitung nilai volume limpasan (Q) SubDAS Lesti dengan menggunakan
persamaan (1) dan data hujan harian (P), serta dihitung nilainya untuk selama satu
tahun.
Q = (P – 0,2 S)2/(P + 0,8 S) = (P – 0,2 * 114,12)2/(P + 0,8 * 114,12) = . . . . mm

2. Debit Puncak (qp)


a. Membatasi SubDAS Sasaran (dari peta topografi/ peta kontur/ data DEM)
b. Membuat peta kontur dengan data DEM
c. Membuat peta jaringan sungai dengan data DEM
d. Nilai tc dihitung dengan persamaan (4) dimana nilai parameter S diperoleh dari
beda tinggi (elevasi) titik terjauh dan outlet (H) dari panjang sungai utama pada
peta kontur (L).

29
L = 46240,906 m, dan S = (2900m-328m)/46240,906 * 100% = 5,56%
tc = 0,0195 L0,77 S-0,385 = 0,0195 * 46240,9060,77 * 5,56-0,385 = 39,37 menit = 0,66 jam
e. Dengan mengumpulkan data hujan harian selama 1 tahun pada lokasi SubDAS
Pantauan dapat dipilih besar curah hujan harian maksimum yang terjadi pada bulan
Januari – Desember serta nilai tahunannya (P24)
f. Dengan metode Mononobe maka nilai intensitas hujan (I) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan (5), misal P24 = 150 mm/hari
I = (P24/24) x (24/tc)0,67 = (150/24) x (24/0,66)0,67 = 69,43 mm/jam
g. Dengan peta SubDAS maka luasnya (A) dapat dihitung = 24472,320 ha
h. Nilai koefisien limpasan (C) spasial dihitung dengan menggunakan peta penutupan
lahan akual yang diperoleh dari peta RBI dan atau citra satelit terbaru.
i. Nilai koefisien limpasan (C) tertimbang untuk SubDAS Sasaran dihitung dengan
menggunakan jumlah luasan setiap poligon penutupan lahan pada SubDAS
dikalikan dengan nilai koefisien C masing-masing jenis penutupan lahan pada
poligon tersebut (Lampiran 4) kemudian dibagi total luas SubDAS.

30
Koeffisien C tertimbang SubDAS Lesti = 6870.17/24472,320 = 0,28
j. Dengan diketahuinya nilai f, C, I, dan A SubDAS Pantauan maka nilai qp untuk
bulanan dan tahunan dapat diprakirakan.
qp = f CIA = 0,00278 * 0,28 * 69,43 * 24472,320 = 1322,59 m3/det

31
3. Hasil Sedimen (Sy)
Perhitungan nilai hasil sedimen (Sy) digunakan metode MUSLE, Sy = Rm x K x LS
x C x P, dimana Rm = 11,8 (Q qp)0,56, maka jika nilai Q dan qp telah (seperti
perhitungan-perhitungan sebelumnya), maka tinggal penghitung nilai tertimbang untuk
SubDAS Lesti nilai-nilai faktor K, LS, C dan P. Perhitungan nilai tertimbang KLSCP
dilakukan dengan mengoverlai peta K, LS, C dan P dengan menggunakan ArcView,
sebagai berikut:
a. Overlay peta K, LS, dan CP

Peta K (erodibitas tanah)

32
Peta LS (factor panjang dan kemiringan lereng)

33
Peta CP (faktor penutupan vegetasi dan praktek konservasi tanah)

b. Hasil Overlay (peta KLSCP)

34
Hasil sedimen SubDAS Lesti, Sy = Rm x KLSCP = . . . . . . . ton

C. Evaluasi Karakteristik Tata Air DAS

Dengan diperolehnya hasil estimasi debit limpasan, prakiraan debit banjir, dan
estimasi sedimen terangkut maka dapat disintesiskan kinerja daerah tangkapan air
pantauan yang meliputi : (1) potensi sumberdaya air, (2) peluang kekeringan, (3) derajat
kekritisan lahan pada daerah tangkapan air. Air hujan yang tidak mampu masuk ke dalam
tanah akan mengalir di atas permukaan tanah sebagai limpasan permukaan dan banjir.
Limpasan selain memiliki daya angkut partikel tanah juga memiliki kemampuan untuk
mengikis agregat tanah dan mengangkutnya. Dalam perjalanan alirannya limpasan
mengalami perubahan kecepatan secara dinamis sehingga sewaktu mengalami
perlambatan kecepatan sebagian partikel tanah akan terendapankan; namun apabila terjadi
aliran yang lebih besar enadapan tersebut akan terangkut kembali. Data dan informasi
tersebut digunakan sebagai dasar pertimbangan perencanaan pengelolaan DAS untuk
meningkatkan sumberdaya air sebagai pasokan kebutuhan hidup dan perlindungan
lingkungan serta teknik pengendalian erosi yang diperlukan.

35
Dengan memahami jumlah limpasan yang terjadi pada setiap kejadian hujan akan
dapat diperkirakan jumlah air yang bisa masuk ke dalam tanah sebagai simpanan bumi.
Nisbah estimasi jumlah limpasan dan hujan tahunan akan menuntun estimasi simpanan air
dalam tanah (bumi) yang pada fase selanjutnya akan keluar sebagai aliran bawah tanah
(sub surface flow) yang bisa dimanfaatkan pada periode tidak ada hujan; dengan kata lain
dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan potensi pasokan air dari wilayah tersebut.
Tingkat kinerja DAS berdasarkan nisbah nilai limpasan (Q) dan hujan (P) pada DAS/Sub
DAS yang disebut sebagai koefisien limpasan (C), kategori penilaiannya sebagai berikut:
C = < 0,5 Æ baik
C = 0,5 – 0,75 Æ sedang
C = > 0,75 Æ buruk
Nilai ‘baik’ menunjukkan limpasan permukaan kecil, air yang masuk ke bumi basar;
sebaliknya nilai ‘buruk’ berarti air hujan yang jatuh sebagian besar menjadi limpasan
permukaan dan hanya sebagian kecil yang masuk ke dalam tanah. Lebih lanjut dapat
digunakan untuk pendugaan bahwa pada kinerja DAS dengan koefisien limpasan yang
‘buruk’ maka pasokan air pada musim kemarau dari DAS tersebut sangat terbatas.
Data debit maksimum atau debit air banjir (qp atau Qmaks) dapat digunakan
sebagai peringatan dini daerah hilir yang rentan terkena banjir serta dasar upaya
pengendalian banjir pada daerah tangkapan airnya. Debit air banjir per satuan luas daerah
tangkapan air, disebut debit banjir andalan, dapat digunakan untuk mengetahui kinerja
DAS dalam pengendalian banjir dengan kategori penilaiannya pada Tabel 2. Berdasarkan
kajian beberapa DAS di Jepang, kriteria sebagaimana disajikan pada Tabel 2 juga sering
digunakan untuk menilai suatu DAS berdasarkan debit andalan spesifik yang dihasilkan
pada DAS yang bersangkutan.

Tabel 2 Kriteria penilaian DAS berdasarkan debit andalanspesifik (m3/dt/km2)


Kriteria Aliran maksimum Aliran rata-rata Alinan minimum
(kondisi DAS) (aliran puncak/pada (aliran pada musim
musim penghujan) kemarau)
Jelek > 1.5 < 0.035 < 0.015
Baik 1.0 (0.87 – 1.5) 0.035-0.047 0.015-0.020
Sangat Baik < 0.87 > 0.047 > 0.020
Sumber: JFA (1976)

36
Pendugaan hasil sedimen (Sy) dapat untuk menuntun dalam pengambilan langkah
pengendalian erosi di daerah tangkapan air suatu DAS/Sub DAS. Hasil sedimen estimasi
(MUSLE atau USLE * SDR) dapat untuk memprakirakan nilai tingkat erosi saat
pemantauan terhadap nilai yang dapat ditenggang (diperkenenkan/toleransi). Kategori nilai
erosi yang dapat ditenggang bisa menggunakan acuan Peraturan Pemerintah No. 150 tahun
2000 seperti Tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Kriteria Baku Kerusakan Tanah Lahan Kering Akibat Erosi Air (Nilai T)

Tebal Tanah Ambang Kritis Erosi


(Cm) Ton/Ha/Tahun mm/10 tahun
< 20 >0,1 - <1 >0,2 - <1,3
20 - <50 1 - <3 1,3 - <4
50 - <100 3 - <7 4,0 - <9,0
100 – 150 7–9 9,0 – 12
>150 >9 >112
Sumber: PP No 150 Tahun 2000

Dengan demikian rencana upaya pengendalian erosi melalui kegiatan rehabilitasi


hutan dan lahan dapat disusun berdasarkan faktor yang bisa atau mudah dikelola, yakni
pengelolaan lahan (faktor CP dalam USLE), agar tingkat erosinya bisa dicapai pada
tingkat erosi yang dapat ditenggang (< nilai-T). Rencana pengelolaan demikian sejalan
dengan upaya pengedalian limpasan dimana pengelolaan lahan (tanah dan vegetasi) yang
baik (sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air) akan berpengaruh pada nilai bilangan
kurva (curve number, CN) dan nilai koefisien limpasan (nilai faktor C).

37
V. FORMAT LAPORAN

Laporan tentang tata air DAS merupakan bagian dari karakteristik DAS yang
mencerminkan kinerja DAS pada saat tersebut. Hasil kinerja tata air DAS memberikan
prakiraan kondisi biofisik daerah tangkapan airnya (catchment area) yang secara lebih
rinci dapat ditelususri pada parameter variabel bebas penyusun model yang diaplikasikan.
Dengan demikian hasil monitoring tata air digunaklan sebagai dasar sintesis permasalahan
biofisik yang terjadi dalam DAS tersebut.
Agar hasil monitoring tata air DAS dapat mencerminkan kondisi saat tersebut dan
permasalahan yang timbul untuik ditangani, laporan disusun dengan format sebagai
berikut:
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Ruang Lingkup
II. METODE
A. Bahan dan Alat
B. Teknik Pengumpulan Data
C. Analisis Data
III. HASIL PEMANTAUAN
A. Lokasi
B. Hujan
C. Karakteristik Daerah Tangkapan Air
D. Volume Limpasan
E. Banjir
F. Sedimen Terangkut
IV. SINTESIS HASIL PEMANTAUAN
V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA (obsional)
LAMPIRAN – LAMPIRAN

38
Penduhuluan memuat permasalahan (Latar Belakang) yang dijadikan dasar untuk
melakukan pemantauan tata air (Tujuan). Ruang lingkup kegiatan pemantauan
menunjukkan batasan yang akan dicapai dalam kegiatan yakni pembatasan substansi
pemantauan dan wilayah pemantauan. Metode yang digunakan dalam laporan sesuai
dengan metode pemantauan yang tersusun dalam buku ini. Hasil pemantauan merupakan
sajian data yang diperoleh selama pemantauan yang merupakan data dasar (Lokasi, Hujan,
dan Karakteristik Daerah tangkapan Air) dan data hasil hasil perhitungan pendugaan
dengan pendekatan modeling (Banjir, Volume Limpasan, dan Sedimen Terangkut).
Sintesis merupakan pencermatan dan peramuan data dan hasil analisis dari
hubungan antara masukan (hujan), prosesor (kondisi daerah tangkapan air), dan luaran
(volume limpasan, banjir, dan sediment terangkut) sebagai suatu sistem. Telaah ini
berdasarkan hasil evaluai seperti diuraikan dalam Sub BAB IV.C. tentang Evaluasi.
Laporan disusun oleh Balai Pengelolaan DAS, Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan, setempat (yang bersangkutan)
sebagai dasar penyusunan langkah pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) selanjutnya.
Laporan yang telah tersusun disampaikan kepada para pihak terkait (stake holders) sebagai
dasar pengelolaan bersama secara menyeluruh (integrated and compreheship
management). Laporan dilakukan secara periodik (tiap tahun atau lebih) sehingga
dinamika perubahan kondisi DAS dapat terus diikuti.

39
VI. PENUTUP

Dengan tersusunnya buku ‘Pedoman Pementauan Tata Air DAS Dengan


Pendekatan Model Hidrologi’, semoga buku ini bisa merupakan penutun bagi para
pengelola DAS dalam melakukan pemantauan tata air DAS, khususnya pada parameter Q,
qp, dan Sy sebagai dasar dalam merumuskan masalah dan pengambilan langkah pada
rencana pengelolaan DAS berdasarkan fakta nyata lapangan. Namun perlu disadari bahwa
kondisi DAS di Indonesia sangat beragam sehingga hasil yang diperoleh dari metode
estimasi pada ketiga parameter tersebut akan memiliki deviasi (over/under) dengan hasil
pengukuran langsung. Untuk meningkatkan akurasi hasil estimasi maka pihak Balai
Pengelolaan DAS bisa melakukan uji model hidrologi ini pada DAS/Sub DAS yang telah
memiliki stasiun pemantauan langsung (SPAS).
Dalam melakukan penerapan dan atau pengujian model, maka beberapa hal yang
perlu diperhatikan adalah:
1. Data fisik lapangan pada daerah tangkapan air yang dikumpulkan harus akurat;
2. Justifikasi data lapangan dengan nilai-nilai yang tersedia pada Tabel dari masing-
masing model perlu ada kesepahaman;
3. Kondisi lengas tanah sebelummya (AMC) yang di lapangan sangat dipengaruhi
oleh waktu kejadian dan intensitas curah hujan, maka perlu kencermatan dalam
memasukkan data hujan kedalam model;
4. Akurasi data dan peta tanah dan penutupan lahan;
5. Jumlah stasiun dan tingkat akurasi pengamatan curah hujan;
6. Akurasi data debit dan hasil sedimen pada stasiun pengamatan arus sungai (SPAS);
Nilai deviasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan
koreksi terhadap nilai yang diperoleh dari penggunaan pendekatan model. Dengan
seringnya melakukan pemantauan di lapangan akan diperoleh penghayatan yang lebih
intensif dan mendalam tentang hubungan antara fakta lapangan dengan hasil dari
pendekatan model. Ketajaman intuisi dan profesional judment demikian sangat diperlukan
agar tingkat kesalahan (error) dalam melaksanakan kegiatan pematauan pada tempat lain
yang berbeda dan sangat beragam dapat dikurangi. Dalam penilaian tata air, tingkat error
hasil estimasi yang bisa ditoleransi, yaitu sebesar 20 – 30 % dibanding nilai aktualnya.

40
Untuk mempercepat pemahaman dan penerapan buku Pedoman ini di lapangan,
pelatihan atau alih teknologi bagi para staf teknis pada Balai Pengelolaan DAS sangat
diperlukan penyelenggaraannya. Hal ini disadari bahwa banyak pengguna yang mudah
menyerah dengan melihat rumus-rumus matematis dari model yang disajikan. Padahal
sebenarnya pengguna sudah pernah menggunakannya, seperti penggunaan rumus rational
untuk perencanaan ukuran SPA, ambang pelimpah pada DPn, dan spillway pada cekdam.
Sehingga pemahaman dan pengelolahan data untuk aplikasi model tersebut menjadi tidak
sulit jika diintegrasikan dengan perangkat SIG.

41
DAFTAR PUSTAKA

Arronof, S. 1989. Geographic Information Systems: A Management Perspective. WDL


Publication, PO Box 585, Station B, Ottawa, Ontario KIP 5P7, Canada. 294 pp.

Arsyad. S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor. 290 pp.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadjah Mada Univ. Press. Yk. 571 pp.

Brook, K.N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, dan J.K. Thames. 1991. Hydrology and The
Management of Watersheds. Iowa State University Press, Ames, USA. 392 pp.

Chow, V. T. 1964. Handbook of Applied Hydrology: A Compendium of Water Resource


Technology. McGraw-Hill Book Company, New York.

Departemen Kehutanan. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran


Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT. Jakarta. 31 pp.

Departemen Kehutanan. 2001. Eksekutif. Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi


Kehutanan. Jakarta. 159 pp.

Ditjen RLPS. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan
dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan
Rahabilitasi Lahan, Dep.Kehutanan, Jakarta. 129 pp.

Dixon, J.A., K.W. Easter. 1986. Integrated Watershed Management : An Approach to


Resource Management. p3-15. Dalam. K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M.
Hufschmidt. Eds. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with
Studies from Asia and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No. 10.
Westview Press and London. Honolulu.

Draft 12 - Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Tentang


Pengelolaan DAS Terpadu Tanhun 2006.

Gupta, R. S. 1989. Hydrology and Hydraulic Systems. Prentice Hall, Englewood Clift,
New Jersey. 739pp.

Harto, S. Br. 1993. Analisis Hidrologi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 303pp.

Japan Forestry Agency. 1976. Managing Forest For Water Supplies And Resources
Conservation. Dalam Kunkle, S. H. dan J. L. Thomas. Hydrological Techniques For
Upstream Conservation. FAO Conservation Guide No 2, Rome p:1-12.

McCuen, R. H. 1989. Hydrologic Analysis and Design. Prentice Hall, Englewood Clift,
New Jersey.

42
Paimin, Sukresno, Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub
DAS). Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 41 pp.

Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2004 – 2009, tanggal 19 Januari 2005.

Seyhan, E. 1977. Fundamentals of Hydrology. Terjemahan. S. Subagyo. 1993. Dasar-


Dasar Hidrologi. Cetakan kedua. Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta. 380 pp.

Soil Consevation Service. 1964. Hydrology. SCS National Engineering Handbook,


Section 4, Chapter 10, US Dept. Of Agriculture, Washingtong, DC.

Soil Conservation Service. 1986. Urban Hydrology for Small Watersheds, Technical
Release 55 (TR-55).

Sheng, T.C. 1990. Watershed Management Field Manual. Watershed survey and
planning. FAO Conservation Guide 13/6. FAO,UN. Rome. 170 pp.

Singh, V. P. 1989. Hydrologic Systems, Vol. II: Watershed Modelling,. Prentice Hall,
Englewood Clift, New Jersey.

Sosrodarsono, S. dan K. Takeda. 1993. Hidrologi Untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita,
Cetakan Ke VII, Jakarta.

Sukresno. 1997. Metode Estimasi Limpasan Permukaan Untuk Perencanaan Dan Evaluasi
Kegiatan RLKT. Info DAS No 1, BTPDAS Surakarta, Badan Litbang Kehutanan,
Surakarta.

UU RI No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

Williams, J. R. 1975. Sediment Yield Prediction With Universal Equation Using Runoff
Energy Factor. Dalam Present and Prospective Tecnology For Predicting Sediment
Yields And Sources, ARS-S-40, USDA-ARS, pp 244-252.

Williams, J. R. dan H. D. Berndt. 1977. Sediment Yield Prediction Based On Watershed


Hydrology. Trans. ASAE., 20: 1100-1104.

Wischmeier, W.H. dan D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses: A Guide To
Conservation Planning. Agriculture. Handbook No. 537, US-DA, Washington, D.C.

43
Lampiran 1a. Nilai CN untuk kondisi AMC II (kelembaban rata-rata)

Kelompok Hidrologi
Penggunaan Cara Kondisi
Jenis Penutupan Tanah
Lahan Pengelolaan Hidrologi
A B C D
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Pertanian Bera Tanah Terbuka ....... 77 86 91 94
Tanaman Berjajar Larikan Luris Buruk 72 81 88 91
Larikan Lurus Baik 67 78 85 89
Kontur Buruk 70 79 84 88
Kontur Baik 65 75 82 86
Kontur & Teras Buruk 66 74 80 82
Kontur & Teras Baik 62 71 78 81
Padi, Gandum Larikan Luris Buruk 65 76 84 88
Larikan Lurus Baik 63 75 83 87
Kontur Buruk 63 74 82 85
Kontur Baik 61 73 81 84
Kontur & Teras Buruk 61 72 79 82
Kontur & Teras Baik 59 70 78 81
Tanaman Legum Larikan Luris Buruk 66 77 85 89
Larikan Lurus Baik 58 72 81 84
Kontur Buruk 64 75 83 85
Kontur Baik 55 69 78 83
Kontur & Teras Buruk 63 73 80 83
Kontur & Teras Baik 51 67 76 80
Lapngan Rumput Buruk 68 79 86 89
Sedang 49 69 79 84
Baik 39 61 74 80
Padang Rumput 30 58 71 78
Tegakan Hutan Buruk 45 66 77 83
Sedang 36 60 73 79
Baik 30 55 70 77
Pekarangan 59 74 82 86
Rumah

Padang Tanaman Perdu Buruk 73 80 87 93


Rumput Sedang 75 71 81 89
(Iklim Baik 50 62 74 79
Kering) Tan Perdu Buruk 56 66 74 79
Pegunungan Sedang 38 48 57 63
Baik 28 30 41 48
Tan Perdu Pd Buruk 63 77 85 88
Pasir Sedang 55 72 81 86
Baik 49 68 79 84

44
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Perkotaan Taman Kota Buruk 68 79 86 89
(Brkembang) Berumput (<2%)
Sedang 49 69 79 84
Baik 39 61 74 80
(>75%)
Kws 98 98 98 98
Beraspal/Beton
Jalan Tanah 72 82 87 89
Jalan Aspal/Beton 98 98 98 98
Jalan Berbatu 76 85 89 91
Jl Aspal/Beton 83 89 92 93
Bersaluran
Terbuka
Perkotaan Pertokoan (85% kedap air/ k.a.) 89 92 94 95
(Wilayah) Industri (72% k.a) 81 88 91 93
Perumahan (hal 500m2, 65% k.a.) 77 85 90 92
Perumahan (hal 1000m2, 38% k.a.) 61 75 83 87
Perumahan (hal 1350m2, 30% k.a.) 57 72 81 86
Perumahan (hal 2000m2, 25% k.a.) 54 70 80 85
Perumahan (hal 4000m2, 20% k.a.) 51 68 79 84
Perumahan (hal 800m2, 12% k.a.) 46 65 77 82
Pengembangan Kota (tanpa 77 86 91 94
vegetasi)
Sumber: McCuen (1989) dan US SCS (1972)

Keterangan:
- Kondisi Hidrologi = buruk, jika tanaman penutup tanah jarang (<50%), secara rutin
terbakar, miskin serasah, dan atau tanaman bawah/semak
rusak
- Kondisi Hidrologi = sedang, jika tanaman penutup tanah sedang (50-75%), tdak
pernah terbakar, ada serasah tapi tidak banyak, dan atau
terdapat tanaman bawah/semak
- Kondisi Hidrologi = baik, jika tanaman penutup tanah rapat (>75%), tidak pernah
terbakar, banyak serasah, dan atau terdapat tanaman
bawah/semak/belukar yang rapat.

45
Lampiran 1b. Nilai CN pada beberapa penutupan lahan berdasarkan
interpretasi data penginderaan jauh (pada kondisi AMC II)

Lampiran 2. Kelompok Hidrologi Tanah (Hydrologic Soil Group)

Kelompok Laju Infiltrasi Tanah Tekstur Tanah


Tanah (mm/jam)
A 8-12 Pasir (sand), Pasir Berlempung, Lempung
Berpasir
B 4-8 Lempung Berdebu, Lempung (loam)
C 1-4 Lempung Pasir Berliat
D <1 Lempung Berliat, Lempung Debu Berliat, Liat
Berpasir, Liat Berdebu, Liat (clay)
Sumber: McCuen (1989) dan US SCS (1972)

46
Lampiran 3. Nilai CN untuk kondisi AMC I (kering) dan III (jenuh air)
dengan hujan terjadi 5 hari terakhir

Nilai CN Kondisi II (Normal) Nilai CN Kondisi I (kering) Nilai CN Kondisi III (basah)
(total hujan 5 hari terakhir 35-52,5 (total hujan 5 hari terakhir <35 mm) (total hujan 5 hari terakhir >52,5 mm)
mm)
100 100 100
95 87 99
90 78 98
85 70 97
80 63 94
75 57 91
65 45 83
60 40 79
55 35 75
50 31 70
45 27 65
40 23 60
30 15 50
25 12 45
20 9 39
15 7 33
10 4 26
5 2 17
0 0 0
Sumber: McCuen (1989) dan US SCS (1972)

47
Lampiran 4. Nilai koefisien limpasan (C) untuk persamaan rasional (qp) untuk Kelompok Hidrologi Tanah A, B, C, D dan 3 klas slope

Penggunaan Lahan A B C D
0-2% 2-8% >8% 0-2% 2-8% >8% 0-2% 2-8% >8% 0-2% 2-8% >8%
0,08 0,13 0,16 0,11 0,15 0,21 0,14 0,19 0,26 0,18 0,23 0,31
Lahan Pertanian/Digarap
0,14 0,18 0,22 0,16 0,21 0,28 0,20 0,25 0,34 0,24 0,29 0,41
0,12 0,20 0,30 0,18 0,28 0,37 0,24 0,34 0,44 0,30 0,40 0,50
Padang Penggembalaan
0,15 0,25 0,37 0,25 0,34 0,45 0,30 0,42 0,52 0,37 0,50 0,62
0,10 0,16 0,25 0,14 0,22 0,30 0,20 0,28 0,36 0,24 0,30 0,40
Padang Rumput
0,14 0,22 0,30 0,20 0,28 0,37 0,26 0,35 0,44 0,30 0,40 0,50
0,05 0,08 0,11 0.08 0,11 0,14 0,10 0,13 0,16 0,12 0,16 0,20
Hutan/Perkebunan
0,08 0,11 0,14 0,10 0,14 0,18 0,12 0,16 0,20 0,15 0,20 0,25
0,25 0,28 0,31 0,27 0,30 0,35 0,30 0,33 0,38 0,33 0,36 0,42
Pemukiman luas 0,05 ha
0,33 0,37 0,40 0,35 0,39 0,44 0,38 0,42 0,49 0,41 0,45 0,54
0,22 0,26 0,29 0,24 0,29 0,33 0,27 0,31 0,36 0,30 0,34 0,40
Pemukiman luas 0,1 ha
0,30 0,34 0,37 0,33 0,37 0,42 0,36 0,40 0,47 0,38 0,42 0,52
0,19 0,23 0,26 0,22 0,26 0,30 0,25 0,29 0,34 0,28 0,32 0,39
Pemukiman luas 0,12 ha
0,28 0,32 0,35 0,30 0,35 0,39 0,33 0,38 0,45 0,36 0,40 0,50
0,16 0,20 0,24 0,19 0,23 0,28 0,22 0,27 0,32 0,26 0,30 0,37
Pemukiman luas 0,2 ha
0,25 0,29 0,32 0,28 0l,32 0,36 0,31 0,35 0,42 0,34 0,38 0,48
0,14 0,19 0,22 0,17 0,21 0,26 0,20 0,25 0,31 0,24 0,29 0,35
Pemukiman luas 0,4 ha
0,22 0,26 0,29 0,24 0,28 0,34 0,28 0,32 0.40 0,31 0,35 0,46
0,67 0,68 0,68 0,68 0,68 0,69 0,68 0,69 0,69 0,69 0,69 0,70
Kawasan Industri
0,85 0,85 0,86 0,85 0,86 0,86 0,86 0,86 0,87 0,86 0,86 0,88
0,71 0,71 0,72 0,71 0,72 0,72 0,72 0,72 0,72 0,72 0,72 0,72
Kawasan Komersial
0,88 0,88 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,90
0,70 0,71 0,72 0,71 0,72 0,74 0,72 0,73 0,76 0,73 0,75 0,78
Jalan Raya
0,76 0,77 0,79 0,80 0,82 0,84 0,84 0,85 0,89 0,89 0,91 0,95
0,05 0,10 0,14 0,08 0,13 0,19 0,12 0,17 0,24 0,16 0,21 0,28
Taman Kota
0,11 0,16 0,20 0,14 0,19 0,26 0,18 0,23 0,32 0,22 0,27 0,39
Lahan Parkir/Batuan 0,85 0,86 0,87 0,85 0,86 0,87 0,85 0,86 0,87 0,85 0,86 0,87
Singkapan 0,95 0,96 0,97 0,95 0,96 0,97 0,95 0,96 0,97 0,95 0,96 0,97
Sumber: McCuen (1989)

48
Lampiran 5. Nomograph erodibilitas tanah (K), untuk konversi ke nilai K satuan
metrik maka nilai K yang diperoleh dikalikan faktor 1,292

49
Lampiran 6. Nilai faktor tanaman (C) dari persamaan USLE untuk kondisi Indonesia
__________________________________________________________________________
Jenis tanaman/landuse Nilai C
__________________________________________________________________________
Padi sawah 0,01
Padi gogo 0,53
Tebu 0,25
Jagung 0,64
Sorgum 0,35
Kedelai 0,40
Kacang tanah 0,40
Kacang hijau 0,35
Kacang tunggak 0,30
Kacang gude 0,30
Ubi kayu 0,70
Ubi kayu + kedelai 0,30
Ubi kayu + kacang tanah 0,26
Ubi kayu + jagung + kacang tanah 0,45
Padi gogo + jagung 0,50
Padi gogo+jagung+kacang tanah 0,45
Padi gogo + sorgum 0,30
Padi gogo + kedelai 0,55
Padi gogo + kacang gude 0,45
Padi gogo + kacang tunggak 0,50
Kacang tanah + kacang hijau 0,45
Kacang tanah + kacang hijau (pigeon peas) 0,40
Jagung + kacang2an/kacang tanah 0,40
Jagung + ubi jalar 0,40
Jagung + padi gogo +ubi kayu-kacang tanah 0,35
Talas 0,70
Kentang guludan searah lereng 0,50
Kentang guludan searah kontur 0,10
Cabe 0,33
Ubi jalar 0,40
Kapas 0,70
Tembakau 0,50
Nanas 0,40
Pisang 0,40
Teh 0,35
Jambu mete 0,50
Kopi 0,60
Coklat 0,80
Kelapa 0,70
Kelapa sawit 0,50
Cengkeh 0,50
Karet 0,60

50
Serai wangi 0,45
Padang rumput baik (permanen) 0,04
Padang rumput jelek (permanen) 0,40
Alang-alang (permanen) 0,02
Alang-alang dibakar sekali setahun 0,10
Tanah kosong tak diolah 0,95
Tanah kosong diolah 1,00
Ladang berpindah 0,40
Kebun campuran-rapat 0,10
Kebun campuran+ubi kayu+kedelai 0,20
Kebun campuran+kacang gude+kacang tanah (jarang) 0,40
Tanaman perkebunan penutupan jelek 0,50
Tanaman perkebunan penutupan sedang 0,30
Tanaman perkebunan penutupan baik 0,10
Tanaman reboisasi tahun 1 0,32
Tanaman reboisasi tahun 2 0,10
Semak tak terganggu 0,01
Hutan tak terganggu sedikit serasah 0,005
Hutan tak terganggu banyak serasah 0,001
__________________________________________________________________________
Sumber: Ditjen RLPS (1998)

51
Lampiran 7. Nilai faktor P untuk persamaan USLE pada berbagai kondisi di Indonesia
_________________________________________________________________________
Praktek Konservasi Tanah Nilai P
_________________________________________________________________________
Teras bangku:
Baik (bidang olah – back slope, SPA baik) 0,04
sedang (bidang olah – datar, SPA sedang) 0,15
jelek (bidang olah – miring keluar, SPA jelek) 0,40
Teras tradisional (bidang olah – miring keluar, tanpa SPA) 0,35
Teras gulud baik 0,15
Strip rumput jelek 0,40
Strip rumput baik 0,04
Strip crotalaria 0,50
Tanaman dalam kontur: slope 0-8% 0,50
slope 9-20% 0,75
slope >20% 0,90
Tanaman dalam jalur-jalur: jagung-k.tanah+mulsa 0,05
Mulsa limbah jerami: 6 t/ha/th 0,15
3 t/ha/th 0,25
1 t/ha/th 0,60
Mulsa crotalaria 3 t/ha/th 0,50
Mulsa kacang tanah 0,75
Bedengan pada tanaman sayuran 0,15
__________________________________________________________________________
Sumber: Ditjen RLPS (1998)

52

Anda mungkin juga menyukai