Meski air adalah sahabat yang diakrabi, akan tetapi di saat yang sama bangsa
Belanda juga berjuang menaklukan air layaknya menghalau musuh. Hal tersebut
mengingatkan kita pada untaian kata yang dilontarkan Rene Descartes, “God created
the world, but the Dutch created Holland”, ujarnya. Filsuf Perancis tersebut mencoba
menggambarkan bagaimana orang Belanda mengeringkan daratan yang digenangi air
agar dapat menjadi permukiman yang layak didiami.
Belanda menerapkan sistem reklamasi lahan melalui sistem polder yang kompleks
untuk mempertahankan wilayah Belanda dari ancaman banjir dan air pasang. Polder
merupakan sistem tata air tertutup dengan elemen meliputi tanggul, pompa, saluran air,
kolam retensi, pengaturan lansekap lahan, dan instalasi air kotor terpisah. Sistem
polder mula-mula dikembangkan Belanda pada abad ke-11 dengan adanya dewan
yang bertugas untuk menjaga level ketinggian air dan untuk melindungi daerah dari
banjir (waterschappen). Kemudian sistem polder ini disempurnakan dengan
penggunaan kincir angin pada abad ke-13 untuk memompa air keluar dari daerah yang
berada di bawah permukaan air laut. Dengan semakin banyaknya pembangunan sistem
hidrolik inovatif di negeri Van Oranje tersebut, polder dan kincir angin akhirnya menjadi
identik dengan Negeri Belanda.
Negara Belanda merupakan negara yang tak pernah berhenti berupaya
melahirkan inovasi. Perjuangan melawan banjir telah dilakukan Belanda hampir selama
satu milenium. Lebih dari seratus bencana banjir pernah menyerang Belanda dalam
kurun waktu tersebut. Salah satu bencana banjir yang paling memakan banyak korban
adalah yang terjadi pada tahun 1953. Sebagai reaksi preventif, Pemerintah Belanda
membuat Proyek Delta (Delta Works/ Deltawerken), yaitu pembangunan infrastruktur
polder strategis untuk menguatkan pertahanan terhadap bencana banjir. Secara
konsep, Proyek Delta ini akan mengurangi resiko banjir di South Holland dan Zeeland
untuk sekali per 10.000 tahun. Meskipun Proyek Delta telah selesai tahun 1997, masih
ada ancaman kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim yang mendorong Belanda
untuk terus-menerus menyempurnakan sistem poldernya. Ini adalah perjuangan berat
jangka panjang bangsa Belanda dalam menaklukan air.
Proyek Delta dikonstruksi hampir selama 5 dekade dan menjadi salah satu upaya
pembangunan terbesar dalam sejarah peradaban manusia. American Society of Civil
Engineers pun menetapkannya sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia modern.
Terkait dengan pencapaian tersebut, dapat dirasakan bahwa semangat membangun
dan berinovasi Belanda sangat tinggi. Inovasi adalah instrumen utama dalam
pembangunan Belanda menjadi sebuah bangsa yang sejahtera secara ekonomi, kaya
akan budaya dan memiliki reputasi tinggi dalam bertoleransi. Ekonomi pengetahuan
(knowledge economy) telah menjadi pijakan bagi Belanda melejitkan diri dan
mengambil posisi penting dalam percaturan global. Ini adalah ekonomi dimana
pengetahuan dan kreativitas menjadi faktor produksi penting, sehingga setiap orang
ditantang untuk menggunakan talenta serta mengembangkan diri sebesar mungkin.
(Sumber:http://kompetiblog2011.studidibelanda.com/news/2011/05/1/656/holland_is_th
e_best_technology_in_water_management.html)
Gambar Sistem Polder
(Sumber : http://agungsedayu.com/frame%20bebas%20banjir_pik.htm)
Apa keunggulan Sistem Polder???
Sistem Polder mampu mengendalikan banjir dan genangan akibat aliran dari hulu,
hujan setempat naiknya muka air laut (ROB). Selain dapat mengendalikan air, sistem
polder juga dapat digunakan sebagai obyek wisata atau rekreasi, lahan pertanian,
perikanan, dan lingkungan industri serta perkantoran.
Ya, mungkin seperti itulah opini yang sudah tertanam di pikiran orang-orang tentang Belanda.
Negara-negara lain boleh unggul dan bersaing dalam hal tata kota, tapi kalau tata air saya rasa
masih Belanda yang menjadi pionirnya.
Sumber: http://www.ecofriend.com/
Asal mula Belanda mempunyai sistem pengelolaan air yang sangat canggih ini berangkat dari
kenyataan bahwa Belanda memiliki tinggi tanah yang berada di bawah permukaan air laut.
Desakan kebutuhan permukiman akibat peningkatan penduduk di sekitar tahun 1000-an
menjadikan wilayah permukiman harus semakin diperlebar dan tibalah di titik kawasan yang
rawan terkena rob. Pada tahun 1250 pembangunan untuk mengatasi rob tersebut dimulai sebagai
cikal bakal kejeniusan Belanda dalam mengelola sistem drainase.
Tinggi dataran Belanda yang mayoritas rendah
Ternyata Belanda tidak hanya memanfaatkan kecanggihan bendungan dan kincir angin saja
dalam mengelola air. Belanda mempunyai sistem eco-drainage (diterjemahkan ekodrainase)
yang sangat ramah lingkungan. Eco artinya ekologi yaitu hal berkaitan dengan alam, sedangkan
drainase adalah “mengalirkan”. Selain mampu berkontribusi mengurangi peluang banjir, sistem
ini mampu menjaga kualitas air. Ekodrainase berasal dari pemikiran eco-hidrology yang pertama
kali dikenalkan tahun 1982 oleh peneliti Belanda, Van Wirdum. Pada dasarnya ia ingin
menemukan keterkaitan antara unsur air dengan unsur vegetasi. Bertahun-tahun kemudian
pemikiran ini berkembang menjadi sebuah sistem kelola air ramah lingkungan.
Contoh implementasi ekodrainase ini dapat dilihat di Utrecht, kota tujuan summer course
kompetiblog ini. Air hujan yang turun (English: stormwater) dipilah menjadi 2 yaitu air yang
dianggap kotor dan air yang dianggap bersih. Air yang dianggap bersih itu contohnya air hujan
yang mengalir dari atap rumah, sedangkan air kotor itu air yang jatuh dari permukaan jalan
apalagi jalan yang penuh kendaraan bermotor. Air yang tergolong bersih tadi dialirkan ke suatu
tanah rerumputan yang bernama “wadi”. Di sana air disaring rerumputan sehingga dapat
langsung terserap ke dalam tanah. Pemerintah Utrecht sadar bahwa tidak semua air harus
langsung dialirkan ke kanal dan sungai kemudian ke laut. Volume air buangan mengalir (run-off)
harus dikurangi agar tidak terlalu membebani sistem bendungan di tepi laut.
Wadi, tanah rerumputan untuk resapan dan infiltrasi air hujan (http://sl.life.ku.dk)
Selain memanfaatkan Wadi, Pemerintah Kota Utrecht di Leidsche Rijn (sebuah area perumahan
di tepi barat kota) memanfaatkan median jalan dari bahan paving. Ya, sistem ini yang sudah
sering diimplementasikan di Indonesia. Tujuannya agar air-air yang turun tadi bisa langsung
terserap ke dalam tanah. Jadi Pemerintah Belanda tidak hanya berorientasi saja kepada
“bagaimana cara mengalirkan air buangan”, tetapi juga “bagaimana membangun daerah resapan
air yang berkelanjutan”.
Kecanggihan sistem tata kelola air Belanda ini berdampak positif. Dalam kurun waktu puluhan
tahun, Belanda terakhir mengalami banjir besar tahun 1953. Memang pada tahun 2012 lalu
negara-negara di Eropa terkena bencana badai luar biasa yang mengakibatkan banjir, termasuk
Belanda. Itu pun karena ada ancaman tanggul yang ada kemungkinan akan jebol. Tapi tahukah
banjir yang dimaksud seperti apa? Hanya setinggi di bawah mata kaki! Terutama di kawasan
pesisir Belanda yang dimanfaatkan sebagai areal pertanian di sebelah barat Belanda. Kalau di
Indonesia mungkin itu masih dianggap becek kali ya, hehehe.
(http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-16425004)