Anda di halaman 1dari 32

ACARA 2

ANALISIS SIFAT FISIK AIR SUNGAI BANJARAN PADA DAERAH HULU,


TENGAH DAN HILIR

Disusun Oleh :

Yuli Nurhayati
NIM.L1A016048

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup oraang
banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air tersebut
harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia dan
makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan
secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan
generasi mendatang. Salah satu sumber air yang banyak dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya aalah sungai. Sungai
merupakan ekosistem yang sangat penting bagi manusia. Sungai juga menyediakan
air bagi manusia untuk berbagai kepentingan seperti pertanian, industri maupun
rumah tangga.
Air sungai yang keluar dari mata air biasanya mempunyai kualitas yang
sangat baik. Namun dalam proses pengalirannya air tesebut akan menerima berbagai
macam bahan pencemar dan pada akhirnya terjadi penurunan kualitas air. Suatu
sungai dikatakan terjadi penurunan kualitas air, jika air tersebut tidak dapat
digunakan sesuai dengan status mutu air secara normal (Ali et. al., 2013). Merujuk
dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990, kualitas air harus memenuhi
syarat kesehatan yang meliputi persyaratan mikrobiologi, fisika, kimia, dan
radioaktif.
Sungai Banjaran merupakan salah satu sungai yang berada di Kabupaten
Banyumas. Sungai tersebut masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada di
sekitar sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti MCK dan tempat
pembuangan limbah rumah tangga maupun industri. Pemanfaatan sungai yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut dapat menurunkan kualitas air sungai. Bahan
buangan yang masuk ke badan sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan
karakteristik fisika, kimia, dan biologi di perairan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
analisis fisik mepiputi suhu, kecepatan arus, debit air, kekeruhan, TSS, TDS,
konduktivitas, penetrasi cahaya, warna dan bau terhadap Sungai Banjaran untuk
mengkaji kondisi kualitas air di perairan tersebut.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Mengetahui teknik pengukuran yang berkaitan dengan faktor fisik pada sungai
2. Mengetahui analisis perbandingan faktor fisik dari masing-masing titik
pengambilan sampel.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai
Sungai merupakan tempat berkumpulnya air dari lingkungan sekitarnya yang
mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang mensuplai air
ke sungai dikenal dengan daerah tangkapan air atau daerah penyangga. Kondisi suplai
air dari daerah penyangga dipengaruhi aktifitas dan perilaku penghuninya. Pada
umumnya, daerah hulu mempunyai kualitas air yang lebih baik daripada daerah hilir.
Dari sudut pemanfaatan lahan, daerah hulu relatif sederhana dan bersifat alami seperti
hutan dan perkampungan kecil. Semakin ke area hilir keragaman pemanfaatan lahan
meningkat. Sejalan dengan hal tersebut suplai limbah cair dari daerah hulu yang
menuju daerah hilir pun menjadi meningkat. Pada akhirnya daerah hilir merupakan
tempat akumulasi dari proses pembuangan limbah cair yang dimulai dari hulu
(Wibowo, 2005 dalam Yuliastuti, 2011).

2.2. Deskripsi Sungai Banjaran

Gambar 1. Sungai Banjaran


Sumber : dokumen pribadi
Sungai Banjaran terletak di wilayah Kabupaten Banyumas, dengan letak
geografis 109 BT/07 LS. Hulu sungai terletak di lereng Gunung Slamet di desa
Ketenger Kecamatan Baturaden. Sungai Banjaran melewati enam Kecamatan yaitu
Kecamatan Baturraden, Kedungbanteng, Purwokerto Utara, Purwokerto Barat,
Purwokerto Selatan, Purwokerto Timur, dan Patikraja. Hulu aliran sungai Banjaran
dimanfaatkan untuk penggerak turbin PLN, PLTA Ketenger, irigasi, perikanan,
sumber air bersih penduduk setempat dan keperluan lainnya. Sungai Banjaran
merupakan salah satu sungai yang melintasi wilayah Kota Purwokerto dan sekitarnya,
dengan aliran airnya secara alami mengalir sepanjang tahun. Di bagian tengah, selain
digunakan untuk irigasi, air sungai dimanfaatkan oleh penduduk untuk keperluan
mandi cuci dan kakus. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang
mengalir dari arah Utara ke arah Selatan dan bermuara pada sungai Serayu di daerah
Patikraja dengan luas DAS kira‐kira 47.16 km2 (BLH Banyumas 2010 dalam
Bhagawati, 2013).

2.3. Faktor Fisik Perairan Lotik


2.3.1. Suhu
Suhu suatu perairan merupakan salah satu faktor penting dalam mempelajari gejala-
gejala fisika di perairan. Suhu di perairan tropis berkisar antara 25-32 °C masih layak untuk
kehidupan organisme perairan. Suhu lingkungan perairan sangat mempengaruhi penyebaran
organisme dan juga menentukan kecepatan pertumbuhannya, karena semua proses
metabolisme organisme perairan sangat bergantung pada suhu. Perubahan suhu yang ekstrim
akan mengganggu kehidupan organime bahkan dapat menyebabkan kematian. Suhu perairan
dapat mengalami perubahan sesuai dengan musim, letak lintang suatu wilayah, ketinggian
dari permukaan air laut, letak tempat terhadap garis edar matahari, waktu pengukuran dan
kedalaman air. (Effendi, 2003).
2.3.2. Kecepatan Arus
Kecepatan arus merupakan faktor penting di perairan mengalir. Kecepatan
arus berbeda-beda tergantung dari kedalaman sungai, lebar sungai, dan tipe substrat.
Arus dibedakan menjadi lima kategori berdasarkan kecepatannya, yaitu arus yang
sangat cepat (>100 cm/s), cepat (50-100 cm/s), sedang (25-50 cm/s), lambat (10-25
cm/s), dan sangat lambat (<10 cm/s) (Welch (1980). Semakin tinggi kecepatan arus,
kandungan oksigen terlarut dalam air yang sangat dibutuhkan oleh biota air dalam
metabolismenya akan semakin banyak. Kecepatan arus berkurang seiring dengan
penambahan kedalaman suatu perairan (Siregar, 2001).
2.3.3. Debit Air
Debit dinyatakan sebagai volume yang mengalir pada selang waktu tertentu,
biasanya dinyatakan dalam satuan m3/detik. Dengan meningkatnya debit, kadar
bahan-bahan alam yang terlarut ke suatu badan air akibat erosi meningkat secara
eksponensial. Namun, konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki badan
air tersebut mengalami penurunan karena terjadi proses pengenceran. Jika suatu
bahan pencemar masuk ke badan air dengan kecepatan konstan, kadar bahan
pencemar dapat ditentukan dengan membagi jumlah bahan pencemar yang masuk
dengan debit badan air (Efendi, 2003).
2.3.4. Kekeruhan
Kekeruhan adalah keadaan buram atau kekaburan dari cairan yang disebabkan
oleh partikel individu (padatan tersuspensi) yang umumnya tidak terlihat dengan mata
telanjang, mirip dengan asap udara. Kekeruhan disebabkan karena adanya kandungan
Total Suspended Solid baik yang bersifat organik maupun anorganik. Alat untuk
mengetahui tingkat kekeruhan air adalah turbidimeter (Nuzula dan Endarko, 2013).
2.3.5. TSS (Total Suspended Solid)
Total Suspended Solid (TSS) atau dikenal juga sebagai massa padatan
tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1μm) yang tertinggal di
cakram fiber kaca setelah difiltrasi. Proses erosi tanah yang terbawa ke badan air
merupakan salah satu penyebab utama tingginya padatan tersuspensi di perairan.
Padatan tersuspensi dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton,
kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman, dan hewan serta limbah
industri. Bahan-bahan yang tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik. Akan
tetapi, jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan niai kekeruhan yang
selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air (Effendi, 2003).
2.3.6. TDS
TDS (Total Dissolved Solid) atau padatan terlarut total adalah bahan-bahan
terlarut dalam air yang tidak larut dan tidak tersaring dengan kertas saring milipore
dengan ukuran pori-pori (porousity) 0,4 μm (Triatmojo, 2008). Sumber utama TDS
dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah tangga, dan industri.
Unsur kimia yang paling umum adalah kalsium, fosfat, nitrat, natrium, kalium, dan
klorida. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air
karena mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam badan air, kekeruhan air
meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser
(Agustira, 2013).
2.3.7. Konduktivitas
Konduktivitas (Daya Hantar Listrik/DHL) adalah gambaran numerik dari
kemampuan air untuk menerima aliran listrik. Semakin banyak garam terlarut yang
dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai konduktivitas. DHL dipengaruhi oleh
reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut. Asam, basa dan garam
merupakan penghantar listrik yang baik, sedangkan bahan-bahan organik seperti
sukrosa dan benzena merupakan penghantar listrik yang jelek (Efendi, 2003).
2.3.8. Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya merupakan faktor mendasar penting yang berhubungan
langsung dengan faktor fisiko-kimia dan biologi dalam suatu perairan, ketersediaan
produktivitas primer fitoplankton dalam perairan bergantung pada cahaya yang
membantu proses fotosintesis dan mendorong fitoplankton menyediakan energi untuk
organisme lainnya, proses ini biasanya terjadi di kedalaman sekitar 1% menembus
cahaya (zona eufotik) (Gallegos, 2005). Banyaknya cahaya yang masuk ke dalam
perairan mempengaruhi dan menentukan gambaran sifat optik dari suatu perairan
yaitu kecerahan. Penetrasi cahaya pada bagaian hulu suatu ekosistem sungai pada
umumnya lebih tinggi dibanding dengan bagian hilir (Barus et al, 2013).
2.3.9. Tipe Substrat
Tipe substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh letak geografik dan juga
partikel organik dan anorganik yang dapat tersebar oleh arus. Partikel-pertikel dapat
berpindah tempat atau terikat kuat di dasar. Akibatnya penyebaran sedimen terjadi
pada daerah yang mengalir. Pada perairan yang menggenang (lentik) bersifat lunak
seperti berpasir dan berlumpur, sedangkan perairan yang mengalir (lotik) bersifat
keras seperti berbatu. Substrat termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan
organisme. Substrat dasar berupa batu besar, kerikil ditempati oleh banyak
organisme, sedangkan substrat dasar yang berupa lumpur dan tanah liat ditempati
sedikit organisme (Hawkes, 1975).
2.3.10. Warna Air
Warna terbagi menjadi dua yaitu warna sesungguhnya (true color)dan warna
tampak (apparent color). Warna sesungguhnya yaitu warna yang hanya disebabkan
oleh bahan-bahan kimia terlarut. Dalam penentuan warna sesungguhnya, bahan-
bahan tersuspensi yang dapat menyebabkan kekeruhan dipisahkan dahulu. Warna
tampak yaitu warna yang tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi jug
disebabkan oleh bahan tersuspensi (Efendi, 2003).
2.3.11. Bau Air
Bau air merupakan salah satu indikator pencemaran air. Bau air dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sampah dan limbah pabrik atau industri.
Banyaknya sampah dan kandungan limbah di perairan akan menyebabkan bau busuk
yang menyengat dan dapat mengganggu kesehatan masyarakat yang menggunakan
perairan tersebut. Hal ini juga dapat mengakibatkan terganggunya habitat biota air
terutama ikan (Triatmojo, 2008).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat
Tabel 1. Alat Praktikum
No Nama alat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi
Thermometer
1. 1 Pyrex Mengukur suhu pada
celcius badan perairan

2. Stopwatch 1 Menentukan waktu pada


kecepatan arus
Untuk mengukur jarak
3. Tali rafia 10 Orange arus pada badan sungai
dan debit air
Tempat wadah sampel dan
4. Botol plastik 6 Aqua menentukan jarak arus
serta debit air
Keeping
5. 1 Menentukan penetrasi
sechidisk cahaya
Lutron
Menentukan kadar TDS
6. TDS meter 1 YK- dan DHL pada badan
22CT sungai

7. Oven 1 Kirin Untuk memanaskan kertas


wahatman no 41
Leutron
Menentukan nilai
8. Turbidimeter 1 TU- kekeruhan pada badan
2016 perairan

3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan Praktikum
Ukuran/
No Nama bahan Merek Fungsi
jumlah
Menentukan parameter
1. Sampel air 6
fisika pada badan
perairan
2. Kertas whatman
Menentukan nilai TSS
1
pada suatu badan
no 41
perairan
Untuk mengkalibrasi
3. Akuades 1
pada alat pengukuran
seperti TDS meter
4. Tissue 1 Nice Untuk memebersihkan
alat pengukuran

3.2. Metode
3.2.1. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan tiga pengulangan yaitu tepi 1, tengah dan tepi 2
pada setiap stasiun pengamatan. Suhu diukur menggunakan termometer celcius.
Termometer di celupkan ke dalam badan air yang akan diteliti selama ± 10 menit.
Angka yang tertera pada skala termometer yang konstan dicatat.
3.2.2. Kecepatan Arus
Pengukuran kecepatan arus dilakukan tiga pengulangan yaitu tepi 1, tengah
dan tepi 2 pada setiap stasiun pengamatan. Kecepatan arus diukur menggunakan
sebuah botol mineral diisi air dengan volume 80%. Botol tersebut diikat dengan tali
sepanjang 10 m. Botol berisi air dan terikat dengan tali kemudian dilepaskan di
sungai sampai tali merenggang dengan sempurna. Perhitungan waktu dimulai pada
saat botol pertama kali dilepaskan sampai tali merenggang.
3.2.3. Debit Air
Pengukuran debit air dilakukan dengan cara kecepatan arus daikalikan dengan
luas area sungai. Luas area sungai diukur dengan cara menghitung kedalaman tiap
jarak satu meter lebar sungai. Pengukuran dimulai dari tepi yang satu sampai ke tepi
yang lain. Luas area sungai merupakan jumlah dari luas area sungai yang diukur tiap
meter.
3.2.4. Kekeruhan
Pengukuran kekeruhan menggunakan air sampel yang telah dihomogenkan
antara air sampel tepi 1, tengah dan tepi 2 pada setiap stasiunnya. Pengukuran
kekeruhan dilakukan dengan menggunakan alat turbidimeter. Turbidimeter terlebih
dahulu dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Kemudian kuvet diisi dengan air
sampel, diukur, dan dicatat hasilnya.
3.2.5. TSS (Total Suspended Solid)
Pengukuran TSS menggunakan air sampel yang telah dihomogenkan antara
air sampel tepi 1, tengah dan tepi 2 pada setiap stasiunnya. TSS diukur menggunakan
kertas saring Whatman No. 41. Kertas tersebut sebelum digunakan, dibilas terlebih
dahulu dengan akuades dan dikeringkan pada suhu 103 – 105 0C selama ± 1 jam.
Kemudian didinginkan dalam desikator (± 15 menit) dan ditimbang (sebagai nilai B).
Setelah itu saring sampel air sebanyak 50 – 100 mL dengan menggunakan kertas
saring yang telah ditimbang tersebut. Selanjutnya keringkan kembali kertas saring
yang berisi bahan-bahan yang tersaring tersebut pada suhu 103 – 105 0C selama ± 1
jam. Kemudian didinginkan dalam desikator (± 15 menit) dan ditimbang beratnya
(sebagai nilai A).
3.2.6. TDS (Total Dissolved Solid)
Pengukuran TDS menggunakan air sampel yang telah dihomogenkan antara
air sampel tepi 1, tengah dan tepi 2 pada setiap stasiunnya. Pengukuran TDS
dilakukan dengan menggunakan alat TDS meter. TDS meter terlebih dahulu
dikalibrasi dengan larutan standar yang ada. Kemudian kuvet diisi dengan air sampel,
diukur dan dicatat hasilnya.
3.2.7. Konduktivitas
Pengukuran konduktivitas menggunakan air sampel yang telah dihomogenkan
antara air sampel tepi 1, tengah dan tepi 2 pada setiap stasiunnya. Konduktivitas
diukur menggunakan alat conductivity meter. Kuvet diisi dengan air sampel, diukur,
dan hasilnya dicatat.
3.2.8. Penetrasi Cahaya
Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan tiga pengulangan yaitu tepi 1, tengah
dan tepi 2 pada setiap stasiun pengamatan Alat secchi disc diturunkan ke suatu
kedalaman air tertentu, yaitu sampai tepat hilang dari pandangan (sebagai X1),
kemudian . secchi disc diangkat sampai awal terlihat dari pandangan (sebagai X2).
Dihitung penetrasi cahaya yang didapat dengan rumus :
(X1) + (X2)
PC =
2
PC = Penetrasi cahaya (m)
X1 = Pembacaan Secchidisc awal tidak terlihat (m)
X2 = Pembacaan Secchidisc awal terlihat (m)

3.2.9. Tipe Substrat


Pengamatan tipe substrat dilakukan secara langsung dengan penglihatan. Hal
ini dikarenakan kondisi air yang masih jernih. Untuk perairan yang keruh pengamatan
tipe substrat dapat dilakukan dengan diraba.
3.2.10. Warna
Warna air diamati dengan cara sampel air sungai diambl dengan botol mineral
atau telapak tangan. Warna yang tampak di dalam botol atau telapak tangan itulah
yang disimpulkan menjadi warna air.
3.2.11. Bau
Sampel air diambil dengan menggunakan botol atau telapak tangan.
Kemudian sampel dicium baunya. Bau yang didapat dan diperoleh dari pandangan
minimal lima orang itulah yang disimpulkan bau air.

3.3. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 Maret 2018 di tiga stasiun
pengambilan sampel yaitu hulu Sungai Banjaran yang berada di desa Ketenger,
Baturaden dengan titik koordinat pada 7019’26.1”S 109013’05.2”E; bagian tengah
Sungai Banjaran yang berada di desa Bobosan, Purwokerto Utara dengan titik
koordinat 7024’27.9”S 109013’29.1”E; dan hilir Sungai Banjaran yang berada di desa
Kedungwringin, Patikraja dengan titik koordinat 7027’05.7”S 109012’50.6”E.
Kemudian pengamatan sampel dilakukan di Laboratorium FPIK Universitas Jenderal
Soedirman.

3.4. Analisis Data


Data yang diperoleh dapat dianalisis secara deskriptif dengan histogram atau
diagram balok antara titik sampling dan standar kualitas air.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel 3. Sifat Fisisk Sungai Banjaran
Sungai Banjaran Standar
Parameter Satuan Baku Pustaka
Hulu Tengah Hilir
Mutu
22,84 – Karlina et
Penetrasi Cahaya cm 47 31 28
26,67 al., 2014
Rusmanto
0 27 –
Suhu C 21,33 24,67 27,67 & Tatazani,
300C
2007
0,19 – Damarany
Kecepatan Arus m/s 0,60 0,46 0,36
0,36 et al., 2009
0,54 – Neno et al.,
Debit Air m3/s 1,47 2,12 0,98
1,14 2016
PPRI
Nomor 82
TSS mg/L 119 124 125 ≤ 50
Tahun 2001
Kelas II
PPRI
Nomor 82
TDS ppm 45 81 90 ≤ 1000
Tahun 2001
Kelas II
Rusmanto
Kekeruhan NTU 3,49 7,26 20,98 18-36 & Tatazani,
2007
139- Pasisingi et
DHL Ohm- 67 120 134
186 al., 2014
Tidak
Coklat PPRI No.82
Warna Air - Bening Coklat berwar
Pekat Tahun 2001
na
Tidak PPRI No.82
Bau Air - Tanah Tanah Tanah
berbau Tahun 2001
Berbatu
Batu Pasisingi et
Tipe substrat - Batuan Lumpur &
Berpasir al., 2014
berpasir

4.2. Pembahasan
4.2.1. Penetrasi Cahaya
Hasil pengamatan penetrasi cahaya pada daerah hulu, tengah dan hilir Sungai
Banjaran berturut-turut yaitu 47 cm; 31 cm; dan 28 cm. Penetrasi cahaaya
mengindikasikan banyaknya cahaya matahari yang masih dapat tembus ke dalam
suatu perairan. Ketersediaan produktivitas primer fitoplankton dalam perairan
bergantung pada cahaya yang membantu proses fotosintesis dan mendorong
fitoplankton menyediakan energi untuk organisme lainnya, proses ini biasanya terjadi
di kedalaman sekitar 1% menembus cahaya (zona eufotik). Faktor yang
mempengaruhi penetrasi cahaya yaitu diakibatkan oleh bahan-bahan yang melayang
di air (Mustofa, 2015).

50
Penetrasi Cahaya

47
40

30
31
m

28
20

10

0
Hulu Tengah Hilir Penetrasi Cahaya…
Gambar 2. Grafik Penetrasi Cahaya Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 2. menunjukan bahwa penetrasi cahaya tertinggi


terdapat pada daerah hulu sungai, dan terendah terdapat pada hilir Sungai Banjaran.
Hal ini disebabkan kandungan bahan terlarut dalam perairan di hulu lebih sedikit
dibandingkan daerah hilir, sehingga cahaya yang dapat ditembus masuk ke dalam
perairan lebih besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Soraya (2014) yang menyatakan
bahwa tingkat kecerahan daerah hulu lebih tinggi karena dipengaruhi yang
dipengaruhi oleh aktivitas industri dan masyarakat disekitarnya. Adanya aktivitas
tersebut diyakini berdampak besar terhadap kondisi fisik dan kimia perairan, terutama
akibat peningkatan kandungan bahan organik dan anorganik perairan, yang juga
mempengaruhi tingkat kecerahannya. Farichi et. al. (2013) juga berpendapat bahwa
tingginya penetrasi cahaya disebabkan karena sedikit partikel terlarut dan partikel
tersuspensi sehingga warna air lebih jernih. Berkaitan dengan kedalaman, pada
daerah hilir penetrasi cahaya cenderung lebih kecil, hal ini sesuai dengan pendapat
Pancawati et.al. (2014) yang menyatakan bahwa Parameter kecerahan berkaitan erat
dengan kedalaman perairan, karena semakin dalam perairan tersebut maka intensitas
cahaya matahari yang masuk akan semakin berkurang.
Merujuk pada standar baku yang ditulis oleh Karlina et.al (2014), dapat
dinyatakan bahwa kondisi penetrasi cahaya pada perairan Sungai Banjaran
memenuhi standar baku kualitas air yaitu berada di bawah standar baku. tingginya
penetrasi cahaya yang diperoleh mengindikasikan bahwa Sungai Banjaran tidak
terjadi kekeruhan. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang masuk
ke badan perairan, sehingga dapat menghalangi proses fotosintesis dan produksi
primer perairan (Pujiastuti et.al., 2013).

4.2.2. Suhu
Hasil pengamatan suhu pada daerah hulu, tengah dan hilir Sungai Banjaran
berturut-turut yaitu 21,33oC; 24,67oC; dan 27,67oC. Dari ketiga titik sampel tersebut
terdapat perbedaan. Menurut Efendi (2003) dalam Simanullang (2016) mengatakan
bahwa suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian
dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan,
dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses
fisika, kimia, dan biologi badan air.

30 Suhu
25 27.67
24.67
20
21.33
0C

15

10

0
Hulu Tengah Hilir Suhu Sungai Banjaran
Gambar 3. Grafik Suhu Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 3. menunjukan bahwa suhu tertinggi terdapat pada


daerah hilir sungai, dan terendah terdapat pada hulu Sungai Banjaran. Tingginya suhu
di hilir disebabkan karena lokasi hiir yang berada lebih rendah dibandingkan denan
hulu sungai. Pada daerah yang lebih rendah suhu air cenderung lebih panas. Hal ini
sesuai dengan pendapat Djumanto et.al. (2013) yang menyatakan bahwa suhu air
cenderung meningkat kearah hilir sungai yang disebabkan naungan semakin sedikit,
ketinggian lokasi semakin rendah dan lebar sungai semakin meningkat serta
kecepatan aliran semakin menurun. Akibatnya intensitas penerimaan panas matahari
semakin banyak, sehingga suhunya semakin tinggi.
Mengacu pada Standar Baku Kualitas Air yang ditulis oleh Rusmanto &
Tatazani (2007), hasil penelitian suhu Sungai Banjaran masih memenuhi standar
kualitas air yaitu pada kisaran 27 – 300C. Pada suhu tersebut, suhu perairan diatas
termasuk dalam kategori yang sesuai untuk mendukung kelangsungan hidup hewan
makrozoobenthos. Apabila terjadi penuruan atau peningkatan suhu maka akan
berpengaruh terhadap migrasi, laju metabolisme dan mortalitas makrozoobenthos
(Pamuji et.al., 2015). Meningkatnya suhu akan menyebabkan kelarutan oksigen
menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan
untuk melakukan respirasi. Kenaikan suhu yang relatif tinggi ditandai dengan
munculnya ikan dan hewan lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen. Suhu air
yang tidak cocok dengan ikan dapat mengakibatkan ikan sulit untuk berkembang
(Cahyono, 2000 dalam Astuti, 2015). Selain itu Peningkatan suhu air juga akan
mempengaruhi reaksi kimia dan berhubungan dengan penurunan kualitas air dan
status ekologi air tawar (Fisesa, 2014).

4.2.3. Kecepatan Arus


Hasil pengamtan kecepatan arus pada daerah hulu, tengah dan hilir Sungai
Banjaran berturut-turut yaitu 0,6 m/s; 0,46 m/s; dan 0,36 m/s. Semakin ke hilir laju
air semakin rendah. Hal ini dipengaruhi pelh perbedaan topografi antara hulu, tengah
dan hilir sungai. Selain itu perbedaan kecepatan arus juga di pengaruhi oleh tipe
dasar, lebar sungai dan adanya hambatan aliran (Djumanto et.al., 2013).

0.60 Arus
0.55 0.60
0.50 Arus Sungai Banjaran
0.45
0.40 0.46
0.35
0.36
m/s

0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
Hulu Tengah Hilir

Gambar 4. Grafik Kecepatan Arus Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 4. menunjukan bahwa kecepatan arus tertinggi berada


pada hulu, dan kecepatan terendah terdapat pada hilir sungai. Hal ini disebabkan
karena hubungan antara tipe substrat dengan kecepatan arus, pada hulu sungai
memiliki kecepatan arus yang tinggi karena memiliki substrat berupa batuan,
edangkan di bagian hilir memilliki kecepatan arus yang rendah karena memiliki
substrat berupa pasir. Pendapat ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pancawati et.al. (2014) yang menyatakan bahwa kecepatan arus dapat mempengaruhi
jenis substrat pada perairan tersebut. Pada bagian sungai yang berarus relatif cepat,
komposisi substratnya berupa batu-batuan, kerikil dan pasir kasar. Sedangkan sungai
yang berarus relatif lambat cenderung pasir halus, lumpur, sampai liat. Pamuji et.al
(2015) juga berpendapat bahwa mangatakan bahwa perairan dengan arus yang kuat
akan mengendapkan partikel dengan ukuran besar, sebaliknya perairan dengan arus
yang lemah akan mengendapkan partikel lumpur halus.

Merujuk pada standar baku kualitas air yang ditulis oleh Damarany et al.,
2009, hasil penelitian kecepatan arus pada Sungai Banjaran mengindikasikan bahwa
kecepatan arus masih memenuhi standar baku kualitas air yaitu pada kisaran 0,19 –
0,36 m/s. Adanya arus pada suatu ekosistem akuatik membawa plankton yang
menumpuk pada suatu tempat tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya blooming
pada lokasi tertentu jika tempat tersebut kaya akan nutrisi yang menununjang
pertumbuhan fitoplankton dengan faktor abiotik yang mendukung bagi
perkembangan kehidupan plankton (Rafitri et.al., 2015). Fisesa et.al. (2014) juga
berpendapat bahwa Pergerakan air yang lambat menyebabkan partikel-partikel halus
mengendap, detritus melimpah dan kandungan bahan organik tinggi.

4.2.4. Debit Air


Hasil pengamatan debit air pada daerah hulu, tengah dan hilir Sungai Banjaran
berturut-turut yaitu 1,47 m3/s; 2,12 m3/s; dan 0,98 m3/s. Debit air menyatakan
banyaknya air yang mengalir dari suatu sumber persatuan waktu, biasanya
diukur dalam satuan liter per/detik. Faktor yang mempengaruhi nilai debit air
yaitu hujan, topografi, geologi, keadaan tumbuhan dan manusia (Soebarkah, 1978
dalam Neno et.al., 2016).

2.12 Debit
2.12
1.62
1.47
1.12
m3/s

0.98
0.62

0.12
Hulu Tengah Hilir
-0.38
Arus Sungai Banjaran

Gambar 5. Grafik Debit Air Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 5. Menunjukan bahwa nilai debit air tertinggi berada


pada daerah tengah, dan debit air terendah berada pada daerah hilir. Hal ini
diakibatkan karena pada stasiun hilir memiliki luas penampang yang lebih besar dari
pada stasiun hulu dan tengah. Pendapat ini sesuai dengan Mantaya (2016) yang
menyatakan bahwa besarnya debit air sungai dipengaruhi oleh kecepatan arus dan
luas penampang sungai. Djumanto et.al. (2013) juga berpendapat bahwa kecepatan
arus cenderung menurun kearah hilir yang disebabkan oleh dasar sungai yang
semakin landai, melebar dan dalam serta debit airnya menurun.
Mengacu pada standar baku kualitas air yang ditulis oleh Neno et.al.(2016),
hasil penelitian debit air Sungai Banjaran masih memenuhi standar baku air yaitu
pada kisaran 0,54 – 1,14 m3/s. Debit memiliki hubungan berbanding lurus dengan
volume pengaliran, tinggi muka air dari dasar saluran, dan kecepatan aliran. Nilai
kecepatan aliran semakin ke atas diperoleh kondisi maksimal, sebaliknya semakin
mendekati dasar saluran nilai kecepatan aliran semakin kecil bahkan mendekati nol
(Putra, 2014). Perairan dengan arus yang kuat akan mengendapkan partikel dengan
ukuran besar, sebaliknya perairan dengan arus yang lemah akan mengendapkan
partikel lumpur halus. Selain itu juga besar kecilnya laju sedimentasi dipengaruhi
oleh debit sungai karena debit sungai membawa suplai sedimen menuju daerah muara
sungai (Pamuji et.al., 2015).

4.2.5. TSS
Hasil pengamatan TSS pada daerah hulu, tengah dan hilir Sungai Banjaran
berturut-turut yaitu 119 mg/L; 124 mg/L; dan 125 mg/L. Nilai TSS dari hulu ke hilir
semakin besar. Hal ini dipengaruhi oleh semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah
liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen
hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen
mati (abiotik) seperti detritus dan partikel - partikel anorganik, dapat pula berasal dari
kotoran hewan, kotoran manusia, lumpur dan limbah industri (Sastrawijaya, 2000
dalam Pujiastuti et.al., 2013).

500
TSS
450
400
350
300
mg/L

250
200
150
100 124 125
119
50
0
Hulu Tengah Hilir TSS Sungai Banjaran
Gambar 6. Grafik TSS Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 6. menunjukan bahwa TSS tertinggi berada pada daerah


hilir, sedangkan TSS terendah berada pada daerah hulu sungai. Tinggi kandungan
TSS disebabkan karena suhu air semakin ke hilir semakin meningkat, meningkatnya
suhu menyebabkan adanya pergerakan massa air sehingga terjadi pengadukan di
dalam air dan menyebabkan kandungan TSS semakin besar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Djumanto et.al. (2013) yang menyatakan bahwa gerakan aliran air
menyebabkan air sungai teraduk-aduk, sehingga lumpur dan endapan material
organik didasar sungai akan teraduk dan terangkat menuju kekolom air sungai. Selain
itu, Passingi et.al. (2014), juga berpendapat bahwa meningkatnya TSS dipengaruhi
karena kekeruhan, kekeruhan yang tinggi mengindikasikan konsentrasi TSS yang
tinggi. Hal tersebut mendukung hasil praktikum ini. Peningkatan nilai TSS diikuti
dengan peningkatan nilai kekeruhan pada masing masing stasiun pengambilan
sampel.
Merujuk pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Standar Baku Kualitas Air, hasil
penelitian TSS pada Sungai Banjaran melebihi standar baku mutu yaitu <50 mg/L.
Hal ini disebabkan karena tingginya aktivitas buangan manusia ke sungai yang
menyebabkan semakin banyaknya kandungan bahan-bahan organic maupun
anorganik di dalam sungai. Nilai TSS yang melebihi disebabkan karena masuknya
bahan organic dan limpasan dari daratan serta musim. Kandungan TSS yang melebihi
kurang menunjang bagi aktivitas perikanan (Pamuji et.al., 2013). Semakin tinggi nilai
TSS maka bahan organik membutuhkan oksigen untuk perombakan yang lebih tinggi.
Padatan tersuspensi dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, sisa
tanaman dan limbah industri (Sarwadi, 2014).

4.2.6. TDS
Hasil pengamatan TDS pada daerah hulu, tengah dan hilir Sungai Banjaran
berturut-turut yaitu 45 ppm; 81 ppm; dan 90 ppm. Kandungan TDS dari hulu ke hilir
semakin meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh nilai kelarutan mineral yang berbeda
dalam suatu daerah geologi, seperti granit, pasir silika, dan bahan yang tidak terlarut
lainnya (Putra, 2014).

125
TDS

100

75 90
81
mg/L

50
45
25

0
Hulu Tengah Hilir TDS Sungai Banjaran

Gambar 7. Grafik TDS Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 7. menunjukan bahwa kandunga TDS tertinggi berada


pada daerah hilir, dan terendah ada daerah hulu. Meningkatnya kandunga TDS ini
disebabkan karena semakin hilir lebih semakin banyak aktivitas buangan oleh
manusia yang menimbulkan banyaknya kandunga bahan-bahan organik maupun
anorganik di dalam air. Hal ini sesuai dengan pendapat Supiyati et.al. (2013) yang
menyatakan bahwa untuk TDS (total dissolved solids) banyak terdapat di daerah hilir,
ini disebabkan karena pada daerah hilir banyak terjadi tumpukkan padatan atau zat-
zat lain yang dibawa dari daerah hulu muara sungai, sehingga di daerah hilir muara
sungai lebih besar total padatan terlarutnya. Inayati (2013) juga berpendapat bahwa
kandunga TDS di hilir lebih tinggi dibandingkan dengan hulu, tingginya konsentrasi
TDS ini disebabkan karena pencemaran yang berasal dari limbah buangan industry.

Merujuk pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Standar Baku Kualitas Air, hasil
penelitian TDS pada Sungai Banjaran memenuhi standar baku kualitas air kelas II
yaitu <1000 mg/L. Dengan kondisi seperti ini Sungai Banjaran masih layak
digunakan sebagaimana peruntukannya. Perubahan dalam konsentrasi TDS dapat
berbahaya karena densitas (massa jenis) air menentukan aliran air masuk dan keluar
dari sel–sel organisme. Namun, jika konsentrasi TDS terlalu tinggi atau terlalu
rendah, pertumbuhan kehidupan banyak air dapat dibatasi, dan kematian dapat terjadi.
Tinginya konsentrasi TDS juga dapat mengurangi kejernihan air, memberikan
penurunan secara signifikan pada proses fotosintesis, serta gabungan dengan senyawa
beracun dan logam berat, dan menyebabkan peningkatan suhu air. (Sarwadi, 2014).
Tingginya kandungan TDS di dalam air juga mempengaruhi warna perairan
(Sastrawijaya, 2000 dalam Pujiastuti et.al., 2013).

4.2.7. Kekeruhan
Hasil pengamatan kekeruhan pada daerah hulu, tengah dan hilir Sungai
Banjaran berturut-turut yaitu 3,49 NTU; 7,26 NTU; dan 20,98 NTU. Dari hulu ke
hilir kekeruhan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya partikel-partikel
suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton
dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang
ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-
bahan yang terdapat dalam air (Pujiastuti et.al., 2013).

36.00
Kekeruhan

26.00

20.98
NTU

16.00

6.00
7.26
3.49
-4.00 Hulu Tengah Hilir
Kekeruhan Sungai…

Gambar 8. Grafik Kekeruhan Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 8. menunjukan bahwa kekeruhan tertinggi berada pada


daerah hilir, dan kekeruhan terendah berada pada daerah hulu. Tingginya kekeruhan
di hilir disebabakan karena banyaknya kandungan bahan-bahan yg larut di dalam air.
Hal ini sesuai dengan pendapat Manan (2010) dalam Fisesa (2014) yang menyatakan
bahwa peningkatan kekeruhan tersebut disebabkan oleh masukan dari arah hulu serta
masukan dari limpasan air dari daratan yang dibawa oleh air hujan, dimana semakin
ke arah hilir beban masukan semakin tinggi sehingga tingkat kekeruhan juga semakin
meningkat.

Merujuk pada standar baku air yang ditulis oleh Rusmanto & Tatazani, 2007,
hasil penelitian kekeruhan Sungai Banjaran masih memenuhi standar baku kualitas
air yaitu pada kisaran 18-36 NTU. Kekeruhan air yang meningkat menyebabkan
gangguan pertumbuhan bagi organisme produser (Agustira, 2013). Kekeruhan dapat
menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya matahari yang masuk keperairan.
Tingkat kekeruhan yang tinggi dapat mempengaruhi kehidupan organisme akuatik
misalnya gangguan penglihatan, pernapasan dan penyaringan makanan. Adanya
buangan air rumah penduduk yang mengalir juga mengakibatkan tersuspensi dalam
perairan yang akan menimbulkan kekeruhan pada perairan tersebut, sehingga
menurunkan produktivitas organisme aquatic (Rizal et.al., 2013). Semakin tinggi
kekeruhan dapat menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga
menyebabkan terganggunya rantai makanan (Marganof, 2007 dalam Rahman et al,
2013).

4.2.8. DHL
Hasil pengamatan Daya Hantar Listrik (DHL) pada daerah hulu, tengah dan
hilir Sungai Banjaran berturut-turut yaitu 67 Ohm; 120 Ohm; dan 134 Ohm. Hasil ini
menunjukan peningkatan dar daerah hulu ke hilir. Faktor yang mempengaruhinya
yaitu padatan terlarut anorganik seperti klorida, nitrat, sulfat, dan anion fosfat atau
natrium, magnesium, kalsium, zat besi dan kation alumunium. Senyawa organik
seperti minyak, fenol, alkohol, dan gula tidak dapat dialiri arus listrik karena
memiliki konduktivitas yang rendah dalam air. Konduktivitas juga dipengaruhi oleh
suhu, semakin hangat air, konduktivitas semakin tinggi (Lukito, 2015).

186
DHL

136
134
120
Ohm-

86

67
36
Gambar 9. Grafik DHL Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 9. menunjukan bahwa DHL tertinggi berada pada


daerah hilir, sedangkan DHL terendah berada pada daerah hulu. Hal ini disebabkan
karena banyaknya kandungan bahan-bahan organic maupun anorganik di dalam air
yang dapat menghantarkan listrik. Hal ini sesuai dengan pendapat Soraya (2014) yang
menyatkan bahwa Tingginya daya hantar listrik menandakan banyaknya jenis bahan
organik dan mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan. Tingginya nilai DHL
diperkirakan akibat ionisasi garamgaram terlarut dari aktivitas manusia. Rahman et al
(2013) juga menjelaskan bahwa semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat
terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. Perbedaan konduktivitas pada setiap
stasiun juga dipengaruhi oleh komposisi, jumlah ion terlarut dan suhu.

Merujuk pada standar baku air yang ditulis oleh Pasisingi et al., 2014, hasil
penelitian DHL Sungai Banjaran masih memenuhi standar baku kualitas air yaitu
pada kisaran 139-186 NTU. Dengan kondisi seperti ini Sungai Banjaran masih layak
digunakan untuk kehidupan organisme. Hal ini sesuai dengan pernyatan Sari (2013)
yang menyatkan bahwa Konduktivitas air yang layak untuk kehidupan organsme
perairan yaitu dibawah 400 µs. Konduktivitas perairan melebihi 400 µs akan
membuat organisme atau makhluk hidup stress dan menyebabkan kematian.
Pujiastuti et.al. (2013) menyebutkan jika di perairan sungai terdapat banyak partikel
maka daya hantar listrik tinggi.

4.2.9. Warna Air


Warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan anorganik;
karena keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam (misalnya besi dan mangan),
serta bahan-bahan lain. Adanya oksida besi menyebabkan air berwarna kemerahan,
sedangkan oksida mangan menyebabkan air berwarna kecoklatan atau kehitaman
(Hefni Effendi, 2003 dalam Ramadhani, 2016). Selain itu adanya fitoplankton
sebagai tumbuhan terapung kecil yang tersebar di seluruh kolam juga tururt berperan
dalam penentuan warna perairan. Dalam jumlah yang banyak, fitoplankton akan
menyebabkan air kelihatan berwarna (Mustofa, 2015). Warna air sungai berubah-
ubah karena perubahan musim dan hujan. Perbedaan warrna pada perairan
disebabkan oleh perbedaan komposisi mineral. Warna air yang lebih hitam kaya
akan alumunium dan bahan organic dalam larutan, sedangkan air yang jernih kaya
akan ion kalsium dan kalium (Assomo, 2015).
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, terdapat perbedaan
warna pada perairan Sungai Banjaran pada daerah hulu, tengah dan hilir.. Pada bagian
hulu sungai didapatkan warna air bening, pada bagian tengah didapatkan warna air
coklat, sedangkan pada hilir sungai didapatkan warna air coklat pekat. Hasil ini tidak
sesuai dengan standar baku kualitas air menurut PP No. 82 Tahun 2001 yang
menghendaki warna air tidak berwarna. Menurut Sastrawijaya (2000) dalam
Pujiastuti et.al. (2013), warna air memiliki hubungan dengan kualitas perairan. Warna
perairan dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut dan padatan tersuspensi.
Peningkatan kekeruhan dan warna yang terjadi selama eutroikasi menyebabkan air
tidak sesuai untuk rumah tangga atau sulit dikelola sampai memenuhi baku mutu air
minum. Warna air keruh disebabkan karena banyaknya aktifitas buangan di sekitar
perairan (Gusmaweti, 2015).

4.2.10. Bau Air


Bau dalam air dihasilkan oleh adanya organisme dalam air seperti alga serta
oleh adanya gas seperti H2S yang terbentuk dalam kondisi anaerobik dan oleh adanya
senyawa-senyawa organik tertentu. Kualitas air bersih yang baik adalah tidak berbau,
karena bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti bakteri serta
kemungkinan akibat tidak langsung dari pencemaran, terutama sistem sanitasi
(Tilome, 2014). Persoalan bau di perairan secara umum disebabkan oleh empat
penyebab, antara lain rendahnya tingkat kandungan oksigen menyebabkan kondisi
anaerob, beberapa tipe alga, polusi kimia dan kondisi geologi. Peningkatan tingkat
kandungan oksigen dan berputarnya air kaya oksigen di dalam air, serta kondisi
anaerob dapat diminimalkan dan gas bau dapat dihilangkan dari air (Putra, 2013).
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa bau air pada daerah hulu,
tengah dan hilir Sungai Banaran sama yaitu berbau tanah. Hal tersebut tidak sesuai
dengan PP No. 82 Tahun 2001 bahwa perairan yang baik tidak berbau. Hal ini
disebabkan karena bau yang berasal dari substrat dasar perairan serta adanya limbah
yang masuk ke badan sungai. Hal ini sesuai denga pendapat Ramadhani (2016) yang
menyatakan bahwa bau merupakan petunjuk adanya pembusukan air limbah. Limbah
cair industri berpotensi mengandung senyawa berbau ataupun senyawa yang potensial
menghasilkan bau selama proses pengolahan limbah cair. Munculnya bau busuk yang
sangat menyengat, yang menandakan bahwa telah terjadi pemasukan bahan pencemar
yang menyebabkan adanya reaksi pelepasan gas, baik yang berasal dari proses
dekomposisi, oksidasi, maupun gas dari kandungan senyawa kimia dari limbah itu
sendiri (Mustofa, 2015). Air yang berbau busuk, kemungkinan disebabkan karena
campuran dari nitrogen, sulfur dan pospor. Bau tersebut tercium karena terbentuk
asam sulfur dan amoniak. Bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik
seperti bakteri oleh mikroorganisme air serta kemungkinan akibat tidak langsung dari
pencemaran lingkungan, terutama sistem sanitasi (Pujiastuti et.al., 2013).
4.2.11. Tipe Substrat
Substrat dipengaruhi oleh kecepatan arus yang mengalir pada sungai tersebut.
Pada bagian sungai yang berarus relatif cepat, komposisi substratnya berupa batu-
batuan, kerikil dan pasir kasar. Sedangkan sungai yang berarus relatif lambat
cenderung pasir halus, lumpur, sampai liat (Pancawati dkk, 2014). Pengendapan
partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada kecepatan arus, apabila arus lemah
maka yang akan mengendap adalah lumpur halus (Odum, 1971 dalam Fisesa, 2014).
Berdasarkan pengamatan, tipe substrat sungai bagian hulu Sungai Banjaran
bentuknya batuan, kemudian sungai bagian tengan adalah batuan berpasir dengan
ukuran batu yang relatif sedang. Sedangkan untuk sungai bagian hilir bersubstrat
lumpur. Hasil ini sesuai dengan standar baku yang ditulis oleh Pasisingi et al., 2014
yang menyatakan bahwa tipe substrat dasar yang baik adalah batu & berpasir.
Kecepatan arus, di sungai bagian hilir memiliki kecepatan arus yang tidak terlalu
besar, sehingga hal ini membuat tipe substrat di bagian hulu berpasir atau berlumpur.
Astrini et al., (2014) menyatakan bahwa tipe substrat dasar muara pada umumnya
berupa lumpur (silt) dan liat (clay). Subtrat yang berupa lumpur menunjukan bahwa
di daerah muara mempunyai tingkat sedimentasi yang cukup tinggi. Sedimen ini
berasal dari daerah hulu sungai yang membawa material tanah daratan yang tererosi
menuju ke bagian hilir. Selain itu dapat juga disebabkan oleh adanya abrasi yang
cukup tinggi sehingga memberikan kontribusi sedimen yang terbawa ke muara.
Fernedy (2008) dalam Pamuji (2015) yang mangatakan bahwa perairan dengan arus
yang kuat akan mengendapkan partikel dengan ukuran besar, sebaliknya perairan
dengan arus yang lemah akan mengendapkan partikel lumpur halus. Selain itu juga
besar kecilnya laju sedimentasi dipengaruhi oleh debit sungai karena debit sungai
membawa suplai sedimen menuju daerah muara sungai.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasa di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Teknik pengukuran sifat fisik air Sungai Banjaran berbeda-beda tergantung
dari parameter yang diukur. Suhu diukur menggunakan termometer celcius,
kecepatan arus diukur menggunakan tali penduga yang diikatkan pada botol
berisi 80% air, debit air dengan metode cross sectional area, TSS dengan
metode gravimetri, TDS dan Konduktivitas dengan metode potensiometri,
kekeruhan dengan metode nephelometri, warna, tipe substrat menggunakan
metode organoleptic sedangkan bau menggunakan indra penciuman.
2. Perbandingan sifat fisika air Sungai Jengok dari hulu ke hilir sangat berbeda.
Di Stasiun hulu kualitas masih baik dan belum terlalu tercemar, sedangkan di
stasiun hilir sudah tercemar oleh limbah organik maupun anorganik. Faktor-
faktor fisika yang mempengaruhi kualitas air Sungai Jengok yaitu suhu,
kecepatan arus, debit air, TSS (Total Suspended Solid), TDS (Total Disolved
Solid), tipe substrat, warna dan bau air.

5.2. Saran
Saran untuk praktikum selanjutnya yaitu peralatan praktikum jumlahnya
diperbanyak sehingga praktikum akan lebih mudah dan lebih cepat selesai.
DAFTAR PUSTAKA

Agustira, Riyanda dkk. 2013. “Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika, dan Debit
Sungai pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan Limbah Tapioka”.
Jurnal Online Agroekoteknologi. 1(3) :615-625

Ali, A., Soemarno, & M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu Air
Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari. Vol
13 No 2 : 265-274.

Asmawi, G. 1983. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.

Assomo, Samba. 2015. “An Explanation of thr Black Color of River Nyong Water’s
and Associated Alluviums (Cameroon)”. International Journal of
Geosciences. 6 : 388-392.

Astrini, A. D. R., Muh. Yusuf dan S. Adi. 2014. Kondisi Perairan Terhadap Struktur
Komunitas Makrozoobenthos Di Muara Sungai Karanganyar dan Tapak,
Kecamatan Tugu, Semarang. Journal Of Marine Research 3(1): 27-36.

Astuti, Chatarina Rifki. 2015. Keanekaragaman Spesies dan Distribusi Longitudinal


Ikan di Sungai Kreo Semarang Sehubungan dengan Air Lindi TPA
Jatibarang Semarang. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Barus, Susanti L., Yunasfi dan Suryanti, A. 2013. Keanekaragaman dan kelimpahan
Perifiton di Perairan Sungai Deli Sumatera Utara. Artikel. Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara. Medan.

Bhagawati, D., M.N Abulias, & A. Amurwanto. 2013. Fauna Ikan Siluriformes Dari
Sungai Serayu, Banjaran, Dan Tajum Di Kabupaten Banyumas. Jurnal
MIPA .36 (2): 112-122

Djumanto., Namasta Probudunu., Rudy Ifriansyah. 2013. Indek Biotik Famili


Sebagai Indikator Kualitas Air Sungai Gajahwong Yogyakarta. Jurnal
Periakanan. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta. 15(1) : 26-34

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Konsius. Yogyakarta.

Farichi, A., Bambang, S dan Liliya, D.S. 2013. Analisa Kualitas Perairan Sungai
Klinter Nganjuk berdasarkan Indeks Diversitas dan Saprobik Plankton.
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 1 (2): 1-12.
Fisesa,Erni Dian., Isdradjad Setyobudiandi., Majariana Krisanti. 2014. Kondisi
Perairan Dan Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Sungai Belumai
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Depik. Sumatera Utara .
3(1) : 1-9

Gallegos, C. L. 2005. Optical Water Quality of a Blackwater River Estuary: the


Lower St. Johns River, Florida, USA. Estuarine, Coastal and Shelf Science.
63 : 57-72.

Gusmaweti & Lisa Deswanti. 2015. Analisis Parameter Fisika-Kimia sebagai Salah
Satu Penentu Kualitas Perairan Batang Palangki Kabupaten Sijunjung,
Sumatera Barat. Sumatera Utara

Hawkes. 1975. River Zonation and Classification in River Ecology In. 312-373 p.

Inayati, R. & Suhadi. 2013 Studi Kandungan TDS, BOD, COD, dan Amonia pada
Air Tanah Dangkal di Desa Gebangmalang Kecamatan Mojoayar Kabupaten
Mojokerto. Jurnal UNESA. 2(3) :16-22

Lukito, Arwa Farida. 2015. Hubungan Kualitas Air Embung untuk Irigasi dengan
Karakteristik Fisikokimia Lahan Pertanian. Skripsi. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.

Mantaya, S., Mijani Rahman., Zairina Yasmi. 2016. Model Storet dan Beban
Pencemaran Untuk Analisis Kualitas Air di Bantaran Sungai Batu Kambing,
Sungai Mali-Mali dan Sungai Riam Kiwa Kecamatan Aranio Kalimantan
Selatan. Fish Scientiae (Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan) 6(11): 35-
52. Jurnal blm download

Mustofa, A. 2015. Kandungan Nitrat dan Pospat sebagai Faktor Tingkat Kesuburan
Perairan Pantai. Jurnal DISPORTEK. 6(1) :13-19 di keep line jurnalnya

Neno, A. K., Herman Harijanto., Abdul Wahid. 2016. Hubungan Debit Air Dan
Tinggi Muka Air Di Sungai Lambagu Kecamatan Tawaeli Kota Palu. Jurnal
Warta Rimba. 4(2): 1-8. Jurnal blm download

Nuzula N. I. dan Endarko. 2013. Perancangan dan Pembuatan Alat Ukur Kekeruhan
Air Berbasis Mikrokotroler ATMega 8535. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2
(1) : 1-5.

Pancawati, Dika Nugraini., Suprapto, dan Purnomo. 2014. Karakteristik Fisika Kimia
Perairan Habitat Bivalvia di Sungai Wiso Jepara. Diponegoro Journal of
Maquares. 3 (4): 141-146.
Passingi, Nuralim., Niken Pratiwi., Majariana T. M. K. 2014. Water Quality Of The
Cileungsi River Upstream Based On Physical-Chemical Conditions. Depik.
3(1): 56-64.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Tentang Syarat-syarat dan
Pengawasan Kualitas Air. Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Pujiastuti, Peni., Bagus Ismail dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemar
Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains. 5 (1): 59 – 66.

Putra, Adi Syaf. 2014. Analisis Distribusi Kecepatan Aliran Sungai Musi (Ruas
Sungai : Pulau Kemaro Sampai Dengan Muara Sungai Komering). Jurnal
Teknik Sipil dan Lingkungan. Jurusan Teknik Sipil Universitas Sriwijaya.
Palembang 2 (3) : 604-608.

Rafitri, R., T.R Setyawati, & A.H Yanti. 2015. Struktur Komunitas Fitoplankton di
Perairan Gambut Sungai Ambawang Desa Pancaroba Kecamatan Sungai
Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Protobiont. 4(1) : 253-259

Rahman, A., Kresna, D.M., dan Anni, N. 2013. Analisis Kandungan Merkuri (Hg)
pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Budidaya Keramba di Sekitar
Waduk Riam Kanan Kecamatan Aranio. Bioscientiae. 10 (1): 125-140.

Ramadhani, Endi. 2016. Analisis Pencemaran Kualitas Air Sungai Bengawan Solo
Akibat Limbah Industri Di Kecamatan Kebakkramat Kabupaten
Karanganyar. Publiksasi Karya Ilmiah. Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Rizal, Emiryati dan Abdullah. 2013. Pola Distribusi dan Kepadatan Kijing Taiwan
(Anadonta woodiana) di Sungai Awoeka Kabupaten Konawe. Jurnal Mina
Laut Indonesia. 2 (6): 142-153.

Sarwadi & P. Ardian. 2014. Pengaruh Konsentrasi Arang Ampas Tebu terhadap Daya
Serapnya pada Limbah Cair Kelapa Sawit. Jurnal Fisika Unand. 3 (3): 128-
135.

Simanullang, F., Djuwito, & A. Ghofar. 2016. Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan
pada Ekosistem Mangrove di Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang.
Diponegoro Journal of Maquares. 5(4) : 199-208

Siregar, A. S. Toni, P. S. Setijanto. 2001. Studi Ekologi Fauna Benthik


(Macrobrachidium) di Sungai Banjaran, Pelus, dan Logawa, Kabupaten
Banyumas. Biosfera. 19 (1).
Soraya, Z. Hanafiah, & Y. Windusari. 2014 Analisis Fisik Kimia Perairan untuk
Mendeteksi Kualitas Perairan Sungai Rambang Kabupaten Ogan Ilir
Sumatra Selatan. Biospecies 7(2) : 43-46.

Supiyati., Halaluddin., Gandika Ariyanti. 2013. Karakteristik dan Kualitas Air di


Muara Sungai Hitam Provinsi Bengkulu dengan Software Som Toolbox 2.
Junal Ilmu Fisika Indonesia. FMIPA Universitas Bengkulu. Bengkulu . 1 (2)
: 67-72
Tilome, Sri Wahyuni R. 2014. Uji Kualitas Fisik Air pada Sarana Air Bersih Program
Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) di
Desa Ilohungayo Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo. Thesis.
Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

Triatmojo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta.

Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam
Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai