Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM

EKOSISTEM PESISIR

Disusun Oleh :

Kelompok : 4 (empat)

Haniya Ayu Aufika (L1A017005)

Dimas Setiawan (L1A017008)

Rizky Ade Candra (L1A017016)

Dondy Prasetyo Negoro (L1A017026)

Tri Retno Murtanti (L1A017039)

Yuli Nurhayati (L1A016048)

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2019
DAFTAR ISI (diisi ketika sudah di acc)

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang mempunyai manfaat

sangat luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Besarnya peranan

hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis flora fauna

yang hidup dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem

mangrove. Tingkat pemanfaatan sumberdaya mangrove menimbulkan sejumlah

dampak negatif. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena

adanya peningkatan kegiatan mengkonversi hutan mangrove seperti pembukaan

tambak, pengembangan kawasan industri, pertambangan, pemukiman di kawasan

pesisir, perluasan areal pertanian, serta pengambilan kayu mangrove secara besar-

besaran (Hilda et al, 2015).

Ekosistem hutan mangrove adalah salah satu ekosistem utama di wilayah

pesisir dan laut. Jumlah hutan mangrove yang terdapat di dunia sebanyak 15,9 juta

ha, 27% dari jumlah tersebut berada di Indonesia. Ekosistem mangrove mempunyai

nilai penting dalam aspek ekologis, ekonomis, dan sosial. Secara ekologis mangrove

menjadi daerah asuhan (nursery), tempat berlindung, mencari makan (feeding), dan

tempat memijah (spawning) beberapa jenis ikan, udang, kerang-kerangan, dan biota

lainnya. Selain itu, ekosistem ini merupakan habitat alami beberapa jenis burung,

mamalia, reptilia, insekta, dan moluska serta merupakan sumber keanekaragaman

hayati (biodiversity) dan gudang plasma nutfah (genetic pool) (Rahman, 2016).

Menurut Uddin et al (2013) dalam Revaldo (2017). Mangrove merupakan

ekosistem hutan yang berada di zona intertidal daerah tropis maupun sub tropis.
mangrove juga dianggap sebagai salah satu ekosistem paling produktif di dunia,

karena menyediakan jasa lingkungan bagi kehidupan mahluk hidup lain di

sekitarnya. Adapun jasa ekosistem mangrove yaitu: (a) sebagai tempat pembesaran

(nursery ground), penangkapan (fishing ground) serta penyedia makanan (feeding

ground) bagi biota laut seperti ikan, kepiting, reptil, dll., (b) pakan bagi hewan ternak

dari pengolahan dan cabang mangrove, (c) bahan baku obat - obatan tradisional

melalui pemanfaatan daun mangrove yang mengandung saponin, flavonoid dan

tanin (d) pelindung garis pantai dari erosi pantai dan abrasi akibat gelombang

ekstrim dan (e) pengendali pencemaran laut dari limbah rumah tangga maupun

industri serta (f) penangkap sedimen yang bersumber dari kegiatan konstruksi di

darat.

I.2. Tujuan
1. Untuk mengetahui tipe-tipe ekosistem di hutan payau tritih dan pantai

teluk penyu
2. Untuk mengetahui analisis vegetasi dan factor lingkungan di hutan payau

tritih dan pantai teluk penyu


3. Untuk mengetahui analisis peruntukan dan kondisi lingkungan di hutan

payau tritih dan pantai teluk penyu


II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Ekosistem pesisir

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat

wilayah pesisir dibagi meliputi bagian daratan. Baik kering maupun terendam air

yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan

perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut

yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi

dan aliran air tawar yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat termasuk

penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir memiliki arti strategis

karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut

yang berkesinambungan. Di wilayah pesisir terdapat sumberdaya pesisir yang

sangat kaya. Sumberdaya tersebut meliputi : Sumber daya yang dapat pulih

(renewable resources) seperti ikan, mangrove, lamun dan terumbu karang: Sumber

daya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti mineral , pasir laut,dan

garam (Suprihayono,2002 dalam Novan Prasetya, 2018).

II.2. Tipe-tipe ekosistem

Ekosistem di bagi menjadi 2 tipe ekosistem yaitu ekosistem alami dan ekosistem

buatan. Eksosistem buatan merupakan ekosistem yang komponen-komponennya

biasanya kurang lengkap, memerlukan subsidi energi, memerlukan pemeliharaan

atau perawatan, mudah terganggu, dan mudah tercemar. Dari pernyataan tersebut

dapat disimpulkan bahwa ekosistem buatan merupakan ekosistem yang

dipengaruhi oleh campur tangan manusia,contohnya adalah sawah, danau buatan


dan ekosistem pertanian. Ekosistem alami merupakan ekosistem yang komponen-

komponennya lengkap, tidak memerlukan pemeliharaan atau subsidi energi karena

dapat memelihara dan memenuhi sendiri, dan selalu dalam keseimbangan

(Irwan,2017). Pada pengertian lain, secara umum ekosistem alam dibedakan

menjadi ekosistem darat dan ekosistem perairan.). Berdasarkan perbedaan salinitas,

ekosistem perairan dibagi menjadi beberapa, yaitu perairan tawar, perairan payau,

dan perairan laut (Rangkuti,2017).Ekosistem darat juga dibagi menjadi beberapa

jenis yang dijelaskan oleh Cartono dan Nahdiah (2008, ) mengatakan, “Karakteristik

ekologi secara mendasar dari berbagai bentuk ekosistem darat, yaitu : padang pasir,

tundra, padang rumput dan hutan.

II.3. Vegetasi mangrove

Mangrove bisa diartikan sebagai sebuah individu tumbuhan atau komunitas

tumbuhan yang hidup di kawasan pesisir yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh

pasang surut air laut (Tomlinson, 1994 dalam Annas et al., 2013). Ekosistem mangove

mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan

ekosistem-ekosistem yang ada di sekitarnya. Secara fisik, tegakan mangrove

memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan

badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian

dari angin kencang atau intrusi air laut (Rusila Noor et al, 2006 dalam Annas et al.,

2013). Di sisi lain pemanfaatan yang berlebihan telah mengakibatkan ekosistem

mangrove mengalami kerusakan yang memprihatinkan sehingga mengancam


kelestariannya, kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia sudah tergolong cukup

parah yaitu sudah mencapai 68% (Saputro et al., 2009 dalam Annas et al., 2013).

Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem hutan yang paling produktif di

dunia juga mengalami tekanan yang sama. Tindakan perluasan lahan permukiman

dan tambak di wilayah pesisir menyebabkan degradasi hutan mangrove menjadi

sangat tinggi mengingat mangrove memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik

yang meliputi pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin dan ombak,

penyimpan cadangan karbon serta penghasil unsur hara (Hussain dan Badola,

2008). Fungsi biologis yang meliputi tempat bertelur dan asuhan biota, tempat

bersarang burung, maupun habitat biota laut lainnya, serta fungsi ekonomi yang

meliputi sumber kayu, hasil perikanan, pertanian, buah, bahan baku kertas, kulit

dan obat-obatan (Zulkarnaini, 2012 dalam Dandy, 2015).

II.4. Factor lingkungan

Derajat keasaman (pH) merupakan merupakan ukuran asam basa dalam suatu

perairan dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan organisme

perairan, sehingga dapat dipergunakan sebagai petunjuk baik buruknya suatu

perairan sebagai lingkungan hidup (Hasim et al., 2015). Perubahan nilai pH suatu

perairan terhadap organisme aquatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH

yang bervariasi. Kisaran pH perairan laut yang masih alami, menurut Effendi (2003)

dalam Gundo et al. (2011) berada pada kisaran sekitar 7,4 sampai 8,5. Apabila nilai

pH kurang atau melebihi kisaran tersebut mengindikasikan bahwa diperairan

terjadi pencemaran atau akibat tingginya aktifitas biologis.


Tinggi rendahnya pH dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan O 2 maupun CO2

(Sari, 2006 dalam Rukminasari et al. 2014). Pada konsentrasi yang besar CO 2 juga

masuk ke dalam perairan sehingga mengakibatkan perubahan parameter kualitas

air khususnya pH air dan sistem karbonat. Pengasaman laut, mengakibatkan

terganggunya kehidupan organisme laut (Soemarwoto, 2001 dalam Rukminasari et

al., 2014). Tingkat keasaman air laut mempengaruhi pengendapan logam dalam

sedimen semakin tinggi nilai pH maka akan semakin mudah terjadi akumulasi

logam.

Temperatur adalah parameter kualitas fisik air yang penting bagi kehidupan

organisme perairan. Hellawel (1986) dalam Muhlis (2011) menjelaskan bahwa suhu

termasuk faktor pengontrol ekologi komunitas perairan. Organisme perairan

mempunyai toleransi terhadap suhu untuk menunjang kelangsungan kehidupannya

(Muhlis, 2011). Temperatur atau suhu merupakan faktor pembatas yang dapat

mempengaruhi laju kehidupan ikan maupun organisme lain yang hidup di dalam

perairan. Suhu juga berpengaruh terhadap sifat kimia suatu perairan dan distribusi

organisme akuatik (Siahaan, 2011).

Suhu permukan laut biasannya berkisar antara 0 – 30 0C (Hutabarat, 1986 dalam

Nova dan Misbah, 2012). Suhu sangat penting dalam mengatur proses fisiologis dan

penyebaran organisme laut (Nybakken, 1992). Temperatur atau suhu merupakan

faktor pembatas yang dapat mempengaruhi laju kehidupan ikan maupun

organisme lain yang hidup di dalam perairan. Suhu juga bepengaruh terhadap sifat

kimia suatu periaran dan distribusi oragnisme akuatik (Siahaan, 2011). Interaksi
yang terjadi menunjukan adanya hubungan sebab akibat diantara keduanya.

Pengaruh suhu dapat diamati pada proses metabolisme, proses fisioligis,

pertumbuhan, serta pola penyebaran ikan.

Odum (1971) menyatakan bahwa kecepatan arus secara tidak langsung

mempengaruhi substrat dasar perairan. Sedangkan Nybakken (1992) menyatakan

bahwa perairan yang arusnya kuat akan banyak ditemukan substrat berpasir.

Kebanyakan estuary didominasi oleh substrat lumpur. Tingginya persentase

lumpur pada stasiun yang berada di dalam muara karena perairan ini terlindung

dari penga-ruh gelombang laut serta banyaknya bahan organik atau detritus yang

dibawa air sungai menumpuk di perairan ini, terutama pada saat arus lambat

(Nybakken, 1992).

Salinitas dipandang sebagai salah satu variabel yang paling penting dalam

mempengaruhi pemanfaatan organisme muara .Faktor yang mempengaruhi

perbedaan nilai salinitas adalah cuaca dan angin (Patty, 2013). Sebaran salinitas di

laut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah

hujan dan aliran sungai (Nontji, 2002 dalam Patty, 2013). Pada umumnya nilai

salinitas wilayah laut Indonesia berkisar antara 28-33 0/00 (Nontji, 2002 dalam Patty,

2013).

Oksigen Terlarut / Dissolved Oxygen (DO) adalah salah satu parameter yang

penting yang berkorelasi dengan badan perairan baik langsung maupun tidak

langsung seperti aktivitas bakteri, fotosintesis, ketersediaan nutrien di suatu

perairan dan stratifikasi (Patil et al, 2012). Menurut Siagian (2015) menyatakan
bahwa, konsentrasi oksigen terlarut pada suatu perairan berkurang secara perlahan

dengan bertambahnya kedalaman. Secara umum konsentrasi oksigen terlarut pada

suatu perairan sebaiknya tidak kurang dari 2 mg/l dengan persyaratan bebas dari

bahan-bahan toksik. Ikan tawar yang hidup di perairan sungai membutuhkan

konsentrasi oksigen terlarut minimal 3 mg/l.

Sumber utama oksigen dalam suatu perairan selain dari proses fotosintesis

adalah difusi dari udara bebas. Keceptan difusi oksigen dari udara, tergantung dari

beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan

udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Dengan bertambahnya kedalaman

akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut karena proses fotosintesis semakin

berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk proses

metabolisme. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena

adanya proses difusi antara air dengan udara (Hadi, 2012).

II.5. Kondisi lingkungan pesisir

Kawasan pesisir merupakan suatu kawasan yang memiliki kekayaan sumber

daya alam hayati (sumber daya ikan, terumbu, padang lamun, mangrove dan biota

laut lain) dan non-hayati (pasir, air laut, mineral dasar laut dan lainnya). Sumber

dari kerusakan dan pencemaran lingkungan pesisir diantaranya berupa faktor alam,

yaitu tsunami, perubahan kimia, gempa bumi dan oleh aktivitas manusia seperti

penggunaan bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan, pencemaran limbah

bahan kimia (detergen), penggunaan lahan budi daya perairan dan keramba jaring

apung, eksploitasi terumbu karang, dan aktivitas pesisir lainnya. Menurut Pratikto
(2003), kerusakan dan pencemaran lingkungan pesisir dapat berpengaruh secara

langsung terhadap penurunan kualitas perairan sebagai habitat perikanan sehingga

menyebabkan berkurangnya sumber daya ikan dan fungsi estetika lingkungan

pesisir. ( Praktikto, 2003 dalam Saraswati, et. al., 2017).

III. MATERI DAN METODE


III.1. Materi

3.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah Transek ukuran 2x2, 5x5, dan

10x10, meteran, plastik, Hand Refraktometer, organoleptik, Botol Winkler,

Turbidimeter, Termometer, Labu Erlenmeyer, dan pH paper universal.

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah Sampel air, Larutan KOH-KI,

Larutan Na2S2O3 , Larutan H2SO4, Indikator amilum, dan aquades.

III.2. Metode
III.2.1. Tipe Ekosistem

Analisis ekosistem yang ada

Catat tipe ekosistemnya

III.2.2. analisis vegetasi dan factor lingkungan


Hasil

Vegetasi Mangrove

- 10
Ukur vegetasi tingkat pohon (plot Untuk
x 10 pohon yang diukur adalah
m), pancang
(plot (5m x 5m) dan semaijenis
(2m dan keliling
x 2m)
- Untuk semai dan pancang yang
diukur jenis dan jumlah individu
setiap jenis
-
Hasil

Analisis Faktor Lingkungan

Ukur suhu, salinitas, TDS, Tekstur, pH, DO di perairan

Hasil
III.2.3. analisis peruntukan dan kondisi lingkungan

Analisis Peruntukan

Cek kondisi lingkungan

Hasil
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.1.1. Tipe Ekosistem

Tabel 1. Hasil Pengamatan Tipe Ekosistem

Loka Pl Tipe ekosistem


Mangro Pant Sung Saw Tamb Lam Kara Rump Ekosist
si ot
ve ai ai ah ak un ng ut em

lainnya
Triti 1  -   - - -  -
2  -   - - -  -
h 3  -   - - -  -
4  -   - - -  -
T. 1   - -  - -  -
2   - -  - -  -
Peny

3.1.2. Analisis Vegetasi Dan Factor Lingkungan


Table 2.
Loka Pl Vegetasi Faktor lIngkungan
Semai Pancang Pohon p Salinit Suh D TS Tekst
si ot
H as u O S ur
jeni jumla Jeni jumla Jeni Diamet

s h s h s er
Triti 1
2
h 3
4
T. 1
2
Peny

u
3.1.3. Analisis Peruntukan Dan Kondisi Lingkungan
Table 3. Analisis Peruntukan dan Kondisi Lingkungan
Plot Permasalahan

Peruntukan/pemanfaatan Permasalahan

Kondisi saat Idealnya sampah vegeta Sedimen abras pencemar biota Saran pemeca
ini si tasi i an

1 Mangrove Melakukan
- melakukan
tumbuh penataan
pembersihan
cukup mangrove Ada Ada Ada - Ada Ada
- melakukan pe
banyak. agar lebih
mangrove
rapi.
2 Sudah ada ada Ada - ada ada - Menyediakan
tercemar oleh pembuangan
limbah - Memaksimalk
domestik tambak
3 Sangat Perbanyak Ada Ada Ada - Ada Ada - sebaiknya

sedikit penanaman dilakukan

mangrove mangrove penanaman

untuk mangrove, d

kelangsung ditingkatkan
- dilakukan
an hidup
pembersihan
organisme
sampah aga

kebersihan

lingkungan

mangrove te

terjaga.
4 Sudah Pohon Ada Ada Ada - Ada Ada - reboisasi/pen

tercemari mangrove n
- pembuangan
oleh limbah tumbuh
pada tempatn
domestik lebat dan - restorasi kaw

kokoh serta mangrove


- perluasan kaw
daerahnya
hutan mangro
terjaga - edukasi kepa

kelestariann masyarakat te

ya mangrove
u 1 Tempat ada ada Ada ada Ada ada - Penyediaan te

Wisata; sampah
- Penanaman
kurangnya
mangrove
tempat - Pembuatan ta
- Pengelolaan
sampah
kebersihan ya
- Parkir yang k

luas dan kura

dikelola
2 tercemari Bebas dari Ada Ada Ada Ada Ada Ada - reboisasi/pen

oleh limbah sampah dan n


- pembuangan
minyak tumpahan
pada tempatn
pertamina minyak - memberikan

tegas kepada

pertamina
- meminimalisi
terjadinya tum

minyak
3.2. Pembahasan
3.2.1. Tipe Ekosistem

Tritih dan teluk penyu merupakan daerah estuari dan daerah pesisir.

Tritih merupakan daerah estuari, disana dapat ditemukan ekosistem

mangrove, mangrove yang terdapat di Tritih berada ditengah-tengah

pemukiman penduduk. Mangrove ini dijadikan sebagai tandon yang

berfungsi dalam pengembangan dan peningkatan kualitas tambak oleh

penduduk sekitar. Selain itu, di Tritih juga ditemukan ekosistem sungai,

sawah, dan rumput. Sedangkan teluk penyu yang merupakan wilayah

pesisir dapat ditemukan ekosistem mangrove, pantai, tambak, dan rumput.

Ekosistem mangrove yang ditemukan adalah mangrove asosiasi, yaitu

tanaman yang mampu beradaptasi juga namun tidak dapat mengeluarkan

zat garam dari dalam (Sunandar, 2017). Semua ekosistem yang berada di

Tritih dan Teluk Penyu saling berhubungan satu sama lain.

Ekosistem tritih dan Teluk Penyu memiliki perbedaan yang dapat

dilihat dari kerapatan dan keragaman mangrovenya. Ekosistem Tritih

merupakan wilayah estuari yaitu wilayah peralihan dari air tawar ke air laut.

Di ekosistem ini banyak ditemukan mangrove sejati seperti Rhizopora sp.,

Avicennia sp., Ceriops sp., dan lainnya. Hal ini dikarenakan ekosistem tritih

memiliki kondisi lingkungan baik substrat maupun salinitas masih bisa

ditoleransi oleh berbagai jenis tumbuhan mangrove, dan sesuai untuk

pertumbuhan mangrove (Agustini, 2016). Selain itu ekosistem ini juga masih

sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan memiliki salinitas yang bervariasi.
Sedangkan ekosistem teluk penyu merupakan ekosistem pesisir, yang juga

masih dipengaruhi oleh pasang surut namun sedikit daripada daerah

estuari. Sehingga di ekosistem ini lebih banyak ditemukan mangrove

asosiasi.

Konversi kawasan pesisir dan estuari menjadi kawasan permukiman,

industri, tambak ikan, dan udang merupakan penyebab utama rusaknya

kawasan pesisir. Perubahan tata guna lahan pesisir tersebut dapat

memengaruhi kondisi ekosistem pesisir, termasuk di antaranya ekosistem

mangrove yang merupakan vegetasi khas di kawasan pesisir dan estuari.

Untuk mempertahankan kelestarian ekosistem tersebut, suatu sistem

pengelolaan kawasan pesisir perlu memperhatikan prinsip kesinambungan

fungsi ekosistem terutama ekosistem mangrove yang saat ini semakin

banyak disalahgunakan. Ekosistem mangrove di kawasan pesisir yang

terpelihara, serta didukung dengan kesadaran dan kesamaan persepsi

berbagai pihak tentang pentingnya keberadaan eksosistem mangrove akan

berdampak terhadap keberlanjutan kawasan pesisir. Menjaga ekosistem

pesisir dan estuari salah satunya dengan menerapkan Program Pengelolaan

Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PBLPM), yaitu salah satu

upaya pemerintah untuk membangun kemandirian pemerintah daerah dan

menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menanggulangi permasalahan

lingkungan yang terjadi. Kelestarian ekosistem pesisir bukan hanya


tanggung jawab pemerintah atau perseorangan, melainkan tanggung jawab

semua orang, baik pemerintah maupun masyarakat (Martuti, 2018).

Karakteristik dari ekosistem pesisir yaitu memiliki beberapa jumlah

ekosistem yang berada di daerah pesisir. Contoh ekosistem lain yang ikut ke

dalam wilayah ekosistem pesisir adalah ekosistem estuari, ekosistem

mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Dari ekosistem

pesisir ini, masing-masing ekosistem memiliki sifat dan karakteristik yang

berbeda-beda, yaitu (Islamiyah, 2019):

1. Estuaria

Batasan yang umum digunakan saat ini, estuari merupakan suatu

perairan pantai yang semi tertutup, yang berhubungan dengan laut terbuka

dan merupakan pertemuan antara air laut dan tawar yang berasal dari

drainase daratan.

2. Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang

dibominasi beberapa spesies pohon mangrove pada daerah pasang-surut

pantai berlumpur.

3. Padang lamun

Padang lamun cukup baik pada perairan dangkal atau estuari apabila sinar

matahari cukup banyak.padang lamun mempunyai habitat dimana

tempatnya bersuhu tropis dan subtropis.

4. Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem dengan tingkat

keanekaragaman tinggi dimana di wilayah Indonesia ada sekitar 18%

terumbu karang dunia.

3.2.2. Analisis Vegetasi Dan Factor Lingkungan


- Jenis vegetasi apa saja yang ditemukan
(dikasih gambar)
- Bahas Kerapatan mangrove di tritih (Bikin grafik)
semai, pancang, pohon (Bikin grafik satu satu)
- Untuk yang diteluk penyu bahas kerapatan pohonnya (Bikin

grafik)
- Factor yang mempengaruhi kerapatan
- Analisis factor lingkungan
- Suhu, salinitas, TDS, Tekstur, pH, DO (dibahas satu satu)

bandingkan antara yang di tritih dan teluk penyu


- Jelaskan apakah factor lingkungan dapat mempengaruhi vegetasi
3.2.3. Analisis Peruntukan Dan Kondisi Lingkungan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa

kondisi lingkungan Tritih saat ini telah banyak tercmari oleh limbah baik

limbah industri ataupun limbah rumah tangga pada umumnya. Pada

kawasan Tritih ini di dominasi oleh vegetasi mangrove yang cukup banyak.

Pada kawasan Teluk Penyu kondisi lingkungannya sebagian besar

merupakan kawasa pariwisata dan memiliki vegetasi yang sedikit.

Permasalahan lingkungan Tritih maupun Teluk Penyu sebagian besar masih

berupa permasalahan sampah, dikarenakan kedua lingkungan tersebut yang

merupakan lingkungan pariwisata, sehingga diperlukan adanya pengelolaan

yang baik terkait dengan permasalahan sampah tersebut. Selain itu pada

lingkungan Teluk Penyu permasalahan yang ditemukan adalah berupa


sedimentasi dan abrasi yang sering pula ditemukan pada kawasan pantai

sebagai akbat dari hempasan ombak.

Permasalahan sampah ataupun penecamaran dapat diatasi dengan

penyediaan tempat sampah yang cukup atau memadai di sepanjang

kawasan pariwisata tersebut. Abrasi dan sedimentasi pantai sesungguhnya

adalah suatu bentuk keseimbangan interaksi antara faktor-faktor oseanografi

dan geologi di kawasan pesisir. Faktor-faktor oseanografi di antaranya

adalah gelombang, pasang surut dan arus sedangkan faktor geologi antara

lain adalah batuan penyusun pantai dan morfologi pantai. Pada kondisi

faktor oseanografi lebih kuat daripada faktor geologi, maka pantai akan

mengalami abrasi. Pada kondisi yang berbeda, yaitu faktor geologi lebih

kuat daripada faktor oseanografi, maka pantai akan mengalami sedimentasi

atau stabil (Morton 2004 dalam Hassanudin et al., 2018). Triatmodjo (2012)

menjelaskan, untuk menstabilkan garis pantai dapat dilakukan dengan cara

membangunan bangunan pantai berupa breakwater, revertment, atau groin

untuk mereduksi gelombang dan mengatur pola pergerakan sedimen pada

daerah pantai. Pantai Teluk Penyu merupakan pantai yang dinamis dan

rentan terhadap perubahan garis pantai baik karena proses alami maupun

aktivitas manusia. Bangunan groin pemeabel dipilih sebagai bangunan yang

bertujuan manstabilkan garis pantai pada Pantai Teluk Penyu. Pratikto, dkk

(1997) menjelaskan, groin adalah bangunan pelindung pantai yang


direncanakan untuk menahan/menangkap angkutan pasir sehingga pantai

menjadi stabil (Yustian et al., 2016).

Lingkungan Tritih idealnya merupakan kawasan yang difungsikan

sebagai area konservasi mangrove, area ini seharusnya bebas dari kawasan

pemukiman penduduk yang sebagian besar menyumbangkan sampah dan

membuat kawasan mangrove tersebut tercemar. Pemerintah seharusnya

lebih memerhatikan terkait dengan penataan dan pengelolaan lingkungan

mangrove tersebut. Kawasan Teluk Penyu merupakan kawasan pesisir yang

idealnya merupakan kawasan yang harusnya ditanami oleh mangrove

sebagai upaya untuk pencegahan abrasi dan sedimentasi pantai.

Pemanfaatan yang sudah dilakukan oleh masyarakat setempat baru terbatas

sebagai kawasan pariwisata, namun di kawasan Teluk Penyu terdapat

kawsan industri berupa industri minyak pertamina. Terkait dengan kondisi

tersebut, diperlukan regulasi dan kebijakan yang tepat dari pemerintah

daerah terkait pengelolaan kawasan mangrove dan kawasan pesisir serta

adanya kerjasama antar segala sektor baik pemerintah, pengelola, dan

masyarakat setempat dalam menjaga kawasan tersebut.


V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan (bahas tujuan)
V.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, Nela Tri, Zamdial Ta’alidin dan Dewi Purnama. 2016. Struktur Komunitas

Mangrove Di Desa Kahyapu Pulau Enggano. Jurnal Enggano. 1(1): 19-31.

Alikodra, Hadi S. 2012, Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Pendekatan

Ecosophy bagi Penyelamatan Bumi, cetakan ke-1, Gadjah Mada Universityy

Press:Yogyakarta.

Annas, Niharul., Suryono., Rudhi Pribadi. 2013. Kajian Konservasi Ekosistem Mangrove

Di Desa Pasar Banggi, Kabupaten Rembang. Jurnal Of Marine Research. 2 (2): 55 –

64
Ayu Saraswati, N., L., Yulius, Rustam, A., Salim H. L., Heriati A., Mustikasari E. 2017.

Kajian Kualitas Air Untuk Wisata Bahari di Pesisir Kecamatan Moyo Hilir dan

Kecamatan Lape, Sumbawa. Jurnal Segara. Vol.13(1) : 37-47

Cartono dan Nahdiah, R. (2008). Ekologi Tumbuhan, Biologi. Prisma

Gundro, Cakrwaila. 2011. Analisis Parameter Oseanografi di Lokasi Pengembangan

Eucheuma spinosum Pulau Nain Kabupaten Minahasa. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol

16(4), 2011.

Hasim, Koniyo Y, Kasim F. 2015. Parameter Fisik-Kimia Perairan Danau Limboto

Sebagai Dasar Pengembangan Perikanan Budidaya Air Tawar. Jurnal Ilmiah

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Vol 3(4), Desember 2015.

Hassanudin, M., dan Edi, K. 2018. Abrasi dan Sedimentasi di Kawasan Pesisir Kota

Bengkulu. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 3 (3) : 245-252.

Hilda, Fadhila., Suradi, Wijaya, Saputra., Dian, Wijayanto. 2015. Nilai Manfaat Ekonomi

Ekosistem Mangrove Di Desa Kartika Jaya Kecamatan Patebon Kabupaten

Kendal Jawa Tengah. Ejournal. 4(3): 180-187.

Islamiyah, Dina. 2019. Karakteristik Ekosistem Pesisir. Surabaya, Universitas Negeri

Surabaya.

Martuti, Nana K., T. 2018. Peran Kelompok Masyarakat dalam Rehabilitasi Ekosistem

Mangrove di Pesisir Kota Semarang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 6(2): 100-114.

Muhlis. 2011. Ekosistem terumbu karang dan kondisi oseanografi Perairan Kawasan

Wisata Bahari Lombok. Jurnal Berkala Penelitian Hayati (Journal of Biological

Researches). Vol.16 No.2 : 111-118


Nova, S., dan Misbah, M.N. 2012. Analisis Pengaruh Salinitas dan Suhu Air Laut

terhadap Laju Korosi Baja A36 pada Pengelasan SMAW. Jurnal Teknik ITS, 1: 75 -

77.

Novan Prasetya, M. 2018. Membangun Ekonomi Kota Medan Mulai Dari Peningkatan

Sumber daya Manusia di Daerah Pesisir. Jurnal Pendidikan ilmu-ilmu sosial. Vol

10(1) : 104-111

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd. Philadelphia

Patil P.P., Ware A. L., Aher S.J., Musmade, D.S., Gajere, S.P. 2012. Simultaneous Ratio

Derivative Spectrophotometric Estimation Of Aceclofenac and Tizandine With

Paracetamol in Combination Solid Dosage Forms. International Research Journal of

Pharmacy. 3 (8): 205 – 208

Patty, Simon, I. 2013. Distribusi Suhu, Salinitas Dan Oksigen Terlarut Di Perairan Kema,

Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax.1(3): 148-158.

Rahman, Mohammad M., Mir T. Rahman., Mohammad S. Rahaman., Farzana Rahman.,

Jasim U. Ahmad., Begum Shakera., Mohammad A. Halim. 2013. Water Quality of

the World’s Largest Mangrove Forest. Research Article. 1 (2): 141-156.

Rangkuti, Ahmad Muhtadi. 2017. Ekosistem Pesisir dan Laut Indonesia.Jakarta: Bumi

Aksara
Revalda, A, Y., B, Salakory., Nuddin, Harahab.,, Bagyo, Yanuwiadi. 2017. Valuasi

Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Di Kecamatan Teluk Ambon Baguala,

Maluku. Journal Of Economic And Social Of Fisheries And Marine. 05 (01): 1-12.

Rukminasari, N., Nadiarti., Khaerul, A.,2014. Pengaruh Derajat Keasaman (Ph) Air Laut

Terhadap Konsentrasi Kalsium Dan Laju Pertumbuhan Halimeda sp. Ilmu

Kelautan dan Perikanan. 24(1) : 28-34

Siagian, Maju., Asmika H. Simarmata. 2015. Provil Vertikal Oksigen Terlarut di Danau

Oxbow Pinang Dalam, Desa Buluh Cina-Siak Hulu, Kabupaen Kampar, Provinsi

Riau. Jurnal Akuatika. 6 (1): 87 – 94

Siahaan R.,A.Indrawan, D. Soedharma, B. L. Prasetyo, 2011. Kualitas Air Sungai

Cisadane Jawa Barat-Banten. Jurnal Ilmiah Sains.11(2), pp. 269-273.

Sunandar, Aditia P., et al., 2017. Struktur Komunitas dan Persebaran Mangrove Sejati di

Gisik Pantai Pasirmendit, Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Jurusan

Pendidikan BIologi. Universitas Negeri Yogyakarta, ISBN 978-602-97298-6-3.

Yustian, A., Denny, N.S., dan Dwi, H.I. 2016. Studi Efektivitas Groin Terhadap

Perubahan Garis Pantai di Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap. Jurnal

Oseanogrfi, 5 (3) : 406-414.

Anda mungkin juga menyukai