Anda di halaman 1dari 21

Menu

diekz's Blog
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa !

Lingkungan Hidup
EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA  [1]
Didiek S. Hargono [2]

 
Sumber : http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/definisi- mangrove.html
PENDAHULUAN
Indonesia yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa adalah sebuah negara kepulauan yang
terbentang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Lebih dari 17.508 pulau telah
tercatat, 6.000 di antaranya merupakan pulau berpenghuni. Indonesia juga diberkahi dengan
lintasan khatulistiwanya di area Asia Tenggara. Luas total daratan mencapai 1.811.570 km2
dan 63 persen (1.134.330 km2) masih berupa hutan. Sementara itu luas total wilayah air
adalah 317 juta hektare termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) 473 ribu hektare.

Kekayaan alamnya yang memiliki 25.000 hingga 30.000 spesies tumbuh-tumbuhan atau
sekitar 10% dari jumlah total spesies tumbuhan yang ada di dunia, walaupun luas Indonesia
hanya 1,3% dari permukaan bumi, saat ini lebih dari 590 spesies tumbuhan di Indonesia
dalam resiko akan terancam punah atau telah punah.

Indonesia setidaknya mempunyai 47 ekosistem unik. Walaupun luasnya hanya 1,3 persen
dari permukaan dunia, namun 17 persen dari spesies di dunia hidup di Indonesia, melebihi
segala bentuk kehidupan dari seluruh Benua Afrika.

Dalam hal kelautan Indonesia menempati pusat Indo-pacific biogeographic kelautan dan
posisinya yang strategis antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sehingga tidak
mengherankan jika sangat kaya akan variasi kelautan dan pesisirnya. Misalnya, hutan
mangrove terbesar di Asia, padang lamun, dan hamparan terumbu karang. Indonesia
mempunyai hutan mangrove seluas 3,8 juta hektare yana menempatkan Indonesia sebagai
pemilik hutan mangrove terbesar di dunia. Disusul oleh Nigeria 3,24 juta hektare dan
Australia 1,6 juta hektare. Panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya
pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun non hayati. (Kementerian Negara Lingkungan
Hidup dan Konphalindo, Atlas of Biodiversity in Indonesia. Jakarta. 1995).

Hutan mangrove Indonesia sendiri memiliki jenis atau keanekaragaman hayati yang terbesar
di Asia Tenggara dengan memiliki 48 spesies, sebagaimana tergambar pada Gambar 1. 
berikut :
Gambar 1.  Jumlah Spesies Mangrove di Asia Tenggara

Sumber : RAP PUBLICATION 2006/07. MANGROVE GUIDEBOOK FOR SOUTHEAST


ASIA. Wim Giesen, Stephan Wulffraat, Max Zieren and Liesbeth Scholten. FAO and
Wetlands International, 2006
Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan  dan laut, sehingga wilayah ini
dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat  maupun yang ada di laut. Wilayah
demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau
lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Erna Rochana –
P.31600021/SPL http://www.freewebs.com/irwantomangrove/mangrove_kelola.pdf (Kaswad
ji, 2001). Sebagai daerah transisi,  ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua
komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain
yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya  lebih besar dari dari
komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan
rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi  ekologis hutan
mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat
tinggal),  tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai
pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain penghasil keperluan rumah
tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.

Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi  ekosistem


mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak,
pemukiman, industri,  dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai
keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan  rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove,
yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya
dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua
ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan
pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala
diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.

Gambar 2. Contoh Potongan Melintang Hutan Mangrove


Sumber : White, A.T., P. Martosubroto & M.S.M. Sadorra, (ed.’s) (1989) – The coastal
environmental profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM Technical
Reports 25, 82 pp.. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila,
Philippines.

PENGERTIAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE


Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur
tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh
iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran
Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan
kelerengan  kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon-pohon yang khas  atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang
tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga :  Avicennie, 
Sonneratia,  Rhyzophora,  Bruguiera,  Ceriops,  Xylocarpus, Lummitzera,  Laguncularia, 
Aegiceras,  Aegiatilis,  Snaeda, dan  Conocarpus  (Bengen, 2000).

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau
masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air
laut);  dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Agar
tidak menimbulkan kerancuan, Macnae menggunakan istilah “mangal” untuk menyebut
“komunitas hutan” dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh
masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut
Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau
merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan
diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut
air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam
perairan asin/payau (Santoso, 2000).

Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies
mangrove (Hutching dan Saenger (1987) dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut,
sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning dan Bird (1967) dalam Idawaty, 1999).
Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan
mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut
air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Sumber : http://www.naturefoundationsxm.org/education/mangroves/red_mangrove.htm
ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan
ekosistem terumbu karang. Tetapi  dalam satu ekosistem mangrove tidak selalu ketiga
ekosistem tersebut dijumpai, apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara
ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendiri-sendiri (Kaswadji, 2001).

Ekosistem mangrove merupakan penghasil  detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang
dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi
sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang
dan juga berfungsi sebagai  penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak
mengganggu kehidupan terumbu karang. Ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai
pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga
berperan sebagai habitat  (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat
asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi
organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut
di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana
organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu
karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).

Ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan
ekonomis hutan mangrove menurut Santoso dan H.W. Arifin (1998) adalah sebagai beikut :

 1. Fungsi ekologis :


 pelindung garis pantai dari abrasi,
 mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
 mencegah intrusi air laut ke daratan,
 tempat berpijah aneka biota laut,
 tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
 sebagai pengatur iklim mikro.
 2.  Fungsi ekonomis :
 penghasil keperluan rumah tangga (kayu  bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan,
obat-obatan),
 penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
 penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
 pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
 
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia harus mempertimbangkan beberapa isu utama yaitu
meliputi isu- isu antara lain : ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat
hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.

Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi


Isu ekologi melihat secara detail dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem
mangrove, dengan cara melakukan identifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan
terjadi di kemudian hari.

Isu sosial ekonomi mencakup  aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan
mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Juga perlu diidentifikasi kegiatan
industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya  di sekitar hutan
mangrove.

Kelembagaan dan Perangkat Hukum


Departemen yang paling berkompeten dalam pengelolaan hutan Mangrove adalah
Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Koordinasi
antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove mendesak untuk dilakukan saat ini.
Perangkat hukum yang meliputi peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove juga sangat penting untuk menjaga keberadaan hutan Mangrove dari
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sudah cukup banyak undang-undang dan
peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan
mangrove, tetapi yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran
terhadap perangkat hukum tersebut.

Strategi dan Pelaksanaan Rencana


Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama  yang
dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan
pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat
tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi
hutan mangrove (Bengen, 2001).

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan
mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan
konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam
konteks di atas, berdasarkan  karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status
pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan
(Santoso, 2000) terdiri atas :

 Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut,
taman hutan raya, cagar biosfir).
 Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
 

DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE


Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap
ekosistem mangrove. Dalam tabel 1. dijelaskan beberapa aktivitas manusia terhadap
ekosistem mangrove beserta dampaknya. Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem
mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan
mangrove di  Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982–1987, menjadi 3,24 juta
hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000).
Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti.
Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut
kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar.

Tabel 1. Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove  Kegiatan 


Dampak Potensial

DAMPAK
KEGIATAN POTENSIAL

Berubahnya komposisi
tumbuhan; pohon-
pohon mangrove akan
digantikan oleh
spesies-spesies yang
nilai ekonominya
rendah dan  hutan
mangrove yang
ditebang ini tidak lagi
berfungsi sebagai
daerah  mencari makan
(feeding ground) dan
daerah pengasuhan
(nursery ground) yang
optimal bagi
bermacam ikan dan
udang stadium muda
yang penting secara
Tebang habis ekonomi

Pengalihan aliran air tawar, Peningkatan salinitas


hutan (rawa) mangrove
misalnya pada pembangunan menyebabkan
irigasi dominasi dari spesies-
spesies yang lebih
toleran terhadap air
yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang
dalam stadium larva
dan juvenil mungkin
tak dapat mentoleransi
peningkatan salinitas,
karena mereka lebih
sensitif terhadap
perubahan lingkungan.

Menurunnya tingkat
kesuburan hutan
mangrove karena
pasokan zatzat hara
melalui aliran air
tawar berkurang.

Mengancam regenerasi
stok-stok ikan dan
udang di perairan lepas
pantai yang
memerlukan hutan
(rawa) mangrove
sebagai  nursery
ground larva dan/atau
stadium muda ikan dan
udang.

Pencemaran laut oleh


bahan-bahan
pencemar yang
sebelum hutan
mangrove dikonversi
dapat diikat oleh
substrat hutan
mangrove.

Pendangkalan
peraian pantai karena
pengendapan
sedimen yang
sebelum hutan
mangrove dikonversi
mengendap di hutan
mangrove.

Intrusi garam melalui


saluran-saluran alam
yang bertahankan
keberadaannya atau
melalui saluran-
saluran buatan
manusia yang
bermuara di laut.

Erosi garis pantai


Konversi menjadi lahan yang sebelumnya
ditumbuhi mangrove.
pertanian, perikanan

Pembuangan sampah cair Penurunan kandungan


oksigen terlarut dalah
air, bahkan dapat
terjadi keadaan
anoksik dalam air
sehingga bahan
organik yang terdapat
dalam sampah cair
mengalami
dekomposisi anaerobik
yang antara lain
menghasilkan hidrogen
sulfida (H2S) dan
amonia (NH3) yang
keduanya merupakan
racun bagi organisme
hewani dalam air. Bau
H2S seperti telur busuk
yang dapat dijadikan
indikasi
berlangsungnya
dekomposisi anaerobic
(Sewage)

Kemungkinan
terlapisnya
pneumatofora dengan
sampah padat yang
akan mengakibatkan
kematian pohon-pohon
mangrove.

Perembesan bahan-
bahan pencemar
dalam sampah padat
yang kemudian larut
dalam air ke perairan
di sekitar
pembuangan
Pembuangan sampah padat sampah.

Pencemaran minyak Kematian pohon-


pohon mangrove
akibat  terjadinya tumpahan minyak akibat terlapisnya
dalam jumlah besar. pneumatofora oleh
  lapisan minyak.
Penambangan dan ekstraksi mineral.
Kerusakan total di
lokasi penambangan 
dan ekstraksi mineral
yang dapat
mengakibatkan : 
musnahnya daerah
asuhan (nursery
ground) bagi larva
dan bentuk-bentuk
juvenil ikan dan
udang yang bernilai
ekonomi penting di
lepas pantai, dan
dengan demikian
mengancam
regenerasi ikan dan
udang tersebut.

Pengendapan
sedimen yang
berlebihan dapat
mengakibatkan :
Terlapisnya
pneumatofora oleh
sedimen yang pada
akhirnya dapat
mematikan pohon
mangrove

Sumber:  Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996  

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove mungkin juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan yang statusnya
dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan,
pertanian, dan sebagainya, sehingga perlu dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan
ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan  masyarakat, mengingat masyarakat pesisir
yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan,
baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.

Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola


partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi
formal yang mengawasi, para  pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme
pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).

 
ALIH FUNGSI LAHAN HUTAN MANGROVE  
Keberadaan ekosistem mangrove di daerah pesisir kian terancam. Selain beralih fungsi
menjadi tambak, hutan mangrove juga makin dilirik untuk kebun kelapa sawit. Akibatnya,
terjadi abrasi dan intrusi air laut serta turunnya tangkapan nelayan. Konversi hutan mangrove
menjadi kebun kelapa sawit harus dihentikan. Ribuan hektar mangrove di pesisir Indonesia,
khususnya Sumatera, mengalami konversi. Contohnya, hutan mangrove di pesisir di
Kelurahan Beras Basah, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara,
seluas 700 hektar beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan kini tersisa 200 hektar. Atau
lahan seluas 600 hektar hutan mangrove di Desa Lubuk Kasih, Kecamatan Brandan Barat,
Kabupaten Langkat, bernasib sama. Bahkan kementerian Kehutanan mencatat, ada
7.758.410,59 hektar hutan mangrove di Indonesia. Namun, hampir 70 persen rusak.
Pemerintah seharusnya segera mengembalikan fungsi ekologis hutan mangrove itu dengan
cara membatalkan konsesi perkebunan sawit yang mengkonversi hutan bakau. Konversi
hutan mangrove membuat masyarakat pesisir makin rentan terkena bencana abrasi dan banjir
rob. Koordinasi antara kementrian kehutanan dan kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
bisa mulai dilakukan.

Ada beberapa kendala yang dihadapi karena pihak birokrasi KLH mengatakan bahwa
moratorium pembukaan lahan mangrove merupakan wewenang pemerintah daerah. Sehingga
partisipasi Pemerintah Daerah perlu juga ditingkatkan misalnya dengan cara meningkatkan
partisipasi masyarakat setempat dalam upaya mengembalikan fungsi ekologis hutan
mangrove melalui penanaman bibit di titik-titik yang rusak.

Peran serta LSM seperti Yayasan Bhuvana Nusantara dan Yayasan Kebun Raya Indonesia
untuk memberdayakan warga setempat dalam pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan
juga diperlukan. Diharapkan sekitar 3-4 tahun setelah penanaman, tumbuhan mangrove sudah
besar dan menjadi perisai bagi abrasi, dan menjadi tempat ikan bertumbuh, yang akhirnya
menguntungkan masyarakat sekitarnya.

Dalam rangka peringatan Hari Mangrove Internasional yang diperingati setiap tanggal 26
Juli, mari kita bekerja keras untuk mengembalikan hutan mangrove di sepanjang pantai kita
yang merupakan pantai terpanjang nomer kedua di dunia setelah Canada.

Salam Hijau……

[1]  Pernah dimuat dalam website http://bhuvananusantara.or.id/bhuvana/?modul=hiduphijau


[2]  Sarjana Kehutanan IPB dan Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FE-UI, Direktur
Eksekutif Yayasan Kebun Raya Indonesia dan Wakil Ketua Yayasan Bhuvana Nusantara
Indonesia (www.bhuvananusantara.or.id)

Selamatkan Bumi Kita !


Ir. Didiek S. Hargono SE.ME.
”Earth is enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed.”
“Alam ini akan selalu mampu mencukupi kebutuhan makan bagi penghuninya, tetapi tidak
mampu untuk mencukupi satu saja manusia yang rakus”
Pengantar
Setiap tanggal 22 April 2008 kita memperingati hari Bumi, planet yang telah berusia kurang
lebih 5.500.000.000 tahun. Hari Bumi ini di Indonesia sebenarnya tidak lazim diperingati
sebelum tahun 1972, apalagi saat itu kekayaan alam kita masih sangat banyak dan kondisi
lingkungan hidup kita masih jauh lebih baik, sehingga rasanya pada saat itu orang Indonesia
masih “belum perlu” merasa khawatir untuk menyelamatkan bumi dan lingkungannya.
Gagasan hari bumi sendiri muncul dari seorang senator dari Amerika Serikat Gaylorfd
Nelson yang menyaksikan betapa menurunnya kualitas lingkungan di bumi yang hanya satu-
satunya tempat hidup manusia. Kerusakan yang juga disebabkan oleh ulah manusia itu
sendiri sudah kian menjadi-jadi, sehingga setelah menyampaikan pidatonya di Seattle pada
tahun 1969, Gaylorfd bersama dengan teman-teman LSM, 1500 perguruan tinggi, dan 10.000
sekolah, turun ke jalan untuk mengadakan aksi penyelamatan bumi dari kerusakan.

Segera setelah aksi tersebut berturut-turut terjadi pergerakan dalam upaya penyelamatan bumi
mulai dari Konferensi Tingkat Tinggi Lingkungan Hidup pada tahun 1972 di Stockholm,
konferensi tingkat dunia yang membicarakan lingkungan dunia global di Rio de Janeiro pada
tahun 1992 yang menyepakati Forestry Principle yang menekankan pentingnya hutan bagi
masa depan umat manusia.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah kita memiliki persetujuan yang mengikat secara hukum
berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
yaitu melalui Protocol Kyoto. Tetapi agar kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan secara
operasional, maka harus diratifikasi oleh 55 negara. Ratifikasi tersebut juga harus mencakup
negara penghasil 55% emisi gas rumah kaca dunia, yang berarti bahwa negara-negara industri
besar harus meratifikasinya. Pada saat itu hanya sedikit negara industri besar yang
meratifikasinya, hingga terselenggaranya konferensi Global Warming baru-baru yang
diadakan di Bali yang menghasilkan Bali Roadmap, hanya tinggal Amerika Serikat yang
masih belum meratifikasinya.

Indonesia sebagai “Zamrud Katulistiwa”


Indonesia yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa adalah sebuah negara kepulauan yang
terbentang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Lebih dari 17.000 pulau telah
tercatat, 6.000 di antaranya merupakan pulau berpenghuni. Indonesia juga diberkahi dengan
lintasan khatulistiwanya di area Asia Tenggara. Luas total daratan mencapai 1.811.570 km2
dan 63 persen (1.134.330 km2) masih berupa hutan. Sementara itu luas total wilayah air
adalah 317 juta hektare termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) 473 ribu hektare.
Penduduknya terdiri dari 600 kelompok etnik, diperkirakan jumlahnya telah mencapai 210
juta jiwa pada 2002, dengan hampir 80 persen tinggal di Pulau Jawa (Data BPS dan KLH).
Kekayaan alamnya yang memiliki 25.000 hingga 30.000 spesies tumbuh-tumbuhan atau
sekitar 10% dari jumlah total spesies tumbuhan yang ada di dunia, walaupun luas Indonesia
hanya 1,3% dari permukaan bumi, saat ini lebih dari 590 spesies tumbuhan di Indonesia
dalam resiko akan terancam punah atau telah punah.

Indonesia setidaknya mempunyai 47 ekosistem unik. Walaupun luasnya hanya 1,3 persen
dari permukaan dunia, namun 17 persen dari spesies di dunia hidup di Indonesia, melebihi
segala bentuk kehidupan dari seluruh Benua Afrika. Dalam hitungan persen, Indonesia
setidaknya memiliki 11 persen dari spesies tanaman bunga dunia, 12 persen spesies mamalia
dunia, 16 persen dari seluruh spesies amfibi dan reptil, 17 persen dari spesies buning dunia,
dan 37 persen dari spesies ikan di dunia. Dalam hal jumlah, Indonesia mempunyai 515
spesies mamalia, peringkat pertama di dunia, dan 36 persen endemik. 122 spesies kupu-kupu,
angka tertinggi di dunia, 44 persen endemik. Lebih dari 600 spesies reptil (peringkat ketiga di
dunia), 153 spesies burung (28 persen endemik) dan lebih dari 270 spesies amfibi, merupakan
peringkat lima besar dunia, serta 28.000 tanaman bunga, menduduki peringkat ketujuh dunia.
Dalam hal kelautan Indonesia menempati pusat Indo-pacific biogeographic kelautan dan
posisinya yang strategis antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sehingga tidak
mengherankan jika sangat kaya akan variasi kelautan dan pesisirnya. Misalnya, hutan
mangrove terbesar di Asia, padang lamun, dan hamparan terumbu karang. Indonesia
mempunyai hutan mangrove seluas 3,8 juta hektare yana menempatkan Indonesia sebagai
pemilik hutan mangrove terbesar di dunia. Disusul oleh Nigeria 3,24 juta hektare dan
Australia 1,6 juta hektare. Hampir 2/3 dari perbatasan laut Indonesia ditutupi oleh terumbu
karang yang diperkirakan mencapai 7.500 km2. Banyak kehidupan yang bergantung pada
keberlangsungan eksistensi terumbu karang, seperti pemijahan ikan dan lebih dari 200 jenis
ikan hias (Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Konphalindo, Atlas of Biodiversity in
Indonesia. Jakarta. 1995)

Hal ini hanya untuk menunjukkan betapa Indonesia itu kaya akan potensi yang harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia dengan konsep lestari dan
berkeadilan. Kerusakan ekosistem dan lingkungan di Indonesia akan mempengaruhi dunia,
karena potensi hal tersebut di atas. Akan tetapi Indonesia menerapkan kebijakan yang salah
kaprah, dengan dukungan negara-negara industri besar dunia terjadi perusakan besar-besaran,
sehingga berdampak pada diri sendiri dan dunia. Anehnya setelah rusak, kita yang
dipersalahkan dan diminta harus menanggung beban tersebut.

Kerusakan Hutan Indonesia Awal Malapetaka


Kerusakan hutan merupakan awal dari siklus penurunan kualitas lingkungan hidup, karena
hutan merupakan bagian terpenting dalam siklus ekologi. Kerusakan hutan di Indonesia
sudah dalam tingkat yang membahayakan. Pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah
berlomba-lomba mengeruk sumber daya hutannya untuk mencukupi kebutuhan dana
pembangunan daerahnya, yang sering menguntungkan perseorangan atau kelompok elit
daerah. Bahkan kadangkala tidak adanya rencana yang sesuai dengan kaidah-kaidah
lingkungan hidup, kalaupun ada sering dilanggar, daerah-daerah yang “haram” untuk
disentuh, seperti Taman Nasional, Hutan Lindung, dan sejenisnya, terpaksa harus dibabat atas
nama kebutuhan “rakyat”. Jika perijinan sulit, maka jurus-jurus lama dikeluarkan melalui
upaya tidak terpuji yang justru melibatkan aparat yang seharusnya bertugas menjaganya.
Dengan prinsip “semakin banyak pihak yang terlibat, maka akan semakin aman dan lancar
upaya ilegal loging dan pencurian kayu hutan”.

Akibatnya tercapailah prestasi terbesar pemerintah yaitu diraihnya predikat untuk Indonesia
sebagai negara dengan laju kerusakan hutan (deforestasi) yang tercepat di dunia (Guinness
Book of World Records – April 2007). Indonesia dinilai bertanggung jawab atas menciutnya
kapasitas paru-paru dunia dan juga dituduh sebagai negara yang membiarkan berlangsungnya
illegal loging dan pembakaran hutan untuk lahan perkebunan. Indonesia bersama Papua
Nugini dan Brasil mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun 2000-2005. Menurut
Badan Pangan Dunia (FAO), Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan
setiap harinya, yang nilainya setara dengan hancurnya 300 lapangan bola setiap jam. Hal ini
disebabkan oleh karena hutan alam Indonesia secara legal dieksploitasi di bawah kebijakan
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kedua kebijakan ini
membuka peluang eksploitasi hutan yang menguntungkan para taipan pemegang konsesi.
Sistem HPH dan HTI sangat bertanggung jawab atas percepatan laju deforestasi di Indonesia.

Departemen Kehutanan mengeluarkan angka deforestasi Indonesia sepanjang tahun 1997-


2000 sebesar 2.84 juta hektar per tahun, sedangkan sepanjang tahun 2000-2005 mencapai 1.8
juta hektar per tahun. Menurut Green Peace luas hutan Indonesia pada tahun 1950 berjumlah
162 juta hektar (84%), kemudian menjadi 119 juta hektar (64%) pada tahun 1985, dan terus
menurun pada tahun 1997 menjadi 98 juta hektar (50%), hingga kini (2005) tersisa 85 juta
hektar (43%). Menurut GreenPeace, dalam separuh abad terakhir Indonesia telah kehilangan
separuh dari hutannya, sehingga yang tersisa adalah 55 juta hektar, tetapi Departemen
Kehutanan mencatat luas hutan Indonesia 133.57 juta hektar. Dari luas hutan tersebut jumlah
hutan Papua yang masih tersisa seluas 40.546.360 hektar. Hutan gambut di Indonesia yang
mencapai 22,5 juta hektar dan di Riau menyimpan hampir separuhnya, sebentar lagi sudah
tinggal kenangan. Padahal dengan dilakukannya konversi hutan gambut tersebut berakibat
dilepaskannya 1.100 juta ton Co2 (Karbondioksida) per tahun ke atmosfir Indonesia, yang
menjadi biang keladi “Green House Effect” (Cifor, 2007).

Belum lagi di sektor kelautan, sektor dalam bidang kelautan yang paling parah mengalami
kerusakan adalah hutan mangrove dan terumbu karang, akibat dari sistem pertanian dan
pertambakan yang tidak terencana dan terkontrol. Diperkirakan hanya tinggal 60 persen hutan
mangrove kita masih dalam kondisi baik, namun pada saat yang sama lebih dan 840.000
hektare hutan mangrove akan diubah menjadi lahan pertambakan. Terumbu karang yang
merupakan habitat kehidupan laut juga mengalami ancaman hebat. Terutama dari praktik
penangkapan ikan yang destruktif, yaitu dengan pemboman ataupun pemakaian racun. Sektor
pariwisata juga mengancam kehidupan terumbu karang dengan pemakaian terumbu karang
sebagai pondasi dari cottage yang dibangun untuk kepentingan industri pariwisata.

Jadi berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup tahun 2006 dapat diambil kesimpulan
bahwa kerusakan alam kita sudah sangat parah, mulai dari air, udara, dan lahan atau hutan.
Ketersediaan air bersih cenderung menurun sebesar 15-35 % per kapita per tahun, karena
kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air, sehingga saat hujan tidak banyak air yang
meresap ke dalam tanah, dan sebagian lagi mengalir menjadi aliran permukaan yang
mengakibatkan banjir, sebaliknya di musim kemarau, ancaman kekeringan semakin besar
karena kurangnya ketersediaan air. Terjadinya penurunan kualitas air karena masuknya bahan
pencemar air dari limbah industri, air limbah domestik maupun sampah. Terjadi pula
penurunan kualitas udara yang sangat seius, khususnya di kota-kota besar akibat emisi yang
masuk ke udara ambient melebihi daya dukung lingkungan. Kondisi sumberdaya lahan dan
hutan kita ditandai dengan kerusakan lahan dan hutan mencapai 59.2 juta ha dengan laju
deforestasi mencapai 1.19 juta ha per tahun.

Dampak Investasi Asing Pada Kerusakan Lingkungan


Investasi asing turut juga menyumbangkan kerusakan bumi Indonesia. Selain merugikan
karena hasil bumi kita dikeruk hanya untuk kepentingan bangsa asing dan sedikit dari elite
kekuasaan, juga akibat jangka panjang untuk generasi selanjutnya adalah kerusakan
lingkungan. Kerusakan lingkungan ini secara luas dan masif sudah terjadi sejak tiga dekade
terakhir. Ditandai dengan kelahiran tiga paket UU yang membuka peluang eksploitasi sumber
daya alam Indonesia secara masif, yaitu UU Kehutanan 1967, UU Pertambangan 1967, dan
UU Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri 1967. Akibatnya terjadi dampak yang
mengerikan yaitu banyak investor asing yang masuk ke Indonesia yang mengeksploitasi
sumberdaya alam Indonesia tanpa aturan perlindungan lingkungan dan kesadaran lingkungan
yang belum berkembang seperti sekarang, sehingga mereka beroperasi tanpa dibebani
kewajiban sosial dan lingkungan. Bahkan, oposisi dari masyarakat baru muncul pada tahun
1980-an berupa protes masyarakat atas rusaknya lingkungan mereka akibat aktivitas
pertambangan. Sebut saja Suku Amungme dan Komoro di Papua Barat yang bersengketa
dengan Freeport mengenai lahan mereka; perusahan minyak Mobil Oil di Aceh, dan tambang
Newmont di Sulawesi Utara.

Pada era pemerintahan Bung Karno, dengan tegas beliau menolak meminta pinjaman untuk
pembangunan atau membuka lebar-lebar pintu investasi asing. Padahal ketika itu tahun 1945,
dimana Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Bung Karno pada saat itu
bahkan ingin agar Indonesia dibangun sendiri oleh pemuda-pemudi terampil yang telah
berhasil menempa ilmu baik di dalam dan di luar negeri. Tetapi bukan berarti bahwa Bung
Karno anti modal asing. Hal ini tercermin ketika Megawati Soekarnoputri yang saat itu
berusia 16 tahun bertanya padanya perihal mengapa Bung Karno tidak segera bertindak untuk
mengelola sumber daya alam Indonesia, padahal saat itu istana selalu ramai dikunjungi
investor asing yang minta kepada Bung Karno supaya dibolehkan mengeksplorasi dan
mengeksploitasi minyak dan sumber daya mineral lainnya. Bung Karno selalu menolak
kecuali untuk hal-hal yang sangat urgent dan minimal sekali dalam pemenuhan kebutuhan
yang mendesak. Bung Karno menjelaskan kepada Megawati : “Nanti Dis (nama panggilan
Mega), kita tunggu sampai kita mempunyai insinyur-insinyur sendiri !”.

Bung Karno ingin menggarap sumber daya mineral yang ada di bumi Indonesia oleh
insinyur-insinyur Indonesia sendiri yang sedang disiapkannya. Bung Karno lebih mencintai
bangsanya tanpa merugikan orang lain dan memimpikan bangkitnya perusahaan-perusahaan
minyak Indonesia seperti Shell, Exxon Mobil, Chevron, Total dan sebagainya. Dalam era
Presiden Soekarno utang luar negeri kita hanya sebesar US$ 2 miliar. Sumber daya alam kita
praktis utuh. Tetapi memang kondisi ekonomi kita hancur pada saat itu, bahkan inflasi
mencapai 600%. Terlantarnya ekonomi dan tidak adanya perhatian terhadap pembangunan
ekonomi bukan berarti Bung Karno tidak mengerti ekonomi. Bung Karno tidak mengundang
modal asing secara besar-besaran, dan tidak mempersilakan akhli-akhli asing mengendalikan
Indonesia, karena Bung Karno mengerti betul konsekuensi jika politik kita tidak berdaulat
dan ekonomi kita tidak mandiri. Bung Karno terfokus untuk menggembleng bangsa Indonesia
menjadi satu nation yang diikat dengan Tunggal Eka dalam Kebhinekaannya membutuhkan
waktu dan prioritas tinggi, sehingga pembangunan ekonominya tidak terlampau tertangani.
Selain itu dalam periode tersebut terjadi banyak gangguan seperti pemberontakan DI/TII,
RMS, PRRI/Permesta, dan rongrongan dari kekuatan-kekuatan geopolitik.

Setelah Soekarno tumbang oleh kekuatan asing (Amerika), penggantinya Soeharto dengan
triumviratnya yaitu Adam Malik dan Hamengkubowono IX, di Genewa bersepakat dengan
para kapitalis besar Amerika membagi kekayaan alam Indonesia kepada penguasa modal
besar Amerika Serikat tersebut. Papua, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera dibagi habis. Sehingga
ketika Soeharto berkuasa, segera dibukalah selebar lebarnya pintu investasi asing melalui UU
No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri, yang hingga saat ini
tidak ada upaya untuk mengambil alih kembali perusahaan tersebut, walaupun insinyur, PhD,
dan Professor kita sudah menumpuk. Freeport masih bercokol di Papua, Newmont di
Sulawesi, dan Exxon/Caltex di Jawa dan Sumatera. Apakah tenaga ahli kita tidak mampu?
Bohong besar… Kekuatan KKN birokrat dan pengusaha asinglah yang mengatur semuanya
agar kepentingan penanaman modal negaranya di Indonesia tetap dipertahankan. Biarlah
kekayaan alamnya dikeruk mereka dan rakyat Indonesia yang menanggung kerusakan
alamnya. Puluhan universitas ternama telah bertahun-tahun mencetak sangat banyak insinyur
pertambangan, dan di antaranya banyak yang bergelar Ph.D dan Profesor. Namun 92% dari
minyak kita tetap dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing hingga saat ini. Pertamina
hanya mengeksploitasi 8% saja. Formula kontrak bagi hasil mengatakan 85% untuk
Indonesia dan 15% untuk perusahaan minyak asing. Namun kenyataan sampai sekarang, 40%
dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing dan 60% oleh bangsa Indonesia. Asing tidak
memperoleh 15% sesuai dengan kontrak, karena di dalam kontrak itu ada ketentuan bahwa
biaya eksplorasi harus dibayar terlebih dahulu sampai habis (tetapi hingga kini tidak habis
habis). Yang tersisa untuk kita adalah kerusakan hutan dan lingkungan.

Dampak Kerusakan Lingkungan Terhadap Pemanasan Global


Kerusakan demi kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya pemanasan global. Konsentrasi
gas-gas tertentu yang dikenal sebagai gas rumah kaca, terus bertambah di udara akibat
tindakan manusia melalui kegiatan industri, khususnya CO2 dan chloro fluorocarbon. Yang
terutama adalah karbon dioksida, yang umumnya dihasilkan dari penggunaan batubara,
minyak bumi, gas, penggundulan hutan, serta pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan oleh
kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi metan disebabkan oleh aktivitas industri dan
pertanian. Chlorofluorocarbon (CFC) merusak lapisan ozon seperti juga gas rumah kaca
menyebabkan pemanasan global, tetapi sekarang dihapus dalam Protokol Montreal. Karbon
dioksida, chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di
udara dan menyaring banyak panas dari matahari.

Proses pemanasan global dipicu oleh adanya efek rumah kaca, dimana energi dari matahari
memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya bumi
mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atmosfer (uap air, karbon
dioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas
seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari
yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas
rumah kaca menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar
60°F/15°C. Tetapi permasalahan akan muncul ketika terjadi konsentrai gas rumah kaca pada
atmosfer bertambah. Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer
bertambah mendekati 30%, konsetrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat
bertambah 15%. Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada
atmosfer bumi. Mengapa konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Para ilmuwan umumnya
percaya bahwa pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan
penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca.

Sementara lautan dan vegetasi yang bertugas menangkap banyak CO2 tidak mampu
mengimbangi pertambahan CO2 dari kegiatan manusia di bumi, hal ini berarti bahwa jumlah
akumulatif dari gas rumah kaca yang berada di udara bertambah setiap tahunnya dan berarti
mempercepat pemanasan global. Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia
bertambah secara spektakuler, dimana sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju;
dan 78% dari energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan yang lainnya
mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk pemanfaatan ”energi tak dapat
habis” seperti matahari, angin, biogas, air, khususnya hidro mini dan makro, baik di negara
maju maupun miskin tetaplah rendah (dalam perbandingan dengan bantuan keuangan dan
investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar fosil dan energi nuklir). Padahal sumber
energi ini dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.

Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, menyebabkan emisi
karbon bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis,
sehingga mempengaruhi kesuburan tanah. Padahal tanah mengandung karbon sebanyak 24
milyar ton dan hutan Indonesia menyumbangkan emisi CO2 sebesar 2.6 milliar ton per tahun,
walaupun juga mengandung 19 milliar ton carbon.

Jika diamati maka sumber pencemar utama adalah transportasi, kebakaran hutan, limbah
rumah tangga, limbah tambang, dan limbang industri. Selama 1985 – 2000 jumlah kendaraan
sebagai sarana transportasi meningkat dari 1.2 juta menjadi 19 juta. Pada tahun 1985 – 1997
seluas 20 juta hektar hutan terbakar dan dibakar, dan pada tahun 1997-1998 luas hutan yang
terbakar dan dibakar sebesar 10 juta hektar. Dalam hal limbah rumah tangga – hanya 3-5%
yang punya akses saluran limbah rumah tangga, sehingga menyumbangkan Emisi CO2
sebanyak 35 juta ton CO2. Pertambangan menyumbang limbah seperti tailing dan merkuri
dalam jumlah yang besar, sedangkan industri lainnya menyumbangkan limbah cair (black
liquor) karena system daur ulang limbah yang tidak ada, tidak lengkap, atau tidak baik dan
juga menyumbangkan Emisi CO2 sebanyak 275 juta ton per tahun.

Terjadinya Global Warming diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak tepat.
Pengelolaan hutan yang salah dan menyebabkan hutan tropis hancur serta tidak memberikan
manfaat yang signifikan baik bagi pemerintah maupun bagi penduduk di sekitarnya. Yang
mengeruk keuntungan adalah pengusaha yang secara semena-mena telah menghancurkan
hutan yang menjadi tempat menyimpan air dan penghasil oksigen bagi mahluk hidup dan
tempat hidup flora dan fauna. Pengelolaan yang salah menyebabkan bencana banjir dan
dampak lingkungan lain, rakyat yang sudah miskin tetap miskin dan bahkan menjadi lebih
miskin karena hutannya sudah hancur. Bertambahanya suhu global yang tidak dapat dicegah
lagi dan bahwa perubahan iklim mungkin sudah terjadi sekarang. Selain itu penyebab
utamanya adalah adanya konsumsi yang berlebihan. Bukan oleh 80% penduduk miskin di 2/3
belahan bumi, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 86% dari seluruh sumber
alam dunia. Program konversi minyak tanah menjadi gas juga dapat diambil sebagai contoh
bahwa ketidaksiapan pemerintah secara infrastruktur dan juga sosialisasi, menyebabkan
banyak orang desa menggunakan lagi kayu bakar dengan merambah hutan, karena untuk
memasak mereka sulit memperoleh minyak tanah dan gas, serta harga gas terus
membumbung tinggi. Kampanye dalam rangka Pemilu juga memacu kerusakan lingkungan,
karena penyumbang dana pemilu bisa jadi disumbang oleh pengusaha pembalakan hutan liar
sebagai upaya pencucian uang.
Situasi seperti ini bahkan menjadi lebih buruk lagi dikarenakan banyak dan luasnya areal
hutan alam menurun, begitu juga dengan manfaatnya bagi masyarakat. Banyak tanaman liar
yang juga komersial, telah dieksploitasi secara berlebihan. Cadangan hutan dan area yang
dilindungi oleh pemerintah, dikelola oleh pihak yang dalam pengelolaannya tidak melibatkan
komunitas setempat, sehingga mengakibatkan konflik sosial yang seharusnya tidak perlu
terjadi. Banyak spesies tumbuh-tumbuhan yang manfaat potensialnya belum diketahui, tetapi
spesies tersebut telah berkurang pada tingkat yang membahayakan dan punah lebih cepat
dibandingkan laju pengumpulan tumbuhan tersebut untuk dapat diteliti, dikenal dan
diregenasikan kembali.

Gaya hidup manusia modern juga menjadi penyebab rusaknya lingkungan. Sampah yang
dihasilkan perumahan atau kota turut menyumbang kematian sungai yang mengaliri
perkotaan. Bencana itu masih ditambah dengan tumbuhnya industri di sepanjang sungai yang
sering digunakan sebagai sarana pembilasan dan pembuangan sampah industri. Hampir
semua sungai di Indonesia mengalami tekanan kerusakan fungsi ekosistemnya.

Dampak Pemanasan Global Dan Perubahan Iklim


Perubahan Iklim merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi dunia di abad 21.
Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dalam studi mutakhir memperlihatkan bahwa
masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia.
Pemanasan global di masa depan lebih besar dari yang diduga sebelumnya. Saat ini kita
menghadapi bertambahnya suhu global yang tidak dapat dicegah lagi dan bahwa perubahan
iklim mungkin sudah terjadi sekarang.

Dalam Panel Antar Pemerintah Mengenai Perubahan Iklim yang diselenggarakan pada bulan
Desember 1977 dan Desember 2000, badan yang terdiri dari 2000 ilmuwan tersebut
menyebutkan sejumlah realitas yang terjadi saat ini, diantaranya :

Mencairnya es di kutub utara dan selatan sebagai akibat dari pemanasan global menyebabkan
dampak yang sangat besar, karena air mempunyai konsep bejana berhubungan, sehingga
menyebabkan naiknya permukaan air laut rata-rata 0.57 cm/tahun yang dapat menyebabkan
banyak pulau di Indonesia akan terendam dan tenggelam. Diperkirakan bahwa pada tahun
2050 seluruh pesisir Indonesia bakal tenggelam 0.28 – 4.17 meter. Bahkan di DAS Citarum 26
» ribu hektar kolam dan 10 ribu hektar sawah terancam terendam air laut,

Curah hujan rata-rata naik 2-3%, tetapi ada di beberapa tempat di Indonesia yang justru
menurun. Serangan angin kencang yang sebelumnya jarang terjadi menjadi lebih sering.
Musim hujan menjadi berubah dan selalu terlambat, hal ini menyebabkan petani di beberapa
tempat seperti di Subang dan Pati gagal panen. Musim hujan juga menjadi lebih pendek,
» sebagaimana yang dirasakan di Manggarai – NTT.

» Suhu rata-rata udara di Indonesia naik 0.3 o C per tahun sejak tahun 1990.

Terumbu karang menjadi rusak karena suhu air laut meningkat 0.2 – 2.5 derajat Celcius setiap
» tahun, bahkan di pulau Pari – Kep. Seribu terjadi pemutihan 50% terumbu karangnya.

» Kesuburan tanah pertanian merosot hingga 2-8%, sehingga produksi padi menurun 4% per
tahun. Pasokan beras lokal di Karawang dan Subang menurun 95%, dan produksi jagung
menurun 59% per tahun. Produksi kacang-kedelai turun 10% per tahun.

» Permukaan tanah turun 0.8 cm per tahun

Bencana-bencana alam lebih sering terjadi dan lebih dahsyat seperti gempa bumi, banjir, angin
topan, siklon dan kekeringan akan terus terjadi. Bencana badai besar terjadi empat kali lebih
» besar sejak tahun 1960.

Suhu global meningkat sekitar 5 derajat C (10 derajat F) sampai abad berikut, tetapi di
» sejumlah tempat dapat lebih tinggi dari itu.

» Permukaan es di kutub utara makin tipis.

Penggundulan hutan, yang melepaskan karbon dari pohon-pohon, juga menghilangkan


» kemampuan untuk menyerap karbon.

» 20% emisi karbon disebabkan oleh tindakan manusia dan memacu perubahan ilim.

Sejak Perang Dunia II jumlah kendaraan motor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680
juta; kendaraan motor termasuk merupakan produk manusia yang menyebabkan adanya emisi
» carbon dioksida pada atmosfer.

Selama 50 tahun ini kita telah menggunakan sekurang-kurangnya setengah dari sumber energi
» yang tidak dapat dipulihkan dan telah merusak 50% dari hutan dunia.

Negara-negara miskin akan dilanda kekeringan dan banjir, dimana sekitar tahun 2020
penduduk dunia akan terancam bahaya kekeringan dan banjir dan akan menderita luar biasa
akibat perubahan iklim karena letak geografisnya serta kekurangan sumber alam untuk
» penyesuaian dengan perubahan dan melawan dampaknya.

Biaya tahunan untuk menangkal pemanasan global dapat mencapai 300 miliar dollar, 50 tahun
ke depan jika tidak diambil tidakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika pemimpin
politik kita dan pembuat kebijaksanaan politik tidak bertindak cepat, dunia ekonomi akan
menderita kemunduran serius. Selama dekade lalu bencana alam telah mengeruk dana sebesar
» 608 milliar dollar.

Panen makanan pokok seperti gandum, beras dan jagung dapat merosot sampai 30% seratus
tahun mendatang akibat pemanasan global (Wakil PBB untuk Program Lingkungan Hidup
» pada Konferensi Perubahan Iklim ke-7 di Maroko November 2001)
Para petani akan beralih tempat olahan ke pegunungan yang lebih sejuk, menyebabkan
terdesaknya hutan dan terancamnya kehidupan di hutan dan terancamnya mutu serta jumlah
suplai air. Penemuan baru ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari rakyat pedesaan di
negara berkembang sudah mengalami dan menderita kelaparan dan gizi buruk tersebut.
» Pengungsi akibat lingkungan hidup sudah berjumlah 25 juta di seluruh dunia

Upaya Pencegahan dan Penyelamatan


Lalu apa yang dapat kita lakukan? Sebagai bagian dari populasi dunia, maka yang kita
lakukan di Indonesia yang merupakan paru-paru dunia akan sangat berdampak pada dunia.
Tetapi pemerintah yang mempunyai kekuatan secara politis perlu mengembangkan struktur
yang dapat melindungi lingkungan global dengan melakukan lobi-lobi lembaga-lembaga
internasional seperti PBB dan ikut mendukung persetujuan internasional seperti Protokol
Kyoto. Keutuhan lingkungan yang nyata hanya akan dicapai dengan upaya terpadu dari
semua pihak. Krisis lingkungan pada dasarnya adalah krisis nilai. Kita membutuhkan suatu
model sikap untuk melihat dunia secara berbeda. Pendidikan diperlukan agar masyarakat
waspada tidak saja terhadap lingkungan yang mengancam planet tetapi juga waspada
terhadap misteri yang mendasari eksistensi planet. Menjaga lingkungan hidup berarti ajakan
untuk memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan manusia, sambil
mengolah alam, manusia tidak merusak keseimbangan dinamika yang ada di antara semua
makhluk hidup yang bergantung pada tanah, udara dan air bagi keberadaannya.Proses
pemanasan global
Isyu lingkungan hidup telah menjadi inti pemikiran sosial, politik dan ekonomi karena
degradasi yang seringkali menyebabkan penderitaan kelompok miskin dari masyarakat.
Resiko akibat perubahan iklim dan bertambahnya bencana alam mendorong untuk
mempersoalkan kembali keyakinan masyarakat modern. Berkembangnya gap antara kaya dan
miskin tidak boleh membuat orang acuh tak acuh dan mencegah penggunaan berlebihan
sumber-sumber alam dan mencegah percepatan hilangnya spesies-spesies.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain membuat sebanyak mungkin sumur resapan
air yang dapat menampung air hujan, menyelamatkan hutan mangrove di pantai pantai
Indonesia, menghentikan reklamasi pantai dan juga meminta bertanggung jawab terhadap
yang sudah mereka lakukan dengan cara membiayai penghutanan kembali pantai pesisir
sebagai kompensasi, membenahi kebijakan pengelolaan hutan yang berpihak kepada rakyat
dengan melibatkan masyarakat untuk menjaga hutan di daerahnya masing-masing, menanam
pohon yang tepat yang bertujuan reintroduksi dan konservasi, misalnya untuk Kalimantan
dipilih tumbuhan endemik Kalimantan yang sudah hampir punah, seperti Meranti, Ramin,
dan lain-lain, serta merancang cara melindungi sumber-sumber alam. Juga dapat dilakukan
pengurangan penggunaan air, pembakaran barang-barang yang tidak dapat didaur ulang,
emisi CFC dan emisi pengganti CFC dengan tidak menggunakan aerosol dan menggunakan
energi efisien, dan juga pengurangan penggunakan listrik dengan menggunakan lampu hemat
energi.
Bahkan baik secara pribadi maupun dengan komunitas, kita dapat mempraktekkan tiga hal
berikut, yaitu :

Mendaur ulang atau menggunakan kembali barang-barang yang tidak dipaket, mencari merk
yang memperhatikan lingkungan, mendaur ulang segala yang dapat didaur ulang seperti
1. plastik, kupasan buah segar dan sayur mayur, kertas dan kardus, gelas dan kaleng.
Memulai dengan membuat kompos, tambahkan cacing dan juga daun-daun, ranting-ranting
2. dan kotoran dari kebun dan kompos itu akan menjadi pupuk alam untuk tanah.

Mendorong industri kerajinan untuk menjalankan tanggungjawab bagi daur ulang bahanbahan
3. sisa dan alat-alat elektro seperti tv dan komputer.

Kita perlu mengingatkan pemerintah setempat akan komitmen mereka untuk mendaur ulang
dan mengurangi pemborosan serta mempertahankan hukum daur ulang dan pemborosan agar
tetap relevan, mendorong pengusaha setempat agar mengurangi produk-produk paket,
mengingatkan otoritas setempat untuk memelihara listrik dan menggunakannya dalam system
yang efisien, mengingatkan pemerintah akan komitmen mereka pada deklarasi dan protokol-
protokol demi lingkungan hidup, mengingatkan siapa saja agar hidup sederhana di bumi ini
dan mengingatkan agar selalu menggunakan dan mendaur ulang barang yang digunakan.
Kondisi Negara Indonesia yang masih berkembang dan penduduknya masih banyak yang
miskin, dalam usaha meningkatkan kemampuan ekonominya memanfaatkan hutan, tetapi
pengawasan dan perencanaan dari pemerintah harus ditingkatkan.
Dalam konteks internasional, seharusnya beban menjaga kelestarian hutan seharusnya
menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya Indonesia. Oleh karena itu konsep Reduce
Emission From Deforestration and Degradation (REDD), suatu konsep mekanisme
pembiayaan dari negara industri untuk negara pemilik hutan (salah satu bentuk perdagangan
karbon) yang disepakati dalam pertemuan Bali harus didukung oleh semua bangsa di dunia.
Walaupun banyak pula yang masih meragukan hal tersebut, seperti beberapa pihak yang
menilai hal ini sebagai upaya baru penguasaan pemilik kapital untuk menguasai dan
mengawasi hutan di negara berkembang, dan ada penilaian bahwa mekanisme REDD yang
ditawarkan Indonesia di Bali dapat membangkrutkan bangsa jika diterapkan di tengah
lemahnya penegakan hukum dan kejahatan lingkungan. REDD juga dinilai hanya
menguntungkan lembaga keuangan yang mengelola dana itu dan pihak ketiga yang dalam hal
ini bisa lembaga konservasi, konsultan, atau lembaga penelitian, sementara masyarakat di
sekitar hutan belum tentu dapat manfaatnya. Bahkan ada juga yang menilai bahwa isu
pemanasan global (pengurangan emisi gas rumah kaca) yang mendunia saat ini tak jelas
ujungnya, karena hanya terkonsentrasi pada soal emisi dan perdagangan karbon dibandingkan
dengan hal-hal substansial penyebabnya. Pembagian tanggung jawab memitigasi bencana
global tersesat pada model transaksi ekonomi dan perdagangan yang tak mengatasi
penderitaan penduduk. Privatisasi atmosfer jelas terlihat dalam perdagangan karbon yang
cenderung menerapkan model ekonomi kapitalistik. Padahal menurut Pemerintah Indonesia
sendiri REDD dapat memberikan kesempatan kepada negara untuk mendapatkan keuntungan
finansial dari potensi hutan tanpa menebang hutan. Sedangkan lembaga konservasi
internasional menyambut peluang tersebut sebagai tambahan dana untuk kegiatan konservasi
di tiap-tiap wilayah kerja mereka.

Terlepas dari pro dan kontra, hal yang terpenting adalah bahwa pemerintah harus berbenah
diri dalam menerapkan kebijakan yang pro lingkungan dan berperan aktif dalam merubah
paradigma pembangunan yang selama ini tidak ramah lingkungan menjadi sebaliknya, agar
anggapan dunia luar maupun dalam negeri terhadap pemerintah yang dinilai tidak pandai
merawat hutan, sehingga tanah yang tadinya subur kemudian diperas habis-habisan demi
kepentingan selapis tipis kaum elite dapat dieliminir dan keseluruhan hasil yang diperoleh
dari kekayaan alam dalam bumi Indonesia dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
masyarakat Indonesia. Selamat hari Bumi….
We do not inherit the earth from our ancestors, we borrow it from our children.
Native American Proverb
*    Didiek S.Hargono, Alumnus Fak.Kehutanan IPB dan Fak. Ekonomi UI serta Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik – FEUI

**   Pernah dimuat di www.koraninternet.com


Share this:

 Twitter
 Facebook

Memuat...

Tinggalkan Balasan
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Komentar * 
Nama *
Email *

Situs web
 Beri tahu saya komentar baru melalui email.

 Beritahu saya pos-pos baru lewat surat elektronik.


Lihat Situs Lengkap
Blog di WordPress.com.
 Ikuti
 

Anda mungkin juga menyukai