Anda di halaman 1dari 18

PENGARUH AKTIFITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP

KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI TELUK


AMBON BAGIAN DALAM

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :

VASKELIA M. MATUANKOTTA

NIM . 2016-63-051

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
2018
BAB I.
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan
yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km, serta
letaknya yang sangat startegis di antara dua benua dan dua samudra yang dilalui garis
khatulistiwa (ekuator). Selain itu, Indonesia memiliki sumberdaya laut dan pesisir yang
melimpah di seluruh wilayah sekitar garis pantai Indonesia, baik hayati maupun nonhayati.
Salah satu sumberdaya laut dan pesisir yang terdapat di Indonesia adalah ekosistem hutan
mangrove yang berada hampir di setiap wilayah pesisir dan garis pantai Indonesia.
Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem ekologi yang terdiri dari komunitas
vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).
Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun abiotik di
dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang disebabkan oleh
faktor alam dan faktor manusia (Tirtakusumah, 1994).

Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas


manusia dalam pendayagunaan sumberdaya alam wilayah pantai tidak memperhatikan
kelestarian, seperti; penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak,
permukiman, industri dan pertambangan (Permenhut, 2004). Luas ekosistem hutan
mangrove yang ada di Indonesia sekitar 4.251.011 Ha yang tersebar di beberapa pulau,
seperti Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan
Papua/Irian yang dimana persebaran ekosistem hutan mangrove terbesar terdapat di
Papua/Irian (± 65%) dan Sumatera (± 15%) (WCMC “World Conservation Monitoring
Centre”, 1992). Tetapi, lebih dari setengah luas ekosistem hutan mangrove yang ada di
Indonesia ternyata dalam kondisi rusak parah, diantaranya 1,6 juta Ha dalam kawasan
hutan dan 3,7 juta Ha di luar kawasan hutan (Ginting, 2006).

Teluk Ambon dengan luas ± 377 km2 (google earth) memiliki sumberdaya hutan
mangrove yang cukup potensial. Kehadirannya memberikan andil yang besar bagi
produktivitas perairan Teluk ambon. Akan tetapi seiring dengan waktu meningkatnya
kebutuhan manusia menbuat sumberdaya hutan mangrove semakin terdegradasi.
Misalnya di daerah pantai Passo, Batu Koneng dan Galala (Ambon), daerah
Sidangoli (Halmahera) sudah disulap menjadi daerah pemukiman, fasilitas umum dan
dermaga (PRAMUDJI 1999). Kejadian yang hampir sama juga terjadi di daerah Waisiley,
Teluk Kao (Pulau Halmahera). Hutan mangrove di daerah ini ditebang habis, kemudian
digunakan sebagai pemukiman "transmigrasi ilegal" dan daerah Sanger Talaut, Sulawesi
Utara. Kondisi seperti ini, akan menyebabkan nasib hutan mangrove di sekitar daerah
Waisiley akan terganggu dan bahkan sumber daya tersebut kemungkinan akan hilang,
apabila tanpa ada partisipasi atau larangan dan aparat pemerintah setempat.

Aktivitas penduduk merupakan suatu wujud kegiatan atau tindakan yang memiliki
pola tertentu dari manusia di dalam penduduk yang dapat menimbulkan wujud
kebudayaan. Aktivitas penduduk terdiri dari berbagai macam bidang, yaitu bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Untuk aktivitas ekonomi penduduk terdiri dari pangan
dan sandang, tempat tinggal/perumahan, pendapatan/penghasilan dan pekerjaan/mata
pencaharian (Melly, 1989). Ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem
hutan mangrove disebabkan oleh faktor manusia berupa aktivitas ekonomi penduduk yang
memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di dalam ekosistem hutan mangrove
tersebut. Aktivitas ekonomi penduduk yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan
mangrove, yaitu pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan
pertambakan, pertanian, perumahan, permukiman, dan raklamasi pantai untuk kawasan
rekreasi atau pariwisata. Selain itu, pohon mangrove dimanfaatkan sebagai bahan bakar
(kayu bakar, arang dan alkohol), bahan bangunan (balok perancah, atap rumah, tonggak,
dan badan kapal) dan bahan baku industri (makanan, minuman, pupuk, obat-obatan dan
kertas) (Saenger, 1983). Ekosistem hutan mangrove yang sudah dieksploitasi oleh aktivitas
ekonomi penduduk biasanya tidak dilakukan upaya pelestariannya sehingga ekosistem
hutan mangrove akan terus-menerus mengalami kerusakan dan akhirnya menjadi punah.
Untuk ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh
aktivitas ekonomi penduduk perlu dilakukan upaya pelestarian ekosistem hutan mangrove
oleh pemerintah dan masyarakat dengan konservasi, reboisasi, dan rehabilitasi hutan
mangrove.
1.2 Rumusan Masalah

Mangrove merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan jasa lingkungan


dan produk barang bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, sehingga perlu dikelola
dengan baik. Namun, informasi terbaru mengenai mangrove di Teluk Ambon Bagian
Dalam belum tersedia antara lain :

1. Bagaimana kondisi fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove di Teluk Ambon


Bagian Dalam ?
2. Bagaimana pengaruh yang signifikan aktifitas ekonomi penduduk terhadap
keruakan hutan mangrove di Teluk Ambon Bagian Dalam ?
3. Bagaimana upaya pelestarian hutan mangrove terhadap kerusakan hutan
mangrove di teluk ambon bagian dalam ?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui kondisi fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove di Teluk


Ambon Bagian Dalam.

2. Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan aktivitas ekonomi penduduk


terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Teluk Ambon Bagian
Dalam.

3. Untuk mengetahui upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove


akibat aktivitas ekonomi penduduk di Teluk Ambon Bagian Dalam.

1.4 Manfaat

Diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk :

1. Memberikan informasi kesehatan mangrove di Teluk Ambon Bagian Dalam


untuk berbagai pihak yang berkepentingan.
2. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi penduduk yang berdomisili di
Teluk Ambon Bagian Dalam
3. Menyediakan informasi tentang bentuk-bentuk pemanfaaatan ekosistem
mangrove di Teluk Ambon Bagian Dalam.

BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Hutan Mangrove dan Ekosistem Mangrove

Menurut etimologi (asal kata), kata “mangrove” berasal berasal dari kata “Mangue”
(Bahasa Prancis) dan kata “at Grove” (Bahasa Inggris) yang artinya komunitas tanaman
yang tumbuh di daerah berlumpur dan pada umumnya ditumbuhi oleh sejenis pohon bakau
(Rhizophera sp) (Davis, 1940). Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah
pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut
air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang
terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan
masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen
Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).

Noor (1999) memberikan batasan tentang hutan mangrove bahwa hutan mangrove
sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai
yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon
Rhizhophor, Bruguiera, Sonneratia, Nypa, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera, Aegiceras,
Xylocarpus dan Scyphyphora. Menurut Bengen (2000), Indonesia memiliki vegetasi hutan
mangrove yang keragaman jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202
jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1
jenis sikas yang dimana dalam hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis
tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae
(Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae
(Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus).

Sugiarto (1996) menyatakan bahwa di dalam ekosistem hutan mangrove terdapat


berbagai macam jenis tumbuhan mangrove, yaitu Bakau (Rhizophora mucronata), Tanjang
(Bruguiera gymnorrizha), Tenngar (Ceriops tagal), Perapat/Bogem/Pedada (Sonneratia
alba), Api-Api (Avicennia marina), Niri/Nyiri (Xylocarpus moluccensis), Bayur
Laut/Cerlang Laut (Heritiera littoralis), Kayu Kuda (Dolichaudrone spathacea), Terutum
(Lumnitzera littorea), Perepat Kecil/Gedangan/Tanggung (Aegiceras cornoculatum),
Jeruju (Acanthus ilicifolius), Kayu Buta-Buta (Excoecaria agallocha), Paku Laut
(Acrostichum aureum), Gelang Laut/Gelang Pasir (Sasuvium portulacastrum), Alur (Sueda
maritima), Tuba Laut (Derris heterophylla), Gambir Laut (Chlerodendron inerme),
Triantheum portulacastrum dan Phyla nodiflora. Menurut Chapman (1984) bahwa flora
yang terdapat dalam ekosistem hutan mangrove dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu; (1). Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran
ekologi utama dalam formasi hutan mangrove, contoh: Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera,
Scyphiphora, Smythea dan Dolichandrone; dan (2). Flora mangrove peripheral (pinggiran),
yaitu flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi hutan mangrove, tetapi
juga flora tersebut berperan penting dalam formasi tersebut.

Ekosistem mangrove adalah suatu system di alam tempat berlangsungnya


kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantaranya makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisisr,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin atau payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis
mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang
surut, sedimentasi, minerelogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1957 dalam idawaty,
1999). Sedangkan IUCN (1993) menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik
hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antara
pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.

2.2. Zonasi Mangrove dan Adaptasi Mangrove

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Beberapa ahli
(seperti Chapman, 1977 & Bunt & Williams, 1981) menyatakan bahwa hal tersebut
berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap
hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut.
Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,
terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Di Indonesia,
substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata and Avicennia
marina (Kint, 1934). Jenis-jenis lain seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada
substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang memiliki substrat berupa pecahan
karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda (Ding Hou, 1958). Kint (1934)
melaporkan bahwa di Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang
berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga
tumbuh pada daerah pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat (Chapman,
1976a). Di Indonesia, kondisi ini ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian –
Lumu, Sulawesi Selatan, dimana mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m) yang
bercampur dengan lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen, dkk, 1991). Substrat mangrove
berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (62%) juga dilaporkan
ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta (Hardjowigeno, 1989).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis


mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya
secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara
beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada
daunnya.

Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran


salinitas yang luas dibandingkan dengan marga lainnya. A.marina mampu tumbuh dengan
baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 %0 (MacNae, 1966;1968).
Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang.
Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati
salinitas air laut, kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 %0.
Beberapa jenis lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum
pada salinitas 20 – 40 %0, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 %0,
Ceriops tagal pada salinitas 60 %0 dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan
Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 %0 (Chapman, 1976a). Jenis-jenis
Bruguiera umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah 25 %0. MacNae
(1968) menyebutkan bahwa kadar salinitas optimum untuk B. parviflora adalah 20 %0,
sementara B. gymnorrhiza adalah 10 – 25 %0.

Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa
penulis melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya
pasang surut dan frekuensi banjir (van Steenis, 1958 & Chapman, 1978a). Di Indonesia,
areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh
Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi
oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi,
yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenisjenis Bruguiera dan
Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi
(hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan
Lumnitzera littorea.

Pada umumnya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada
beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona
mangrove dapat mencapai 18 kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan
(Danielsen & Verheugt, 1990) atau bahkan lebih dari 30 kilometer seperti di Teluk
Bintuni, Irian Jaya (Erftemeijer, et.al, 1989). Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan
curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang
mencapai puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang
hamparan ini bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran material kedalam dan dari sungai,
serta kecuramannya.

Gambar.2.1 Zonasi Vegetasi Mangrove


2.3 Kondisi Fisik Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove

Sumberdaya alam ekosistem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah


pesisir, merupakan sumber daya yang bersifat alami dan dapat diperbaharui (renewable
resources) yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya, supaya dapat menunjang
pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan pengelolaan yang
lestari. Menurut Dahuri (2003), ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu suplai air tawar dan salinitas,
pasokan nutrien, dan stabilitas substrat. Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah
perubahan kondisi fisik biotik maupun abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove
menjadi tidak utuh lagi (rusak) yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia
(Tirtakusumah, 1994). Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan
oleh aktivitas manusia dalam pendayagunaan sumberdaya alam wilayah pantai tidak
memperhatikan kelestarian, seperti; penebangan untuk keperluan kayu bakar yang
berlebihan, tambak, permukiman, industri dan pertambangan (Permenhut, 2004). Bengen
(2001) menjelaskan bahwa kerusakan ekosistem hutan mangrove dikarenakan adanya fakta
bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan ekosistem hutan
mangrove menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan
oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya
hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah
tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Khomsin (2005: 190)
menyatakan bahwa: Kerusakan alamiah ekosistem hutan mangrove timbul karena
peristiwa alam seperti adanya gelombang besar pada musim angin timur dan musim
kemarau yang berkepanjangan sehingga dapat menyebabkan akumulasi garam dalam
tanaman. Selain itu, Gelombang besar dapat menyebabkan tercabutnya tanaman muda atau
tumbangnya pohon, serta menyebabkan erosi tanah tempat bakau tumbuh. Kekeringan
yang berkepanjangan bisa menyebabkan kematian pada vegetasi mangrove dan
menghambat pertumbuhannya. Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk dijadikan
lahan pertanian atau tambak ikan/udang, sehingga menyebabkan penurunan produktivitas
ekosistem tersebut (Dave, 2006; Prima-vera, 2005). Menurut Irwanto (2008) bahwa
banyak kegiatan manusia di sekitar kawasan ekosistem hutan mangrove yang berakibat
perubahan karakteristik fisik dan kimiawi di sekitar habitat hutan mangrove sehingga
tempat tersebut tidak lagi sesuai bagi kehidupan dan perkembangan flora dan fauna di
dalam ekosistem hutan mangrove. Menurut Soesanto (1994) bahwa dalam usaha
pengembangan ekonomi kawasan mangrove seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi
rekreasi, pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan pertanian pangan,
perkebunan, perikanan dan kehutanan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan
dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir. Pertumbuhan penduduk yang pesat
menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat.
Berdasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004
tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, maka kondisi
ekosistem hutan mangrove dibagi menjadi tiga kriteria yang dapat dilihat pada tabel 1
berikut. Tabel 1: Kriteria Ekosistem Hutan Mangrove No Kriteria Penutupan Kerapatan
Pohon/Ha 1 Baik ≥ 75% ≥ 1500 Pohon/Ha 2 Sedang ≥ 50% - < 75% ≥ 1000 - < 1500
Pohon/Ha 3 Rusak < 50% < 1000 Pohon/Ha Sumber : Dahuri,1996 dalam Sunarto, 2008,
hal. 26 Selain itu, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004
bahwa ekosistem menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove yang mengalami
kerusakan dapat dibedakan menjadi tiga bagian (Dahuri,1996), yaitu:
a. Kerusakan Kecil Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong kecil apabila
jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari
50% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 1000 pohon/Ha. Untuk kerusakan
kecil ekosistem hutan mangrove hanya berpengaruh kecil terhadap kelangsungan hidup
fauna yang berhabitat disana maupun aktivitas ekonomi penduduk yang tinggal di daerah
tersebut.
b. Kerusakan Sedang Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong sedang apabila
jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari
30% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 600 pohon/Ha. Untuk kerusakan
sedang ekosistem hutan mangrove dapat mengakibatkan sebagian besar fauna kehilangan
sumber makanan dan tempat tinggal, serta sebagian besar aktivitas ekonomi penduduk
dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan berkurang.
c. Kerusakan Besar Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong besar apabila
jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari
10% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 200 pohon/Ha. Untuk kerusakan
besar ekosistem hutan mangrove dapat mengakibatkan kehidupan fauna yang berhabitat
disana terancam bahaya bahkan kepunahan dan aktivitas ekonomi penduduk yang
memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan terhenti, selain itu daerah tersebut
akan terancam dari bencana alam tsunami, gelombang laut besar dan abrasi yang
membahayakan kehidupan manusia.

2.4 Pengaruh Yang Signifikan Aktivitas Ekonomi Penduduk


Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove Menurut Soesanto dan Sudomo (1994),
kerusakan ekosistem hutan mangrove dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: (1).
Kurang dipahami kegunaan ekosistem hutan mangrove; dan (2). Meskipun hutan
mangrove terus terancam kelestariannya, namun berbagai aktivitas penyebab kerusakan
hutan mangrove terus terjadi dan adakalanya dalam skala dan intensitas yang terus
meningkat (Kusmana, 2002). Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder
menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal
untuk pertambakan, pertanian maupun pembangunan (Rudianto, 2009). Bengen (2004: 4)
menyatakan bahwa: Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan
pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dll),
tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove,
semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap
kerusakan ekosistem hutan mangrove itu sendiri baik secara langsung (misalnya kegiatan
penebangan atau konversi lahan) maupun tak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah
berbagai kegiatan pembangunan ). Menurut Ibrahim (2006) bahwa penyebab ancaman dan
kerusakan ekosistem hutan mangrove antara lain: (1). Meningkatnya jumlah penduduk
yang bermukim di lingkungan sekitar ekosistem hutan mangrove, sehingga pemanfaatan
sumberdaya alam hutan mangrove semakin meningkat; (2). Pemanfaatan sumberdaya alam
hutan mangrove yang semula dilakukan secara tradisional berubah menjadi secara
komersial; (3). Ekosistem hutan mangrove peka terhadap perubahan dan tekanan dari luar
yang melampaui kemampuan dan daya dukungnya, misalnya pencemaran lingkungan
berupa limbah industri dan sampah di dalam ekosistem hutan mangrove; (4). Semakin
meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan kawasan ekosistem hutan mangrove
diubah menjadi perumahan, permukiman, perkantoran, industri, pelabuhan, tempat rekreasi
(objek wisata), dan lain-lain; serta (5). Kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi
berkurang karena adanya perubahan pemanfaatan lahan hutan mangrove menjadi lahan
pertambakan, baik tambak ikan maupun tambak udang. Faktor-faktor yang mendorong
aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi
kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan, antara lain: (1). Keinginan untuk
membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan
menguntungkan, karena mudah dan murah; (2). Kebutuhan kayu bakar yang sangat
mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa
ditebang; dan (3). Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan
mangrove, adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha
tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional (Perum
Perhutani 1994).
Menurut Dahuri (1996) bahwa dampak potensial yang dapat timbul akibat aktivitas
ekonomi penduduk terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove yang dapat dilihat dari
Beberapa Aktivitas Ekonomi Penduduk Terhadap Dampak Potensial Kerusakan Ekosistem
Hutan Mangrove No Aktivitas Penduduk Dampak Potensial 1 Tebang Habis Berubahnya
komposisi tumbuhan, pohon -pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang
nilai komersialnya rendah dan terjadinya penurunan fungsi sebagai feeding, nursery dan
spawning ground. 2 Pengalihan aliran air tawar misalnya pada pembangunan irigasi
Terjadinya peningkatan salinitas dan penurunan kesuburan mangrove. 3 Konversi menjadi
lahan pertanian, perikanan, pemukiman Mengancam regenerasi stok ikan dan udang
diperairan lepas pantai, terjadi pencemaran laut oleh pencemar yang sebelumnya diikat
oleh substrat mengrove. Terjadi pendangkalan pantai, abrasi dan intrusi air laut. 4
Pembuangan sampah cair Penurunan kandungan oksigen, munculnya gas H2S. 5
Pembuangan sampah padat Memungkinkan tertutupnya pneumatopor yang berakibat
kematian mangrove dan perembasan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat. 6
Pencemaran tumpahan minyak Mengakibatkan kematian mangrove. 7 Penambangan dan
ekstraksi mineral, baik dalam hutan maupun daerah sekitar hutan Kerusakan total
ekosistem mangrove sehingga menghancurkan fungsibio ekologis mangrove dan
terjadinya pengendapan sedimen yang berlebihan yang dapat mematikan mangrove.
Sumber: Dahuri,1996 dalam Sunarto, 2008, hal. 31 4. Upaya Pelestarian Kerusakan
Ekosistem Hutan Mangrove Akibat Aktivitas Ekonomi Penduduk Upaya pelestarian
kerusakan ekosistem hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera,
Sulawesi, maupun Papua telah dilakukan berkali-kali (Rimbawan, 1995; Sumarhani, 1995;
Fauziah, 1999). Upaya ini biasanya dilakukan oleh pemerintah berupa proyek yang berasal
dari Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan maupun dari
Pemerintah daerah setempat, namun hasil yang dipeorleh relatif tidak sesuai dengan biaya
dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah (Saparinto, 2007).
Upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah saja, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat yang ikut berpertisipasi membantu
pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup khususnya ekosistem hutan
mangrove dengan metode, yaitu konservasi, reboisasi dan rehabilitasi (Rahmawaty, 2006).
Kusmana (2005: 8) menyatakan bahwa: Secara umum, semua habitat pohon mangrove di
dalam ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat memperbaiki
kondisinya seperti semula secara alami dalam waktu 15 – 20 tahun apabila (1). Kondisi
normal hidrologi tidak terganggul; dan (2). Ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak
terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji
pohon mangrove tidak dapat mendekati daerah rehabilitasi, maka dapat direhabilitasi
dengan cara penanaman. Oleh karena itu, habitat pohon mangrove dapat diperbaiki tanpa
penanaman, maka rencana rehabilitasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut
yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan
pohon mangrove.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 43 tentang kehutanan
bahwa dalam kaitan kondisi hutan mangrove yang rusak pada setiap orang yang memiliki,
mengelola atau memanfaatkan hutan mangrove wajib melaksanakan rehabilitas untuk
tujuan perlindungan konservasi. Rudianto (2007) menyatakan bahwa salah satu cara
melindungi hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove
sebagai kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi
sungai. Menurut Sugandhy (1994) bahwa ada beberapa permasalahan yang terdapat dalam
kawasan ekosistem hutan mangrove yang dengan upaya pelestarian kerusakan ekosistem
hutan mangrove, yaitu; (1). Pemanfaatan ganda yang tidak terkendali; (2). Permasalahan
tanah timbul akibat sedimentasi yang berkelanjutan; (3). Konversi kawasan hutan
mangrove menjadi kawasan lain; (4). Permasalahan sosial ekonomi; (5). Permasalahan
kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan; dan (6). Permasalahan
informasi kawasan pesisir. Menurut Anita (2002) bahwa usaha-usaha yang harus
dikembangkan dalam upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove, antara lain;
(1). Perlindungan kawasan hutan mangrove yang bernilai konservasi tinggi; (2).
Peremajaan perlu dilakukan pada hutan mangrove yang telah rusak untuk memulihkan
fungsi ekosistem dan untuk meningkatkan nilai manfaat langsungnya; dan (3). Pencagaran
ekosistem hutan mangrove hendaknya berdasarkan kriteria yang jelas dan pertimbangan
yang rasional. Sugiarto (1996) menyatakan bahwa kawasan ekosistem hutan mangrove
banyak dikonservasi dalam kawasan terpisah maupun kawasan tergabung dalam cagar
alam, suaka margasatwa dan taman nasional berdasarkan pada empat strategi pokok
konservasi, yaitu pelindung proses ekologis dan penyangga kehidupan kawasan, pengawet
keragaman sumberdaya plasma nutfah, pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistem, serta
tata guna dan tata ruang kawasan hutan mangrove.
Menurut Perum Perhutani (1994) dalam pelaksanaan reboisasi (penghijauan)
kawasan ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pengadaan Bibit Pada umunya bibit tanaman
mangrove masih diambil langsung dari alam yaitu induk pohon mangrove karena saat ini
belum ada pengusaha yang khusus memperbanyak bibit tanaman mangrove kemudian bibit
dikelompokkan berdasarkan jenis dan besar tanaman mangrove. 2. Seleksi Bibit Untuk
melakukan seleksi bibit tanaman mangrove harus diperhatikan beberapa hal, diantaranya
pertumbuhan batang, cabang, daun dan akarnya serta memperhatikan kesehatan bibit
apakah cacat, terkena penyakit atau hama tanaman. 3. Persemaian Bibit Lokasi persemaian
bibit sebaiknya tidak jauh dari daerah yang akan direboisasi tetapi sebaiknya pada daerah
yang agak terlindung dari gempuran ombak laut dan memiliki cukup lumpur sebagai
media tanam. Selain itu, lokasi persemaian perlu dibuat pagar pembatas sebagai pelindung
untuk menghindari gangguan kepiting bakau (Neosarmatrium meinerti). 4. Media Semai
Untuk media semai bibit tanaman mangrove harus berupa lumpur hutan mangrove yang
diambil langsung di sekitar kawasan ekosistem hutan mangrove. 5. Pengangkutan Bibit
Setelah bibit cukup umur untuk ditanam, maka bibit tanaman mangrove diangkut ke lokasi
penanaman pohon mangrove dengan menggunakan wadah angkut sebaiknya berupa kayu
atau palstik kontainer berdasarkan jenis dan ketinggian bibit. 6. Penanaman Bibit
Penanaman bibit tanaman mangrove di lokasi penanaman sebaiknya dilakukan pada sore
hari karena cahaya matahari sudah tidak terlalu panas. Penanaman bibit dilakukan dengan
jarak tanam 5 x 5 m atau disesuaikan dengan kanopi pohon induk dan lubang tanam
berukuran 50 x 50 x 50 cm setelah itu bibit sebaiknya diberi tongkat kayu yang diikat kuat
dengan tali agar tidak perpindah apabila terkena ombak laut. 7. Pemeliharaan dan
Perlindungan Setelah melakukan penanaman, perlu dilakukan pemeliharaan tanaman agar
pertumbuhan tanaman terkontrol apabila kemungkinan terjadi kerusakan tanaman akibat
serangan hama tanaman dan ombak laut, sehingga apabila hal tersebut terjadi maka
tanaman harus segera diganti dengan bibit yang baru.
BAB. III

METODELOGI

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Teluk Ambon bagian dalam dan bagian luar dengan
batas meridional 3°36'4.65" - 3°48'16.46" LS dan batas zonal 127°53'55.86" -
128°21'29.86" BT.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

(Sumber : Landsat 8 OLI/TIRS)

3.2. Alat dan Bahan

No Alat dan bahan Keguanaan

1. Meteran kain Mengukur lingkar pohon

2. Tali Kotak pegamatan 10 x 10 m

3. pH meter Mengukur derajat keasaman

4. Thermometer Mengukur suhu


5. Refraktometer Mengukur salinitas
6. Alat tulis menulis Mencatat hasil

7. Camera Dokumentasi

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer. Data primer diambil langsung dari
lapangan, berupa jenis vegetasi mangrove, suhu air, salinitas dan tipe substrat. Adapun
untuk mengetahui faktor penyebab kerusakan mangrove di Teluk Ambon Bagian Dalam
dilakukan dengan metode purposive sampling melalui wawancara dengan masyarakat
sekitar dengan jumlah 30 responden untuk mengumpulkan data tentang gambaran umum
aktivitas yang dilakukan oleh penduduk yang berpotensi menyebabkan kerusakan
ekosistem hutan mangrove.

Data Sekunder : 1. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan dengan


mempelajari referensi-referensi dari para ahli yang relevan sesuai dengan msalah yang
diteliti. 2. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi dilakukan di kantor – kantor desa dan
kantor Kecamatan yang berda di Teluk Ambon Bagian Dalam. Selain itu, instansi yang
terkait dalam penelitian ini adalah Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara untuk
melihat peta persebaran ekosistem hutan mangrove di Teluk Ambon Bagian Dalam.

3.4. Metode Analisa Data

a. Kerapatan Jenis (K)

K = Jumlah individu suatu jenis


Luas petak contoh

KR = Kerapatan suatu jenis x 100%


Kerapatan seluruh jenis

b. Frekuensi (F)

F = ∑ anak petak ditemukan suatu jenis


seluruh anak petak

FR = Frekuensi suatu jenisx 100%


Frekuensi seluruh jenis
c. Dominansi (D)

D = Luas bidang dasar suatu jenis


Luas petak contoh

DR= Dominansi suatu jenis x 100%


Dominansi seluruh jenis

d. Indeks Nilai Penting (INP)


INP = KR + FR + DR

e. Indeks Keanekaraman
H= ∑Pi log Pi, dimana Pi = ni/ N
ni= Jumlah individu suatu jenis
N= Jumlah total individu

a. Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk


merumuskan strategi. Analisa SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (S) dan peluang (O), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(W) dan ancaman (T). Analisa SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang
(Opportunities ancaman (Threats) dengan faktor internal kekuatan (Strengths) dan
kelemahan (Weaknesses). Dari analisis SWOT ini akan
dihasilkan matriks SWOT.Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisa
SWOT adalah sebagai berikut :
1. Analisis dan pembuatan matriks IFE (Internal Factor Evaluation).
2. Analisis dan pembuatan matriks EFE (Eksternal Factor Evaluation).
3. Pembuatan matriks SWOT.
4. Pembuatan tabel ranking alternatif strategi.
DAFTAR PUSTAKA

R. Novianty 2011. Identifikasi kerusakan dan upaya rehabilitasi mangrove. (online)


https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://jurnal.unpad.ac.id/akuatika/article/download/
539/617&ved=2ahUKEwjwrMjF0r3cAhXPdH0KHQjND78QFjAGegQIBhAB&
usg=AOvVaw08h9i9-HpknVoGM6Ou7KQA Diakses tanggal 12 juli 2018

Piter J. R lase 2016. Pendugaan degradasi mangrove di teluk ambon bagian dalam
menggunakan pengindraan jarak jauh. Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas
Pattimura. Ambon.

Nazarulakmal 2016. Identifikasi ekosistem mangrove (online)


https://www.google.com/amp/s/nazarulakmal.wordpress.com/2016/05/18/identifi
kasi-mangrove/amp/. Diakses tanggal 10 juli 2018

Anda mungkin juga menyukai