PROPOSAL PENELITIAN
OLEH :
VASKELIA M. MATUANKOTTA
NIM . 2016-63-051
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan
yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km, serta
letaknya yang sangat startegis di antara dua benua dan dua samudra yang dilalui garis
khatulistiwa (ekuator). Selain itu, Indonesia memiliki sumberdaya laut dan pesisir yang
melimpah di seluruh wilayah sekitar garis pantai Indonesia, baik hayati maupun nonhayati.
Salah satu sumberdaya laut dan pesisir yang terdapat di Indonesia adalah ekosistem hutan
mangrove yang berada hampir di setiap wilayah pesisir dan garis pantai Indonesia.
Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem ekologi yang terdiri dari komunitas
vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).
Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun abiotik di
dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang disebabkan oleh
faktor alam dan faktor manusia (Tirtakusumah, 1994).
Teluk Ambon dengan luas ± 377 km2 (google earth) memiliki sumberdaya hutan
mangrove yang cukup potensial. Kehadirannya memberikan andil yang besar bagi
produktivitas perairan Teluk ambon. Akan tetapi seiring dengan waktu meningkatnya
kebutuhan manusia menbuat sumberdaya hutan mangrove semakin terdegradasi.
Misalnya di daerah pantai Passo, Batu Koneng dan Galala (Ambon), daerah
Sidangoli (Halmahera) sudah disulap menjadi daerah pemukiman, fasilitas umum dan
dermaga (PRAMUDJI 1999). Kejadian yang hampir sama juga terjadi di daerah Waisiley,
Teluk Kao (Pulau Halmahera). Hutan mangrove di daerah ini ditebang habis, kemudian
digunakan sebagai pemukiman "transmigrasi ilegal" dan daerah Sanger Talaut, Sulawesi
Utara. Kondisi seperti ini, akan menyebabkan nasib hutan mangrove di sekitar daerah
Waisiley akan terganggu dan bahkan sumber daya tersebut kemungkinan akan hilang,
apabila tanpa ada partisipasi atau larangan dan aparat pemerintah setempat.
Aktivitas penduduk merupakan suatu wujud kegiatan atau tindakan yang memiliki
pola tertentu dari manusia di dalam penduduk yang dapat menimbulkan wujud
kebudayaan. Aktivitas penduduk terdiri dari berbagai macam bidang, yaitu bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Untuk aktivitas ekonomi penduduk terdiri dari pangan
dan sandang, tempat tinggal/perumahan, pendapatan/penghasilan dan pekerjaan/mata
pencaharian (Melly, 1989). Ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem
hutan mangrove disebabkan oleh faktor manusia berupa aktivitas ekonomi penduduk yang
memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di dalam ekosistem hutan mangrove
tersebut. Aktivitas ekonomi penduduk yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan
mangrove, yaitu pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan
pertambakan, pertanian, perumahan, permukiman, dan raklamasi pantai untuk kawasan
rekreasi atau pariwisata. Selain itu, pohon mangrove dimanfaatkan sebagai bahan bakar
(kayu bakar, arang dan alkohol), bahan bangunan (balok perancah, atap rumah, tonggak,
dan badan kapal) dan bahan baku industri (makanan, minuman, pupuk, obat-obatan dan
kertas) (Saenger, 1983). Ekosistem hutan mangrove yang sudah dieksploitasi oleh aktivitas
ekonomi penduduk biasanya tidak dilakukan upaya pelestariannya sehingga ekosistem
hutan mangrove akan terus-menerus mengalami kerusakan dan akhirnya menjadi punah.
Untuk ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh
aktivitas ekonomi penduduk perlu dilakukan upaya pelestarian ekosistem hutan mangrove
oleh pemerintah dan masyarakat dengan konservasi, reboisasi, dan rehabilitasi hutan
mangrove.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut etimologi (asal kata), kata “mangrove” berasal berasal dari kata “Mangue”
(Bahasa Prancis) dan kata “at Grove” (Bahasa Inggris) yang artinya komunitas tanaman
yang tumbuh di daerah berlumpur dan pada umumnya ditumbuhi oleh sejenis pohon bakau
(Rhizophera sp) (Davis, 1940). Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah
pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut
air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang
terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan
masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen
Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
Noor (1999) memberikan batasan tentang hutan mangrove bahwa hutan mangrove
sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai
yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon
Rhizhophor, Bruguiera, Sonneratia, Nypa, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera, Aegiceras,
Xylocarpus dan Scyphyphora. Menurut Bengen (2000), Indonesia memiliki vegetasi hutan
mangrove yang keragaman jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202
jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1
jenis sikas yang dimana dalam hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis
tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae
(Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae
(Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus).
Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Beberapa ahli
(seperti Chapman, 1977 & Bunt & Williams, 1981) menyatakan bahwa hal tersebut
berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap
hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut.
Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,
terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Di Indonesia,
substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata and Avicennia
marina (Kint, 1934). Jenis-jenis lain seperti Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada
substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang memiliki substrat berupa pecahan
karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda (Ding Hou, 1958). Kint (1934)
melaporkan bahwa di Indonesia, R. stylosa dan Sonneratia alba tumbuh pada pantai yang
berpasir, atau bahkan pada pantai berbatu. Pada kondisi tertentu, mangrove dapat juga
tumbuh pada daerah pantai bergambut, misalnya di Florida, Amerika Serikat (Chapman,
1976a). Di Indonesia, kondisi ini ditemukan di utara Teluk Bone dan di sepanjang Larian –
Lumu, Sulawesi Selatan, dimana mangrove tumbuh pada gambut dalam (>3m) yang
bercampur dengan lapisan pasir dangkal (0,5 m) (Giesen, dkk, 1991). Substrat mangrove
berupa tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (62%) juga dilaporkan
ditemukan di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta (Hardjowigeno, 1989).
Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa
penulis melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya
pasang surut dan frekuensi banjir (van Steenis, 1958 & Chapman, 1978a). Di Indonesia,
areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh
Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi
oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi,
yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenisjenis Bruguiera dan
Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi
(hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan
Lumnitzera littorea.
Pada umumnya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada
beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona
mangrove dapat mencapai 18 kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan
(Danielsen & Verheugt, 1990) atau bahkan lebih dari 30 kilometer seperti di Teluk
Bintuni, Irian Jaya (Erftemeijer, et.al, 1989). Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan
curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang
mencapai puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang
hamparan ini bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran material kedalam dan dari sungai,
serta kecuramannya.
METODELOGI
Penelitian ini dilakukan di Teluk Ambon bagian dalam dan bagian luar dengan
batas meridional 3°36'4.65" - 3°48'16.46" LS dan batas zonal 127°53'55.86" -
128°21'29.86" BT.
7. Camera Dokumentasi
Data yang dikumpulkan adalah data primer. Data primer diambil langsung dari
lapangan, berupa jenis vegetasi mangrove, suhu air, salinitas dan tipe substrat. Adapun
untuk mengetahui faktor penyebab kerusakan mangrove di Teluk Ambon Bagian Dalam
dilakukan dengan metode purposive sampling melalui wawancara dengan masyarakat
sekitar dengan jumlah 30 responden untuk mengumpulkan data tentang gambaran umum
aktivitas yang dilakukan oleh penduduk yang berpotensi menyebabkan kerusakan
ekosistem hutan mangrove.
b. Frekuensi (F)
e. Indeks Keanekaraman
H= ∑Pi log Pi, dimana Pi = ni/ N
ni= Jumlah individu suatu jenis
N= Jumlah total individu
a. Analisis SWOT
Piter J. R lase 2016. Pendugaan degradasi mangrove di teluk ambon bagian dalam
menggunakan pengindraan jarak jauh. Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas
Pattimura. Ambon.