Anda di halaman 1dari 14

1.

Pendahuluan
1.1

Latar Belakang
Perkembangan sains dan teknologi belakangan ini sangat megagumkan serta sangat

membantu dalam proses kehidupan manusia.Hal ini tentu tidak dapat dipungkiri oleh manusia
mana pun mengingat peranan sains dan teknologilah yang banyak mempermudah manusia
dalam kehidupan sehari-hari.Sebagai sebuah kasus nyata,dahulu untuk menempuh jarak antar
kota manusia perlu berjalan kaki berhari-hari lamanya,kini jarak antar benua sekali pun dapat
ditempuh dalam hitungan jam.Demikian juga pada bidang komunikasi,bila dahulu untuk
berkomunikasi jarak jauh adalah sebuah kegiatan yang harus dilakukan dengan sulit dan
sabar karena menunggu surat datang berhari hari,kini hanya dalam hitungan detik pesan dari
satu individu keindividu lainnya dapat tersampaikan dalam hitungan detik tanpa halangan
jarak.Selain itu banyak lagi fakta lapangan yang menunjukan bahwa pada zaman modern ini
kehidupan sudah sangat jauh dipermudah oleh ilmu pengetahuan manusia yang semakin hari
semakin berkembang dan tentunya menjadikan suatu kebanggaan bagi kita umat manusia.
Kondisi yang sangat membanggakan ini berbanding terbalik dengan keadaan
lingkungan dibumi saat ini,dimana saat ini bumi memiliki banyak masalah-masalah yang
semakin hari semakin parah.Keadaan seperti ini bila tidak segera ditangani tentunya akan
malah mengancam keberlangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya dibumi.
Tentunya kita masih ingat dengan kejadian Tsunami yang melanda jepang pada tahun
2012.Hal ini menjadi peringatan serius bagi umat manusia bahwa sehebat apa pun
pengetahuan dan teknologi manusia tidak akan berdaya melawan alam.Untuk itu kita perlu
mengkaji lebih jauh masalah-masalah lingkungan yang terjadi dibumi.
1.2 Permasalahan
Salah satu masalah yang tengah dihadapi bumi saat ini adalah pengikisan daratan oleh
lautan,yang dimana bila dibiarkan secara terus menerus akan menjadi kerugian besar karena
manusia akan kehilangan daratan sebagai tempat hidup.Fenomena ini terjadi karena tidak
adanya penahan alami didaerah pantai dalam hal ini mangrove.Sebenarnya jumlah mangrove
didunia sangat lah banyak terutama didaerah indonesia,namun kerusakan mangrove oleh
berbagai faktor terus mengurangi jumlah mangrove sehingga pengikisan daratan semakin
cepat terjadi.Mengingat akan hal tersebut maka sangat lah penting bagi kita

mempelajari,melestarikan,serta membangun kembali hutan mangrove guna keberlangsungan


hidup mahkluk hidup dibumi.

2.Pembahasan
2.1 Pengertian Mangrove
Hutan mangrove secara umum merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah
pasang surut pantai berlumpur.Perbedaannya dengan hutan lain, adalah keberadaan flora dan
fauna yang spesifik, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi (Bengen, 1999; Giesen, et al.,
2006).
Namun demikian hutan mangrove rentan terhadap kerusakan jika lingkungan tidak
seimbang. Bahkan rusaknya mangrove bukan saja diakibatkan oleh proses alami, tetapi juga
akibat aktivitas manusia (Pramudji,2000). Keberadaan eksploitasi hutan mangrove untuk
pemenuhan kebutuhan manusia, cenderung berlebihan dan tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi. Hal ini menyebabkan ekosistem hutan mangrove mengalami
degradasi,dan secara langsung kehilangan fungsinya,sebagai tempat mencari pakan bagi
bermacam ikan dan udang yang bernilai komersial tinggi, dan tempat perlindungan bagi
makhluk hidup lain di perairan pantai sekitarnya. Beberapa fungsi lain hutan mangrove
secara ekologis sebagai pelindung kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil mengurangi
terjadinya abrasi pantai dan intrusi air laut mempertahankan keberadaan spesies hewan laut
dan vegetasi, dan dapat berfungsi sebagai penyangga sedimentasi. Fungsi hutan mangrove
secara ekonomis, sebagai penyedia berbagai jenis bahan baku kepentingan manusia dalam
berproduksi, seperti kayu, arang, bahan pangan, bahan kosmetik, bahan pewarna, dan
penyamak kulit, sumber pakan ternak dan lebah (Yuliarsana dan Danisworo,2000). Oleh
karena itu, seperti pendapat yang dikemukakan Tandjung (2002) bahwa kerusakan dan
kepunahan hutan mangrove perlu dicegah, dan perlu dikelola secara benar, mendasarkan pada
prinsip ekologis dan pertimbangan sosial ekonomis masyarakat
disekitarnya.Kondisi hutan mangrove di Indonesia dewasa ini sudah sangat memerlukan
pengelolaan. Hal ini mengingat penyusutan selama 11 tahun (1981seluas 2.496.158 hektar
(ha) atau sekitar 46,96 persen; sehingga pada tahun 1992 tercatat tinggal seluas 5.209.543 ha
(Nugroho dan Dahuri, 2004). Persebaran hutan mangrove di Indonesia terluas di Irian Jaya
(95% atauseluas 2.382.000 ha).

2.2 Faktor Kerusakan Mangrove


Faktor Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia Secara garis besar ada dua
faktor penyebab rusaknya hutan mangrove, yaitu faktor manusia dan faktor alam.Faktor
manusia dalam hal ini adalah konversi kawasan mangrove,perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya pesisir di masa lal bersifat sangat sektoral,dan pencemaran.sementara faktor
alam

yang

dimaksudkan

adalah

faktor

yang

terjadi

secara

alami

seperti

banjir,hama,kekeringat,abrasi dan lain sebagainya.


2.2.1 Konversi kawasan mangrove.
Pengalih fungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, permukiman,
dan raklamasi pantai untuk kawasan wisata dapat mengakibatkan penurunan fungsi ekologis
hutan mangrove.
Selain itu, kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka
hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative. Reklamasi seperti itu telah memusnakan
ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek efek yang negatif teradap perikanan di
perairan pantai sekitarnya. Dengan demikian, untuk pengalihfungsian kawasan mangrove
pasti dilakukan dengan penebangan mangrove secacara liar.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ari Luqman, WanjatKastolani, dan Iwan
Setiawan (2013) yang menemukan dalam persebaran mangrove tidak semua garis pantai
ditemukan ekosistem mangrove atau 62,5% dari garis pantai sudah beralih fungsi untuk
aktivitas masyarakat seperti pemukiman (tempat tinggal) dan pelabuhan baik pelabuhan
untuk perhubungan (transportasi) maupun pelabuhan untuk aktivitas nelayan.
2.2.2 Perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral
Dari sini kita mengetahui bahwa pengelolaan yang sektoral ini akan mengakibatkan
terjadinya perusakan hutan mangrove berat yang akan berdampak pada masa yang akan
datang. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem
mangrove. (Novita, 2011)
2.2.3

Pencemaran
Kegiatan masyarakat yang membuang limbahnya pada sungai-sungai. Lalu sungai

yang tercemar dari hasil kegiatan masyarakat (limbah perkotaan, limbah cair pemukiman dan
industri) bermuara ke pesisir pantai yang menjadi kawasan mangrove.

Dengan demikian kawasan mangrove akan tercemar oleh limbah-limbah tersebut. Hal
tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ifati Khoni Tiarani, Marcelinus Molo, Dwiningtyas
Padmaningrum (2011) disimpulkan bahwa pencemaran lingkungan yang terjadi di kawasan
pesisir pantai yang disebabkan oleh sampah-sampah yang terbawa oleh air laut menuju
kekawasan hutan bakau, dan Sampah-sampah tersebut menyebabkan akar nafas dari tanaman
bakau tertutup, sehingga menyebabkan tanaman mati.
2.2.4

Faktor Alam
Kerusakan hutan mangrove juga disebabkan oleh faktor alam, seperti : banjir, abrasi,

kekeringan, hama penyakit (serangga penggerak, ulat batang, tikus, kepiting, semut, kutu
daun, dan siput), tsunami, dan kebakaran yang merupakan faktor penyebab relatif kecil.
(sonny,2010)
2.3

Kerusakan secara fisik dan kimia


Kegiatan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kerusakan mangrove di

Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersial serta peralihan peruntukkan
untuk tambah dan pertanian. Sedang kematian secara alami tidak memberikan data signifikan
yang patut dicurigai sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove. Sebab- sebab dan akibat
perusakan mangrove yang terjadi secara fisik dan kimia akan diuraikan berikut ini :
2.3.1

Penambangan mineral
Penambangan mineral mineral, telah berkembang di kawasan pesisir. Penambangan

dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di


daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek yang paling
mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air permukaan ked an dalam
mangrove.
Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya penghambatan
pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air diatasnya. Bila proses pertukaran ini
tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam waktu singkat. Terhentinyaa
sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan pada mangrove, yang terlihat pada
penurunan produktifitas dan kemampuan. Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan
pada adanya detritus di mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan
pula produktivitas ikan.

2.3.2

Pembelokan aliran air tawar


Suatu pengertian yang salah bila dikatakan bahwa tumbuhan mangrove untuk

hidupnya mutlak memerlukan air asin. Pada kenyataannya perkembangan mangrove yang
baik terjadi di daerah yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim
musiman masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti ini
kerluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali.. pengambil keputusan sering melihat
dalam lingkungan seperti ini suatu hal yang mubazir membiarkan air tawar masuk ke laut,
sehingga tidak heran bila berusaha untuk memanfaatkan air tawar ini untuk keperluan di
daerah darat.
2.3.3

Eksploitasi Hutan
Eksploitasi hutan mangrove secara besar- besaran dilakukan untuk keperluan kayu,

tatal dan bubur kayu. Biasanya eksplotasi seperti itu dilakukan dengan tebang habis. Di
daerah tebang habis permudaan alam umumnya tidak berjalan dengan baik sehingga
mengakibatkan penurunan nilai hutan karena pohon- pohon untuk panen berikutnya berupa
pohon- pohon dengan kualitas rendah. Kegiatan eksploitasi perlu dilakukan secara hati- hati
guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya untuk menjamin
kelangsungan mata rantai ekologi adalahekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai
sumber keanekaragaman hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
Dalam melaksanakan eksploitasi hutan secara besar- besaran dilakukan dengan menggunakan
alat transportasi dan alat tebang yang modern. Sehingga membutuhkan fasilitas dan
infrastruktur sebagai pendukungnya. Pengadaan fasilitas dan akses ke lokasitersebut juga
meninggalkan kerusakan tersendiri terhadap hutan mangrove. Masalah lain yang sering
timbul adalah sisa- sisa hasil tebangan tidak dapat segera terdaur ulang dengan proses
penguraian. Karena banyaknya sisa penebangan yang menumpuk sehingga proses penguraian
berjalan dengan lambat. Sisa penebangan yang besar- besar dengan adanya arus pasang surut
juga akan terbawa kemana-mana dan dapat menimbulkan masalah baru.
2.3.4

Konversi Lahan
Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap

daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun
karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan
mangrove dianggap sebagai lahan alternative.

Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga


mengakibatkan efek- efek yang negative terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya.
Selain itu kehadiran saluran- saluran drainase mengubah system hidrologi air tawar di daerah
mangrove yang masi utuh yang terletak kea rah laut dan hal ini mengakibatkan dampak
negatif.
Hutan mangrove di Pulau Jawa, pada umumnya sejak tahun 1950 sebagian besar
sudah rusak disebabkan pencurian kayu dan dijadikan pertambakan. Tambak dalam skala
kecil tidak terlalu banyak mempengaruhi ekosistem mangrove dan ekosistem di sekitarnya,
tetapi lain halnya dengan tambak dalam skala besar. Konversi mangrove yang luas menjadi
tambak dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan di perairan sekitarnya.
Penggunaan lahan pasang surut untuk pertambakkan terjadi di hamper seluruh Indonesia,
namun sekitar 94 % dari 225.000 ha areal pertambakan ada di Propinsi Aceh, Jawa Barat,
jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penyebarannya 52% terdapat di Jawa, 30 %
di Sulawesi, 15 % di Sumatra, 1% di Kalimantan dan 0,1%di Maluku dan Irian Jaya. Dengan
data luasan yang ada berarti hilangnya areal mangrove yang disebabkan pembukaan tambk
sebesar 22%.
2.3.5 Tumpahan Minyak
Tumpahan minyak bumi dan hasil- hasil olahannya dengan kapal laut semakin
meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering
terjadi. Di berbagai tempat, jalur- jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove
(misalnya selat Malaka) dan kebocoran setra pembuangan minyak dengan sengaja telah
menunjukkan dampak negative yang nyata terhadap mangrove.
Efek kehadiran minyak di mangrove dapat dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama
adalah efek laut yang akut, segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada
permukaan tumbuhan ( pepagan, akar tunjang, akar napas ) yang mempunyai fungsi dalam
pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat, tumbuhan
mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian pohon- pohon
mangrove di tempat tempat yang paling berpengaruh terjadi 4- 5 minggu. Kategori kedua
berkaitan dengan peracunan kronik dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna
yang bersangkutan oleh komponen racun yang terkandung dalam minyak.

2.3.6

Pembuangan Limbah
Kegiatan pertanian, agro- industri, industry kimia dan rumah tangga menghasilkan

limbah dalam jumlah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah
cair terlarut atau membentuk suspensi dalam air.
Sebagian limbah cair ini berupa bahan anorganik yang juga terdapat di alam, tetapi
kehadiran dalam jumlah berlebihan dalam lingkungan akuatik menyebabkan bahan itu tidak
semuanya dapat didaur ulang secara alami.
Dalam banyak kasus, pestisida dan antibiotic juga kerap kali digunakan, bahkan untuk
pengolahan tambak tradisional.
2.3.7

Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan mangrove yang pernah terjadi di lahan Pesisir Timur Sembilang

pada tahun 1980 1990an berhubungan dengan pembukaan lahan yang luas ( untuk
perkebunan dan transmigrasi) dan oleh penduduk setempat. Sedangkan kebakaran yang
terjadi pada tahun 1997 disebabkan oleh kegiatan penebangan liar, nelayan dan
pengembangan kawasan transmigrasi ( Arifin, 2001).
2.4

Kerusakan Biologi
Kerusakan yang ditimbulkan karena factor biologi adalah serangan hama. Hama pada

tanaman mangrove yang ditemukan di beberapa tempat secara singkat dapat dijelaskan
sebagai berikut :
2.4.1 Ulat ( Lepidoptera )
Ulat kantong Acanthopsyche sp. ( Lepidoptera, psychidae) menyerang tanaman
Bruguierai spp ( tancang) di Cilacap, Rhizophora spp di Purwakarta dan Rhizophora
mucronata di Pemalang. Bagian tanaman yang diserang ulat kantong ini adalah bagian
daunnya. Daging daun merupakan bagian yang dimakan, urat- urat dan tulang daun tetap
utuh. Apabila sebagian besar daging daun habis dimakan, daun akan kering. Tanaman muda
yang sebagian besar daun- daun dan kuncup ujung diserang ulat berakibat kematiannya.
2.4.2 Ulat bulu (Lepidoptera)
menyerang tanaman Rhizophora spp di Pemalang, Brebes, Purwakarta. hama ini
hamper tiap tahun menyerang tanaman bakau muda yaitu ulat bulu dan sebangsa ulat
kantong. Ulat memakan daun sejak menetas sampai menjelang kepompong. Tanaman bakau
yang daunnya habis dimakan ulat pada lahan kondisi mongering umumnya mati.
Meningkatnya populasi ulat diperkirakan karena langka predator.

Usaha penanggulangan pada daun bakau yang diserang dengan menggunakan tangan
dan dikeprak, namun karena populasinya tinggi dicoba dengan insektisida yang sangat
terbatas dan diatur pelaksanaannya disesuaikan dengan tata waktu kegiatan empang parit.
2.4.3

Ulat pucuk tunas Capua endoeypa ( Lepidoptera)


menyerang tanaman Rhizopara mucronata di Bali. Ulat yang merupakan larva

didalam tunas bibit dan memakan tunas tersebut sebelum daun terbuka. Meskipun bibit tidak
akan mati, tetapi akan terhenti atau menjadi lambat pertumbuhan sehingga akan menurun
kualitasnya. Adanya serangan ini ditandai oleh adanya telur maupun lubang- lubang kecil
pada pucuk tunas bibit. Pengendaliannya dengan cara membuka tunas yang ditandai adanya
lubang- lubang kecil, kemudian ulat diambil dan dibunuh.
2.4.4

Ulat daun Dasyehira sp


memakan daun semai Avicenmia marma di Bali. Ulat dapat diatasi dengan memasang

jaring plastik diatas bedeng, setelah jaring dibuka, sebaiknya segera diperiksa dan bila
dijumpai segera dibunuh. Bila terjadi kerusakan serius bisa disemprot dengan insektisida atau
dipindahkan ke bedeng pasang surut.
2.4.5 Kutu sisik chionapsis sp ( hemiptera, diaspididae)
Hama ini dilaporkan menyerang tanaman reboisasi dari jenis Rhizhopora di Bali
tahun 1995 dan kutu sisik berbentuk bulat telur ujungnya membesar yang dilindungi oleh
perisai yang lunak. Serangan kutu sisik ini akan menyebabkan daun

menguning dan

akhirnya kering. Cara mengendalikan kutu sisik dari hasil penelitian dengan menggunakan
fluorbac FC dengan bahan aktif bacilius turingiensisi dan asodrin 15 wsc, rata- rata serangan
hama menurun bahkan sebagian pohon tampak pulih dan berangsur- angsur sehat.
2.4.6 Belalang
Belalang sering menyerang tanaman mangrove dengan memakan daunnya terutama
yang masih muda. Penanganannya belalang diambil atau bila jumlahnya banyak dengan
menggunakan insektisida. Namun penggunaan insektisida tidak dianjurkan.

2.4.7 Laba- laba


Laba-laba hidup/ bersarang pada tanaman bakau yang kecil dan besar, bambu pancang
penguat tanggul, pemakan diantara rekahan sawah dan gulma serta gubug- gubug pantai.
Hama laba- laba menyerang tanaman bakau pada bulan kering, baik yang muda maupun tua.
Pada tanaman muda laba-laba dapat mematikan tanaman karena tajuk tanaman seluruhnya
dibalut rapat oleh jaring laba-laba. Tajuk yang terbungkus dalam waktu lama akan
menyebabkan tanaman bakau kering dan mati. Serangan akan lebih hebat jika lingkungan
terbuka tanpa tanaman lain.
Usaha penanggulangan dengan cara membuikan tempat pemijahan laba- laba berupa
vegetasi pada galengan empang parit, bamboo perangkap sekitar empang parit diikuti cara
mekanis.
2.4.8 Ketam
Ketam (Sesarma spp) menyerang buah / benih Brugmera gymnorrhriza dan
Rhizophora spp di Cilacap. Hama ini menyerang pada benih bakau yang masi segar karena
mengandung protein karbohidrat ( zat gula). Untuk mengurangi yaitu dengan menurunkan
kadar gula benih disimpan selama 1 minggu atau membuat pagar kecil sekitar benih dengan
daun paku- pakuan atau menggunakan bumbung bambu.
2.4.9 Mamalia
Mamalia termasuk hama yang dapat merusak tanaman mangrove diantaranya kera,
kerbau, sapi, dan kambing. Binatang ini akan memakan daun yang masih muda hingga habis
dan akhirnya tumbuhan mangrove akan mati. Untuk menanggulangi hewan tersebut harus
dihalau dan jangan dilepas untuk merumput di dekat tanaman mangrove yang baru tanam.
2.5 Dampak dari Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia
Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove
adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove
khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas
hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi
yang selalu meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin
jauh ke arah darat, malaria dan lainnya (Santoso,2008).

Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kea rah daratan sampai
mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau atau asin
(santoso, 2008). Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar
intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum dan dapat merusak akar tanaman.
Instrusi air laut telah terjadi dihampir sebagian besar wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa
tempat bahkan mencapai lebih dari 1 km.

2.6

Solusi Untuk Mengatasi Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia

2.6.1

Rehabilitasi Hutan Bakau (Mangrove)


Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi/rehabilitasi.

Restorasi dipahami sebagai usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula
secara alami. Peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam upaya pengembangan wilayah,
khususnya rehabilitasi hutan mangrove sangat penting dan perlu dilakukan. Pemerintah baik
pusat maupun daerah harus memberikan kesempatan pada masyarakat u n hntuk ikut serta
terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Selanjutnya masyarakat perlu
diberikan bimbingan dan penyuluhan tentang arti pentingnya hutan mangrove pada
kehidupan ini terutama kehidupan di masa yang akan datang.
2.6.2

Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat.


Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting

dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain itu
juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal (kearifan lokal) tentang ekosistem
dan pelestariannya perlu ditumbuhkembangkan kembali sejauh dapat mendukung program
tersebut.
2.6.3

Supremasi Hukum Lingkungan

Supremasi Hukum Lingkungan

yaitu Undang-undang no 32 Tahun 2009 tentang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Setelah masyarakat dilibatkan dalam


pengelolaan, pengembangan hutan mangrove dan diberi penyuluhan atau wawasan mengenai
arti pentingan lingkungan hutan mangrove, maka pemerintah harus menindaklanjuti dengan
menegakkan hukum sesuai dengan ketetapan undang-undang yang berlaku. Masyarakat baik
perorangan maupun berkelompok atau perseroan harus ditindak tegas bilamana melakukan
pelanggaran.

2.6.4

Membangun Breakwater
Breakwater (pemecah ombak) berfungsi untuk meredam gelombang sehingga

memberikan kesempatan kepada tanaman bakau untuk tumbuh dan berkembang. Sebelum
membangun breakwater perlu diketahui terlebih dahulu tipe ombaknya (Riny, Sukaya, dan
Dony, 2011).

2.7

Penilaian terhadap Pelaksanaan Solusi untuk Mengatasi Kerusakan Hutan

Mangrove di Indonesia
Selama ini yang terjadi adalah di samping pemerintah kurang dalam memberikan
bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat, aspek penegakan hukum pun sangat lemah.
Apalagi jika yang melanggar seorang pejabat atau pengusaha kaya. Sering kali si pelanggar
dapat dengan mudah terbebas dari jeratan hukum. Selain itu, dalam upaya melakukan
reboisasi, pemerintah hanya memberikan sosialisasi saja kepada masyarakat tanpa ada
bantuan dalam pelaksanaan dan pengawasannya.
Begitu pula dalam membangun breakwater dilakukan hanya oleh masyarakat setempat
dan OISCA (Organization for Industrial Spritual and Cultural Advancement) saja tanpa
peran serta dari pemerintah (Ifati Khoni Tiarani, Marcelinus Molo, dan

Dwiningtyas

Padmaningrum, 2011).
Jadi dalam upaya mengatasi kerusakan hutan mangrove di Indonesia masih setengahsetengah, karena belum terjalin kerjasama yang baik antara pihak pemerintah dan
masyarakat.

3.Kesimpulan
Kemajuan sains dan teknologi berbang terbalik dengan keadaan lingkungan
dibumi.Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai macam masalah lingkungan yang terus
menerus semakin meluas dan memiliki banyak dampak negative bagi keberlangsngan hidup
manusia.
Salah satu masalah yang tengah dihadapai dengan serius oleh manusia adalah
pengikisan daratan oleh lautan,yang dimana bila dibiarkan secara terus menerus manusia
akan mengalami kerugian karena kehilangan daratan sebagai tempat hidup.Salah satu faktor
yag mempengaruhi cepatnya terjadi pengikisan adalah rusaknya hutan mangrove sebagai
penahan abrasi pantai.
Hutan mangrove secara umum merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah
pasang surut pantai berlumpur.Perbedaannya dengan hutan lain, adalah keberadaan flora dan
fauna yang spesifik, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi.
Faktor yang merusak hutan mangrove secara garis besar ada dua yakni faktor alam
dan faktor manusia.Yang dikatakan sebagai faktor alam adalah banjir, abrasi, kekeringan,
hama penyakit (serangga penggerak, ulat batang, tikus, kepiting, semut, kutu daun, dan
siput), tsunami, dan kebakaran yang merupakan faktor penyebab relatif kecil.Sementara
faktor manusia antara lain konversi kawasan mangrove,perencanaan dan pengelolaan
sumbedaya pesisir pada masa lalu bersifat sangat sektoral,dan pencemaran.
Kerusakan angrove berdampak pada hilangnya berbagai jenis flora dan fauna yang
berasosiasi dengan hutan mangrove,abrasi yang meningkat,menurunnya hasil tangkapan
ikan,instrusi air laut yang semakin kedaratan.
Kerusakan Mangrove sendiri terbagi dalam dua jenis kerusakan yaitu kesukan fisik
dan kimia dan kerusakan biologi.
Meski pun jumlah mangrove banyak yang rusak namun ada beberapa cara yang dapat
dilakukan guna memperbaiki hutan mangrove yakni rehabilitasi hutan mangrove,perbaikan
ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat,supremasi hukum
lingkungan,serta menmbangun breakwater.

DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 1999. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir, dalam
Bahan Kuliah SPL. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB.
Giesen, Wim, Zieren, Max, Scholten, and Liesbeth.2006. Mangrove
Guidebook For Southeast Asia. FAO and Wetlands International.
Pramudji. 2000. Dampak Perilaku Manusia Pada Ekosistem Hutan
Mangrove di Indonesia dalam Osean, Volume XXV, Nomor 2,2000; 13-20.
Yuliarsana, N. dan Danisworo, T. 2000. Rehabilitasi Pantai Berhutan
Mangrove, dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem
Pantai dan Pulau-pulau Kecil dalam Konteks Negara Kepulauan.
Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Tanjung, S.D. 2002. Tipe-Tipe Ekosistem dalam Bahan Kuliah Ekologi dan
Ilmu Lingkungan Magister Pengelolaan Lingkungan. Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta: Fak Geografi UGM.
Nugroho, I., Dahuri, R. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi,
Sosial dan lingkungan. LP3ES Indonesia. Jakarta.
Khoni, I.T., Marcelinus, M., & Dwiningtyas, P. (2011). Kemanfaatan Ekonomi dan Ekologi
dari Program Rehabilitasi Hutan Bakau (Mangrove) di Kawasan Pesisir Pantai Desa
Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.
Novianty, R., Sukaya, S., & Dony, J.P. (2011). Identifikasi Kerusakan dan Upaya
Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Pantai Utara Kabupaten Subang
Arifin, Bustanul. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia. Erlangga : Jakarta.

Keraf, Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas : Jakarta.
Santoso, U. (2008). Hutan Mangrove, Permasalahan, dan Solusinya. Jurnal Perikanan dan
Kehutanan Tropis, 7 (2).

MAKALAH
Kerusakan Hutan Mangrove dan Penanganan
Kerusakan Hutan Mangrove

Disusun

Oleh :

Billy

Nicodemus
Pranata

H1081131012

Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Mipa


Universitas Tanjungpura,Pontianak
Tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai