Oleh:
Patnu
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian fakultas Pertanian Palangka Raya
Email: eldyindra.p@gmail.com
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
lisan dari mulut ke mulut sehingga menjadi pembelajaran dan merupakan sumber
pengetahuan empirik dalam perencanaan pengelolaan lahan gambut (Noor dan
Jumberi, 2007).
Pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun menjadi pembelajaran
bagi generasi selanjutnya sampai menjadi adat yang melembaga yang disebut
kearifan lokal setempat (Noor, 2010).
Perbandingan luasan lahan gambut di berbagai Provinsi di Kalimantan
dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Luas lahan gambut di Pulau Kalimantan berdasarkan ketebalannya
(dalam ribu hektar)
Tipologi Dan Ketebalan Gambut (Cm)
Bergambut Lahan Gambut
Gambut Total
Gambut Gambut Gambut
Provinsi Sangat Lahan
Dangkal Sedang Dalam
<50 Dalam Gambut
100- 200- <50-
50-100 >400
200 400 >400
Kalimantan
75,99 958,49 462,40 574,98 938,79 2.934,66
Tengah
Kalimantan
38,63 438,17 737,11 213,71 304,32 1.693,31
Barat
Kalimantan
0 264,56 112,51 219,70 100,22 696,99
Timur
Kalimantan
76,78 79,47 78,77 96,71 0 254,95
Selatan
Sumber: Wahyunto dalam Noor (2010)
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan dilakukan
masyarakat dengan pengetahuan lokal yang berkembang sebagai kearifan dari
masyarakat dalam mendayagunakan sumberdaya lahan gambut. Hal ini dipahami
mengingat interaksi masyarakat yang mengelola dan memanfaatkan lahan gambut
relatif dari waktu ke waktu secara turun temurun. Upaya mempertahankan
kehidupannya petani dilahan gambut berupaya memahami dan memanfaatkan
lingkungan lahan gambut yang mereka usahakan.
3
seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat, pengetahuan ini juga merupakan hasil kreatifitas dan
inovasi atau uji coba secara terus menerus dengan melibatkan masukan internal
dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru
setempat. Oleh Karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan
sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah.
Teknologi eksternal akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka
sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan
praktis petani tentang ekosistem lokal, sumberdaya alam dan bagaimana mereka
saling berinteraksi, baik dalam teknik bertani maupun keterampilan dalam
mengelola sumberdaya alam. Jadi pengetahuan indigenous tidak hanya sebatas
pada metode dan tekniknya, tetapi juga mencakup tentang pemahaman (insigt),
persepsi dan perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang
melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi
geologis dan meteorologis. Pengetahuan lokal yang demikian menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan dalam tradisi dan
mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama, inilah yang disebut dengan
kearifan lokal (Noor dan Jumberi, 2007)
8
demi sedikit tetapi dilakukan setiap 1-2 kali panen. Pupuk kandang dan abu
langsung ditabur diareal pertanaman pada musim hujan, tetapi pada musim
kemarau biasanya dalam bentuk bantuan.
Petani keturunan Cina dan suku Jawa di Siantan Kalimatan Barat serta
petani Jawa di Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah menggunakan pupuk
kandang untuk memperkaya kandungan hara lahan usahataninya, bahkan sayuran
yang dihasilkan petani keturunan Cina di Siantan Kalimatan Barat sempat ditolak
oleh konsumen muslim yang ada di Pontianak karena menggunakan pupuk
kandang dari kotoran babi. Oleh karena itu penggunaan pupuk dari kotoran babi
saat ini tidak lagi dipakai di Siantan Kalimatan Barat oleh petani, karena
mempertimbangkan selera konsumen. Pupuk kandang umumnya digunakan di
sentra-sentra sayur-sayuran yang ditanami dilahan gambut yang juga menjadi
sentra pengembangan ternak sapi, seperti di Kelurahan Kalampangan Kalimantan
Tengah Kalimantan Tengah. Bahan organik lain yang dianggap paling efektif
dalam meningkatkan kesuburan lahan gambut oleh petani di Siantan Kalimatan
Barat dan sekitar kota Pontianak, yaitu tepung ikan dan tepung kepala udang,
selain itu petani di Kalimantan Tengah umumnya melakukan pengapuran untuk
mengurangi kemasaman tanah dilahan gambut.
Sebagian petani yang beranggapan pengomposan dapat mempertahankan
ketebalan dan kualitas lahan gambut tidak dengan melakukan pembakaran, tetapi
hanya menimbun sisa-sisa tanaman dan gulma untuk dibusukkan kemudian
dikembalikan ke lahan usahataninya. Mereka juga menjadi konsumen tepung ikan
dan kepala udang yang sebelumnya menjadi limbah tak berguna dari usaha
perikanan. Untuk menghindari penguapan yang tinggi dilahan gambut pada
musim kemarau, petani di Siantan Kalimatan Barat memanfaatkan batang jerami
sebagai mulsa untuk tanaman sawi, sementara di Kelurahan Kalampangan
Kalimantan Tengah dan di Siantan Kalimatan Barat daun jerami dimanfaatkan
sebagai atap pelindung bagi tanaman yang peka terhadap cahaya matahari yang
berlebihan seperti tanaman seledri.
12
sebelum tahun 1960-an, mereka membuat parit di sekeliling kebun untuk setiap
lebar 20 m dan panjang 40 m, parit-parit ini bermuara pada parit pembuangan
yang lebih besar yang bermuara ke sungai pada setiap pemukiman. Lahan gambut
di Desa Rasau Jaya Kalimantan Barat yang telah dibuka secara intensif umumnya
lapisan gambutnya sudah sangat tipis, sebagian bahkan menjadi tanah bongkor
yang tidak dapat ditanami karena kesalahan dalam melakukan pengolahan tanah.
Sebagian lagi masih memiliki ketebalan gambut hingga 3 m, terutama untuk
daerah bukaan baru dan wilayah pemukiman yang memiliki tabat bertingkat.
Petani di Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah membuat parit dan
pintu air untuk mempertahankan ketebalan lapisan gambut dilahan usahataninya.
Parit dibuat berupa saluran sedalam 50 cm dan lebar 40 cm disekeliling lahan
dengan ukuran panjang 175 m dan lebar 100 m, dimana ditengah-tengah lahan
dibuat lagi satu saluran cacing kedalaman 20 cm dan lebar 20 cm yang membelah
lahan menjadi empat bagian. Saluran yang memanjang bermuara pada satu parit
yang lebih besar, parit keliling tidak pernah ditutup agar pada saat terjadinya
hujan lebat secara tiba-tiba lahan tidak tergenang, penutupan hanya dilakukan
pada saluran cacing supaya lahan tidak terlalu kering.
3.1.3. Teknologi Budidaya, Pola Tanam dan Peralatan Pertanian
Menurut pengetahuan petani tidak semua tanaman cocok untuk ditanam
dilahan gambut, untuk itu petani melakukan pemilihan jenis tanaman yang
disesuaikan dengan kondisi ketebalan gambut. Tata guna lahan gambut yang
diperuntukkan menurut Noor (2001) dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Tata Guna Lahan Gambut Berdasarkan Tipologi Dan Ketebalan Gambut.
Ketebalan
Tipologi Lahan Gambut Pemanfaatan
(Meter)
G-0 Bergambut <0,5 Sawah, Bedengan Budidaya,
Perumahan
G-1 Gambut Dangkal 0,5-1,0 Sawah Lahan Kering
G-2 Gambut Tengahan 1,0-2,0 Hortikultura Lahan Kering
G-3 Gambut Dalam 2,0-3,0 Perkebunan
G4 Sangat Dalam >3,0 Perkebunan
Kubah Gambut >3,0 Tamping Hujan
Sumber: Noor (2001)
14
Penentuan oleh petani yang dianggap sesuai dengan kondisi lahan pada
mulanya dilakukan dengan coba-coba (trial and error), kemudian dikembangkan
sebagai suatu pola tanam yang bertujuan untuk mencegah berkurangnya
kesuburan tanah, strategi untuk diversifikasi dalam rangka mengurangi resiko dan
jaminan kontinuitas pendapatan sepanjang tahun.Pada awal lahan gambut dibuka
atau pada lahan gambut yang masih tebal, petani umumnya menanam sayuran dan
palawija.
Petani di Desa Serindang dan Desa Rasau Jaya Kalimantan Barat
menanam tanaman tahunan seperti karet, durian, rambutan, jambu mente, nangka
dan cempedak. Tanaman keras ini mampu berproduksi tetapi pertumbuhannya
kurang sempurna karena tidak ada penopang akar yang kuat sehingga pohon
kelapa tumbuh miring dan tumbuhan lainnya akarnya berkembang menggantung
karena penurunan keadaan gambut. Sebagaimana pandangan petani dilahan
gambut lainnya, bagi petani di Siantan Kalimatan Barat gambut tebal tidak baik
untuk tanaman padi. Tanaman padi dapat tumbuh tetapi malainya tidak berisi
(hampa). Menyadari hal ini tidak ada petani di Siantan Kalimatan Barat yang
menanam padi. Pemanfaatan lahan gambut daerah ini untuk tanaman sayuran,
tanaman tahunan dan tanaman hortikultura.
Petani di Siantan Kalimatan Barat secara terus menerus melakukan rotasi
penanaman sayur sepanjang tahun. Mereka menanam kucai, kangkung darat sawi
keriting, bayam cabut, seledri dan gambas. Mereka menanam dalam bedengan
berukuran lebar 1,5 m dengan panjang bervariasi antara 5-10m. Dalam setiap
masa pertanaman biasanya terdapat variasi 2-3 jenis tanaman sayuran, menurut
mereka terdapat beberapa tanaman yang dapat mengurangi ketebalan gambut
secara drastis, terutama tanaman yang dicabut. Rotasi tanaman yang mereka rotasi
meliputi: sawi-sawi, sawi-kangkung atau sawi bayam.
Pergiliran yang serupa dilakukan oleh petani di Kelurahan Kalampangan
Kalimantan Tengah , mereka umumnya melakukan penanaman secara intensif
dilahan pekarangannya dengan menanam sawi, kangkung dan bayam. Ketiga
tanaman ini sangat dominan ditanamai petani karena dianggap mudah
penanganannya, biayanya pun murah dan panennya cepat meskipun bila terjadi
15
over supply harganya pun menjadi sangat murah. Petani juga melakukan
penanaman secara tumpang sari antara jagung dan sawi atau jagung dan kangkung
serta sayur manis dan tomat. Dalam hal ini jagung dan tomat dianggap sebagai
penyapu sisa pupuk yang diberikan, selain itu petani juga menanam cabe, seledri,
kemangi dan kacang panjang.
Petani beranggapan sumber air merupakan hal penting dalam usahatani
dilahan gambut, oleh karena itu petani di Siantan Kalimatan Barat dan Kelurahan
Kalampangan Kalimantan Tengah membuat sumur yang dalam dilahan
usahataninya. Ketersediaan tenaga kerja yang cukup tinggi pada keluarga petani
keturunan Cina dan suku Jawa di Siantan Kalimatan Barat mendorong mereka
memanfaatkan secara manual, sebaliknya hampir semua rumah tangga petani di
Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah memiliki mesin pompa air sebagai
kelengkapan usahataninya dilahan gambut. Sebagian petani di Desa Serindang
Kalimantan Barat menggunakan tajak untuk pengolahan tanahnya pada
penanaman padi, peralatan ini digunakan dengan mengadopsi keterampilan petani
banjar dan didukung oleh pandai besi (pengrajin) yang ada di daerah ini yang
merupakan keturunan petani banjar (nagara). Petani di Kelurahan Kalampangan
Kalimantan Tengah menciptakan cangkul garpu untuk pengolahan tanah.
Cangkul ini sangat cocok untuk mengolah tanah gambut karena tanah tidak
lengket dan dapat langsung mencacah lapisan gambut yang dicangkul.
3.2. Pemanfaatan Lahan Gambut Berbasis Kearifan Lokal pada Subsektor
Peternakan
Hutan rawa gambut dikenal sebagai tempat hidup berbagai hewan liar,
menurut Noor (2010) awalnya hewan-hewan tersebut dibiarkan hidup secara
alami dan diburu atau ditangkap secara terbatas untuk kebutuhan hidup sehari-hari
seperti biawak, babi hutan, ular, burung hutan, dan sebagainya. Beberapa hewan
liar seperti bangsa unggas dan hewan ternak besar seperti kerbau kemudian di
pelihara dan dijinakan sehingga menjadi sumber pendapatan tetap bagi
masyarakat dikawasan rawa gambut, diantaranya: di Hulu Sungai Utara
Kalimantan Selatan dikenal jenis unggas yang disebut itik alabio atau itik
pegagan, di Jenamas, Barito Selatan, Kalimantan Tengah, danau Panggang
16
Kalimantan selatan dikenal kerbau rawa, lain lagi dengan masyarakat petani
belawang Kabupaten Barito Koala Kalimantan Selatan mereka biasanya
memelihara kerbau yang hidupnya di rawa-rawa dengan pakan yang tersedia
dihutan rawa. Kerbau peliharaan masyarakat tersebut bebas dilepas liarkan.
Gambar 1 dan Gambar 2 merupakan contoh spesifik peternakan dihutan rawa
gambut.
rawa yang merupakan salah satu potensi yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal
yang ada dikawasan rawa gambut.
Pengembangan ternak besar seperti sapi potong, kambing dan unggas atau
ayam juga mulai berkembang dilahan gambut di kawasan pengembangan lahan
gambut (PLG) Kalimantan Tengah yang dipandu dengan usaha sayuran. Daerah-
daerah lahan gambut penghasil sayuran umumnya juga adalah daerah
pengembangan ternak sapi seperti Basarang dan Kanamit (kabupaten Pulang
Pisau), Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah dan Lamunti.
3.3. Pemanfaatan Lahan Gambut Berbasis Kearifan Lokal pada Subsektor
Perikanan
Lahan gambut merupakan lahan basah yang sebagian berada pada daerah
aliran sungai-sungai besar dan anak sungainya sehingga cukup potensial untuk
pengembangan perikanan, menurut Sunarno (2006) tekanan ekologi terhadap
sumberdaya perikanan akibat pengembangan teknologi dan pengelolaan yang
tidak ramah lingkungan mendorong percepatan penurunan populasi ikan bahkan
pemusnahan beberapa jenis ikan. Masyarakat lokal memanfaatkan rawa gambut
dengan sistem usaha perikanan tradisional yang disebut dengan sistem beje dan
keramba.
3.3.1. Sistem Beje
Penduduk lokal dilahan rawa gambut di Kalimantan selatan dan
Kalimantan tengah sangat populer dengan sistem beje yaitu pemeliharaan atau
penangkapan ikan secara tradisional. Hasil inventarisasi Badan Riset Perikanan
Umum di sungai barito, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menunjukan
bahwa terdapat sekitar 104 jenis ikan dengan sebaran 60% berada dibagian
tengah, 10% dibagian hulu, dan 30% dibagian hilir (Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, 2004).
Sistem beje termasuk usaha perikanan tangkap hanya saja usaha perikanan
sistem beje ini memiliki karakteristik yang spesifik di lahan rawa umumnya di
wilayah Kalimantan. Sistem beje merupakan upaya pemanfaatan masa surutnya
genangan memasuki musim kemarau. Beje dapat terbentuk secara alami seperti
dari bekas sisa-sisa pohon besar yang tumbang sehingga meninggalkan sebuah
18
lubang besar yang kemudian menjadi tempat yang disukai ikan sekaligus menjadi
perangkap untuk ikan karena begitu genangan turun ikan terkurung didalam beje
tersebut. Selain itu beje juga dapat dibuat sendiri dengan menggali lahan di
pingiran sungai maupun di lokasi pasang surut air yang diperkirakan banyak
dikunjungi ikan pada saat pasang atau banjir. Lebih jelasnya mengenai beje dapat
dilihat pada Gambar 3.
Dalam sistem beje, kondisi lingkungan dibentuk agar ikan selalu datang
atau masuk ke dalam beje sesuai dengan yang diinginkan. Hasil penelitian
Rupawan (2006) menunjukan bahwa kisaran hasil beje berkisar antara 128 –
1.745 kg/tahun. Hasil panen beje selain ditentukan oleh luasannya juga faktor
lokasi beje dari pinggiran sungai dan beje yang dihubungkan dengan sungai (beje
sungai) memberikan hasil lebih tinggi antara 750-1.745 kg/tahun.
3.3.2. Sistem Keramba
Perikanan keramba adalah bukan perikanan asli dan spesifik rawa, sistem
keramba ini diintroduksikan dari petani Sunda, Jawa Barat yang masuk ke
Kalimantan melalui program transmigrasi. Sistem keramba ini mengalami
perkembangan pesat dilahan rawa baik pasang surut maupun rawa lebak, misalnya
19
dilahan rawa lebak Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan terdapat sekitar 2.450
buah keramba yang tersebar di tiga Kecamatan yaitu Amuntai, Babirik dan Danau
Panggang yang merupakan wilayah daerah aliran sungai nagara sampai anak
sungai barito. Spesifik keramba dapat dilihat pada Gambar 4.
perikanan maupun sumberdaya alam dari hutan berupa kayu, rotan, gembor dan
madu hutan. Untuk dapat mengelola wilayahnya, masyarakat desa Batilap
kemudian membentuk sebuah organisasi yaitu Organisasi Inggawi
Sasamaan(OIS).
OIS Desa Batilap ini didirikan atas inisiatif masyarakat pada tanggal 27
pebruari 2001 yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga melalui
usaha bersama pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan
dan mengutamakan perlindungan sumberdaya alam. Salah satu upaya pertama
yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pemetaan wilayah kelola desa,
bekerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati).
Melalui organisasi OIS dan masih bekerja sama dengan Kehati,
masyarakat desa Batilap mengadakan sebuah program bersama yakni Program
Rehabilitasi Ekosistem dihutan gambut bekas terbakar dan pengembangan
ekonomi masyarakat berbasis potensi alam. Program ini merupakan alternatif
untuk menciptakan usaha baru bagi masyarakat desa Batilap yang terdiri dari
berbagai kegiatan penanaman bibit karet lokal dikawasan hutan bekas terbakar
yang tersebar di lokasi lahan bekas terbakar di Dusun Muara Puning dan Desa
Batilap oleh masing-masing anggota kelompok tani karet dan berbagai komoditi
buah dan tanaman lainnya (Tim Riset Walhi Kalimantan Tengah, 2010).
21
IV. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Barito Selatan. 2010. Kerbau Rawa
Jenamas. Buntok
Sunarno. 2006. Rawa Lebak Sebagai Wadah Produksi Ikan. Balai Peneilitian
Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
23
Rupawan. 2006. Beje Sebagai Kolam Produksi dilahan Rawa Lebak. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Tim Riset Walhi Kalimantan Tengah. 2010. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dikawasan Eks. Penegmbangan Lahan Gambut (PLG).
PalangSkaraya.