Anda di halaman 1dari 24

0

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT BERBASIS KEARIFAN LOKAL


DI KALIMANTAN

Oleh:
Patnu
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian fakultas Pertanian Palangka Raya

Eldy Indra Purnawan


Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya, 2015

Email: eldyindra.p@gmail.com

ABSTRAK

Lahan gambut dikenal unik dan multifungsi yang ditunjukkan oleh


kekhasannya dalam proses pembentukannya, keragaman bahan penyusun yang
diakumulasikan, keanekaragaman flora dan fauna hutannya, fungsi hidrologi
dalam bentang lahan alami dan fungsi sebagai pengendalian iklim global.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan dilakukan masyarakat
dengan pengetahuan lokal yang berkembang sebagai kearifan dari masyarakat
dalam mendayagunakan sumberdaya lahan gambut. Hal ini dipahami mengingat
interaksi masyarakat yang mengelola dan memanfaatkan lahan gambut relatif dari
waktu ke waktu secara turun temurun. Upaya mempertahankan kehidupannya
petani dilahan gambut berupaya memahami dan memanfaatkan lingkungan lahan
gambut yang mereka usahakan. Pemanfaatan lahan gambut berbasis kearifan lokal
pada subsektor perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura di Kalimantan
berupa upaya meningkatkan kesuburan lahan gambut, pola penataan dan
pengelolaan lahan gambut, teknologi budidaya, pola tanam dan peralatan
pertanian. Pemanfaatan lahan gambut berbasis kearifan lokal pada subsektor
peternakan dilahan di Kalimantan lebih mengarah pada perbedaan teknik
budidaya yang melepas liarkan hewan peliharaan di hutan rawa gambut untuk
dapat memanfaatkan makanan yang ada dihutan rawa gambut. Pemanfaatan rawa
gambut berbasis kearifan lokal pada subsektor perikanan pada penduduk lokal
rawa gambut di Kalimantan lebih kepada perikanan tradisional dengan sistem
beje dan sistem keramba. Pemanfaatan kehutanan gambut berbasis kearifan lokal
pada subsektor kehutanan lebih kepada pemanfaatan sumberdaya hutan seperti
getah kayu gembor, garu, damar, ramin dan rotan dan pengelolaan berkelanjutan
dengan membentuk Organisasi Inggawi Sasamaan (OIS) oleh masyarakat desa
Batilap.

Kata Kunci: Lahan Gambut, Kearufan Lokal, Perkebunan, Peternakan,


Perikanan, Kehutanan
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lahan gambut dikenal unik dan multifungsi yang ditunjukkan oleh
kekhasannya dalam proses pembentukannya, keragaman bahan penyusun yang
diakumulasikan, keanekaragaman flora dan fauna hutannya, fungsi hidrologi
dalam bentang lahan alami dan fungsi sebagai pengendalian iklim global. Luas
lahan gambut di Indonesia terdapat perbedaan dari berbagai sumber. Dari
beberapa penulis atau sumber dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia menurut
beberapa sumber.
Penyebaran Gambut (Dalam Juta Hektar)
Penulis/Sumber Total
Kalimantan Sumatera Papua Lainnya
Driessen (1978) 6,3 9,7 0,1 16,1
Puslit Tanah (1981) 6,5 8,9 10,9 0,2 26,5
Euroconsult (1984) 4,93 6,84 5,46 - 17,2
Soekardi dan Hidayat
9,3 4,5 4,6 <0,1 18,4
(1988)
Subagyo dkk. (1990) 5,4 6,4 3,1 - 14,9
Deptrans (1990) 6,4 6,9 4,2 0,3 17,8
Nugroho dkk. (1992) 6,1 4,8 2,5 0,1 13,5
Radjagukguk (1993) 6,79 8,25 4,62 0,4 20,1
Dwiyono dan
4,34 7,16 8,40 0,1 20,0
Rachman (1996)
Deptrans (1998) 6,8 8,2 4,6 0,4 20,1
Sumber: Noor (2001)
Kontroversi tentang lahan gambut di Indonesia selalu muncul, pada
awalnya penggunaan lahan gambut untuk pemukiman dan pertanian selalu
dihindari masyarakat lokal. Mereka hanya memanfaatkan lahan gambut sangat
terbatas, yang didasarkan pada kearifan budaya (indigenous knowledge) setempat,
sehingga kerusakan lingkungan gambut menjadi sangat kecil. Alasan dihindarinya
penggunaan lahan gambut (khususnya gambut tebal) dipandang karena
produktivitas lahannya yang rendah.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian baru dimulai sekitar tahun
1920-an. Pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat setempat secara terbatas
untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Pengalaman dan pengetahuan dalam
pemanfaatan lahan gambut baik kegagalan maupun keberhasilan diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi.Pewarisan tersebut melalui tradisi
2

lisan dari mulut ke mulut sehingga menjadi pembelajaran dan merupakan sumber
pengetahuan empirik dalam perencanaan pengelolaan lahan gambut (Noor dan
Jumberi, 2007).
Pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun menjadi pembelajaran
bagi generasi selanjutnya sampai menjadi adat yang melembaga yang disebut
kearifan lokal setempat (Noor, 2010).
Perbandingan luasan lahan gambut di berbagai Provinsi di Kalimantan
dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Luas lahan gambut di Pulau Kalimantan berdasarkan ketebalannya
(dalam ribu hektar)
Tipologi Dan Ketebalan Gambut (Cm)
Bergambut Lahan Gambut
Gambut Total
Gambut Gambut Gambut
Provinsi Sangat Lahan
Dangkal Sedang Dalam
<50 Dalam Gambut
100- 200- <50-
50-100 >400
200 400 >400
Kalimantan
75,99 958,49 462,40 574,98 938,79 2.934,66
Tengah
Kalimantan
38,63 438,17 737,11 213,71 304,32 1.693,31
Barat
Kalimantan
0 264,56 112,51 219,70 100,22 696,99
Timur
Kalimantan
76,78 79,47 78,77 96,71 0 254,95
Selatan
Sumber: Wahyunto dalam Noor (2010)
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan dilakukan
masyarakat dengan pengetahuan lokal yang berkembang sebagai kearifan dari
masyarakat dalam mendayagunakan sumberdaya lahan gambut. Hal ini dipahami
mengingat interaksi masyarakat yang mengelola dan memanfaatkan lahan gambut
relatif dari waktu ke waktu secara turun temurun. Upaya mempertahankan
kehidupannya petani dilahan gambut berupaya memahami dan memanfaatkan
lingkungan lahan gambut yang mereka usahakan.
3

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Mengetahui pemanfaatan lahan gambut berbasis kearifan lokal pada
subsektor pertanian.
2. Mengetahui pemanfaatan lahan gambut berbasis kearifan lokal pada
subsektor peternakan.
3. Mengetahui pemanfaatan lahan gambut berbasis kearifan lokal pada
subsektor perikanan.
4. Mengetahui pemanfaatan lahan gambut berbasis kearifan lokal pada
subsektor kehutanan.
1.3 Kegunaan Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan berguna:
1. Sebagai tambahan informasi bagi semua kalangan dalam memperkaya
pengetahuan dan wawasan tentang pemanfaatan lahan gambut berbasis
kearifan lokal.
2. Bagi pemerintah dan instansi yang terkait, sebagai informasi dan bahan
masukan dalam membuat kebijakan terkhusus mengenai kearifan lokal dalam
pemanfaatan lahan gambut.
4

II. TELAAH PUSTAKA

2.1. Pengertian Gambut


Istilah gambut diambil dari kosakata bahasa daerah Kalimantan Selatan
(suku Banjar) yang masuk dalam kosakata bahasa Indonesia sejak tahun 1970-an.
Kata gambut sebenarnya adalah nama salah satu ibukota Kecamatan di Kabupaten
banjar yaitu Kecamatan Gambut. Wilayah Kecamatan Gambut dikenal
mempunyai hamparan gambut yang cukup luas yang dibuka sejak tahun 1920-an
dan berhasil menjadi wilayah sentra produksi padi sampai sekarang. Masing-
masing daerah atau suku menggunakan sebutan tersendiri untuk gambut
diantaranya ambul (Kalimantan Selatan), sepuk (Kalimantan Barat), tanah hitam
(Jawa), tanah rawang atau tanah payo (Sumatera: khususnya Jambi dan Riau).
(Noor, 2010).
Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun
secara alami dalam keadaan basah berlebihan, gambut di wilayah tropik seperti
Indonesia umumnya terbentuk pada ekosistem hutan rawa atau payau. Ekosistem
ini dipengaruhi oleh pasang surut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagian gambut dikenal dengan nama gambut ombrogen yang wilayahnya
berada lebih tinggi dari muka air sungai atau muka air tanah, karena letaknya
lebih tinggi maka mempunyai sifat yang berbeda, gambut ini disebut gambut
pedalaman.
2.2. Pembentukan Gambut
Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapis
sehingga mencapai ketebalan >30 cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini
merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang lama.
Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun silam, perubahan
berupa peningkatan suhu global yang terjadi sekitar 10.000 tahun silam
mengakibatkan lapisan es di daerah kutub utara mencair sehingga secara perlahan
terjadi peningkatan muka air laut.
5

2.3. Ragam Jenis Gambut


Berdasakan bahan asal atau penyusunnya, gambut dibedakan 3 bahan:
1. Gambut lumutan (sedimentairy/ moss peat) adalah gambut yang terdiri atas
campuran tanaman air termasuk plankton dan sejenisnya.
2. Gambut seratan (fibrous/ sedge peat) adalah gambut yang terdiri atas campuran
tanaman sphagnum dan rerumputan.
3. Gambut kayuan (woody peat) adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-
pohonan beserta paku-pakuan.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan 3 golongan :
1. Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral terutama
kalsium karbonat sebagian besar berada di daerah payau dan berasal dari
vegetasi serat atau rerumputan, serta bersifat netral.
2. Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral
khususnya kalsium dan magnesium serta bersifat asam atau sangat asam
3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antar dua golongan diatas.
Menurut lingkungan pembentukan atau fisiografinya, gambut dibedakan
menjadi 4:
1. Gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk di daerah
cekungan, lembah sungai, atau rawa (backwamps).
2. Gambut sungai (river peat) adalah gambut yang terbentuk disepanjang singai
yang masuk ke daerah lembah kurang dari 1 km.
3. Gambut dataran tinggi (highland peat) adalah gambut yeng terbentuk di bukit
atau pegunungan.
4. Gambut dataran pesisir atau pantai (coastal peat) adalah gambut yang
terbentuk di sepanjang garis pantai.
Berdasarkan sifat kematangannya (ripeness) gambut dapat dibedakan 3
jenis:
1. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang
dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau
sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinnya dengan ukuran
yang beragam.
6

2. Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami


perombakan dan bersifat separuh matang.
3. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami
perombakan sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang.
Berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya, gambut dipilah dalam 5
kategori:
1. Lahan gambut yang mempunyai lapisan bahan organik <50 cm digolongkan
kedalam tanah (mineral) bergambut atau tanah humus.
2. Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan
bahan organik antara 50-100 cm.
3. Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan
bahan organik antara 100-200 cm.
4. Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan laipisan
bahan organik antara 200-300 cm.
5. Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan
laipsan bahan organik >300 cm.
2.4. Pengertian Kearifan Lokal
Manusia mempunyai kapasitas untuk menyerap apa yang terjadi
disekelilingnya, selanjutnya menganalisis dan menafsir baik secara hasil
pengamatan maupun pengalaman yang pada gilirannya dapat digunakan untuk
meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Jadi pengetahuan merupakan keluaran dari proses pembelajaran dan penjelasan
berdasarkan pemikiran dan persepsi mereka, namun demikian dalam tatanan
falsafah ilmu, pengetahuan bukanlah merupakan kebenaran bersifat mutlak dan
hakiki. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu tindakan nyata, dibalik
pengetahuan atau disisi pengetahuan dalam masyarakat ada norma budaya atau
kewajiban yang dapat mempengaruhi arah keputusan yang diambil baik kemudian
bersifat positif atau negatf.
Menurut Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous adalah
sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari
generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan
7

seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat, pengetahuan ini juga merupakan hasil kreatifitas dan
inovasi atau uji coba secara terus menerus dengan melibatkan masukan internal
dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru
setempat. Oleh Karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan
sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah.
Teknologi eksternal akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka
sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan
praktis petani tentang ekosistem lokal, sumberdaya alam dan bagaimana mereka
saling berinteraksi, baik dalam teknik bertani maupun keterampilan dalam
mengelola sumberdaya alam. Jadi pengetahuan indigenous tidak hanya sebatas
pada metode dan tekniknya, tetapi juga mencakup tentang pemahaman (insigt),
persepsi dan perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang
melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi
geologis dan meteorologis. Pengetahuan lokal yang demikian menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan dalam tradisi dan
mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama, inilah yang disebut dengan
kearifan lokal (Noor dan Jumberi, 2007)
8

III. ANALISIS SINTETIS

3.1. Pemanfaatan Lahan Gambut Berbasis Kearifan Lokal pada Subsektor


Perkebunan, Tanaman Pangan dan Hortikultura
Pertanian dilahan gambut berkembang dimulai dari upaya masyarakat
setempat yang sehari-harinya hidup di kawasan gambut. Bertani dilahan gambut
pada awalnya dilakukan secara alami, keberhasilan dan kegagalannya tergantung
dengan keadaan alam. Masyarakat setempat dilahan gambut tidak mempunyai
pilihan lain, kecuali berupaya memberdayakan lahan gambut tersebut sebaik-
baiknya untuk memenuhi kebutuhan. Beragam kearifan lokal dalam perspektif
pemanfaatan lahan gambut berkembang dalam masyarakat setempat maupun
dalam skala terbatas, tetapi dapat dijadikan suatu pembelajaran seperti disajikan
dalam Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Cara-Cara Pemanfaatan Lahan Gambut Dalam Perspektif Kearifan Lokal
Dari Berbagai Lokasi di Kalimantan.
No Lokasi Pengelola Penyiapan Pengelolaan Pola Tanam
an Air Lahan Tanah
dan Hara
1 Kalimantan Sistem Sistem bakar Pemberian Sayuran
Tengah tatah Terkendali abu seresah gulma
(Kelurahan - Sistem tebas Pemberian abu Karet
Kalampangan, bakar terkendali seresah gulma
Desa Basarang, - Sistem bakar Kalender bulan Padi ladang
Desa Kanamit, menurut bulan Berladang sistem tugal
Desa Pangkoh) berladang
2 Kalimantan Sistem Sistem tajak – Pemberian garam, Padi sawah
Selatan handil gumpal-hampar abu dan sisa
(Kecamatan dan tabat panen (jerami)
Labuan Amas Sistem Sistem tebas Sistem malibur Jeruk siam
Utara, Kecamatan tukungan Terkendali
Sungai Pandan, Sistem Sistem gulung- Pemberian abu Ubi jalar
Desa Mentaas, drainase Tarik dan Garam
Desa Babirik, Dangkal
Martapura)
3 Kalimantan Sistem Sistem bakar Pemberian abu Sayur(kucai,
Barat tabat Terkendali (seresah, kotoran seledri,
(Kecamatan Bertingkat ayam dan tomat, cabai)
Siantan, Rasau ikan kering/
Jaya, Serindang) kepala udang)
Sistem Sistem tebas Sistem malibur Jeruk siam
tukungan bakar terkendali
Sumber: Noorginayuwati dkk. (2007)
9

Pemanfaatan lahan gambut sangat beragam karena dibatasi pengalaman


dan pemahaman, masing-masing daerah, dan suku (etnis) yang tinggal dan hidup
dilahan gambut mempunyai persepsi dan cara-cara yang berbeda dalam
memanfaatkan gambut sebagai sumberdaya lahan pertanian, termasuk para
pendatang dari etnis Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Bali dan lainnya yang
mempunyai kebiasaan usahatani dilahan kering memandang lahan gambut
berbeda, misalnya petani suku Banjar memandang lahan gambut cocok untuk
ditanami padi sawah, tetapi petani suku Jawa yang umumnya sebagai pendatang
memandang lahan gambut cocok untuk ditanami palawija dan sayuran.
Demikian juga suku-suku lainnya, seperti suku Bugis berpendapat bahwa
lahan gambut lebih tepat ditanami padi sawah, nenas dan kelapa seperti di Riau
dan Kalimantan Timur, suku dayak di Kalimantan Tengah berpendapat bahwa
lahan gambut lebih cocok ditanami padi ladang, karet, rotan, jelutung, nibung atau
sagu dan buah-buahanseperti durian atau cempedak. Lain lagi dengan suku Bali
yang bermukim di Kalimantan memandang lahan gambut cocok untuk buah-
buahan seperti nenas, cempedak berbeda dengan di Sulawesi Barat mereka
memandang lahan gambut cocok untuk tanaman jeruk dan cokelat.Orang-orang
Cina di Kalimantan Barat umumnya memandang lahan gambut lebih tepat untuk
ditanami sayuran daun seperti sawi, kucai, (sejenis bawang daun), seledri dan
lidah buaya. Sementara suku Melayu di Riau memandang lahan gambut cocok
untuk ditanami nenas, kelapa, karet atau kelapa sawit (Noor dkk, 2008).
Kesesuaian lahan gambut yang akan dimanfaatkan untuk pertanian dapat dilihat
pada Tabel 4 berikut :
10

Tabel 4. Kesesuaian Lahan Gambut Untuk Berbagai Jenis Tanaman Pertanian


Berdasarkan Ketebalannya.
Ketebalan gambut (cm)
Jenis Tanaman
0-100 100-200 >200
Padi sawah S2 S3 -
Pangan lahan kering(padi gogo, kedelai,Jagung,
S1 S2 S3
kacang tanah,dan sejenisnya)
Hortikultura(kubis, papaya, nenas,rambutan dan
S1 S1 S1
sejenisnya)
Perkebunan(kelapa, kelapa sawit, cokelat, kopi,
S1 S2 S2
karet)
S1= sangat sesuai, S2= sesuai, S3 kurang sesuai
Sumber: Radjagukguk dan Setiadi (1989) dalam Noorginayuwati dkk (2007)
Menurut Noorginayuwati dkk (2007) pemanfaatan lahan gambut untuk
pertanian berbasis kearifan lokal di Kalimantan mempunyai perbedaan
pemanfaatan dan pengelolaannya antara lain: upaya meningkatkan kesuburan
lahan gambut, pola penataan dan pengelolaan lahan gambut, teknologi budidaya,
pola tanam dan peralatan pertanian.
3.1.1. Upaya Meningkatkan Kesuburan Lahan Gambut
Petani di Kalimantan umumnya menggunakan abu untuk meningkatkan
kesuburan lahan gambut, abu ini mereka peroleh dengan berbagai cara. Petani
yang sudah maju di Siantan Kalimatan Barat mengumpulkan sisa-sisa tanaman
dan tumbuhan penggangu (gulma) untuk dibakar dan diambil abunya, ada juga
yang menggunakan abu serbuk gergaji. Di Kelurahan Kalampangan Kalimantan
Tengah petani memanfaatkan abu sisa kebakaran lahan gambut baik dengan
mengumpulkan sendiri ataupun membeli, pada saat ini petani yang ada di
Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah sudah ada menggunakan abu dari
pembakaran gulma dan sisa-sisa tanaman.
Pemberian abu pada lahan bukaan baru memperhitungkan kondisi lapisan
gambutnya, meskipun umumnya diberikan dengan takaran sebanyak 6 kg/m 2,
lahan siap ditanami apabila lapisan gambut yang berwarnamerah berubah
warnanya menjadi abu-abu kekuningan setelah diberikan abu. Untuk tanah bukaan
baru yang agak bagus biasanya cukup dengan memberikan abu sebanyak 4 kg/m2
warnanya sudah akan berubah menjadi abu-abu kekuningan dan siap ditanamai.
Petani sayur di Kalampanangan memberikan abu dan pupuk kandang untuk tanah
yang ditanami sayuran sebanyak 2 kali, untuk sayuran mereka memberikan sedikit
11

demi sedikit tetapi dilakukan setiap 1-2 kali panen. Pupuk kandang dan abu
langsung ditabur diareal pertanaman pada musim hujan, tetapi pada musim
kemarau biasanya dalam bentuk bantuan.
Petani keturunan Cina dan suku Jawa di Siantan Kalimatan Barat serta
petani Jawa di Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah menggunakan pupuk
kandang untuk memperkaya kandungan hara lahan usahataninya, bahkan sayuran
yang dihasilkan petani keturunan Cina di Siantan Kalimatan Barat sempat ditolak
oleh konsumen muslim yang ada di Pontianak karena menggunakan pupuk
kandang dari kotoran babi. Oleh karena itu penggunaan pupuk dari kotoran babi
saat ini tidak lagi dipakai di Siantan Kalimatan Barat oleh petani, karena
mempertimbangkan selera konsumen. Pupuk kandang umumnya digunakan di
sentra-sentra sayur-sayuran yang ditanami dilahan gambut yang juga menjadi
sentra pengembangan ternak sapi, seperti di Kelurahan Kalampangan Kalimantan
Tengah Kalimantan Tengah. Bahan organik lain yang dianggap paling efektif
dalam meningkatkan kesuburan lahan gambut oleh petani di Siantan Kalimatan
Barat dan sekitar kota Pontianak, yaitu tepung ikan dan tepung kepala udang,
selain itu petani di Kalimantan Tengah umumnya melakukan pengapuran untuk
mengurangi kemasaman tanah dilahan gambut.
Sebagian petani yang beranggapan pengomposan dapat mempertahankan
ketebalan dan kualitas lahan gambut tidak dengan melakukan pembakaran, tetapi
hanya menimbun sisa-sisa tanaman dan gulma untuk dibusukkan kemudian
dikembalikan ke lahan usahataninya. Mereka juga menjadi konsumen tepung ikan
dan kepala udang yang sebelumnya menjadi limbah tak berguna dari usaha
perikanan. Untuk menghindari penguapan yang tinggi dilahan gambut pada
musim kemarau, petani di Siantan Kalimatan Barat memanfaatkan batang jerami
sebagai mulsa untuk tanaman sawi, sementara di Kelurahan Kalampangan
Kalimantan Tengah dan di Siantan Kalimatan Barat daun jerami dimanfaatkan
sebagai atap pelindung bagi tanaman yang peka terhadap cahaya matahari yang
berlebihan seperti tanaman seledri.
12

3.1.2. Pola Penataan dan Pengelolaan Lahan Gambut


Untuk menghilangkan lapisan gambut dilahan usahataninya, petani suku
Melayu di Kalimantan Barat biasanya melakukan dengan cara membuat saluran
air disekeliling lahan untuk pengeringan dan melakukan pembakaran, baik pada
saat pembukaan maupun setelah dibuat bedengan-bedengan yang kemudian
dibakar sebelum ditanami. Melalui cara ini maka dalam waktu jangka 3 tahun
ketebalan gambut dapat dikurang hingga 2 m. Menurut mereka lapisan gambut ini
tidak boleh dihabiskan karena tanah dibawahnya tidak mengandung humus. Untuk
maksud tersebut mereka biasanya menyisakan lapisan gambut hingga ketebalan
15 cm.
Pengelolaan lahan gambut yang penting untuk diperhatikan adalah saluran
air atau parit, petani beranggapan bahwa air gambut merupakan racun bagi
tanaman sehingga harus dibuang dengan mengalirkannya. Untuk mengalirkannya
maka pada saat awal pembukaan harus dibuat saluran air atau parit yang dalamnya
diatas 2,5 M. Setelah datang air hujan maka parit ditutup, hal ini dilakukan
agar air hujan yang tidak bersifat racun dapat dimanfaatkan untuk tanaman,
hasil penelitian Noorginayuwati dkk. (2007) yaitu kemasaman pada air dalam
(air gambut) dengan derajat keasaman (pH) 5,25 dan air luar (air hujan) dengan
derajat keasaman (pH) 4,25 pada lahan gambut di Desa Rasau Jaya dan Siantan
Kalimatan Barat yang diambil pada saat air surut.
Petani keturunan Cina di Siantan Kalimatan Barat menganggap lapisan
gambut sebagai media tumbuh yang utama bagi komoditas sayur-sayuran dan
hortikultura yang mereka tanam. Untuk mempertahankan ketebalan lapisan
gambut dilahan usahataninya, mereka tidak membuang seluruh air yang
menggenangi lahannya dengan membuat perintang arus air (tabat) dengan
ketinggian tertentu pada muara parit pembuang yang menuju ke parit besar dalam
kawasan pemukiman di Siantan Kalimatan Barat.
Sebaliknya petani di Desa Serindang dan Desa Rasau Jaya Kalimantan
Barat yang telah dibuka justru membuat parit untuk mengalirkan air sebanyak-
banyaknya agar lahan mereka cepat kering dan ketebalan lahan gambutnya cepat
berkurang. Cara ini sudah dilakukan petani Desa Serindang Kalimantan Barat
13

sebelum tahun 1960-an, mereka membuat parit di sekeliling kebun untuk setiap
lebar 20 m dan panjang 40 m, parit-parit ini bermuara pada parit pembuangan
yang lebih besar yang bermuara ke sungai pada setiap pemukiman. Lahan gambut
di Desa Rasau Jaya Kalimantan Barat yang telah dibuka secara intensif umumnya
lapisan gambutnya sudah sangat tipis, sebagian bahkan menjadi tanah bongkor
yang tidak dapat ditanami karena kesalahan dalam melakukan pengolahan tanah.
Sebagian lagi masih memiliki ketebalan gambut hingga 3 m, terutama untuk
daerah bukaan baru dan wilayah pemukiman yang memiliki tabat bertingkat.
Petani di Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah membuat parit dan
pintu air untuk mempertahankan ketebalan lapisan gambut dilahan usahataninya.
Parit dibuat berupa saluran sedalam 50 cm dan lebar 40 cm disekeliling lahan
dengan ukuran panjang 175 m dan lebar 100 m, dimana ditengah-tengah lahan
dibuat lagi satu saluran cacing kedalaman 20 cm dan lebar 20 cm yang membelah
lahan menjadi empat bagian. Saluran yang memanjang bermuara pada satu parit
yang lebih besar, parit keliling tidak pernah ditutup agar pada saat terjadinya
hujan lebat secara tiba-tiba lahan tidak tergenang, penutupan hanya dilakukan
pada saluran cacing supaya lahan tidak terlalu kering.
3.1.3. Teknologi Budidaya, Pola Tanam dan Peralatan Pertanian
Menurut pengetahuan petani tidak semua tanaman cocok untuk ditanam
dilahan gambut, untuk itu petani melakukan pemilihan jenis tanaman yang
disesuaikan dengan kondisi ketebalan gambut. Tata guna lahan gambut yang
diperuntukkan menurut Noor (2001) dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Tata Guna Lahan Gambut Berdasarkan Tipologi Dan Ketebalan Gambut.
Ketebalan
Tipologi Lahan Gambut Pemanfaatan
(Meter)
G-0 Bergambut <0,5 Sawah, Bedengan Budidaya,
Perumahan
G-1 Gambut Dangkal 0,5-1,0 Sawah Lahan Kering
G-2 Gambut Tengahan 1,0-2,0 Hortikultura Lahan Kering
G-3 Gambut Dalam 2,0-3,0 Perkebunan
G4 Sangat Dalam >3,0 Perkebunan
Kubah Gambut >3,0 Tamping Hujan
Sumber: Noor (2001)
14

Penentuan oleh petani yang dianggap sesuai dengan kondisi lahan pada
mulanya dilakukan dengan coba-coba (trial and error), kemudian dikembangkan
sebagai suatu pola tanam yang bertujuan untuk mencegah berkurangnya
kesuburan tanah, strategi untuk diversifikasi dalam rangka mengurangi resiko dan
jaminan kontinuitas pendapatan sepanjang tahun.Pada awal lahan gambut dibuka
atau pada lahan gambut yang masih tebal, petani umumnya menanam sayuran dan
palawija.
Petani di Desa Serindang dan Desa Rasau Jaya Kalimantan Barat
menanam tanaman tahunan seperti karet, durian, rambutan, jambu mente, nangka
dan cempedak. Tanaman keras ini mampu berproduksi tetapi pertumbuhannya
kurang sempurna karena tidak ada penopang akar yang kuat sehingga pohon
kelapa tumbuh miring dan tumbuhan lainnya akarnya berkembang menggantung
karena penurunan keadaan gambut. Sebagaimana pandangan petani dilahan
gambut lainnya, bagi petani di Siantan Kalimatan Barat gambut tebal tidak baik
untuk tanaman padi. Tanaman padi dapat tumbuh tetapi malainya tidak berisi
(hampa). Menyadari hal ini tidak ada petani di Siantan Kalimatan Barat yang
menanam padi. Pemanfaatan lahan gambut daerah ini untuk tanaman sayuran,
tanaman tahunan dan tanaman hortikultura.
Petani di Siantan Kalimatan Barat secara terus menerus melakukan rotasi
penanaman sayur sepanjang tahun. Mereka menanam kucai, kangkung darat sawi
keriting, bayam cabut, seledri dan gambas. Mereka menanam dalam bedengan
berukuran lebar 1,5 m dengan panjang bervariasi antara 5-10m. Dalam setiap
masa pertanaman biasanya terdapat variasi 2-3 jenis tanaman sayuran, menurut
mereka terdapat beberapa tanaman yang dapat mengurangi ketebalan gambut
secara drastis, terutama tanaman yang dicabut. Rotasi tanaman yang mereka rotasi
meliputi: sawi-sawi, sawi-kangkung atau sawi bayam.
Pergiliran yang serupa dilakukan oleh petani di Kelurahan Kalampangan
Kalimantan Tengah , mereka umumnya melakukan penanaman secara intensif
dilahan pekarangannya dengan menanam sawi, kangkung dan bayam. Ketiga
tanaman ini sangat dominan ditanamai petani karena dianggap mudah
penanganannya, biayanya pun murah dan panennya cepat meskipun bila terjadi
15

over supply harganya pun menjadi sangat murah. Petani juga melakukan
penanaman secara tumpang sari antara jagung dan sawi atau jagung dan kangkung
serta sayur manis dan tomat. Dalam hal ini jagung dan tomat dianggap sebagai
penyapu sisa pupuk yang diberikan, selain itu petani juga menanam cabe, seledri,
kemangi dan kacang panjang.
Petani beranggapan sumber air merupakan hal penting dalam usahatani
dilahan gambut, oleh karena itu petani di Siantan Kalimatan Barat dan Kelurahan
Kalampangan Kalimantan Tengah membuat sumur yang dalam dilahan
usahataninya. Ketersediaan tenaga kerja yang cukup tinggi pada keluarga petani
keturunan Cina dan suku Jawa di Siantan Kalimatan Barat mendorong mereka
memanfaatkan secara manual, sebaliknya hampir semua rumah tangga petani di
Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah memiliki mesin pompa air sebagai
kelengkapan usahataninya dilahan gambut. Sebagian petani di Desa Serindang
Kalimantan Barat menggunakan tajak untuk pengolahan tanahnya pada
penanaman padi, peralatan ini digunakan dengan mengadopsi keterampilan petani
banjar dan didukung oleh pandai besi (pengrajin) yang ada di daerah ini yang
merupakan keturunan petani banjar (nagara). Petani di Kelurahan Kalampangan
Kalimantan Tengah menciptakan cangkul garpu untuk pengolahan tanah.
Cangkul ini sangat cocok untuk mengolah tanah gambut karena tanah tidak
lengket dan dapat langsung mencacah lapisan gambut yang dicangkul.
3.2. Pemanfaatan Lahan Gambut Berbasis Kearifan Lokal pada Subsektor
Peternakan
Hutan rawa gambut dikenal sebagai tempat hidup berbagai hewan liar,
menurut Noor (2010) awalnya hewan-hewan tersebut dibiarkan hidup secara
alami dan diburu atau ditangkap secara terbatas untuk kebutuhan hidup sehari-hari
seperti biawak, babi hutan, ular, burung hutan, dan sebagainya. Beberapa hewan
liar seperti bangsa unggas dan hewan ternak besar seperti kerbau kemudian di
pelihara dan dijinakan sehingga menjadi sumber pendapatan tetap bagi
masyarakat dikawasan rawa gambut, diantaranya: di Hulu Sungai Utara
Kalimantan Selatan dikenal jenis unggas yang disebut itik alabio atau itik
pegagan, di Jenamas, Barito Selatan, Kalimantan Tengah, danau Panggang
16

Kalimantan selatan dikenal kerbau rawa, lain lagi dengan masyarakat petani
belawang Kabupaten Barito Koala Kalimantan Selatan mereka biasanya
memelihara kerbau yang hidupnya di rawa-rawa dengan pakan yang tersedia
dihutan rawa. Kerbau peliharaan masyarakat tersebut bebas dilepas liarkan.
Gambar 1 dan Gambar 2 merupakan contoh spesifik peternakan dihutan rawa
gambut.

Gambar 1. Itik Alabio Yang Dilepaskan Dari Kandangnya (Lanting)


Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kalimantan Selatan,
2008

Gambar 2. Kandang Ternak dan Penggembalaan Kerbau Rawa


Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Barito Selatan, 2010
Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Laut, 2013

Pemeliharaan ternak spesifik rawa ini umumnya masih bersifat ekstensi


artinya menggunakan teknologi yang tradisional atau konvensional. Dalam
pemeliharaan ternak ini para petani menyediakan tempat yang disebut lanting atau
kandang sederhana diatas rawa gambutdan kandang biasa yang dibuat diatas lahan
gambut untuk itik alabio. Pemeliharaan kerbau rawa, peternak membuat kalang
yaitu kandang di atas air, secara lokal uraian berikut mengemukakan tentang
pemeliharaan dan pengembangan budidaya itik alabio dan kerbau rawa dilahan
17

rawa yang merupakan salah satu potensi yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal
yang ada dikawasan rawa gambut.
Pengembangan ternak besar seperti sapi potong, kambing dan unggas atau
ayam juga mulai berkembang dilahan gambut di kawasan pengembangan lahan
gambut (PLG) Kalimantan Tengah yang dipandu dengan usaha sayuran. Daerah-
daerah lahan gambut penghasil sayuran umumnya juga adalah daerah
pengembangan ternak sapi seperti Basarang dan Kanamit (kabupaten Pulang
Pisau), Kelurahan Kalampangan Kalimantan Tengah dan Lamunti.
3.3. Pemanfaatan Lahan Gambut Berbasis Kearifan Lokal pada Subsektor
Perikanan
Lahan gambut merupakan lahan basah yang sebagian berada pada daerah
aliran sungai-sungai besar dan anak sungainya sehingga cukup potensial untuk
pengembangan perikanan, menurut Sunarno (2006) tekanan ekologi terhadap
sumberdaya perikanan akibat pengembangan teknologi dan pengelolaan yang
tidak ramah lingkungan mendorong percepatan penurunan populasi ikan bahkan
pemusnahan beberapa jenis ikan. Masyarakat lokal memanfaatkan rawa gambut
dengan sistem usaha perikanan tradisional yang disebut dengan sistem beje dan
keramba.
3.3.1. Sistem Beje
Penduduk lokal dilahan rawa gambut di Kalimantan selatan dan
Kalimantan tengah sangat populer dengan sistem beje yaitu pemeliharaan atau
penangkapan ikan secara tradisional. Hasil inventarisasi Badan Riset Perikanan
Umum di sungai barito, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menunjukan
bahwa terdapat sekitar 104 jenis ikan dengan sebaran 60% berada dibagian
tengah, 10% dibagian hulu, dan 30% dibagian hilir (Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, 2004).
Sistem beje termasuk usaha perikanan tangkap hanya saja usaha perikanan
sistem beje ini memiliki karakteristik yang spesifik di lahan rawa umumnya di
wilayah Kalimantan. Sistem beje merupakan upaya pemanfaatan masa surutnya
genangan memasuki musim kemarau. Beje dapat terbentuk secara alami seperti
dari bekas sisa-sisa pohon besar yang tumbang sehingga meninggalkan sebuah
18

lubang besar yang kemudian menjadi tempat yang disukai ikan sekaligus menjadi
perangkap untuk ikan karena begitu genangan turun ikan terkurung didalam beje
tersebut. Selain itu beje juga dapat dibuat sendiri dengan menggali lahan di
pingiran sungai maupun di lokasi pasang surut air yang diperkirakan banyak
dikunjungi ikan pada saat pasang atau banjir. Lebih jelasnya mengenai beje dapat
dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Beje Buatan Masyarakat disekitar Pinggiran Sungai


Sumber: Sri Najiyati dkk, 2005

Dalam sistem beje, kondisi lingkungan dibentuk agar ikan selalu datang
atau masuk ke dalam beje sesuai dengan yang diinginkan. Hasil penelitian
Rupawan (2006) menunjukan bahwa kisaran hasil beje berkisar antara 128 –
1.745 kg/tahun. Hasil panen beje selain ditentukan oleh luasannya juga faktor
lokasi beje dari pinggiran sungai dan beje yang dihubungkan dengan sungai (beje
sungai) memberikan hasil lebih tinggi antara 750-1.745 kg/tahun.
3.3.2. Sistem Keramba
Perikanan keramba adalah bukan perikanan asli dan spesifik rawa, sistem
keramba ini diintroduksikan dari petani Sunda, Jawa Barat yang masuk ke
Kalimantan melalui program transmigrasi. Sistem keramba ini mengalami
perkembangan pesat dilahan rawa baik pasang surut maupun rawa lebak, misalnya
19

dilahan rawa lebak Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan terdapat sekitar 2.450
buah keramba yang tersebar di tiga Kecamatan yaitu Amuntai, Babirik dan Danau
Panggang yang merupakan wilayah daerah aliran sungai nagara sampai anak
sungai barito. Spesifik keramba dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Spesifik Keramba Yang Digunakan Masyarakat


Sumber: Sri Najiyati dkk, 2005

Keramba dibuat umumnya dari bambu yang banyak didapati dilokasi


setempat dengan ukuran panjang 2 m, lebar 1,5 m dan tinggi 1 m. Jenis ikan yang
dibudidayakan beragam diantaranya patin, nila, toman dan papuyu (betok).
Biasanya permasalahan yang dihadapi petani keramba dilahan rawa pasang surut
dan rawa lebak adalah perubahan kualitas air atau air bangai (air pertama musim
hujan) yang dapat mematikan sejumlah ikan karena terjadi perubahan pada air
(mengandung toksis dan menjadi sangat masam).
3.4. Pemanfaatan Lahan Gambut Berbasis Kearifan Lokal Pada Subsektor
Kehutanan
Daerah aliran sungai puning (anak sungai Barito) terdapat 2 desa dan 2
dusun, yaitu Dusun Muara Puning, Desa Batilap, Desa Batampang dan Dusun
Simpang Telo. Sebagian besar rmata pencaharian utama dari penduduk didaerah
ini adalah sebagai nelayan ikan dan penebang kayu. Selain itu mereka juga
memiliki mata pencaharian lainyakni sebagai pemuar (pemanen madu lebah
alam), serta menjual hasil hutan bukan kayulainnya, seperti getah kayu gembor,
garu, damar, ramin dan beberapa jenis rotan alas (hutan). Desa Batilap sendiri
memiliki penduduk sebanyak 819 jiwa atau kurang lebihsekitar 238 KK. Dimana
90% dari jumlah penduduk tersebut merupakan pemanfaat sumberdaya alam baik
20

perikanan maupun sumberdaya alam dari hutan berupa kayu, rotan, gembor dan
madu hutan. Untuk dapat mengelola wilayahnya, masyarakat desa Batilap
kemudian membentuk sebuah organisasi yaitu Organisasi Inggawi
Sasamaan(OIS).
OIS Desa Batilap ini didirikan atas inisiatif masyarakat pada tanggal 27
pebruari 2001 yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga melalui
usaha bersama pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan
dan mengutamakan perlindungan sumberdaya alam. Salah satu upaya pertama
yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pemetaan wilayah kelola desa,
bekerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati).
Melalui organisasi OIS dan masih bekerja sama dengan Kehati,
masyarakat desa Batilap mengadakan sebuah program bersama yakni Program
Rehabilitasi Ekosistem dihutan gambut bekas terbakar dan pengembangan
ekonomi masyarakat berbasis potensi alam. Program ini merupakan alternatif
untuk menciptakan usaha baru bagi masyarakat desa Batilap yang terdiri dari
berbagai kegiatan penanaman bibit karet lokal dikawasan hutan bekas terbakar
yang tersebar di lokasi lahan bekas terbakar di Dusun Muara Puning dan Desa
Batilap oleh masing-masing anggota kelompok tani karet dan berbagai komoditi
buah dan tanaman lainnya (Tim Riset Walhi Kalimantan Tengah, 2010).
21

IV. KESIMPULAN

1. Pemanfaatan lahan gambut berbasis kearifan lokal pada subsektor perkebunan,


tanaman pangan dan hortikultura di Kalimantan berupa upaya meningkatkan
kesuburan lahan gambut, pola penataan dan pengelolaan lahan gambut,
teknologi budidaya, pola tanam dan peralatan pertanian.
2. Pemanfaatan lahan gambut berbasis kearifan lokal pada subsektor peternakan
dilahan di Kalimantan lebih mengarah pada perbedaan teknik budidaya yang
melepas liarkan hewan peliharaan di hutan rawa gambut untuk dapat
memanfaatkan makanan yang ada dihutan rawa gambut.
3. Pemanfaatan rawa gambut berbasis kearifan lokal pada subsektor perikanan
pada penduduk lokal rawa gambut di Kalimantan lebih kepada perikanan
tradisional dengan sistem beje dan sistem keramba.
4. Pemanfaatan kehutanan gambut berbasis kearifan lokal pada subsektor
kehutanan lebih kepada pemanfaatan sumberdaya hutan seperti getah kayu
gembor, garu, damar, ramin dan rotan dan pengelolaan berkelanjutan dengan
membentuk Organisasi Inggawi Sasamaan (OIS) oleh masyarakat desa Batilap.
22

DAFTAR PUSTAKA

Badan Riset Kelautan Dan Perikanan. 2004. Penelitian Keragaman di Daerah


Aliran Sungai Barito Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Balai
Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.

Badan Riset Kelautan Dan Perikanan. 2004. Penelitian Keragaman di Daerah


Aliran Sungai Barito Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Balai
Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.

Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Barito Selatan. 2010. Kerbau Rawa
Jenamas. Buntok

Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Laut. 2013. Peternakan Kerbau Dari


Perspektif Yang Berbeda. Tanah Laut.

Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan


Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek
Climate Change, Forests And Peatleands In Indonesia. Weatleands
International – Indonesia Proggramme dan Wildlife Habitat Canada.
Bogor. Indonesia.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisius.


Yogyakarta.

Noor, M. 2010. Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi dan Perubanhan


Iklim. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Noor, M. dan Jumberi, Achmad. 2007. Kearifan Lokal Dalam Perspektif


Pengembangan Pertanian Dilahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa. Banjarbaru.

Noor, M. Noorginayuwati. Jumberi, Achmad. 2008. Pemanfaatan dan Pengelolaan


Lahan Gambut Untuk Pertanian: Keterbatasan, Ketentuan dan Kelestarian.
Pustek Pengelolaan Sumberdaya Lahan, Wilayah dan Mitigasi Bencana.
BPP Teknologi. Jakarta.

Noorginayuwati. A, Rafiq, M, Noor. dan Jumberi. 2007. Kearifan Lokal Dalam


Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian Di Kalimantan. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.

Sunarno. 2006. Rawa Lebak Sebagai Wadah Produksi Ikan. Balai Peneilitian
Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
23

Sunaryo dan L, Joshi. 2003. Peran Pengetahuan Ekologi Dalam Sistem


Agroforestry, World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia
Regional Office. Bogor. Indonesia.

Rupawan. 2006. Beje Sebagai Kolam Produksi dilahan Rawa Lebak. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.

Tim Riset Walhi Kalimantan Tengah. 2010. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dikawasan Eks. Penegmbangan Lahan Gambut (PLG).
PalangSkaraya.

Anda mungkin juga menyukai