Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN KUALITAS AIR

“Rawa Lebak”

Oleh :
INDRA HARTAWAN : 442017001
INDAH TRI UTAMI : 442017002

Dosen Pembimbing :
Khusnul Khotimah, S.P., M.Si

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERIKANAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai, sungai yang berfungsi sebagai
wadah pengaliran air selalu berada di posisi paling rendah dalam landskap bumi,
sehingga kondisi sungai tidak dapat dipisahkan dari kondisi Daerah Aliran Sungai
(PP 38 Tahun 2011). Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air
yang berasal dari daerah tangkapan sedangkan kualitas pasokan air dari daerah
tangkapan berkaitan dengan aktivitas manusia yang ada di dalamnya (Wiwoho,
2005).
Perubahan kondisi kualitas air pada aliran sungai merupakan dampak dari
buangan dari penggunaan lahan yang ada (Tafangenyasha dan Dzinomwa, 2005)
Perubahan pola pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian, tegalan dan
permukiman serta meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak
terhadap kondisi hidrologis dalam suatu Daerah Aliran Sungai. Selain itu,
berbagai aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berasal
dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian akan menghasilkan limbah
yang memberi sumbangan pada penurunan kualitas air sungai (Suriawiria, 2003).
Berbagai aktivitas penggunaan lahan di wilayah DAS Blukar seperti
aktivitas permukiman, pertanian dan industri diperkirakan telah mempengaruhi
kualitas air Sungai Blukar. Aktivitas permukiman dan pertanian menyebar
meliputi segmen tengah DAS. Hasil pemantauan kualitas air sungai yang
dilakukan Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Kendal pada Sungai Blukar
tahun 2006 menunjukkan parameter COD, belerang sebagai H2S dan Phenol tidak
memenuhi kriteria mutu air kelas II serta pada tahun 2007 parameter Timbal (Pb),
Phospat (PO4), Chlorine bebas (Cl2) tidak memenuhi kriteria mutu air kelas II
sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Kantor Lingkungan Hidup
Kabupaten Kendal, 2007).
Menurut Priyambada et al. (2008) bahwa perubahan tata guna lahan yang
ditandai dengan meningkatnya aktivitas domestik, pertanian dan industri akan
mempengaruhi dan memberikan dampak terhadap kondisi kualitas air sungai
terutama aktivitas domestik yang memberikan masukan konsentrasi BOD terbesar
ke badan sungai. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu dilakukan
analisis kualitas air sungai Blukar serta merumuskan strategi pengendalian
pencemaran air yang perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis kualitas air sungai Blukar serta merumuskan prioritas strategi
pengendalian pencemaran air sungai.

B. Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui parameter
kualitas air pada rawa lebak.
II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Rawa Lebak


Kata Lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang diartikan sebagai
'lembah atau tanah rendah' (Poerwadarminto, 1976). Rawa lebak adalah wilayah
daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga
bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan
atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan
peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lahan rawa lebak. Rawa lebak
yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa
monoton. Karena kedudukannya yang menjorok masuk jauh dari muara
laut/sungai besar, rawa lebak sering disebut juga dengan rawa pedalaman.
Beragam istilah digunakan untuk sebutan rawa lebak ini, misalnya di Jambi,
Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan disebut rawang atau lebung; di Riau dan
sekitarnya disebut payo atau lumo; di Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Selatan baruh atau watun; di Kalimantan Timur disebut rapak atau kelan. Lebak
yang mempunyai potensi tinggi sumber daya perikanan karena habitat
lingkungannya yang masih terpelihara dengan baik disebut juga lubuk, sedangkan
lahan rawa lebak yang ditumbuhi kumpai yang juga dikenal sebagai tempat
pemijahan dan perkembangbiakan bagi berbagai ikan rawa (Prasetyo, 1994).
MacKinnon et al (2000) menyebut rawa lebak sebagai danau-danau dataran
banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu
mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar sekitarnya seperti sungai
Barito (Kalimantan Selatan), Kahayan (Kalimantan Barat), Kapuas (Kalimantan
Tengah), Mahakam (Kalimantan Timur), Musi (Sumatera Selatan), Batanghari
(Jambi), Mamberamo dan Tigul (Papua). Selain karena luapan sungai, genangan
dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman.
Genangan di lahan rawa lebak ini kadang-kadang bersifat ladung (stagnant) dan
kalaupun mengalir, sangat lambat.
Lahan rawa lebak pada musim hujan tergenang karena membentuk
cekungan (depression) dan pengatusan (drainage) jelek sehingga ditutupi
tumbuhan air (marsh). Namun, pada musim kemarau kembali kering. Pada musim
kemarau lahan ini banyak ditanami berbagai macam seperti tomat, cabai, sawi,
selada, kacang panjang, jagung, dan lainnya lahan semacam ini di pulau Jawa
sering disebut Bonorowo. Hanya saja yang disebut bonorowo di Jawa mempunyai
lingkungan fisik dan ekologi yang berbeda dengan yang dimaksud dengan rawa
lebak yang ada di Kalimantan, Sumatera, dan Papua.
Di dataran tinggi, lahan rawa lebak terletak antara dua bukit. Kondisi lahan
selalu basah dan tumpat air (Waterlogged) dengan laju penimbunan bahan
oeganik lebih besar daripada perombakannya. Oleh karena itu, terjadi akumulasi
bahan organik (gambut) yang cukup tebal seperti didapati pada rawa lebak yang
terletak di wilayah pegunungan kerinci (Jambi), pegunungan Dieng (Jawa
Tengah), dan lainnya. Beberapa wilayah rawa lebak mengalami pengatusan
permanen (setelah direklamasi) seperti di wilayah Sungai Aur, Kabupaten
Pesaman Barat (Sumatera Barat) ; wilayah Lolo/Lempur, Kabupaten Kerinci
(Jambi) ; wilayah rawa Mesuji atau rawa Jitu, Kabupaten Tulang bawang
(Lampung Utara), dan rawa Sragi di Lampung Timur sehingga menyerupai lahan
tadah hujan (rainfed lowland). Lahan-lahan seperti ini boleh dikatakan sebagai
rawa lebak yang kehilangan identitasnya. Lahan semacam ini semestinya tidak
lagi dikategorikan sebagai lahan rawa lebak, lebih tepat disebut tadah hujan
walaupun mempunyai lapisan bahan organik yang tinggi (gambut) dan profil
tanah mencirikan tanah rawa umumnya.

B. Pemanfaatan Rawa Lebak


Pemanfaatan rawa lebak untuk perikanan biasanya pada rawa tengahan dan
dalam.Perairan rawa tengahan dan rawa lebak dalam memungkinkan untuk
budidaya perikanan karena biasanya tergenang air cukup lama dan bahkan ada
yang tidak kering sepanjang tahun. Selama ini budidaya yang dilakukan di lahan
rawa lebak masih terpokus pada pertanian rawa lebak.Usaha pertanian pada rawa
terpokus pada penanam padi.Pemanfaatan perairan rawa dalam bidang perikanan
masih terbatas pada pola penangkapan di alam. Pemanfaatan perairan rawa lebak
untuk budidaya masih sangat terbatas dikarenakan masyarakat masih
mengandalkan hasil tangkapan.Sedangkan potensi ini sangat mungkin
dikembangkan untuk industri perikanan budidaya yang nantinya dapat mengubah
pola nelayan dari biasa menangkap menjadi pola budidaya.

C. Keadaan Perairan Lebak


Keadaan perairan umum Sumatera Selatan yang begitu luas, dimana pada
bagian hilir sungai dicirikan oleh kadar 60 Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan
Budidaya Perairan Volume 9, Nomor 1, Desember 2014 59 oksigen rendah, arus
lemah dan dasar perairan berupa pasir atau lumpur .Pada waktu musim hujan air
melimpah ke sisi badan sungai dan waktu musim kemarau air limpahan tadi akan
mengalir kembali ke badan sungai. Pada proses ini besar kemungkinan terbentuk
pengendapan sehingga terbentuk secara alami oleh lumpur bersama ranting,
rumput dan daun-daunan. Proses ini bisa terjadi dalam waktu yang lama, sehingga
secara tidak langsung lebak menerima dan mengeluarkan air lewat pematang
bagian atas.
Sering juga ditemukan lekukan- lekukan dan alur-alur air yang dibuat petani
atau nelayan perairan umum.Pembukaan lahan menimbulkan dampak
menurunnya produksi di sektor perikanan, kondisi ini dapat dilihat dari hilangnya
beje (areal perikanan atau tambak di air rawa) dan tatah (teknik penangkapan ikan
secara tradisional). Beje yaitu areal perikanan atau tambak di lahan rawa yang
dibuat oleh masyarakat. Berdasarkan letaknya lebak dibedakan atas a) lebak
pinggiran, yaitu lebak paling hulu, biasanya tidak luas; b) lebak tengah,
peranannya sangat penting karena disini memiliki jumlah massa ikan yang paling
banyak; c) lebak delta pantai, yaitu lebak dekat pantai yang dipengaruhi pasang
surut laut.
Lebak ini dapat dimanfaatkan untuk sector perikanan budidaya. Perikanan
budidaya yang dapat diterapkan dengan keramba bambu atau kayu, pen system
dikarenakan biasanya daerah lebak banyak dihuni hewan-hewan seperti ular,
biawak dan ikan-ikan predator yang tentunya akan memangsa ikan budidaya.
Kebanyakan biota perairan peka terhadap setiap perubahan lingkungan baik yang
terjadi karena fenomena alam atau karena dampak kegiatan manusia.Komposisi
fisika dan kimia perairan sangat erat kaitannya dengan geomorfologi daerah aliran
sungai, tipe sungai dan siklus hidrologi yang semuanya dipengaruhi oleh aktivitas
manusia dan pola iklim (Gallagher, 1999).
Pola siklus air di rawa lebak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya permukaan
sungai. Sumatera Selatan dialiri oleh Sembilan sungai yang bermuara di Sungai
Musi. Kepekaan biota terhadap perubahan lingkungan baik yang terjadi karena
fenomena alam ataupun dampak dari kegiatan manusia dapat diatasi dengan pola
perikanan budidaya. Ikan-ikan domestic yang hidup dirawa lebak dapat dijadikan
sebagai sebagai ikan budidaya dengan melakukan domestifikasi. Kegiatan
perikanan sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan dan
stok ikan yang tersedia di perairan rawa lebak.

D. Parameter Kualitas Air Rawa Lebak


Parameter Fisika yang mempengaruhi perairan rawa biasanya meliputi suhu,
kekeruhan, sedangkan factor kimia yang mempengaruhi derajat keasaman,
alkalinitas, oksigen terlarut, BOD dan COD. Pada penelitian yang di lakukan Oleh
(Irkhamiawan Ma’ruf, Rahmad Kurniawan, Khusnul Khotimah : 2018) dapat di
ketahui parameter kualitas air pada rawa lebak deling di Sumatera Selatan dalam
tabel dibawah :
Sedangkan Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Sumantriyadi :2014)
diketahui parameter kualitas air Perairan Umum Lahan Rawa DAS Musi
Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin Sumatera Selatan diketahui :
III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Kualitas air Rawa lebak Deling secara umum dapat ditoleransi oleh ikan
endemik rawa untuk menopang pertumbuhannya sehingga upaya pengembangan
perikanan di rawa deling dapat dilakukan.
Pemanfataan rawa lebak sebagai tempat budidaya masih terbuka sangat
luas. Pemanfaatan rawa lebak masih sebatas penangkapan, hal ini sudah tentu
tidak akan mendidik masyarakat untuk dapat memanfaatkan daerah rawa untuk
budidaya. Sebagian peneliti mengatakan parameter fisika-kimia perairan sangat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas suatu daerah terutama rawa lebak, tetapi
kenyataan di alam ikan dapat tumbuh dengan baik walaupun kondisi perairan
kurang mendukung. Berdasarkan hal tersebut maka masyarakat dapat
memanfaatkan rawa lebak untuk perikanan budidaya, sayang sekali rawa lebak
yang begitu luas tidak termanfaatkan oleh masyarakat nelayan.Ini perlunya
dukungan dari pemerintah sebagai salah satu pengentasan kemiskinan dan
penciptaan lapangan pekerjaan.Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana
mengelola kekayaan sumberdaya perairan rawa lebak agar dapat bermanfaat untuk
masyarakat.Untuk dapat melakukan hal tersebut maka perlu sinergi antara
pemerintah, nelayan atau petani ikan dan lain-lain agar sumberdaya dilahan rawa
64 Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan Volume 9, Nomor 1,
Desember 2014 59 lebak yang kita miliki dapat berdaya guna serta tetap lestari.

Anda mungkin juga menyukai