Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TERSTRUKTUR

MAKALAH

Fitoremediasi I (Studi Kasus Tumbuhan Air Tawar)


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tumbuhan Air
Yang dibina oleh Prof.Dr.Ir.Endang Yuli Herawati,MS.

Disusun Oleh :

1. Vidi Ganda Putra (145080101111028)


2. Anindya Cahya Pratama (145080101111046)
3. Meidita Ajeng Navianda (165080101111030)

Kelas: M02

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat serta karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah dengan judul Fitoremediasi I (Studi Kasus Tanaman Air Tawar).
Adapun makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas dari mata kuliah
Tumbuhan Air yang dibina oleh Prof.Dr.Ir.Endang Yuli H, MS. Kami menyadari
bahwa makalah ini penuh dengan keterbatasan yang ada, sehingga jauh dari bobot
materi, kaidah ilmu, serta teknik penyajiannya. Maka pada kesempatan ini kami
mengharapkan saran-saran serta kritik yang bersifat membangun dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap dengan pembuatan makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembacanya dan manfaat bagi kami sebagai penyusun secara moral.

Malang, 12 November 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

1. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
1.3Tujuan Penulisan ............................................................................................. 2

2. PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
2.1 Definisi Fitoremediasi ................................................................................. 3
2.2 Tumbuhan Air tawar ................................................................................... 3
2.2.1 Genjer ....................................................................................................... 4
2.2.2 Kayu Apu .................................................................................................. 6
2.3 Mekanisme dan Tahapan Proses Fitoremediasi ......................................... 7

3. PENUTUP ....................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 13
3.2 Saran ............................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan, jika dipandang sebagai medium fisik tempat tersebarnya bahan


kimia, dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu air, tanah, dan udara. Di dalam tanah
yang merupakan bahan padat juga terdiri dari air, bahan organik, bahan mineral, dan
udara sehingga perubahan sifat dari air serta udara di dalam tanah akan
berpengaruh terhadap tanah tersebut. Apabila tanah dialiri oleh air, maka sifat kimia
air akan berpengaruh terhadap tanah (Pranoto, 2000). Ketiga komponen abiotik
yang saling berkaitan tersebut merupakan komponen penting di alam, baik dalam
kehidupan manusia maupun keseluruhan ekosistem. Air merupakan sumber daya
alam yang diperlukan oleh semua makhluk hidup (Effendi, 2003). Bagi manusia,
fungsi air sangat vital. Manusia membutuhkan air untuk konsumsi rumah tangga di
antaranya untuk minum, masak cuci, dan mandi (Nusanthary dkk., 2012).

Pencemaran perairan tawar di Indonesia, 80% disebabkan oleh limbah


domestik baik dalam bentuk cair maupun padatan. Dari limbah domestik yang
bersifat cair, 35% berasal dari buangan limbah rumah tangga yang mengandung
bahan detergen (Sitorus, 1997). Detergen merupakan senyawa sabun yang
terbentuk melalui proses kimia. Pada umumnya komponen utama penyusun
detergen adalah Natrium Dodecyl Benzen Sulfonat (NaDBS) dan Sodium
Tripolyphosphat (STPP) yang bersifat sangat sulit terdegradasi secara alamiah.
Senyawa NaDBS dan STPP dapat membentuk endapan dengan logam-logam alkali
tanah dan logam-logam transisi (Sumarno dkk. 1996).

Kemungkinan penggunaan tanaman air dalam pengolahan air limbah sudah


banyak dilakukan baik skala laboratorium maupun industri. Kayu apu dan genjer
merupakan jenis gulma air yang sangat cepat tumbuh dan mempunyai daya
adaptasi terhadap lingkungan baru yang sangat besar sehingga merupakan
gangguan kronis dan sulit dikendalikan (Tjitrosoepomo, 2000).

1
Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran limbah
detergent adalah menggunakan tanaman (Setyaningsih, 2007). Menurut Subroto
(1996), pemanfaatan tanaman untuk menyerap detergent disebut fitoremediasi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan latar belakang diatas, dapat dirumusukan


berbagai permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan fitoremediasi?
2. Bagaimana proses dan mekanisme fitoremediasi?
3. Bagaimana pengaplikasian fitoremediasi pada tumbuhan air?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan disusunnya makalah ini tentang Fitoremediasi Tumbuhan Air Tawar


adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengerti dan mengetahui tentang fitoremediasi
2. Untuk mengetahui proses dan mekanisme fitoremediasi
3. Untuk mengetahui pengaplikasian fitoremediasi pada tumbuhan air

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Fitoremediasi

Fitoremediasi berasal dari kata Phyto, asal kata Yunani phyton yang berarti
tumbuhan/tanaman, remediation asal kata Latin remediare yaitu memperbaiki,
menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Berdasarkan hal tersebut
fitoremediasi (phytoremediation) dapat diartikan sebagai penggunaan tanaman atau
tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi, menghilangkan, menstabilkan atau
menghancurkan bahan pencemar khususnya, limbah detergent maupun senyawa
organik lainnya (Caroline dan Moa, 2015). Akumulasi limbah detergent oleh
tumbuhan bergantung pada banyak faktor yaitu :
a. Sifat alamiah tumbuhan, seperti: berat basah tanaman, panjang akar tanaman,
klorofil total tanaman
b. Kualitas air setelah perlakuan dengan tanaman: Derajat keasaman (pH),
Oksigen terlarut (DO), Suhu, Alkalinitas, Fosfat (PO42-),Sulfat (SO42-).
c. Variabel-variabel lingkungan dan pengelolaan yaitu temperatur, kelembaban,
sinar matahari, curah hujan, pemupukan dan lain-lain
Keuntungan fitoremediasi adalah dapat bekerja pada senyawa organik dan
anorganik, prosesnya dapat dilakukan secara insitu dan eksitu, mudah diterapkan
dan tidak memerlukan biaya yang tinggi, teknologi yang ramah lingkungan dan
bersifat estetik bagi lingkungan, serta dapat mereduksi kontaminan dalam jumlah
yang besar. Sedangkan kerugian fitoremediasi ini adalah prosesnya memerlukan
waktu lama, bergantung kepada keadaan iklim, dapat menyebabkan terjadinya
akumulasi limbah detergent pada jaringan dan biomasa tumbuhan, dan dapat
mempengaruhi keseimbangan rantai makanan pada ekosistem.

2.2 Tumbuhan Air tawar

Pada umumnya tumbuhan akan menyerap unsur-unsur hara yang larut


dalam air dan dari tanah melalui akar-akarnya. Semua tumbuhan mempunyai
kemampuan menyerap yang memungkinkan pergerakan ion menembus membran

3
sel, mulai dari unsur yang berlimpah sampai dengan unsur yang sangat kecil
dibutuhkan tanaman dan ternyata dapat diakumulasikan oleh tanaman (Wolverton
dan Mcknown, 1975).

Oleh sebab itu kayu apu dan genjer dapat dimanfaatkan untuk melakukan
penjernihan air. Umumnya tanaman air sangat tahan terhadap kadar unsur hara
yang sangat rendah dalam air tetapi responnya terhadap kadar hara yang tinggi juga
sangat besar. Tanaman air menyerap senyawa organik maupun anorganik terlarut
ke dalam strukturnya sehingga pada umumnya limbah yang polutannya sudah
dibersihkan oleh tumbuhan saat dialirkan ke lingkungan akibat kerusakannya lebih
kecil (Lusianty dan Soerjani, 1974).

Menurut Soerjani dkk. (1980) menyatakan bahwa tumbuhan air melalui


proses fotosintesis dapat membantu peredaran udara di dalam air dengan menyerap
kelebihan zat hara yang menyebabkan pencemaran air. Penggunaan tanaman air
seperti kayu apu dan genjer dalam menurunkan toksisitas air limbah di perairan
masih harus terus dikembangkan, untuk mencari sistem pengolahan air limbah yang
aman bagi lingkungan dan mudah di dapat dari lingkungan sekitar kita (Anonymous,
1976).

2.2.1 Genjer

Tanaman genjer merupakan tanaman yang sering hidup di air. Tanaman ini
biasanya hidup di sekitaran persawahan. Tanaman dengan batang tegak dan daun
yang bulat ini biasa digunakan sebagai bahan makanan bagi sebagian besar
masyarakat di pulau Jawa.

4
Tanaman genjer sebelumnya sudah dijadikan sebagai media untuk
pengolahan limbah. Penelitian yang dilakukan oleh haryati (2012) yaitu kemampuan
tanaman genjer dalam menyerap logam timbal limbah cair kertas pada biomassa
dan pemaparan yang berbeda dengan hasil tanaman genjer mampu menyerap
timbal dan mengakumulasi timbal tertinggi terjadi pada biomassa 150 gram dan
waktu pemaparan 21 hari yaitu pada akar sebesar 1,1546 mg/L dan pada daun
sebesar 0,1120 mg/L. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hermawati (2005)
mengenai fitoremediasi limbah deterjen menggunakan kayu apu dan genjer,
tanaman kayu apu mampu menurunkan parameter suhu 16,9%, sulfat 43,1% fosfat
41,9% sedang tanaman genjer hanya menurunkan parameter pH air limbah deterjen
sebesar 9,24%. Sedangkan Priyanti (2013) menggunakan tanaman genjer untuk
menguji penyerapan logam besi dan mangan, hasilnya tanaman genjer mampu
menyerap logam besi 20,32 - 63,99% dan mangan 20,45 - 63,21%. Organ akar
tanaman genjer mampu menyerap logam besi dan managan lebih besar dibanding
batang dan daun. Penelitian oleh Ikawati (2012) menegnai efektivitas dan efeisiensi
fitoremediasi pada deterjen dengan menggunakan tanaman genjer diperoleh hasil
presentase penyerapan yang efektif pada rata-rata penyerapan orthoposfat terjadi
pada konsentrasi 0,005 mg/L selama 6 hari dengan nilai rata-rata penyerapan
53,33%.

5
2.2.2 Kayu Apu

Kayu apu merupakan salah satu tumbuhan fitoremediator yaitu tumbuhan


yang memiliki kemampuan untuk mengolah limbah, baik itu berupa logam berat, zat
organik maupun anorganik. Tumbuhan ini dapat dijadikan sebagai fitoremidiator bagi
limbah cair batik karena kemampuannya dalam menurunkan jumlah BOD, COD, dan
warna yang terkandung dalam limbah cair batik. Kayu apu (Pistia stratiotes L.)
sebagai tumbuhan air memiliki potensi dalam menurunkan kadar pencemar air
limbah, yang memiliki kadar organik tinggi. Secara umum kayu apu adalah tanaman
air yang biasa dijumpai mengapung di perairan tenang atau kolam. Kayu apu
terkenal sebagai tumbuhan pelindung akuarium. Tumbuhan ini adalah satu
satunya anggota marga Pistia. Orang juga mengenalnya sebagai apu apu atau
kapu kapu (Safitri, 2009). Klasifikasi Kayu Apu adalah :

Kerajaan : Plantae (tumbuhan)


Subkerajaan : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub-kelas : Arecidae
Ordo : Arales
Famili : Araceae
Genus : Pistia
Spesies : Pistia stratiotes L.

6
Menurut Landprotection (2006), daun tumbuhan apu apu memiliki struktur
berongga, dan bila dilihat secara histologis, maka nampak bahwa terdapat rongga
kosong pada jaringan mesofilnya yang disebut jaringan aerenkim. Hal ini
menunjukkan cara apu apu untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya yaitu
perairan atau lahan basah, yang bertujuan agar dapat mengapung di permukaan air.
Tumbuhan yang memiliki rongga udara banyak akan semakin mudah mengapung
karena jaringan penyusunnya tidak padat dan berat.

Akar yang dimiliki tumbuhan ini adalah akar serabut dan membentuk suatu
struktur berbentuk seperti keranjang dan dikelilingi gelembung udara, sehingga
meningkatkan daya apung tumbuhan itu. Hal ini menunjukkan bentuk fisiologis
adaptasi yang dilakukan tumbuhan apu apu untuk mampu hidup di area perairan
dan tetap mendapatkan cahaya matahari dan udara untuk proses fotosintesis (Rijal,
2014).

2.3 Mekanisme dan Tahapan Proses Fitoremediasi

Bahan yang digunakan meliputi bahan tanaman yaitu Kayu apu dan genjer,
Limbah detergen diambil dari BINATU Laundry, bahan kimia untuk analisis kualitas
air (alkalinitas, sulfat dan fosfat) yaitu: indikator PP; indikator Metil Red; dan HCL 1N,
Kalium phoshat {KH2PO4}; Asam Sulfat (H2SO4) 5N; Kalium antimonil tartrat
{K(sbO)C4H4O}; Amonium molibdat{(NH4)6 Mo7O24 0,03 M}; larutan askorbat
0,01 M; aquades; Na2SO4; Barium Klorida {BaCl2.2H2O}; HCl pekat; etil alkohol 95
%; NaCl dan gliserol dan analisis klorofil total tanaman yaitu aseton. Percobaan
dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), pola faktorial 3x4 dengan
3 ulangan. Faktor pertama konsentrasi limbah detergen yaitu 0%, 20%, 40% dan
60%. Faktor kedua jenis tanaman, yaitu kayu apu, genjer, dan tanpa tanaman.

7
Mekanisme dari proses fitoremediasi menggunakan tanaman kayu apu dan
genjer ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu:

1. Uji pendahuluan.

Air limbah detergen diencerkan dengan konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25% dan
0% (sebagai kontrol). Pengenceran limbah detergen dilakukan dengan penambahan
air ledeng. Sepuluh liter air limbah dari masing-masing konsentrasi dimasukkan
kedalam bakbak plastik dengan volume 15 L. Tanaman kayu apu dan genjer
masing-masing dengan berat 300g sebanyak 10 tanaman dimasukkan ke dalam
bak-bak yang telah diisi air limbah detergen. Masing-masing perlakuan diatas
dilakukan sebanyak 3 ulangan. Bak-bak perlakuan ditempatkan di rumah kaca.
Setiap hari diamati jumlah tanaman yang mati sampai 7 hari perlakuan. Berdasarkan
jumlah tanaman yang masih hidup sampai hari ketujuh uji pendahuluan maka dibuat
konsentrasi baru yaitu 60%, 40%, 20% dan 0% (sebagai kontrol) dan waktu
perlakuan 14 hari untuk uji sesungguhnya.

2. Perlakuan.

Aklimasi tanaman kayu apu dan genjer selama 1 minggu pada bak-bak plastik
yang diisi dengan air. Menimbang kayu apu dan genjer dengan berat masingmasing
300 g dengan umur kira-kira 1 bulan. Media air pada bak-bak aklimasi tanaman
dibuang dan diganti dengan air limbah yang baru sebanyak 10 L. Sebelum dan
setelah perlakuan air limbah diukur parameter fisika dan kimianya yang meliputi:
suhu, DO, pH dan alkalinitas dengan metode indikator warna (Alaerts dan Santika,
1987). Pengukuran berat basah, panjang akar dan klorofil total dengan
menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 663 nm dan 645
nm (Anggarwulan, 2000). Penentuan kadar sulfat dan fosfat menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis (Bappedal, 1994) Data parameter kualitas air limbah
detergen meliputi pH, oksigen terlarut, suhu, alkalinitas, sulfat dan fosfat serta
pertumbuhan tanaman air meliputi berat basah, panjang akar dan klorofil total
tanaman dianalisis dengan Anava dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.

8
Uji pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tanaman yang
mampu bertahan hidup paling lama pada konsentrasi limbah yang telah ditentukan
yaitu konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25% dan 0% (sebagai kontrol) selama 7 hari
dan untuk mengetahui batasan waktu hidup suatu tanaman dalam lingkungan yang
tercemar. Pada uji pendahuluan dilakukan pengukuran parameter kualitas air limbah
(pH, Oksigen terlarut, suhu, alkalinitas, sulfat dan fosfat) pada konsentrasi limbah
detergen 100%. Hal ini digunakan untuk mengetahui besarnya bahan pencemar
yang terkandung dalam limbah detergen, untuk kemudian dibandingkan dengan
limbah yang telah diencerkan (Wiryanto et al., 2005).

Tumbuhan akan menyerap unsur-unsur hara yang larut dalam air maupun
dalam tanah melalui akarnya, baik sebagai bahan nutrisi untuk pertumbuhannya
maupun unsur lain yang merupakan bahan pencemar. Tumbuhan air memberi
tempat sebagai medium bagi mikrobia untuk melekat dan tumbuh pada akar dan
batangnya yang berfungsi mengurai senyawa organik yang terkandung dalam
limbah cair. Secara alami, mikrobia patogen perusak akan terhambat
pertumbuhannya karena adanya panas yang dihasilkan oleh tumbuhan air.
Penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tumbuhan dibagi menjadi 3 proses
yang saling berkaitan yakni penyerapan logam oleh akar, translokasi logam dari akar
kebagian tumbuhan lain, dan lokalisasi logam pada bagian tetentu untuk menjaga
agar tidak menghambat metabolisme yang terjadi pada tanaman tersebut.

Menurut Priyanto dan Prayitno (2007), penyerapan dan akumulasi logam


berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, sebagai
berikut.
1. Penyerapan oleh akar.
Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam harus dibawa ke dalam
larutandi sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada spesies
tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diambil oleh akar
bersama air, sedangkan senyawa-senyawa hidrofobik diserap oleh permukaan akar.
2. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain.

9
Setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain
mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut
(xilem dan floem) ke bagian tanaman lainnya.
3. Lokalisasi logam pada sel dan jaringan.
Hal ini bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme
tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap sel,
tanamanmempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam
didalam organ tertentu seperti akar.

Proses fitoremediasi secara umum dibedakan berdasarkan mekanisme


fungsi dan struktur tumbuhan. US EPA (1999, 2005) dan ITRC (2001) secara umum
membuat klasifikasi proses sebagai berikut :

1. Fitostabilisasi (Phytostabilization)
Akar tumbuhan melakukan imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi,
mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan
dalam zona akar. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-
zat anorganik. Spesies tumbuhan yang biasa digunakan adalah berbagai jenis
rumput, bunga matahari, dan kedelai.
2. Fitoekstraksi/Fitoakumulasi (Phytoextraction/Phytoaccumulation)
Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ
tumbuhan. Proses ini adalah cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat
anorganik. Spesies tumbuhan yang dipakai adalah sejenis hiperakumulator
misalnya pakis, bunga matahari, dan jagung.
3. Rizofiltrasi (Rhizofiltration)
Akar tumbuhan mengadsorpsi atau presipitasi pada zona akar atau
mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar ke dalam akar. Proses ini digunakan
untuk bahan larutan sehingga untuk kompos tidak memerlukan proses rizofiltrasi.
Tetapi untuk lindi yang terbentuk dalam proses pengomposan primer maka
rizofiltrasi sangat tepat diterapkan. Spesies tumbuhan yang fungsional adalah
rumput air seperti Cattail dan eceng gondok.
4. Fitodegradasi/Fitotransformasi (Phytodegradation/Phytotransformation)
Organ tumbuhan menguraikan polutan yang diserap melalui proses metabolisme
tumbuhan atau secara enzimatik. Zat organik fenol (mungkin terbentuk pada

10
pengomposan daun berkandungan lignin) adalah tepat menggunakan proses ini.
Spesies tumbuhan yang bisa digunakan adalah berbagai jenis rumput.
5. Rizodegradasi (Rhizodegradation/Enhanced Rhizosphere Biodegradation/
Phytostimulation/Plant-Assisted Bioremediation/Degradation)
Polutan diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang diperkuat/sinergis oleh ragi,
fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alkohol, asam.
Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang menguraikan polutan maupun
biota tanah lainnya. Proses ini adalah tepat untuk dekontaminasi zat organic.
Spesies tumbuhan yang bisa digunakan adalah berbagai jenis rumput.
6. Fitovolatilisasi (Phytovolatilization)
Penyerapan polutan oleh tumbuhan dan dikeluarkan dalam bentuk uap cair ke
atmosfer. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum lepas ke atmosfer.
Kontaminan zat-zat organic adalah tepat menggunakan proses ini.

Menurut US Environmental Protection Agency (1998), metode fitoremediasi


mempunyai beberapa kelebihan, antara lain bisa dilakukan dengan teknologi in-situ,
tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, dapat diterima oleh masyarakat
awam, modal proses relatif kecil, dan biaya yang dibutuhkan relatif kecil,. Cara ini
dapat menurunkan biaya pembersihan lingkungan menjadi sekitar 2-6 US$ per
seribu galon air. Metode fitoremediasi paling sedikit sepuluh kali lebih murah
daripada metode pengangkatan dan pengangkutan limbah berbahaya ke tempat
pembuangan dan menjadikannya konsentrat padat (Miller, 1996). Akan tetapi, US
Environmental Protection Agency (1998) menambahkan, metode fitoremediasi juga
mempunyai beberapa kelemahan, yaitu proses pembersihan yang diperlukan relatif
lama, logam yang terakumulasi pada tanaman dapat memasuki rantai makanan
apabila tanaman tersebut termakan oleh mahluk hidup, keefektifannya dipengaruhi
musim, serta tingginya kemungkinan serangan hama dan penyakit tanaman, dan
apabila konsentrasi kontaminan tinggi dapat menyebabkan fitotoksik dan
menghambat pertumbuhan tanaman. Tanaman memiliki kemampuan menyerap
logam tetapi dalam jumlah yang bervariasi. Beberapa tanaman mampu
mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuknya
sehingga bersifat hiperakumulator (Juhaeti et al., 2005). Beberapa tumbuhan air
yang sering digunakan dalam pengolahan air limbah adalah eceng gondok,

11
kangkung air, dan kayu apu. Ketiga tumbuhan air ini banyak terdapat di perairan air
tawar dan pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan (Suryanti dan Budhi,
2003); Sooknah dan Wilkie, 2004) menunjukkan bahwa ketiganya memiliki
kemampuan yang cukup baik dalam pengolahan air limbah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan fitoremediasi yaitu


kemampuan daya akumulasi berbagai jenis tanaman untuk berbagai jenis polutan
dan konsentrasi; sifat kimia dan fisika, serta sifat fisiologi tanaman; jumlah zat kimia
berbahaya; mekanisme akumulasi dan hiperakumulasi ditinjau secara fisiologi,
biokimia, dan molekular; serta konsentrasi limbah yang digunakan (Kurniawan,
2008).

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fitoremediasi (phytoremediation) dapat diartikan sebagai penggunaan


tanaman atau tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi, menghilangkan,
menstabilkan atau menghancurkan bahan pencemar khususnya, limbah detergent
maupun senyawa organik lainnya. Penggunaan tanaman air seperti kayu apu dan
genjer dalam menurunkan toksisitas air limbah di perairan masih harus terus
dikembangkan, untuk mencari sistem pengolahan air limbah yang aman bagi
lingkungan dan mudah di dapat dari lingkungan sekitar kita.

Tumbuhan akan menyerap unsur-unsur hara yang larut dalam air maupun
dalam tanah melalui akarnya, baik sebagai bahan nutrisi untuk pertumbuhannya
maupun unsur lain yang merupakan bahan pencemar. Penyerapan dan akumulasi
logam berat oleh tumbuhan dibagi menjadi 3 proses yang saling berkaitan yakni
penyerapan logam oleh akar, translokasi logam dari akar kebagian tumbuhan lain,
dan lokalisasi logam pada bagian tetentu untuk menjaga agar tidak menghambat
metabolisme yang terjadi pada tanaman tersebut.

3.2 Saran

Dari pemaparan diatas dapat diambil saran bahwa sebaiknya penelitian


tentang tanaman air lebih diperdalam lagi sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang fitoremediasi oleh tanaman air khususnya tanaman air tawar,
serta penggunakan metode fitoremediasi lebih sering digunakan lagi untuk menjaga
kualitas perairan karena bahan yang mudah dicari serta mekanisme yang mudah
diikuti.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ikawati, S., A. Zulfikar dan D. Azizah.2015. EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI


FITOREMEDIASI PADA DETERJEN DENGAN MENGGUNAKAN
TANAMAN GENJER (Limnocharis flava). Research Gate. 75-84.

ITRC. 2001. Technical and Regulatory Guidance Document: Phytotechnology.


Interstate Technology Regulatory Council. USA. Juhaeti, T., Syarif, F., dan
Hidayati, N. 2005. Inventarisasi Tumbuhan Potensial untuk Fitoremediasi
Lahan dan Air Terdegradasi Penambangan Emas. J Biodiversitas Vol.6 (1):
31-33.
Kurniawan, A. 2006. Studi Kemampuan Penyerapan Unsur Hara (N dan P) oleh
Gracillaria sp. Dalam Skala Laboratorium. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Bogor.
Landprotection. 2006. In Asive Plants. Century Crafts. New York
Miller. 1996. Ground Water Remediation. http:// www.gwrtac.org. Diakses pada 28
Maret 2015.
Priyanto, B. dan Priyatno, J. 2007. Fitoremediasi sebagai Sebuah Teknologi
Pemulihan Pencemaran Khusus Logam Berat.
http://ltl.bppt.tripod.com/sublab/lflora.htm. Diakses pada 10 November
2017.
Rijal, Muhammad. 2014. STUDI MORFOLOGI KAYU APU (Pistia stratiotes) dan
KIAMBANG (Salvinia molesta). Jurnal Biology Science & Education 2014.
3(2) : 94-105
Safitri, R. 2009. Phytoremidiasi Greywater Dengan Tanaman Kayu Apu (Pistia
stratiotes) dan Tanaman Kiambang (Salvinia molesta) Serta
Pemanfaatannya Untuk Tanaman Selada (Lactuca sativa) Secara
Hidroponik. Skripsi. Program Studi
Sitorus, H. 1997. Uji hayati toksisitas detergen terhadap ikan mas (Cyprinus carpio
L). Majalah Ilmiah Visi 5 (2): 63-75.

14
Soerjani, M., S.W. Lusianty, U. Ishidayat, Kasno, T. Machmud, S. Kadarwan, K.A.
Aziz, S. Haryanto, K.L.W. Esther, dan S.T. Sri. 1980. Gulma Air Dalam
Pengembangan Wilayah Sungai Kali Brantas. Bogor: DPU Dirjen
Pengairan.

Sooknah, R.D. dan Wilkie, A.C. 2004. Nutrient Removal by Floating Aquatic
Macrophytes Cultured in Anaerobically Digested Flushed Dairy Manure
Wastewater. J Ecol. Eng. 22 (1) : 27-42.
Sumarno, I. Sumantri, dan A. Nugroho. 1996. Penurunan kadar detergen dalam
limbah cair dengan pengendapan secara kimiawi. Majalah Penelitian
Lembaga Penelitian 8 (30): 25-35.

Suryanti, T dan Budhi, P. 2003. Eliminasi Logam Berat Kadmium dalam Air Limbah
Menggunakan Tanaman Air. Jurnal Tek. Ling. P3TL-BPPT 4 (3) : 143-147.
US Environmental Protection Agency. 1998. A Citizen Guide to Phytoremediation.
http://www.cinin.org/products/citguide/phyto2. htm. Diakses pada 28 Maret
2015.
US EPA. 1999. Phytoremediation Resource Guide. Office of Solid Waste and
Emergency Response Technology. USA.
US EPA. 2005. Use of Field-Scale Phytotechnology for Chlorinated Solvents, Metals,
Explosives and Propellants, and Pesticides. Office of Solid Waste and
Emergency Response Technology. USA.
Wiryanto., Hermawati, E., Solichatun. 2005. Fitoremediasi Limbah Detergen
Menggunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes L. ) dan Genjer (Limnocharis
flava L.). BioSMART . 7(2) : 115-124

15

Anda mungkin juga menyukai