DISUSUN OLEH:
YOPIN OKTA ILHAM (E351190071)
Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui ekologi dan aksi konservasi macan tutul jawa
(Panthera pardus melas), serta sebagai rujukan dalam pengelolaan populasi macan tutul jawa (Panthera pardus
melas).
3. Taksonomi
Panthera merupakan genus yang mempunyai anggota spesies dengan beberapa subspesies. Beberapa jenis.
Menurut Vaughan (1978). Panthera pardus secara taksonomi dapat digolongkan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Carnivora
Famili : Felidae
Genus : Panthera
pesies :Panthera pardus (Linnaeus, 1758)
Subspesies : Panthera pardus melas (G. Cuvier, 1809)
4. Morfologi
• Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa macan tutul jawa memiliki ukuran tubuh rata-rata yakni jantan
dewasa panjang total diukur dari moncong hingga ujung ekor 215 cm, tinggi 60-65 cm, dan berat 52 kg.
Sedangkan yang berjenis kelamin betina panjang total diukur dari moncong hingga ujung ekor tubuh 185
cm, tinggi 60-65 cm dan berat 39 kg. Macan tutul jawa memiliki 6 tulang belakang yang menjadikannya
mampu melompat dengan cepat dengan didukung oleh struktur tulang yang memungkinkan untuk dapat
menahan bantingan pada waktu jatuh dari dahan yang tinggi (Whitten, 1996).
• Warna dasar Macan Tutul kuning tua, di sisi badan dan punggungnya ada bercak-bercak hitam berbentuk
seperti bunga (roset) yang tengahnya lebih gelap daripada warna dasarnya (Dobroruka, 1990). Raharyono
dan Paripurno (2001), membagi jenis pola noktah berdasar bentuk noktah hitam yang diamati menjadi tiga
macam, yaitu ceplok, benguk, dan kembang. Pola noktah hitam ceplok berbentuk bulat penuh seperti telur
ceplok, benguk berbentuk seperti koma, dan kembang berupa tiga atau empat coretan koma melingkar
terkadang bergabung seperti kembang. Berikut gambar perbedaan pola noktah antara Cheetah, Macan
Tutul dan Jaguar:
Cheetah Macan tutul noktah bentuk kembang Jaguar
Sumber: Bobo-Grid.ID
• Ciri khas macan tutul bukan hanya memiliki pola noktah (bertutul) di sekujur tubuhnya, macan tutul jawa
juga memiliki warna lain yaitu hitam. Variasi warna tubuh tersebut bukan berarti macan tutul jawa yang
bertubuh hitam tersebut adalah anak jenis yang berbeda, tetapi sesungguhnya anak jenis yang sama.
• Apabila dilihat secara seksama, tidaklah sepenuhnya tubuh macan tutul jawa tersebut berwarna hitam.
Terdapat tutul-tutul yang yeng berwarna lebih gelap dibandingkan warna dasar. Macan tutul jawa yang
berwarna hitam tersebut lebih kenal dengan macan kumbang. Perbedaan warna ini banyak dijumpai di
pulau jawa dan di benggala, India. Bahkan untuk jenis Panthera lainnya seperti jaguar (Panthera onca)
yang hidup di amerika selatan, kasus ini juga terjadi. Para ahli mengatakan bahwa perbedaan warna
tersebut disebabkan macan kumbang mengalami melansime. Gambar perbedaan antara Macan Tutul Jawa
dan Macan Kumbang yang sebenarnya masih satu spesies dapat dilihat di bawah ini:
5. Island syndrome
Ukuran tubuh macan tutul jawa lebih kecil dari macan tutul yang ada di daratan Asia dan Afrika. Hal ini
dapat dilihat dari berat tubuh macan tutul jawa jantan 52 kg dan betina 39 kg (Hoogerwerf, 1970). Sedangkan di
India dan Afrika beratnya mencapai 91 kg baik jantan maupun betina. Berdasarkan tinggi bahu, macan tutul jawa
yaitu 60-65 baik jantan maupun betina, sedangkan macan tutul di India dan Afrika setinggi 70 cm baik jantan
maupun betina. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa macan tutul jawa mengalami perubahan ukuran tubuh
menjadi lebih kecil karena perpindahan spesies dari daratan ke pulau.
Macan tutul jawa dapat hidup dari hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan mencapai
ketinggian 2.000 mdpl. Selain itu, Macan tutul jawa mendiami berbagai kawasan hutan di pulau Jawa, baik
hutan primer, sekunder bahkan tidak sedikit yang hidup di hutan produksi. Macan tutul jawa lebih toleran dari
pada harimau pada temperatur ekstrim dan lingkungan yang kering (Santiapillai and Ramono 1992). Beberapa
lokasi sebaran macan tutul jawa diperkirakan telah mengalami penurunan kualitas dan kesesuaiannya sebagai
habitat satwa tersebut, bahkan di beberapa lokasi lainnya telah ditinggalkan karena tidak sesuai lagi sebagai
habitatnya (Raharyono dan Paripurno, 2001).
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau dengan penduduk terpadat di dunia, akan tetapi Macan tutul jawa
masih ditemukan di seluruh Pulau Jawa meskipun jumlahnya sedikit (IUCN – The World Conservation Union,
1996). Macan tutul jawa tersebar dari ujung barat Pulau Jawa TN. Ujung Kulon) hingga ujung timur pulau
Jawa (TN. Alas Purwo). Selain itu, satwa ini juga hidup di pulau Kangean dan Nusakambangan. Macan tutul
jawa tidak hanya hidup di kawasan konservasi, namun juga diketahui hidup di kawasan hutan lindung, dan
hutan produksi terutama di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Saat ini keberadaan macan tutul
jawa yang telah diketahui berdasarkan penelitian dengan perangkap kamera (camera trap), jejak berupa tapak,
kotoran, cakaran di pohon, dan juga informasi dari pengelola kawasan dan masyarakat sekitar kawasan hutan.
Penyebaran Macan tutul jawa tiap Provinsi telah disajikan pada tabel dibawah ini :
No. Provinsi Penyebaran ∑
1. Banten Taman Nasional Ujung Kulon, sebagian kawasan Taman Nasional Gunung 3
Halimun Salak, dan HL Gunung Karang-Akasari di Pandenglang (Ario,2010).
3. Jawa CA Pringombo (Kab. Banjarnegara), hutan jati BKPH Subah (Kab. Batang), 46
Tengah Serang (Kab.Purbalingga) dan CA. Nusa Kambangan Timur (Kab. Cilacap),
di Randublatung, Pati, Kendal, Semarang, Telawa, Gunung Muria dan Gunung
Lawu (Hoogerwerf, 1970). Menurut Anonim (1987) daerah penyebaran macan
tutul di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah: Pulau Nusa
Kambangan, Batang, Banjarnegara, Kendal, Cepu, Sragen, Kebasen, Notog,
Jatilawang, Gunung Slamet, Gunung Muria, Gunung Kidul, Gunung Merapi
dan Kulon Progo. Selanjutnya Gunawan (2009) menyatakan bahwa
berdasarkan sebaran indikatif keberadaan macan tutul jawa di 20 wilayah
Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah antara lain
KPH Banyumas Timur, Banyumas Barat, Kedu Selatan, Kedu Utara,
Surakarta, Semarang, Telawa, Gundih, Purwodadi, Blora, Randublatung,
Cepu, Kebonharjo, Mantingan, Pati, Kendal, Pekalongan Timur, Pemalang,
Pekalongan Barat, dan Balapulang.
4. Jawa TN Alas Purwo, TN. Meru Betiri, TN. Baluran, TN. Bromo-Tengger-Semeru, 16
Timur CA Kawah Ijen, SM Dataran Tinggi Yang, Gunung Arjuna, Gunung Kawi-
Kelud, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo,
Madium dan Gundih (PKJ,2005)
Sumber: KLHK
8. Relung Ekologi
Interaksi antara macan tutul dan spesies pemangsa besar lainnya sangat kompleks (Bertram, 1982). Macan
tutul cenderung menghindari daerah kekuasaan harimau. Keberadaan pohon atau batu sebagai tempat
menyelamatkan diri memungkinkan macan tutul dapat hidup bersama (co-exist) dengan pesaing-pesaing
besarnya. Macan tutul dapat masuk dalam teritori singa yang kosong (Bertram 1982). Dimana ada harimau,
macan tutul cenderung sedikit (Schaller, 1967; 1972; M.K. Ranjitsinh pers. comm. dalam La Brasca, 2007),
tetapi ini bukan aturan yang baku. Di Taman Nasional Chitwan, Nepal, macan tutul dan harimau co-exist
dengan cara berburu pada waktu yang berbeda dan mangsa yang berbeda serta menggunakan komplek vegetasi
yang berbeda (Seidensticker, 1976). Macan tutul makan mangsa yang lebih kecil (biasanya kurang dari 75
kg) (Seidensticker, 1976; Johnsingh, 1983), pembagian mangsa juga terjadi antara singa dan macan tutul di
Serengeti (Bertram, 1982) dan Gir Forest (R. Chellam in litt., 1993 dalam La Brasca, 2007).
Kondisi tersebut berbeda dengan macan tutul jawa, karena harimau jawa telah punah. Harimau jawa
merupakan satu-satunya pesaing macan tutul jawa baik dalam mencari mangsa (makanan), penggunaan cover,
air dan penggunaan ruang. Oleh karena itu, macan tutul jawa menduduki puncak rantai makanan (trophic
level), sehingga merupakan spesies kunci (keystone species) dalam ekosistem hutan di Pulau Jawa dan sangat
penting untuk keseimbangan ekosistem. Relung ekologi yang semula diperankan Harimau jawa pada akhirnya
diambil alih oleh macan tutul jawa. Hal ini membuat Macan tutul jawa memperoleh sumberdaya alam tanpa
pesaing, namun belum tentu memperbesar ukuran tubuhnya karena sumberdaya terutama kualitas maupun
kuantitas habitatnya semakin berkurang.
9. Populasi
Macan tutul jawa merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1999. IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) memasukkan macan tutul
jawa ke dalam Redlist dengan kategori Critically Endangered. Macan tutul jawa juga termasuk dalam
Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna & Flora)
(Soehartono & Mardiastuti, 2002) Penurunan populasi macan tutul jawa diakibatkan oleh penurunan mutu
habitat dan populasi satwa mangsa karena pembukaan wilayah hutan dan perburuan liar.
Jumlah populasi macan tutul jawa di habitat aslinya belum diketahui secara tepat. Pada saat ini
diperkirakan ada 350-700 ekor macan tutul jawa di pulau Jawa (Santiapillai dan Ramono, 1992). Berdasarkan
hasil-hasil penelitian dengan menggunakan perangkap kamera, diketahui kepadatan macan tutul jawa di
beberapa lokasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Di Bodogol taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah satu individu per 6 km2 (Ario, 2006). Di Taman
Nasional Gunung Halimun berdasarkan perhitungan kategori daerah hutan primer dan sekunder adalah satu
individu per 6.67 km2 (Syahrial dan Sakaguchi, 2003). Di kawasan hutan Gunung Salak adalah satu individu
per 6,5 km2 (Ario, 2007). Kepadatan macan tutul di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah
satu individu per 7,7 km2 (Ario et al, 2009). Metode perhitungan inventarisasi populasi macan tutul jawa di
Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah total terendah 234 ekor dan tertinggi 383 ekor (Gunawan,2010). Metode
perhitungan model kesesuaian habitat populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah total
terendah 234 ekor dan tertinggi 383 ekor. Jumlah populasi Macan tutul jawa dari berbagai sumber pada
Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur adalah 676-697 individu. Berikut Tabel
Estimasi populasi Macan Tutul Jawa :
• Ingestif :
Macan tutul akan membunuh dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya
(Prater,1965;Hoogerwerf,1970). Kebanyakan mangsa macan tutul adalah satwa yang masih anak-anak
(infant/juvenile) atau yang sudah tua karena biasanya keadaannya lemah dan mudah ditangkap satwa-satwa
kecil seperti kelinci, binatang pengerat, ikan dan burung juga dimangsa macan tutul, bahkan juga buah-buahan
yang manis (Grzimek, 1975). Macan tutul jawa memakan korbannya mulai dari jantung, hati dan bagian-
bagian lunak lainnya.
Satwa ini akan kembali ke tempat penyimpanan sisa makanannya setelah dua atau tiga hari, bahkan
kadang-kadang lebih (Goudriaan,1948;Hoogerwerf,1970). Hal tersebut terjadi karena menurut Home (1927)
dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul kembali ke tempat penyimpanan sisa makanannya setelah lelah dan
gagal dalam berburu. Kebiasaan memakan bangkai yang disimpannya memungkinkan macan tutul mudah
keracunan (Bailey, 1993). Gunawan (2010) menyatakan bahwa macan tutul juga dikenal mendengkur selama
makan. Setelah makan, macan tutul biasanya mencari air untuk minum. Macan tutul dapat bertahan hidup
dengan baik pada musim kering yang Panjang. walaupun hanya minum tiap 2 - 3 hari sekali (Grzimek, 1975).
Macan tutul tidak membutuhkan banyak air karena cairan yang terkandung pada mangsanya sudah cukup
untuknya.
• Eliminative
Macan tutul membuang kotoran (feces) tanpa disembunyikan, tetapi diletakkan di tempat-tempat terbuka
misalnya di atas batu-batu besar (Medway, 1975). Contoh kasus oleh Gunawan (1988) mendapati kotoran
macan tutul di tengah-tengah persimpangan jalan di hutan jati Perum Perhutani di Subah (Kabupaten Batang)
dan batas kawasan Cagar Alam Pringombo (Kabupaten Banjarnegara).
• Reproduktif
Macan tutul jawa yang berkelamin jantan akan berkelana mencari pasangan dalam teritorinya masing-
masing. Macan tutul jawa betina umumnya memiliki anak 2-6 ekor. Macan tutul betina akan mencapai
kematangan seksual pada umur rata-rata 33 bulan (30 – 36 bulan). Masa kehamilan rata-rata 96 hari (90 – 112
hari) (Gunawan,2010). Induk yang bunting mencari gua, celah batu besar, lubang pohon atau semak belukar
untuk melahirkan dan membuat sarang (Nowak, 1997; Guggisberg, 1975). Anak-anak macan tutul dilahirkan
dalam gua, lobang pohon, lubang tanah atau tempat berlindung lain yang sesuai. Jantan dan betina membentuk
asosiasi sementara, dan seekor betina oestrus mungkin dikawini oleh beberapa jantan dalam rentang waktu
yang singkat (poliandri).
• Agonistic
Macan tutul pemalu, cerdik dan berbahaya, khususnya ketika terluka (Direktorat PPA, 1978). Ketika
sudah mencapai fase dewasa, macan tutul dewasa dari jenis kelamin yang sama dan memiliki daerah jelajah
bersebelahan atau overlap biasanya saling menghindar, tetapi perkelahian bisa terjadi khususnya untuk
memperebutkan mangsa (Gunawan,2010). Pemangsaan pada anak-anak macan tutul, khususnya yang
dilakukan oleh macan tutul lain sangat umum terjadi sehingga jarang lebih dari satu atau dua anak yang selamat
dan dapat bertahan hidup.
• Epimeletic
Macan tutul betina membesarkan anak-anaknya di tempat bersarang dan mengajarinya berburu. Anaknya
tetap bersama induknya hingga berumur 18-24 bulan dan akan disusui selama tiga bulan atau lebih. Mereka
disembunyikan sekitar delapan minggu dan induknya akan berhenti berpindah-pindah sampai anak-anak dapat
bergabung mengikuti perjalanan.Selain itu, mereka dibimbing makan daging sampai kira-kira umur 10 bulan.
Guggisberg (1975) menyatakan bahwa jantan juga membantu betina mengasuh anak-anak berupa memberi
mereka hasil buruan. Induk jantan mungkin dijauhkan dari anak-anak oleh betina, tetapi jantan memberikan
daging kepada anak-anaknya.
• Investigative
Anak-anak macan tutul belajar dengan meniru tingkah laku induknya, dan mereka biasanya membunuh
mangsa utama pertamanya pada umur 11 bulan, walaupun mereka dapat membunuh hewan kecil seperti
garangan atau bangsa pengerat pada umur sekitar empat bulan. Induknya mungkin membawa mangsa hidup
atau mati untuk anakanaknya, di mana mereka belajar menerkamnya dan belajar menguasainya dengan
cakarnya.
• Shelter Seeking;
Seperti halnya kucing besar lainnya, secara umum macan tutul menghabiskan waktu sekitar dua per tiga
waktu untuk istirahat dan mempelajari lingkungannya (Seidentsicker and Susan, 1991). Sebagian besar
waktunya untuk berbaring di pohon, di atas batu besar atau di sarangnya.
12. Upaya konservasi
Semakin menyusutnya hutan alam di pulau Jawa mengakibatkan semakin menyusutnya habitat macan tutul
sehingga habitat dan populasi macan tutul jawa kondisinya semakin terancam. Penyebab utamanya adalah
hilangnya habitat, menurunnya kualitas habitat dan fragmentasi habitat sebagai dampak dari pertambahan
penduduk, pembangunan infrastruktur dan diperparah oleh krisis ekonomi dan euforia otonomi daerah yang tidak
bertanggungjawab. Adapun permasalahan yang lain adalah kurangnya kajian manajemen habitat yang lebih serius
akibat kurangnya komunikasi antar pengamat macan tutul jawa. Sehingga jaringan informasi diantara para pihak
yang terkait untuk membangun kepentingan bersama guna pengelolaan macan tutul jawa dan habitatnya sangatlah
perlu digiatkan (Gunawan et al., 2009). Pemerintah dan para pemerhati macan tutul jawa di Indonesia pada tahun
2009 melakukan kajian dan menetapkan strategi dan rencana aksi konservasi macan tutul jawa untuk waktu
sepuluh tahun mendatang. Rencana aksi ini merupakan kegiatan pertama yang dilakukan dalam rangka
memaksimalkan dan meningkatkan upaya konservasi macan tutul jawa di Indonesia. Berikut upaya konservasi
macan tutul jawa (Panthera pardus melas):
(1) Pengelolaan populasi macan tutul jawa
Penelitian dan kajian identifikasi distribusi dan estimasi populasi macan tutul jawa dengan menggunakan
metode ilmiah yang standar.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Macan
Tutul Jawa (Panthera Pardus Melas) Tahun 2016 – 2026. Jakarta (ID: Sekretariat Jenderal Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ario, A. 2010. Kucing-Kucing Liar Indonesia. Panduan Lapangan. Yayasan Obor Indonesia. Hal 49- 55
Ario, A. Hidayat, E, Supian, 2009. Protection and Monitoring of the Endangered Species of Javan Leopard
(Panthera pardus melas) in Gunung Gede Pangrango National Park, West Java, Indonesia. Conservation
International Indonesia.
Ario, A.2006. Survei Macan tutul dengan perangkap kamera (camera trap) di Bodogol Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. Laporan Kegiatan. Conservation International Indonesia.
Bailey, J.A. 1984. Princples of Wildlife Management. John Wiley & Sons. New York.
Bailey, T. N. 1993. The African Leopard: A Study of The Ecology and Behavior of A Solitary Felid. Columbia
University Press. New York.
Bertram, B. 1982. Leopard Ecology as Studied by Radio Tracking. Symposium of the zoological Society of
London 15: 263-280.
Bureau of Land Management. 2004. Share the Adventure; Tracking Habitat Change. Educator’s guide: Electronic
Field Trip. U.S. Department of the Interior, Bureau of Land Management, Environmental Education and
Volunteers Group, Washington, DC. 39p.
Cat Specialist Group. 2002. Panthera pardus. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2006. Retrieved
on 12 May 2006.
Direktorat PPA. 1978. Mamalia di Indonesia. Direktorat PPA, Direktorat Jenderal Kehutanan. Bogor.
Direktorat PPA. 1982. Pedoman Teknik Inventarisasi Mamalia (Dasar-dasar Umum). Direktorat PPA,
Direktorat Jenderal Kehutanan. Bogor.
Futuyma DJ. 1998. Evolutionary Biology, Third Edition. Sunderland: Sinauer Associatas Publisher.
Grzimek, B. (Ed). 1975 Grzimek's Animal Life Encyclopedia. Vol. 12, Mammals III. Van Nostrand Reinhold,
New York. 657 pp.
Guggisberg, C. 1975. Wild Cats of the World. Taplinger Publishing Company. New York. 328pp
Gunawan, H. dan Alikodra, S.H. 2013. Bio-ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam
Punah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi -Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan. Bogor (ID).
Gunawan, H., 2009. Ekologi Macan Tutul (Panthera pardus melas CUVIER 1809) dan Masalah konservasinya.
Paper disampaikan pada Seminar Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan tutul di Hotel
Safari, Taman Safari Indonesia.
Gunawan, H., L.B. Prasetyo, A. Mardiastuti dan A.P. Kartono. 2009. Habitat Macan Tutul Jawa (Panthera pardus
melas Cuvier 1809) Di Lanskap Hutan Produksi Yang Terfragmentasi. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi alam.
Gunawan, Hendra. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera Pardus Melas Cuvier, 1809) di
Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Hanski, I. 1998. Metapopulation Dynamics. Nature, Vol 396, 5 November 1998. Macmillan Publishers Ltd.
www.nature.com. Diakses tanggal 19 September 2019.
Hart, J. A., Katembo, M. & Punga, K. 1996. Diet, Prey Selection, and Ecological Relations of Leopard and
Goldeb Cat in the Ituri Forest, Zaire. African Journal of Ecology. 34: 364-3
Hemmer, H. & Schutt, G. 1973. Pleistocene leopards (Panthera pardus) of Java and Southern China. Koninkl.
Neder. Akad. Wetensch. Proc. Sers. B 76:37-49.
Hoogerwerf, A. 1970. Ujung Kulon, The Land of The Last Javan Rhinoceros. E.J. Brill. Leiden, Netherlands.
252p.
Hoogerwerf, A. 1970. Ujung Kulon, the Land of the Last Javan Rhinoceros.Leiden,E.J.Brill. Leiden, Netherlands.
Hoogerwerf, A. 1970. Ujung Kulon, the Land of the Last Javan Rhinoceros.Leiden,E.J.Brill. Leiden, Netherlands.
IUCN - The World Conservation Union. 1996. Leopard Panthera pardus Linnaeus 1758.
Johnsingh, A.J.T. 1983. Large Mammalian Prey-Predators in Bandipur Tiger Reserve. J. Bombay Nat. Hist. Soc.
80:1-57.
Karanth, K.U. & S. E. Melvin. 1995. Prey Selection by Tiger, Leopards & Dhole in Tropical Forests. Journal
of Animal Ecology 64: 439-450.
Labrasca, C. 2007. Biogeography of Panthera pardus. California State University, Sacramento. Diakses Tanggal
17 September 2019.
McGarigal, K. and B. J. Marks. 1995. Fragstats: Spatial Pattern Analysis Program for Quantifying Landscape
Structure. USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. PNW-351.
Http://www.innovativegis.com/basis/Suplements/BM_Aug_99/FRAG_expt.htm. Diakses Tanggal 19
September 2019
Medway, L. 1975. The Wild Mammal of Malaya and Offshore Islands Including Singapore. Oxford University
Press. London. 127p.
Meijaard, E. 2004. Biogegraphic History of the Javan Leopard Panthera pardus Based on A Craniometric
Analysis. Journal of Mammalogy, 85(2):302–310
Morrison, M.L., B.G. Marcot & R.W. Mannan. 1992. Wildlife-Habitat Relationships. The University of
Wisconsisn. Madison, Wisconsin.
Sakaguchi, N., R.M. Sinaga., A.H. Syahrial. 2003. Food habits of the javan leopard Panthera pardus melas in
Gunung Halimun National Park, Indonesia. In: Biodiversity Conservation Project. Research on Endangered
Species in Gunung Halimun National Park, Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia, vol.
XI. In press.
Sanderson, I. T. 1972. Living Mammals of the World. Doubleday and Company Inc. Garden City, New Jersey.
303pp
Santiapillai, C. And W.S. Ramono. 1992. Status of the leopard (Panthera pardus) in Java, Indonesia. Tigerpaper
19: 1-5
Seidensticker, J. And L. Susan (Eds). 1991. Great Cats: Majestic Creatures of the Wild, Rodale Press. Emmaus,
Pennsylvania, USA. 240pp.
Shaw, J. 1985. Introduction to Wildlife Management. Mcgraw-Hill Book Company. New York. 316p.
Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2002. CITES Implementation in Indonesia. Nagao Natural Environment
Foundation. Jakarta. 339p.
Syahrial. A.H. and Sakaguchi, 2003. Monitoring research and the javan leopard Panthera pardus melas in
Gunung Halimun National Park, Indonesia. In: Biodiversity Conservation Project. Research on
Endangered Species in Gunung Halimun National Park, Research and Conservation of Biodiversity in
Indonesia, vol. XI. In press.