Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu bagian penting dari budi daya pertanian yang sering terabaikan
oleh para praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi tanah. Hal ini terjadi
antara lain karena dampak degradasi tanah tidak selalu segera terlihat di lapangan,
atau tidak secara drastis menurunkan hasil panen. Dampak erosi tanah dan
pencemaran agrokimia, misalnya, tidak segera dapat dilihat seperti halnya dampak
tanah longsor atau banjir badang. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang
efektif, produktivitas lahan yang tinggi dan usaha pertanian sulit terjamin
keberlanjutannya.

Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang
tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya
untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak
oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menentukan kemampuan
tanah (soil capability) untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan
agar tanah tidak rusak dan dapat digunakan secara terus-menerus dan
berkelanjutan (sustainable). Upaya-upaya konservasi tanah ditujukan untuk (1)
mencegah erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta
meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara
berkelanjutan.

Konservasi tanah mempunyai hubungan sangat erat dengan konservasi air.


Konservasi air pada dasarnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah
untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi
banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Setiap
perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan memperngaruhi tata air pada
tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi tanah dan
konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali. Berbagai
tindakan konservasi tanah juga merupakan tindakan konservasi air.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Penelitian Konservasi Tanah

Sejarah perkembangan iptek dan penelitian tanah di Indonesia diawali pada


tahun 1905, bertepatan dengan berdirinya Laboratorium voor Vermeerdering
de Kennis van den Bodem (Laboratorium  untuk Perluasan Pengetahuan
tentang Tanah), yang sekarang menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kegiatan pengembangan ilmu
tanah waktu itu mencakup pula penelitian erosi dan konservasi tanah. Namun,
penelitian konservasi tanah yang lebih terprogram dan terorganisasi baru
dikembangkan pada tahun 1969/1970 dengan dibentuknya Bagian Konservasi
Tanah pada Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Secara
kronologis, garis besar sejarah perkembangan penelitian konservasi tanah
dapat dipilah dalam beberapa kurun waktu sebagai berikut.

Periode 1970-1980

Dalam periode ini pengembangan iptek dan penelitian konservasi tanah


didominasi oleh kegiatan di laboratorium dan rumah kaca, didukung dengan
beberapa kegiatan penelitian lapangan. Kegiatan penelitian diarahkan untuk
mengkompilasi berbagai data fisika dan konservasi tanah serta menguji
berbagai metode dan teknologi dasar konservasi tanah dan air, termasuk
penggunaan soil conditioner. Dalam periode ini juga dikembangkan teknik
simulasi dan pemodelan, seperti rainfall simulator, Universal Soil Loss
Equation (USLE), dan RUSLE (Revised USLE) (Abdurachman et al. 1984;
Abdurachman 1989; Abdurachman dan Kurnia 1990).

Beberapa inovasi iptek utama yang dihasilkan dalam periode ini adalah:
(1) nilai faktor erodibiltas tanah-tanah Indonesia (Kurnia dan Suwardjo 1984),
(2) nilai faktor pertanaman dan tindakan pengendalian erosi (Abdurachman et
al. 1984), (3) penggunaan soil conditoner, (4) tingkat erosi tanah pada berbagai
lahan pertania, (5) teknologi pengelolaan bahan organik, (6) teknologi
pengolahan tanah, (7) teknologi pengendalian erosi, dan (8) teknologi
rehabilitasi tanah.

Periode 1980-2002

Dalam periode ini, iptek dan penelitian konservasi tanah lebih


diarahkan pada kegiatan lapangan dengan melibatkan petani, dan didukung
dengan penelitian rumah kaca dan laboratorium. Kegiatan penelitian dan
pengembangan konservasi tanah pada masa ini cukup aktif dan luas, karena
didukung oleh berbagai kerja sama dalam dan luar negeri. Kegiatan utamanya
antara lain (Abdurachman dan Agus 2000; Agus et al. 2005) : (1) Proyek
Penyelamatan Hutan Tanah dan Air di DAS Citanduy, 1982-1988; (2) Proyek
Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P3HTA/ UACP) di DAS
Jratunseluna dan Brantas, 1984-1994; (3) Proyek Penelitian Terapan Sistem
DAS Kawasan Perbukitan Kritis di Yogyakarta (YUADP), 1992-1996; (4)
Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara, 1986-1995; (5)
Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk Mengatasi
Peladangan Berpindah, 1990-1993; (6) Proyek Penelitian Usahatani Lahan
Kering-UFDP (Upland Farmers Development Project) di Jawa Barat,
Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, 1993-2000; (7) Kelompok
Kerja Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering, di DAS
Cimanuk, 1995-2000; (8) Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di
Jawa Tengah, 1995-2004; dan (9) Penelitian Multifungsi Pertanian, antara lain
untuk memformulasikan kebijakan pembangunan pertanian dan tata guna
lahan, 2000-2005.

Kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut menghasilkan berbagai


teknologi dan sistem usaha tani konservasi (SUT), termasuk model
kelembagaan dan sistem diseminasinya. Beberapa rekomendasi pengelolaan
lahan juga dihasilkan, seperti formulasi dan pemilihan jenis tanaman sesuai
kemiringan lereng, SUT pada wilayah pegunungan, dan SUT lahan kering
beriklim kering. Bahkan Permentan No. 47/2006 tentang Pedoman Budidaya
pada Lahan Pegunungan, pada hakekatnya merupakan kristalisasi, penjabaran,
dan aplikasi dari hampir seluruh kegiatan atau program penelitian dan
pengembangan konservasi tanah pada periode ini.

Periode 2002-2007

Pada periode ini, kegiatan penelitian konservasi tanah berkurang karena


tidak banyak lagi penelitian konservasi yang melibatkan petani pada areal yang
luas. Kegiatan lebih banyak berupa desk-work, memanfaatkan data yang telah
terkumpul untuk menyusun baku mutu tanah, pemodelan konservasi tanah,
buku petunjuk konservasi tanah, dan sebagainya. Pada periode ini juga
diupayakan pengembangan dan diseminasi iptek Prima Tani di berbagai lokasi,
terutama pada lahan kering beriklim basah. Kegiatan lain diarahkan pada upaya
perakitan teknologi dan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi, seperti lahan
bekas tambang, lahan tercemar, bekas longsor, termasuk lahan yang tergenang
lumpur di Sidoarjo.

2.2 Degradasi Tanah di Indonesia

Degradasi tanah di Indonesia yang paling dominan adalah erosi. Proses ini
telah berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan
pertanian. Jenis degradasi yang lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran
hutan, aktivitas penambangan dan industri, serta dalam arti luas termasuk
juga konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

Jenis-jenis Degradasi Tanah

Erosi Tanah

Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup


tinggi dan telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut
hingga kini. Beberapa data dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Sedimentasi di DAS Cilutung, Jawa Barat, memperlihatkan kenaikan laju


erosi tanah dari 0,9 mm/tahun pada 1911/1912 menjadi 1,9 mm/tahun pada
1934/1935, dan naik lagi menjadi 5 mm/ tahun pada 1970-an (Soemarwoto
1974).

b. Laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm/tahun,


mencakup areal 332 ribu ha (Partosedono 1977).

c. Pada tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan


ditanami tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun
(Suwardjo 1981).

d. Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung,


Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-
10 % yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).

e. Di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada


tanah Ultisols berlereng 3,5 % yang ditanami tanaman pangan semusim. Pada
tanah Ultisols berlereng 14 % di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun
(Abdurachman et al. 1985).

Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton


tanah/ha lahan tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28
ton tanah/ ha/tahun, dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7
ton/ha/tahun. Data menunjukkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus
meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9 juta ha. Bahkan
Departemen Kehutanan mengidentifikasi luas lahan kritis mencapai 13,2 juta
ha. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor.

Pencemaran Tanah dan Kebakaran Hutan

Selain terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan


kualitas akibat penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat
kimia dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah
sawah di Jawa, seperti organofosfat, organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata
et al. 1999; Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al. 1999). Pencemaran tanah juga
terjadi di daerah pertambangan, seperti pertambangan emas liar di Pongkor,
Bogor, yang menyebabkan pencemaran air raksa (Hg) dengan kadar 1,27-
6,73 ppm sampai jarak 7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran tanah
juga ditemukan di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai,
dan cat. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan pencemaran tanah
antara lain adalah Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku
Mutu Tanah 2000).

Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun,
terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-
PB dalam Kartodihardjo (2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi
193 kali kebakaran hutan, yang mengakibatkan 44 orang meninggal dan
kerugian harta-benda senilai Rp647 miliar. Menurut Bappenas (1998), sekitar
1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia terbakar selama musim kering 1997 dan
1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran gambut seluas 0,5 juta
ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan 1983. Selain tanaman dan
sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut
hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al. (2000),
kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut.
Kerugian lainnya berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati,
lingkungan hidup, kesehatan manusia dan hewan, serta kelancaran
transportasi (Musa dan Parlan 2002).

Banjir, Longsor, dan Konversi Lahan

Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor,
yang membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya.
Proses ini menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi
kejadian maupun areal yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara
kedua tempat tersebut. Proses degradasi lahan pertanian (dalam makna yang
sebenarnya), yang tergolong sangat cepat menurunkan bahkan
menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan
nonpertanian.
Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas
1,6 juta ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et al.
2001). Winoto (2005) menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah beririgasi (3,1
juta ha) telah direncanakan untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa
dan Bali, karena 1,67 juta ha atau 49,2% dari luas lahan sawah berpotensi
untuk dikonversi.

2.3 Dampak Degradasi Tanah

Degradasi tanah tidak hanya berdampak buruk terhadap produktivitas


lahan, tetapi juga mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan
pertanian.

Produksi dan Mutu Hasil Pertanian

Erosi tanah oleh air menurunkan produktivitas secara nyata melalui


penurunan kesuburan tanah, baik fisika, kimia maupun biologi. Langdale et
al. (1979) dan Lal (1985) melaporkan bahwa hasil jagung menurun 0,07-0,15
t/ha setiap kehilangan tanah setebal 1 cm. Hal ini terjadi karena tanah lapisan
atas memiliki tingkat kesuburan paling tinggi, dan menurun pada lapisan di
bawahnya. Penyebab utama penurunan kesuburan tersebut adalah kadar
bahan organik dan hara tanah makin menurun, tekstur bertambah berat, dan
struktur tanah makin padat.

Penurunan produktivitas dan produksi pertanian juga dapat terjadi akibat


proses degradasi jenis lain seperti kebakaran hutan (lahan) dan longsor, serta
konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

Sumber Daya Air

Erosi tanah bukan hanya berdampak terhadap daerah yang langsung


terkena, tetapi juga daerah hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-
dam penyimpan cadangan air dan saluran irigasinya, pendangkalan sungai,
dan pengendapan partikel-partikel tanah yang tererosi di daerah cekungan.
Dengan demikian bukan saja lahan yang terkena dampak, tetapi juga kondisi
sumber daya air menjadi buruk.

Multifungsi Pertanian

Lahan pertanian memiliki fungsi yang besar bagi kemanusiaan melalui


fungsi gandanya (multifunctionality). Selain berfungsi sebagai penghasil
produk pertanian (tangible products) yang dapat dikonsumsi dan dijual,
pertanian memiliki fungsi lain yang berupa intangible products, antara lain
mitigasi banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas
karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik,
dan pemelihara keanekaragaman hayati (Agus dan Husen 2004). Fungsi
sosial-ekonomi dan budaya pertanian juga sangat besar, seperti penyedia
lapangan kerja dan ketahanan pangan. Eom dan Kang (2001) dalam Agus dan
Husen (2004) mengidentifikasi 30 jenis fungsi pertanian di Korea Selatan.

Fungsi-fungsi tersebut dapat terkikis secara gradual oleh erosi dan


pencemaran kimiawi, dan dapat berlangsung lebih cepat lagi dengan
terjadinya longsor, banjir, dan konversi lahan. Multifungsi tersebut perlu
dilindungi, antara lain dengan strategi sebagai berikut: (1) meningkatkan citra
pertanian beserta multifungsinya, (2) mengubah kebijakan produk
pertanian harga murah, (3) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian,
dan (4) menetapkan lahan pertanian abadi (Abdurachman 2006a).

2.3 Permasalahan Konservasi Tanah

Faktor Alami Penyebab Erosi

Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi


tanah, terutama tiga faktor berikut: (1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas
maupun intensitasnya, (2) lereng yang curam, dan (3) tanah yang peka erosi,
terutama terkait dengan genesa tanah

Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah


Indonesia memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara
2.000-3.500 mm, dan hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan <
2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan merupakan faktor pendorong
terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang luas. Lereng merupakan
penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan. Sebagian besar
(77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi datar, agak
berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng <
3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia
(Subagyo et al. 2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau
di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%).

Praktek Pertanian yang Kurang Bijak

Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan


tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga
pada lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman
tahunan atau hutan. Secara keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi
luas 31,5 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya
diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor
lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh
lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak ke lahanlahan
berlereng curam.

Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian


yang tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem
perladangan berpindah yang banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada
sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum
merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai bagian penting dari
pertanian.

Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi

Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan


teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi
seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.
Hudson (1980) menyatakan bahwa walaupun masih ada kekurangan dalam
teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan teknis, hambatan
yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan ekonomi.

Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan


keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan
yang ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun
pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas
utama pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan
pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan
kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut
berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa mendatang.

Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga


sering menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan
dan hak atas lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan
tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering
menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah.

Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani,


yang memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya
sumber mata pencaharian (Abdurachman 2004). Selain faktor alami,
terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama terkait dengan lemahnya
peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan
ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan
alasan mudah dan murah.

2.4 Strategi Konservasi Tanah di Indonesia

Upaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan
kemampuan petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan,
selain kurang memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran
pemerintah sangat penting dan menentukan. Demikian juga strategi yang
dipilih untuk mensukseskan implementasinya di lapangan sangat menentukan
keberhasilan. Strategi tersebut meliputi lima hal sebagai berikut.

Strategi 1 Penyiapan Teknologi Konservasi

Teknologi konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi


pengendalian erosi dan longsor, sudah tersedia. Beberapa di antaranya telah
dipublikasikan dalam berbagai media cetak berupa buku, jurnal, dan
prosiding. Yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan dan menyusunnya
dalam buku teknologi atau menyediakan file elektronis, sehingga dapat
diakses dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna lainnya. Teknologi
untuk mengendalikan pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi oleh
limbah pertambangan dan industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti
dan dikembangkan lebih lanjut.

Strategi 2 Percepatan Diseminasi

Upaya penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem
diseminasi yang handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak
diterapkan pada proyek reboisasi dan penghijauan yang dikelola oleh
Departemen Kehutanan. Sasaran utaman proyek tersebut adalah kawasan
hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan konservasi wilayah
pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di DAS hulu. Oleh
karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan
kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk
mendukung pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan
kepada pencarian metode diseminasi teknologi yang tepat, di samping
penelitian teknologinya sendiri.

Salah satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah


percepatan diseminasi teknologi konservasi adalah Prima Tani, yang salah
satu tujuannya adalah mempercepat diseminasi inovasi pertanian
(Abdurachman 2006b, 2006c). Prima Tani merupakan model pembangunan
pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program pertanian,
penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang juga
bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber
daya manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat
dekat dengan semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui
Prima Tani, teknologi konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani
sebagai percontohan. Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani
sebagai suatu model pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan
merupakan tonggak baru sejarah pembangunan pertanian (Abdurachman
2007).

Teknologi konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti


dengan penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum
Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut
dengan tegas ditetapkan strategi dan teknologi konservasi tanah dan air
menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik lokasi. Secara
substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta sari
pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan
konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.

Strategi 3: Reformasi Kelembagaan Konservasi Tanah

Pada tahun 2005, dalam struktur organisasi Departemen Pertanian


dibentuk kelembagaan eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan
Lahan dan Air, dengan Permentan No. 299 tahun 2005. Hal ini memberikan
harapan akan lebih tertibnya pengelolaan lahan dan air, walaupun mandat
konservasi tanah masih diletakkan pada tingkat jabatan yang relatif rendah
(eselon III), yaitu Subdit Rehabilitasi, Konservasi, dan Reklamasi Lahan.

Makin cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam


keberlanjutan dan tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik
pemerintah yang lebih tegas, antara lain dengan meninjau ulang posisi
kelembagaan konservasi tanah. Mandat konservasi tanah di Departemen
Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh suatu kelembagaan setingkat
eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah Ditjen PLA, bahkan
lebih baik lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi Tanah. Dengan
demikian akan ada kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta
melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang konservasi
tanah, yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Strategi 4:  Relokasi Program Konservasi Tanah

Program konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen


Kehutanan, dengan nama Reboisasi dan Penghijauan hingga tahun 2002.
Kemudian pada tahun 2003 digalakkan gerakan masyarakat yang disebut
Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional (Gerhan). Hingga tahun
2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha digunakan anggaran Rp8,586
triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi (Kartodihardjo
2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan untuk
pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran
drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti,
terutama untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut,
seyogianya program konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan
konservasi di Departemen Pertanian yang dikoordinasikan dengan program
Dinas Pertanian di provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, konservasi
lahan pertanian akan mendapat perhatian lebih besar, dan Departemen
Kehutanan dapat memfokuskan programnya pada penanganan konservasi
kawasan hutan.

Strategi 5: Pelaksanaan Program Pendukung

Upaya konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan


dan implementasi programnya, antara lain berupa program sebagai berikut.

Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Hasil penelitian di DAS Citarum dan DAS Kaligarang menunjukkan


bahwa masyarakat pedesaan baru mengenal 2-4 jenis fungsi lahan pertanian,
yaitu penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air tanah, pengendali
banjir, dan penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi
kemanusiaan mencapai 30 jenis.

Sehubungan dengan hal tersebut, penggalakan konservasi tanah harus


meliputi pula advokasi pentingnya pertanian beserta fungsi gandanya. Dalam
jangka pendek, promosi dapat dilakukan melalui seminar dan simposium
serta media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran advokasi
bukan saja masyarakat umum, tetapi juga pelajar dan mahasiswa melalui
kurikulum pokok dan ekstra-kurikuler.

Penguatan Kelembagaan Penyuluhan

Kondisi kelembagaan penyuluhan saat ini kurang kondusif untuk


pembangunan pertanian secara umum, lebih-lebih untuk pengembangan
konservasi tanah. Hal ini terjadi terutama setelah diberlakukannya UU No.
32/2004 tentang otonomi daerah, yang antara lain mengalihkan pengelolaan
urusan penyuluhan pertanian dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Kabupaten. Namun dengan diterbitkannya UU No 16/2006 tentang
penyuluhan diharapkan fungsi penyuluhan akan lebih baik, apalagi dengan
digabungnya penyuluhan pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu
wadah. Salah satu hal yang perlu diupayakan adalah pengadaan tenaga
penyuluh konservasi tanah lapangan yang terlatih dan dibekali pengetahuan
dan teknologi konservasi yang memadai.

Penegakan Hukum

RUU Konservasi Tanah masih dalam proses ke arah pengesahan menjadi


undang-undang. Namun sebenarnya berbagai peraturan/perundangan yang
berkaitan dengan masalah kerusakan lahan pertanian, terutama konversi lahan
ke nonpertanian, sudah banyak diberlakukan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan Daerah. Masalah yang
mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum terutama karena penerapan
law-enforcement yang kurang tegas.
Advokasi Penanggung Jawab

Konservasi Perlu dilakukan advokasi intensif kepada masyarakat luas


untuk menjelaskan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan
bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh
generasi bangsa Indonesia.

2.5 Metode Atau Teknik Dalam Konservasi Tanah Dan Air


Di dalam konservasi tanah dan air, ada beberapa teknik dalam kegiatannya:
A. Teknik Mulsa Vertikal
Teknik mulsa vertikal ini adalah salah satu teknik dalam konservasi tanah
dan air. Teknik ini adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian
tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun
daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau
alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan (Pratiwi,
2005). Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan
pembuatan guludan.
Peranan dari teknik mulsa vertikal ini, antara lain (yang terdiri dari 3
komponen, yaitu pemanfaatan limbah hutan (serasah), pembuatan saluran, dan
guludan):
a. Limbah hutan (serasah) berfungsi sebagai:
1. Menghasilkan unsur-unsur hara penting bagi tanaman, yaitu limbah hutan
yang dimasukkan dalam saluran, akan terdekomposisi. Lalu aktivitas
mikroba meningkat dalam proses penghancuran atau dekomposisi bahan
organik.
2. Biomas segar yang telah dikomposisi tersebut merupakan media yang
dapat menyerap dan memegang massa air dalam jumlah besar sehingga
penyimpanan air dalam tanah dapat berjalan efisien.
3. Bahan organik yang telah terkomposisi di dalam saluran dapat diangkat
dan digunakan sebagai kompos. Kompos ini akhirnya dapat memperbaiki
kesuburan tanah.
4. Dapat meningkatkan keragaman biota tanah, karena mulsa merupakan
niche ekologi bagi berbagai jenis biota tanah. Biota ini akan
memanfaatkan energi dan unsur hara di dalam mulsa dan akan
menghasilkan senyawa organik yang dapat memantapkan agregat tanah.
5. Limbah hutan yang dimasukkan dalam saluran dapat berfungsi sebagai
penghambat penyumbatan pori makro dinding saluran oleh sedimen
sehingga air akan mudah meresap ke dalam saluran.
b. Saluran berfungsi sebagai:
1. Adanya saluran maka infiltrasi akan meningkat sehingga aliran
permukaan yang menyebabkan erosi akan menurun tajam, karena air
akan masuk ke dalam saluran.
2. Saluran merupakan tempat menyimpan partikel tanah yang terbawa oleh
aliran dari bidang di atas saluran sehingga dapat terendapkan di bagian
saluran mulsa vertikal tersebut.
3. Dan guludan berfungsi sebagai penahan aliran permukaan dan pertikel-
partikel tanah sebelum tererosi ke bagian hilir. Dengan demikian
partikel-partikel tanah akan terhenti di bagian guludan tersebut
(www.dephut.go.id/files/Pratiwi)
B. Teknik Kebekolo
Masalah berkurangnya kesuburan tanah untuk pertanian telah menyita
perhatian dunia dan konservasi tanah menjadi solusinya. Mengembangkan teknik
konservasi tanah dengan memperhatikan kearifan lokal dapat dijadikan salah satu
pilihan. Salah satu contoh adalah Kebekolo dari NTT.
Kebekolo adalah barisan-barisan tumpukan kayu atau ranting yang disusun
atau direntang memotong lereng perbukitan pada lahan kering. Tumpukan-
tumpukan itu dimaksudkan untuk menahan erosi, yaitu tergerusnya tanah oleh
aliran air permukaan ketika hujan turun. Jarak antara tumpukan satu dengan
tumpukan lain dibuat semakin rapat tatkala tingkat kemiringannya lahan kering
tersebut semakin tinggi.
Teknik ini sangat efektif menahan erosi tanah permukaan. Tetapi kelemahan
teknik kebekolo ini adalah ketergantungan pada umur tumpukan kayu dan ranting
tersebut. Bila kayu atau ranting yang digunakan sudah menjadi lapuk atau
membusuk lalu rapuh dan hancur, tentunya teknik ini menjadi tidak efektif untuk
menahan erosi.
Resikonya secara periodik harus mengganti tumpukan kayu atau ranting
yang telah membusuk tersebut.(www.litbang.deptan.go.id/berita/one/666/).

C. Teknik Teknologi Koservasi Tanah Dan Air


Untuk menahan air dan mencegah kehilangan air melalui aliran permukaan,
perkolasi, dan evaporasi diperlukan teknologi konservasi air. Dan konservasi
tanah diterapkan untuk mengendalikan erosi dan mencegah degradasi lahan.
Berikut diuraikan berbagai macam teknologi konservasi tanah dan air:
1. Sistem pertanaman lorong
Adalah suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam pada lorong di
antara barisan tanaman pagar. Sistem in sangat bermanfaat dalam mengurangi laju
limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara
terutama N untuk tanaman lorong.
2. Strip rumput
Adalah suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam pada lorong, tetapi
tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput dibuat mengikuti kontur dengan
lebar strip 0,5 meter atau lebih. Semakin lebar strip, semakin efektif
mengendalikan erosi.
3. Tanaman penutup tanah
Merupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan
tanaman pokok. Bermanfaat untuk menutupi tanah dari terpaan langsung curah
hujan, mengurangi erosi, menyediakan bahan organik tanah, dan menjaga
kesuburan tanah.
4. Teras Gulud
Sistem pengendalian erosi secara mekanis yang berupa barisan gulud yang
dilengkapi rumput penguat gulud dan saluran air di bagian lereng atasnya. Ini
mengurangi laju limpasan permukaan dan menyebabkan resapan air
5. Teras bangku
Adalah teras yang dibuat dengan cara memotong lurus dan meratakan tanah
di bidang olah sehingga terjadi deretan menyerupai tangga teras bangku. Ini
berfungsi sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi.
6. Rorak
Adalah lubang atau penampung yang dibuat memotong lereng yang
berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan. Rorak ini
berguna untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah, memperlambat
limpasan air pada saluran peresapan, dan sebagai pengumpul tanah yang tererosi,
sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah.
7. Embung
Merupakan bangunan penampung air yang berfungsi sebagai pemanen
limpasan air permukaan dan air hujan. Fungsinya sebagai penyedia air di musim
kemarau.
8. Daun Parit
Adalah suatu cara mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu
parit dengan tujuan untuk menampung aliran air permukaan, sehingga dapat
digunakan untuk mengairi lahan di sekitarnya. Daun parit dapat menurunkan
aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi.
(www.primatani.litbang.deptan.go.id/indek.php?)

D. Teknik Biopori
Teknik ini dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata, salah satu peneliti senior di
IPT. Teknik biopori ini sering disebut dengan Lubang Resapan Biopori (LRB),
yaitu metode resapan air yang ditujukan untuk membantu mengatasi banjir dan
genangan air serta sampah organik di pemukiman warga. Peningkatan daya resap
air pada tanah dikeluarkan dengan membuat lubang silindris yang dibuat secara
pertikel ke dalam tanah dengan melebihi kedalaman muka air tanah. Pada lubang
itu dimasukkan sampah organik berupa daun-daun, pangkasan rumput atau limbah
dapur sisa-sisa makanan untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang
ditimbun di dalam tanah akan menghidupi fauna tanah yang seterusnya mampu
menciptakan pori-pori di dalam tanah.

E. Teknik Groundwater Conservation Area


Merupakan teknik yang mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu
yang khusus diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air
hujan) yang dijaga diversifikasi dan konstruksi apapun tidak boleh dibangun di
atas area tersebut.
Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi
dan bebas dari kontaminasi polutan (A. Maryono dan E.N. Santoso, 2006).

2.7 Manfaat Konservasi Tanah Dan Air


Pada dasarnya konservasi merupakan pemberdayaan atau pemeliharaan
terhadap alam dan makhluk hidup. Manfaat – manfaat konservasi diwujudkan
dengan:
1. Terjaganya kondisi alam dan lingkungannya, berarti konservasi
dilakukan dengan memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak.
2. Terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan, yang berarti jika
gangguan-gangguan penyebab turunnya jumlah dan mutu makhluk
hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan berakibat
makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali.
3. Terhindarnya dari bencana akibat perubahan alam, berarti gangguan-
gangguan terhadap flora dan fauna serta ekosistemnya pada
khususnya serta sumber daya alam pada umumnya menyebabkan
perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu
sumber daya alam tersebut.
4. Mampu mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun
makro, bararti dalam ekosistem terdapat hubungan yang erat antara
makhluk hidup dengan lingkungannya.
5. Mampu memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti
upaya konservasi sebagai sarana pengamatan dan pelestarian flora
yang sudah punah maupun belum punah dari sifat, potensi maupun
penggunaannya.
6. Mampu memberikan konstruksi kepada kepariwisataan, berarti ciri-
ciri dan objeknya yang karakteristik merupakan kawasan ideal sebagai
sarana rekreasi atau wisata alam
(www.petualang.com/2008/09/konservasi-sumber-daya-alam-di-
indonesia/
BAB III
PENUTUP

Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang
tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Upaya-upaya konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah
erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan
produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan.

Konservasi tanah sangat berguna untuk menjaga dan memelihara tanah


sehingga produktivitas tanah menjadi maksimal dan tidak mengalami kemunduran
dan kemiskinan unsur hara pada tanah. Akibat dari konservasi tanah, produktivitas
pertanian pada setiap komoditi akan mengalami peningkatan, dan semua tindakan
yang dilakukan untuk konservasi tanah sangat disarankan dan dilaksanakan sebaik
mungkin, selain manusia yang meningkat dan kebutuhan akan pangan maupun
komoditi lainnya semakin meningkat. Konservasi tanah juga berperan penting
dalam menjaga lingkungan agar tetap bersahabat.

Konservasi tanah selalu berhubungan dengan konservasi air, untuk


menjaga tanah dan air agar tetap berkelanjutan maka dibuat metode-metode
konservasi tanah dan air, adapun metode tersebut adalah : teknik mulsa vertikal,
teknik kebekolo, teknik teknologi konservasi tanah dan air, teknik biopori dan
teknik Groundwater conservation area.

Sebaiknya, konservasi tanah dinegara Indonesia harus diperhatikan


keberlangsungannya supaya target dan tujuan yang akan dicapai dalam kegiatan
perdagangan mengalami peningkatan, dan menjaga keamanan berbagai komoditi
serta memelihara lingkungan dari akibat yang dapat merugikan sekitar.
Tugas Mata Kuliah Sistem Pertanian Berkelanjutan I, Pertanian Konservasi

Tindakan Konservasi Tanah

Disusun Oleh :

Kukuh Dwi Oktantyo (150110080075)

Tommy Frengky Sihombing (150110080076)

Bobby Aprilendy Ramadhan (150110080077)

Muhammad Luqman Kuswardana (150110080078)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2011

Anda mungkin juga menyukai