Anda di halaman 1dari 18

SUMBERDAYA AIR SEBAGAI SARANA PENDUKUNG PRODUKSI BERAS DI INDONESIA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Dr. Ir. Fatchan Nurrochmad, M.Agr.

SUMBERDAYA AIR SEBAGAI SARANA PENDUKUNG PRODUKSI BERAS DI INDONESIA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 28 Februari 2011 di Yogyakarta

Oleh: Prof. Dr. Ir. Fatchan Nurrochmad, M.Agr.

3 SUMBERDAYA AIR SEBAGAI SARANA PENDUKUNG PRODUKSI BERAS DI INDONESIA Hari ini merupakan hari yang khusus bagi saya yang memperoleh kehormatan untuk berdiri di mimbar agung ini dalam sidang terbuka Majelis Guru Besar UGM, guna menyampaikan pidato pengukuhan. Pengukuhan sebagai Guru Besar sebenarnya merupakan awal suatu pengabdian kepada masyarakat yang jauh lebih luas dibandingkan dengan saat saya diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1930an, tahun 1997 dan tahun 2007 ternyata juga dirasakan oleh bangsa Indonesia. Pada tahun 1997 penduduk Indonesia yang berstatus menengah kebawah dan tidak bergerak di sektor pertanian sangat merasakan dampak negatif yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, semua orang tahu bahwa krisis sangat menyengsarakan orang banyak tetapi kurang berpengaruh bagi kehidupan para petani, apalagi bagi mereka yang bergerak di bidang agribisnis dan agroindustri berorientasi ekspor. Mereka telah merasakan adanya limpahan berkah. Betapa tidak, harga-harga komoditas pertanian berorientasi ekspor seperti rempahrempah telah menjadikan mereka jutawan bahkan milyarder baru. Kondisi semacam ini dapat dirasakan oleh petani di Kalimantan, Sulawesi, atau di tempat lain. Krisis yang berkepanjangan telah menggugah semua pihak termasuk di dalamnya adalah pemerintah. Mereka tergugah bahwa sektor pertanian yang selama ini dinomor duakan dan dipinggirkan ternyata merupakan mutiara yang tidak akan lapuk sepanjang masa. Oleh karena itu, sektor pertanian harus dinomorsatukan sebelum negara kita menuju negara maju berbasis industri yang ditopang dengan pertanian yang kuat. Hal ini sebenarnya telah didengungkan sebelumnya bahwa memasuki abad XXI kita akan tinggal landas, tetapi kenyataannya justru negara kita masih tertinggal di landasan. Belajar dari sejarah negara-negara yang umumnya mempunyai empat musim, bahwa sebelum mereka menjadi negara maju (negara industri) maka sektor pertanian telah mereka bangun sedemikian rupa sehingga mereka dapat survive untuk akhirnya menjadi negara

4 industri. Dengan menjadi negara industri yang didukung oleh sektor pertanian yang kuat, maka akhirnya sebagai umpan baliknya adalah industri pertaniannyapun menjadi maju. Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu negara agraris karena mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Dengan karunia Allah swt berupa sumberdaya lahan yang subur, sumberdaya air yang melimpah, dan keanekaragaman hayati yang sedemikian rupa, semestinya kita sudah menjadi negara agraris yang kuat dan tidak tergantung pada negara lain dalam pemenuhan kebutuhan pangannya. Sektor pertanian tentu saja tidak akan pernah berhasil tanpa dibarengi dengan campur tangan pemerintah dan dukungan para petani dan stakeholder yang lain. Produksi pertanian (pangan/beras) perlu didukung dengan sarana prasarana pengairan yang memadai dan kegiatan operasi dan pemeliharaan yang sesuai dengan kebutuhan. Bertolak dari uraian di atas, perkenankan saya menyampaikan satu butir saja yaitu tentang sumberdaya air sebagai sarana utama dalam mendukung sektor pertanian khususnya pangan (beras). MAKNA SUMBERDAYA AIR Air memberikan makna yang sangat dalam pada kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, air yang bersifat strategis yang menguasai hajat hidup makhluk hidup perlu diatur oleh negara. Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memasukkan kata air ke dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3 dan dijabarkan lebih lanjut dengan UU No.11 tahun 1974 tentang Pengairan yang selanjutnya telah dirubah dengan UU No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Sumberdaya air mempunyai makna bahwa terdapat nilai manfaat yang sangat besar yang harus dikonservasi dan dikendalikan daya rusaknya bagi kehidupan manusia, hewan dan tanaman ditinjau dari berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, budaya, hukum, politik, dan transmigrasi. Air merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan negara terutama untuk menunjang ketahanan dan kedaulatan pangan. Sumberdaya air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan, karena air dapat berubah bentuk mengikuti hukum alam sehingga terciptalah

5 siklus hidrologi. Hal ini menyebabkan ketersediaan sumberdaya air merupakan fungsi ruang dan waktu, sehingga pengelolaannya akan terpengaruh oleh waktu akibat adanya siklus. Air sebagai sarana utama bagi pertumbuhan tanaman tidak dapat tergantikan oleh unsur lain di alam ini. Air yang terdiri atas hidrogen dan oksigen dapat melarutkan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Air sebagai media pelarut merupakan sarana yag baik untuk mengangkut unsur-unsur hara dari dalam tanah melalui sistem perakaran menuju ke tubuh tanaman. Air akan menguap (transpirasi) melalui stomata sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dan pada akhirnya akan menjadikan tanaman dapat tumbuh, berkembang, berbunga dan akhirnya berbuah. Tanpa air proses kehidupan tanaman tidak akan pernah ada. Air yang masuk ke dalam tanah akan berfungsi sebagai pengatur suhu tanah, pengisi kadar lengas tanah, pelindih bahan-bahan terlarut yang beracun, dan pengatur pH tanah. Air sebagai sarana utama bagi produksi padi perlu disediakan dan dikelola dengan baik, arif dan berkelanjutan agar terjadi keajegan produksi. DASAR HUKUM Sumberdaya air mempunyai arti yang sangat luas sehingga perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan hukum tentang sumberdaya air yang berlaku di Indonesia didasarkan pada 3 hal (Silalahi, 1996) yaitu hukum adat, peraturan perundangan Hindia Belanda, UUD 45 dan Pancasila. Ketiga peraturan perundangundangan tersebut di atas mempunyai karakteristik sendiri-sendiri dan berbeda satu sama lainnya. Kepemilikan atas air menurut hukum adat mengacu dan berlaku pada wilayah itu sendiri, hukum Hindia Belanda bersifat liberal dan individualistik, sedangkan UUD 45 dan Pancasila menganut hak milik yang bersifat sosial (bukan hak milik mutlak seperti pada hak eigendom/milik menurut Burgerlijk Wetboek/ KUHPer). Oleh karena itu semua peraturan perundang-undangan terkait sumberdaya air yang dibuat oleh pemerintah Indonesia (UU, PP, Keppres, Kepmen, Kep.Dirjen) harus didasarkan pada Pancasila dan UUD 45 di samping hukum adat dan mungkin sebagian peraturan perundangan Hindia Belanda.

Sosialisasi peraturan perundangan selama ini tidak menyebar ke seluruh masyarakat luas terutama para petani, sehingga tidak mengherankan kalau mereka tidak dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya dalam hukum yang berlaku. PERKEMBANGAN DAN PENGEMBANGAN IRIGASI Ketersediaan air yang relatif konstan dan kebutuhan air yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan terjadinya persaingan penggunaan air, maka sumberdaya air yang ada di dunia ini perlu dikelola dan dioptimasikan peruntukannya sesuai dengan pengembangan daerah yang akan dilayaninya. Pengelolaan sumberdaya air di Indonesia untuk irigasi khususnya di bidang pertanian tanaman pangan (padi) dapat dibagi menjadi tiga masa yaitu masa sebelum kemerdekaan RI tahun 1945 (masa penjajahan dan sebelumnya), dari tahun 1945 s.d. tahun 1998 (masa kemerdekaan, masa orde lama dan orde baru) dan setelah tahun 1998 (masa reformasi dan masa datang). 1. Masa Penjajahan dan sebelumnya Pengembangan wilayah pertanian di Indonesia ditunjang dengan pengembangan sarana dan prasarana pengairan berupa sistem jaringan irigasi teknis yang dibangun terutama oleh pemerintah Hindia Belanda. Irigasi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak orang mulai mengenal usaha-usaha budidaya tanaman untuk keperluan memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari. Usaha-usaha tersebut sampai sekarang masih dapat dilihat di beberapa tempat misalnya di Kalimantan dengan sistem irigasi Banjar, di Bali dengan sistem irigasi Subak, dan di tempat-tempat lain (dengan nama berbeda) dengan membuat jaringan irigasi yang dilengkapi dengan bangunan-bangunan sadap, pemberi dan pembagi. Irigasi teknis di Indonesia berkembang pesat pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Hal ini dapat diketahui dengan adanya bangunan-bangunan permanen yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu pada sungai-sungai di Pulau Jawa

7 khususnya di pantai utara seperti di Cirebon, Tegal, Pemalang, Brebes, Pekalongan atau di tempat lain seperti di Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Pada awal mulanya jaringan irigasi tersebut dibangun untuk memenuhi kebutuhan air tanaman tebu sebagai bahan dasar pembuatan gula. Beberapa karesidenan di Jawa waktu itu menjadi perhatian utama bagi pemerintah Hindia Belanda, karena ketersediaan sumberdaya air yang melimpah (kuantitas dan kualitas), tersedianya sumberdaya manusia (petani) yang cukup, sumberdaya lahan yang subur dan bebas banjir, pupuk, jalan akses, dan yang utama adalah kemauan pemerintah yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan Indonesia (Pulau Jawa) menjadi primadona pengembangan sektor pertanian yang berorientasi agribisnis (khususnya tebu), sehingga banyak pabrik gula yang dibangun di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa pada awal abad XX (Nurdiyanto, 1994) ada 179 pabrik gula (PG) termasuk di dalamnya 17 PG di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang tersebar di Bantul, Kulon Progo (satu buah), dan Sleman yang mana tak satupun tersisa karena adanya politik bumi hangus pada clash II. Hal ini nampak dari perintah Markas Besar Komando Djawa, sehingga sejak 21 Desember 1948 seluruh bangunan penting termasuk PG dibumihanguskan. Dengan 179 PG tersebut produksi gula yang dihasilkan adalah 2.970.836 ton (rata-rata per ha 16 ton). Pemerintah Hindia Belanda dalam mengembangkan agribisnis berbasis agroindustri terlebih dahulu menyiapkan dan membangun infrastruktur yang memadai. Jaringan rel kereta api dibangun sedemikian rupa sehingga dapat menghubungkan pusat-pusat industri gula dengan 4 buah pelabuhan (Tanjung Emas, Tanjung Perak, Tanjung Priok dan Cilacap) yang tersebar di Pulau Jawa (Zuhdi, 2008). Perencanaan yang matang dan didukung dengan pembangunan infrastruktur secara menyeluruh maka produksi gula sebanyak itu telah dapat diekspor ke berbagai negara. Dengan produksi gula seperti tersebut di atas maka Indonesia pada tahun 1930an telah menjadi negara pengekspor gula terbesar di dunia (kedua) setelah Cuba, tetapi pada saat ini telah berubah seratus delapan puluh derajat menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia (kedua) yaitu sebesar 0,8 juta ton (Husodo, 2010). Dengan harga gula saat ini sebesar Rp 10.000,/kg, maka devisa yang dapat dihasilkan hampir sebesar Rp 30 T.

8 Pada waktu itu dengan menanam tebu yang berumur 1 tahun, maka kegiatan-kegiatan pengelolaan lahan dan air merupakan faktor yang dominan disamping tentu saja kegiatan pemuliaan tanaman tebu itu sendiri. Pengolahan tanah sebelum dan sesudah tanaman tebu ditanam menjadi pekerjaan yang cukup berat bagi petani di lahan pertanian, jika terjadi pergantian tanaman dari tebu ke padi atau sebaliknya. Namun demikian pekerjaan tersebut menjadi ringan dengan adanya air irigasi sesuai dengan yang dibutuhkan. Pengelolaan air di jaringan irigasi dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan air di lahan pertanian sehingga bangunan-bangunan pemberi/bagi harus dikelola dengan kriteria tepat waktu, tepat jumlah dan tepat kualitas. Pada masa itu, pemerintah (Hindia Belanda) masih melindungi pelaku agroindustri (Pabrik Gula) karena adanya jaminan hak sewa atas tanah sawah sampai dengan 50 tahun dan hak kepemilikan sumberdaya air. Apabila pulau Jawa tidak dikembangkan menjadi daerah penghasil gula, maka barangkali pada waktu merdeka kita belum dapat melihat adanya jaringan rel kereta api, jaringan jalan raya dan jaringan irigasi teknis serta infrastruktur lainnya (seperti pabrik gula, stasiun, jembatan (gantung), bendungan, bendung dan terowongan kereta api) seperti saat ini. 2. Masa Kemerdekaan Proyek-proyek pengembangan wilayah sungai termasuk di dalamnya proyek irigasi pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan air di lahan pertanian yang produktif atau untuk meningkatkan daya dukung areal yang sudah ada dengan meningkatkan sarana dan prasarananya seperti rehabilitasi dan upgrading jaringan yang sudah ada. Usaha-usaha tersebut banyak membawa hasil karena didukung dengan program-program pertanian yang dimulai dari pra produksi, produksi dan pasca produksi yang dapat meningkatkan pendapatan petani sebagai pengelola lahan. Tanpa berpihak pada usaha-usaha peningkatan pendapatan petani maka pengembangan sumber daya air untuk pertanian yang bertujuan pemenuhan kebutuhan pangan rakyat banyak akan mengalami kegagalan. Kelestarian fungsi bangunan irigasi merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan petani. Tanpa kelestarian fungsi tersebut, maka usaha pemenuhan

9 kebutuhan pangan tersebut juga akan terganggu. Kelestarian fungsi dari sisi petani menjadi sangat penting manakala terjadi kekurangan suplai air ke lahan pertanian, sehingga para petani perlu diberi wewenang untuk mengelola, memelihara, memperbaiki, dan meningkatkan kinerja sistem jaringan irigasi yang ada di wilayahnya. Kelestarian jadi sangat penting artinya bagi pemerintah sebagai pembangun sistem jaringan. Hal ini perlu disadari bahwa untuk meningkatkan dan atau membangun sistem jaringan irigasi yang baru memerlukan dana yang sangat besar. Pengembangan daerah irigasi di Indonesia tidak akan lepas dari campur tangan pemerintah. Hal ini dapat dimengerti karena sumberdaya air dikuasai oleh negara sehingga pemerintah harus bertanggung jawab untuk mengembangkannya sekaligus melestarikannya. Pengembangan daerah irigasi tidak hanya difokuskan di Pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Pengembangan daerah irigasi tersebut pada umumnya dibutuhkan pembangunan/ peningkatan bendung, pembangunan bendungan atau pompa-pompa air beserta bangunan pokok dan pelengkap lainnya. Teknologi tentang irigasi dari masa ke masa selalu berkembang baik dari sisi sistem jaringannya maupun dari sistem manajemennya. Sistem dan manajemen irigasi untuk padi sawah dan non padi akan berbeda satu sama lainnya. Sistem irigasi padi sawah lebih dikenal dengan sebutan sistem irigasi konvensional dan irigasi non padi (bisa juga padi) lebih berkembang ke arah irigasi mikro. Irigasi konvensional dengan pengelolaan yang cukup sederhana karena irigasi tersebut menggunakan gravitasi untuk mendekatkan air dari sumbernya melalui sistem jaringan irigasi ke tempat yang membutuhkannya (sawah). Dalam perkembangannya dengan semakin berkembangnya teknologi, maka sistem jaringan yang ada dapat dikembangkan menjadi sistem irigasi yang mengandalkan tenaga pompa. Hal ini dapat dijumpai pada irigasi pantai. Sesuai dengan sifat tanaman padi, dalam perkembangannya selalu memerlukan air yang cukup banyak (dengan genangan), maka pengelolaan air irigasi harus memenuhi kriteria tepat jumlah dan tepat waktu. Kriteria tersebut akan terpengaruh dengan adanya keterbatasan ketersediaan air.

10 Sesuai dengan falsafah irigasi bahwa air akan diberikan pada lahan yang kekurangan air, maka selama di lahan sawah tidak terjadi kekurangan air maka sistem irigasi tidak perlu dioperasikan. Usaha-usaha pengembangan jaringan irigasi baru akan bermanfaat jika jaringan tersebut dapat melayani kebutuhan air irigasi bagi daerah irigasi yang dilayaninya minimal 2 kali tanam per tahun. Bagaimana jika terjadi kekurangan air di sawah? Pada umumnya sistem jaringan irigasi sudah didesain sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan. Jika terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan misalnya pada kemarau panjang, maka beberapa usaha dapat dilakukan antara lain dengan mengurangi areal tanam atau mengadakan sistem giliran. Jadi kalau diperhatikan kerentanan sistem jaringan irigasi masih tetap ada yaitu masih tergantung pada alam, kecuali kalau kita dapat menyediakan air irigasi dengan kriteria tepat jumlah, waktu dan kualitas. Dengan ketersediaan air yang cukup maka sistem jaringan irigasi dituntut secara terus-menerus untuk mempunyai kinerja yang baik. Hal ini tentu saja perlu diperhatikan dalam rancang bangun sistem jaringan irigasi beserta bangunan yang ada di dalamnya. Pengetahuan tentang hidraulika di saluran terbuka, siphon, talang, bangunan ukur dan pengatur aliran, bangunan pemberi dan sadap menjadi sangat penting untuk dicermati. Kesalahan pada rancang bangun akan berakibat pada rendahnya kinerja sistem jaringan irigasi yang dibuat. Pengembangan jaringan irigasi baru sudah selayaknya dikembangkan di luar pulau Jawa yang mempunyai sumberdaya lahan dan air yang melimpah meskipun terdapat keterbatasan di bidang sumberdaya manusia yang sebenarnya dapat dipenuhi dengan usaha transmigrasi. Hal ini sudah pernah dilakukan pembukaan lahan lebih dari 1 juta ha di Kalimantan tetapi belum berhasil. Berbeda dengan irigasi konvensional, maka irigasi mikro membutuhkan daya berupa pompa air pada sistem distribusinya. Sistem ini tidak atau belum berkembang di Indonesia tetapi berkembang pesat di negara-negara yang mempunyai empat musim seperti di Eropa Barat, Amerika dan Jepang. Irigasi mikro mempunyai kepopuleran tersendiri sebagai sebuah sistem jaringan irigasi yang lebih ditekankan pada sifat efisiensi sumberdaya (tenaga, kuantitas

11 dan kualitas air) dan efektifitas pengendalian/pengelolaan airnya. Sistem ini pada umumnya diutamakan untuk memproduksi sayuran, buah-buahan, bunga, atau tanaman lainnya. Sesuai dengan namanya maka irigasi mikro yang efisien dalam penggunaan air, maka sistem jaringannya menggunakan saluran pipa. Dengan sistem ini maka bangunan-bangunan pokok dan pelengkapnya juga berbeda dengan sistem jaringan irigasi konvensional. Pada masa ini termasuk di dalamnya PJP II telah terjadi pergeseran arah pembangunan pertanian yang tadinya bersifat atau mempunyai pendekatan komoditif menjadi pendekatan agribisnis dan peran pemerintah menjadi berkurang dan mulai ditumbuhkan peran masyarakat. Pertanian itu bersifaat dinamis (Nurrochmad, 1996 dan 1997), sehingga pengelolaan sumberdaya air juga harus mengikutinya, artinya harus fleksibel, dapat diandalkan dan dapat diprediksikan. Kondisi tersebut pada saat ini belum dapat dilaksanakan secarta baik, artinya kualitas sumberdaya manusia yang ada kurang atau belum mampu menetapkan dan memutuskan untuk mengikuti kedinamisan sektor pertanian yang dapat berubah secara cepat mengikuti permintaan pasar. Sudah selayaknya maka pengaruh dinamika sumberdaya tersebut dibakukan dengan zonisasi daerah irigasi sebagai penghasil komoditi pertanian tertentu yang berorientasi agribisnis agar dicapai keajegan produksi yang pada akhirnya akan menuju kepada pengelolaan sumberdaya air yang bersifat hidro-ekonomi. Petani tidak dirugikan oleh petani lain akibat penanaman komoditi yang sama pada tempat berbeda secara serentak yang pada akhirnya akan menjatuhkan harga jual komoditas pertanian yang mereka hasilkan. 3. Masa reformasi dan masa depan Pada masa reformasi pembangunan sarana prasarana pengairan relatif stagnan jika dibandingkan pada masa sebelumnya, sehingga mau tidak mau Pemerintah (Pusat dan Daerah) harus menjaga kelestarian fungsi sistem jaringan irigasi yang sudah ada untuk menunjang produksi pertanian (beras). Pada masa ini kegiatan operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi menjadi sangat penting dan harus didukung dengan APBN dan APBD, namun pada kenyataannya dana

12 tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Purworejo yang mempunyai sawah beririgasi teknis masih sulit untuk memenuhi kebutuhan dana operasi yang berkisar antara Rp 250.000/ha s.d. Rp 1.500.000/ha (Suhudi, 2009), sementara pemerintah baru mampu menyediakan dana sebesar Rp 140.000/ha (atau bahkan kurang). Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi. Dengan kemampuan yang terbatas tersebut, maka kegiatan rehabilitasi akan didasarkan pada skala prioritas (Nurrochmad dkk., 2009). Sebagai contoh hasil analisis prioritas rehabilitasi 50 daerah irigasi di kabupaten Purworejo menunjukkan bahwa faktor penentu utama adalah luas areal yang dilayani bukan atas dasar kondisi kinerja yang sesungguhnya (meski sudah diatur dengan Permen PU No.39/PRT/M/2006). Kenyataan ini menunjukkan bahwa terjadi ketidakberdayaan pemerintah Kabupaten (dan Pusat) dalam penyediaan dana operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi. Keberlanjutan fungsi jaringan irigasi memegang peranan sangat strategis dalam mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia. Bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Pengelolaan sumberdaya air merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai penguasa atas air (UUD 45), tetapi di dalam pelaksanaannya perlu didukung oleh para petani sebagai penerima manfaat. Tanpa adanya kerjasama yang baik maka pengelolaan sumberdaya air tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan. Sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan irigasi pada saat ini menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum sebagai pengelola di instream. Air sebagai sumberdaya alam tidak dapat dipisahkan oleh adanya batas administrasi dan kewenangan suatu institusi. Sumberdaya air sebagai suatu sistem maka keberadaanya perlu dikonservasi tidak saja di instrem tetapi lebih utama di offstream. Kewenangan yang ada pada saat ini tidak memungkinkan Kementeriaan Pekerjaan Umum untuk mengelola sendirian, tetapi perlu didukung oleh Kementerian Pertanian dan Kehutanan sebagai pengelola (dalam arti luas) di offstream Daerah Aliran Sungai (DAS). Pengelolaan sumberdaya air menjadi sangat strategis pada masa yang

13 akan datang sehingga slogan yang telah didengungkan oleh kementerian Pekerjaan Umum dapat menjadi kenyataan apabila pengelolaan instream dan offstream di bawah satu institusi. Kebutuhan air untuk budidaya tanaman pangan adalah sangat besar. Berapa liter jumlah air irigasi yang harus disediakan oleh pemerintah untuk memproduksi beras per kg? Jika rata-rata kebutuhan air irigasi sebesar 1 l/det/ha dengan umur padi 100 hari dan hasil panen beras rata-rata sebanyak 3000 kg/ha, maka kebutuhan air irigasi per 1 kg beras adalah sebesar 2880 liter di lahan sawah. Jika petani dapat melakukan penghematan air irigasi dengan pola pemberian air yang hemat, maka kebutuhan air irigasi untuk memproduksi beras per 1 kg dapat dihemat menjadi 1366 liter (Nurrochmad, 2007). Oleh karena itu pemberian air irigasi dengan sistem hemat air dan dibarengi dengan kemauan yang besar dari petani untuk peduli dan arif air maka penyediaan air irigasi dapat terhemat. Berapa rupiah dana yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi tersebut? Dengan penduduk Indonesia sebesar 230 juta orang dan kebutuhan beras sebesar 120 kg/kapita/tahun (standar PNS), maka kebutuhan air yang harus disediakan sebesar 80 triliun liter. Kapasitas waduk Jatiluhur di Jawa Barat saat ini kurang lebih 3 triliun liter, sehingga kita memerlukan 27 waduk sebesar Jatiluhur. Jika harga air irigasi sebesar Rp 1,00/liter maka anggaran yang harus disediakan pemerintah untuk penyediaan air irigasi sebesar Rp 80 T. Untuk memproduksi beras sebanyak itu, maka berapa ha luas sawah yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan beras saat ini? Jika 1 ha sawah dapat ditanami padi 2 kali per tahun, maka luas sawah yang harus disediakan sebesar 4,6 juta ha. Menurut data Kementerian Pertanian RI total luas sawah di Indonesia adalah 5 jutaan ha, sehingga kebutuhan luas sawah untuk produksi beras saat ini masih dapat tercukupi. Bagaimana kondisi Indonesia pada tahun 2050? Jika pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 2%/tahun, maka pada tahun 2050 penduduk Indonesia akan menjadi 500 juta jiwa. Ini berarti bahwa luas sawah yang ada sekarang perlu dilipat duakan.

14 Mampukah kita menyediakan lahan sawah seluas 10 juta ha? Jika lahan persawahan saat ini mengalami alih fungsi lahan maka justru produksi beras akan sangat merosot dibandingkan saat ini. Dengan luas lahan yang sama, maka kebutuhan beras nasional per tahun dapat tercukupi kalau konsumsi beras perkapita per tahun harus diturunkan menjadi setengahnya atau menjadi 60 kg. Bersediakah dan maukah kita hanya makan beras 60 kg/tahun? Pertanyaan lain adalah berapa liter air harus disediakan? Dengan hitungan yang sama maka air yang harus disediakan sebanyak 170 milyar m3, atau kita perlu membangun 57 waduk Jatiluhur atau sebanyak 4 waduk Three George (kapasitas 40 milyar m3) di China. Pada masa yang akan datang, optimasi pemanfaatan sumberdaya air menjadi sangat penting karena adanya pengembangan wilayah yang terus berjalan seiring dengan pertambahan penduduk dan industri yang menuntut ketersediaan suplai air bersih dan pangan (beras) yang memadai. Dengan ketersediaan sumberdaya air yang relatif tetap dan merupakan fungsi ruang dan waktu, pengelolaan sumberdaya air secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan perlu segera dilaksanakan oleh satu institusi. Problem yang timbul pada saat ini adalah keterpaduan yang belum terkoordinasi dalam pengelolaan terpimpin. Pengelolaan sumberdaya air terkait dengan tiga pilar yaitu pendayagunaan, konservasi dan pengendalian daya rusak air seperti tertuang dalam UU No 7 tahun 2004 belum sepenuhnya dapat dijalankan karena wewenang pengelolaan di instream dan offstream belum dalam satu wadah. Kementerian Pekerjaan Umum mempunyai kewenangan pengelolaan di instream berupa sumberdaya air (lebih fokus kepada pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air). Kementerian Pertanian dan Kehutanan mempunyai kewenangan pengelolaan di offstream berupa sumberdaya lahan, flora dan fauna (lebih fokus kepada pendayagunaan dan konservasi). Ke depan tiga kementerian yaitu Pekerjaan Umum (Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, pengelola di instream), Pertanian dan Kehutanan (pengelola di offstream) kiranya dapat diberdayakan menjadi satu kementerian. Bagaimana dengan Kementerian Pekerjaan Umum? Kementerian ini tetap ada dan mempunyai peranan yang lebih fokus pada pelayanan umum di bidang infrastruktur.

15 Arif Air. Air sebagai sumber kehidupan harus diperlakukan dengan baik. Jangan meninggalkan sumberdaya air kepada anak cucu kita dengan kondisi yang rusak, tercemar dan tidak dapat digunakan. Tembang anak-anak berikut ini: Ei.... dayohe teko Ei.... jerengno kloso Ei.... klosone bedah Ei.... tambalen jadah Ei.... jadahe mambu Ei.... pakakno asu Ei.... asune mati Ei.... guwangen kali Ei.... kaline banjir Ei.... selehno pinggir, sebaiknya tidak diajarkan lagi. Kenapa demikian? Kita sekarang ini perlu mengubah paradigma bahwa sungai bukan lagi tempat pembuangan tetapi sebagai sumber penghidupan. Agama apapun mengajarkan pada kita bahwa jangan berbuat kejahatan terhadap air karena jika air tidak dapat digunakan sesuai dengan peruntukan maka air tersebut dikatakan tercemar. Jangan sampai kita mencemari badan air dengan sampah baik padat maupun cair. Sampah yang paling banyak mencemari badan air adalah sampah rumah tangga. Agama telah mengajarkan pada kita untuk berhenti makan sebelum kenyang. Para orang tua mengatakan makanlah secukupnya jangan sampai berlebihan. Bahkan restoran prasmanan di Jepang akan memberikan pinalti (denda) jika para tamu yang makan di restoran tersebut tidak bisa menghabiskan makanannya. Para Kyai mengajarkan kepada santrinya supaya makan harus sampai pada butir nasi yang terakhir, jangan sampai ada yang terbuang (mubadir). Halhal tersebut sebenarnya memberikan pelajaran kepada kita semua supaya tidak menyisakan makanan yang pada akhirnya sisa makanan tersebut akan sampai ke badan air. Sisa makanan (karbohidrat/gula dan protein/lemak apalagi yang mengandung sulfur) yang terbuang ke

16 badan air akan mengalami proses utrofikasi, aerobiosis, unaerobisos, dan pada akhirnya dapat mengalami denitrifikasi yang akan membuat badan air tercemar. Jika kita mencemari badan air maka di samping kita membutuhkan air untuk proses pencucian, kita sebenarnya juga membuang air. Kenapa demikian? Jika setiap hari kita membuang 3 butir nasi (setiap kali makan 1 butir nasi terbuang), maka dalam setahun seluruh penduduk Indonesia (230 juta jiwa) akan membuang nasi sejumlah 251,85 Milyar butir atau setara 4938,235 ton beras (1 kg beras Menthik terdiri atas 51.400 butir, C4 terdiri atas 49.800 butir, dan Cisadane sebanyak 52.900 butir). Dengan demikian maka secara tidak langsung kita akan membuang air berapa liter? Total air yang dibuang adalah sebanyak 14,22 juta m3 (atau kita membuang rupiah sebesar Rp 14,2 M, jika harga air irigasi Rp 1,00/lt). Apapun yang kita makan seharusnya tidak ada yang terbuang. Kerugian tersebut baru dari nasi yang terbuang belum dari makanan lainnya. Oleh karena itu mulai hari ini, marilah kita berniat untuk tidak membuang makanan. Kita harus jaga kualitas air, arif terhadap penggunaan air, memakai secukupnya, tidak membuang limbah makanan ke dalam badan air. Dari uraian di atas dapat disampaikan bahwa: 1. Pada masa penjajahan, dengan hak penguasaan sumberdaya air ada ditangan individu, sistem sewa tanah dengan konsesi sampai 50 tahun, sehingga banyak pelaku-pelaku agribisnis bersifat individu atau kelompok yang pada umumnya dimiliki dan dikelola oleh orang Belanda. Orientasi mereka semuanya adalah hidro-ekonomi. Hal ini diperkuat dengan adanya peraturan perundang-undangan yang sedemikian rupa sehingga pemerintah Belanda menerapkan sistem hidro-politik untuk menguasai Indonesia. Pada masa ini Pemerintah telah berhasil mengembangkan pengelolaan sumberdaya air dengan sumberdaya lahan terpilih (pulau Jawa) untuk menunjang kegiatan agroindustri (gula) yang ditunjang dengan penyediaan sarana dan prasarana transportasi dari pusat-pusat produksi ke pelabuhan, sehingga Indonesia telah berhasil menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Cuba.

17 2. Pada masa kemerdekaan, karena sifat peraturan perundangundangan tentang sumberdaya air masih bersifat hidro-sosial maka pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan air irigasi yang memadai. Peran masyarakat tani sudah muncul tetapi belum berdaya. Kemampuan petani untuk survive masih sangat tergantung pada pemerintah dan belum berorientasi pada agribisnis. Kehidupan para petani pada umumnya belum menjanjikan untuk hidup layak. Pada masa ini Indonesia telah mengembangkan sumberdaya lahan dan air secara simultan sehingga Indonesia pernah menjadi eksportir beras pada dasawarsa 1980an. Pada masa reformasi dan masa yang akan datang, sosialisasi peraturan perundang-undangan supaya lebih jelas sehingga setiap petani dapat mengetahui dengan pasti dan dapat ikut berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya air terpadu, berkelanjutan dan menyeluruh sehingga mereka akan arif terhadap air dan tidak boros. Pengelolaan sumberdaya air, lahan dan tanaman secara terpimpin mutlak diperlukan dalam upaya mendukung swasembada, ketahanan dan kedaulatan pangan. Penyediaan anggaran operasi dan pemeliharaan yang memadai, terprogram sesuai dengan kebutuhan akan membantu beban petani yang belum bisa mandiri. Pada masa yang akan datang bisakah Indonesia menjadi negara pengekspor gula dan beras terbesar di dunia? Saat ini saja untuk berswasembada beras dan gula masih belum tercapai dan baru sebatas sebagai mimpi (Maksum, 2010). Kebijakan pemerintah untuk mencapai cita-cita tersebut perlu didukung secara nyata oleh semua stakeholder.

3.

18

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2005, Undang-Undang Republik Indonesisa No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air. Departemen Pekerjaan Umum, 2006, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.39/PRT/M/2006 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun 2007. Nurdiyanto, 1994, Pabrik Gula Madukismo Dalam Lintas Sejarah: Studi Awal Tentang Industri Gula (1959-1980), Laporan Penelitian Jarahnitra, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, hal. : 95-134 Norrochmad, F., 1996, Analisa Fenomena Sumberdaya Terhadap Pembagian Air Irigasi, Media Teknik, FT-UGM, hal. 38-42. Nurrochmad, F., 1997, Pengaruh Dinamika Masyarakat Terhadap Manajemen Air Irigasi, Prosiding: Rancang Bangun dan Manajemen Irigasi untuk Mendukung Sistem Usaha Tani Rakyat yang Berorientasi Agribisnis dan Agroindustri, FTP UGM, hal. 125-130. Nurrochmad, F., 2007, Kajian Pola-Hemat Pemberian Air Irigasi, Forum Teknik Sipil No.XVII/2-Mei 2007, hal.:517-529 Silalahi, M. D., 1996, Pengaturan Hukum Sumberdaya Air dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 23-28. Husodo, SY., 2010, Ketahanan Pangan: Kebijakan, Tantangan, dan Harapan di Masa Depan, Seminar Ketahanan pangan dalam Prespektif Sejarah, Yogyakarta 5 Mei 2010 Maksum, M, 2010, Analisis: Mimpi Swasembada, KR 28 Maret 2010. Zuhdi, S., 2008, Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, Kepustakaan Populer Gramedia. Suhudi, MA., 2010, Analisis Angka Kebutuhan Nyata Operasi dan Pemeliharaan (AKNOP) : Studi Kasus Tujuh Daerah Irigasi (DI) di UPTD Purworejo Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah, Tugas Akhir JTSL FT UGM.

Anda mungkin juga menyukai