Anda di halaman 1dari 12

Peran Irigasi Subak dalam upaya Swasembada Beras pada masa

Pemerintahan Orde Baru

Oleh:

Julianus Palermo (121911433019)

Marcelinus Rendika Putra W. (121911433028)

Dika Aldi Pratama (121911433029)

Tsai’in Raihan Firmansyah (121911433067)

Rizky Ramadhan (121911433075)

Bagus Candra Ramadhan (122011433045)

Rafil Aji Aditama (122011433062)

PRODI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2021
Pendahuluan

Sebagai negara agraris, sektor pertanian memang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat
Indonesia. Pertanian dijalankan dengan skala yang cukup masif sebagai upaya untuk memenuhi
ketahanan pangan masyarat Indonesia. Di samping itu, sektor pertanian juga menjadi mata
pencaharian dan penghidupan bagi jutaan orang petani. Maka, dapat dikatakan bahwa pertanian
merupakan suatu hal yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat, dan jika keberlangsungan
pertanian terganggu, maka akan menimbulkan dampak besar dan dapat merugikan banyak pihak.
Keberlangsungan pertanian sendiri sangat amat bergangung dengan sistem pengairan atau irigasi.
Ibarat aliran darah pada tubuh manusia, sistem irigasi yang baik akan berdampak pada hasil
pertanian yang optimal. Begitu pun sebaliknya, terganggunya sistem irigasi akan mengganggu
“kesehatan” faktor pertanian.

Pada beberapa daerah di Indonesia, terdapat beberapa macam sistem irigasi yang memiliki ciri
khas tersendiri sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakat suatu daerah pertanian. Salah
satu daerah di Indonesia yang memiliki sistem irigasi yang khas ialah Bali dengan sistem Subak
yang cukup populer. Dapat dikatakan bahwa sistem Subak merupakan salah satu kearifan lokal
dari pada petani Bali yang diaplikasikan secara turun-temurun , mengungkapkan berbagai
kelebihan, kearifan lokal tersebut ternyata mempunyai landasan rasionalitas yang tinggi. 1 Secara
etimologis, Subak sendiri berasal dari bahasa Bali dengan akar kata wak yang memiliki
kesamaan dengan kata bak atau saluran air. Kata wak atau bak tersebut mendapat imbuhan su-
yang bermakna “baik”, sehingga secara harafiah dapat disimpulkan bahwa kata suwak atau
Subak memiliki makna “saluran air yang baik”. Dalam catatan sejarah, kata suwak atau Subak
pertama kali diabadikan dalam Prasasti Pandak Bandung berangka tahun 1072 M. Namun,
diduga sistem irigasi yang serupa dengan Subak telah diterapkan oleh para petani Bali sejak
beberapa abad sebelumnya. Terdapat teori lain yang menyatakan bahwa suwak atau Subak
berasal dari kata seuwak yang berarti bagian air. Berikutnya dijelaskan bahwa Subak adalah
pembagian air dari satu sumber yang dibagi ke dalam bagian-bagiannya (seuwak-seuwak)
(Winaya dalam Wiguna dan Guntoro, 2003: 52).2

1
Euis Dewi Yuliana. Ajeg Subak Dalam Transformasi Pertanian Modern Ke Organik. (Denpasar: UNHI Press, 2020).
Hlm. 35-36
2
Ibid, Hlm. 40
Sebagai suatu bentuk kearifan lokal masyarakat Bali, sistem Subak merupakan bentuk
manifestasi dari konsep Tri Hita Karana atau “tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan
kesejahteraan” yang merupakan filosofi hidup masyarakat Bali. Penerapannya di dalam sistem
Subak yaitu Parahyangan (hubungan yang harmmonis antara manusia dengan Tuhan),
Pawongan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya), dan Palemahan
(hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya). 3 Dan sebagai suatu
bentuk kearifan lokal yang terus-menerus dipertahankan oleh para petani Bali, Subak sanggup
tampil sebagai organisasi yang mampu memberikan dukungan terhadap proses pembangunan
pertanian pada setiap zaman.4

Salah satu era terjadinya pembangunan pertanian yang cukup masif ialah pada masa
Pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, Presiden Soeharto menciptakan berbagai kebijakan
“perberasan” atau pertanian nasional yang diarahkan untuk mencapai tiga tujuan pokok, yaitu:
(1) memantapkan ketahanan pangan nasional; (2) memacu pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan stabilitas ekonomi (inflasi) nasional; dan (3) meningkatkan pendapatan petani. 5
Salah satu kebijakan Presiden Soeharto yang bertujuan untuk melaksanakan program
pembangunan pertanian secara masif ialah BIMAS (Bimbingan Massal) dan INMAS
(Intensifikasi Massal). Meski pada mulanya terdapat pertentangan dalam beberapa hal antara
pemerintah dengan para petani Bali sebagai pelaku sistem Subak, namun nyatanya kebijakan
pertanian yang diciptakan oleh Pemerintah Orde Baru tersebut nyatanya mampu berkolaborasi
dengan sistem Subak, sehingga pada akhirnya menjadikan Bali sebagai salah satu daerah utama
penghasil beras di Indonesia dan berkontribusi atas terjadinya Swasembada Beras pada tahun
1984.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka penulisan paper ini akan berfokus pada
hubungan atau relevansi antara irigasi Subak di Bali dengan upaya pelaksanaan swasembada

3
Anonim. Sistem Irigasi Subak Bali, Indonesia, Metode Pengairan Sawah Tradisional di Bali yang Terkenal dan
Ditetapkan Oleh UNESCO Sebagai Warisan Budaya Dunia. Diakses dari
https://buleleng.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/86-sistem-irigasi-subak-bali-indonesia-metode-pengairan-
sawah-tradisional-di-bali-yang-terkenal-dan-ditetapkan-oleh-unesco-sebagai-warisan-budaya-dunia pada tanggal 18
Oktober 2021 pukul 19.20
4
Anonim. Subak: Kearifan Lokal Memecahkan Berbagai Persoalan. Diakses dari
https://kabar24.bisnis.com/read/20121216/78/109981/subak-kearifan-lokal-memecahkan-berbagai-persoalan pada
tanggal 18 Oktober 2021 pukul 19.30
5
Pantjar Simatupang & I Wayan Rusastra. Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi. (Jurnal Ekonomi Padi
dan Beras Indonesia, 2004). Hlm. 32
beras pada era Orde Baru. Tujuannya ialah untuk mengetahui peran irigasi Subak dalam upaya
Swasembada Beras oleh Pemerintah Orde Baru.

Metode

Berdasarkan pada uraian di atas, maka tema penelitian berikut ini yang berjudul “Peran Irigasi
Subak dalam upaya Swasembada Beras oleh Pemerintahan Orde Baru” merupakan jenis
penelitian yang berlandaskan pada metode-metode sejarah. Menurut Louis Gottschalk, metode
sejarah ialah proses menguji dan menganalisis rekaman dan peninggalan masa lalu secara kritis
dan metode sejarah dipergunakan untuk merekonstruksi cerita dari masa lalu manusia. (Louis
Gottschalk, 1969). Metode sejarah sendiri terdiri atas beberapa tahapan, diantaranya adalah (1)
Heuristik (pengumpulan sumber); (2) Verifikasi (kritik sumber); (3) Interpretasi (penafsiran
sumber); dan (4) Historiografi (penulisan sejarah).

Heuristik merupakan tahap pertama di mana peneliti akan mengumpulkan sumber-sumber


kesejarahan yang sesuai dengan topik bahasan. Sejauh ini, sumber-sumber yang digunakan
sebagai rujukan dalam penelitian kali ini ialah berasal dari e-book dan e-journal yang tersedia di
Internet, serta dilengkapi dengan informasi dari beberapa situs Internet terpercaya.

Tahap selanjutnya adalah verifikasi atau kritik sumber yang terbagi ke dalam kritik intern dan
kritik ekstern. Tahapan ini merupakan langkah untuk menguji kebenaran sumber, dan diperlukan
untuk menghindari kesalahan penyusunan historiografi yang berupa ahistoris dan/atau anakronis.

Tahapan berikutnya ialah interpretasi atau penafsiran sumber, di mana setelah peneliti berhasil
memeriksa keaslian dokumen dan informasi di dalamnya, maka tugas berikutnya adalah
menafsirkan data maupun informasi yang ditemukan. Data-data yang ditemukan nantinya harus
melalui tahap “analisis”, yakni menguraikan data tersebut satu-persatu. Setelah itu, data yang
telah diuraikan akan melalui tahap “sintesis”, yakni disusun atau dirangkai menjadi suatu narasi
yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

Tahap keempat atau yang terakhir yaitu historiografi atau penulisan sejarah yang mengacu pada
aturan-aturan penulisan dan memperhatikan aspek kronologis suatu peristiwa.
Pembahasan

Sebagian kecil wilayah Indonesia, khususnya beberapa wilayah di Jawa dan Bali bertumpu pada
sektor pertanian yang menjadi prioritas utama dalam penunjang perekonomian. Bali sangatlah
mengutamakan kesejahteraan masyarakat melalui sektor pertanian. Untuk menjadikan sektor
pertanian yang lebih maju, diharapkan para petani untuk meningkatkan produktivitasnya yang
dimana nantinya hal tersebut merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang
keberhasilan suatu usaha terutama pada sektor pertanian. Maka dari itu para petani di Indonesia
diusahakan menggunakan segala cara, di antaranya penggunaan atau pemanfaatan luas lahan
serta teknologi untuk menunjang produktivitas sektor pertanian.

Subak adalah lembaga tradisional tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Secara alamiah
lembaga dalam arti pranata mula-mula timbul sebagai keteraturan di dalam pola tingkah laku
manusia, untuk kemudian menjadi kebiasaan. Sistem irigasi subak pada dasarnya dapat
dipandang sebagai suatu sistem teknologi dan juga dapat dipandang sebagai sistem kebudayaan.
Subak sendiri dipandang oleh para ahli hanya terdiri atas dua aspek, yaitu aspek sosial dan aspek
teknis.6 Bahkan Geertz dalam Winda juga menganggap bahwa subak hanya sebagai sistem yang
terdiri atas aspek teknis saja. Menurut Geertz, subak adalah suatu areal persawahan yang
mendapatkan air dari satu sumber dan memiliki banyak saluran irigasi. Menurut Perda Provinsi
Bali No.2 tahun 1972, subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-agraris-
religius yang secara historis didirikan secara dahulu kala dan berkembang terus sebagai
organisasi pengusaha tanah dalam suatu daerah. Berbagai definisi yang mencoba menjelaskan
mengenai subak pada kenyataannya memang bermacam-macam dan tidak dapat dipastikan
definisi tunggal dari subak sendiri.

Sektor pertanian di Bali sendiri yang menggunakan sistem subak sebagai sistem dan lembaga
juga menyangkut berbagai permasalahan pertanian yang menyangkut lahan basah yang disebut
sebagai subak lahan basah dan pertanian yang disebut sebagai lahan kering atau subak abian
dalam Bahasa Bali. Namun perhatian dalam penggunaan subak sebagai sistem dan lembaga ini
lebih difokuskan kepada subak lahan basah. Subak lahan basah menjadi lebih diprioritaskan
daripada subak lahan kering karena tanaman pangan seperti padi, jagung, dan sebagainya
diproduksi sedemikian rupa menjadi bahan pangan untuk menjaga ketahanan pangan. Subak
6
I Wayan Budiasa, “Peran ganda Subak untuk pertanian berkelanjutan di Provinsi Bali,” Jurnal AGRISEP 9, no. 2
(2010): 153–65.
lahan basah sendiri pemanfaatannya juga lebih difokuskan kepada budidaya tanaman padi.7 Oleh
sebab itu, pembahasan dalam paper ini akan memfokuskan mengenai peran subak dalam usaha
mewujudkan swasembada beras yang digalakkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto yang
dianggap berhasil pada tahun 1984. Apakah subak memegang peranan penting dalam
mewujudkan ketahanan pangan yang diagungkan pemerintahan Orde Baru atau malah
masyarakat Bali sendiri menggunakan sistem dan lembaga pertanian baru selain subak perlu
dibahas lebih lanjut dalam pembahasan kali ini.

Pada awalnya penguasaan teknologi oleh para leluhur orang Bali masih sederhana. Mereka
hanya bisa membuat semacam saluran air sederhana untuk menghubungkan air dari sumber mata
air menuju kawasan lahan pertanian tersebut.8 Seiring waktu, teknologi yang dikuasai oleh para
leluhur kian meningkat. Teknologi dalam bidang pengairan mula-mula adalah pembuatan
bendungan dan terowongan. Di awal perkembangannya, hanya sungai dangkal dengan debit air
yang sedikit yang bisa dibendung dan dialirkan airnya menuju lahan pertanian. Bendungan saat
itu berukuran kecil dan terowongan pendek. Seiring waktu, teknologi pengairan dalam hal ini
adalah pembuatan bendungan dan terowongan terus berkembang. Hasilnya sungai yang curam
dan memiliki arus air yang deras dapat dibendung dengan cara membuat bendungan yang lebih
besar dan membangun terowogan panjang yang dapat menembus tebing dan bukit untuk
mengalirkan air ke lahan pertanian milik para petani.9 Berjalannya teknologi pengairan ini tidak
lepas dari kuatnya rasa gotong royong serta kerjasama antar penduduk dalam membangun
bendungan dan terowongan tersebut.

Begitu pula dengan teknologi dalam bercocok tanam, mulai dari pengolahan lahan hingga panen
terus mengalami penyempurnaan. Bukti perkembangan dari teknologi bercocok tanam ini terlihat
dari berbagai bukti alat pertanian seperti uga, lampit dan pengorodan. Uga adalah alat yang
terbuat dari kayu atau bambu. Alat ini berfungsi untuk menghubungkan dua ekor sapi atau
kerbau yang berguna untuk membalikkan tanah lahan pertanian. Lampit sama dengan uga,
namun memiliki fungsi yang berbeda yaitu untuk meratakan tanah lahan pertanian. Pengorodan

7
N. Sutawan et al., “Laporan Akhir Pilot Proyek Pengembangan Sistem Irigasi yang Menggabungkan Beberapa
Empelan Subak di Kab. Tabanan dan Kab. Buleleng,” 1989.
8
Sang Putu Kaler Surata, Lanskap Budaya Subak: Belajar dari Masa Lalu untuk Membangun Masa Depan, ed. oleh
Sang Putu Kaler Surata (Denpasar: UNMAS Press, 2013), 4.
9
Surata, op. cit.
memilik fungsi sebagai alat untuk membersihkan gulma atau tanaman pengerat pada waktu
tanaman pertanian masih berusia muda.10

Merangkak ke pembahasan selanjutnya yaitu bagaimana lika-liku subak dalam masa


pemerintahan Presiden Soeharto. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa program ketahanan
pangan yang digalakkan oleh pemerintahan kala itu adalah dalam usaha untuk menuju
swasembada atau kemandirian dalam tanaman pangan beras. Pemerintahan Presiden Soeharto
sendiri melakukan berbagai inovasi dalam usaha mewujudkannya tujuan tersebut. Program-
program tersebut tertuang dalam pelaksanaan program BIMAS/INMAS atau INPRES untuk
meningkatkan intensifikasi dalam sektor pertanian.11 Program BIMAS/INMAS ini memang
ditujukan untuk meningkatkan produksi padi dan tanaman palawija lainnya. Tujuan untuk
meningkatkan produksi panganan pangan disusun dalam usaha untuk berjaga-jaga dalam sektor
kebutuhan pangan terhadap pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan penduduk
Indonesia yang terbilang cepat harus diimbangi juga dengan penanaman secara intensif tanaman-
tanaman pangan seperti padi, jagung, dan lainnya. Sebagai tambahan dalam menyukseskan
program BIMAS/INMAS ini, pemerintah terus melakukan perbaikan dalam melalukan sensus
pertanian mulai dari penyederhanaan hingga melakukan simulasi model penduga produksi beras
pada kawasan potensial penghasil padi.12

Program pertama yang dijalankan dalam program BIMAS/INMAS ini adalah memperkenalkan
padi baru jenis IR, yang umurnya relatif pendek daripada padi yang sebelumnya ditanam oleh
masyarakat lokal. Perkenalan padi IR kepada masyarakat lokal pada awalnya memang agak
menyulitkan bagi pemerintah. Sebagaimana para penduduk lokal ketahui, bahwa penggunaan
padi lokal, yaitu Padi Srikandi atau Padi Dewi Sri. Karakteristik padi ini yaitu umurnya yang
panjang (sekitar enam bulan) sejak mulai dibenihkan hingga dipanen, buahnya relatif besar,
tangkainya panjang, dan susah rontok jika padi telah menguning. 13 Berbeda dengan padi jenis IR
yang diharuskan oleh pemerintah. Karakteristik padi ini adalah umurnya hanya sekitar seratus
hari atau tiga bulan, tahan penyakit, dan hemat atau efisien terhadap penggunaan air. Kelemahan
padi IR juga dianggap rasanya tidak segurih padi Srikandi, cepat rontok, dan jika terkena hujan
10
Ibid.
11
I Nyoman Naya Sujana, “Dampak Revolusi Hijau terhadap Perubahan Sosial Budaya dalam Organisasi Pertanian
‘Subak’” (Surabaya, 1997), 7.
12
Departemen Sosial, Visualisasi hasil pembangunan Orde Baru Pelita I, Pelita II, Pelita III, 2 ed. (Jakarta:
Departemen Sosial RI, n.d.), 8.
13
Sujana, op. cit., 7.
sangat sulit untuk dipetik. Namun kelebihan padi IR adalah padi ini tidak perlu waktu yang lama
untuk diproses menjadi beras. Padi IR yang sudah matang, selanjutnya dipanen, dimasukkan ke
dalam karung-karung, dan kemudian dikirim ke tempat penggilingan padi untuk dijadikan
sebagai beras.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa penggunaan padi IR ini sempat mendapatkan
pertentangan dari masyarakat lokal Bali yang tergabung dalam subak. Berita-berita yang tersebar
luas di kalangan masyarakat petani mengenai padi IR juga membuat penanaman padi jenis ini
sempat terhambat. Dengan berbagai kepentingan yang mendasari, pemerintah pada tahun 1967an
terpaksa melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang tergabung dalam subak untuk menanam
padi jenis IR tersebut. Proses sosialisasi penanaman padi IR ini juga menggunakan cara-cara
kekerasan oleh aparat terhadap petani untuk menanam padi. Penanaman padi IR ini memang
secara jelas sudah mengintervensi sistem subak yang telah terbangun secara turun-temurun oleh
masyarakat adat Bali. Perlakuan-perlakuan tak menyenangkan yang diterima masyarakat lokal
juga tak sampai itu. Apabila kelompok masyarakat adat tersebut tidak mengikuti sistem pertanian
yang diperkenalkan oleh pemerintah melalui BIMAS/INMAS maka dianggap sebagai pihak yang
terafiliasi dengan PKI atau BTI.14 Akhirnya kelompok petani adat mengikuti arahan-arahan yang
disosialisasikan melalui BIMAS/INMAS namun tetap menanam secara diam-diam padi lokal
yang sudah berpuluh-puluh tahun secara turun-temurun mereka tanam. Varietas padi IR yang
menggantikan padi lokal bertujuan untu menggenjot pemasukan bagi para petani serta
menambah angka penghasilan komoditi pertanian berupa beras dalam program swasembada
pangan, BIMAS/INMAS terbukti berhasil dalam skala mikro yang dalam hal ini mencakup
wilayah Bali. Bali yang menjadi daerah tingkat I melalui UU No. 64 tahun 1958, masuk kedalam
kelompok A yaitu propinsi penghasil beras sebesar 80% untuk Indonesia dengan pendapatan per
hektar sebesar 160,104 Rupiah setelah mengikuti program BIMAS/INMAS berdasarkan hasil
survei pertanian Januari-April 1976 yang diadakan oleh BPS.15

Dampak lainnya yang diturunkan dari penggunaan padi IR ini juga banyak sekali, khususnya
terhadap keberadaan organisasi-organisasi kecil dalam lembaga subak. Lembaga-lembaga yang
tak lagi berfungsi tersebut antara lain adalah “sekhe manyi” yang bertugas mengetam padi,
“sekhe nepuk’ yang bertugas mengikat padi, “sekhe mecajang” yang bertugas mengangkus padi
14
Ibid., 38.
15
A.T. Wibowo, “PERANAN BIMAS DAN INMAS DALAM PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT,” n.d., 13.
dari sawah ke rumah, dan “sekhe meneka” yang bertugas untuk memasukkan padi ke lumbung.
Karena begitu maju dan modernnya jenis padi IR ini maka lembaga-lembaga yang telah
disebutkan tersebut tak dapat berfungsi sedemikian rupa. Organisasi-organisasi kecil ini perlahan
berganti menjadi kelompok tani, seperti halnya kelompok tani Rajasa yang berada di kabupaten
Tabanan dengan prestasi sebagai pemenang Intensifikasi khusus yang pertama pada tahun 1979
dalam program pemantapan BIMAS.16

Program selanjutnya yang dibahas adalah pembasmian hama. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan
oleh masyarakat lokal Bali untuk memberantas hama ini adalah menjalankan ritus-ritus tertentu.
Serangan hama yang menghambat pertumbuhan padi ini berasal dari banyak komponen, yaitu
bakteri, hewan kecil, belalang, burung, dan tikus. Untuk hama tikus sendiri, masyarakat petani
Bali menyandingkannya sama dengan manusia. Dikenal juga ritual untuk menghormati tikus
yaitu “ngaben bikul”. Binatang hama tikus memang menyusahkan para petani dalam usaha
penanaman padi, namun terkait kepercayaan yang mereka anut, petani menyelesaikan masalah
hama ini dengan cara-cara yang supranatural dan terikat dengan perdukunan. Dengan hadirnya
BINMAS/INMAS ini, pembasmian hama kemudian dilakukan menggunakan bahan-bahan kimia
yang secara cepat dan efisien membasmi hama-hama tersebut. Dapat terlihat bahwa peralihan
dari kegiatan supranatural menjadi penggunaan racun membuat masyarakat petani Bali
mengalami proses rasionalisasi.

Pola penanaman yang dilaksanakan oleh para masyarakat petani Bali pasca pengenalan sistem
pertanian yang baru oleh BIMNAS/INMAS, tidak membuat masyarakat petani Bali
meninggalkan begitu saja sistem penanaman tradisional. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pada awal pelaksaaan sistem pertanian modern oleh BIMNAS/IMNAS,
kelompok petani Bali yang memegang teguh nilai-nilai tradisional subak mendapatkan intimidasi
dari pemerintah. Untuk mengakali perwakilan pemerintah yang mengawasi mereka dalam bidang
pertanian, masyarakat petani Bali ini kemudian mengkombinasikan sistem penanaman
tradisional dan sistem penanaman modern. Sistem Subak, Kepercayaan terhadap Dewi Sri
sebagai dewi penyubur, dan keyakinan terhadap Padi Lokal tidak semudah itu untuk ditinggalkan
oleh para masyarakat petani Bali yang mayoritas beragama Hindu. Sistem pertanian tradisional
telah bermakna sakral serta terpatri di diri setiap petani tradisional di Bali. Mereka menganggap

16
IPB University, “Pengembangan Program: BIMAS” (Bogor, n.d.), 53.
bahwa jika mereka melaksanakan sistem pertanian tradisional, maka mereka juga secara serta-
merta melakukan ibadah menurut kepercayaan agama Hindu Bali.

Sistem pengairan yang dilakukan oleh masyarakat petani Bali juga diperbaharui berkat kehadiran
pemerintahan melalui BIMAS/INMAS. Sistem irigasi yang pada awalnya memang sama seperti
komponen lainnya, bersifat tradisional, juga berganti menjadi sistem yang dianggap lebih
modern. Pemanfaatan sistem pengairan yang diarahkan melalui BIMAS/INMAS juga dilakukan
seefektif mungkin untuk mendapatkan hasil pertanian yang semaksimal mungkin. Peran
pemerintah daerah khususnya cukup terlihat dalam usaha untuk memodernisasi sistem pengairan
tradisional pada subak. Pemberian bantuan secara material dan keuangan oleh pemerintah daerah
ditujukan agar sistem pengairan subak dapat berjalan secara lancar selama musim hujan
berlangsung. Sistem pengairan yang dijalankan pada subak juga tak lepas dari proses
supranatural masyarakat adat Bali. Upacara-upacara adat dilakukan oleh para masyarakat petani
Bali agar aliran air yang mengalir di wilayah persawahan mereka dilancarkan oleh para dewa.

Setelah BIMAS/INMAS berjalan selama hampir 30 tahun lamanya, penggunaan sistem pertanian
ganda yang dilakukan oleh masyarakat petani Bali dibiarkan saja oleh pihak pemerintah. 17 Sikap
pemerintah yang memaklumi apa yang dilakukan oleh masyarakat petani Bali ini dapat dikatakan
sebagai sikap persuasif. Pemerintah melihat bahwa jika kebudayaan masyarakat petani Bali
dibatasi hingga jika lebih buruk dilarang, maka akan memunculkan masalah baru lagi. Mungkin
saja akan terjadi pemogokan atau pemberontakan yang dapat menghambat proses produksi
tanaman pangan padi.

Perkenalan sistem pertanian yang modern ini juga membuat tugas-tugas masyarakat petani untuk
mengolah padi semakin dimudahkan. Pemerintah mendatangkan mesin-mesin modern dari luar
negeri untuk mengolah gabah yang masih basah untuk menjadi beras secara langsung. Mesin-
mesin penggilingan padi yang didatangkan kemudian juga tidak berfungsinya para petani wanita
yang biasanya bertugas untuk menumbuk padi atau beras. Tempat-tempat menyimpan padi, yang
disebut sebagai jineng atau gelebeg, juga tak diperlukan sedemikian rupa karena padi yang telah
dipanen tak perlu menunggu waktu lagi dan langsung dikarungkan saja menuju tempat
penggilingan padi.

Kesimpulan
17
Sujana, op. cit., 41.
Pengenalan sistem pertanian yang lebih modern pada masa pemerintah Orde Baru memang
dilancarkan dalam usaha untuk mencapai ketahanan pangan atau swasembada beras. Tak
terkecuali daerah penghasil padi lainnya, Bali juga termasuk daerah yang terkena program
pengenalan sistem yang lebih modern. Sistem irigasi yang dianggap lebih maju diperkenalkan
dalam bentuk program sosialisasi oleh BIMAS/INMAS. Bali sebagai salah satu daerah penghasil
padi sebenarnya memiliki sistem pertanian dan irigasinya sendiri yaitu subak. Namun berkat
intervensi pemerintah melalui BIMAS/INMAS ini, para masyarakat petani Bali tidak bisa
berbuat banyak untuk tidak menolak suruhan pemerintah dan berusaha untuk menggabungkan
kedua sistem pertanian tersebut. Dengan sistem yang dianggap modern ini, masyarakat petani
Bali dianggap terbuka dan berusaha untuk memperbaharui diri dalam usaha untuk memajukan
sektor pertanian dalam rangka menuju ketahanan pangan atau swasembada beras. Walaupun
masyarakat petani Bali masih memegang teguh ritus-ritus dalam sektor pertanian, masyarakat
petani Bali dapat dianggap telah mengalami rasionalisasi karena mereka juga berhasil
menjalankan sistem pertanian modern tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam subak tak
tergeser dan terus diperbaharui oleh jiwa zaman.

Daftar Pustaka

Anonim. “Sistem Irigasi Subak Bali, Indonesia, Metode Pengairan Sawah Tradisional di Bali
yang Terkenal dan Ditetapkan Oleh UNESCO Sebagai Warisan Budaya Dunia”. Diakses dari
https://buleleng.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/86-sistem-irigasi-subak-bali-
indonesia-metode-pengairan-sawah-tradisional-di-bali-yang-terkenal-dan-ditetapkan-oleh-
unesco-sebagai-warisan-budaya-dunia pada tanggal 18 Oktober 2021 pukul 19.20

Anonim. “Subak: Kearifan Lokal Memecahkan Berbagai Persoalan”. Diakses dari


https://kabar24.bisnis.com/read/20121216/78/109981/subak-kearifan-lokal-memecahkan-
berbagai persoalan pada tanggal 18 Oktober 2021 pukul 19.30

Budiasa, I Wayan. “Peran ganda Subak untuk pertanian berkelanjutan di Provinsi Bali.” Jurnal
AGRISEP 9, no. 2 (2010): 153–65.

Sosial, Departemen. Visualisasi hasil pembangunan Orde Baru Pelita I, Pelita II, Pelita III. 2 ed.
Jakarta: Departemen Sosial RI.

Sujana, I Nyoman Naya. “Dampak Revolusi Hijau terhadap Perubahan Sosial Budaya dalam
Organisasi Pertanian ‘Subak.’” Surabaya, 1997.

Surata, Sang Putu Kaler. Lanskap Budaya Subak: Belajar dari Masa Lalu untuk Membangun
Masa Depan. Diedit oleh Sang Putu Kaler Surata. Denpasar: UNMAS Press, 2013.

Sutawan, N., M. Swara, W. Windia, dan W. Sudana. “Laporan Akhir Pilot Proyek
Pengembangan Sistem Irigasi yang Menggabungkan Beberapa Empelan Subak di Kab.
Tabanan dan Kab. Buleleng,” 1989.

Simatupang, Pantjar & I Wayan Rusastra. "Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi".
Jurnal Ekonomi Padi dan Beras Indonesia, 2004.

University, IPB. “Pengembangan Program: BIMAS.” Bogor.

Wibowo, A.T. “PERANAN BIMAS DAN INMAS DALAM PENINGKATAN


PEREKONOMIAN MASYARAKAT,”, 13.

Yuliana, Euis Dewi. "Ajeg Subak Dalam Transformasi Pertanian Modern Ke Organik".
Denpasar: UNHI Press, 2020.

Anda mungkin juga menyukai