Anda di halaman 1dari 20

SUBAK DI BALI SUGIH NAGIH, BALIAN ALIHAN

Penjelasan Arti, Makna, Pengertian dan Definisi dari kata "subak" menurut kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) dan menurut para ahli bahasa serta dari sumber informasi arti kata lainnya.

Arti kata dari Subak su·bak n sistem pengairan teratur yg diselenggarakan oleh rakyat di Bali

Subak adalah sistem irigasi yang berbasis petani (farmer-based irrigation system) dan lembaga
yang mandiri (self-governed irrigation system),(Sutawan). Dalam artian secara umum subak dapat
diartikan masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris-religius, yang terdiri atas petani yang
menggarap sawah pada suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber. Petani di
Bali sejak lama telah menghimpun diri dalam suatu wadah organisasi yang dikenal dengan nama
subak. Dan subak juga merupakan masyarakat hukum adat yang secara historis telah ada sejak
jaman dahulu kala dan terus berkembang sebagai organisasi dalam bidang pengairan air untuk
persawahan dari suatu sumber air di dalam suau daerah (Pemda TK. I-PHDP, 1984 ).

Subak dibentuk berdasarkan keinginan yang keras dari para petani untuk memperoleh air irigasi
yang cukup dengan pembagian yang adil, serta kesadaran yang tinggi akan kepentingan kelompok
terutama dalam hal mengatur air irigasi ke areal sawah yang berada di wilayah subaknya
(Sutawan,1986 ).
Fungsi utama dari subak itu adalah mengatur tentang pembagian pengairan serta dibagikan secara
adil dan merata kepada anggotanya. Subak mempunyai otonom penuh sehingga berhak untuk
mengatur dirinya sendiri dan menyelesaikan segala perselisihan yang terjadi pada wilayah subak
itu.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan subak selain bersifat kedalam juga ada yang bersifat ke luar
antara lain, dapat berhubungan dengan pemerintah daerah yang menyangkut hal-hal peningkatan
kemajuan subak. Sebaliknya subak dapat pula menjadi perantara antara pemerintah dan petani.
Dengan demikian subak merupakan jembatan yang efektif dalam pelaksanaan modernisasi
pertanian dari pihak pemerintah kepada petani-petani di desa di Bali.

Menurut Sutawan (1992), peran serta pemerintah sudah ada sejak jaman Bali Kuno (abad ke 8-
14). Kemudian dilanjutkan pada jaman Bali Baru ( tahun 1850 sampai sekarang ). Namun
demikian, peran serta pemerintah secara langsung baru terlihat sekitar tahun 1920-an yaitu pada
waktu Bali berada dibawah pemerintahan Kolonial Belanda. Sejak itu kegiatan untuk
pengembangan/peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan oleh Proyek Irigasi Bali (PIB), yang
dimulai sejak tahun 1978 (Windia, 1986).

Dengan adanya campur tangan pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dalam
menangani masalah irigasi, maka berdasarkan pengelolaannya dewasa ini subak-subak dapat
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu subak dengan sistem pengairan PU, yakni subak-subak
yang memperoleh air irigasi dari bendung permanen yang dibangun oleh pemerintah. Dalam
sistem irigasi ini pengelolaan dilaksanakan secara bersama-sama oleh pemerintah dengan subak (
Jointly Managed Irrigation System ), dan subak dengan sistem irigasi non-PU ( subak non-PU ),
yakni subak-subak yang fasilitas irigasimya dibangun dan dikelola secara swadaya penuh oleh
subak tanpa adanya campur tangan pemerintah ( Single Managed Irrigation System ) ( Sutawan
dkk,1983 ).

Intervensi pemerintah terhadap subak ( lewat rehalibitasi jaringan irigasi serta selanjutnya
menangani pengelolaannya ) memang telah mampu meningkatkan produksi beras serta
meningkatkan pendapatan petani. Namun di pihak lain, intervensi tersebut banyak sekali
menimbulkan dampak negatif, seperti : menurunnya rasa memiliki dan adanya ketergantungan
subak yang berlebihan terhadap pemerintah, yang berarti beban pemerintah menjadi bertambah.

Sutawan dkk (l986) melakukan kajian lebih lanjut tentang gatra religius dalam sistem irigasi subak.
Kajian gatra religius tersebut ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk
memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan), disamping adanya sanggah
pecatu (bangunan suci) yang ditempatkan sekitar bangunan sadap (intake) pada setiap
blok/komplek persawahan milik petani anggota subak.
Gatra religius pada sistem irigasi subak merupakan cerminan konsep THK yang pada hakekatnya
terdiri dari parhyangan, palemahan, dan pawongan. Gatra parhyangan oleh Sutawan dkk (l986)
ditunjukkan dengan adanya pura pada wilayah subak dan pada setiap komplek/blok pemilikan
sawah petani, gatra palemahan ditunjukkan dengan adanya kepemilikan wilayah untuk setiap
subak, dan gatra pawongan ditunjukkan dengan adanya organisasi petani yang disesuaikan dengan
kebutuhan setempat, adanya anggota subak, pengurus subak, dan pimpinan subak yang umumnya
dipilih dari anggota yang memiliki kemampuan spiritual. Ketiga gatra dalam THK memiliki
hubungan timbal-balik dan dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

Sementara itu, kajian-kajian lain yang menelaah sistem irigasi subak secara tidak utuh sebagai
sistem sosio-teknis-religius yang sesuai dengan prinsip masyarakat hokum adat yang berlandaskan
THK masih tampak dilaksanakan. Misalnya, kajian yang cendrung lebih difokuskan pada masalah
organisasi, dan sarana yang dimiliki sistem subak untuk mengelola air irigasi, yang antara lain
dilakukan oleh Geertz (1980),Teken (l988),Samudra (l993), dan Sushila (l993). Sudira (l999)
mengatakan bahwa sistem irigasi subak yang disebutkan hanya memiliki gatra fisik dan sosial
sebetulnya tidaklah salah, namun tidak lengkap. Meskipun demikian, tampaknya dapat disebutkan
bahwa kajian tentang sistem irigasi subak yang tidak mengkaji dari gatra sosio-teknis-religius
terkesan menyederhanakan masalah, makna kajiannya kurang lengkap, dan tercermin kurangnya
pemahaman tentang konsep teknologi serta peluang transformasi sistem irigasi subak sebagai suatu
teknologi yang sepadan.

Selanjutnya, Pusposutardjo (l997a) dan Arif (l999) yang meninjau subak sebagai sistem teknologi
dari suatu sosio-kultural masyarakat, menyimpulkan bahwa sistem irigasi (termasuk subak)
merupakan suatu proses transformasi sistem kultural masyarakat yang pada dasarnya memiliki tiga
subsistem yakni: (i) subsistem budaya (pola pikir, norma dan nilai); (ii) subsistem sosial (termasuk
ekonomi); dan (iii) subsistem kebendaan (termasuk teknologi). Semua subsistem itu memiliki
hubungan timbal-balik, dan juga memiliki hubungan keseimbangan dengan lingkungannya seperti
terlihat dalam Gambar 2.

Gambar 2. menunjukkan bahwa dengan menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem irigasi
subak, maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun konflik antar
subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah kordinasi akan dapat
dihindari. Keterkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan munculnya harmoni dan
kebersamaan dalam pengelolaan air irigasi dalam sistem irigasi subak yang bersangkutan. Hal itu
bisa terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai
toleransi oleh anggota subak (misalnya, adanya sistem pelampias, dan sistem saling pinjam air
irigasi). Di Subak biasanya dilakukan kebijakan sistem pelampias dengan memberikan tambahan
air bagi sawah yang ada di hilir pada lokasi-lokasi bangunan-bagi di jaringan tersier. Besarnya
pelampias tergantung dari kesepakatan anggota subak (Sutawan, l984).

WUJUD TRI HITA KARANA DALAM SISTEM IRIGASI SUBAK DI BALI

Sistem irigasi pada dasarnya adalah merupakan sistem yang bersifat sosio-tekni (Huppert dan
Walker, l989; dan Pusposutardjo, l997b). Pernyataan bahwa sistem irigasi adalah bersifat sosio-
eknis dipertegas dalam PP 77/2001. Sistem irigasi subak yang berlandaskan THK adalah juga
merupakan sistem yang bersifat sosio-teknis, yang teknologinya telah menyatu dengan sosio-
kultural masyarakat setempat. Karakter teknologi seperti itu dinyatakan oleh Poespowardojo
(l993) sebagai teknologi yang telah berkembang menjadi budaya masyarakat. Adapun wujud THK
dalam pengelolaan air irigasi pada sistem irigasi subak dapat dilihat secara rinci pada Tabel 2.

Tabel 2. Wujud Tri Hita Karana (THK) dalam Sistem Irigasi Subak yang Bersifat Sosio-Teknis

Sistem subak yang Wujud pelaksanaan THK.


berlandaskan THK
1.Subsistem budaya.

1.1.Gatra · Air dianggap sangat bernilai&dihormati, dan merupakan ciptaan Tuhan


parhyangan. YME (Pusposutardjo, 1996; Kutanegara dan Putra, 1999).
· Adanya pura sebagai tempat pemujaan Tuhan YME, dan dianggap
sebagai bagian dari mekanisme kontrol terhadap pengelolaan air irigasi
(Pusposutardjo,2000).
· Secara rutin menyelenggarakan upacara keagamaan (Sutawan
dkk,1989).
1.2.Gatra · Pengelolaan air irigasi dengan konsep harmoni dan kebersamaan.
pawongan.
1.3.Gatra · Disediakan lahan khusus untuk bangunan suci pada lokasi yang
palemahan dianggap penting (Sutawan dkk, 1989).
· Lahan yang tersisa pada lokasi bangunan-bagi dimanfaatkan untuk
bangunan suci, sehingga konflik atas lahan itu dapat dihindari
(Pusposutardjo,2000).
2.Subsistem sosial

· Ada awig-awig (Sutawan dkk, l989).


2.1.Gatra · Pengelolaan air irigasi terakuntabilitas (Arif, 1999).
parhyangan · Hak atas air dan lahan dihormati (Mawardi dan Sudira,l999).
· Ada sistem pelampias dalam pengelolaan air irigasi (Sutawan
dkk,l989).
2.2.Gatra · Adanya organisasi subak yang strukturnya fleksibel.
pawongan. · Adanya kegiatan gotong royong dan pembayaran iuran untuk
mensukseskan kegiatan subak (Sutawan dkk,l989).
· Ada rapat subak secara rutin (Sutawan dkk,l989).
2.3. Gatra
· Anggota subak tidak keberatan bila lahan yang tersisa pada lokasi
palemahan bangunan-bagi digunakan untuk bangunan-suci .
3. Subsistem kebendaan

3.1.Gatra · Air dialirkan secara kontinyu melalui bangunan-bagi yang tersedia. Air
parhyangan. yang dikelola seperti ini dianggap ikut diawasi oleh Tuhan YME, yang
diwujudkan dengan adanya bangunan-suci di sekitar lokasi bangunan-bagi
tersebut (Pusposutardjo,2000).
· Ada konsep tektek dalam setiap bangunan-bagi pada subak yang
bersangkutan, untuk dapat mendistribusikan air irigasi secara adil dan
proporsional (Dinas PU Prov.Bali,l997).
3.2. Gatra
· Adanya saling pinjam air irigasi antar anggota subak dan antar subak
pawongan. (Sutawan dkk,l989).
· Adanya kerjasama antara pengurus subak dengan anggotanya, sehingga
pelaksanaan program subak dapat dilaksanakan dengan nilai-nilai harmoni
dan kebersamaan.
· Adanya kordinasi antara pimpinan subak dengan pimpinan lembaga-
lembaga lain di lingkungannya,misalnya pimpinan desa adat, desa dinas,
lembaga pemerintahan dan lain-lain, dengan tujuan agar program-program
sistem subak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
3.3. Gatra
· Topografi lahan subak pada dasarnya miring (Pusposutardjo, 2000).
palemahan. · Setiap blok/komplek persawahan milik petani memiliki bangunan-
sadap dan saluran drainasi (one inlet and one outlet system) (Dinas PU
Prov.Bali, l997 dan Susanto, l999).
· Batas wilayah subak jelas (Sutawan dkk,l989 dan
Mawardi&Sudira,l999).
· Adanya bangunan dan jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan
petani setempat (Susanto, 1999 dan Arif,l999).
· Memanfaatkan bahan-bahan lokal untuk pembangunan sarana jaringan
irigasi di kawasan subak yang bersangkutan.

WUJUD SUBAK SEBAGAI TEKNOLOGI SEPADAN DALAM PERTANIAN BERIRIGASI

Subak pada hakikatnya merupakan teknologi sepadan karena sifatnya yang sesuai dengan prinsip-
prinsip teknologi sepadan seperti yang dikemukakan Mangunwijaya (l985), yakni (i) kegiatannya
yang berdasarkan pada usaha swadaya, dan tidak tergantung pada ahli; (ii) bersifat desentralisasi;
(iii) kegiatannya berdasarkan pada kerjasama, dan bukan pada persaingan; dan (iv) merupakan
teknologi yang sadar pada tanggungjawab sosial dan ekologis. Kemudian, dalam perannya sebagai
pengelola pertanian beririgasi, maka seperti yang dikemukakan Meskey dan Weber (l996), serta
Pusposutardjo (l997a) ternyata komponen manusia dalam sistem subak sangat dominan dalam
sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktivitasnya untuk mengendalikan pasokan air yang
dinamis pada sistem pertanian tersebut. Selanjutnya, bagaimana sesungguhnya peran subak
sebagai teknologi sepadan dalam sistem pertanian beririgasi, dapat diamati dalam hubungan
dengan konsep
pola pikir, sosial, dan artefak.

Sesuai dengan prinsip-prinsip THK, maka pembangunan dan pemanfaatan artefak pada sistem
subak di Bali diarahkan sedemikian rupa agar mampu memunculkan kebersamaan dan harmoni
dikalangan anggota subak. Arif (l999) mencatat bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya
didesain, dan dioperasikan sesuai dengan prinsipprinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan selaras
dengan lingkungannya.

Sekian postingan tentang SUBAK (SISTEM IRIGASI DI BALI), semoga menambah ilmu,
wawasan serta intelektual.
ALAT-ALAT TRADISIONAL PERTANIAN

Pulau Bali, pulau kecil munggil nan unik dengan segala keindahan panorama alam nya, dengan
keunikan budayanya telah berhasil memikat hati para wisatawan di dunia. Berbicara soal
keindahan panaroma Alam Bali, Keunikan Budaya Bali dan Pesatnya Pariwisata Bali kita tidak
bisa terlepas dari sebuah dunia yang disebut Pertanian Bali. Pertanian di bali memiliki pertalian
yang erat antara Budaya, Agama, Alam Bali dan Pariwisata di Bali.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pertanian di bali adalah adalah sesuatu hal yang sangat
kompleks sekali karena selalu bersentuhan dengan sektor yang lainnya, Sebagai contoh Sistem
Subak yang sangat terkenal dan mendunia ini. Sistem Subak merupakan sebuah organisasi yang
mengatur tata kelola sistem pengairan persawahan di bali yang menerapkan konsep "Tri Hita
Karana" yakni sebuah konsep harmonisasi antara hubungan manusia dengan Tuhan,
Lingkungan/alam dan manusia itu sendiri.
Dalam hal ini di sektor pertanian kita akan membahas mengenai alat tradisional pertanian yang
selama ini di gunakan dalam menunjang usaha pertanian di bali.

I. PERALATAN PENGOLAHAN LAHAN


1. PERALATAN METEKAP / MEMBAJAK SAWAH

Metekap adalah istilah orang bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang
mereka pakai terdiri dari "UGA" ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian di ikat pada
"TENGALA" dan "LAMPIT" yang berfungsi untuk membajak sawah.

2. TAMBAH/CANGKUL/PACUL
"Tambah" dalam istilah bali atau Cangkul atau pacul adalah satu jenis alat tradisional yang
digunakan dalam pertanian. Cangkul digunakan untuk menggali, membersihkan tanah dari rumput
atau pun untuk meratakan tanah. Cangkul masih digunakan hingga kini. Pekerjaan yang lebih berat
biasanya menggunakan bajak. Cangkul biasanya terbuat dari kayu dan besi.

3. PETAKUT / ORANG-ORANGAN SAWAH

Petakut / orang orangan disawah biasanya dibuat dari batang bambu yang di bungkus dengan
jerami hingga dibuat mirip seperti orang yang berada di tengah sawah, dengan tujuan untuk
menghalau burung agar takut memakan biji padi yang sedang menguning.

4. RANGGON

Ranggon merupakan gubuk yang berada di tengah lahan persawahan, biasanya digunakan sebagai
tempat berteduh, tempat peristirahatan sejenak para petani selepas kesibukan di pematang sawah,
ranggon juga biasanya digunakan sebagai tempat menyimpan peralatan pertanian oleh para petani.
II. PERALATAN PANEN
1. ANI-ANI / KETAM

Ani-ani atau ketam adalah sebuah pisau kecil yang dipakai untuk memanen padi. Dengan ani-ani
tangkai bulir padi dipotong satu-satu, sehingga proses ini memakan banyak pekerjaan dan waktu,
namun keuntungannya ialah, berbeda dengan penggunaan sebuah arit, tidak semua batang ikut
terpotong. Dengan demikian, bulir yang belum masak tidak ikut terpotong.

2. ARIT / SABIT

Arit adalah alat pertanian untuk memotong padi di sawah dan merupakan alat pertanian yang
penting bagi petani. Terbuat dari besi bertangkai, dibuat sedemikian rupa agar mudah dipakai.
Matanya membentuk bulan sabit, karena itu disebut sabit. Dahulu sebagian besar arit merupakan
hasil industri rumah tangga. Arit dibuat dan besi atau baja bekas yang ditempa secara tradisional
menjadi berbentuk bulan sabit, lalu diberi gagang dari kayu. Arit bagi petani merupakan alat
serbaguna, untuk memotong rumput makanan ternak dan membersihkan ladang, digunakan untuk
mengiris manggar kelapa atau enau yang akan disadap niranya. Juga banyak digunakan untuk
menuai padi karena dianggap lebih efektif dari pada ani-ani.
Jenis dan ragam arit juga banyak, tergantung kebutuhan dalam menggunakannya, mulai dari yang
kecil hingga yang besar, Seperti Arit Pengaritan rumput, pengaritan padi yang matanya bergerigi,
hingga arit penyalah dan caluk yang ukurannya lebih besar yang digunakan untuk memotong
dahan yang keras dan lebih besar.

3. GEREJAG/GEBOTAN
Gerejag/Gebotan merupakan alat yang dipakai petani dalam proses panen di sawah, dimana alat
ini berfungsi melepas biji padi dari tangkainya, dengan cara tangkai padi di ayunkan di gebotan
sehingga biji padi bisa terlepas dari tanggkainya.

4. KERANJANG

Keranjang Merupakan alat untuk menampung hasil pertanian seperti buah, sayuran dan bisa juga
digunakan untuk menampung rumput untuk ternak sapi para petani.

III. PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN HASIL PANEN


1. GELEBEG

Gelebeg / Lumbung Padi merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil
panen, dahulu kala petani tidak pernah menjual seluruh beras produksi mereka kepada tengkulak,
melainkan menyimpan padi hasil panen mereka di sebuah tempat yang disebut Gelebeg/jineng
atau lumbung padi.

2. KETUNGAN, LESUNG & ELU


Alu merupakan alat pendamping lesung atau Ketungan dalam proses pemisahan sekam dari beras.
Biasanya alu dibuat dari kayu. Bentuk alu memanjang seperti tabung dengan diameter sekitar 7
cm (tergantung besarnya lesung). Alu digunakan sebagai penumbuk gabah, sehingga beras terpisah
dari sekam secara mekanik.

3. NYIU / TAMPI

Nyiu / Tampi merupakan alat tradisional dari anyaman bambu yang berbentuk bundar, biasa
digunakan untuk menampi padi atau beras dalam memisahkan latah/antah/amapas kulit padi
dengan bantuan angin diayunkan dan ditiup sehingga antah bisa dipisahkan dari beras, juga bisa
dipakai untuk menjemur.

4. PAON
Paon / tungku dapur bali ini berfungsi sebagai tempat memasak hasil olahan pertanian di bali,
bahan bakar dari tungku ini biasanya menggunakan kayu bakar. Kelengkapan di paon / dapur
biasanya terdapat cublukan, kuskusan, kekeb, penggorengan, Sok Nasi, Ingka dan lain sebagainya
selayaknya alat dapur lainnya.

IV. ALAT LAINNYA


1. KULKUL

Kulkul atau Kentongan merupakan alat komonikasi tradisional antar anggota masyarakat di bali
yang pada umumnya terbuat dari bahan kayu atau bambu, yang mana pada bagian tengahnya
terdapat lubang memanjang. Ada empat jenis kulkul yang dikenal masyarakat Bali yaitu : Kulkul
Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusa, dan Kulkul Hiasan.

Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya. Kulkul Dewa dibunyikan
apabila akan memanggil para dewa. Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara
Bhuta Yadnya, Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna
menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram.
Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu rutin maupun
mendadak.
Kulkul Hiasan disebut karena kulkul ini diberi hiasan-hiasan untuk menambah keindahannya.
Biasanya kulkul ini dianggap sebagai barang antik oleh wisatawan yang datang ke pulau Bali,
sering dijadikan oleh-oleh atau buah tangan.

2. TIKA / KALENDER BALI


Tika merupakan Sejenis Kalender bali yang terbuat dari papan kayu yang dilengkapi dengan
pahatan garis bernetuk kotak-kotak lengkap dengan simbol, dalam tika menggunakan model
penanggalan Tahun Caka, Pawukon (WUKU), dan Wewaran. digunakan dalam menentukan
musim tanam dalam pertanian.

3. KERONCONGAN SAPI

Keroncongan Sapi / Genta Sapi merupakan bandul dari kalung sapi yang terbuat dari kayu yang
sudah tua, apabila sapi berjalan maka dari Keroncongan sapi ini akan keluar suara.

ak Bali Pernahkah anda mendengar kata ‘subak’? tidak? bahkan anda yang tinggal di Bali?
Mungkin bagi anda yang tinggal di Bali bagian kota dan lahir pada tahun 20-an dapat dimaklumi
jika tidak mengenal subak. Subak sudah terkenal hingga ke mancanegara. Bahkan UNESCO yang
merupakan organisasi internasional dibidang edukasi, sains dan kebudayaan telah menobatkan
SUBAK sebagai sebuah situs warisan dunia pada tahun 2012, pada sidang pertama yang
berlangsung di Saint Petersburg, Rusia.

Sudah banyak para peneliti-peneliti baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri datang ke Bali
untuk melakukan penelitian tentang Subak. Dan Kini, meskipun telah banyak diteliti kita juga
harus ikut memahami lebih dalam tentang apa itu subak dan apa saja manfaat subak bagi kehidupan
dan kearifan lokal di Bali. Orang luar sangat peduli dengan keunikan budaya yang kita miliki.
Mengapa kita harus mengabaikan warisan sebesar ini?

Untuk itu kita mulai dari mengenal apa itu SUBAK.


Subak Sebagai Sebuah Sistem Irigasi Di Bali

Menurut wikipedia.org, Subak adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang dengan khusus
mengatur dan mengelola sistem pengairan sawah dalam bercocok tanam di Bali. Subak diketuai
oleh seorang ketua yang dinamai dengan kelian subak (juga disebut pekaseh, namun secara umum
bernama kelian subak). Kelian subak yang juga merupakan seorang petani ini yang nantinya
mengorganisir bagaimana sistem perairan yang cocok untuk daerahnya, begitu pula ketika musim
yang berbeda seperti musim kemarau dan musim penghujan.

Sebuah Subak (organisasi) biasanya wajib memiliki sebuah pura atau bangunan suci yang diberi
nama pura Uluncarik atau Pura Bedugul. Pura ini dibangun khusus oleh para petani untuk memuja
dewi Sri yang diyakini sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan.

Sebuah filosofi di Bali mengajarkan bagaimana mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan yang
sempurna. Hal itu tertuang dalam istilah “Tri Hita Karana” yang artinya 3 buah penyebab
kebahagiaan. Bagian-bagian dari Tri Hita Karana ini adalah yang pertama menjalin hubungan yang
baik antara manusia dengan sesamanya. Kemudian yang kedua adalah menjalin hubungan yang
baik dengan alam dan lingkungannya. Dan yang ketiga adalah Manusia Dengan Tuhan.

Dalam sistem SUBAK ini, masyarakat bali khususnya para petani (anggota subak) telah
menerapkan konsep tri hita karana dengan sangat baik. Hubungan-hubungan yang dijalin tetap
harus terjaga dan dengan komposisi yang seimbang. Baik antara manusia, alam lingkungan
termasuk dengan tuhan. Inilah yang menjadi dasar kuat mengapa sistem subak dapat berkembang
hingga saat ini.
Mengenal Sistem Kerja Subak Bali

Subak sangat bergantung dengan aliran air yang sudah tentu fungsinya adalah untuk mengairi
tanaman yang ada di sawah. Sumber air di Bali biasanya bersumber dari pegunungan atau danau
yang dialirkan oleh sungai dan anak-anak sungai lainnya. Air yang mengalir inilah yang kemudian
dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para kelian subak untuk kesejahteraan para petani lainnya.

Dan sekarang masalahnya adalah bagaimana memberikan air ini sehingga semua komponen sawah
dapat dicakup olehnya. Sebelum itu, kelian subak akan melakukan perundingan dengan para
anggota subaknya, perundingan ini bagi para penduduk Bali disebut sangkep (angkep =
Mendekat,berdekatan). Perundingan ini mencakup tentang bagaimana sebuah lahan sawah akan
diberi air, seberapa banyak, seberapa lama dan bagaimana mereka bekerja. Perundingan ini selalu
menggunakan asas gotong royong dan kekeluargaan, serta yang paling utama adalah rasa adil bagi
seluruh anggota subak. Maka dari itu, perundingan harus dipikirkan matang-matang sebelum
mengambil keputusan sehingga tidak ada anggota yang dikesampingkan ataupun dikecewakan.

Tugas utama dari subak adalah untuk menglirkan air dari sungai ke sawah. Sungai di bali disebut
dengan ayoan atau bisa juga disebut tukad. Dari sungai kemudian para anggota subak akan bahu
membahu membuat aliran air untuk dialirkan kesawah. Aliran ini biasa disebut dengan jelinjingan.
Selain mengalirkan air, subak juga biasanya bertugas untuk membuat akses jalan dari sawah ke
jalan utama. Intinya, Semua pekerjaan yang berguna untuk kesejahteraan petani dilakukan oleh
subak dengan asas gotong-royong dan keadilan. Sehingga semua anggota subak akan saling bahu-
membahu untuk mensejahterakan sawah mereka yang nantinya juga akan dapat mensejahterakan
para anggota subak itu sendiri.

Jika pada musim kemarau, dimana intensitas air mulai menurun. Maka kelian subak akan kembali
mengadakan Sangkep (perundingan) dengan para anggotanya. Mereka akan membahas pembagian
air secara merata dengan sistem yang bisa saya sebut sebagai sistem ‘meminjam air’. Jadi intinya,
semua anggota dari subak (petani) akan mendapatkan jatah air secara merata. Contohnya ketika
seorang petani mengalami kekeringan, maka petani lain yang telah merasa cukup mengairi airnya
akan memberikan air kepada petani yang mengalami kekeringan. Disini kearifan lokal sangatlah
diperlukan, asas kekeluargaan yang tinggi antar petani dapat menghasilkan keberhasilan sesama.
Para petani akan bergiliran mendapatkan air dari sungai sehingga tidak ada kekeringan berlanjut
yang menyebabkan gagal panen.

Sistem pinjam air disini tidak hanya berlaku antar para petani saja, bahkan juga bisa antar Subak.
Karena dalam sebuah desa akan ada lebih dari satu subak. Jika salah satu subak kekurangan
pasokan air, maka mereka akan meminjam air ke subak yang lainnya yang telah cukup dengan air.
Pertemuan setiap kelian subak ini juga dilakukan secara rutin agar pengairan dan pengontrolan air
dapat dilakukan dengan baik. Pertemuan ini biasanya juga diikuti oleh kepala desa sebagai
pemonitoring, namun kepala desa tidak dapat mengambil keputusan dalam pertemuan ini.
Mungkin karena kepala desa tidak memiliki pengetahuan yang baik dalam bidang sistem irigasi.
Sehingga yang mengambil keputusan hanyalah para kelian subak.

Subak juga mengatur setiap sesi masa panen dan masa tanam. Sehingga sistem pengairan akan
dapat berjalan secara serentak untuk setiap anggotanya. Tidak akan ada petani yang lebih dulu
memanen padi ataupun menanam bibit padi. Semua telah diatur dalam sebuah peraturan hukum
adat yang tidak tertulis, namun harus tetap dipatuhi.

Manfaat Subak Bali

Subak memiliki manfaat yang sangat banyak baik bagi kehidupan petani, juga bagi para
masyarakat sekitarnya.Manfaat adanya organisasi subak dapat dibagi menjadi :

 Meningkatkan Kesejahteraan Para Petani. Melalui sistem irigasi yang berasaskan keadilan
bersama,sehingga para petani akan tetap mendapatkan air meskipun dalam keadaan krisis
air. Selain itu juga, dapat menghindari terjadinya konflik antar petani hanya gara-gara
memperebutkan aliran air ke sawah mereka.
 Meningkatkan Kearifan Lokal,dengan terciptanya sistem Subak yang secara dominan
menggunakan asas gotong-royong dan kekeluargaan. Maka kearifan lokal antar para petani
akan semakin terjaga dan terjalin sangat erat.
 Mensejarterakan Koperasi Unit Desa Yang Ada, kemudian setelah mensejahterakan petani,
maka para petani akan semakin giat untuk memperoleh hasil yang maksimal. Disini
peranan koperasi akan sangat membantu baik melalui koperasi simpan pinjam atau
sejenisnya yang juga pada akhirnya akan mensejahterakan masyarakat sekitar.

Hubungan Yang Baik Dengan Tuhan Sebagai Wujud Syukur Para Petani (Subak)
Salah satu keunikan Sistem irigasi Subak dengan sistem irigasi lainnya adalah adanya sebuah Pura
(bangunan suci, tempat ibadah) yang ada di setiap subak. Selain pura tersebut, para petani juga
membangun sebuah pelinggih (simbolisasi untuk memuja tuhan) di setiap sawah yang mereka
miliki. Biasanya setiap purnama atau tilem, para petani akan menghaturkan sesajian di pelinggih
tersebut untuk meminta berkah untuk sawah yang mereka garap.

Selain itu, masih banyak lagi ritual-ritual khusus yang dilakukan oleh para petani di Bali.
Contohnya adalah Nwasen Meniwih (dilakukan ketika mulai menanam bibit), Ngendag Amacul
(daat mulai mengolah tanah), Nwasen Nandur (saat mulai menamanam), pesembuahan (umur
tanaman padi sekitar 12 hari, atau selesai mengalami pemindahan dari tempat pembibitan ke
petakan sawah). Ritual Nwasen Nandur ini untuk memohon agar pertunasan akar tanaman padi
berkembang baik. (feybelumuru.wordpress.com:2015)

Selain upacara yang dilakukan di masing-masing sawah, juga ada upacara yang dilakukan di Pura
masing-masing subak. Semua ritual yang dilakukan pada intinya adalah wujud syukur dari para
petani berkat rahmat yang telah diberikan oleh tuhan yang maha esa (Ide sanghyang widhi wasa).

Sistem irigasi Subak memang sangat berguna dan memiliki banyak manfaat. Namun karena
perkembangan zaman yang sangat cepat, membuat para petani menjadi berfikir dua kali untuk
menjadi petani. Maksudnya adalah, kebutuhan akan tuntutan zaman, keinginan mengikuti
perkembangan zaman, menjadi tantangan tersendiri untuk para petani. Akibatnya, banyak petani
di bali yang yang terlena sehingga menjual lahan milikinya untuk dapat mengikuti perkembangan
zaman.
Selain itu juga, karena Bali merupakan kawasan wisata yang sangat banyak mendatangkan turis
membuat para perusahaan berbondong-bondong untuk membangun akomodasi yang layak seperti
membangun hotel, restoran, dan yang lainnya dengan mengorbankan lahan pertanian.

Padahal menurut saya, sektor pertanian di Bali juga berkaitan erat dengan sektor kebudayaannya.
Kearifan lokal ada karena sistem Subak, Subak ada karena adanya petani yang memiliki lahan.
Bayangkan jika para petani tidak memiliki lahan? kearifan lokal akan menjadi memudar seiring
dengan perkembangan zaman. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provensi Bali, pada tahun
2013 luas lahan persawahan di Bali mencapai 81.165 ha kemudian menurun menjadi 80.542 ha di
tahun 2014. Itu artinya, 623 ha lahan sawah di bali beralih fungsi hanya dalam waktu satu tahun.
Bayangkan jumlah lahan yang berkurang di tahun 2016 ini, lalu ke tahun-tahun berikutnya.

Mungkin saja seluruh wilayah Bali ini akan tertutup oleh beton-beton yang dibangun hanya untuk
kepentingan pribadi semata. Jika sektor budaya di Bali hancur, maka semua sektor yang ada di
Bali akan ikut hancur.

Anda mungkin juga menyukai