Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Subak

Sistem irigasi subak adalah sebuah organisasi tradisional yang berdasarkan

konsep Tri Hita Karana yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Sistem subak

adalah merupakan salah satu bentuk sistem irigasi yang mampu

mengakomodasikan dinamika sistem sosio-teknis masyarakat setempat. Air irigasi

dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan,harmoni dan kebersamaan,

melalui suatu organisasi yang fleksibel yang sesuai dengan kepentingan

masyarakat. Sementara itu keberadaan artefak pada sistem subak dibangun

sedemikian rupa sehingga mampu mendukung prinsip-prinsip sistem subak. Ini

berarti bahwa sistem subak pada hakekatnya adalah suatu teknologi yang telah

membudaya dalam dinamika kehidupan masyarakat Bali (Windia,dkk, 2015).

2.1.1 Pengertian subak

Subak merupakan organisasi tradisional para petani di Bali yang terutama

bertujuan untuk berbagi tanggung jawab dalam pengelolaan irigasi air, dan pola

tanam padi di sawah. Subak sebagai sistem irigasi yang berbasis petani,

merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan demokratis. Bangunan utama yang

ada dalam subak adalah bangunan saluran irigasi. Hal ini sesuai dengan sejarah

subak. Nama subak berasal dari kata “kasuwakan” atau saluran air.

Ada beberapa pendapat para pakar tentang pengertian subak yang ada di

Bali seperti : Menurut Windia (2006), subak merupakan organisasi pengairan

9
10

tradisional di bidang pertanian , yang berdasarkan atas seni dan budaya serta

diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat di Pulau Dewata. Subak adalah

organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang

digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali. Subak biasanya memiliki pura

yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh

para pemilik lahan dan petani yang diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan

kesuburan yaitu Dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat

yang juga adalah seorang petani di Bali yang disebut dengan “Pekaseh”

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali No.9 Tahun 2012, subak adalah

organisasi tradisional dibidang tataguna air dan atau tatatanaman ditingkat

usahatani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosio-agraris,religius,

ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Definisi ini

ditetapkan oleh Gubernur Bali tanggal 17 Desember 2012.

Menurut Sutawan (2008) memberikan beberapa definisi tentang subak,

yaitu (1) subak sebagai lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosio-

religius terutama bergerak dalam pengelolaan air untuk produksi tanaman

setahun khususnya padi berdasarkan prinsip Tri Hita Karana; (2) subak sebagai

sistem irigasi, selain merupakan sistem fisik juga merupakan sistem sosial.

Sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat dengan irigasi

seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa empelan, bendung atau

dam, saluran-saluran air, bangunan bagi, dan sebagainya, sedangkan sistem

sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut ; (3) subak

sebagai organisasi petani pemakai air yang sawah-sawah para anggotanya


11

memperoleh air dari sumber yang sama dan mempunyai satu atau lebih Pura

Bedugul, serta mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus

kepentingan rumah tangganya sendiri), maupun keluar dalam arti kata bebas

mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri.

2.1.2 Karakteristik subak

Menurut Sutawan (2008) ada beberapa karateristik dari subak yang

merupakan sistem irigasi tradisonal adalah sebagai berikut.

1. Mempunyai batas-batas yang jelas dan pasti menurut wilayah hidrologis

bukan wilayah administrasi desa. Di Bali ada pemisahan yang tegas

antara administrasi desa dengan administrasi subak dalam uruasan

mengatur irigasi;

2. Subak memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Hak otonomi ini sudah melekat sejak awal terbentuknya subak di Bali;

3 Melaksanakan ritual keagaamaan dalam kegiatan subak bagi anggota

yang tergabung dalam wadah organisasi subak. Melalui pelaksanaan

ritual keagamaan ini diharapkan berbagai potensi konflik antar anggota

dalam satu subak dan antara subak dengan subak lainnya dapat

diminimalisir. Pelaksanaan ritual agama ini agar dapat mewujudkan

ketentraman dan keharmonisan hubungan antara petani dengan Tuhan,

dengan sesamanya dan dengan lingkungan;

4. Subak memiliki struktur organisasi yang memadai sesuai dengan

keperluannya. Dalam struktur mengatur secara tegas tugas dan


12

tanggungjawab serta hak masing-masing pengurus;

5. Subak memiliki satu atau lebih sumber air bersama dan satu atau lebih

Pura Bedugul. Sumber mata air bersama ini diperoleh dari satu atau

lebih sumber mata air seperti empelan/bendung, mata air, tirisan atau

rembesan dari subak-subak diatasnya;

6. Setiap sistem irigasi subak mempunyai ciri dimana setiap hamparan

sawah garapan dari anggota subak mempunyai tembuku pengalapan

tempat masuknya air dan pengutangan tempat keluarnya air atau

tempat pembuangan air yang berlebih sendiri-sendiri;

7. Pengambilan keputusan di subak dalam pengelolaan sistem irigasi

dilakukan dengan demokratis, berkeadialan, transparansi dan

akuntabilitas.

2.1.3 Struktur organisasi subak

Menurut Sutawan (1986), Subak sebagai organisasi tradisional di Bali

memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (1) Mempunyai wilayah berupa areal

persawahan dengan batas-batas yang jelas. (2) Mempunyai krama subak

(anggota subak). (3) Mempunyai prajuru subak (pengurus). (4) Mempunyai

sumber air irigasi dari sebuah empelan (bendungan). (5) Mempunyai awig-awig

(peraturan- peraturan dasar). (6) Mempunyai otonomi penuh baik ke dalam

(mengurus rumah tangganya sendiri) maupun keluar (bebas mengadakan

hubungan langsung dengan pihak luar). (7) Mempunyai satu atau lebih Pura

tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan. Ketujuh


13

ciri yang dimiliki tersebut dapat menjamin tercapainya tujuan subak.

Subak sebagai organisasi memiliki struktur organisasi subak yang

disajikan pada Gambar 2.1.

Pekaseh
(Ketua Subak)
Penyarikan (Sekretaris)
Juru Raksa/Petengen (Bendahara)
Juru Arah

Kelian Tempek
(Ketua Tempek)

Krama
Tempek/Anggota Subak

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Subak yang Memiliki Beberapa


Tempek tanpa Status Semiotonom (Sutawan, 2008)

2.1.4 Sejarah subak

Keberadaan subak dapat dilihat pada beberapa prasasti, seperti Prasasti

Sukawana, Prasasti Trunyan, Prasasti Raja Purana dan Prasasti Bebetin. Dalam

Prasasti Trunyan tertulis bahwa tahun 881 masehi telah dikenal istilah makaraser

yang berart i pekaseh atau pengurus pengairan. Pada tahun 882 masehi dalam

Prasasti Sukawana ditemukan istilah huma (sawah) dan perlak (tegalan),

kemudian dalam Prasasti Bebetin tahun 896 masehi ditemukan istilah undagi

lancah (tukang pembuat perahu), undagi batu (tukang pembuat batu) dan undagi

pengarung (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu sudah dikenal

adanya kilan (bangunan pembagi air) yang mengalirkan air masuk kepetakan
14

sawah. Tahun 1072 masehi, dalam Prasasti Raja Purana disebutkan telah ada

pembagian air yang masuk ke petak sawah secara baik dan adil yang berasal dari

satu sumber (Purwita, 1997 dalam Dewi, 2015).

Menurut Purwita, 1997 (dalam Dewi, 2015), berdasarkan beberapa

prasasti tersebut,secara faktual pada tahun 1072 masehi di Bali sudah terbentuk

organisasi yang mengatur sistem pengairan di sawah beserta segala kegiatan

yang dilakukan oleh anggotanya yang dikenal dengan nama subak. Pada saat

Bali berada dibawah naungan Kerajaan Majapahit tahun 1343, diangkat asidahan

yang mengkoordinir subak-subak yang ada di Bali (sekarang bernama sedahan)

dan bertugas mengurus pungutan upeti atau tigasana (pajak) pertanian. Setiap

kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali dibentuk Sedahan Agung yang

mengkoordinasikan sedahan-sedahan dalam konteks pembinaan subak dan

pemungutan pajak pertanian, pada masa pemerintahan Belanda di Bali. Selain itu,

Belanda juga membagi sawah-sawah menurut tingkat kesuburan tanah, sehingga

tanah-tanah yang ada di Bali menjadi berklas-klas. Pembagian tanah ini ada

hubungannya dengan besar kecilnya pajak yang dipungut. Pembayaran pajak

pertanian dilakukan dalam bentuk uang. Pemerintahan Belanda Dalam upaya

mengintensifkan pembayaran pajak, mengadakan pengukuran luas tanah secara

pasti yang disebut klasier (klasifikasi). Berdasarkan hasil klasifikasi dapat

diketahui luas sawah maupun tegalan sehingga besarnya pajak dapat ditetapkan.

2.1.5 Fungsi subak

Pengelolaan subak bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kepada


15

para anggotanya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut pengelola dihadapkan pada

fungsi dan tugas pokok dalam subak. Fungsi dan tugas yang dilakukan oleh

subak dibagi atas fungsi internal dan eksternal. Secara eksternal, subak

mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam pembangunan

pertanian dan pedesaan. Secara internal, subak mempunyai peranan, fungsi dan

tugas yang sangat penting dan mutlak bagi kehidupan organisasi subak maupun

anggota-anggotanya dalam hubungannya dengan pertanian. Berikut ini diuraikan

lima fungsi/aktivitas subak menurut Sutawan (2008).

1. Pencarian dan distribusi air irigasi

Sutawan (2008) membedakan pengertian pengalokasian air dan

pendistribusian air irigasi. Pengalokasian air irigasi adalah kegiatan menjatahkan

atau kegiatan memberikan hak pemanfaatan air yang tersedia kepada setiap

anggota subak. Pendistribusian air irigasi adalah penyaluran atau pemberian

jatah air yang telah ditetapkan itu dari saluran induk sampai kepada petak sawah

tiap anggota agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk produksi pangan

khususnya beras.

Sudarsana (1984) mengemukakan bahwa fasilitas irigasi yang dibangun

subak untuk mendapat air irigasi dari suatu sumber adalah empelan, aungan,

saluran,dan bangunan fisik lainnya. Air yang telah didapatkan oleh subak

kemudian didistribusikan ke sawah anggota subak sesuai dengan haknya.

Hak atas air anggota subak ditentukan berdasarkan luas sawah yang

diukur dengan tektek atau kecoran. Secara umum,air irigasi satu tektek diberikan

untuk sawah seluas antara 30 sd 40 are. Satu tektek adalah besarnya air yang
16

mengalir melalui penampang dengan lebar sekitar lima cm dan tinggi sekitar satu

cm. Satu tektek air berarti “satu porsi” air. Hak air satu tektek menuntut

kontribusi tenaga kerja (ayahan) sebanyak satu orang tenaga kerja pada setiap

kegiatan subak dan kontribusi materi atau uang (disebut peturunan) sebesar

“satu porsi” (Sutawan, 2008 dalam Dewi, 2015).

Sutawan (2008) berpendapat bahwa pendistribusian air ke sawah petani

pada umumnya menggunakan dua metode, yaitu (1) metode pengaliran kontinyu

(continuousflow) dan (2) metode bergilir. Dalam metode pengaliran kontinyu,

semua petani mendapatkan air secara serempak pada musim hujan dan musim

kemarau. Artinya, semua pintu air dalam keadaan terbuka terus menerus

sepanjang tahun. Sebaliknya, dalam metode bergilir tidak semua anggota subak

mendapatkan air pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam metode

bergilir, wilayah subak dibagi dalam dua atau tiga kelompok persawahan.

Dalam metode bergilir, setiap kelompok persawahan menerima air irigasi

pada waktu yang berbeda. Apabila wilayah subak di bagi dalam dua kelompok

persawahan maka pada musim hujan kedua kelompok menerima air irigasi (MT

Padi I), sedangkan pada musim kemarau untuk MT Padi II : kelompok I

menanam padi dan kelompok II menanam palawija, kemudian MT III :

kelompok I menanam palawija dan kelompok II menanam padi. Metode ini

disebut nugel bumbung (metode bergilir). Apabila persawahan dibagi dalam

tiga kelompok maka pada musim hujan semua kelompok menerima air irigasi,

tetapi pada musim kemarau kelompok hulu (persawahan di bagian hulu) berhak

menerima air yang pertama, kemudian digeser ke kelompok menengah


17

(maongin), dan terakhir digeser kekelompok hilir (ngasep). Dalam beberapa

subak, alokasi air dimulai dari bagian hilir, kemudian ke bagian tengah dan

terakhir ke bagian hulu (Sutawan, 2008 dalam Dewi, 2015).

Jaringan irigasi subak sudah dikonstruksi sedemikian lengkap seperti

dalam uraian berikut.

1. Empelan/buka/freeintake (bangunan pengambilan utama) disumber airnya

dilengkapi dengan langki atau tanjerig (pembatas aliran banjir).

2. Telabah (saluran pembawa) untuk mengalirkan air dari bangunan utama

yang dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti abangan (talang),

telepus (siphon), petaku (terjunan), pekiyuh (peluap samping).

3. Aungan (terowongan) yang dilengkapi dengan lubang udara dan lubang

kontrol, dimana bila lubang tersebut ditempatkan mendatar disebut dengan

calung dan bila tegak disebut dengan bindu.

4. Bangunan pembagi air dari pembagi utama sampai saluran pembawa

dipetak sawah, yaitu tembuku aya (bangunan bagi utama), tembuku

pemaron (bangunan bagi), tembuku daanan (bangunan sadap), tembuku

pengalapan (bangunan pembagi dipetak sawah).

5. Saluran irigasi dari tembuku pemaron disebut dengan telabah pemaron

(saluran sekunder), sedangkan saluran irigasi yang membawa air dari

tembuku daanan (bangunan sadap) ke petak sawah disebut dengan telabah

daanan (saluran tersier).

6. Telabah pengutangan (saluran pembuangan) yaitu saluran yang berfungsi

untuk membuang kelebihan air dari petak sawah yang dialirkan kembali ke
18

pangkung (lembah alam).

2. Pemeliharaan fasilitas irigasi

Berdasarkan Peraturan Menteri No.32/PRT/M/2007 tentang Pedoman

Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, operasi jaringan irigasi adalah upaya

pengaturan air irigasi pada jaringan irigasi yang meliputi penyediaan,

pembagian, pemberian, penggunaan, pembuangan dan konservasi air irigasi

termasuk kegiatan membuka dan menutup pintu bangunan irigasi, menyusun

rencana tata tanam, sistem golongan, menyusun rencana pembagian air,

pengumpulan data, pemantauan dan evaluasi. Pengertian pemeliharaan jaringan

irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu

dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan

mempertahankan kelestariannya (Peraturan Menteri No. 32/PRT/M/2007).

Menurut Sutawan (2008), berdasarkan tanggungjawab operasi dan

pemeliharaan jaringan irigasi, maka subak dapat dibedakan menjadi : (1) subak

yang sepenuhnya dikelola oleh petani, yaitu semua urusan persubakkan ditangani

oleh petani termasuk operasi dan pemeliharaan bendung, jaringan utama,

maupun jaringan tersier dan (2) subak yang dikelola secara patungan, yaitu

jaringan utama (jaringan primer dan sekunder) dikelola oleh pemerintah,

sedangkan jaringan tersier oleh subak.

3. Penggalian dana dan mobilisasi sumberdaya

Dana subak secara umum sumbernya adalah (1) peturunan, yaitu iuran

yang dibayar oleh anggota subak secara insidental sesuai dengan kebutuhan

subak. Bentuk peturunan dapat berupa uang atau material; (2) dedosan atau
19

denda, yaitu pelaku pelanggaran awig-awig didenda sesuai dengan besar kecilnya

pelanggaran ; (3) sarin tahun, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak setiap

habis panen padi. Pada umumnya Sarin tahun diberikan dalam bentuk gabah

yang besarnya sesuai dengan luas sawah atau hak atas air; (4) pengoot; dan (5)

bantuan pemerintah, yaitu pemerintah membantu subak dalam merehabilitasi

sarana dan prasarana (Pitana, 1997; Sudarta, 2002 ; dan Sutawan, 2008).

Dana subak yang terkumpul dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan

subak, meliputi pemeliharaan dan perbaikan fasilitas air irigasi (bendungan,

saluran air irigasi dan terowongan), pemeliharaan dan perbaikan pura subak,

upacara keagamaan, administrasi, rapat-rapat subak, imbalan pengurus subak,

dan keperluan-keperluan lainnya (Sudarta dkk. 1989; Pitana, 1997 dan Sutawan,

2008),

4. Penanganan persengketaan

Subak sebagai lembaga irigasi sering mengalami konflik terkait dengan air

irigasi. Konflik yang dialami juga dapat bersumber pada batas-batas tanah

sawah, adanya pepohonan diperbatasan sawah yang menaungi sawah orang lain,

hewan peliharaan yang merusak tanaman orang lain, dan sebagainya (Sutawan,

2008).

Menurut Sutawan (2008), konflik yang tidak dapat diselesaikan secara

kekeluargaan akan dibawa dalam rapat subak. Umumnya konflik yang terjadi

tidak sampai menimbulkan benturan fisik dan dapat diselesaikan baik ditingkat

tempek maupun di tingkat subak.


20

5. Penyelenggaraan kegiatan keagamaan

Salah satu keunikan subak dibandingkan dengan organisasi petani

pemakai air di luar Bali adalah adanya upacara keagamaan dengan frekuensi

yang cukup tinggi. Upacara keagamaan mengikuti siklus kehidupan padi, ada

yang dilakukan di tingkat petani dan adapula di tingkat tempek (Sutawan, 2008).

Menurut Sutawan (2008), upacara keagamaan di tingkat petani adalah

(1) ngendagin (memasukkan air ke sawah); (2 ) ngurit (saat menabur benih di

pembibitan); (3) nuasen (menanam padi); (4) neduh (saat padi berumur 35 hari);

(5) biyukukung (saat padi bunting); (6) banten manyi (saat mulai panen); (7)

mantenin (setelah padi disimpan di lumbung). Pada umumnya, upacara

keagamaan yang dilaksanakan petani di tingkat tempek baik di subak-gede

maupun non subak-gede adalah (1) mendak toya, yaitu upacara pada saat mulai

mencari air untuk pertama kalinya sebelum musim tanam padi; (2) mebalik

sumpah, yaitu upacara yang dilakukan pada saat padi berumur sekitar dua

minggu; (3) merebu, yaitu upacara dilakukan menjelang panen; (4) ngusaba,

yaitu upacara yang dilaksanakan setelah selesai panen; (5) nangluk merana, yaitu

upacara yang dilakukan apabila padi diserang hama dan penyakit yang

dipandang membahayakan; (6) pakelem, yaitu upacara yang dilakukan sewaktu-

waktu bergabung dengan subak lain; dan (7) odalan, yaitu upacara yang

dilakukan di berbagai pura yang disungsung oleh subak.

Keterikatan dan kekompakan dalam kelompoktani dikawasan subak tidak

semata-mata karena kepentingan air irigasi, tetapi disebabkan adanya nilai-nilai

religius yang berkaitan dengan filosofi dan ditaati oleh anggota subak.(Sutawan,
21

2008 dalam Dewi, 2015).

6. Peraturan subak (Awig-awig dan pararem subak)

Subak merupakan suatu lembaga yang otonom dengan ketentuan-

ketentuan yang mengatur para anggotanya dalam melakukan kegiatan-kegiatan

organisasi yang menjadi pedoman bagi seluruh anggota subak termasuk

pengurus agar tidak adanya suatu penyimpangan. Aturan-aturan yang berlaku

dalam organisasi subak disebut dengan awig-awig maupun pararem. Awig-awig

merupakan anggaran dasar dalam suatu organisasi, sedangkan pararem

merupakan anggaran rumah tangga dalam suatu organisasi. Substansi pada awig-

awig menyangkut mengenai hal-hal yang pokok saja, sebaliknya substansi pada

pararem menyangkut mengenai hal-hal yang lebih rinci. Jika pernyataan diawig-

awig sudah jelas, maka pada pararem akan dikatakan cukup jelas, serta jika di

awig-awig ada yang tidak jelas, maka akan dibahas di pararem. Awig-awig dan

pararem digunakan sebagai pedoman bertingkah laku oleh anggota subak,

sehingga awig-awig dan pararem dipatuhi.

Adapun isi peraturan subak tersebut yang dirangkum secara garis besar

memuat hal-hal sebagai berikut

1. Petunjuk singkat dan garis-garis besar tentang keanggotaan dan

kepengurusan subak beserta tugas dan tanggung jawab masing-masing;

2. Dalam peraturan ini dibedakan istilah krama pekaseh dengan krama subak.

krama subak bertanggungjawab untuk pengelolaan jaringan tersier, krama

pekaseh bertanggung jawab untuk pengelolaan jaringan primer dan

sekunder;
22

3. Dimungkinkan adanya anggota pengoot (berstatus pasif atau tidak ikut

sebagai anggota krama subak atau krama pekaseh) dengan membayar harga

air;

4. Petunjuk tentang larangan sanksi dan besarnya denda yang harus dibayar

oleh pelaku pelanggaran;

5. Adanya ketentuan bahwa pejabat seperti perbekel, kelian desa, kelian

banjar, kelian tempek, kelian pekaseh, kelian subak dan kelian tempekan

subak dapat dibebaskan dari kewajiban membayar pengoot.

Peran awig-awig dan pararem sangat penting bagi kelestarian dan

keberlanjutan subak baik secara sekala (nyata dan kasat mata) maupun niskala

(tidak kasatmata). Secara sekala, awig-awig dan pararem mengatur perilaku

krama (anggota) subak menyangkut tata cara berinteraksi sosial dengan sesama

anggotanya. Hal-hal yang diatur biasanya menyangkut hak dan kewajiban

anggota dan pengurus subak, larangan dan sanksi yang dikenakan jika terjadi

pelanggaran, penanganan konflik antar anggota, pengaturan pola tanam,

pengaturan pembagian air irigasi, dan pengerahan tenaga dan sumberdaya

lainnya bagi kepentingan subak. Secara niskala awig-awig dan pararem

mengatur tata cara upacara agama yang berkaitan dengan siklus hidup tanaman

padi disawah dan di Pura subak baik menyangkut penentuan hari baik, tata

urutan upacara dan larangan-larangan perilaku yang melanggar. Peran awig-awig

dan pararem sangat penting dalam mengendalikan perilaku sosial anggota

subak, mengatur keharmonisan, ketentraman dan ketertiban dalam lingkungan

subak (Sutawan, 2008).


23

2.1.6. Keanggotaan Subak

Anggota subak umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sekehe yeh

(anggota aktif), sekehe pengempel (anggota tidak aktif) dan sekehe luput atau

leluputan (anggota khusus). Anggota aktif adalah mereka yang wajib terlibat

secara aktif dalam kegiatan-kegiatan subak seperti bergotong-royong dalam

perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi dan bangunan suci (pura subak),

rapat-rapat subak, menjaga air irigasi agar tidak terjadi pencurian oleh pihak-

pihak tertentu. Krama pengempel (anggota pasif) adalah mereka yang tidak

diharuskan ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan subak. Sebagai gantinya mereka

diwajibkan membayar sejumlah uang sebagai ganti ayahan. Anggota leluputan

(anggota kehormatan) adalah anggota yang luput/bebas dari kewajiban tanpa

harus menggantinya dengan sejumlah uang. Hal ini disebabkan oleh

kedudukannya sebagai pengabdi masyarakat (Sutawan, 2008).

2.2 Aspek Sosial Subak

Subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-

agraris-religius, yang secara historis didirikan sejak dulu kala dan berkembang

terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-

lain, persawahan dari suatu sumber di dalam suatu daerah (Ganda koesoemah

1975). Menurut Windia, dkk (2015), aspek sosial sistem subak yang menjadi

indikator dari sebuah organisasi agar dapat dikategorikan sebagai organisasi

sosial terdiri dari 10 indikator yaitu : (1) tujuan,(2) kepercayaan,(3)

sentimen,(4) norma,(5) sangsi,(6) kedudukan dan peran,(7) Kekuasaan, (8)


24

jenjang sosial,(9) fasilitator dan (10) wilayah. Rincian kajian semua indikator

tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tujuan

Sistem subak sebagai suatu organisasi pada hakekatnya harus

memiliki tujuan. Tujuan subak adalah sesuai dengan asas-asas yang harus

diemban yakni sebuah tujuan yang berorintasi pada keadilan dan

kebersamaan sesuai dengan nilai Tri Hita Karana yang dianut oleh subak.

Tujuan-tujuan subak dapat dicapai dengan sebuah kesepakatan bersama yang

diadakan dalam rapat subak. Rapat subak biasanya diadakan menjelang

waktu tanam pada suatu musim tertentu. Tujuan rapat subak adalah untuk (i)

menentukan waktu tanam, (ii) jenis tanaman yang ditanam, (iii) menentukan

waktu gotong royong perbaikan sarana irigasi, (iv) pelaksanaan upacara, (v)

jenis dan jumlah pupuk yang diperlukan, (vi) masalah denda (Windia dkk,

2015).

2. Kepercayaan

Dalam teori modal sosial, ada tiga komponen yang harus dipahami,

yakni kepercayaan, jaringan kerja dan norma. dari ketiga komponen itu, maka

komponen kepercayaan adalah hal yang paling penting. Komponen

kepercayaan dalam modal sosial, khususnya dalam sistem subak, umumnya

berkaitan dengan (i) kepercayaan antar petani, (ii) kepercayaan petani kepada

pengurus subak (iii) kepercayaan petani kepada Penyuluh Pertanian

Lapangan, Satuan Kerja Perangkat Daerah dan LSM (Windia dkk, 2015).
25

3. Setimen

Unsur sentimen pada dasarnya merupakan keadaan kejiwaan manusia

yang berkenan dengan situasi alam sekitarnya termasuk di dalamnya

perasaan/sentimen antar sesama manusia. Perasaan atau sentimen anggota

subak terbentuk karena adanya ketergantungan bersama terhadap sumber air

irigasi dan keterikatan terhadap adanya pura yang dikelola oleh subak

bersangkutan (Windia dkk, 2015).

4. Norma

Unsur norma adalah pedoman tentang perilaku yang diharapkan atau

pantas menurut kelompok masyarakat atau biasa disebut dengan peraturan

sosial. Norma pada dasarnya menunjukkan tentang apa yang baik dan yang

buruk dalam suatu komunitas tertentu. Pada sistem subak, norma dan etika

dicantumkan dalam peraturan subak yang disebutkan dengan awig-awig

(peraturan tertulis) dan juga perarem (peraturan yang tidak tertuli, namun

telah disepakati dalam rapat subak (Windia dkk, 2015).

5. Sangsi

Sangsi adalah suatu bentuk imbalan atau balasan yang diberikan

kepada seseorang atas perilakunya. Pada organisasi subak, sangsi diatur

dalam awig-awig atau perarem berdasarkan kesepakatan atau konsensus.

Dalam organisasi subak yang paling banyak diatur dalam pengelolaannya

adalah sangsi negatif kepada anggotanya yang melanggar kesepakatan subak.

Sangsi diberikan kepada anggota subak apabila tidak ikut dalam rapat subak,

tidak mengikuti pola tanam dan tidak melaksanakan upacara agama di subak.
26

Sangsi biasanya berupa uang dan sangsi sosial yaitu melaksanakan upacara

agama di subak (Windia dkk, 2015).

6. Status dan Peranan

Status dan peranan merupakan dua komponen yang saling

bergandengan satu sama lain dalam suatu sistem sosial (kelompok atau

organisasi) yang artinya tiada status tanpa peranan dan tiada peranan tanpa

status. Setiap anggota kelompok memiliki status tertentu dan berdasarkan

status itu yang bersangkutan menjalankan peranan tertentu. demikian pula di

dalam subak sebagai sistem sosial terdapat status dan peranan yang dapat

dilihat pada struktur organisasi subak. struktur organisasi subak

mencerminkan tinggi rendahnya status dan peranan setiap anggota subak,

disamping itu juga menggambarkan tingkat kekuasaan dan jenjang sosial

setiap anggota subak.

7. Kekuasaan

Kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

mempengaruhi perilaku orang lain yakni memerintah atau menggerakan,

mengawasi atau mengendalikan orang lain dan mengambil keputusan serta

menentukan kebijakan mengenai sesuatu untuk melaksanakan suatu kegiatan

yang diinginkan (Sudarta, 2004). Ada empat indikator yang perlu

diperhatikan berkaitan dengan kekuasaan pada sistem subak yakni (i)

kekuasaan anggota subak sesuai kedudukannya; (ii) kemampuan pemimpin

menggerakan anggotanya; (iii) kemampuan pemimpin mengontrol

anggotanya dan (iv) kemampuan pemimpin mengambil keputusan. Pekaseh


27

sebagai pucuk pimpinan subak memiliki kedudukan dan kekuasaan tertinggi

dalam subak. kekuasaan pekaseh dalam menjalankan tugas-tugasnya

kepemimpinannya tetap diatur dengan awig-awig dan perarem subak yang

berlaku (Windia dkk, 2015).

8. Jenjang sosial

Jenjang sosial atau tingkat hirarki dapat diartikan sebagai suatu status

atau kedudukan yang menggambarkan tingkat kekuasaan, kewenangan dan

prestise yang membedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang

lainnya dalam sistem sosial. sistem subak mempunyai sistem perjenjangan

yang jelas yakni mulai dari jenjang sosial atau tingkat hirarki terendah

sampai dengan jenjang sosial tingkat hiraki tertinggi. Sistem perjenjangan

yang ada pada subak, umumnya dipahami oleh anggota subak. Hal ini karena

struktur organisasi beserta personalia pengurus subak yang mencerminkan

perjenjangan sosial tersebut dipilih dan disepakati bersama melalui rapat

subak (Windia dkk, 2015).

9. Fasilitas

Pencapain tujuan dalam sistem sosial memerlukan fasilitas dalam

jumlah dan mutu yang memadai. Suatu sistem sosial tidak akan bisa

mencapai tujuan seperti diharapkan apabila tidak didukung oleh fasilitas yang

dibutuhkan. Umumnya subak telah mempunyai fasilitas yang cukup dan

fasilitas itu telah digunakan secara baik untuk mencapai tujuan. Beberapa

fasilitas fisik subak antarra lain : bendung (empelan), terowongan (aungan),

telabah, talikunda, tembuku, pura subak, bale subak dan jalan usaha tani.
28

Umumnya fasilitas subak terpelihara dengan baik karena rutin diadakan

gotong royong di subak untuk memperbaiki jaringan irigasi (Windia dkk,

2015).

10. Wilayah

Wilayah sebagai suatu sub sistem dari sitem sosial mempunyai arti

yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu sistem sosial. Demikian

pula subak-subak di Bali, masing-masing mempunyai wilayah dengan batas-

batas alamiah yang jelas seperti gunung, hutan, jurang, sungai dan desa.

wilayah subak disebut dengan palemahan sebagai suatu keserasian hubungan

timbal balik antara manusia dengan lingkungannya (Windia dkk, 2015).

Subak adalah suatu organisasi yang sekaligus memiliki nilai-nilai

sehingga dapat disebut sebagai suatu lembaga. Nilai adalah sesuatu yang

berharga dan dapat digunakan sebagai pegangan hidup pada masa yang akan

datang. Nilai yang dimiliki subak di Bali adalah Tri Hita Karana (Windia

dkk, 2015).

Ciri khas Subak terdapat dalam hal pelaksanaan kegiatan ritual

keagamaan yang sangat padat. Fungsi utama Subak adalah pengelolaan air

untuk memproduksi pangan, khususnya beras, yang merupakan makanan

pokok utama bagi orang Bali, seperti halnya juga kebanyakan penduduk Asia

(Sutawan et al. 2005). Sebagai lembaga adat, Subak berlandaskan pula falsafah

Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara

manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya

(Gandakoesoemah, 1975).
29

2.2.1 Pengertian Tri Hita Karana

Suasana hidup yang menginginkan harmoni dan kebersamaan adalah

keinginan umat manusia yang universal. Di Pulau Bali, konsep hidup seperti ini

akhirnya dikristalkan melalui proses induktif oleh para pemikir/pemuka

masyarakat, sampai akhirnya dimunculkan istilah Tri Hita Karana (THK)

(Purwita, 2000).

Secara terminalogis Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta yang

terdiri atas kata Tri + Hita + Karana yang berarti tiga hal yang menyebabkan

terjadinya kesejahteraan atau kebahagiaan. Adapun yang dimaksud dengan tiga

penyebab tersebut yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan) dan

manusia dengan alam (palemahan). Hal inilah yang harus dan wajib dilakukan

oleh manusia, karena manusialah yang paling utama mendapatkan manfaat jika

Tri Hita Karana itu teraplikasi dengan baik. Oleh sebab itu,berhasil atau

gagalnya penerapan ajaran Tri Hita Karana tergantung pada manusia (Windia,

2005).

Harmoni dan kebersamaan yang merupakan hakikat universal dari konsep

Tri Hita Karana pada dasarnya adalah milik seluruh umat manusia dengan

berbagai etnis dan agama yang dianutnya. namun hanya di Bali konsep Tri Hita

Karana ini diimplementasikan secara nyata oleh suatu sistem sosial tertentu,

yaitu sistem subak dan desa adat (Arif, 1999 dan Pusposutardjo, 1999).
30

2.2.2 Penerapan tri hita karana dalam subak

Tri Hita Karana merupakan suatu model pengetahuan yang mengajarkan

kepada manusia untuk senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dan

adaptif dengan lingkungannya dalam berbagai dimensi ruang dan waktu. Di

dalamnya terkandung nilai-nilai yang bersifat universal demi kesejahteraan

hidup manusia dan jagat raya. Tri Hita Karana ini juga merupakan landasan

falsafah yang menjadi dasar kehidupan subak di Bali. Adapun implementasi Tri

Hita Karana dalam subak sebagai berikut.

a. Aspek parhyangan

Aspek parhyangan merupakan hubungan harmonis antara manusia

dengan Ida Sang HyangWidhi Wasa. Dalam subak, aspek parhyangan dapat

ditelusuri dari fungsi subak sebagai berikut.

1. Pelaksanaan kegiatan ritual.

Berbagai kegiatan ritual yang dilakukan secara kronologis oleh subak

dalam satu siklus tanam padi merupakan kegiatan khas subak. Kegiatan

ritual tersebut tidak ditemukan pada semua sistem irigasi yang ada di dunia.

Tidak ada satu subak tanpa pura dan kegiatan ritual. Kegiatan ritual dalam

subak berfungsi sebagai penguat organisasi subak, sedangkan pura dianggap

sebagai pengawas atau kontrol sosial secara niskala (Sudarta dan Dharma,

2013).

2. Pelestarian kebudayaan Bali dan agraris

Kebudayaan Bali berasal dari kebudayaan agraris,dimana subak


31

merupakan wahana tumbuh dan berkembangnya kebudayaan tersebut. Oleh

sebab itu, melestarikan subak berarti sekaligus melestarikan kebudayaan

agraris dan kebudayaan Bali itu sendiri dan subak memegang peranan

penting dalam hal ini sebagai penjaga dan pelestarinya.

3. Penyangga nilai-nilai tradisional

Tri Hita Karana sebagai landasan dan falsafah utama subak sangat

mempengaruhi perilaku subak dan anggotanya dalam berkreativitas dan

beraktivitas dalam pembangunan pertanian dilahan sawah. Tri Hita Karana

mengandung nilai-nilai tradisional yang sejalan dengan perkembangan

ataupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nilai- nilai tradisional

tersebut diantaranya kepercayaan dengan beragam ritual yang bersumber dari

Agama Hindu, nilai kerja sama (gotong-royong dan tolong menolong), nilai

musyawarah mufakat berasaskan kekeluargaan, nilai dalam awig-awig dan

pararem, nilai keadilan, nilai tentang hari baik (dewase) (Sudarta dan

Dharma, 2013).

b. Aspek pawongan

Pawongan merupakan sebuah konsep yang menginginkan adanya

keharmonisan antara manusia dengan sesamanya. Dalam kegiatan subak,

haruslah disadari bahwa anggota subak pada hakekatnya merupakan sosok

manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak berbeda dengan sesama

manusia lainnya. Secara internal, harus menjaga harmoni dalam berorganisasi

maupun bekerja. Harmoni juga harus dilakukan dengan sesamanya secara


32

eksternal, agar tidak terjadi konflik dengan lingkungan masyarakat disekitarnya.

Konflik akan menyebabkan kegiatan subak tidak berlanjut (Windia dan Dewi,

2011).

Implementasi prinsip-prinsip pawongan dalam subak sebagai berikut.

1. Pendistribusian air irigasi secara adil kepada semua anggota

Prinsipnya, pembagian air irigasi dilakukan secara adil kepada semua

anggotanya dengan sistem tektek. Jika kondisi air irigasi tidak mencukupi

maka diterapkan pembagian air secara bergilir, pinjam meminjam air irigasi

dan pelampias yakni tambahan air irigasi untuk sawah petani yang berada

dihilir atau jauh dar isumber air irigasi dan saluran air irigasi (Sudarta dan

Dharma, 2013).

2. Penanganan konflik

Tri Hita Karana dalam subak selalu mengajarkan harmoni dan

kerjasama antar anggota subak tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya

konflik dan pertikaian baik diantara anggota, anggota subak dengan

tempek/subak, antar tempek, atau tempek dengan subak induknya bahkan

subak dengan pihak luar subak. Konflik umumnya dipicu melalui

keterbatasan air irigasi, terjadinya alih fungsi lahan sehingga aliran air

terganggu kesubak, pencurian air, hewan peliharaan yang merusak tanaman

atau merusak lahan persawahan, dan pelanggaran terhadap jadwal

polatanam. Umumnya konflik yang terjadi diusahakan terselesaikan secara

kekeluargaan, baik antar pihak yang berkonflik maupun oleh pekaseh

sebagai mediator. Jarang sekali ada konflik internal subak yang dimohonkan
33

penyelesaiannya kepada pihak luar (Sudarta dan Dharma,2013).

c. Aspek palemahan

Pada aspek palemahan mencakup prinsip-prinsip keharmonisan dalam

hubungannya dengan lingkungan alam semesta disubak. Hal tersebut dapat di

implementasikan dalam beragam manifestasi sebagai berikut.

1. Pemeliharaan jaringan irigasi dan bangunan fisik lainnya

Pemeliharaan jaringan irigasi seperti terowongan, saluran irigasi dan

bangunan bagi umumnya dilakukan oleh subak secara rutin pada setiap

menjelang musim tanam berikutnya. Hal ini dimaksudkan agar aliran air irigasi

berjalan lancar menuju lahan persawahan petani.Kegiatan ini dilakukan secara

gotongroyong, setelah upacara mendaktoya (menjemput air) di Pura Empelan

(Pura Bendung). Pemeliharaan bangunan fisik lainnya seperti pura, balai subak

dan balai timbang umumnya dipelihara secara insidental atau kalau dipandang

perlu dapat dilakukan secara gotong royong atau diupahkan dengan biaya yang

ditanggung secara bersama.

2. Penyangga dan pendukung ketahanan pangan

Subak berfungsi sebagai pendukung ketahanan pangan,baik ditingkat

keluarga atau rumahtangga serta daerah. Ketahanan pangan akan terancam

apabila tidak ada subak dan sebaliknya apabila subak tetap lestari maka akan

menjadi pendukung ketahanan pangan.


34

3. Pelestari lingkungan alam

Secara fisik,subak merupakan areal sawah beririgasi yang berfungsi

sebagai pengendali banjir, erosi, kebersihan udara melalui penyerapan zat-zat

beracun oleh tanaman dan pengendali siklus nitrogen yang diserap oleh tanaman

padi. Sawah di wilayah subak juga sebagai habitat beragam jenis flora dan

fauna sehingga subak juga berfungsi sebagai pemelihara keanekaragaman

hayati.

4. Penunjang pembangunan pertanian dan pedesaan

Subak mempunyai fungsi penting dalam pembangunan pertanian dan

pedesaan seperti pelaksana kegiatan intensifikasi pertanian,bimas dan insus

merupakan program-program pemerintah yang dapat terlaksana melalui subak.

Pembangunan pertanian yang dijalankan oleh subak tersebut sekaligus

merupakan bagian integral dari pembangunan pedesaan secara lebih luas dimana

sebagian besar masyarakat pedesaan di Bali adalah masyarakat petani.

2.3 Aspek Ekonomi Subak

Subak merupakan bagian dari kegiatan ekonomi produksi namun

pengurusnya belum mampu untuk menghimpun modal mikro yang akan dikelola

sebagai usaha simpan pinjam dan sumber pendapatan lembaga. Kelemahan

memamfaatkan sumberdaya terletak pada pengurus. Pengurus tidak memiliki

pendidikan formal yang memadai sehingga peluang untuk merekontruksi

manajemen tradisional menjadi manajemen modern sulit terwujud. Transformasi

dan rekonstruksi inovasi manajemen modern membuka peluang subak untuk


35

berkembang menjadi organisasi ekonomi dengan tetap menjalankan fungsinya

sebagai pengatur air irigasi tanpa harus mengorbankan corak sosio agraris

religiusnya (Kamandalu dkk, 2009)

Usaha ekonomi berbasis subak pada prinsipnya adalah agribisnis berbasis

pangan atau lahan sawah. Dengan berprinsip bahwa usahatani itu identik dengan

perusahaan, maka usahatani ini akan eksis dan berkembang jika mampu menjual

hasilnya dengan nilai jual yang layak. Koperasi tani akan menjadi salah satu

sumber dana subak terkait dengan tanggung jawab pembiayaan operasi dan

pemeliharaan institusi subak. Selain itu, koperasi tani akan menjadi wahana

peningkatan kesejahteraan ekonomi anggotanya (Budiasa, 2010).

Salah satu bentuk koperasi agribisnis yang berhasil di subak adalah

Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) yang berada di Subak Guama,

Kabupaten Tabanan. Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) Subak Guama

dibentuk atas dasar kebersamaan dan berkembang sebagai organisasi tradisional

berbasis ekonomi yang berfungsi untuk mengelola unit-unit usaha yang akan

dilaksanakan di subak (Kamandalu, dkk 2009).

Keberadaan lahan persawahan menjadi hal yang sangat penting bagi

keberlanjutan pertanian dan subak di Bali. Alih fungsi lahan di wilayah Kuta

Utara terjadi karena desakan kebutuhan lahan untuk penggunaan disektor non

pertanian seperti untuk pemukiman, industri, jalan dan sarana wisata. Aspek

ekonomi menjadi salah satu faktor pendorong tejadinya alih fungsi lahan

persawahan. Pendorong dari aspek ekonomi terdiri dari rendahnya pendapatan

usahatani padi, pemilik lahan bekerja di sektor lain dan harga lahan di daerah
36

tersebut sangat tinggi.

Tekanan dimensi ekonomi yang kuat sehingga berdampak pada

penyusutan lahan pertanian dan pelemahan eksistensi subak. Salah satu yang

berdampak pada eksistensi subak adalah ketahanan ekonomi yang merujuk pada

kemampuan masyarakat petani sebagai pelaku dari kegiatan subak. Wujud

ketahanan ekonomi petani adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha

tani yang dilakukan.

2.3.1 Usahatani

Mosher (1987), menyatakan bahwa usahatani merupakan jalinan yang

kompleks yang terdiri atas tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input

lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seorang yang disebut

petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya, di mana petani tersebut

mengupayakan output dari input dan teknologi yang ada dari permukaan bumi

dimana seorang petani, sebuah keluarga tani atau badan usaha lainnya bercocok

tanam atau memelihara ternak.

Usahatani dikatakan berhasil dalam arti memberikan penghasilan yang

cukup bagi petani beserta keluarganya apabila secara minimal memenuhi syarat-

syarat : 1) usahatani harus dapat menghasilkan cukup pendapatan untuk

membayar biaya semua peralatan yang dikeluarkan (sarana produksi); 2)

usahatani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat dipergunakan untuk

membayar bunga modal yang digunakan, baik modal milik petani maupun modal

yang dipinjamkan dari pihak lain; 3) usahatani harus dapat membayar upah tenaga
37

petani dan keluarganya; 4) usahatani yang bersangkutan haruslah paling sedikit

berada dalam keadaan seperti semula dan 5) usahatani harus pula dapat membayar

tenaga petani sebagai manager yang harus mengambil keputusan mengenai apa

yang harus dijalankan, kapan, di mana dan bagaimana (Hadisapoetro, 1987).

Berdasarkan atas definisi tersebut di atas, maka usahatani dapat dikatakan

sebagai suatu sistem, yaitu suatu agroekosistem yang unik dengan berbagai

kombinasi sumber daya fisik dan biologis, seperti : bentuk lahan, tanah, air,

tumbuhan (tumbuhan liar, pepohonan, tanaman budidaya) dan hewan (hewan liar

dan peliharaan). Dengan mempengaruhi komponen-komponen agroekosistem

tersebut dan interaksinya, rumah tangga petani memperoleh hasil atau produk

seperti tanaman, kayu, hewan dan lain-lain. Sebagai suatu sistem, kegiatan

usahatani terus berkembang dari waktu ke waktu dan bersifat sangat beragam

dalam hal produktivitas, efisiensi pemanfaatan lahan, tenaga dan modal serta

pengaruhnya terhadap lingkungan.

2.3.2 Biaya usahatani

Pengertian biaya adalah nilai korbanan yang dikeluarkan untuk

memperoleh suatu hasil. Menurut kerangka waktu, biaya dapat dibedakan menjadi

biaya jangka pendek dan biaya jangka panjang. Biaya jangka pendek terdiri atas

biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost), sedangkan dalam

jangka panjang semua biaya dianggap/diperhitungkan sebagai biaya variabel

(Hernanto, 1993)
38

Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung atas besar

kecilnya kuantitas produksi yang dihasilkan, sebaliknya biaya variabel adalah

biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan kuantitas produksi yang

dihasilkan. Makin besar kuantitas produksi yang dihasilkan, maka makin besar

pula biaya variabel yang dikeluarkan.

Menurut Daniel (2002), biaya produksi adalah sebagai kompensasi

yang diterima oleh para pemilik faktor-faktor produksi, atau biaya-biaya yang

dikeluarkan oleh petani dalam proses produksi. Hernanto (1993),

mengartikan bahwa biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh

seorang petani dalam proses produksi serta membawanya menjadi produk,

termasuk di dalamnya barang yang dibeli dan jasa yang dibayarkan di dalam

maupun di luar usahatani. Ada empat kategori atau pengelompokan biaya sebagai

berikut.

1. Biaya tetap (fixed cost).

Merupakan biaya yang penggunaannya tidak tergantung kepada skala

produksi yang dilakukan. Yang termasuk biaya tetap adalah : sewa tanah,

pajak tanah, bangunan ataupun bunga uang.

2. Biaya variabel (variabel cost).

Merupakan biaya yang penggunaannya tergantung kepada skala produksi

yang dilakukan. Yang termasuk biaya variabel meliputi biaya sarana

produksi seperti : bibit, pupuk, obat-obatan, biaya tenaga kerja dan lain-lain.
39

3. Biaya tunai.

Biaya tunai dari biaya tetap yang meliputi pajak air, kredit ataupun pajak

tanah. Biaya tenaga kerja di luar keluarga dan pemakaian sarana

produksi termasuk dalam biaya tunai dan biaya variabel.

4. Biaya tidak tunai.

Biaya tidak tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga

kerja dalam keluarga, seperti : biaya panen, biaya pemeliharaan tanaman-

ternak, serta biaya pengelolaan lahan/tanah yang dilakukan oleh keluarga

petani.

2.3.3 Pendapatan usahatani

Sumber pendapatan rumah tangga petani dapat digolongkan

menjadi pendapatan dari sektor pertanian dan dari sektor non-pertanian. Sumber

pendapatan dari sektor pertanian terdiri dari pendapatan dari usahatani

(padi sawah, padi ladang, palawija, sayuran buah-buahan dan lain-lain);

pendapatan dari pertanian lain (dari ternak besar, kecil, unggas, kolam dan

tanaman tahunan) dan buruh tani. Sedangkan pendapatan dari non pertanian

dibagi menjadi pendapatan dari perdagangan, industri rumah tangga, buruh non

pertanian, pegawai, jasa dan lain-lain (Hidayat dkk, 2005)

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua

biaya, atau dengan kata lain pendapatan usahatani meliputi pendapatan

kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor/

penerimaan total adalah nilai produksi komoditas pertanian secara keseluruhan


40

sebelum dikurangi biaya produksi (Rahim dan Hastuti 2007).

2.4 Konsep Keberlanjutan Subak

Konsep ini pertama kali dimunculkan oleh Mc Namara pada tahun 1973

di Nairobi, khususnya dalam bidang konsep keberlanjutan irigasi. Hal ini

dimunculkan untuk menggeser kebijakan pembangunan agar lebih mengarah pada

dimensi pemerataan, peningkatan pendapatan, dan jaminan ketersediaan pekerjaan

bagi masyarakat pedesaan yang sebanding dengan pencapaian pertumbuhan

ekonomi (Huppert, 1989 dalam Windia, 2008).

Suatu sistem dikatakan berkelanjutan adalah apabila sistem tersebut dapat

berfungsi secara sepadan, baik pada saat ini maupun di masa-masa yang akan

datang. Keterpaduan antara keberlanjutan pertanian dan keberlanjutan irigasi

merupakan hal yang sangat penting karena pengalaman dalam proses revolusi-

hijau. Kegiatan ini ternyata menimbulkan pengaruh negatif, kalau pembangunan

pertanian tidak ditunjang oleh sistem irigasi yang memadai.

Windia (2008) mengutip laporan Komisi Brundtland menyebutkan bahwa

yang dimaksud dengan keberlanjutan atau lestari yaitu suatu kegiatan atau usaha

untuk menjamin kebutuhan sekarang dengan mempertimbangkan generasi

penerus dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam memenuhi

kebutuhannya. Dikaitkan dengan subak maka kelestarian atau keberlanjutan

subak mencakup upaya yang dilakukan sehingga menjamin keberadaan subak

mampu menjalankan multi perannya baik secara ekonomi, sosial, budaya dan

lingkungan baik bagi generasi sekarang maupun generasi selanjutnya.


41

Subak sebagai suatu sistem irigasi yang dikelola petani secara swadaya

untuk tanaman semusim khususnya padi serta memiliki beberapa elemen yang

saling terkait, yaitu organisasi petani pengelola air irigasi, jaringan irigasi dan

prasarana irigasi, ekosistem lahan sawah beririgasi, produksi pangan, dan ritual

keagamaan terkait dengan budidaya padi. Guna mewujudkan kelestarian dan

keberlanjutan subak maka semua elemen tersebut harus dapat dijaga

kelestariannya (Sutawan,2005).

Hal-hal yang sampai sekarang masih melekat pada organisasi subak

sebagai tugas, kewajiban dan tanggung jawab dalam mengatur kepentingan

rumahtangganya sendiri adalah sebagai berikut

a. Menetapkan secara bersama-sama etika, norma dan aturan hukum

organisasi yang dituangkan dalam awig-awig dan pararem subak.

b. Melaksanakan aktifitas-aktifitas sesuai dengan awig-awig dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

c. Mengatur rumahtangganya sendiri dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan anggota (krama) sejalan dengan perkembangan

pembangunan terutama disektor pertanian.

d. Menyelesaikan secara bijaksana masalah - masalah yang terjadi diantara

anggota (krama) dengan tetap berpedoman pada awig-awig dan

pararem.

2.5 Penelitian Terdahulu

Sehubungan dengan penelitian"Aspek Sosial Ekonomi Keberlanjutan


42

Subak Sebuah di Kecamaatn Kuta Utara, Kabupaten Badung" menggunakan

referensi beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan

memiliki kaitan dengan penelitian yang akan dilakukan sekarang. Beberapa hasil

penelitian tersebut adalah sebagai berikut .

1. Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014), "Penerapan Tri Hita Karana

untuk Keberlanjutan Sistem Subak yang Menjadi Warisan Budaya Dunia :

Kasus Subak Wangaya Betan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan".

Tujuan penelitian yang ingin di capai adalah untuk menganalisis penerapan

Tri Hita Karana (THK) bagi keberlanjutan sistem subak yang menjadi

Warisan Budaya Dunia kasus Subak Wangaya Betan, Kecamatan Penebel,

Kabupaten Tabanan. Teknik analisis yang digunakan metode analisis

deskriptif kualitatif kuantitatif. Penerapan Tri Hita Karana (THK) pada

penelitian ini dianalisis dengan matriks inverse. Untuk menelaah tingkat

penerapan THK tersebut akan dilakukan pengukuran dengan metode

skoring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis matriks inverse yang

menggambarkan kemampuan keberlanjutan penerapan konsep Tri Hita

Karana di Subak Wangaya Betan adalah sebesar 30,27 % . Hal ini berarti

kemampuan keberlanjutan penerapan konsep Tri Hita Karana di Subak

Wangaya Betan sangat tidak baik yakni sebesar 30,27%. Hasil ini disebabkan

oleh adanya elemen-elemen yang masih kurang dalam pelaksanaanya secara

berkelanjutan. Penelitian Lestari (2014) sangat relevan dengan penelitian ini

yaitu menelaah penerapan THK untuk mengetahui keberlanjutan sistim subak.

Persamaan penelitian Lestari tersebut dengan penelitian ini adalah sama -


43

sama menggunakan matriks inverse untuk analisis penerapan konsep Tri Hita

Karana pada analisis keberlanjutan sistem subak. Perbedaan penelitian

Lestari (2014) terhadap penelitian ini adalah pada aspek ekonomi untuk

melihat pendapatan petani dalam usaha tani padinya.

2. Penelitian Widnyani (2014), meneliti tentang Keberlanjutan Bisnis Pupuk Cair

Organik PT Alove Bali, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.

Tesis Program Studi Magister Agribisnis, Program Pasca Sarjana, Universitas

Udayana. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

potensi keberlanjutan bisnis pupuk cair organik PT Alove Bali berdasarkan

konsep Tri Hita Karana. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan yang

bergerak di bidang pengolahan lidah buaya (Aloe vera). Penelitian

keberlanjutan bisnis pupuk cair organik PT Alove Bali menggunakan

pendekatan survey. Data primer yang digunakan kemudian dikumpulkan

secara langsung dilapangan, selanjutnya data tersebut ditabulasi dan dianalisis

menggunakan analisis fuzzy zet. Hasil Penelitian menunjukkan, analisis matriks

inverse yang menggambarkan kemampuan tranformasi/penerapan konsep Tri

Hita Karana pada PT Alove Bali pencapaian skor sebesar 38,68%. Hasil

tersebut menunjukan nilai potensi keberlanjutan bisnis PT Alove Bali adalah

cukup baik. Hasil penerapan keberlanjutan bisnis PT Alove Bali dapat

ditingkatkan apabila dilakukannya perbaikan dalam elemen-elemen yang

masih kurang pelaksanaanya secara berkelanjutan. Dengan demikian

kemampuan tranformasi penerapan konsep Tri Hita Karana untuk

Keberlanjutan Bisnis PT Alove Bali akan semakin meningkat atau


44

keberlanjutan Bisnis PT Alove Bali akan semakin baik. Relevansi penelitian

Widnyani (2014) dengan penelitian ini adalah untuk memperluas kajian

tentang penerapan Tri Hita Karana pada keberlanjutan sistim subak.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian Aspek Sosial Ekonomi

Keberlanjutan Subak Sebuah di Kecamatan kuta Utara Kabupaten Badung

adalah sama - sama menggunakan analisis matriks inverse untuk mengetahui

keberlanjutan penerapan konsep Tri Hita Karana. Perbedaan penelitian

Widnyani (2014) terhadap penelitian ini adalah pada obyek yang diteliti adalah

perusahan agribisnis dan pada aspek ekonomi dengan melihat pendapatan

petani dalam usaha tani padinya.

3. Hasil Penelitian Wahyuni (2009) tentang Keberlanjutan Pengembangan

Usahatani Pola Integrasi pada Lahan Pertanian (Kasus di Desa Kerta

Payangan Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Tesis Program Studi Magister

Agribisnis, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana. Tujuan Penelitian ini

adalah menganalisis nilai keberlanjutan pengembangan usahatani pola

integrasi tanaman-ternak pada lahan pertanian dilihat dari aspek ekonomi, dan

aspek sosial-budaya. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis

ekonomi dengan Net B/C Ratio dan analisis sosial-budaya penerapan THK

dengan skala Likkert. Hasil penelitian menunjukkan pada analisis ekonomi

menunjukkan bahwa keberlanjutan usahatani pola integrasi tanaman-ternak

pada lahan pertanian layak untuk diusahakan (menguntungkan), hal ini

terlihat dari nilai net B/C ratio lebih dari satu yaitu 3,41 %, ini berarti bahwa

pola integrasi tanaman-ternak yang diterapkan sangat bermanfaat untuk


45

keberlanjutan dari suatu pola yang diterapkan pada lahan pertanian. Dilain

pihak, hasil analisis sosial-budaya dengan penerapan TKH dalam skala Likert

diperoleh rata-rata skor dari seluruh aspek yaitu sebesar 90,48 %

menunjukkan bahwa respon petani dalam keberlanjutan usahatani pola

integrasi tanaman-ternak pada lahan pertanian dapat diterima dan layak untuk

diberlanjutkan oleh petani sehingga berpeluang dikembangkan lebih lanjut.

Penelitian Wahyuni (2009) sangat relevan dengan penelitian ini yaitu untuk

memperluas kajian tentang keberlanjutan pengembangan usaha tani.

Persamaan penelitian tersebut dengan Aspek Sosial Ekonomi Keberlanjutan

Subak Sebuah di Kecamatan kuta Utara Kabupaten Badung adalah sama -

sama meneliti tentang keberlanjutan pengembangan usahatani ditinjau dari

aspek ekonomi dan aspek sosial Perbedaan penelitian Wahyuni (2009)

terhadap penelitian ini adalah untuk mengetahui keberlanjutan sistim subak

pada penelitian ini dianalisa dengan matriks inverse dan untuk mengetahui

pendapatan petani dianalisa dengan R/C Ratio.

4. Penelitian Ardiyani (2009), dengan judul "Dampak Bantuan Dana Penguatan

Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) Terhadap

Peningkatan Pendapatan Petani di Kabupaten Tabanan", menyimpulkan

bahwa usahatani padi baik melalui bantuan DPM-LUEP maupun tanpa

bantuan DPM-LUEP adalah menguntungkan, dengan R/C ratio masing-

masing sebesar 3,77 dan 3,56. Bantuan program DPM-LUEP memberikan

dampak positif kepada petani dimana pendapatan bersih usahatani lebih tinggi

dibandingkan dengan tanpa bantuan dan dianalisis dengan uji t. Penelitian


46

Ardiyani (2009) sangat relevan dengan penelitian ini untuk memperluas kajian

tentang pendapatan usaha tani padi. Persamaan penelitian tersebut dengan

Aspek Sosial Ekonomi Keberlanjutan Subak Sebuah di Kecamatan kuta Utara

Kabupaten Badung adalah sama - sama meneliti tentang pendapatan usahatani

padi dengan menggunakan analisis R/C ratio. Perbedaan penelitian yang

dilakukan Ardiyani (2009) terhadap penelitian ini terletak pada analisis untuk

mengetahui keberlanjutan penerapan konsep Tri Hita Karana pada sistim

subak pada penelitian ini dianalisa dengan matriks inverse.


47
48

Anda mungkin juga menyukai