Disusun Oleh :
Ni Wayan Listyawati Ningrum
“alam jagat raya ini akan terus menjadi sumber kehidupan manusia”
Pulau Bali sering dijuluki sebagai Pulau Dewata atau Pulau seribu pura, hal
ini membuktikan bahwa masyarakat Bali memiliki kepercayaan dalam menganut
ajaran agama Hindu, agama Hindu di Bali bagaikan jiwa masyarakat Bali.
Masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang sangat religius dalam
melaksanakan kehidupan sosial maupun bermasyarakat, karena segala aktivitas
masyarakat Bali dalam segala sendi kehidupanya selalu dilandasi dengan ajaran yang
bernafaskan agama Hindu dan memang telah dijadikan pedoman dalam bertingkah
laku dan berinteraksi di lingkungan masyarakat. Dalam budaya dinyatakan, bahwa
agama Hindu dapat tumbuh subur karena memberikan ruang yang humanis serta
relegius sehingga agama Hindu bersifat fleksibel dan universal. Praksita (1986:23)
menyatakan, bahwa agama adalah petunjuk hidup yang berisi sejumlah ide nilai dan
norma, yang seharusnya menjadi pedoman dalam berpikir berbicara dan bertingkah
laku guna terwuhudnya keharmonisan umatnya dalam segala dimensi yakni
keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan.
1
adalah masyarakat Bali. Agama Hindu yang berkembang di Bali harmoni dengan
agama lokal asli Bali yang kaya akan adat dan budaya, kehadiran Hindu di Bali
mempermulia agama lokal, dan saat ini ajaran-ajaranya telah dijadikan sebagai
pedoman dalam bertingkah laku di kehidupan sehari-hari.
Salah satu ajaran agama Hindu yang digunakan sebagai landasan dan
pedoman dalam mencapai suatu kehidupan yang bahagia lahir, batin dan harmonis
yakni ajaran Tri Hita Karana. Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah “sikap hidup
yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi pada sesama manusia
(Parahyangan), serta mengembangkan kasih sayang pada sesama manusia
(Pawongan), serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan
(Palemahan)” (Wiana dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, 2004:275).
Harmonisasi dan dinamisasi berdasarkan yadnyanya dari tiga unsur sebagai sebab
(karana) datangnya kebahagiaan hidup (hita) atau “tiga penyebab kedatangan
kebahagiaan”. Berdasarkan rumusan dalam Bhagawad Gita III.10 di atas dapat
dinyatakan bahwa, secara filosofis Tri Hita Karana adalah membangun kebahagiaan
dengan mewujudkan sikap hidup yang seimbang antara berbakti kepada Sang Hyang
Widhi, mengabdi kepada sesama umat manusia dan menyayangi alam lingkungan
berdasarkan yadnya.
2
Agama, adat dan budaya Bali merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Seperti halnya subak di Bali yang merupakan sebuah warisan budaya
dari leluhur yang sudah seharusnya kita jaga keberadaanya sebagai generasi penerus,
serta adat dan agama yang didalamnya memiliki keterkaitan dengan ajaran Tri Hita
Karana. Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik
sosioagraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi
di lahan sawah. Pengertian subak seperti itu pada dasarnya dinyatakan dalam
peraturan-daerah pemerintah-daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/l972. Arif (l999)
memperluas pengertian karakteristik sosio-agraris-religius dalam sistem irigasi subak,
dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik sosio-teknis-
religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas termasuk
diantaranya teknis pertanian, dan teknis irigasi. (Windia, W , dkk. 2005). Subak di
Bali memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatur serta mengelola air yang
nantinya digunakan untuk mengairi lahan sawah, jika subak tidak melakukan
tugasnya dengan baik maka lahan sawah memiliki kemungkinan menjadi kekeringan,
ataupun mendapatkan air yang telah tercemar.
Sutawan dkk (l986) melakukan kajian lebih lanjut mengenai gatra religius
dalam sistem irigasi subak. Kajian gatra religius tersebut ditunjukkan dengan adanya
satu atau lebih Pura Dugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku
Dewi Kesuburan, yang biasanya letaknya ada didekat lahan persawahan), disamping
adanya sanggah pecatu (bangunan suci) yang ditempatkan sekitar bangunan sadap
(intake) pada setiap blok/komplek persawahan milik petani anggota subak. Gatra
religius pada sistem irigasi subak merupakan cerminan konsep THK yang pada
hakekatnya terdiri dari parhyangan, palemahan, dan pawongan. Gatra parhyangan
oleh Sutawan dkk (l986) ditunjukkan dengan adanya pura (Pura Dugul) pada wilayah
subak dan pada setiap komplek/blok pemilikan sawah petani, gatra palemahan
ditunjukkan dengan adanya kepemilikan wilayah untuk setiap subak, dan gatra
pawongan ditunjukkan dengan adanya organisasi petani yang disesuaikan dengan
kebutuhan setempat, adanya anggota subak, pengurus subak, dan pimpinan subak
3
yang umumnya dipilih dari anggota yang memiliki kemampuan spiritual. Ketiga gatra
dalam THK memiliki hubungan timbal-balik dan dapat digambarkan seperti pada
gambar berikut
Sumber : google.com
Sistem irigasi subak ini telah diakui dunia, UNESCO menetapkan subak
sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) dalam suatu sidang di Pittsburg, Rusia pada
tanggal 29 Juni 2012. (Windia, W , dkk. 2005), Subak sebagai salah satu kearifan
lokal milik masyarakat Bali adalah organisasi pembagian air di area sawah secara
tradisional. Organisasi subak memiliki 4 (empat) elemen seperti lahan pertanian
(sawah), sumber air, anggota subak dan pura subak jadi dalam setiap organisasi subak
keempat elemen tersebut akan selalu ada dan merupakan syarat mutlak sebuah
organisasi subak di Bali.
4
mampu bertransformasi mengikuti perkembangan zaman saat ini, agar tetap bertahan
ditengah derasnya arus globalisasi serta revolusi industri. Seperti halnya kearifan
lokal subak yang saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh generasi muda karena
keberadaanya yang memang kurang diketahui, serta dianggap tidak sesuai dengan
perkembangan zaman. Hal ini dibuktikan dengan minimnya generasi muda yang mau
menjadi petani, dan malah memilih menjual tanah warisan (lahan sawah) yang
dimilikinya, mereka beranggapan bahwa bekerja di sektor pertanian termasuk subak
menghasilkan pendapatan yang tidak sepadan dengan bekerja di sektor industri dan
jasa khususnya yang berkaitan dengan sektor pariwisata. Hal ini dapat menyebabkan
subak terancam punah, karena minimnya lahan persawahan yang tersisa untuk
dikelola dan jika subak terancam punah maka realisasi ajaran Tri Hita Karana yang
ada pada kearifan lokal subak juga akan ikut memudar.
5
atas semakin tidak terkendali akibat limbah plastik yang kian hari makin menumpuk
dan tidak dapat dikelola dengan baik, yang dikarenakan kurangnya kesadaran
masyarakat dalam mengelola sampah atau limbah sebagai penyebab utama dari
pencemaran air sungai sebagai sumber irigasi pertanian. Terjadinya pencemaran air
pada lingkungan sungai di area dekat lahan persawahan sebagai sumber irigasi
pertanian yang memang disebabkan oleh kegiatan sehari-hari masyarakat yang tidak
menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya. Ataupun dalam artian masyarakat tersebut
telah gagal dalam menerapakan ajaaran Tri Hita Karana, khusunya dalam
menciptakan keselarasan dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan
(Palemahan).
Berkurangnya minat generasi muda menjadi krama subak ini disebabkan oleh
kurangnya kesadaran generasi muda di zaman sekarang untuk melestarikan dan
menumbuhkan jiwa keagamaan pada dirinya dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena
itu, kita harus dapat menumbukan jiwa keagamaan Hindu khusunya ajaran Tri Hita
Karana dikalangan generasi muda, agar dapat menyelesaikan permasalahan
lingkungan dengan menanamkan sikap cinta dan peduli terhadap lingkungan serta
dapat melestarikan kearifan lokal yang berlandaskan ajaran agama Hindu.
6
dapat direalisasikan melalui tugas subak cilik. Tugas tersebut dapat penulis jabarkan
sebagai berikut:
1. Edukasi
Subak cilik akan melakukan edukasi pada saat sangkep subak (rapat bulanan) hal ini
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan bertanggung jawab agar semua
anggota subak yang mayoritas sudah berusia diatas 40 tahun lebih memahami
pentingnya menjaga daerah aliran sungai. Pada sangkep subak, anggota subak cilik
akan menjelaskan mengenai pentingnya menjaga lingkungan, serta dampak-dampak
yang akan timbul dari membuang sampah ke sungai. Anggota subak cilik juga akan
menjelaskan kepada krama subak mengenai tugas-tugas yang akan dilaksankan oleh
subak cilik ini untuk menjaga lingkungan sungai sekaligus untuk menumbuhkan
ajaran Tri Hita Karana dikalangan generasi muda.
2. Mengawasi
Subak cilik yang dibentuk memiliki program kegiatan baik program harian,
mingguan, bulanan, dan tahunan. Salah satu dari program harian subak cilik ialah
mengawasi daerah aliran sungai (DAS) setiap hari dengan menerapkan sistem piket,
setiap sungai memiliki koordinator serta anggota subak cilik yang bertanggung jawab
menjaga sungai tersebut agar terbebas dari sampah yang telah memiliki jadwalnya
masing-masing. Masyarakat yang ketahuan membuang sampah ke sungai oleh subak
cilik, pertama-tama anggota subak cilik akan menegur orang tersebut dan kemudian
akan ditindak lanjuti oleh pihak yang berwenang yaitu kelian adat dan bendesa adat
setempat.
Sistem subak yang berlandaskan Tri Wujud pelaksanaan Tri hita karana
hita karana
Parhyangan Air dianggap sangat bernilai &
7
dihormati dan merupakan ciptaan
Tuhan
Adanya pura sebagai tempat
pemujaan Tuhan
Secara rutin menyelenggarakan
upacara keagamaan
Pawongan Pengelolaan air irigasi dengan
konsep harmoni dan kebersamaan
Adanya kegiatan gotong royong
dan pembayaran iuran untuk
mensukseskan kegiatan subak
Diadakanya rapat subak secara
rutin
Palemahan Disediakan lahan khusus untuk
bangunan suci pada lokasi yang
dianggap penting
Lahan yang tersisa pada lokasi
bangunan, dimanfaatkan sebagai
bangunan suci, sehingga konflik
atas lahan itu dapat dihindari.
Table 1. Penerapan ajaran Tri Hita Karana
8
Serta dari pembentukan subak cilik ini, akan memberikan edukasi bagi masyarakat
khususnya generasi muda dikalangan SMP-SMA tentang pentingnya menyelaraskan
dan menyeimbangkan ajaran Tri Hita Karana yang dapat dijadikan pedoman dalam
bertingkah laku di kehidupan sehari-hari untuk mencapai keharmonisan hidup.
Mencintai kearifan lokal subak, dapat dijadikan salah satu filter dalam
menghadapi masyarakat yang suka mencemari lingkungan yang menyebabkan
gagalnya penciptaan hubungan yang harmonis serta ajaran Tri Hita Karana,
khususnya ajaran Tri Hita Karana gatra Pawongan yaitu hubungan yang harmonis
antara manusia dengan lingkunganya. Serta mencintai kearifan lokal subak dapat
dijadikan pedoman dalam menumbuhkan jiwa keagamaan Hindu pada generasi
9
milenial melalui ajaran Tri Hita Karana yang ada didalamnya. Permasalahan ini
dapat diatasi, dengan membentuk sebuah kegiatan inovatif yaitu organisasi subak
cilik yang akan mengedukasi masyarakat khususnya kaum milenial dengan
meningkatkan dan menumbuhkan ajaran Tri Hita Karana untuk mencapai
keharmonisan hidup.
10
DAFTAR PUSTAKA
Windia, W., Pusposutardjo, S., Sutawan, N., Sudira, P., & Arif, S. S. (2005). Sistem
Irigasi Subak Dengan Landasan Tri Hita Karana (THK) Sebagai Teknologi
Sepadan Dalam Pertanian Beririgasi. SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi
Pertanian, 5(3), 43939.
Dengan ini saya menyatakan bahwa naskah essay yang saya sertakan dalam
Lomba Esai Vidhafest 2021 yang diselenggarakan oleh KMH ITB, adalah benar-
benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan hasil plagiarisme karya milik orang
lain. Belum pernah diikutkan dalam segala bentuk perlombaan dan belum pernah
dimuat di manapun, serta saya bersedia karya saya digunakan untuk
kegiatan/publikasi KMH ITB.
Apabila di kemudian hari ternyata karya saya tidak sesuai dengan pernyataan
ini, maka secara otomatis karya saya dianggap gugur dalam perlombaan ini.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.