Anda di halaman 1dari 7

Essay

PENTINGNYA MEMAKNAI PELAKSANAAN TUMPEK WARIGA


YANG BERLANDASKAN TRI HITA KARANA DALAM
AJARAN AGAMA HINDU
Guna Melengkapi Tugas Individu
Mata Perkuliahan Khusus Agama Hindu
Dosen Pengampu : Dr. I Gede Astawan, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh :
Ni Kadek Dyah Wulantari (2017051226)
Rombel 29

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN

GANESHA SINGARAJA

2020/2021
BAB I
PENDAHULUA
N

Bali terkenal dengan kebudayaan, keunikan, dan ke khasnya yang tumbuh dari jiwa
Agama Hindu. Setiap kegiatan keagamaan mengandung unsur-unsur religi dan spiritual, serta
kepercayaan tersebut masih dibawa sampai sekarang oleh masyarakat di Bali yang beragama
Hindu. Umat Hindu memiliki cara untuk menunjukkan rasa terimakasihnya kepada alam
yang telah memberikan kemakmuran hidup dengan upacara yang disebut dengan Tumpek
Wariga. Bagi sebagian masyarakat Hindu Bali makna yang terkandung di balik perayaan
Tumpek Wariga tersebut bukanlah hal yang utama. Masyarakat larut dalam perayaan tanpa
mengetahui makna dan hakekatnya. Disisi yang lain tampak bahwa sekarang tradisi Tumpek
Wariga dalam pemaknaannya nampak masih kurang, hal ini bisa dilihat dari periode tahun ke
tahun banyak jalur hijau yang dialih fungsikan menjadi perumahan, terjadi banjir dan tanah
longsor dibeberapa wilayah saat musim hujan.
Pelaksanaan Tumpek Wariga di Bali mengalir dari konsep Tri Hita Karana. Implikasi
Tumpek Wariga terhadap masyarakat diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan baik secara sekala maupun secara niskala
demi kelangsungan hidup manusia.
Agama adalah kepercayaan atau keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta ajaran-
ajaran-Nya. Budaya atau kebudayaan adalah apa yang dihasilkan manusia melalui cipta, rasa
dan karsanya. Kedua istilah itu, agama dan budaya memang berbeda dan dapat dipilah, tetapi
dalam pelaksanaannya sama sekali tidak bisa dipisahkan. Sebab apa yang diperintahkan oleh
ajaran-Nya, akan dilaksankana oleh umat manusia yang adalah makhluk berbudaya. Sehingga
antara praktek keagamaan dengan aktivitas kebudayaan menjadi satu kesatuan dalam
kehidupan manusia. Begitupun dengan masyarakat Hindu di Bali, setiap kegiatan yang
dilakukan tidak terlepas dari dimensi agama dan budayanya. Agama menjadi jiwa atau
rohnya, sementara budaya sebagai unsur materinya. Dengan demikian setiap kegiatan agama
sudah dijabarkan ke dalam aktivitas budaya, sementara setiap kegiatan budaya sudah tentu
dijiwai oleh ajaran Agama Hindu. Aktivitas keagamaan berupa upacara sering disebut dengan
upacara yadnya. Yadnya merupakan perbuatan yang berdasarkan Dharma, dilakukan dengan
tulus ikhlas dan kesadaran, yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pelaksanaan yadnya di Bali, memiliki sistem dan bentuk atau struktur yang lengkap sesuai
dengan kerangka dasar Agama Hindu. Segala kegiatan keagamaan baik untuk
dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa maupun kepada semua makhluk
didasari atas rasa tulus ikhlas. Ini dilakukan demi menjaga keseimbangan antara hubungan
manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan manusia dengan sesamanya (Pawongan),
dan hubungan manusia dengan lingkungan atau alam sekitar (Palemahan). Ketiga hubungan
itu dalam Agama Hindu disebut Tri Hita Karana yakni tiga penyebab kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia, baik di dunia (Jagadhita)
maupun di surga atau Moksa. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan
atau alam sekitar oleh Agama Hindu di Bali diwujudakan dengan upacara ritual yang
dilaksanakan setiap hari saniscara (sabtu) Kliwon Wuku Wariga yang sering disebut Tumpek
Wariga, Tumpek Uduh, Bubuh, Pengatag dan Tumpek Pengarah. Upacara Tumpek Wariga
termasuk dalam upacara yang berdasarkan Pawukon sehingga perayaannya jatuh setiap enam
bulan (210 hari) sekali berdasarkan kalender Bali. Upacara ini telah dilakukan dari zaman
dahulu dan diwariskan oleh leluhur secara turun temurun oleh masyarakat Bali. Dalam
upacara Tumpek Wariga, keharmonisan lingkungan merupakan salah satu unsur penting yang
terkandung dalam mencapai satu tujuan dari kehidupan umat beragama.
Upacara Tumpek Wariga adalah jenis upacara yang dilaksanakan untuk memohon
keselamatan terhadap lingkungan hidup khususnya tumbuh-tumbuhan. Permohonan
dulakukan melalui suatu persembahan yadnya yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Tuhan dalam manifestasinya sebagai penguasa alam khususnya tumbuh-tumbuhan
dalam ajaran Agama Hindu disebut sebagai Sang Hyang Sangkara. Selain itu, upacara
Tumpek Wariga juga sebagai ungkapan syukur dan terimakasih Umat Hindu atas segala
anugrah-Nya berupa tumbuh-tumbuhan dengan harapan tumbuh-tumbuhan tersebut
dianugrahi keselamatan dan kesuburan sehingga memberikan hasil yang banyak baik berupa
daun, bunga, dan buah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia serta sebagai sarana
persembahyangan pada hari raya Galungan yaitu 25 hari setelah Tumpek Wariga.
Pemahaman masyarakat yang kurang terhadap tata ruang lingkungan sehingga
mengakibatkan tata ruang lingkungan menjadi terhimpit dan mengakibatkan banyak terjadi
permasalahan terhadap lingkungan. Permasalahan ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar
yang mayoritas padat penduduk, tetapi juga di daerah-daerah yang jumlah penduduknya tidak
terlalu banyak, seperti di Desa Taro.
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam menjalankan konsep palemahan, masyarakat Bali memiliki beragam cara melalui
kearifan lokalnya. Kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia
dalam kehidupan di dalam komunitas ekologisnya. Tidak hanya menyangkut pengetahuan
dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik diantara
manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang
manusia dengan alam dan bagaimana relasi diantara penghuni komunitas ekologis ini harus
dibangun. Salah satu kearifan lokal masyarakat Bali yang berkaitan dengan konsep
palemahan dalam Tri Hita Karana adalah pelaksanaa Tumpek Wariga.
Tumpek Wariga merupakan hari penghormatan kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya
sebagai Sang Hyang Sangkara yang menciptakan tumbuh-tumbuhan dan yang sangat berguna
bagi kehidupan manusia. Dalam pelaksanaannya, masyarakat Bali khususnya di Desa Taro
selalu melaksanakan upacara tersebut dengan baik. Masyarakat meyakini dengan
melaksanakan upacara Tumpek Wariga maka akan memberikan kesuburan bagi tumbuh-
tumbuhan yang telah diupacarai. Masyarakat memaknai Tumpek Wariga sebagai otonan dari
tumbuh- tumbuhan dan sebagai wujud kedekatannya dengan lingkungan alam sekitar.
Masyarakat di Desa Taro memahami dengan baik perayaan Tumpek Wariga sebagai
penghormatan kepada tumbuh-tumbuhan.
Tumpek Wariga jatuh pada hari Saniscara Kliwon Wuku Wariga atau 210 hari sekali.
Tumpek Wariga juga disebut Tumpek Bubuh, Tumpek Uduh, Tumpek Pengatag atau Tumpek
Pengarah, masing-masing sebutan itu memiliki ciri-ciri tersendiri tetapi tetap memiliki satu
tujuan dan satu makna. Pelaksanaan upacara Tumpek Wariga adalah merupakan hari
peringatan turunya kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi dalam Swabhawa-Nya sebagai
Sang Hyang Sangkara ke dunia untuk menganugrahkan kesuburan serta kemakmuran alam
semesta beserta isinya, khususnya bagi Umat Hindu. Sang Hyang Sangkara adalah sebagai
Dewa tumbuh-tumbuhan baik yang berada di Bhuawana Agung (Makrokosmos), maupun
yang berada di Bhuwana Alit (Mikrokosmos), agar ekosistem antara lain alam semesta serta
seisi alamnya dapat berjalan dengan harmonis. Pelaksanaan hari Tumpek Wariga telah
dilaksanakan oleh masyarakat Desa Taro sejak dahulu secara berkesinambungan dan sudah
diwariskan secara turun temurun. Dan biasanya masyarakat di Desa Taro bersembahyang
bersama di Pura Nandini yang berada di kawasan Yayasan Lembu Nandini karena dari dulu
tempat ini sudah menjadi sebuah tradisi untuk menjalankan pelaksanaan Tumpek Wariga.
Tumpek Wariga merupakan awal dari rangkaian Hari Raya Galungan. Umat Hindu
melakukan sujud sembah bhakti kehadapan-Nya karena berkat rahmat dan anugerah
Beliaulah yang menguasai ciptaannya, tumbuh-tumbuhan ada dan dimanfaatkan oleh umat
Hindu.
Mengenai Tumpek Wariga dilaksanakan secara turun-tumurun dari dahulu mungkin pra
Hindu sudah ada. Ditinjau dari segi sejarah khususnya pada zaman mulai bercocok tanam
manusia sudah berkembang hidup bertani. Sejak itu pun manusia sudah percaya akan adanya
kuasa gaib yang menguasai tumbuh-tumbuhan atau pepohonan yang sering kita sebut
Dinamisme. Kemudian ketika zaman Hindu disempurnakan lagi melalui sumber-sumber
sastra guna memperkuat dan merawat iman umat Hindu.

Kaitan Tumpek Wariga Dalam Pelestarian Lingkungan


Manusia merupakan faktor terpenting dalam usaha pelestarian lingkungan. Hubungan
manusia hendaknya harmoni dengan lingkungan alam (palemahan) Tumpek Wariga
memberikan cerminan pada umat Hindu agar lingkungan alam dilestarikan, karena manusia
tidak bisa hidup tanpa lingkungan alam. Dalam melestarikan lingkungan hari Tumpek Wariga
memberi arti, fungsi dan makna yang patut kita lakukan dalam tindakan nyata. Hubungan
manusia dengan lingkungan bagaikan rantai saling membutuhkan. Seperti yang disebutkan
dalam Bhagawadgita III. 14 "Dari makanan makhluk menjelma dan dari hujan lahirnya
makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan".
Lingkungan alam juga mempengaruhi eksistensi manusia Alam yang panas, dingin, sejuk,
polusi dan sebagainya dapat mempengaruhi hidup manusia bahkan sampai karakter
(kejiwaan) manusia itu. Maka dari itulah perlu mengenali diri sendiri dalam hubungannya
dengan lingkungan alam. Perayaan Tumpek Wariga memberi hakekat bahwa manusia harus
serasi dengan alam dan jangan sampai terasing akan dirinya dan lingkungan alamnya. Untuk
itulah alam ini perlu dilestarikan karena begitu banyak dan mulianya pemberian lingkungan
alam pada diri kita. Dapatlah dibayangkan bagaimana kalau hidup manusia tanpa tumbuh-
tumbuhan, pohon, buah-buahan. Begitu banyak sesuatu yang telah diberikan alam pada diri
kita demi kesehatan dan kesejahteraan mental jasmani.
Dalam pelaksanaan upacara Tumpek Wariga ada suatu tradisi lokal khususnya di Bali
yang sangat erat kaitannya dengan pelestarian lingkungan seperti yang disebutkan dalam
sesontengan/saha (puja) yaitu kurang lebih "Kaki kaki tiang mapangarah buin slai (25) dina
Galungan mabuah nged, nged, nged". Hal ini menunjukkan bahwa umat Hindu khususnya di
Bali sudah punya konsep pelestarian agar apa yang ditanamnya dan lingkungan alamnya
dapat memberikan kesejahteraan yang selalu dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Di
samping itu pula ada tradisi lokal seperti hutan dipandang sesuatu yang tenget (angker)
karena konon disana ada penghuninya. Kemudian apabila menebang pohon hendaknya ujung
dari pohon yang ditebang ditancapkan kembali diatas tebangan pohon tersebut. Ada pula bila
hendak menanam tumbuh-tumbuhan menggunakan hari baik dan buruk yang sering disebut
dewasa nandur. Hal ini menunjukkan bahwa umat Hindu bukan hanya menikmati hasil dari
tumbuh- tumbuhan tapi ia juga melestarikannya. Konsepnya adalah menanam (utpeti),
memelihara (stithi), memanen (pralina) bersiklus bak rantai makanan. Melalui perayaan
Tumpek Bubuh ini
sejatinya umat diingatkan betapa pentingnya merawat alam dengan menanam tumbuh-
tumbuhan. ”Tak hanya tumbuhan yang buahnya berguna untuk sumber makanan, tetapi juga
pohon-pohon untuk menjaga keseimbangan alam menghasilkan oksigen dan menyerap polusi
udara. Jika lingkungan khususnya tumbuh-tumbuhan secara kuantitas dan kualitas tidak
sesuai dengan kebutuhan maka manusia akan menjadi sangat menderita. Karena itu, sangat
wajar umat memberikan dukungan sepenuhnya kepada petani. Tumbuh-tumbuhan, kata
Jendra, telah memberikan banyak manfaat bagi umat manusia. Tumbuh-tumbuhan
memberikan prana berupa oksigen, keteduhan, perlindungan dan sumber makanan bagi
manusia. Bahkan, dalam Canakya Nitisastra dan sumber-sumber lainnya disebutkan,
sesungguhnya hidup manusia dengan lingkungan saling mengisi atau saling melengkapi yang
dikenal dengan istilah simbiosis mutualisme. Jika lingkungan mengalami disharmoni, tentu
akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Misalnya, jika hutan yang tersedia
mengalami kegundulan akibat adanya penebangan liar, maka uap air sebagai cikal bakal
hujan tidak akan bisa menghendap. Demikian juga bila terjadi hujan lebat, akan terjadi banjir
besar karena tidak ada pohon yang menahan air. Dikatakan, ditinjau dari nuansa religius
spiritual, tumbuh-tumbuhan adalah evolusi lebih awal dari kehidupan manusia. Hal itu diakui
oleh Darwin dan Maharsi Patanjali. Ditinjau dari kebutuhan manusia akan makanan, tumbuh-
tumbuhan telah memberi penghidupan. Karena itu, Tumpek Wariga ini mesti dijadikan
tonggak untuk memelihara kelestarian lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan. Apalagi, di
Bali saat ini hutan-hutan mulai gundul, bahkah kini telah ditebang untuk pemukiman. Ini
tentu akan sangat mengganggu ekosistem yang ada.
Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada
tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat
manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan.
Mulai dari pangan, sandang hingga papan. Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek
Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi ala Bali. Tumpek
Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat
manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat
dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak
lingkungan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Upacara Tumpek Wariga merupakan suatu
upacara yang bermanfaat bagi kelestarian lingkungan khususnya dalam pelestarian tumbuh-
tumbuhan. Karena memiliki makna yang sangat mulia. Dimana kita sebagai manusia harus
saling menjaga hubungan baik dengan Tuhan (Parahyangan), menjaga hubungan baik dengan
sesama manusia (Pawongan), dan hubungan baik dengan lingkungan atau tumbuh-tumbuhan
(Palemahan) sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab keseimbangan alam
semesta). Dengan dilaksanakannya tumpek wariga ini, manusia setidaknya bisa ingat atas
jasa- jasa tumbuhan kepada manusia, sehingga manusia dapat menjaga lingkungan, dan
sebaliknya lingkungan juga dapat menjaga kita sesuai dengan hukum aksi reaksi.

Anda mungkin juga menyukai