Anda di halaman 1dari 2

Konsep Hindu Tentang Pelestarian Lingkungan

Kategori : Artikel Baru


"Ketika produk konsumer dijadikan media pembentukan personalitas, gaya
hidup, dan status sosial telah merasuki sukma insan manusia Bali, maka
eksploitasi pada lingkungan alam untuk memenuhi semua kebutuhan itu sulit
dihindari"
Terkait dengan pelestarian lingkungan Gunadha dan Dharmika (t.t) mencoba
mencermati berbagai krangka konseptual Hindu dalam konteks pelestarian
lingkungan. Misalnya, upacara Tumpek Bubuh misalnya yang dilaksanakan pada
Saniscara Kliwon wuku Wariga setiap 210 hari sekali, dapat dimaknai sebagai usaha
untuk melestarikan lingkungan.
Upacara ini dilakukan dalam rangka pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan. Dasar
dilaksanakan upacara ini adalah filosofi memberi sebelum menikmati. Dalam
pelestarian sumber daya hayati, maknanya bahwa sebelum manusia menikmati
hasil-hasil alam, harus didahului dengan kegiatan penanaman atau pemeli-haraan
pohon, sebagai rasa sujud bhakti kita pada Hyang Widhi yang telah melimpahkan
rakhmat-Nya pada dunia
Demikian juga Tumpek Kandang , tiap Saniscara Kliwon wuku Uye, menyatakan
ucapan terima kasih pada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa
Pasupati pencipta binatang atau hewan piaraan. Sebab dengan hewan-hewan
piaraan, manusia dapat memperoleh sumber kehidupan berupa protein yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Dengan hewan piaraan, manusia dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya yang lain, dengan cara menjual hewan itu, untuk berbagai
kebutuhan hidup lainnya.
Di Bali juga dikenal kearifan lokal (local genius) berupa kepercayaan tidak boleh
menebang bambu pada hari Minggu, tidak boleh menebang kayu untuk bangunan
jika harinya berisi ' 'was " (menurut kalender Bali hari was datang setiap enam hari
sekali). Banyak lagi nilai kearifan lokal lainnya terkait konsep pelestarian lingkungan.
Masyarakat Hindu di Bali juga menyadari bahwa lingkungan hidup merupakan suatu
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk
di manusia dan perilakunya.
Kajian ini memperlihatkan bahwa secara konseptual sebenarnya masyarakat Hindu
di Bali memiliki banyak nilai kearifan lokal dalam konteks pelestarian lingkungan
yang terakumulasi dalam filosofi Tri Hita Karana, yakni harmonisasi hubungan
manusia dengan Tuhan (unsur Parah-yangan); harmonisasi hubungan antar
manusia (unsur Pawongan); dan harmonisasi hubungan manusia dengan
lingkungannya (unsur Pale-mahan). Kepemilikan konseptual seperti itu, ternyata
belum banyak memberi manfaat praksis kepada masyarakat. Sebab dalam
kenyataannya filosofi Tri Hita Karana yang dimiliki umat Hindu di Bali hanya berhenti
pada tataran konsep. Artinya, meski secara konsep masyarakat Hindu di Bali sangat
kaya berbagai konsep pelestarian lingkungan, seperti larangan menebang pohon di
hari tertentu, ritual Tumpek Wariga, Tumpek Uye, seperti uraian di atas namun
kenyataannya pelestarian lingkungan itu masih jauh dari yang diharapkan. Tahun
2002 saja kerusakan hutan di Bali, sebagai refresentasi dari kerusakan lingkungan
mencapai 5.789,96 yang disebabkan berbagai hal. Pertama, karena kebakaran men-
capai luas 544,19 ha, dan kedua, karena pembibrikan mencapai luas 5.245,77 ha,
sedangkan kerusakan hutan yang dikarenakan pencurian mencapai 83,17 m3/ ph
(Dishut Prov Bali, 2002).
Berangkat dari fenomena di atas dan jika mangacu pada Kraf (2002) dan Atmadja
(2010) dapat dikatakan bahwa etika lingkungan ekosentrisme atau holistik yang
dianut manusia Bali kini telah berubah menjadi etika antroposentrisme. Artinya,
manusia tidak hanya mengambil jarak dengan lingkungan alam, tapi juga
menganggap dirinya sebagai pusat segala-galanya. Atau dengan paparan yang
tidak jauh berbeda Chang (2000) mengatakan bahwa modernisasi mengakibatkan
sistem pemikiran ekologis beruban menjadi sistem filsafat utilitarianisme dan
pragmatisme. Artinya, penganut filsafat ini selalu berusaha mendapa manfaat
sebesar-besarnya dari lingkungan tanpa memperhatikan dampaknya. Untuk
mengatasi semua ini, dapat dilakukan dengan cara menghindari pola hidup
materialisme konsumerisme. Sebab menurut Piliang (2004:307) dalam budaya
konsumerisme, konsumsi tidak lagi dimaknai sebagai satu lalulintas kebudayaan
benda, akan tetapi sudah menjadi sebuah panggung sosial yang di dalamnya
makna-makna sosial saling diperebutkan, dan di dalamnya pula terjadi perang posisi
antara anggota masyarakat yang terlibat. Bukan hanya itu, budaya konsumerisme
yang berkembang saat ini, juga telah menjadi arena kontestasi, yang di atasnya
produk-produk konsumer dijadikan medium untuk pembentukan personalitas, gaya,
citra, gaya hidup, dan cara difrensiasi status sosial yang berbeda. Ketika kondisi ini
telah merasuk ke dalam sukma setiap insan manusia Bali, maka eksploitasi
terhadap lingkungan alam untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut sulit
dihindari. Guna mengatasi semua itu mari kita semua melakukan mulat sarira,
introspeksi diri, menghormati lingkungan alam tempat kita berpijak hari ini, sebab
semua ini merupakan titipan Tuhan untuk para generasi kita ke depan.
Source: I Ketut Suda guru Besar Bidang Sosiologi Pendidikan UNHI l Wartam Edisi
ke-4 Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai