Anda di halaman 1dari 11

SOLIDARITAS SOSIAL MASYARAKAT SUKU BUGIS DALAM TRADISI

MAPPATETTONG BOLA

Dini Dayanti

ABSTRAK

Artikel ini menguraikan mengenai Solidaritas Sosial masyarakat suku Bugis dalam tradisi
Mappatettong Bola. Penelitian ini menggunakan teknik kajian pustaka pengumpulan data
dengan melalui telaah kepustakaan secara mendalam baik melalui buku-buku, ertikel-artikel
terkait dan penelitian terdahulu terkait tradisi Mappatettong Bola. Sehingga ditemukan
beberapa pertanyaan yang muncul yaitu; (1) Pandangan Masyarakat suku Bugis terhadap
tradisi Mappatettong Bola, (2) bagaimana Tahap-tahap atau proses pelaksanaan dalam proses
Mappatettong bola, (3) Nilai gotong royong dalam tradisi Mappatettong Bola, (4) Nilai
Religius Dalam tradisi Mappatettong, (5) Fungsi Agama yang terkandung dalam tradisi
Mappatettong Bola, (6) Fungsi Sosial yang terkandung dalam tradisi Mappatettong Bola.

Kata kunci: Tradisi, Mappatettong Bola, Solidaritas

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk terdiri dari
beberapa suku, agama, budaya dan adat istiadat (Furnivall). Suku-suku tersebut masih tetap
mempertahankan keaslian adat istiadat, tradisi dan kebudayaannya. Salah satu aspek yang
sangat menarik dari kebudayaan di Indonesia secara keseluruhan adalah keaslian budaya
beberapa daerah yang masih kental dan masih tetap dipertahankan (Syamsunardi, 2022).

Setiap suku memiliki tradisi yang berbeda dengan suku lainnya, karena setiap tradisi
merupakan identitas yang dimiliki oleh suku tersebut. Tradisi yang ada harus dilestarikan,
adat istiadat serta budayanya harus tetap dijaga. Budaya yang ada adalah makna kehidupan
sosial dan kerja kreatif sosial. Untuk memahami bahwa budaya adalah mekanisme kontrol
atau cara tingkah laku manusia. Manusia sebagai masyarakat tidak bisa sendiri, dan tidak bisa
hidup tanpa manusia lain atau tanpa lingkungan (Widiyastuti, 2020).

Salah satu suku yang masih mempertahankan budaya, tradisi dan adat istiadatnya di
Indonesia adalah suku Bugis. Suku bugis terletak dan berkembang di provinsi Sulawesi
Selatan. Dalam perkembangannya, masyarakat bugis mengembangkan kebudayaan bahasa,
aksara lontara dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan bugis yang besar antara
lain Luwu, Bone, Soppeng, Pinrang, Sidenreng Rappang. Suku bugis yang menyebar di
beberapa Kabupaten memiliki adat istiadat dan budaya yang masih di pertahankan
keberadaannya.

Salah satu tradisi yang masih di pertahankan oleh suku Bugis yaitu tradisi Mappatettong Bola
yang sangat kental akan jiwa kebersamaan dan solidaritas dalam masyarakat. Dalam suatu
masyarakat bugis terdapat aspek utama yaitu hubungan kekerabatan dan kebersamaan yang
dianggap memiliki nilai sangat penting dalam suatu tatanan masyarakat yang terimplementasi
dalam tradisi Mappatettong Bola oleh masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan..

Budaya merupakan warisan leluhur yang harus dijaga keberadaannya yang penuh dengan
makna sesuai dengan tata pola kehidupan sosialnya. Demikian pula budaya masyarakat Suku
Bugis terdapat banyak hal yang perlu diungkapkan, seperti dalam tradisi “Mappatettong
Bola”. Yang memiliki proses atau tahap mekanisme dalam pengerjaannya serta adat
istiadatnya hingga berdirinya rumah panggung yang dilakukan secara gotong royong dan
pemaknaan mengenai pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat setempat.

Tradisi Mappatettong Bola sangat penting dipertahankan, karena ia merupakan bagian


identitas suku Bugis dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk
mempertahankan nilai-nilai tradisi kearipan lokal yang dimiliki Sulawesi Selatan. Maka
dengan adanya tradisi ini hubungan antara masyarakat dengan masyarakat yang lainnya
semakin baik dan bisa meningkatkan atau bisa menjaga persaudaraan mereka dalam tradisi
Mappatettong Bola ini.

METODE

Sesuai dengan obyek kajian, maka jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian
kepustakaan (library research), penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan
dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan
hasil penelitian terdahulu.

Teknik kepustakaan adalah “penelitian kepustakaan yang dilaksanakan dengan cara


membaca, menelaah dan mencatat berbagai literatur atau bahan bacaan yang sesuai dengan
pokok bahasan, kemudian disaring dan dituangkan dalam kerangka pemikiran secara
teoritis”. Teknik ini dilakukan guna memperkuat fakta untuk membandingkan perbedaan dan
atau persamaan antara teori dan praktek yang sedang penulis teliti.

KAJIAN PUSTAKA
1. Tinjauan tentang Tradisi
a. Pengertian tentang Tradisi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia tradisi mengandung arti adat kebiasaan turun-
temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat.

Tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai


budaya yang bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat
bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun Terhadap hal-hal yang
bersifat gaib dan atau keagamaan.

Menurut Hakim secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian


tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini. Ia menunjuk kepada
sesuatu yang diwarsikan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa
sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik
dalam kehidupan yang bersigat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau
keagamaan.

b. Proses lahirnya Tradisi

Dari penjelasan di atas dapat dipahami atau menunjukkan bahwa proses lahirnya
tradisi atau kebiasaan. Dimulai dari manusia melalui pikiran, kehendak dan perilakunya
kemudian berubah menjadi suatu kebiasaan dari kebiasaan berkembang menjadi adat dan
selanjutnya menjadi hukum adat.

2. Pengertian tradisi “Mappatettong Bola”

Menurut pandangan masyarakat bugis, bahwa bagi setiap manusia bugis, Memiliki 7
fase utama yang dianggap sebagai peristiwa sakral yang Penyelenggaraannya senantiasa
diikuti suatu proses ritual dalam menjalani kehidupannya, yakni : esso rijajiangna (hari
kelahirannya), esso ripasellengna (hari pengislamannya/ sunatan), esso ripalebbinna (hari
khotaman Qur’an), esso ripabbotingenna (hari pernikahannya), essi ripabbolana (hari
pembangunan rumahnya), esso ripahhajjinna (hari menunaikan ibadah hajji), dan esso
rimatenna (hari kematiannya/ hari wafatnya).

“Mappatettong bola” terdiri dari dua kata yaitu “Mappatettong” dan “bola” yang
dimana “Mappatettong” berarti mendirikan sedangkan “Bola” berarti rumah sehingga
“Mappatettong bola” dalam bahasa Indonesia di kenal dengan mendirikan kerangka rumah
panggung khas masyarakat suku bugis.

“Mappatettong Bola” adalah salah satu upacara ritual yang diwariskan secara turun
temurun oleh nenek moyang yang dipercaya dalam suatu kelompok masyarakat. Tradisi ini
begitu penting nilai yang terkandung dalam upacara ritual “Mappatettong Bola”, hal ini
dibuktikan dalam setiap prosesnya yang selalu memiliki makna.

3. Teori Solidaritas Sosial Emile Durkheim

Durkheim dalam paradigma ilmu sosial masuk pada paradigm fakta sosial. Hal ini tampak
dari konsep teorinya yang terkenal tentang jiwa kelompok yang dapat mempengaruhi
kehidupan individu. Masyarakat terbentuk bukan karena kesadaran kontrak sosial, melainkan
atas kesadaran kelompok (collective consciousness) (Wirawan. 2012:17).

Konteks sosial yang melatar belakangi Emile Durkhem adalah adanya pembagian kerja sosial
dalam masyarakat tidaklah selalu homogen dan juga drastis dalam pengembangannya. Dari
sisi ini Durkhem melihat bahwa pecah dan berkembangnya kesatuan-kesatuan sosial
merupakan akibat langsung dari berkembangnya pembagian kerja sosial dalam masyarakat.

Emile Durkheim melihat perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan
demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat
solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas
organistik (Abd.Rasyid Masri. 2012:19).

Durkheim menguraikan dua tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas
organis.

a. Solidaritas Sosial Mekanik

Durkhem percaya bahwa solidaritas yang dianut adalah masyarakat primitive adalah
solidaritas mekanis, sebab manusianya belum berbagi-bagi dan masih terikat oleh
persahabatan, ketetanggaan dan kekerabatan seolah-olah mereka diikat dengan kekuatan
eksternal (external force) saja. Solidaritas masyarakat di pandang oleh Durkhem sebagai
kesatuan integrasi dari fakta-fakta sosial. Masyarakat memiliki kesadaran kolektif yang
membuahkan nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang ideal bagi
individu. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu padu karena
seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat
aktivitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama (Prof.
Dr. Wardi Bachtiar. M.S. 2006:88).

Masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah perilaku dan sikap.
Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim, seluruh anggota masyarakat diikat oleh
kesadaran kolektif, hati nurani kolektif yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup
keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstrim serta memaksa
(Kamanto Sunarto. 2004:128).

Kondisi seperti ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana. Belum terdapat
saling ketergantungan diantara kelompok yang berbeda karena masing-masing kelompok
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri karena masih didominasi oleh kesadaran kelompok
atau kesadaran kolektif.

b. Solidaritas Sosial Organik

Solidaritas organik menurut Durkhem dikarakteristik dengan spesialisasi, divisi buruh dan
saling ketergantungan. Durkhem menyajikan sosiologi pengetahuan dan fakta-fakta moral
memiliki dualitas. Fakta-fakta ini menimbulkan respek dan rasa memiliki kewajiban.
Durkhem berpenderian bahwa pemikiran bergantung pada bahasa dan bahasa bergantung
pada masyarakat (Wardi Bachtiar, M.S. 2006:90).

Masyarakat dengan solidaritas organik tingkat heterogenitas semakin tinggi, karena


masyarakat semakin plural. Penghargaan baru terhadap kebebasan, bakat, prestasi, dan karir
individual menjadi dasar masyarakat pluralistik. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas
organis bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta
bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda (George
Ritzer & Douglas J. Goodman.2008:90-91).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian di temukan beberapa pertanyaan, diantaranya yaitu,

A. Pandangan Masyarakat Suku Bugis Terhadap Tradisi Mappatettong Bola

Pelaksanaan tradisi dikalangan masyarakat bugis merupakan hal yang melagenda karena
masih tetap di jaga hingga saat ini, masyarakat meyakini bahwa pelak-sanaan Ritual ataupun
tradisi merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur mereka dan alam sebagai tempat
yang menyediakan berbagai kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup. Alam menjadi
bagian yang tidak terpisahkan Dalam kehidupan masyarakat, alam lingkungan di olah
menjadi lahan pertanian, peternakan untuk kemaslahatan umat. Begitu pun dalam
Membangun dari hutan sebagai elemen bangunan.

Masyarakat bugis melakukan berbagai ritual dalam prosesi kepemilikan rumah salah satunya
yaitu tradisi “Mappatettong Bola”. “Mappatettong Bola” merupakan proses mendirikan
kerangka rumah panggung dengan menggunakan ritual. Ritual ini memiliki makna yang
mendalam bagi masyarakat untuk kelangsungan hidup yang baik. Laressa menyatakan
bahwa: “Mappatettong Bola” itu dalam bahasa Bugis, jadi dalam Bahasa Indonesia berarti
mendirikan rumah. Yaitu rumah panggung dengan beberapa langkah-langkah dan ada yang
namanya tradisi adat. Ini tradisi merupakan tradisi orang-orang dahulu yang dilakukan tidak
lain untuk meminta keselamatan dan kenyamanan dalam menempati rumah dan sekarang
menjadi tradisi yang dijaga sampai sekarang.

B. Tahap-tahap atau proses pelaksanaan dalam proses Mappatettong bola

Pelaksanaan Tradisi adat “Mappatettong Bola” masyarakat Suku Bugis melakukan berbagai
ritual dalam prosesi kepemilikan rumah. Rumah tradisional bugis atau yang disebut rumah
panggung di dominasi oleh tiang (Alliri), pasak (Pattolo), tiang dilubangi sesuai dengan
besaran atau dimensi dari pasak yang saling terangkai dan terhubung hingga membentuk
konstruksi rumah panggung Setelah Proses pengerjaan rangkai rumah baru kemudian
diadakanlah tradisi “Mappatettong Bola” yang dipimpin oleh Pua imam atau Sandro bola
yang dipercayai oleh si pemilik rumah untuk memimpin ritual kemudian Si pemilik rumah
menentukan hari yang baik untuk mengadakan tradisi tersebut. Untuk melakukan tradisi ini
ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu sebagai berikut:

a. Penentuan tempat dan waktu ritual Ritual diadakan di lokasi tempat rumah akan
didirikan. Untuk meminta kepada roh-roh halus “penjaga tanah” ataupun penjaga
tempat itu untuk meminta izin mendirikan rumahnnya. Waktu penyelenggaran ritual
disesuaikan dengan waktu yang dianggab baik oleh Sandro bola atau pua imam yang
dipertimbangkan bersama dengan pemilik rumah atau kadang juga tergantung dari
pihak pemilik rumah itu sendiri.
b. Peserta ritual Sandro Bola/Pua Imam sebagai pemimpin ritual, pemilik rumah (suami-
istri), keluarga, tetangga, tukang dan para pembantunya serta masyarakat setempat.
c. Bahan ritual Bahan ritual ini ada yang dinamakan lise Posi bola atau isi pusat rumah
yang menjadi tumpuan awal didirikan rumah. Biasanya terdapat awali (periuk) bisa
juga bakul kecil yang dianyam berisi: Gula merah Kaluku (kelapa) • Aju Cenning
(kayu manis) Buah pala. Daun sirih Setiap Lise Posi Bola memiliki makna tersendiri,
yaitu gula merah artinya kebahagiaan, kelapa artinya dalam bahasa bugis disebut
malunra yang artinya kedamaian dan kemakmuran, sedangkan kayu manis artinya
sesuatu yang baik yang diharapkan penghuni rumah dapat berperilaku baik, dan buah
pala artinya kesuksesan. Selain dari bahan isian diatas terdapat bahan lain yaitu daun
Appassili yang kemudian disimpan dalam wadah yang berisi air untuk ritual
Mangeppi artinya memercikkan air pada pusaran pusat rumah yang memiliki makna
mengusir roh-roh jahat yang menganggu proses mendirikan rumah.
d. Ritual Lise’ Posi Bola Bahan bahan ritual tersebut disimpan dalam kuali lalu ditanam
di bawa Posi Bola (Pusat Rumah) sebelum didirikan. Ritual ini dipimpin oleh Sanro
Bola di dampingi dengan pemilik rumah yaitu suami-istri besera keluarga yang duduk
disamping Panrita Bola.” Bersamaan dengan didirikannya tiang bagian pusat rumah.
Yang diiringi dengan lantunan Barasanji, pembacaan “Barasanji” berisi salawat nabi
besar Muhammad SAW.
e. Proses Mendirikan Rumah Proses mendirikan rumah ini dipimpin oleh tukang kayu
yang membuat rumah tersebut dengan bantuan instruksi dari Sandro Bola atau pua
imam yang kemudian dibantu oleh masyarakat setempat yang dikerjakan secara
gotong royong. Yang didirikan pertama kali adalah rangkaian tiang pusat (posi bola)
rumah yang dililit kain kaci beserta padi. Selama berlansungnya ritual prosesi bangun
rumah kayu tersebut, sebelum semua tiang rumah berdiri pemilik rumah harus berada
di titik tengah rumah (Posi bola) dan Sandro Bola berada pada posisi memegang Posi
Bola lalu meneriakkan “Bismillah Allahu Akbar, Patettonni.”
C. Nilai gotong royong dalam tradisi Mappatettong Bola

Dengan adanya tradisi Mappatettong bola ini, sifat dan sikap kegotong- royongan masyarakat
pun semakin tinggi karena dalam prosesnya yang menekankan perlu adanya kesatuan dan
kebersamaan.

Nilai gotong royong ini sudah menjadi salah satu ciri khas dari tradisi ini dikarenakan
dikerjakan secara bersama-sama oleh kerabat maupun tetangga serta masyarakat yang
membutuhkan bantuan banyak orang, apalagi jika rumah yang didirikan berukuran besar,
harus saling bahu membahu dalam hal yang dianggap perlu untuk dikerjakan secara bersama
sama dengan cara sukarela.
Dengan adanya tradisi Mappatettong bola ini masyarakat dapat meningkatkan hubungan
sosial dan rasa solidaritas serta kegontong royongan pun semakin kuat. Dengan adanya tradisi
Mappatettong bola ini masyarakat merasa hubungan sosial mereka semakin kuat dan sikap
gotong royong pun semakin tinggi dengan nilai kerifan dan kebersamaan yang tercipta.

D. Nilai Religius Dalam tradisi Mappatettong

Nilai Religius Dalam tradisi Mappatettong Bola terdapat juga nilai religius hal ini dapat
dilihat dalam pembacaan seperti barazanji, selain itu berisi doa-doa baik untuk kelancaran
pelaksanaan tradisi. Tradisi “Mappatettong Bola” ini di daerah lingkungan masyarakat suku
Bugis masih sering dilakukan dengan mulai mengikuti perkembangan zaman, baik itu rumah
batu maupun rumah kayu tetap tidak meninggalkan tradisi ataupun ritual “Mappatettong
Bola”. Meskipun tidak semua Panrita Bola selalu sama tata caranya akan tetapi tidak
meninggalkan tujuan maupun nilai dari tradisi “Mappatettong Bola” yaitu supaya pemilik
rumah selalu hidup berkecukupan, bahagia dan terhindar dari malapetaka.

E. Fungsi Agama yang terkandung dalam tradisi Mappatettong Bola

Kebudayaan sebagai sesuatu yang bebas nilai membuat semua orang bisa memaknai atau
memberi penilaian terhadap kebudayaan yang mereka lihat seperti apapun tergantung pada
pemaknaannya pada hal tersebut. Tradisi mappatettong bola memiliki fungsi sebagai
pemenuhan kebutuhan psikologis, yaitu kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan untuk
kebebasan dan kenutuhan akan rasa aman, mereka suku Bugis melaksanakan tradisi
mappatettong bola sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki
yang lebih sehingga mereka dapat mendirikan rumah dan juga melaksanakan tradisi
mappatettong bola ini sebagai bentuk menciptakan rasa aman kepada mereka sebelum
menempati rumah mereka dengan melakukan beberapa tahapan di dalamnya yang salah
satunya yaitu tahapan barasanji yang ke semua tahapan itu dilakukan untuk meminta
keselamatan.

Selain untuk pemenuhan kebutuhan psikologis, Ritual Agung Banyu Panguripan memiliki
fungsi sebagai kebutuhan integratif. Ungkapan Malinowski (1922) bahwa kebudayaan
merupakan aktivitas untuk pemenuhan naluri manusia yang berkaitan dengan kehidupannya.
Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan psikologis dan kebutuhan biologis. Malinowski juga
mengungkapkan ada tiga aktivitas dalam
Kebudayaan yaitu, kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis seperti kebutuhan
pangan, kebutuhan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan hukum dan
pendidikan, kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif seperti kesenian dan agama.

Malinowski dalam membuat deskripsi tentang etnografi, menerapkan teori fungsional dalam
pemenuhan kebutuhan manusia secara individual, namun melalui kehidupan sosial secara
terorganisasi dalam hukum atau nilai-nilai tertentu tujuan akhir yang akan mereka dapatkan
adalah kesepakatan nilai-nilai umum yang berlaku. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu
sistem yang terorganisir tentang aktivitas sosial yang tujuannya didasarkan atas nilai umum
dan kesepakatan bersama yang telah dibuat. Sistem nilai ini secara lebih konkrit dapat
dikaitkan menjadi norma. Prinsip-prinsip integrasi akan tercermin dalam institusi sosial dan
inilah yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Prinsip-prinsip integrasi ini merupakan bagian
dari kebutuhan dasar itu sendiri. Sementara itu hasilnya adalah kebudayaan yang diwujudkan
dalam institusi- institusi sosial. Kebudayaan sebagai respon dari kebutuhan dasar dapat
diindikasikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, sehingga mampu
memuaskan kebutuhan dasar tersebut.

Fungsi individu dalam masyarakat juga telah diatur dalam agama, hal ini telah terjadi pada
beberapa kebudayaan yang telah mengadopsi agama dalam menentukan fungsi seseorang
serta tanggung jawab yang harus dipenuhi. Fungsi yang dijalankan seseorang bergantung dari
pada seluruh status yang dibebankan padanya, contohnya sebuah fungsi yang dibebankan
pada seorang pemeluk agama akan menghasilkan kewajiban yang dibebankan agama
terhadap pemeluknya, seperti beribadah. Misalnya sebagai pemeluk agama Islam, maka
kewajibannya sebagai umat muslim adalah menjalankan sholat 5 waktu. Ketika sudah ada
sistem yang bekerja dalam masyarakat maka sebaiknya ada pengawasan daripada sistem
tersebut, kemudian dibutuhkan institusi/organisasi sosial yang nantinya bertugas sebagai
pelaksana dan pengatur sistem tersebut.

F. Fungsi Sosial yang terkandung dalam tradisi Mappatettong Bola

Dalam tradisi mappatettong bola terdapat nilai-nilai gotong royong, nilai-nilai kebersamaan
dan nilai-nilai kekeluargaan, seperti pada saat proses pendirian rumah yang dilakukan oleh
seluruh warga kampung, menyiapkan kue-kue an dan makanan yang dilakukan oleh para ibu-
ibu dan setelahnya makan bersama. Dari hal tersebut terdapat fungsi sosial dalam
pelaksanaan tradisi mappatettong bola.
Dengan adanya tradisi Mappatettong bola ini, sifat dan sikap kegotong- royongan masyarakat
pun semakin tinggi karena dalam prosesnya yang menekankan perlu adanya kesatuan dan
kebersamaan.

Nilai gotong royong ini sudah menjadi salah satu ciri khas dari tradisi ini dikarenakan
dikerjakan secara bersama-sama oleh kerabat maupun tetangga serta masyarakat yang
membutuhkan bantuan banyak orang, apalagi jika rumah yang didirikan berukuran besar,
harus saling bahu membahu dalam hal yang dianggap perlu untuk dikerjakan secara bersama
sama dengan cara sukarela.

Dengan adanya tradisi Mappatettong bola ini masyarakat dapat meningkatkan hubungan
sosial dan rasa solidaritas serta kegontong royongan pun semakin kuat. Dengan adanya tradisi
Mappatettong bola ini masyarakat merasa hubungan sosial mereka semakin kuat dan sikap
gotong royong pun semakin tinggi dengan nilai kerifan dan kebersamaan yang tercipta.

Sebagaimana masyarakat masa kini atau masyarakat modern yang memiliki tingkat
kesibukan yang tinggi, acara seperti mappatettong bola yang di dalamnya terdapat proses
berkumpulnya masyarakat mampu memunculkan rasa solidaritas di antara masyarakatnya.
Fungsi sosial disini akan sangat terasa karena mereka akan bertemu, saling sapa,
bercengkrama yang secara tidak langsung akan membentuk semacam aturan sosial.

Pernyataan diatas sesuai dengan pendapat Emile Durkheim (1979) yang menyatakan bahwa
ritual memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan sosial, salah satunya sebagai bentuk
solidaritas masyarakat, dan pendapat Clifford Geertz (1973) dalam bukunya The
Interpretation of Culture yang menyatakan: “agama sebagai sistem simbol yang bertindak
sebagai penguatan gagasan dan kelakuan dalam menghadapi kehidupan, yang dengan
menggunakan simbol-simbol atau konsep-konsep abstrak dapat diterjemahkan menjadi lebih
konkrit serta mampu memperlihatkan sesuatu yang menyelimuti konsepsi-konsepsi yang
tidak nyata menjadi seolah-olah nyata hadir dalam kehidupan”. Fungsi sosial ini juga
memperlihatkan bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial membutuhkan komunikasi
dengan sesamanya, untuk bertemu. Bermusyawarah untuk mengaktualisasi tujuan dari hal
yang sudah disepakati bersama.

KESIMPULAN

Tradisi Mappatettong Bola merupakan tradisi mendirikan kerangka rumah panggung khas
masyarakat bugis, yang masih dipertahankan hingga saat ini. Tradisi ini dilakukan dengan
berbagai tahap mulai dari pemilihan tempat dan waktu yang baik, dan proses pembuatan
kerangka bagian rumah hingga proses mendirikan kerangka rumah selesai. Makna yang
terkandung dalam tradisi Mappatettong Bola tidak lain dan tidak lepas dari tujuan
pelaksanaan tradisi yaitu untuk keselamatan dan perlindungan dari marabahaya bagi pemilik
rumah. Serta nilai-nilai yang tetap dipertahankan seperti nilai gotong royong, dan nilai
religius yang terlihat dari prose pelaksanaan tradisi Mappatettong Bola yang masih tetap
melekat dalam masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Kesuma, Andi Imma.2014. “Mappatettong Bola” wujud kegotong royongan masyarakat


bugis. Jurnal social budaya. Volume I nomor 2, oktober 2014, hal 8-9 3.

Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi Jilid 1. Jakarta: Rineka Cipta.

Marzali, Amri. (2006). Struktural Fungsionalisme. Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 30, No.
2

Rijal, Asriadi, 2017. Mappatettong Bola. Tradisi Gotong Royong Masyarakat Bugis
Kabupaten Barru

https://id.m.wikipedia.org/wiki/keberadaan

Sengkang: Menre Bola Baru (Peresmian Rumah Baru) dalam Adat Bugis
(bugisengkang.blogspot.com)

Mappatettong dan Mappalette Bola. Cara Orang Sulawesi Selatan Bekerja Sama (etnis.id)

Aktualisasi Tradisi Mappatettong Bola Wujudkan Taat Pajak di Tengah Corona – Eksepsi
Online.

Anda mungkin juga menyukai