Anda di halaman 1dari 16

FALSAFAH KEHIDUPAN DALAM MOTIF KAIN TENUN TRADISIONAL BIMA

(TEMBE NGGOLI)

Falesul Akbar
Falesul26@gmail.com

Abstrak

Dalam penelitian ini, penulis menganalisis falsafah kehidupan dalam motif kain tenun tradisional
Bima. Pembahasan ini dilakukan dengan metode semiotik. Hasil analisis menunjukan bahwa ada 7
motif yang berhasil dibahas dalam tulisan ini, yakni (1 )Bunga Satako (Bunga Setangkai) bermakna
hidup rukun dan damai, (2) Kakando (Rebung) bermakna kerja keras penuh kesabaran, (3) Nggusu
Tolu (Segi Tiga) bermakna Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi, (4) Nggusu Upa (Segi Empat)
bermakna empat sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin, (5) Nggusu Waru (Segi Delapan) bermakna
delapan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin, (6) Bunga Aruna (Bunga Nenas)
bermakna 99 sifat Allah yang harus diteladani , (7) Bali Lomba (Garis Besar) dan Bali Mpida (Garis
Kecil) bermakna lurus dalam berbuat dan jujur dalam berucap.

Kata Kunci: Falsafah, Kain Tradisional Bima

1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan tradisi dan kebudayaan. Hampir
disetiap daerah diseluruh wilayah indonesia memiliki tradisi dan kebudayaan serta
keberagaman suku dan ciri masyarakat yang masih dijunjung tinggi sampai sekarang.
Berdasarkan keberagaman suku tersebut, maka lahir dan berkembang pula kebudayaan
dari masing-masing suku yang ada diseluruh waliyah Indonesia. Budaya lahir dan
berakar dari pemikiran manusia setempat, sehingga dilakukan secara turun temurun
menjadi kebiasaan yang harus dilakukan oleh masyarakat setempat.
Budaya melebur dan mengikuti pola tatanan hidup masyarakat, sehingga
memberikan berbagai makna dalam setiap simbol dan kata. Wujud suatu budaya
menghasilkan sebuah karya yang bervariatif disetiap daerah dan memiliki keunikan serta
ciri khasnya masing-masing yang mewakili cara hidup dan karakter dari masyarakatnya.
Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang. Budaya adalah milik
sekelompok orang yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya tersusun
dari berbagai unsur yang sulit dipahami, karena dalam budaya terkandung sistem agama,
adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, karya seni, politik, dan unsur-unsur
lainnya. Budaya memiliki unsur makna dan fungsi tertentu. Oleh sebab itu, pola atau cara
hidup marupakan bagian dari dasar suatu kebudayaan.
Keberagaman yang ada di Indonesia memungkinkan lahirnya berbagai kreatifitas
yang beragam pula, seperti kreasi kerajinan tangan, dan salah satu diantaranya adalah
kerajinan tenun. Dalam pandangan masyarakat umum (Indonesia), kain tenun hanya
digunakan melindungi bagian tubuh dari cuaca panas dan dingin. Terlepas dari itu, kain
tenun menyimpan simbol-simbol yang memilki nilai-nilai religius, adat, kultural, etis dan
estetis.
Kain tenun merupakan kekayaan budaya yang perlu dilestarikan. Karena dalam kain
tenun meyimpan sejarah, mengandung nilai kehidupan, atau cara hidup yang lahir dari
pemikirin orang terdahulu yang tidak lain adalah milik bersama. Seperti halnya tembe
nggoli, tembe nggoli merupakan kain tenun tradisional daerah Bima yang menyimpan
berbagai macam makna kehidupan lewat motif yang ada pada tembe nggoli. Ada
berbagai macama motif yang ada pada tembe nggoli, yaitu Bunga Satako (Bunga
Setangkai), Kakando (Rebung), Nggusu Tolu (Segi Tiga), Nggusu Upa (Segi Empat),
Nggusu Waru (Segi Delapan), Bunga Aruna (Bunga Nenas), dan Bali Lomba (garis
besar) dan Bali Mpida (garis kecil).
Salah satu wujud kecintaan terhadap budaya yang kita miliki adalah memakai atau
menggunakan produk yang lahir dari adanya kebudayaan. Lalu muncul pertanyaan
menarik untuk generasi sekarang, terkait motif yang terdapat pada tembe nggoli. Apakah
mereka paham terkait makna dibalik motif yang terdapat pada tembe nggoli.? Penulis
rasa, sebagian besar masyarakat Bima atau pengguna tembe nggoli belum tentu paham
dengan apa yang ada dibalik motif tembe nggoli. Oleh sebab itu, penulis ingin
menganalisis makna kehidupan yang terdapat dalam motif tembe nggoli.

b. Tujuan
Tujuan penting penulis menganalisis motif yang ada pada tembe nggoli adalah
sebagai bentuk tangung jawab menyadarkan atau memberikan pemahaman kepada
masyarakat Bima (generasi milenial) terkait makna kehidupan yang diwarisi leluhur yang
perlu dilestarikan dari generasi ke generasi berikutnya. Maka, dengan adanya penulisan
seperti ini, mareka akan memahami nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam tembe
nggoli dan lebih mencintai produk lokal. Semoga dengan tulisan ini, pemerintah akan
memberikan perhatian khusus pada aspek tertentu demi perkembangan budaya
masyarakat sebagai suatu kearifan lokal.
c. Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan, lebih khususnya pada
bidang kebuyaan dan sejarah Bima. Selanjutnya, secara tidak langsung mengajak
masyarakat Bima untuk melestarikan budaya yang dimiliki, sehinga dapat dinikmati oleh
generasi selanjutnya.

2. Kajian Teori
A. Kebudayaan
a) Hakikat Kebudayaan
Taylor (melalui Suriasumantri, 2009:261), kebudayaan adalah keseluruhan yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kuntjaraningrat
(Suriasumantri, 2009:261) membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan
peralatan.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat dalam Wibawa, 2013:330). Kusumohamidjojo (Wibawa, 2013:330)
memaknai kebudayaan dalam arti culture sebagai ke- seluruhan proses dialektik yang lahir
dari kompleksitas pemikiran, jiwa, dan nurani yang diwujudkan sebagai kompleksitas
perilaku dan karya manusia dalam bentuk materialisasi (things), gagasan (ideas) yang
diadaptasi, diterapkan, distandarisasikan, dikembangkan, diteruskan melalui proses belajar,
dan diadaptasikan dalam kehidupan bersama.

b) Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar
hidupnya (Suriasumantri, 2009:261). Manusia berbeda dengan binatang bukan saja
dalam banyaknya kebutuhan, tetapi juga dalam cara memenuhi kebutuhan tersebut.
Misalnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan akan makanan, manusia
juga membutuhkan adanya kerja sama dengan sesamanya. Sehubungan
dengan itu lahirlah berbagai bentuk kelompok atau organisasi, seperti
kelompok bekerja, organisasi subak, atau Perkumpulan Petani Pemakai
Air, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangan lebih lanjut, suatu unsur atau subunsur
kebudayaan tidak hanya berfungsi untuk memenuhi suatu jenis kebutuhan
saja, tetapi juga memenuhi kombinasi dari sejumlah kebutuhan atau
keinginan manusia. Misalnya, pakaian adata, pakaian adat tidak hanya
berfungsi untuk menunjukan ciri khas atau identitas suatu suku, tetapi juga
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan prestise, keindahan, solidaritas atau
persahabatan. Agar dapat memenuhi fungsinya dengan baik, maka setiap
unsur kebudayaan tidak pernah berdiri sendiri (parsial), melainkan ditunjang
oleh unsur-unsur lainnya di mana unsur yang satu dengan yang lain saling
terkait dan terintegrasi secara fungsional.

c) Tahap Kebudayaan
Manusia memiliki budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalamnya
terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar. Budi inilah yang menyebabkan
manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya
dengan jalan memberi penilaian terhadap objek dan kejadian. Nilai budaya ini adalah
jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Pada
dasarnya tata hidup merupakan pencerminan yang konkret dari nilai budaya yang
abstrak: kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindra, sedangkan nilai budaya
hanya tertangguk oleh budi manusia. Maka dari itu, nilai budaya dan tata hidup
manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berupa sarana
kebudayaan. Sarana kebuadayaan pada dasarnya merupakan perwujudan yang bersifat
fisik yang merupakan produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan
dalam kehidupan.
Menurut Peursen (Wibawa, 2013:331), kebudayaan tergambar dalam tiga tahap,
yaitu (1) tahap mistis, (2) tahap ontologis, dan (3) tahap fungsional. Tahap mistis
adalah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib
di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti
dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Tahap
ontologis yaitu sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mistis,
melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Tahap fungsional ialah
sikap dan alam pikiran yang makin tampak dalam manusia modern, manusia tidak
begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), manusia tidak lagi dengan
kepala dingin ambil jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis).
d) Wujud dan Unsur Kebudayaan
Koentjaraningrat (1979:200-201) menyatakan bahwa kebudayaan itu ada tiga wujud,
yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, wujud kebu dayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga,
wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berdasarkan unsur-unsur
kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia, terdapat tujuh unsur
kebudayaan, yaitu (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (2) organisasi sosial, (4) sistem
peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan
(7) kesenian (Koentjaraningrat dalam Wibawa, 2013:331).

Wujud kebudayaan masyarakat Bima ada berbagai macam:

1) Rimpu
Rimpu merupakan tradisi berbusana untuk kaum perempuan suku Bima dengan
menggunakan sarung tenun khas Bima yaitu “Tembe Nggoli”. Cara pemakaiannya
membutuhkan dua lembar kain, yaitu satu lembar kain pertama yang dililitkan ke
kepala dan menyisakan bagian terbuka untuk wajah, lalu sisa kain dijulurkan hingga
ke perut menutupi lengan dan telapak tangan. Kemudian untuk kain kedua dikenakan
dengan cara melipatkan kain di pinggang hingga ke bawah seperti penggunaan kain
sarung pada umumnya.
Konon, tradisi berbusana ini sudah ada sejak jaman Kesultanan Bima.
Meskipun tradisi berbusana rimpu ini sudah mulai jarang digunakan oleh generasi
muda suku Bima sekarang, namun kini mulai sering diperkenalkan kembali pada
acara-acara kebudayaan yang diadakan oleh dinas kebudayaan setempat.
2) Mbolo Weki
Kata Mbolo bermakna bundar atau melingkar. Sedangkan Weki bermakna
kumpulan, kerumunan, atau sekelompok. Dalam arti sederhana Mbolo Weki berarti
sebuah musyawarah diantara lingkungan keluarga, atau kegiatan berkumpul yang
dilakukan untuk tujuan mempererat hubungan antar keluarga.
Tradisi Mbolo Weki biasanya diselenggarakan untuk mempersiapkan suatu
acara penting dari sebuah keluarga suku Bima. Misalnya acara pernikahan, dalam
tradisi Mbolo Weki pada persiapan acara penikahan perwakilan keluarga yang hadir
akan memberikan bantuan berupa uang ataupun beberapa kebutuhan kepada keluarga
yang akan menyelenggarakan hajatan untuk membantu persiapan acara pernikahan.
3) Peta Kapanca
Salah satu tradisi yang masih berjalan saat ini ditengah masyarakat suku Bima
adalah Peta Kapanca. Peta Kapanca adalah ritual khusus bagi calon pengantin
wanita suku Bima sebelum menikah. Ritual Peta Kapanca dilakukan satu hari
sebelum prosesi akad atau pesta pernikahan.
Pada ritual ini, kapanca atau daun pacar yang sudah dihaluskan akan
ditempelkan di kedua telapak tangan calon pengantin wanita secara bergilir oleh ibu-
ibu pemuka adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Makna filosifis dari tradisi Peta Kapanca ini yaitu, daun pancar yang dilumatkan
dan ditempelkan pada kedua telapak tangan sang calon pengantin wanita sebagai
simbol bahwa sebentar lagi calon pengantin wanita tersebut akan menjadi seorang
istri dari calon pengantin pria yang sudah meminangnya. Hingga kini, tradisi ini
masih terus dipertahankan oleh masyarakat suku Bima.
4) Ampa Fare
Ampa fare diambil dari dua kata yaitu ampa yang berarti mengangkat
dan fare yang berarti padi. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi menyimpan hasil
panen padi ke lumbung yang disebut masyarakat Suku Bima dengan Uma Lengge.
Hasil tani yang sudah dipanen dinaikan secara bersama-sama ke dalam Uma
Lengge dan disimpan sebagai cadangan pangan.
Tradisi yang konon sudah berlangsung sejak abad ke-8 ini mengandung makna
doa dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan hasil
panen yang melimpah serta mengajarkan masyarakat agar selalu hidup berhemat.
5) Tenun Tembe Nggoli
Zaman dahulu, para wanita dari suku Bima diwajibkan memiliki keahlian
dalam menenun. Keahlian menenun ini lalu diwariskan secara turun-temurun kepada
anak-anak sejak usia belia oleh para Ibu mereka dan terus diturunkan ke generasi
selanjutnya hingga kini.
Salah satu hasil kain tenun tradisional khas dari Bima ini adalah Tembe Nggoli.
Bagi masyarakat Bima, sarung tenun Tembe Nggoli ini adalah warisan budaya yang
harus dijaga dan dilestarikan hingga kini.
B. Tembe Nggoli (Kain Tenun Tradisional Bima)
Tembe nggoli marupakan kain tenun tradisional daerah Bima yang sudah sejak masa
kesultanan. bagi masyarakat Bima, sarung tenun tembe nggoli adalah salah satu warisan
budaya yang harus dilestarikan. Oleh sebab itu, Eksistensi perempuan pada masa
kesultanan Bima digambarkan sangat kreatif. Para wanita padamasa itu diwajibakan
untuk memiliki keahlian menenun. Tidak bisa dikatakan wanita normal jika perempuan
tidak bisa menenun pada masa itu. Keahlian menenun ini hingga kini masih dilestarikan.
Tembe nggoli mimiliki daya tarik dan ciri khas yang unik untuk menarik perhatian
pengguna, selain ada pada kenyamanan ketika digunakan, tembe nggoli juga memiliki
daya tarik berupa motif. Motif yang ada pada tembe nggoli bervariatif, yaitu ada Bunga
Satako (Bunga Setangkai), Kakando (Rebung), Nggusu Tolu (Segi Tiga), Nggusu Upa
(Segi Empat), Nggusu Waru (Segi Delapan), Bunga Aruna (Bunga Nenas) , Bali Lomba
(Garis Besar) dan Bali Mpida (Garis Kecil).
 Nilai-nilai yang terkandung dalam tembe nggoli sebagai warisan kebudayaan
a. Nilai Estetika
Salah satu unsur penunjang warisan kebudayaan itu akan tetap tetap hidup adalah
terletak pada keindahan wujud kebudayaan. Nilai estetika dalam tembe nggoli terletak
pada bahan, motif, dan warna yang digunakan. Keindahan tembe nggoli juga dapat
dilihat ketika digunakan oleh perempuan Bima sebagai rimpu dan digunakan untuk
katente oleh laki-laki Bima. Hal ini memiliki keindahan tersediri bagi orang yang
melihatnya. Selain itu pemilihan warna pada tembe nggoli biasanya menggunakan
warna yang cerah dan mencolok seperti warna merah, biru, jingga, coklat, kuning dan
hijau.
b. Nilai Etika
Nilai etika atau kesopanan di setiap daerah berbeda-beda. Bagi masyarakat Bima,
penggunaan tembe nggoli sebagai pakaian merupakan bentuk mewariskan nilai
kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bima. tembe nggoli yang
digunakan sebagai rimpu dan katente merupakan budaya saling menghargai satu sama
lain. Dalam motif yang digambarkan dalam tembe nggoli seperti bunga satako
(setangkai bunga), kakando (rebung), nggusu tolu (segi tiga), nggusu upa (segi
empat), dan nggusu waru (persegi delapan) yang terdapat dalam tembe nggoli
menggambarkan karakter masyarakat Bima yang harus mereka implementasikan
dalam kehidupan nyata dan bukan sekedar motif biasa.
3. Pembahasan
Tembe nggoli merupakan wujud kebudayaan yang masih eksis sampai sekarang, hal
ini menunjukan masyarakat Bima atau lebih khususnya pengrajin tembe nggoli masih
mampu mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal melalui tembe nggoli. Tembe nggoli
memiliki keunikan yang bervariatif, baik dalam hal warna maupun motif didalamnya.
Dalam hal ini, yang menjadi pembahasan pokok adalah makna dibalik motif yang dibuat
dalam tembe nggoli. Ada berbagai motif yang akan dideskripsikan dalam tulisan ini,
yaitu ada Bunga Satako (Bunga Setangkai), Kakando (Rebung), Nggusu Tolu (Segi
Tiga), Nggusu Upa (Segi Empat), Nggusu Waru (Segi Delapan).
1. Bunga Satako (Setangkai Bunga)

Bunga satako melambangkan sifat budi pekerti luhur yang wajib dimiliki oleh
masyarakat Bima. dengan adanya sifat budi pekerti luhur ni, menjadi suatu senjata yang
sangat ampuh bagi orang Bima. misalnya ketika mereka hendak merantau. Seperti yang
sering dituturkan oleh dou ma bade (orang yang bijaksana) ”kataho pu ruku ra rawi, ka
alu pu nggahi ra eli ndi ma ka ta roa ilo (Sopanlah dalam berperilaku serta lemah
lembutlah dalam berbicara niscaya ketentaramanlah yang kamu temui)”. Sampai dengan
hari ini, pepatah itu sungguh sangat istimewa dimata para orang tua. Bagaimana tidak?
Pepatah itu merupakan wejangan wajib bagi orang Bima, ketika mereka memiliki anak,
saudara atau sanak keluarga yang hendak ingin merantau. Lalu kenapa budi pekerti luhur
disimbolkan dengan setangkai bunga? Hal ini mencerminkan sifat bunga yang
memberikan aroma yang menentramkan dan kedamaian bagi lingkungan sekitar. Jadi
begitulah yang diharapkan oleh para tetua dan tokoh-tokoh terdahulu, mereka ingin
menciptakan keharmonisan dalam bermasyrakat atas dasar saling menghormati dan
saling menghargai satu sama lain.
2. Kakando (Rebung)

Kakando melambangkan sifat keuletan dan kesabaran yang dimiliki oleh masyrakat
Bima. Alasan yang paling mendasar keuletan dan kesabaran disimbolkan dengan
kakando adalah berdasarkan filosofi cara hidup rebung yang mampu tumbuh disela-sela
induknya yang sangat berdempetan, di tanah keras, serta kemampuan rebung tumbuh
dengan sumber air yang sedikit. Hal ini selaras dengan cara hidup masyarakat Bima yang
mayoritas profesinya adalah petani tulen. Jika kita mengarah kepada kehidupan petani,
kita akan melihat keuletan mereka mulai dari membersihkan lahan tanam, menanam serta
kesabaran mereka dalam hal menjaga tanaman dari hama sampai memanen.

3. Nggusu Tolu (Segi Tiga)

Nggusu Tolu melambangkan keimanan atau kepercayaan terhadap Tuhan.


Dilambangkan segi tiga, karena runcingan pada simbol tersebut menandakan telunjuk
yang menunjuk sesuatu yang harus diimani, seuatu yang dibutuhkan yaitu Tuhan. Hal
yang menarik adalah jika segi tiga diletakkan atau dipandang secara vertikal walaupun
diputar dan balik maka segi tiga tersebut tetap akan menunjuk ke atas dengan sangat
jelas. Hal ini menunjukan bahwa, ketika kita dihadapkan dengan suatu masalah atau
dihadapkan dengan ujian yang luar biasa, maka berdoalah atau memohonlah pada Tuhan.

4. Nggusu Upa (Segi Empat)

Nggusu upa merupakan simbol dari perilaku hidup terbuka dan mampu hidup
bersosial ditengah-tengah masyarakat yang beragam. Nggusu upa merupakan simbol dari
empat sendi atau sifat kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Sifat
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin itu adalah sifat pekerja keras, bersikap jujur,
berahlak mulia dan mampu mengayomi rakyatnya. Selain itu, nggusu upa juga dimaknai
sebagai elemen dasar pembentukan alam semesta (ma ka fu’u na mori) yaitu air (oi), api
(afi), angin (angi), dan tanah (dana).
Dalam diri seorang pemimpin diharapkan adanya sifat air (oi), karena dengan
adanya sifat ini, seorang pemimpin mampu mengontrol amarah jika dihadapkan dengan
permasalahan yang serius. Selanjutnya sifat api (afi), bahwa seaorang pemimpin haruslah
orang yang berani. Berani yang dimaksud adalah berani mengambil keputusan dan berani
bertingkat jika terjadi suatu kesenjangan yang fatal. Sifat angin (angi), dalam hal ini,
seorang pemimpin harus bisa memberikan kenyamanan dan ketentraman untuk
masyarakatnya serta memberikan pelayanan yang memadai untuk masyarakatnya. Sifat
tanah, setinggi-tingginya jabatan yang disandangkan pada seorang pemimpin, hendaknya
ia harus memiliki sifat rendah hati, tidak sombong atas posisi yang diamanatkan
kepadanya.

5. Nggusu Waru (Segi Delapan)


Nggusu waru merupakan delapan sendi atau sifat yang harus ada pada pemimpin.
Adapun delapan safat itu adalah ma to’a ndi ruma ro rasu (yang taat kepada Allah dan
Rasul), ma loa ro ma bade (yang pandai dan cerdas), ma ntiri nggahi kalampa (yang
jujur melaksanakan tugas), ma poda nggahi paresa (yang mampu menegakkan
kebenaran), ma mbani ro disa (yang bertanggung jawab dan berani), ma tenggo ro wale
(yang sehat jasmani dan rohani serta kuat), ma bisa ro guna (berwibawa dan sakti
mandra guna) dan londo dou taho (keturunan orang baik-baik).
Delapan sifat kepemimpinan tersebut tidak se-sederhana gambaran yang ada pada
tembe nggoli, sebaliknya, motif tersebut memiliki makna yang sangat luas. sifat pertama
yang harus ada dalam diri seorang pemimpin adalah ma to’a ndi ruma ro rasu (yang taat
kepada Allah dan Rasul), sifat ini mengandung makna bahwa seorang pemimpin
haruslah orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya. Dengan demikian, seorang
pemimpin harus menyadari bahwa di atas kekuasaannya ada kekuasaan Allah sebagai zat
yang Maha Tinggi. Secara tidak langsung, di daerah Bima pada masa kesultanan, yang
berhak menjadi seorang pemimpin haruslah orang yang bertuhan. Karena masyarakat
Bima percaya, bahwa pemimpin yang religius akan mampu memberikan warna dan cara
yang khas dalam segala tindakan yang dilakukannya.
Sifat kedua yaitu, ma loa ro ma bade (yang pandai dan cerdas),
menggambarkan wawasan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam hal ini,
pemimpin harus memiliki wawasan yang luas dan berilmu. Dengan kata lain, seorang
pemimpin harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas agar mampu menjawab tantangan
atau mampu menyelesaikan masalah dan mampu memberikan keputusan yang tepat
terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai seorang pemimpin. Selanjutnya sifat
yang ke tiga adalah ma ntiri nggahi kalampa (yang jujur melaksanakan tugas), dalam hal
ini, sifat kejujuranlah yang harus dikedepankan. Kejujuran akan menjadi modal besar
dalam melakukan kerja sama dengan pemimpin daerah lain. Selain itu, kejujuran
merupakan dasar untuk membangun kepercayaan rakyat. Sifat selanjutnya adalah ma
poda nggahi paresa (yang mampu menegakkan kebenaran), penegakan kebenaran
berkaitan dengan penegakkan hukum. Hukum adalah kunci menuju keadilan. Seoarang
pemimpin yang adil akan membuat garis batas, antara kepentingan pribadi atau keluarga
dan kepentingan orang banyak.
Point selanjutnya adalah sifat ma mbani ro disa (yang bertanggung jawab dan
berani), seorang pemimpin harus berani menanggung resiko apapun yang terjadi pada
masa kepemimpinannya. Dalam hal ini, kepemimpin harus berani berkorban untuk
masyrakatnya. sampai hari ini, penggambaran sifat ini selaras dengan falsafah kesultanan
Bima yakni, edera ndai sura dou labo dana (kepentingan rakyat lebih penting dari pada
kepentingan diri sendiri) masih saja terdengar oleh masyarakat Bima. Sifat selanjutnya
adalah ma tenggo ro wale (yang sehat jasmani dan rohani serta kuat), seorang pemimpin
haruslah orang yang sehat jasmani dan rohani. Kata ma tenggo berarti pemimpin
haruslah sehat secara fisik dan sehat secara rohani. Sedangkan kata wale berarti kuat dan
ulet dalam bekerja.
Point selanjutnya adalah ma bisa ro guna (berwibawa dan sakti mandra guna), jika
kita kaitkan dengan sifat-sifat beriman, berwawasan luas, jujur dan bertanggung jawab.
Maka, secara tidak langsung pemimpin itu akan menjadi sosok yang berwibawa.
Pemimpin yang berwibawa dapat mengatasi masalah yang ada, serta perkataan dan
perbuatannya akan didengar dan menjadi contoh bagi orang banyak. Sifat yang terakhir
adalah londo dou taho (keturunan orang baik-baik). Sifat ini berkaitan dengan pandangan
bahwa pemimpin yang baik lahir dari keluarga yang baik-baik. Londo dou taho pada
dasarnya berkonotasi “bermoral baik”, yang artinya bernilai positif. Pemimpin yang
bermoral baik, cenderung membawa membawa masyarakat yang dipimpinnya kearah
sesuatu yang bernilai positif. Pemimpin yang bermoral baik, tidak mengajak
masyarakatnya untuk memanipulasi sesutu untuk meniupu orang lain, tidak berbuat
serakah dan sombong dalam menjalankan tugas yang diamanatkan.

6. Bunga Aruna (Bunga Nenas)


Bunga Aruna memiliki makna yang berhubungan dengan kepercayaan. Bunga aruna
melambangkan 99 sisik pada nenas yang mewakili 99 sifat Allah yakni Asmaul Husna
yang disebutkan dalam Al Qur’an. Gambaran-gambaran sifat Alla tersebut harus dapat
diteladani oleh umat manusia. Sebagai keseriusan pada kesulatanan Bima dalam
menegakkan syariat Islam, ornamen bunga aruna terdapat pada Asi Bou atau Istana
Kayu disebelah timur Asi Mbojo.

7. Bali Lomba (garis besar) dan Bali Mpida (garis kecil)

Bali lomba dan bali mpida melambangkan sikap kejujuran. Motif ini mengajarkan
pada masyarakat Bima untuk bisa bersikap jujur dalam mengemban amanah, yang
paling penting sikap ini harus ada diri seorang pemimpin. Selain dapat menjalankan
amanahnya dengan penuh tanggung jawab, hal ini juga akan menjadi masyarakat yang
dipimpinnya.

 Warna-warna yang sering dipakai dalam pembuatan tembe nggoli adalah sebagai
berikut:
1. Merah
Warna merah dilambangkan sebagai keberanian, tekad yang kuat, kekuatan dan
kebahagiaan.
2. Putih
Warna putih melambangkan keimanan pada Tuhan, kesucian, kejujuran,kemurnian
dan ketaatan pada Tuhan.
3. Biru
Warna biru dilambangkan sebagai harapan yang suci, artinya selalu berdoa setiap
saat untuk memohon kepada Tuhan.
4. Hijau
Warna hijau melambangkan kepercayaan dan keabadian.
5. Kuning
Warna kuning melambangkan pengertian, kemuliaan, berjiwa sosial, kesenangan
dan keindahan.
6. Hitam
Hitam melanmbangkan ketegasan, kegelapan dan kehancuran.
7. Jingga
Warna jingga melambngakan kehangatan, ketentraman, dan semangat juang.
8. Merah Jingga
Warna merah jingga melambangkan tenaga, kekuatan, kehebatan dan gairah.
9. Coklat
Warna coklat melambangkan kebersamaan, persahabatan, bersikap tenang dan
rendah hati.

4. Simpulan
Tembe nggoli marupakan kain tenun tradisional daerah Bima yang sudah sejak masa
kesultanan. bagi masyarakat Bima, sarung tenun tembe nggoli adalah salah satu warisan
budaya yang harus dilestarikan. Tembe nggoli memiliki nilai estetika yang bervariatif,
antara lain yang menarik perhatian pengguna terletak pada bahan, motif, dan warna yang
digunakan. Sedangkan nilai etika berhubungan dengan nilai kesopanan yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat Bima. Motif tembe nggoli tidak hanya penunjang nilai estetika,
akan tetapi sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai etika yang berkembang sejak
masa kesultanan Bima. Tembe nggoli memiliki berbagai macam motif, yang semuanya
memiliki makna pesan yang harus diimplementasikan oleh masyarakat Bima pada
umumnya, yakni (1 )Bunga Satako (Bunga Setangkai) bermakna hidup rukun dan damai,
(2) Kakando (Rebung) bermakna kerja keras penuh kesabaran, (3) Nggusu Tolu (Segi
Tiga) bermakna Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi, (4) Nggusu Upa (Segi Empat)
bermakna empat sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin, (5) Nggusu Waru (Segi
Delapan) bermakna delapan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin, (6)
Bunga Aruna (Bunga Nenas) bermakna 99 sifat Allah yang harus diteladani , (7) Bali
Lomba (Garis Besar) dan Bali Mpida (Garis Kecil) bermakna lurus dalam berbuat dan
jujur dalam berucap.
DAFTAR PUSTAKA
Badrun, Ahmad. 2008. Filsafat Nggusu Waru dalam Tradisi Lisan dan Relevansinya dengan
Ciri Kepemimpinan Modern. Mabasan. Vol. 2 No 1. Hal 2-13.
Badrun, Ahmad. 2006. Struktur dan Makna Ungkapan Tradisional Bima Dompu. Mataram:
Mataram Universiy Press.
Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra (Prinsip, Falsafah dan Penerapan).
Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).
Ferryandi, Muhammad Putera. 2019. Eksistensi Pemerintahan Kesultanan Bima Antara
Pengakuan dan Penyangkalan. Yogyakarta: Ruas Media.
Parmono, Kartini. (2013). “Nilai Kearifan Lokal dalam Batik Tradisional Kawung”, Jurnal
Filsafat, Vol. 23(2), 134−146.
Suriasumantri, Jujun S. (2009). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:Pustaka
Sinar Harapan.
Strauss, Claudia. D’ Andrade, Roy G. 1992. Human Motives and Cultural Models. New
York: Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai