Anda di halaman 1dari 8

“INTERPRETASI REALITAS BUDAYA PADA KEYAKINAN

ATAU KEPERCAYAAN”

Oleh:

Nama: Putri Inda Aulia

NIM: 50700122005

Kelas: IKOM A

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2023-2024
a) Realitas Budaya Indonesia

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keberagaman suku dan budaya.


Setiap suku memiliki keberagaman adat atau kebiasaan dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari maupun upara adat yang berupa seremonial yang
menggunakan berbagai kostum yang berbeda-beda disetiap pelaksanaannya. Tidak
jarag pula adat ini turut mengatur segalamaspek kehidupan masyarakatnya terutama
hal-hal yang krusial misalkan seperti melahirkan, hitanan, menikah dan meninggal.

Keragaman budaya sejatinya dapat dijadikan modal untuk memperkuat


identitas kebangsaan. Di samping itu, keragaman budaya termasuk kesenian
dimung- kinkan dapat dijadikan komoditas nasional yang dapat memberikan
kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Bali misalnya, merupakan salah satu
contoh wilayah yang menjadikan produk budaya masyarakatnya sebagai komoditas
yang laku dijual.1

Agama memiliki posisi dan peran penting di dalam sebuah masyarakat.


Agama sendiri juga dapat memicu integrasi seperti kerukunan, ketertiban, dan
keamanan. Kendati di dalam masyarakat tersebut menganut agama yang berbeda-
beda (Bauto, 2014: 24). Di sisi lain agama juga dapat memicu benih-benih
pertikaian, baik antar individu maupun antar kelompok yang mengakibatkan
jatuhnya korban jiwa dan kerugian material yang relatif cukup besar.

Berkaitan dengan relasi agama dan kebudayaan, Koentjaraningrat menilai


konsep dasar agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat yang
menganut agama tersebut. Konsep dasar yang pertama yakni adanya perasaan
emosional yang menjadi pemicu manusia sehingga memiliki sifat religius. Setelah
itu, manusia membuat sistem kepercayaan sekaligus tentang bayangan sifat-sifat
ketuhanan. Kemudian sebagai wujud implementasi dari sistem kepercayaan
tersebut, manusia memproduksi beragam ritual. Ritual-ritual ini sifatnya tidak
statis, karena setiap ritual memiliki orientasi yang berbeda-beda. Terakhir untuk

1
Eka Kurnia Firmansyah, ‘Sistem Religi Dan Kepercayaan Masyarakat Kampung Adat
Kuta Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis’, Metahumaniora, 7.3 (2017), 317
<https://doi.org/10.24198/mh.v7i3.18849>.
melaksanakan ritual, manusia memerlukan orang lain, maka terbentuklah
kelompok-kelompok yang menjadi penganut agama tersebut (Koentjaraningrat,
2000: 79).2

b) Interpretasi Agama Dalam Budaya

Interpretasi tentang agama dan budaya tidak hanya sekedar meilhat defenisi
agama dan budaya, bila hal tersebut terjadi adalah hal yang salah karena pemaknaan
agama dan budaya dilihat dari sudut pandang pemahaman keilmuan tentang agama
dan budaya itu sendiri dan menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai
hal yang terkadang parsialitik atau integralistik. Pemahaman bahwa Agama Islam
disebut Din dan Al-Din , sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk
mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat adalah hal yang benar tetapi harus
dihidupkan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari. Secara fenomenologis. Agama
Islam dapat dipandang & DUD pandang ini membuat agama berkonotasi kata
benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.

Komaruddin Hidayat lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu


sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai
ketuhanan. Walapun kedua pandangan itu berbeda sebab, ada yang memandang
agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, keduanya sama-sama memandang
sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan
diseberang sana. Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi.3

Peran agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai
yang membuat norma-norms tertentu. Agama berpengaruh sebagai motivasi dalam
mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang
dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai memiliki uncur kesucian,
kepatuhan. Masalah agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat,
karena itu agama ternyata diperlukan dalam kehidupan manusia. Seorang yang tulus

2
Ahmad Sugeng Riady, ‘Agama Dan Kebudayaan Masyarakat Perspektif Clifford Geertz’,
Jurnal Sosiologi Agama Indonesia (JSAI), 2.1 (2021), 13–22
<https://doi.org/10.22373/jsai.v2i1.1199>.
3
‘Agama Dan Budaya (Suatu Kajian Parsialistik-Integralistik) Sumarto’.
dalam beragama akan menghargai dan bahkan menghargai serta mengasihi
sesamanya, karena sesamanya adalah manusia yang dikasihi olah Allah.4

Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari


antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berelasi
dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal
teknis, tetapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud
dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach
berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa
mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi
sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan,
menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).5

Hubungan Agama dan Budaya Lokal dalam Fenomonologi Agama


Hubungan agama dan budaya lokal dalam fenomenologi agama adalah hubungan
yang kompleks, dinamis, dan saling mempengaruhi. Fenomenologi agama adalah
cabang ilmu yang mempelajari agama dari sudut pandang pengalaman,
pengetahuan, dan pengamalan agama oleh pemeluknya¹. Dalam fenomenologi
agama, agama dipandang sebagai corpus syari'at yang diwajibkan oleh Tuhan,
tetapi juga sebagai budaya agama yang tumbuh dan berkembang dari proses
interaksi manusia dengan kitab suci, konteks hidup, dan faktor-faktor objektif
lainnya. Budaya lokal dapat memengaruhi tafsir dan praktik agama yang dilakukan
oleh masyarakat. Sebagai contoh, dalam beberapa budaya tertentu, terdapat praktik-
traktik keagamaan yang unik dan berbeda dari praktik di tempat lain. Agama dan
budaya lokal saling tumpang tindih dan membentuk identitas masyarakat. Di sisi
lain, agama juga dapat memengaruhi budaya lokal dengan memberikan nilai-nilai,
norma-norma, dan moralitas yang harus dipegang oleh masyarakat.6

4
Sugiarto, ‘済無No Title No Title No Title’, 4.1 (2016), 1–23.
5
Abd. Ghoffar Mahfuz, ‘Hubungan Agama Dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural’,
Tawshiyah, 14.1 (2019), 41–61.
6
Nur Laila Nasution and others, ‘Hubungan Agama Dan Budaya Lokal Dalam
Fenomenologi Agama’, 8 (2024), 6694–6700.
Max Weber dalam Etika Protestannya, menerangkan bahwa agama
merupakan spirit bagi kehidupan sosio kultural masyarakat. Ungkapan ini
mengandung makna bahwa tindakan atau aksi sosial sangat ditentukan oleh nilai
nilai essensial ajaran agama yang diyakini seseorang. Kondisi ini akan terstruktur
dalam pola budaya masyarakat. Adapun nilai nilai essensial yang dimaksud Weber
tersebut adalah semangat pengabdian, ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan.
Sehingga agama disini bukan hanya simbol kepercayaan, tetapi juga menjadi
sumber etos kerja bagi manusia.7

c) Contoh kehidupan Kota Makassar

Salah satu contoh Intrepretasi realitas budaya pada keyakinan dan


kepercayaan local Makassar yaitu “Budaya Massorong”. Budaya massorong
adalah salah satu warisan leluhur yang masih dilaksanakan oleh masyarakat
kelurahan Pekkabata, budayaini dilakukan sebagai tolak-bala agar anak yang di
Aqiqah terhindar dari bahaya, selain itu tradisi Massorong akan mendatangkan
berkah dan tolak bala, namun dalam perkembangan sekarang ini, budaya
Massorong telah mengalami perubahan bukan hanya sebagai bentuk penolak bala,
akan tetapi budaya ini sebagai wujud rasa syukur keluarga akan limpahan rezeki
termasuk anak yang telah diberikan oleh Tuhan. Selain itu, budaya ini dimanfaatkan
masyarakat kelurahan Pekkabata sebagai ajang pertemuan untuk menyambung
silaturahmi antar warga masyarakat Kelurahan Pekkabata, pada acara budaya
Massorong ini, tidak terlepas dari signifikan budaya lokal yang ada dalam
masyarakat Kelurahan Pekkabata, yang dimana menggambarkan wujud sistem
sosial dan tingkah laku berupa sipakatau (saling menghargai), Sipakalabbiri (saling
menghormati) Abbulosibatang (kerjasama) dan gotong royong yang memiliki
wujud dalam bentuk suatu gagasan yang dirangkum dalam pengadereng atau sarak.8

7
Aulia Aziza, ‘Relasi Agama Dan Budaya’, Alhadharah, 15.30 (2017), 1
<https://doi.org/10.18592/alhadharah.v15i30.1204>.
8
Mirawati, Wahyuddin Bakri, and Abd Wahidin, ‘Budaya Massorong Dalam Perspektif
Sosiologi Agama’, SOSIOLOGIA : Jurnal Agama Dan Masyarakat, 1.1 (2022), 1–17
<https://doi.org/10.35905/sosiologia.v1i1.3348>.
Terkait dengan kebudayaan yang ada di di Indonesia, Makassar adalah salah
satu provinsi yang ada di Indonesia yang memiliki kebudayaan khas yaitu ma’baca
doang dan massuro ma’baca. Massuro ma’baca berasal dari Bahasa Bugis, yaitu
kata massuro berarti meminta atau memohon, sedangkan ma’baca berarti membaca.
Jadi ma’baca dapat diartikan sebagaii usaha seseorang untuk meminta orang lain
untuk membacakan do’a-do’a keselamatan dan kesyukuraan serta do’a untuk orang
yang meninggal dunia, hal ini didorong dengan kesadaran seseorang atas kurang
dalamnya ilmu agama yang dimiliki dan ketaatan yang juga masih kurang. Biasanya
orang yang diminta ma’baca ialah orang yang dianggap punya ilmu agama yang
dalam, rajin menjalankan syariat , serta punya hubungan social yang baik kepada
Masyarakat.

Asimilasi terhadap agama Islam dan budaya cukup erat, misalnya dalam
pelaksanaan upacara-upacara kelahiran, perkawinan, kematian dan lainnya, semua
ritual itu dimaksudakan bahwa untuk menunjukkan kehidupan manusia itu bersifat
mulia, ritual itu semua dimaksudkan bahwa untuk menunjukkan kehidupan
manusia itu beesifat mulia,10 dalam suatu kehidupan masyarakat dilihat dari aspek
agama dan budaya bagaimana mereka menempatkan posisi agama dan budaya itu
sehingga menajdi fenomenal dalam kehidupan masyarakat. Agama dan budaya
memiliki hubungan yang sangat erat dalam kehidupan manusia jelas tidak berdiiri
sendiri dalam kehidupan manusia sebagaiamana dialektinya; selaras menciptakan
dan kemudian saling menegasikan. 9

d) Kesimpulan

Keyakinan dan kepercayaan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh


manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan dirinya bahwa ia telah
mencapai suatu kebenaran karena keyakinan merupakan suatu sikap maka
seseorang tidak akan selalu benar atau kata lain keyakinan atau kepercayaan semata
bukan jaminan suatau kebenaran yang mutlak atas suatu kebenaran, sementara

9
Mirawati, Wahyuddin Bakri, and Abd Wahidin.
disisi lain masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan karena wadah dari kebudayaan itu sendiri

Agama yang dicipatakan oleh Tuhan adalah sebagai pedoman hidup


manusia dalam menjalani kehidupannya. Lalu kebudayaan adalah kebiasaan tata
cara hidup manusia dan diciptakan oleh manusia itu sendiri dan Tuhan lah yang
memberikan manusia hasil daya cipta, rasa dan karyanya manusia itu. Agama dan
kebudayaan saling memperngaruhu satu sama lain. Agama mempengaruhi
kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat beserta kelompok masyarakatnya, dan
suku bangsa. Dapat dimaknai bahwa massorong ini juga sebagai bentuk rasa syukur
kepada sang maha pencipta atas limpahan rezeki dan nikmat yang telah di turunkan
dan diberikan kepada masyarakat yang telah diberikan kepercayaan untuk
meminang sang buah hati. Dan masyarakat pun mengharapkan kesehatan dan selalu
dihindarkan dari bencana (tolak bala) yang mengancam, baik dari sang pencipta
melalui alamnya. Maka diadakan budaya Massorong sebagai rasa takut kepada sang
pencipta beserta ciptaan-ciptaannya yang ada di alam bumi ini. Melalui doa-doa
yang dikirmkan pada saat melakukan budaya ini agar semua mahluk-mahluk yang
ada di alam ini, sebagaimana kita tahu semua yang yang ada di alam ini adalah
utusan oleh sang pencipta.
DAFTAR PUSTAKA

Agama Dan Budaya (Suatu Kajian Parsialistik-Integralistik) Sumarto’

Aziza, Aulia, ‘Relasi Agama Dan Budaya’, Alhadharah, 15.30 (2017),


<https://doi.org/10.18592/alhadharah.v15i30.1204>

Firmansyah, Eka Kurnia, ‘Sistem Religi Dan Kepercayaan Masyarakat Kampung


Adat Kuta Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis’, Metahumaniora,
7.3 (2017), 317 <https://doi.org/10.24198/mh.v7i3.18849>

Mahfuz, Abd. Ghoffar, ‘Hubungan Agama Dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural’,


Tawshiyah, 14.1 (2019), 41–61

Mirawati, Wahyuddin Bakri, and Abd Wahidin, ‘Budaya Massorong Dalam


Perspektif Sosiologi Agama’, SOSIOLOGIA : Jurnal Agama Dan
Masyarakat, 1.1 (2022), 1–17
<https://doi.org/10.35905/sosiologia.v1i1.3348>

Nasution, Nur Laila, Maraimbang Daulay, Agustianda Piliang, Dwi Fauziah, Wina
Safitri, and Br Pasaribu, ‘Hubungan Agama Dan Budaya Lokal Dalam
Fenomenologi Agama’, 8 (2024), 6694–6700

Riady, Ahmad Sugeng, ‘Agama Dan Kebudayaan Masyarakat Perspektif Clifford


Geertz’, Jurnal Sosiologi Agama Indonesia (JSAI), 2.1 (2021), 13–22
<https://doi.org/10.22373/jsai.v2i1.1199>

Sugiarto, ‘済無No Title No Title No Title’, 4.1 (2016), 1–23

Anda mungkin juga menyukai