Ambar Rosnidar
Andra Nurhaliza
Penulis Satu
Email: auliadorr@gmail.com
2
Abstrak
Religion and culture are an inseparable element in people's life. Religion has meaning as a
rule that can prevent people from chaos or lead people to social order. Meanwhile, culture
can be said as "things related to mind and intellect". In this paper, an understanding of the
interrelation of religion and culture will be presented. Culture and religion are different
things but can influence each other so that a new culture emerges or a mixture of cultures.
Culture and religion are different things but can influence each other so that a new culture
emerges or a mixture of cultures. Islam is a social concept and a cultural reality. The
existence of a religion will be greatly influence and affect the practice of that religion. And
conversely, a culture will be very much built by the beliefs of the society in which that culture
develops
Agama dan budaya adalah salah satu unsur yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
masyarakat. Agama bermakna sebagai peraturan yang dapat menghindarkan manusia dari
kekacauan atau mengantarkan manusia pada keteraturan social. Sedangkan kebudayaan dapat
dikatakan sebagai ‘’hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal”. Dalam tulisan ini akan
disajikan pemahaman interelasi agama dan kebudayaan. Budaya dan agama adalah sesuatu
yang berbeda namun dapat saling mempengaruhi sehingga muncul kebudayaan baru atau
pencampuran kebudayaan. Islam adalah konsep sosial dan realitas budaya. Keberadaan suatu
agama akan sangat dipengaruhi dan mempengaruhi pengamalan sebuah agama yang
bersangkutan. Dan sebaliknya, sebuah kebudayaan akan sangat dipengaruhi oleh keyakinan
dari masyarakat di mana kebudayaan itu berkembang.
Kata-kata Kunci:
Agama, budaya, dan kebudayaan.
3
Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri karena dalam diri
manusia membutuhkan interaksi satu sama lain. Adanya hal tersebut karena adanya suatu
kelompok kecil yang dibangun oleh individu-individu sehingga menciptakan komunitas
masyarakat. Dalam suatu komunitas masyarakat mempunyai kepercayaan dan
kebudayaan. Fenomena kehidupan masyarakat dilihat dari aspek agama dan budaya yang
memiliki keterkaitan satu sama lain yang terkadang banyak disalah artikan oleh
sebagian orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi agama dan posisi
budaya dalam suatu kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya
jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam
dialektikanya; selaras menciptakan dan kemudian saling menegasikan. Agama sebagai
pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya.
Sedangkan kebudayaan adalah sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan
oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan.
Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi
kebudayaan, kelompok masyarakat, dan suku bangsa. Kebudayaan cenderung berubah-ubah
yang berimplikasi pada keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan. Salah
satu agenda besar dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara adalah menjaga
persatuan dan kesatuan dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara
dan umat beragama. Suatu bangsa tidak akan memiliki ciri khas tersendiri tanpa adanya
budaya-budaya yang di miliki. Di dalam kebudayaan suatu pasti menganut suatu kepercayaan
yang bisa kita sebut dengan agama. Dalam tulisan ini akan disajikan pemahaman interelasi
agama dan kebudayaan.
Interelasi Agama
Interelasi berasal dari Bahasa Inggris “interrelation” yang berarti “mutual realtion”
atau saling berhubungan satu sama lainnya (AS. Homby, 200.447). 1 Secara etimologi, kata
agama bersumber dari basaha Sansakerta yang menunjuk pada sistem kepercayaan Hindu dan
Budha di India (Respati,2014). Namun secara harfiah, agama yang terbentuk dari dua kata
yakni a (tidak) dan gama (kacau) memiliki makna tidak kacau atau ketaraturan. Di sini
agama bermakna sebagai peraturan yang dapat menghindarkan manusia dari kekacauan atau
mengantarkan manusia pada keteraturan sosial.2
Sementara definisi agama menurut sosiolog Emile Durkheim adalah suatu “sistem
kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan yanag berkaitan dengan hal-hal yang kudus/
sakral (sacred) kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang bersatu menjadi satu
komunitas moral yang unggul”. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi
syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “ sifat kudus” dari agama dan “ praktik-praktik
ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu makhluk
supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur diatas, karena ia akan menjadi
bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tesebut terlepas. Disini dapat kita lihat bahwa
sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang
melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat bahwa menurut Durkheim agama selalu
memiliki hubungan dengan masyrakatnya, dan memiliki sifat yang histories (Emile
Durkheim dalam Ronald Robertson,1971.42)3 Rasionalisasi adalah konsep induk yang
melaluinya budaya mendefinisikan situasi-situasi keagamaan, dan yang melaluinya sosiologi
agama dapat memahami definisi-definisi budaya untuk situasi-situasi tersebut.
sedangakan ‘Rasionalisasi’ yang dimaksudkan Weber itu bersifat intelektual, yaitu
mengacu secara khusus ke ide-ide ‘eksistensi’ (meski tidak empiris), teologis, dan normative
yang didalamnya rasionalisasi meletakkan sejumlah kewajiban pada manusia terkait perilaku
yang seharusnya dalam menjalani hidup.4
Kebutuhan terhadap agama dapat diartikan sebagai kebutuhan manusia tergantung
kepada kekuatan yang absolut, disebabakan karena kelemahn manusia apabila berhadapan
1
Pengulu Abdul Karim, interelasi Agama dan Budaya.
http://jurnaltarbiyah.uinu.ac.id./index.php./nizhamiyah/article/view/74 . Diakses pada tanggal 22 Maret 2021.
hlm. 98
2
Mahyudin, Sosiologi Agama: Menjelajahi Isu-isu Sosial Keagamaan Kontemporer di Indonesia (Parepare:
IAIN Parepare Nusantara Press,2020). hlm. 9
3
Ibid.hlm.99
4
Yudi Santoso. Sosiologi Agama Diterjemahakan dari The Sociology of Religion, Beacon Press, Boston, 1992
Karya Max Weber. (Yogyakarta:IRCISoD,2019).hlm.37-38
dengan alam, pada dasarnya manusia itu sendiri tidaklah yakin terhadap kemapuan dirinya,
karena dalam fakta sosial banyak kejadian atau peristiwa yang diluar perkiraan manusia itu
sendiri. Agama dalam pandangan sosiologi terbatas membicarakan hanya pada realitas agama
sebagai fenomena sosial tanpa tertarik untuk membicarakan nilai kesucian yang melandasi
agama tertentu. Dengan demikian, kepentingan membicarakan agama terletak pada kenyataan
agama yang membentuk subsistem sosial dan mencakup didalamnya dua hal yaitu sakral dan
profan. Sakral adalah segala sesuatu yang dipandang sebagai sesuati adikuasa, merupakan
rangkaian dari susunan dan praktik dan menciptakan perasaan kedahsyatan. Sementara yang
disebut dengan profan kebalikan dari sakral yaitu segala sesuatu yang dipandang oleh
penganuntya secara teratur dan berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan paraktis dalam
kehidupan. 5
Mengutip dari Ahli sosiologi pengetahuan Karl Menheim, salah satu kebenaran
agama yaitu ketika diskursus kebenaran ditarik jauh dari hanya soal objektivitas dan
subjektivitas menuju diskursus sejauh mana kebenaran tersebut mencerminkan misi
pembebasan pada kaum tertindas yang didasari oleh komitmen emansipatoris dan dialog yang
didasari oleh komitmen solidaritas. Atau bagaimna agama menjalankan fungsi-fungsi
integrasinya, politik atau sosial budaya dalam realitas perubahan sosial yang begitu cepat.6
Secara garis besar, ada dua klasifkasi agama yang berkembang dalam sejarah
kehidupan manusia. Pertama polytheisme atau sering diistilahkan agama Ardhi dan
taradisional yaitu, agama yang lahir karena interpretasi akal pikiran manusia tentang
keperluannya terhadap kekuatan supranatural yang kemudian dimaknai sebagai Tuhan.
Kedua menotheisme yaitu, agama umat manusia yang mengenal keesaan Tuhan. dalam istilah
umumnya, agama ini bisa dinamakan agama samawi (agama langit). Agama langit
mengajarkan tentang konsep satu Tuha (Esa). Setiap anggota masyarakat yang beragama,
memiliki cara-cara berpikir dan pola -pola perilaku sesuai pemenuhan syarat-syarat
keyakianan agamanaya. Fenomena religius tersebut dapat berupa pendapatan-pendapatan
(states of opinion) dan terdiri dari refresentasi-representasi maupun bentuk-bentuk tindakan
(action) secara khusus yang masing-masing di tandai oleh dua istiah khusus profan dan
sacred (Durkheim, 2011:66).7 Agama sebagai instutusi sosial universal di kehidupan
masyarakat berkaitan erat dengan pola kehidupan sosial. Berbagai wujud aktifitas yang
diterjemahkan dalam simbol-simbol maupun dinamika pola relasi manusia atas dasar agama,
5
Ridwan Lubis, Sosiologi Agama Memahami Perkembangaan Agma dan Interaksi Sosial (Jakarta:
KENCANA,2015).hlm. 24-25
6
Ibid.hlm.25
7
Ibid.hlm.12
menjadi pijakan sosiologi agama dalam melihat bagaiman agama dalam proses sosial di
masayarakat. wujud pran tersebut adalah agama mampu mengendalikan perilaku para
penganutnya, dan agama juga mampu mengubah hidup manusia. Sosiologi agama
dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang “inter-relasi dari agama-agama dan
masayarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog
bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan dan kelembagaan agama mempengaruhi, dan
sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi dan stratifikasi sosial
adalah tepat. Jadi, sosiologi agama bertugas menyelidiki tentang bagaimana tata cara
masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama sebagaimana agama itu
sendiri mempengaruhi mereka (Dhavamony, 1995: 21-22). 8
Kebudayaan
Kebudayaan bukan hal asing di telinga orang Indonesia. Orang asing mengenal
Indonesia sebagai negara dengan beragam kebudayaan. Secara etimologis, Koentjaningrat
menyatakan bahwa kata budaya berasal dari kata budhayah, bahasa sanksekerta, yang
merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan
9
demikian, kebudayaan dapat dikatakan “hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal”.
Karena ia berkaitan dengan budi dan akal manusia, maka skupnya pun menjadi demikian
luas. Kebudayaan juga merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.
8
Ibid.hlm.14-15
9
Koentjaningrat, Kebudayaan, Mentalitetdan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1976), hal. 19.
3. J. Macionis: Kebudayaan adalah cara berpikir, cara bertindak, dan objek material
yang bersama-sama membentuk cara hidup manusia. Kebudaan meliputi apa yang
kita pikirkan, bagaimana kita bertindak, dan apa yang kita miliki.
4. Melville Herskovits dan Bryan Malinowski: Cultural- determinism segala sesuatu
yang ada di masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri.
5. Levi Strauss: budaya merupakan komponen struktur sosial yang berasal dari alam
pemikiran manusia dan dilakukan secara berulang hingga membentuk suatu
kebudayaan.
6. Ralph Linton: budaya adalah segala pengetahuan, pola pikir, perilaku, ataupun sikap
yang menjadi kebiasaan masyarakat dimana hal tersebut dimiliki serta diwariskan
oleh para nenek moyang secara turun-temurun.
10
Ibid, h. 15.
segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk masyarakat, dalam suatu
ruang dan suatu waktu.11 Adapun fungsi kebudayaan, yaitu:
1. Kebudayaan berfungsi untuk menjadi pedoman hidup berperilaku. Hal ini diwujudkan
dalam bentuk nilai, norma, ataupun hukum. Oleh sebab itu maka kebudayaan seperti
ini terus diturunkan dari generasi ke generasi (shared culture).
2. Kebudayaan juga berfungsi sebegai alat atau media yang membantu hidup manusia,
yang diwujudkan dalam penciptaan teknologi. Menurut Soerjono Soekamto,
setidaknya ada tujuh unsur dalam teknologi yaitu alat produksi, senjata, wadah,
makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, rumah dan tempat berlindung, serta
alat atau moda transportasi.
3. Kebudayaan juga dapat berfungsi sebagai control sosial atau tata tertib bagi
masyarakat.
Kebudayaan ini tercipta karena dua aktor yakni faktor alam dan faktor sosial.
Dimana dunia alam ditemukan dan dikonstruk oleh dunia sosial (termasuk agama dan sains).
Sedangkan dunia sosisal sepenuhnya dibuat oleh manusia dalam rangka
mempertahankan secara aman dan sejahtera. Selanjutnya kebudayaan sosial ini
melahirkan beribu-ribu budayayang terabadkan secara history oleh bahasa dan tradisi,
yang terbangun secara konsevional. Dengan menggunakan simbol-simbol dengan
arti-arti efektif secara lokal. Selanjutnya kebudayaan ini mempengaruhi arus tingkah
11
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi(Jakarta: Bulan Bintang, 1989),
h. 12
laku manusia, atau membawa orang kedalam tingkah laku religius atau tingkah laku
lain yang mengandung kekuatan (keyakinan).12
Kata agama dalam penelitian antropologi sosial merupakan terjemahan dari kata
agama dalam bahasa Inggris. Agama adalah semua yang disebut agama dalam bahasa Inggris,
termasuk yang disebut agama wahyu, agama alam, dan agama lokal. “Agama” Pemerintah
Republik Indonesia dalam pengertian politik dan administratif adalah agama resmi yang
diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha, dan
belakangan ini juga diklasifikasikan sebagai Konfusianisme13. Perbedaan antara istilah agama
yang digunakan dalam pasal ini dengan istilah agama yang digunakan oleh pemerintah
Republik Indonesia tidak akan terulang lagi karena penerapannya unik di Indonesia. Dari
perspektif antropologi sosial atau ilmu sosial umum, agama berkaitan dengan kepercayaan
dan ritual yang dianut oleh sekelompok orang. Sosiolog Italia Vilfredo Pareto (Vilfredo
Pareto) mengatakan bahwa agama terkait dengan "pengalaman di luar". Selain itu, secara
umum antropologi sosial meyakini bahwa agama memiliki peran tertentu dalam kehidupan
manusia. Penelitian tentang fungsi agama sangat menekankan hal ini. Fungsi spiritual agama
yang disebutkan dalam definisi berbagai agama adalah:
Kesimpulan
Referensi
Soekanto, S., & Sulistyowati, B. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
JPIS, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Edisi Desember 2014