Anda di halaman 1dari 5

Nama : M.

Choirul Hayat

NIM : E21215070

Mata kuliah : Antropologi Agama

SMT : III/ SAA

DOSEN : Dr. Kunawi Basyir ,M.Ag.

Hari : kamis, 20 desember 2018

1.
A. Suatu pendekatan antropologis dirasa sangat di butuhkan dalam kacamata pandang kita melihat
konstruks bangunan agama, lalu agama sebagai sistem pertama agama hidup berdampingan dengan manusia
juga merupakan hasil dari kolaborasi budaya, tidak bisa apabila agama itu berdiri sendiri budaya juga berdiri
sendiri, artinya satu kumpulan orang yang membawai agama itu sendiri jufga tidak bisa terlepas dengan budaya
yang di emban juga oleh masyarakat grettz selama penelitiannya 12 tahun lamanya dalam pengobservasiannya
terhadap agama masyarakat di bali, budaya merupakan sebuah simbol yang mengidentifikasi wajah suatu
masyarakat kalau di arab budayanya adalah cadar dan berjenggot maka seketika itu pula yang terekam pada diri
kita itu merupakan atribut dari pada simbol, simbol merupakan bagian dari konsepsi atau buah gagasan lalu
kemudian di munculkan dalam bentuk representasi yang kongkrit (nyata) simbol. Dari serangkain simbol dan
buah pikiran tadi agaknya di masyrakat muncul sebagai aturan yang lalu kemudian di patuhi dan dilaksanakan
oleh serangkaian orang.
B. Manusia adalah makhluk sosial konstruknya meliputi jiwa dan raga. raga kita suatu yang berbentuk
(konkret) kalau raga kita lapar makananya adalah yang berbentuk juga kopi, nasi, ikan dll maka jiwa kita juga
membutuhkan suatu asupan yakni berbentuk dzikir, sholat dll. Agama ini adalah suatu yang abstrak baik dalam
praktiknya maupun teorinya, dalam kelasnya agama ini adalah bagian dari kebutuhan manusia yang sifatnya
sekunder dengan agama manusia yang biasa adalah hayawan namun disana terdapat penambahan diksi kata al-
hayawanun natiq hewan yang berbicara di sini manusia bisa mempunyai suatu yang lebih dari hewan artinya
jika hewan hanya bisa menggunakan insting maka manusia untuk mengetahui itu buruk atau baik dengan
menggunakan rasio maka dari kecil seorang anak akan diberi wejangan terkait agama agar fungsi nalar
religiusitasnya berjalan ada sekat dimana manusia harus melakukan suatu kegiatan yang itu sifatnya positif atas
kendali doktrinasi agama, manusia dibentuk dari lahir (prilakunya) agar senantiasa berjalan dalam koridor taat
agama.

Agama adalah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi. Selain kata “Agama” kita juga mengenal kata “din” yang dalam bahasa semit berarti undang-undang
atau hukum, dalam bahasa Arab, kata ini berarti menguasai, menundukan, patuh, utang, balasan. Agama
memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya
memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-
ajaran agamanya. Agama lebih lanjut lagi membwa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh
seseorang akan menjadi utang baginya (Rosihon Anwar, Dkk, 2011: 99).1

C. Agama sebagai antroposentris artinya mencari pahala dalam komoditas suatu agama tidak hanya ada
pada sebagai pahala individual melainkan agama harus masuk pada ruang-ruang kemiskinan,pemberdayaan,
ketertindasan, keterbelakangan, saya mengambil sebuah contoh farid essack dia merupakan tokoh hermeneutika
islam,dalam diktumnya farid essack yang terkenal dia memperjuangkan orang-orang kaum mustadhafin dan
penentang apartheid di afrika selatan teologi pembebasannya tampil dalam ruang publik dengan menyerukan
persamaan hak tanpa memandang kelas, agama, etnis dan warna kulit. Di peru kita juga mengenal gustavo
guttierez merino dia seorang teolog. Teologinya menawarkan pemusatan terhadap umat kristen pada waktu itu
teologinya berpusat pada pembelaan terhadap rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh rakyat kelas atas
jadi terpisahnya antara bourjuis dan proletar, dari serangkain tokoh ini kita mempunya corak pandang lebih
lanjut dalam bergama agaknya nilai profan dalam beragama tetap ada namun dalam kehidupan sehari-hari kita
tidak lupa kepada simiskin bahwa diapu juga punya hak dalam kehidupan dan ruang publik ini dan kita akan
mengerti pula bahwa mencari pahala atau nilai plus di mata Tuhan tidak didapat hanya pada seputar sholat kita
sah, kebutuhan beragama itu tidak hanya berkuat pada masalah teosentris akan tetapi antroposentris, sebuah
peradaban itu maju dilihat dari corak kebermajuan dan kepekaan nilai sosial (simpati dan empati).

D. Setelah masuk pada serangkian komoditas kaum beragama agaknya mereka akan menyadari dan
menumbulkan suatu kesadaran kolektif dalam diri bahwa saya sebagai orang beragama harus begini begitu,
membela ketika melihat suatu ketimpangan sosial emiel durkeim melihat itu sebagai kesadaran kolektif yang
artinya jika agama terus menerus menjadi begini lambat laun agama hanya menjadi agenda pribadi dan jauh dari
pilar-pilar agama yang bermakna sesungguhnya, sebuah penelusuran lebih lanjut terhadap kelolmpok-kelompok
besar yang tujuannya bergerak demi kemaslahatan bersama hari ini agaknya telah dianulir menjadi berubah arah
dan menjadi keperluan kelompok-kelompok tertentu nah, dari inilah yang nantinya timbul konflik segala macam
dengan mengatasnamakan sebuah golongan ini paling benar agama telah mendaji gudanngnya permasalahan
yang awalnya orang beragama itu mempercayai bahwa ada kekuatan adikodrati di balik kuasanya manusia
sekarang menjadi ekspansi suatu kelompok untuk menjatuhkan lawan biacaranya atau lawan mainnya dengan
tujuan tertentu.

1
Manusia: antara kebutuhan doktrin agama dan inklusivitas beragama, isnawati,hlm451.
Menurut Durkheim, gejala individu manusia (kemauan, kesadaran, kepentingan individu) hanya dapat
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar individu. Durkheim menggambarkan kekuatan
eksternal ini sebagai suatu kesadaran kolektif; ikatan sosial bersama yang diungkapkan lewat ide-ide, nilai-nilai,
norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan ideologi dari suatu kebudayaan. “Ini lalu merupakan cara bertindak,
berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran
individu.”2Sementara kesadaran kolektif itu dilihat sebagai sesuatu yang dapat mengendalikan kekuatan-
kekuatan individual, ia melihat bahwa dasar itu tentu berasal dari masyarakat. Durkheim menguraikan
analisisnya terutama penyebab dan akibat melemahnya ikatan kelompok (dan dengan demikian juga
melemahnya kesadaran kolektif) pada individu dalam dua karyanya, The Division of Labor in Society (1893)
dan Suicide (1897). Tujuan dari karya ini adalah untuk menganalisa pengaruh atau fungsi kompleksitas dan
spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam
bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. Singkatnya, pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu
perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Pembedaan antara solidaritas
mekanis dan organik merupakan salah satu sumbangan Durkheim yang paling terkenal.3

2. Andrew moller adalah seorang peneliti dengan pemikirannya tentang puasa bulan ramadhan di jawa dia
memberikan argumen bahwa bukan hanya islam saja yang mempunyai tradisi puasa namun, umat-umat yang
lainnya juga semisal kristen, hindu, budha juga melaksanakan hal itu dalam tata cara yang berbeda. Esensi dari
kita melaksanakan puasa adalah untuk mampu bertahan dalam kondisi yang sulit dan tekanan, puasa dalam
segala aspek agama buka di artikan sebagai menyiksa kaumnya sehingga tidak makan dan minum seharian
namun esensi yang dapat ditemukan semisal tadi kita dapat merasakan kehidupan si miskin.

Andrew beatty dengan bukunya yang fenomenal variasi agama di jawa, dia melakukan riset di bagian
ujung jawa timur yakni di kota banyuwangi masyrakat banyu wangi masih kental dengan hindu dan budha dia
mencoba menelisik lebih dalam ke arah penduduk asli yakni masyarakat osing, osing adalah masyarakat asli di
daerah sana latar belakang melihat ini karena dia melihat suatu kehidupan yang harmonis dalam keberagaman
dalam beritual meski hidup dalam satu tempat namun terdapat lebih dari satu kepercayaan dan itu menjunjung
tinggi nilai kerukunan, keharmonisan dalam hidup bersyarakat hal ini terlepas dari ritual keagamaan, nyatanya
agama sanggup memberi jaminan terhadap kehidupan bertetangga.
Emile Durkheim berpendapat bahwa agama adalah suatu peraturan yang dibutuhkan oleh masyarakat
untuk mengikat individu menjadi satu kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritual melalui
simbol-simbol yang sifatnya suci. Dengan kata lain, agama mengikat suatu individu kepada sekelompok yang
terikat satu kesatuan. Durkheim membedakan masyarakat modern yang biasa disebut solidaritas modern dan
masyarakat tradisional yang biasa disebut solidaritas organik. Menurut Durkheim, ide tentang masyarakat
adalah jiwa dari agama, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk dasar agama adalah :
a. Pemisah antara ‘yang suci’ dan ‘yang profan’

2
Emmile Durkheim, The Rules of Sociological Method (New York: Free Press, 1964), 2. Atau informasi ini dapat dirujuk dalam
terjemahan buku Durkheim itu oleh Prof. Dr. Soerjono Soekato pada halaman 3-10.
3
B. cristian triyudo p, Agama sebagai realisasi kesadaran kolektif.
b. Permulaan cerita tentang dewa-dewa
c. Macam macam bentuk ritual

Dasar agama ini bisa direalisasikan dalam semua kebudayaan, dan akan memunculkan bentuk sosial.
Menurut Durkheim, agama bukanlah ‘sesuatu yang di luar’ tetapi ‘ada dalam masyarakat’ itu sendiri, agama
terbatas hanya pada seruan kelompok untuk tujuan menjaga kelebihan khusus suatu kelompok.4 Pusat
pandangan Durkheim berada dalam klaimnya bahwa “agama adalah sesuatu yang bersifat sosial.” Dalam setiap
kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Dia melayani masyarakat
dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup
bermasyarakat.

Menurut teori Fungsionalisme Struktural yang ada dalam ranah penelitian Durkehim, bahwa Masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian, akan berpengaruh pada bagian yang
lainnya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem soisial, fungsional terhadap yang lain.
Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem
yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi
menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan
bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.5

3. Antropologi adalah sebuah keilmuan yang membahas sederet ilmu pengetahuan yang basis kajiannya
adalah manusia dan segala kebiasaan yang disebut budaya, kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang
sifatnya tidak bisa hidup secara individu membuatnya kajian antropologi semakin mencakup kepada budaya dan
agama, agama adalah sasaran daripada kehidupan manusia dengan menggunakan kacamata pandang
antropologis kita bisa mengetahui gerak-gerik perubahan disetiap zaman, dengan kacamata pandang ini
khazanah keilmuan sosial akan menjadi luwes karena agama tidak dipandang dalam kajian teologis namun
implikasi terhadap kehidupan masyarakat, kondisi sosial historis, dan makna agama bagi manusia.

4. Nilai adalah suatu standart tingkah laku atau sesuatu yang dengan niai tersebut orang menakar sebuah
prilaku seseorang. Kita mengambil sebuah contoh yang gampang pendidikan nilai adalah penanaman dan

4
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2011). 3.
5
Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2006). 6.
pengembangan nilai-nilai dalam diri seseorang. Suatu nilai ini menjadi pegangan bagi seseorang yang dalam hal
ini adalah siswa atau peserta didik, nilai ini nantinyaakan diinternalisasikan, dipelihara dalam proses belajar
mengajar serta menjadi peganganhidupnya. Memilih nilai secara bebas berarti bebas dari tekanan apapun. Nilai-
nilai yangditanamkan sejak dini bukanlah suatu nilai yang penuh bagi seseorang. Situasi tempat, lingkungan,
hukum dan peraturan dalam sekolah, bisa memaksakan suatu nilai yang tertanam pada diri manusia yang pada
hakikatnya tidak disukainya-pada taraf ini semuanya itu bukan merupakan nilai orang tersebut. Sehingga nilai
dalam arti sepenuhnya adalah nilai yang kita pilihsecara bebas. Yang dalam hal ini adalah pengaktualisasian
nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran yang nantinya disajikan beberapa nilai-nilai yang akan diterapkan
dan dilaksanakan secara langsung dalam proses belajar mengajar oleh guru. Sehingga dari situlah realisasi
daripada nilai itu terlaksana dengan baik.Jadi nilai-nilai islam pada hakikatnya adalah kumpulan dari prinsip-
prinsip hidup, ajaran-ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya di dunia ini,
yang satuprinsip dengan lainnya saling terkait membentuk satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisah-pisahkan
jadi, jika kita membahas islam sebagai nilai agaknya di dalam esensi ritual keagamaan islam kita akan
dipertemukan dengan pembahasan halal, haram, najis suci, mubah, makruh, ini adalah serentetan pengertian
mengenai islam sebagai nilai yang menjadi tolak ukur atau menakar sebuah prilaku keagamaan dengan bentuk
nilai-nilai yang menjadi kesepakatan dalam lingkup beragama.

Islam sebagai agama dari kalangan sebagian pemikir islam kurang sefaham apabila islam tidak mengatur
ummatnya kedalam dunia politik, terlepas dari nilai islam yang hanya membahas agama dari sudut pandang
halal-haram jika kita meraba lebih lanjut kedalam agaknya ada kalangan yang melihat islam harus masuk ke
ruang lingkup politik, kita mengenal taqiyuddin an-nabhani dengan kelompoknya dan dia pula yang membentuk
organisasi hizbut tahrir yang terkenal ekstrim akan seperangkat aturan dalam islam mereka agaknya tuaian dari
sistem kecemburuan sosial sehingga dengan hizbut tahrir bentukannya dia mensefahamkan corak islam dengan
wajah yang begitu ekstrimis.

Anda mungkin juga menyukai