Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330651306

KAJIAN LITERATUR METODOLOGI PENELITIAN FENOMENOLOGI DAN


ETNOGRAFI

Method · January 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.15786.47044

CITATIONS READS
0 3,332

1 author:

Tari Budayanti Usop


Universitas Palangka Raya
8 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Arsitektur Dayak View project

All content following this page was uploaded by Tari Budayanti Usop on 26 January 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KAJIAN LITERATUR METODOLOGI PENELITIAN
FENOMENOLOGI DAN ETNOGRAFI

Tari Budayanti Usop


Mahasiswa S3 Arsitektur dan Perencanaan UGM

Abstraksi

Tulisan ini mendeskripsikan tentang metode penelitian fenomenologi dan etnografi.


Penelitian terhadap fenomenologi dan etnografi merupakan penelitian kualitatif yang berangkat
dari sebuah fenomena yang ditemukan dilapangan, mengungkapkan tentang budaya dan
kehidupan masyarakat. Namun tipe Fenomelogi merupakan metode penelitian yang menekankan
pada pengamatan, luas dalam bidang ilmu, terdapat esensi dibalik eksistensi, realitas dibalik
kenampakan, dan noema (kesadaran intensionalitas) dibalik fenomena yang nampak.
Sedangkan tipe etnografi merupakan penelitan yang lebih kepada “potret orang” tentang deskripsi
budaya tertentu, adat istiadat, kepercayaan, dan perilaku. Persamaan dari kedua tipe metode
penelitian Fenomenologi dan Etnografi adalah suatu penelitian yang informasi datanya pada
lapangan, lokasi, mempelajari masyarakat dan belajar dari masyarakat. Akan tetapi tipe
Fenomenologi berfokus pada fenomena, kepercayaan, dan keyakinan. Sedangkan tipe etnografi
berfokus pada budaya yang terjadi dilingkungan masyarakarat.
Metode penelitian Fenomenologi dan Etnografi ini paradigma yang mengungkap, menggali,
dan menggambarkan cara pandang masyarakat sebagai pelaku objek tersebut, melihat suatu
objek tidak hanya secara tampilan fisik, dan terukur secara angka-angka. Mengapa demikian
karena budaya kehidupan masyarakat yang bersifat lisan, tidak dapat diukur secara
statistik,melainkan melalui sesuatu realitas yang nampak, melalui proses pendekatan wawancara
kemudian bisa menemukan sesuatu yang menjadi pemahaman kita didalam menggali
permasalahan dan menemukan jawaban dari fenomena tersebut.
Kata kunci : Kualitatif, Fenomenologi, dan etnografi.

Pendahuluan
Penelitian merupakah salah satu kewajiban dalam dunia civitas akademik untuk
mengasah kemampuan profesionalitasnya dalam dunia akademik. Demikian halnya
mahasiswa, dosen, dan lainnya yang melakukan suatu penelitian sebagai suatu syarat
mendapatkan gelar kesarjanaan, suatu tugas tri darma perguruan tinggi, dan untuk
memajukan ilmu pengetahuan dalam mengembangkan berbagai penemuan-penemuan
baru, teori baru dan teknologi baru. Sedemikian pentingnya kegiatan penelitian,
membutuhkan suatu keahlian, tetapi terkadang keterbatasan dalam kemampuan
melakukan penelitian khususnya dalam penguasaan metode penelitian menjadikan
sumber masalah ketika menyusun proposal dan melaksanakan penelitian.
Membahas metode penelitian, khususnya fenomenologi dan etnografi penting agar
menjadi pemahaman secara komprehensif dalam merancangan penelitian bidang ke
arsitekturan dan perencanaan. Pendekatan penelitian fenomenologi dan Etnografi masuk
dalam pendekatan kualitatif, menurut Lincoln dan Guba dalam Naturalistic Inquiry (1985:
70-91) menjelaskan tentang pendekatan penelitian kualitatif. Pertama (1), secara
ontologis penelitian kualitatif ditandai oleh fakta bahwa peneliti mengkonstruksi /
membangun realitas yang dia lihat. Dalam gagasan penelitian kualitatif, masing-masing
orang dilibatkan dalam penelitian, sebagai partisipan atau subyek bersama-sama
mengkonstruk realitas. Kedua (2), secara epitemologis, penelitian kualitatif didasarkan
pada nilai dan judgment nilai, bukan fakta. Dalam pandangan umum di lapangan mereka
mengklaim bahwa nilai peneliti memandu dan membentuk simpulan penelitian sebab
peneliti membangun realitas dari penelitian. Dalam waktu yang sama peneliti memiliki
sensitifitas pada realitas yang diciptakan oleh orang lain yang terlibat, dan konsekuensi
perubahannya dan perbedaan-perbedaan nilai. Semua temuan dalam penelitian kualitatif
yang dinegosiasikan secara sosial diakui benar. Ketiga (3), penelitian kualitatif bersifat
empiris dan ilmiah sebagaimana penelitian kuantitatif, meskipun dasar-dasar filosofis
penelitian kualitatif baik secara ontologis maupun epistemologis dipandu oleh judgment
nilai yang subyektif.
Menurut Creswell (1994:5) asumsi pendekatan Kualitatif :
• Secara ontologis, menyatakan realitas itu subyektif dan multiple seperti yang dilihat
oleh partisipan dalam penelitian.
• Secara epistemologis, hubungan peneliti berinteraksi dengan yang diteliti.
• Secara axiologis, peran nilai memuat nilai dan bias (value laden and beased)
• Secara retorika, bahasa penelitian yang digunakan formal, mengembangkan
keputusan, mendengar suara perseorangan (personal voice), menggunakan kata-kata
yang diterima oleh bahasa kualitatif.
• Secara metodologi proses penelitian bersifat induktif, membentuk hubungan yang
timbal balik (mutual simultaneos) dari faktor-faktor, memunculkan desain mendesain
kategori selama proses penelitian, terikat pada konteks, pola-pola dan teori-teori
dikembangkan untuk memahami, akurasi dan realibilitas melalui verifikasi.
Creswell (1994:11) memberikan beberapa contoh desain dalam pendekatan kualitatif
diantaranya: desain-desain didiskusikan dalam human ethology, ecological psychology,
holistic “ethnography”, cognitive anthropology, “ethnography of communication dan
symbolic interactionisme” (Jacobs :1987) ; Pendekatan kualitatif juga dikategorikan
kedalam interpretive approaches, artistic approaches, sistematic approaches dan
theory-driven approaches (Smith : 1987); Tesch mengidentifikasi 20 tipe dan kategori
yang ditujukan pada the characteristics of language, the discovery of regularities, the
comphrehension of meaning dan reflection; Lancy (1993), mencatat penelitian kualitatif
dengan anthropogical perspective, sosiological perspective, biological perspectives, the
case study, personal account, cognitive studies, dan historical inquiry. Creswell
(1994:11-12) mencontohkan empat desain yang ditemukannya dalam penelitian ilmu-
ilmu sosial dan manusia yakni “Ethnographics”, Grounded Theory, Case Study dan
“Phenomenological studies”. Sedangkan menurut Myers (2009) (www.qual.auck
land.ac.nz/a) metode-metode penelitian kualitatif terdiri dari action research, case study
research, ethnography dan grounded theory.
Penelitian fenomenologi dan etnografi merupakan salah satu metode penelitian
yang bersifat bisa saling melengkapi, ketika suatu kajian yang diteliti terdapat suatu nilai
kepercayaan yang dianut didalam kehidupan masyarakat tersebut, dan untuk
mempertajam dari suatu pemahaman akan nilai kepercayaannya mereka, maka
penggalian makna dari pendapat partisipan (masyarakat) maka diperlunya data
pendukung utama untuk menganalisa bagaimana gambaran atau potret partisipan
tersebut didalam kehidupan berbudaya dan pandangan hidup mereka sendiri. Posisi dan
peran si Peneliti adalah mendengar, merekam, dan memahami kondisi masyarakat
secara utuh tentang nilai dan arti pandangan hidup mereka sendiri. Penelitian menjadi
lebih memahami suatu realitas dan faktual di lapangan, ketika sudah ikut merasakan,
mengalami dan membaur didalam kehidupan mereka.
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan mengapa perlunya
penelitian kualitatif, untuk kajian budaya dan nilai-nilai kepercayaan yang terdapat
didalam kehidupan masyarakat tidak dapat diukur (measuring) dengan suatu angka atau
data statistik, esensi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat berupa suatu
pemahaman yang dirasakan ketika sudah menyatu dalam pemikiran mereka. Budaya
lisan yang ada kehidupan masyarakat tradisional juga mengharuskan peneliti
menggunakan metode kualitatif, terkhususnya dalam tipe fenomenologi dan etnografi.

Metode Penelitian Fenomenologi


Arti kata dari fenomenologi secara etimologis yaitu berasal dari fenomena dan
logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani, yaitu “phainesthai” artinya menampak,
dan sinonim kata dari kata fantasi, fanton, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya.
Berdasarkan kata tersebut maka terbentuk kata kerja, yaitu “tampak” terlihat karena
bercahaya. Dalam bahasa Indonesia diartikan “cahaya”. Secara harfiah fenomena
diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Selanjutnya menurut menurut
Moleong (2007:8) fenomenologis mengacu pada kenyataan, atau kesadaran tentang
sesuatu benda secara jelas, memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap
orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu, untuk memahaminya memulai
dengan diam. Para fenomenologis berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk
karena kebetulan oleh sesuatu hal yang lain daripada dirinya sendiri.
Aliran penelitian Fenomenologi menurut Husserl (1970, 1964) dan Schutz (1970)
dalam bukunya “The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology:
An Introduction to Phenomenological Philosophy”, mengatakan bahwa terdapat kekurang
dan kehilangan jiwa meneliti dalam ilmu pengetahuan, khususnya terkait dengan
penelitian yang menyangkut tentang penelitian sejarah, nilai kepercayaan, dan
kebudayaan. Husserl menyerang positivisme yang dikatakannya telah gagal dalam
mengangkat harkat dan martabat manusia, “the positivistic reduction of the idea of
science to mere factual science; the crisis of science as the loss of its meaning for life”.
Kegagalan positivisme menurut Husserl adalah jika didalam cara berpikir terlalu
obyektifitas-positivistik dan generalisasi sehingga ilmu-ilmu menjadi steril dan telah
mengabaikan sejarah, spiritualitas, nilai-nilai ideal, dan norma-norma kehidupan
manusia. Berpikir “obyektifitas” versi positivisme sesungguhnya adalah hasil dari suatu
dominasi atau hegemoni suatu epistemology keilmuan.
Krisis ilmu-ilmu dalam positivistik memunculkan suatu aliran penelitian
“Fenomenologi Transendental” dimana menurut Husserl sumber kebenaran ilmu
bukanlah pada cara berpikir “logika deduktif”, melainkan pada pengamatan langsung
(dunia nyata) / “life-world” / “the world “the world of common experience” / “lived
experience” / Schutz menyebutnya sebagai “world of daily life”.
Menurut Sudaryono (2012) intisari dari ajaran para tokoh fenomenologi mulai dari
Husserl (1964), Ponti (1962), Schutz (1970), dan Heidegger (2008) :
(2)
(1)
Life-world, life (3) (4)
Transcendental
experience, the The science of them Self-knowledge
Phenomenology
common experience

(7) (8)
(5) (6)
Epoche, bracketing, Intentionality of
A priori of life-world Life of depth
reduction consciousness

(11)
(9) (10) Textual description (12)
Essence Clusters of meanings and structural Intersubjectivity
description

Gambar I
Kesimpulan pendapat dari tokoh fenomenologi berdasarkan
cara berpikir dalam aliran “Transendental Fenomenologi”
(Sumber : Sudaryono, 2012)

Berdasarkan pemahaman kesimpulan diatas cara pandang penelitian dalam aliran


“transendental fenomenologi” adalah fenomena diluar ego si peneliti, dimana sumber
kebenaran didapat pada pengamatan langsung pada “dunia nyata” atau “life-world”,
jawaban dari ilmu pengetahuan itu berasal dari mereka sendiri (partisipan) yang diteliti.
Pemahaman pribadi disini adalah peneliti berpikir secara subjek, menyatu dan
merasakan pengetahuan mereka, tentang cara pandangan hidup mereka, contohnya :
Penelitian Budaya berbusana masyarakat Bali pada tahun 1950-1970an khususnya para
wanita yang terlihat vulgar (terbuka pada area dada) hanya ditutup dengan selendang,
mengenakan kebaya kain sebatas pinggang dan begitu juga dengan para pria
mengenakan kain sebatas pinggang dengan dada terbuka, bagi orang luar (Belanda,
yang pada saat itu sedang menjajah) itu melanggar norma kesopanan, namun dalam
pandangan mereka itu adalah hal yang biasa, dan terdapat aturan adat yang melindungi
mereka jika ada yang melakukan hal-hal yang tidak sopan akan dihukum secara sosial
oleh adat desa mereka, sehingga para wanita sangat dilindungi.
Selanjutan cara berpikir deductive (kuantitatif) pada “life world”. Penelitian tentang
sejarah, kepercayaan, dan budaya dapat juga diceritakan berdasarkan data analitik yang
dijelaskan secara narasi kualitatif. Ketika kasus penelitian sudah memahaminya secara
mendalam maka peneliti tidak tergesa-gesa untuk melakukan kesimpulan akhir,
diperlukan suatu penundaan (epoche) atau mengurangi dan menyaring (filter) data yang
didapat dengan menggunakan kesadaran yang bijaksana. Intisari dari hasil penelitian
fenomenologi yang didapat adalah menemukan sebuah realitas yang nampak sebagai
transenden, sintesis dari subjek dan objek, segala sesuatu yang dipahami didasarkan
pada pengetahuan dan pengalaman masa lalu.
Ilustrasi diatas bisa dijelaskan dalam Sudaryono (1998) yang dikembangkan dari
Husserl (1954), metode kerja fenomenologi “Husserl” dan struktur pengetahuan,
menjelaskan antara cara berpikir “objek” yaitu beranjak dari pemikiran pribadi (self
knowledge), dan cara berpikir “subjek” dimana pengetahuan didapat dari mereka
(science of them) atau pandangan partisipan. Dasar dari memahami sesuatu
fenomenologi adalah pengalaman hidup (the life world / world of experience), secara
objek life world berada dan melihat pada sesuatu dari “fisik” yaitu pengalaman ruang
pribadi dan “sensual” yaitu dari aktivitas yang dirasakan secara pribadi. sedangkan
secara subjek life world berada pada wadah / badan / spirit, yang secara sensual
dirasakan dari sesuatu kehadarian yang nampak didalam diri mereka (science of them)
hal ini adalah sesuatu kesadaran transendental yang pada akhirnya melalui sesuatu
proses yang panjang (reduction proces aidetic) menuju pada struktur hakiki kesadaran
tujuan menemukan sebuah : konsep, strategi, metode, dan teori, yang dasar penilaiannya
menggunakan ego transendental. Secara stuktural pengetahuan berangkat dari
subjektivitas sipeneliti yang berangkat dari sebuah hipotesis menuju pada struktur yang
objek fenomenologi guna menemukan kebenaran empiri yang dibuktikan melalui
wawancara dan analisa deduktif verikatif, dimana struktur hakiki kesadaran (intesionality
consiouness) adalah bertujuan untuk menemukan sebuah konsep, strategi, metode, dan
teori. Kesadaran transendental didapat dari nilai dasar filosofi dan spititual yang
dirasakan.
Reduksi eidetic yaitu : (1) Reduksi fenomenologis (menyibak yang nampak, atau
yang dialami dan tersaji secara textual description), kemudian bergerak ke atas untuk
menyibak structural description untuk menuju pada (2) Kesadaran intensional
(intentionality of consciousness) yang menjadi landasan (noema) bagi yang Nampak
(phenomena), untuk kemudian menuju pada (3) makna tertinggi, hakekat, esensi, yang
ideal, the ultimate, yang transendental, atau epoche dari keilmuan yang dibangunnya.
Objek keilmuan (life world) merupakan sesuatu keunikan tersendiri (self konwledge) bisa
dikatakan peran keilmuannya dari pemandu kebenaran (bersifat deduktif-positivistic)
menjadi penggali kebenaran (melalui kerja induktif eksploratif). Kesadaran transendental
(the essence / the ultimate knowledge / epoche) menurut Husserl (1970) untuk
menyingkap kebenaran yang secara bertahap bergerak keatas.
Penelitian fenomenologi (kualitatif) dalam bidang ilmu arsitektur dan perencanaan,
dalam proses analisa fenomenologi bisa menemukan sebuah temuan baru / jawaban
baru / teori baru. Dalam sesuatu proses yang yang nampak / realitas, metodenya tidak
membawa teori tetapi menghadirkan sebuah temuan teori baru, model kerjanya
kesadaran segala sesuatu yang dipahami didasarkan pada pengetahuan dan
pengalaman masa lalu, sipeneliti mengalami mengalami objek (grounded / menyatu /
membaur), lama kelamaan menemukan kesadaran / pemahaman transendental

Metode Penelitian Etnografi


Etnografi secara umum adalah penguraian atau gambaran tentang bangsa-
bangsa pada suatu waktu. Gambaran itu mengenai adat istiadat, susunan masyarakat,
gambaran fisik (warna kulit, tinggi badan, dan rambut), Bahasa, sistem pengetahuan,
sistem peralatan hidup, kesenian, organisasi sosial, dan sistem religi
(www.wikipedia.com). Jika dipahami dalam penggunaan bahasa Inggris, ethno adalah
people (orang / manusia), dan graphy adalah writing (tulisan / gambaran). Jadi etnografi
adalah ilmu tentang manusia, tentang asal-usul, istiadat. Kesemuanya ini untuk mencari
rasa keingin tahu manusia secara totalitas dimasa lalu dan dimasa sekarang, dengan
tujuan untuk menjelaskan dan kebenaran tentang suatu masalah. Metode dalam
melakukan analisa data dilakukan secara deskripsi kualitatif, menganalisa tentang suatu
masyarakat didasarkan pada penelitian lapangan, serta menyajikan data-data yang
bersifat hakiki. Proses berpikirnya adalah mencari, menggali, objek yang dinilai
berdasarkan apa, dan bagaimana kejadian itu terjadi, hingga disimpulkan.
Definisi etnografi menurut para pakar peneliti etnografi dalam Genzuk (Center for
Multilingual, Multicultural Research). Marvin Haris dan Orna Johnson (2000) etnografi
adalah metode penelitian tentang potret orang tentang deskripsi tertulis tentang budaya
tertentu – adat istiadat, kepercayaan, dan perilaku. Sumber informasi yang dikumpulkan
adalah melalui kerja lapangan. Mengacu pada kerja lapangan, alternatifnya observasi
partisipan (John Van Maanen, 1996). Adapun menurut David M. Fetterman (1998)
mengatakan bahwa etnografi adalah seni dan ilmu yang menggambarkan suatu
kelompok atau budaya. Deskripsi mungkin dari kelompok suku kecil di tanah eksotis atau
ruang kelas di sub-urbia kelas menengah. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka
dapat disimpulkan etnografi adalah seni “Potret Orang” yang mempelajari masyarakat
dan belajar dari masyarakat.
Penelitian etnografi dikembangkan oleh Spradley, yaitu menekankan kepada
usaha untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya
mereka dalam pikiran mereka dan menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Jadi
bentuk sosial dan budaya disini adalah susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota
masyarakat tersebut dan tugas peneliti mengoreknya keluar dari fikiran mereka. Budaya
bukanlah hanya suatu fenomena material seperti benda-benda, manusia, prilaku, atau
emosi. Tugas etnografi adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran
tersebut. Penelitian etnografi merupakan pekerjaan mendiskripsikan suatu kebudayaan
dari sekelompok orang. Artinya memahami suatu “pandangan hidup” dari sudut pandang
“penduduk asli”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Malinowski dalam Spradley
(1997:3), dengan arti lain adalah etnografi mempelajari masyarakat dan belajar dari
masyarakat. Adapun metode penelitian etnografi dalam Genzuk adalah sepeti dibawah
ini :

Tabel 1.
Metode Penelitian Etnografi

Metode dan Sifat Penelitian Paradigma Etnografi Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Etnografi adalah metode Metode etnografi dapat Teknik Pengumpulan Data :
penelitian ilmu sosial memberi paradigma, dan wawancara, observasi, dan dokumen.
variabel baru, untuk Jenis data:
pengujian empiris lebih lanjut Kutipan, deskripsi, dan kutipan dokumen,
dalam lapangan atau melalui menghasilkan satu produk: deskripsi naratif.
“metode-metode ilmu sosial Narasi mencakup : grafik, diagram, dan artefak
kuantitatif tradisional”. tambahan yang membantu menceritakannya
"cerita" (Hammersley, 1990)
Sifat penelitian : up-close, Etnografer ini sering bekerja Titik fokus etnografi mungkin termasuk intensif
pengalaman pribadi dan dalam tim multidisipliner pembelajaran bahasa dan budaya.
partisipasi, pengamatan Studi intensif dari satu bidang atau domain, dan
yang dilakukan oleh para perpaduan metode historis, observasi, dan
peneliti yang terlatih dalam wawancara
seni etnografi
(Sumber : Genzuk)
Etnografi berkembang menjadi 2 (dua) bentuk etnografi, yaitu :
1. Etnografi Realis : pendekatan yang populer digunakan oleh para antropolog budaya.
Dijelaskan Creswell (2012: 464) etnografi merefleksikan sikap tertentu yang diambil
oleh peneliti terhadap individu yang sedang dipelajari. Etnografi realis adalah
pandangan obyektif terhadap situasi, biasanya ditulis dalam sudut pandang orang
ketiga, melaporkan secara obyektif mengenai informasi yang dipelajari dari para
obyek penelitian di lokasi (Creswell, 2012:464).
2. Etnografi kritis : jenis penelitian etnografi di mana penulis tertarik memperjuangkan
emansipasi kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat (Creswell, 2012: 467).
Peneliti kritis biasanya berfikir dan mencari melalui penelitian mereka, melakukan
advokasi terhadap ketimpangan dan dominasi (Creswell, 2012: 467). Sebagai
contoh, ahli etnografi kritis meneliti sekolah yang menyediakan fasilitas untuk siswa
tertentu, menciptakan situasi yang tidak adil di antara anggota kelas sosial yang
berbeda, dan membiarkan diskriminasi gender.
Terkait dalam bidang ilmu arsitektur, yang memperlajari karakteristik manusia
tentang bagaimana mendesain suatu produk atau ruang yang nyaman untuk dipakai
masyarakat luas metode-metode penelitian etnografi mendukung proses penerapan
arsitekturalnya. Dimana memperhatikan arsitektur dalam “makna sosial” dan “budaya”
untuk meningkatkan kualitas desain bangunan masyarakat. Metodenya menggunakan
sudut pandang / persepsi antropologi etic (orang luar) dan emic (orang dalam). Penelitian
lapangan “etnografi” mempelajari pengalaman penghuni bangunan. Secara harfiah,
etnografi berarti menggambarkan (grafik) orang-orang (ethno), dan dalam prakteknya
menggambarkan “ekspresi perilaku” dan materi budaya, termasuk arsitekturnya.
Menggabungkan perspektif etik dan emik dicapai melalui foto elisitasi, teknik wawancara
etnografi dalam mengumpulkan informasi. Memberi umpan balik kepada arsitek, supaya
lebih sadar akan pengalaman masyarakat dalam merancang bangunan masa depan,
terdapat nilai penelitian sosial dan budaya.

Studi Pembanding Peneltian Fenomenologi dan Etnografi dalam Kajian


Kepercayaan Transendental dan Budaya Masyarakat

Tabel 2
Studi Pembanding Contoh Penelitian Fenomenologi dan Etnografi

NO. FENOMENOLOGI TIPE OBJEK dan TEMUAN


SUBJEK PENELTIAN
1. Ritual And Space • Kepercayaan • Nilai ruang ritual • Nilai kepercayaan
Structure: Pilgrimage And • Histori • Penggunaan ruang pada makam
Space Use In Historical • Nilai dan Makna ruang bersejarah suci, memperkuat
Urban Kampung Context ruang • Sejarah urban nilai ruang dan
Of Luar Batang (Jakarta, kampung menjadi sesuatu
Indonesia) kekuatan terhadap
Popi Puspitasari (2012) potensi ruang
2. Nilai Ruang Di Kawasan • Kepercayaan • Kehidupan • Nilai ruang
Ampel Surabaya • Histori aktivitas kawasan Ampel
(Rimadewi Supriharjo, • Nilai dan Makna masyarakat yang bersejarah
2004) ruang • Kepercayaan dan memberi makna
nilai sejarah dan pengaruh
kawasan yang dalam bagi
membawa kehidupan
pengaruh sosial masyarakanya
ekonomi • Konsep lokal
masyarakat
3. Makna Ritual “Nyadiri” • Kepercayaan • Masyarakat dayak • Kepercayaan
Bagi Kehidupan Suku • Histori ngaju memiliki Nyadiri adalah
Dayak Ngaju (Bungas : • Makna nilai tradisi dan suatu restorasi
2012). • Budaya kepercayaan kehidupan
terhadap arti bermimpi sebagai
Mimpi dengan sesuatu petunjuk
ritual Nyadiri dan firasat yang
dianggap memiliki
makna penting,
4. Posaasaangu sebagai • Kepercayaan Nilai Ruang sosial • Makna ruang
Nilai Transendental • Histori dan budaya dalam permukiman Sulaa
Penciptaan dan • Nilai transendental permukiman yang yang terkandung
Penggunaan Ruang di • Nilai dan Makna hidup harmoni dan dalam eksistensi
Permukiman Sulaa ruang kebersamaan ruang, kesadaran
Baubau. (Ishak Kadir, ruang,
2015) persekutuan ruang
sosial,
penyesuaian
ruang.
• Pengetahuan
teoritas lokal
tentang makna
ruang bermukim
5. Marapu : Kekuatan di • Kepercayaan • Spirit daya tahan • Kekuatan
Balik Kekeringan Potret • Nilai transendental hidup dalam kepercayaan
Masyarakat Wunga • Nilai dan Makna kondisi transendental
Kabupaten Sumba Timur ruang keterisolasian • Teori lokal tentang
Propinsi NTT : Palekahelu • Fenomena desa kedayatahan hidup
(Dharmaputra yang miskin menghadapi
Taludangga, 2010) kekeringan
No. ETNOGRAFI TIPE OBJEK dan TEMUAN
SUBJEK PENELTIAN
6. Identitas territorial, studi • Budaya • Spirit teritori • Spirit masyarakat
tentang identitas territorial pertahanan • Etnografi petani desa yaitu petani
di negri Hatunur (Juberth • Mempertahankan • Kosmologi hutan dalam kekuatan
Tupan, 2016) identitas ruang sebagai dapur untuk menolak.
kehidupan • Upaya
mempertahankan
teritori ruangnya
terhadap investor
kelapa sawit
7. Transforming the city : • Perubahan kota Melihat kota dengan • Kota menjadi
The potential for urban dalam budaya cara etnografi dan ruang penting
ethnographies of public masyarakat urban kota dalam untuk kegiatan
relations (PR) The case • Potensi perubahan kehidupan komunikasi yang
of Latin America. • Globalisasi masyarakat urban inovatif.
(Caroline E.M. Hodges , pada kota besar • Menemukan
& Janice Denegri-Knott : pemahaman
2012) tentang proses
transformasi
budaya pada
perkotaan di era
globalisasi.
8. The Living House An • Budaya rumah • Nilai teknologi dan • Filosofi, makna
Anthropology of tinggal dalam simbolisasi dan konsep rumah
Architecture in South– sejarah arsitektur arsitektur sebagai tempat
East Asia. (Roxana asia tenggara • Nilai kekerabatan tinggal bagi
Waterson : 1997) • Konsep philosofi (house societies) arsitektur di asia
arsitektur • Kosmologi tenggara
tradisional
9. Perubahan Ruang • Perubahan budaya • Perubahan nilai • Akulturasi budaya
Bermukim Masyarakat ruang bermukiman budaya ruang
Transmigrasi dan Lokal di • Pengaruh antara masyarakat
Poros Jalan Utama pada infrastruksur jalan lokal dan pendatang
Kampung Dayak di
Ensaid Panjang. (V.
Febriano, 2016)

Berdasarkan tabel diatas dari 9 (sembilan) implementatif penelitian yang diambil


sebagai studi pembanding, maka dapat di simpulkan bahwa penelitian-penelitian tersebut
diawali dari sebuah ketertarikan tentang sesuatu yang nampak dan menjadi realitas yang
hanya bisa dijelaskan secara kualitatif. Fenomenologi dan etnografi disini memiliki
persamaan paradigma terletak pada kajian budaya lokal, yang memiliki nilai atau makna
yang transendental didalamnya yaitu nilai kepercayaan, sedangankan pada etnografi
lebih kapada menggambarkan tentang manusia yang mengalami objek kehidupan
budaya didalamnya.
Ada pernyataan menarik dari Husserl yang berkaitan dengan kualitatif
fenomenologi, menurutnya, all qualitative research has a phenomenological aspect to it,
but the phenomenological approach cannot be applied to all qualitative reseach, artinya
semua penelitian kualitatif memiliki aspek fenomenologi didalamnya, tetapi pendekatan
fenomenologi tidak dapat diaplikasikan ke semua penelitian kualitatif (Padila-Diaz : 2015).
Berbeda dengan penelitian etnografi yang lebih berfokus pada kajian budaya yang mana
bertujuan untuk mengkritisi sesuatu masalah berdasarkan sudut pandangan masyarakat.
Akan tetapi penelitian yang berkaitan dengan masyarakat sebagai objek,
diperlukan suatu strategi agar dalam proses pencarian data tidak memakan waktu lama,
penelitian kualitatif tidak memiliki batas dalam pencarian data. Pengalaman para peneliti
dalam melakukan tipe penelitian seperti ini adalah memiliki strategi pendekatan kepada
masyarakat. Perencanaan penelitian kualitatif dari kedua tipe penelitian fenomenologi
dan etnografi diperlukan suatu manajemen khusus agar target penelitian tidak memakan
waktu lama. Adapun saran-saran yang dilakukan adalah :
1. Membuat protokol pengumpulan data yang akurat.
2. Membuat daftar pertanyaan kepada responden supaya lebih terarah.
3. Melakukan observasi lapangan, agar bisa merasakan sesuatu yang dirasakan
masyarakat tersebut.
4. Interpretasi masyarakat berbeda dengan interpretasi peneliti, karena masyarakat
yang merasakan kehidupan tersebut secara objek.
5. Memahami kebiasaan hidup masyarakat, sehingga dalam proses pencarian data
menjadi tepat sasaran.
6. Ketika data didapat sangat berlimpah maka perlunya proses reduksi data yang sesuai
dengan kajian yang diteliti.
7. Membanding teori yang muncul dengan literatur yang sudah ada

Kesimpulan
Penelitian fenomenologi dan etnografi merupakan salah satu penelitian kualitatif,
mengapa demikian karena sumber data yang didapat adalah kehidupan sosial budaya
masyarakat yang tidak dapat diukur, dinilai, dan dianalisa secara statistik. Hal ini juga
munculnya tipe penelitian kualitatif dikarenakan adanya kritikan terhadap penelitian
kuantitatif karena tidak mampu lagi menjawab segala persoalan yang dialami masyarakat
saat ini. Dipertegaskan juga oleh Husserl (1954) dalam Sudaryono (2012) bahwa
paradigma positivisme dikatakan gagal dalam mengangkat harkat dan martabat manusia:
The positivistic reduction of the idea of science to mere factual science; the crisis of
science as the loss of its meaning for life. Mengapa demikian ? kegagalan positivisme
karena terlalu obyektivitas-positivistik dan generalisasi sehingga, ilmu-ilmu menjadi steril,
dan telah mengabaikan sejarah, spiritualitas, nilai-nilai ideal, dan norma-norma
kehidupan manusia Obyektifitas versi positivisme sesungguhnya adalah hasil dari suatu
dominasi atau hegemoni.
Berdasarkan 9 contoh penelitian fenomenologi dan etnografi diatas. Maka bisa
dikatakan bahwa tipe fenomenologis menggali dan menemukan pengalaman hidup
manusia yang mengalami secara objek, kepercayaan yang transendental, contohnya
pada penelitian desertasi “Kepercayaan Marapu” : di desa Sumba terdapat sebuah desa
yang mengalami kekeringan, lokasi desa tersebut jauh dan terisolasi dari keterjangkauan
jasa pelayan kesehatan dan pemerintah, bagi orang yang melihat secara rasionalitas
akan berpikir mengapa tetap bertahan, dipindahkan saja tersebut, karena tidak layak,
dan tidak memberikan kesejahteraan bagi penduduk yang tinggal didalamnya, akan
tetapi berbeda dengan pandangan masyarakat didalamnya yang memiliki kepercayaan
Marapu, bahwa mereka berada dan hidup di desa ini bukan sesuatu yang kebetulan,
melainkan ada sesuatu yang istimewa dari leluhur terdahulu yang memilih lokasi desa.
Begitu juga dengan tipe penelitian etnografi, yang lebih berfokus pada budaya
kehidupan masyarakat didalamnya. Penelitian etnografi tidak hanya melihat sesuatu
yang tradisional melainkan pada objek kehidupan modern pada masyarakat yang
mengalami era globalisasi pada saat ini terdapat perubahan gaya hidup berbudaya yang
berkembang sehingga kritikan budayapun terjadi didalam, yang mana bertujuan untuk
menemukan sebuah potensi dan peluang pada hubungan masyarakat, salah satu contoh
penelitian etnografi adalah : “Transforming the city , The potential for urban ethnographies
of public relations (PR) The case of Latin America”, dalam penelitian ini peneliti melihat
gambaran hidup warga masyarakat di Amerika Latin khususnya pada kasus 2 (dua) kota
besar yaitu Mexico dan Peru. Peneliti merasakan terdapat perubahan kota dalam
kehidupan masyarakat urban, dan menangkap potensi perubahan yaitu seperti gaya
hidup kuliner, pola konsumsi komunikasi, wadah olah raga, gaya berbelanja, bagaimana
mengisi waktu luang masyarakat kota (urban). Berdasakan kehidupan budaya urban
seperti itu maka kota menjadi ruang penting untuk kegiatan komunikasi yang inovatif,
akhirnya penelitin menemukan pemahaman tentang proses perubahan (transformasi)
budaya pada perkotaan di era globalisasi.
Daftar Pustaka
Bungas. 2012. “Makna Ritual “Nyadiri” Bagi Kehidupan Suku Dayak Ngaju”. Studi
Pembangun. Tesis. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Caroline E.M. Hodges, Janice Denegri-Knott. 2012. “Transforming the city : The potential
for urban ethnographies of public relations (PR) The case of Latin America”.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & quantitativee approach.
Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage.
Dharmaputra Taludangga. 2010. “Marapu : Kekuatan di Balik Kekeringan Potret
Masyarakat Wunga Kabupaten Sumba Timur Propinsi NTT : Palekahelu”. Studi
Pembangun. Desertasi. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Fritz, Katherine. (2008). Phenomenology & Ethnography Class Session 5 Qualitative
Data Analysis. Analysis.
Genzuk, B. Y. M., & Ph, D. (2000). a Synthesis of Ethnographic Research, 1–11.
H. Mudjia Rahardjo DR., P. (2018). Mengenal Lebih Dekat Dengan Pendekatan
Fenomenologi : Sebuah Penelitian Kualitatif. Uin Maulana Malik Ibrahim Malang,
(March), 1–15. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/323600431_Mengenal_Lebih_Dekat_den
gan_Pendekatan_Fenomenologi_Sebuah_Penelitian_Kualitatif
Helaluddin. 2018. Mengenal lebih Dekat Dengan Pendekatan Fenomenologi : Sebuah
Penelitian Kualitatif, https://www.researchgate.net/publication/323600431. Hlm, 01-15.
Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology
(D. Carr, Trans.), 1–116. Retrieved from http://www.joelgehman.com/page/28/.
Ishak Kadir, 2015. “Posaasaangu sebagai Nilai Transendental Penciptaan dan
Penggunaan Ruang di Permukiman Sulaa Baubau”. Studi Pembangun. Desertasi.
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Juberth Tupan. 2016. “Identitas territorial, studi tentang identitas territorial di Negri
Hatunur”. Studi Pembangun. Desertasi. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Mami Hajaroh. 2010. Paradigma Pendekatan dan Metode Penelitian Fenomenologi.
Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Yogjakarta, Hlm. 1-21.
Moran, D. (2010). Husserl’s crisis of the European sciences and transcendental
phenomenology: An introduction. Husserl’s Crisis of the European Sciences and
Transcendental Phenomenology: An Introduction, 1–323.
Padilla-Diaz, Mariwilda. 2015. Phenomenology in Educational Qualitative Research:
Philosophy as Science or Philosophical Science, International Journal of Educational
Excellence, Vol 1 No. 2. Hlm. 101—110.
Pebriano, V. (2016). Perubahan Ruang Bermukim Masyarakat Transmigrasi dan Lokal di
Poros Jalan Utama pada Kampung Dayak di Ensaid Panjang, 99–106.
Popi Puspitasari. 2012. “Ritual and Space Structure: Pilgrimage And Space Use In
Historical Urban Kampung Context Of Luar Batang, Jakarta, Indonesia”. Desertasi.
Universitas Diponegoro, Semarang.
Rimadewi Supriharjo. 2004. “Nilai Ruang Di Kawasan Ampel Surabaya” . Desertasi.
Universitas Gadjah Mada. Yogjakarta.
Roxana Waterson. 1997. “The Living House an Anthropology of Architecture in South–
East Asia”.
Smith, W. (2013). Husserl. PhD Proposal, 1, 497.
Sudaryono. (2012). Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota
Dan Permukiman. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, 1–25.
Suprapti, B. A., Budihardjo, E., Kistanto, N. H., & Tungka, A. E. (2010). Ethnography-
Architecture in Kampong Kauman Semarang: A Comprehension of Cultural Toward
Space. American Journal of Engineering and Applied Sciences, 3(3), 576–587.
https://doi.org/10.3844/ajeassp.2010.576.587
Zelic, T. (2008). On the Phenomenology of the Life-World. Synthesis Philosophica, 46,
413–426.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai