Anda di halaman 1dari 3

Rayhan Rery Gymnastiar Putra

11211110000133

Agama dalam Antropologi


Kata Kunci : Agama, Kepercayaan, Masyarakat, Antropologi

Dalam Antropologi selain menganl manusia dan masyarakat secara Kepribadian dan Kebudayaan,
Antropologi juga mengenal mereka melalui Agama. Agama sendiri mempunyai makna yang terbilang abstrak
hampir sama seperti kebudayaan. Karena itu agama sendiri diartikan atau didefinisikan dengan “Definisi Kerja”
yang bersifat sementara serta dapat dimodifikasi dan bukan merupakan suatu definisi final. Definisi agama
melalui pendekatan Antropologi merupakan sebuah sistem simbol-simbolyang bertindak menetapkan suasana
hati dan motivasi-motivasi yang kuat, meresap dan tahan lama atau berjangka Panjang dalam diri manusia,
dengan cara mengartikan konsepsi-konspesi dengan adanya faktualitas sehingga nampak lebih realistis 1.
Pandangan ini dilihat bukan dari suatu sistem teologisnya atau keyakinan melainkan dilihat dari sistem
kebudayaan, karena kebudayaan digunakan untuk dapat memahami lingkungan kehidupannya serta menjadi
suatu pendorong untuk menghasilkan tindak perilaku dengan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk
pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka 2. Di dalam Kebudayaan sendiri, Agama sendiri mempunyai fungsi
yang sangat penting dimana ia harus selalu menjaga keutuhan sistem sosial dan masyarakat, lalu menjaga nilai-
nilai yang terkandung di dalam simbol-simbol yang dianggap sebagai pemersatu kumpulan masyarakat
tersebut. Agama dalam pendekatan Antropologi diartikan juga sebagai sebauah proses yang menciptakan
perubahan untuk kemajuan dan juga pertumbuhan dalam membuat masyarakat bekerja. Agama tidak hanya
dipandang sebagai suatu kepercayaan yang dianut oleh suatu individu dalam rangka untuk mendekatkan
dirinya kepada sang maha pencipta khususnya disini Tuhan Yang Maha Esa, agama juga menunjukan tentang
bagaimana pandangan hidup, etika dan moral terhadap pemikiran-pemikiran konseptual. Jadi, bisa dikatakan
bahwa agama sebenarnya mengajarkan manusia atau individu dalam menjalani hidup menghadapi masalah
dari hal-hal yang pernah diajarkan dalam hal ini kebudayaan dan dari hal itu semua, manusia atau individu
tersebut dapat dikatakan sebagai seseorang yang alim dan taat terhadap apa yang telah ia anut dari sebagian
besar lingkungan masyarakat. Agama mempunyai penamaan lain yang melekat pada diri manusia terutama
mereka yang telah mencapai tingkatan pemahaman yang lebih, hal itu disebut dengan Religi. Dalam memahami
apa itu Religi, perlu juga memahami komponen-kompone penyusunnya yaitu Emosi keagamaan, sistem
keyakinan, sistem ritus dan upacara serta peralatan ritus dan umat agama. Yang pertama Emosi Keagamaan,
hal ini berkaitan dengan adanya aktivitas manusia atau individu yang bersumberkan pada suatu getaran jiwa
atau panggilan hati, kemudian hal itu akan mendorong manusia melakukan tindak dan perilaku yang bersifat
religi berpedoman pada kepercayaan. Yang kedua Sistem Keyakinan, sistem keyakinan disini berdasarkan pada
adanya kepercayaan akan adanya roh yang bersifat baik dan jahat, roh leluhur atau roh nenek moyang, hantu
dan juga roh-roh lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa konsepsi yang harus dipahami bukan hanya terhadap
dunia yang kita tinggali namun juga menyangkut pada konsepsi dunia lain, selain itu pula menjelaskan tentang
bagaimana kita harus hidup berdampingan antara dua dunia. Sistem Ritus dan Upacara, komponen ini
mengarah pada waktu pelaksanaan upacara, alat-alat pendukung yang dipakai saat upacara dan juga tokoh
atau seseorang yang berpengaruh untuk menjadi pemimpin upacara. Yang ketiga ada Peralatan Ritus
komponen ini sebenarnya masuk pada sistem Ritus namun disini lebih menjelaskan secara mendetail apa saja
yang dibutuhkan dan juga berkaitan dengan berbagai bekall untuk menjalani kehodupan di alam sana,
contohnya penyertaan sistem penguburan seperti kain kafan, peti mati, maupun barang-barang lain yang
dianggap memberikan keselamatan. Dan yang terakhir umat beragama, komponen ini juga penting untuk
mendukung adanya religi dalam suatu kepercayaan karena dengan adanya umat beragama ini dapat
memperkuat dan memperkokoh sistem yang telah dibuat 3. Agama atau Religi sendiri memeliki aspek yang
berbeda tiap jenisnya dan juga ada yang menganggap bahwa beberapa hal masih rasional ketika jangkauan
pemikiran manusia mengerti dan paham sekalipun sebagian yang lainnya akan

1
Cliffor Geertz, (1966) hlm 5, Muhammad Belanawane S, ANTROPOLOGI INDONESIA Vol.32 No.2 2011
2
Suparlan, (2004). Muhammad Belanawane S, ANTROPOLOGI INDONESIA Vol.32 No.2 2011
3
Koentjaraningrat, (1987), hlm 80, Ketut Wiradnyana, PERKEMBANGAN RELIGI PRASEJARAH: TRADISI
MASYARAKAT GAYO
Rayhan Rery Gymnastiar Putra
11211110000133
mengatakan hal itu sebagai hal yang tidak masuk akal. Hal ini termasuk dalam pemikiran agama atau religi
sebagai suatu kebudayaan terus akan berganti namun inti (covert culture) yang tidak akan pernah hilang dan
masih akan sama4.

Salah satu tokoh Sosiologi yaitu Emile Durkheim mengobservasi tentang agama dan religi, Durkheim
lebih menggunakan dimensi interaksi sosial dan kemasyarakatan dibandingkan dengan perilaku manusia dan
juga kepribadian. Hal ini berkaitan dengan hubungan manusia atau individu tersebut dengan lingkungannya,
karena tidak mungkin seseorang bisa dengan sendiri menjalani kehidupan dan tidak mungkin juga tanpa
adanya masyarakat, agama itu akan ada dan tersebar luas. Menurut Durkheim dasar agama bukanlah
kepercayaan akan kekuatan supernatural melainkan terletak pada konsep Yang Sakral dan Yang Profan. Yang
Sakral disini memiliki makna terhadap sesuatu yang memiliki sifat tinggi, agung, berkuasa, dihormati dan tidak
ada yang berani untuk menyentuhnya maupun memegangnya. Sementara Yang Profan memiliki makna sebagai
sesuatu yang selalu ada dalam kehidupan sehari-hari dan bersifat biasa saja. Contoh dari Yang Sakral sendiri
dalam penelitan yang dilakukan Durkheim mengarah pada makhluk hidup yang diistimewakan dan tidak boleh
dibunuh karena memliki makna hidup yang berpengaruh terhadap keberlangsungan kehidupan mereka
sementara contoh Yang Profan sendiri merupakan orang-orang yang menjalankan keberlangsungan apa yang
telah dilaksanakan terlebih dahulu dan bisa untuk memodifikasi bahkan merubahnya.

Kemudian Agama sering kali dikaitkan dengan Kebudayaan atau kadang sebaliknya Kebudayaan
dikaitkan dengan Agama, namun bagi Antropolog dan Sejarawan pada umumnya menganggap bahwa Agama
sendiri merupakan bagian dari kebudayaan. Mereka memandang kebudayaan merupakan titik tengah dari
kehidupan manusia dan juga mereka tidak mempermasalahkan perbedaan antara agama maupun kepercayaan
yang muncul dari masyarakat tertentu. Sedangkan para Agamawan dan Rohaniawan juga memandang Agama
sebagai titik tengah dari kehidupan manusia, namun perbedaanya mereka melihat dari keterkaitan antar satu
sama lain baik dengan sistem keyakinan yang biasa disebut dengan Credo dan sistem peribadatan yang biasa
disebut dengan Ritus. Dalam Agama pun terdapat banyak jalan yang memungkinkan adanya penyesuaian dan
penyelarasan penyerapan antara Agama dengan Tradisi maupun Budaya yang berlaku di dalam suatu
masyarakat. Contohnya ketika penyebaran agama islam di nusantara oleh wali Sembilan atau yang biasa
dikenal dengan Walisongo, penyebaran islam yang dilakukan oleh Walisongo terbilang unik karena mencoba
menyatukan tentang kebaikan agama dan kekayaan budaya maupun tradisi yang ada. Seperti Wayang, wayang
sendiri merupakan salah satu media dalam berdakwah yang digunakan salah satu Walisongo yaitu Sunan
Kalijaga, kiprahnya dalam penyebaran islam terlihat dari bagaimana ia berperan dan mengakulturasi budaya
setempat dengan islam seperti wayang kulit yang dulunya hanya populer wayang beber.

Kemudian seperti yang diketahui, agama dikatakan sebagai suatu wadah dalam mempercayai dan
meyakini apa yang disebut dengan Tuhan tanpa tau wujud dan asal muasalnya, hal ini berhubungan dengan
Magi. Hampir sama seperti Agama, Magi sendiri merupakan suatu kepercayaan yang di dalamnya masih
terkandung unsur keyakinan pada kemampuan manusia namun harus melalui suatu kegiatan yang
mengundang bala bantuan melalui ritual, mantera dan hal-hal pendukung lainnya. Dari hal tersebut baik Magi
maupun Agama berbeda, mulai dari sifatnya dimana magi individualistis, lebih mengarah pada urusan serta
kepentingan pribadi sedangkan agama sosial, lebih mengarah pada urusan Bersama dan harus Bersama untuk
kuat. Walaupun berbeda, mereka berdua saling melengkapi, dimana tanpa unsur magis, agama dalam
ajarannya kurang untuk diterima. Adapun faktor-faktor yang membedakan Magi dan Agama, yang pertama
Sikap Manusia, Agama lebih memperlihatkan suatu pemikiran untuk tunduk dan mengikuti sementara Magi
lebih memperlihatkan sikap untuk memaksa dan memntingkan diri sendiri. Yang kedua yaitu Hubungan dengan
masyarakat, hal ini dijelaskan bahwa Agama mempunyai hubungan secara umum atau sosial kemasyarakatan
sementara hubungan Magi lebih pada persoalan individual dan kepentingan pribadi.

4
Soehendra dan Yulizar (1997), hlm 269, Ketut Wiradnyana, PERKEMBANGAN RELIGI PRASEJARAH: TRADISI
MASYARAKAT GAYO
Lalu yang ketiga ada Sarana, cara penggunaan Magi ini dititik beratkan pada penggunaan atau cara
menggunakan obat-obatan, obat-obatan ini juga dapat disamarkan sebagai salah satu objek untuk muslihat
khusus. Yang keempat yaitu Tujuan, sudah jelas jika Agama memiliki tujuan untuk meberikan rasa kedekatan
dan kesatuan dengan ilahi atau Tuhan masing-masing sementara Magi bertujuan untuk mememperlihatkan
agama, pemanfaatan dari kuasa untuk tujuan umum maupun privat atau pribadi. Dan yang terakhir ada Faktor
Tambahan, faktor tambahan ini lebih pada mereka yang masih tidak mengetahui arah dari Magi dan Agama
sendiri serta masih diperdebatkan 5.

Dalam review ini juga disisipkan film yang berjudul “Negeri 5 Menara”, pada penggambarannya secara
garis besar film ini menceritakan para tokoh untuk memiliki sikap dan sifat optimis dan selalu untuk bekerja
keras dalam menggapai apa yang mereka inginkan. Contoh hubungan kebudayaan dan agama maupun
sebaliknya terlihat pada 2 hal yaitu ketika Alif sang tokoh utama diutamakan untuk belajar agama melalui
pesantren dibandingkan belajar secara konvensional melalui universitas, disini terlihat bahwa orangtua dari Alif
sendiri menginginkan anaknya untuk belajar agama karena tuntutan budaya keluarga seperti yang terpampang
pada scene dimana ibunya Alif meletakkan foto Alif diantara foto bung hatta dan foto seorang kyai yang tidak
diketahui namanya. Kemudian hal yang kedua yaitu ketika Alif memasuki pesantren dimana semua orang yang
ada di dalamnya berbeda-beda asal daerah dan tentu berbeda asal kebudayaannya, namun hal itu dapat
terbaur dikarenakan satu visi misi mereka untuk bisa belajar agama Bersama dan lulus Bersama agar bisa
menjadi orang besar (orang yang hebat baik agama maupun hal lainnya).

5
Ibid, hlm 55-56, Ameela Faricha, AGAMA DAN MAGI

Anda mungkin juga menyukai