MATERI
AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI
Pengertian Agama
1
Durkhiem, The Elementary Forms of the Religious Life. 2011.Hal.80.
2
Geertz, The Interpretation of Culture. 1973. Hal.90.
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut dalam sub 2, dan
yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut di dalam sub 3.3
Penjelasan ciri-ciri agama tersebut di dalam tulisan ini masih perlu ditambahkan satu
lagi ciri dari agama yaitu; setiap agama pada umumnya mengajarkan kebenaran yang suci,
karena dengan kebenaran yang suci ini melahirkan keyakinan yang kuat dari kesatuan
sosial/ ummat/ masyarakat/ jamaah/ jemaat/ pengikut dari suatu agama tersebut. Dengan
keyakinan inilah suatu agama bisa bertahan karena diyakini kebenaran yang diajarkan di
dalam agama tersebut kepada pengikutnya. Keyakinan kepada kebenaran yang diajarkan
inilah yang kemudian menjadi dogma yang kuat dan bertahan lama atau pervasif seperti
dinyatakan oleh Geertz.
Seringkali diperdebatkan, apakah agama sebagai bagian atau suatu pranata dari
kebudayaan tertentu atau justru kebudayaanlah yang ditentukan oleh agama. Dari sudut
pandang sebagai seorang yang beragama dan dengan keyakinan agamanya maka pastilah
agama yang menentukan, karena manusia hidup di dunia dianjurkan untuk berusaha dan
Tuhanlah yang menentukan. Pendapat ini tidaklah salah sebagai seorang yang beragama.
Antropologi agama atau antropologi religi sebagai sebuah spesialisasi yang berkembang di
dalam antropologi yang mempelajari mengenai bagaimana agama diyakini, dijalankan atau
dipraktekkan di dalam masyarakat. Umumnya antropolog menyatakan bahwa agama
(religion) merupakan sebuah pranata seperti banyak pranata lainnya di dalam sebuah
kebudayaan atau suatu masyarakat. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan, berikut ini
penjelasannya.
Agama sebagai pranata tidaklah sama dengan agama sebagai sebuah keyakinan yang
menjadi milik anggota masyarakat. Pranata merupakan suatu aturan yang digunakan untuk
mengatur manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan manusia
dibagi menjadi tiga oleh Malinowski, yaitu kebutuhan biologis, psikologis dan adap-integratif.
Agama atau religi sebagai pranata adalah dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan
psikologis, terhadap ketenangan jiwa dan untuk menjelaskan segala sesuatu dengan
keyakinan, yang tidak dapat dijelaskan secara rasional atau oleh akal manusia.4 Agama
yang dipelajari di dalam antropologi adalah fenomena religius yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Fenomena religius yang mana? Jawaban pertanyaan ini mengacu kepada semua
fenomena atau aktivitas religius yang terdapat di dalam masyarakat, apakah yang berasal di
3
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Hal. 145.
4
Dalam hal ini, teori keterbatasan akal manusia dari Frazer menjadi relevan untuk menjelaskan agama sebagai
pranata.
dari fenomena agama tradisional yang dilakukan untuk kepentingan tertentu seperti santet,
voodoo, penyembahan kepada arwah leluhur, agama tradisional seperti arat sabulungan di
Mentawai ataupun fenomena religius yang dilakukan oleh ummat Islam, Katolik maupun
Hindu yang khas di daerah tertentu.
Agama sebagai pranata adalah agama yang diyakini, diajarkan, dijalankan atau
dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Ini berbeda dengan agama di dalam teks sucinya
atau alkitab seperti Al Qur’an, Injil, Taurat, Zabur atau kitab Weda, Tripitaka yang sudah
dituliskan di dalam agama-agama tradisi besar di dunia. Teks-teks suci ini diyakini oleh
penganut agama tersebut sebagai sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah, yang berasal
dari Tuhan. Kitab-kitab ini bukanlah produk kebudayaan, bukan pranata. Agama menjadi
pranta adalah agama yang diyakini, dijalankan atau dipraktekkan itu yang bisa berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya walaupun masing-masing sama menganut agama
yang sama. Artinya orang Betawi di Jawa bisa mempraktekkan atau menjalankan agama
Islam secara berbeda dengan orang Minangkabau yang juga Islam. Bahkan, di daerah tertentu
di Sumatera Barat saja, praktek agama Islam bisa berbeda-beda. Keyakinan keagamaan
mereka ternyata ada yang berbeda, padahal sama-sama mempunyai kitab suci yang sama.
Mengapa hal ini terjadi?
Proses turunnya dan tersebarnya agama sehingga menjadi keyakinan sampai ke tengah-
tengah masyarakat adalah melalui proses-proses sosial budaya yang panjang. Suparlan
menyatakan bahwa “kita menjadi umat beragama (manusia pada umumnya) adalah melalui
proses transmisi kebudayaan, yaitu dengan melalui (1) pengalaman dan (2) belajar
secara instruksional dalam kehidupan sosial kita.“5 Agama-agama tradisi besar yang
diyakini berasal dari wahyu diturunkan Tuhan melalui malaikatnya, lalu disampaikan kepada
Nabi atau Rasullullah. Dari Nabi kepada anggota keluarganya, kepada sahabat-sahabatnya,
dan dari para sahabat ini diteruskan kepada kepada anggota keluarganya kerabatnya dan
seterusnya. Proses ini berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun melalui banyak masyarakat
dengan kebudayaan yang berbeda. Walaupun kitab suci itu diyakini tidak berubah – walaupun
di dalam agama tertentu ada beberapa versi kitab sucinya – tetapi di dalam masyarakat
penganut agama tersebut bisa saja terjadi perbedaan-perbedaan di dalam agama yang
bersangkutan. Mengapa ini terjadi? Jawabannya adalah karena telah terjadi proses penafsiran
atau interpretasi yang berbeda dari teks suci yang sama, baik oleh para tokoh agama atau oleh
anggota masyarakatnya. Inilah yang disebut dengan agama melalui proses sosial budaya atau
transmisi kebudayaan. Proses ini kemudian melahirkan banyak sekte atau disebut aliran
5
Suparlan. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran Penelitian Antropologi,” makalah
yang disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian Agama Departemen Agama RI, di IAIN
Ciputat, 14 September 1981.
agama di dalam masyarakat. Sekte-sekta keaagamaan ini lahir di dalam setiap agama tradisi
besar, karena proses sosial budaya yang panjang berlangsung dan pemberian penafsiran dari
teks suci yang sama secara berbeda, yang melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan yang
berbeda pula.
Sebagai contoh kasus, pelaksanaan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha yang diketahui
secara umum dilakukan dua rakaat dengan tujuh takbir setelah takbirartul ikhram di rakaat
pertama dan lima takbir setelah takbir bangkit dari sujud, tetapi di sebuah kelurahan di Depok
di antara orang Betawi yang pernah penulis ikuti malah terjadi sembilan takbir di rakaat
pertama dan tujuh takbir di rakaat kedua. Contoh lainnya juga di dalam masyarakat Betawi di
Depok, di dalam menghadapi kematian seorang perempuan muda yang belum menikah
disediakan dua karung besar beras di masjid untuk diserahkan kepada yang berhak menerima.
Dua karung beras tersebut adalah sebagai pengganti sholat dan puasa almarhum sewaktu
hidup yang tidak bisa dilakukannya baik karena terhalang oleh menstruasi atau oleh sebab
lainnya, sehingga diganti pada waktu jenazah belum dikuburkan. Ini diucapkan oleh seorang
tokoh masyarakat di hadapan orang banyak pada saat dua karung beras tersebut akan
diserahkan. Padahal di dalam ajaran Islam dinyatakan bahwa terputuslah hubungan seorang
yang meninggal dengan orang yang masih hidup kecuali tiga amalan yang dilakukan seperti
ilmu yang bermanfaat yang telah diajarkan, sedekah jariah dan doa dari anak yang saleh dari
almarhum, tentu saja bagi mereka yang sudah punya anak. Dua contoh di atas menunjukkan
telah terjadi perbedaan interpretasi dari agama yang sama sehingga dijalankan secara berbeda.
Bentuk keyakinan dan praktek keagamaan bisa saja berbeda dari kesamaan kitab suci yang
dimiliki inilah yang dimaksudkan dengan agama sebagai pranata. Di samping itu aktivitas
keagamaan yang sudah terpola atau sudah lama dan tetap dijalankan di dalam masyarakat
seperti ritual perdukunan juga merupakan bagian dari aktivitas atau pranata keagamaan
tradisional. Agama sebagai pranata inilah yang menjadi lapangan studi antropologi agama/
religi, yang disebut Geertz dengan agama sebagai sistem budaya.
Gambar 01. Proses Ringkas Turun agama