Anda di halaman 1dari 23

PEMIKIRAN AL-FARABI

Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah

“FILSAFAT ISLAM”

Dosen pengampu:Fauzi Ismail., M.Ag

Di susun oleh:

RIVA YANI

NIM:U.1.20.0058

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ARQAM


MUHAMMADIYAH GARUT

FAKULTAS USHULUDDIN STUDY AGAMA-AGAMA

~1~
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat allah SWT. Karena atas
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah “FILSAFAT ISLAM”
yang berjudul “PEMIKIRAN AL-FARABI”.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan


bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah FILSAFAT ISLAM.

Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima allah sebagai sebuah
kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca
pada umumnya.

Garut, januari 2022

Penulis

~2~
~3~
DAFTAR ISI

Kata pengantar ...................................................................... 2

Daftar isi ...................................................................... 3

Pendahuluan ...................................................................... 4

A. Latar belakang ...................................................................... 4

B. Rumusan masalah ....................................................................... 4

Pembahasan .......................................................................

A. BIOGRAFI AL-FARABI ......................................................................

B. PEMIKIRAN AL-FARABI ......................................................................

Penutup

Daftar pustaka

~4~
~5~
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika membahas tentang sejarah munculnya filsafat Islam, maka harus diakui
bahwa pemikiran filsafat masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani. Pemikiran
filsafat tersebut dijumpai oleh pemikir-pemikir Islam di Suria, Mesopotamia (Irak), Persia
dan Mesir.
Kota Iskandariyah di Mesir sampai abad VII adalah pusat studi filsafat, teologi
dan sains yang sangat penting. Filsosof yang terkenal di kota ini antara lain Philo (30
SM-50 M). Dan ketika pada abad VII Masehi, umat Islam mengadakan perluasan wilayah
ke daerah-daerah tersebut, maka berarti dimulainya kontak antara filsafat Islam dan
filsafat Yunani.1
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun dan Daulah Umayyah, filsafat Yunani
tersebut belum dikembangkan. Karena pada masa itu, perhatian umat Islam terfokus pada
penaklukan wilayah dan lebih menonjolkan kebudayaan Arab. Barulah pada zaman
Daulah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, mulai diperhatikan secara serius filsafat
Yunani ini, terutama pada masa al-Ma’mun (813-833 M.), putera Harun al-Rasyid, yang
dikenal dengan zaman penterjemahan.
Di antara bekas pengaruh kebudayaan Yunani di daerah tersebut, adalah bahasa
administrasi yang digunakan adalah bahasa Yunani. Bahkan di Mesir dan Suria, bahasa
ini tetap dipergunakan sesudah masuknya Islam ke daerah tersebut. Baru pada abad VII
oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705) diganti dengan bahasa Arab. 2
Di antara yang tertarik pada filsafat Yunani dari kalangan filosof Muslim adalah
al-Farabi. Menurut Massignon (ahli ketimuran berkebangsaan Perancis), sebagaimana
yang dikutip Ahmad Hanafi, bahwa Al-Farabi adalah seorang filosof Muslim yang
pertama. Dia juga mengakui bahwa sebelumnya al-Kindi telah membuka pintu filsafat
Yunani bagi dunia Islam, akan tetapi ia tidak menciptakan sistem filsafat tertentu.
Demikian pula persoalan-persoalan yang dibicarakannya masih banyak yang belum
memperoleh pemecahan yang memuaskan.

1
Perlu diketahui bahwa filsafat Yunani telah masuk ke daerah ini bersamaan dengan penaklukan Alexander the
Great dari Macedonia ke kawasan Asia dan Afrika Utara. Keinginan Alexander untuk menguasai sekaligus menyatukan
kebudayaan yang ditaklukkannya, baik di Barat maupun di Timur, maka dibukalah pusat-pusat pengkajian kebudayaan
dengan menjadikan kebudayaan Yunani sebagai inti kebudayaannya. Di bagian Barat dikenal pusat kebudayaan di Athena
dan Roma, sedangkan untuk Timur dikenal Alexandria (Iskandariah) di Mesir, Antioch di Suriah, Jundisyapur di
Mesopotamia dan Bactra di Persia. Lihat : Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Cet.X; Jakarta:UI
Press, 1986), h. 46
2
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet.VIII; Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 8

~6~
Sebaliknya Al-Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem filsafat yang
lengkap dan telah memainkan peranan yang penting dalam dunia Islam seperti yang
dimiliki oleh Plotinus di dunia Barat. Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibnu Sina
(Avicenna), Ibnu Rusyd (Avirosm), dan filosof Islam lainnya yang datang sesudahnya.
Olehnya itu, ia mendapat gelar al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua) sebagai kelanjutan dari
Aristoteles yang mendapat gelar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama).3
Pembicaraan tentang Al-Farabi sudah cukup banyak, meskipun belum
mencakup seluruh aspek pemikirannya. Ia adalah pembangun filsafat dalam arti yang
sebenarnya dan ia telah meninggalkan suatu bangunan filsafat yang teratur rapi bagian-
bagiannya, dan oleh karenanya maka ibnu Khillikan menamakannya “filosof Islam yang
paling besar”.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles
dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi’ah
Imamiah. Misalnya dalam soal mantik dan filsafat fisika ia mengikuti Aristoteles, dalam
soal etika dan politik ia mengikuti Plotinus. Selain itu Al-Farabi adalah seorang filosof
sinkretisme (pemaduan) yng percaya akan kesatuan (ketunggalan) filsafat.
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan
Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikirannya tersebut
merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat Stoa, atau Peripatetik
atau Neo Platonisme. Memang bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut,
namun bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri. 4

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dalam makalah ini
membahas tentang Al-Farabi dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana biografi (riwayat hidup) Al-Farabi ?
2. Bagaimana pemikirannya tentang emanasi (al-faidh), filsafat al-nafs (jiwa) dan
filsafat kenabian?
3. Bagaimana teori politiknya (al-Madinah al-Fadhilah) ?

3
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 82
4
Ibid, h. 122

~7~
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi (Riwayat Hidup al-Farabi)


Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan
ibn Auzalaqh. Di kalangan orang-orang Latin Abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal
dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia lahir di suatu kota kecil bernama Wasij, wilayah Farab
(sekarang dikenal dengan kota Atrar), Turkisatan pada tahun 257 H (870 M). 5 dan wafat
di Damaskus pada 339 H (950 M). Sebutan Al-Farabi diambil dari kota kelahiran beliau,
Farab yang juga disebut kampung Urtar, dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi sekarang
menjadi bagian dari Republik Uzbekistan. Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan
Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Karena itu Al-Farabi terkadang dikatakan
sebagai keturunan Persia dan terkadang sebagai keturunan Turki 6
His parents were originally of Persian descent, but his ancestors had migrated to
Turkistan. Known as al-Phararabius in Europe. 7
Maksudnya, bahwa orangtuanya awalnya berasal dari keturunan Persia, tetapi
leluhurnya telah bermigrasi ke Turkistan. Ia dikenal sebagai al-Pharabius di Eropa.
Sejak kecil Al-Farabi suka belajar, dan ia mempunyai kecukupan luar biasa
dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain, bahasa Iran, Turkistan dan
Kardistan.8 Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di Kota yang mayoritas
mengikuti mazhab Syafi’iah inilah Al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia
digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai
hampir setiap subjek yang dipelajari.”9 Setelah menyelesaikan studi dasarnya, Al-Farabi
pindah ke Bukhara, pada saat itu Bukhara merupakan ibukota dan pusat intelektual. Di
sinilah Al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Sebelum dia tenggelam dalam karir
Filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang Qadhi. Setelah melepaskan jabatan
Qadhinya, Al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian
dan Filsafat. Guru utama Al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. 10 Pada masa

5
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 32
6
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 25
7
The Window Philosophy on The Internet, Abu Al-Nasr Al-Farabi, Turkistani Muslim Philosopher, h. 1.
http://www.trincoll.edu.html., (Diakses 9 Nopember 2009)
8
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 81
9
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), h. 71
10
Ahmad Hanafi, op.cit., h. 72

~8~
kekhalifahan Al- Mu’tadid (892-902 M ), baik Yuhanna ibnu Hailan maupun Al-Farabi
pergi ke Baghdad. Segera saja Al-Farabi unggul dalam ilmu logika.
Pada masa kekhalifahan Al-Muktafi (902-908 M), atau pada tahun-tahun awal
kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932 M), Al-Farabi dan ibnu Hailan meninggalkan
Baghdad, (semula menurut Ibn Khallikan) menuju Harran. Dari Baghdad tampaknya Al-
Farabi pergi ke Konstantinopel. Di Konstantinopel ini, menurut suatu sumber, dia tinggal
selama delapan tahun, mempelajari seluruh silabus filsafat. 11
Dalam sebuah website dijelaskan bahwa :
Al-Farabi (also called al-Pharabius in Europe) was one of the most famed of
Moslem philosophers. Of Turkish origin he was educated in Farab and Bukhara but
spent time in Baghdad and at the court of Prince Sayf al-Dawlah in Aleppo,
Syria”.12
Bahwa Al-Farabi yang dikenal di Eropa dengan al-Pharabius, 13 adalah salah
seorang filosof Muslim yang terkenal. Sebagai orang Turkistan, ia belajar di Farab dan
Bukhara, tetapi ia banyak menghabiskan waktunya di Bagdad dan membantu
pemerintahan Saif al-Daulah di Aleppo, Syria.
Antara 910 dan 920 M, Al-Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan
menulis. Reputasinya sedemikian rupa sehingga ia mendapat sebutan “guru kedua”
(Aristoeles mendapat sebutan “guru pertama”). Pada zamannya, Al-Farabi dikenal
sebagai ahli logika. Menurut berita, Al-Farabi juga “membaca” (barangkali mengajar)
Physics-nya Aristoteles empat puluh kali, dan Rhetoric-nya Aristoteles dua ratus kali.
Pada 942 M, situasi di ibukota dengan cepat semakin memburuk karena adanya
pemberontakan yang dipimpin oleh Al-Baridi. Al-Farabi sendiri merasa akan lebih baik
pergi ke Suriah. Menurut Ibnu Abi Usaibi’ah, di Damaskus Al-Farabi bekerja di siang
hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan
memakai lampu jaga.
Juga sekitar masa inilah Al-Farabi setidak-tidaknya melakukan satu perjalanan ke
Mesir, (Ibnu Usaibi’ah menyebutkan tanggalnya, yaitu 338 H, setahun sebelum Al-
Farabi wafat). Menurut Ibn Khallikan, di Mesir inilah Al-Farabi menyelesaikan Siyasah
Al-Madanniyah yang mulai ditulisnya di Baghdad. Setelah meninggalkan Mesir, Al-
Farabi bergabung dengan lingkungan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya, yang

11
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 2003), h. 55
12
“Al-Farabi,” http://www.hyperhistory.com/online_n2/people_n2/alfarabi.html., (Diakses 9 Nopember 2009)
13
Ada nama al-Farabi versi Eropa, yaitu al-Pharabius (www.hyperhistory.com) dan al-Phararabius
(www.trincoll.edu.html).

~9~
berada di sekitar Sultan dinasti Hamdan di Aleppo yang bernama Saif Al-Daulah. 14
Dalam pejumpaan pertamanya, Saif Al-Daulah sangat terkesan dengan Al-Farabi karena
kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaanya atas berbagai
bahasa.15 Kendati Sultan mau menganugrahinya uang yang berlimpah, Al-Farabi sudah
merasa cukup mengambil empat dirham saja setiap hari, karena ia lebih memilih hidup
zahid atau sederhana. Dr. T. J. de Boer menggambarkan tentang kematiannya : “he died
at Damascus, while on a journey, in December, 950; and it is reported that his prince,
attired as a Sufi, pronounced over him his funeral oration”. 16 Jadi, Al-Farabi meninggal
pada bulan Desember 950 M, di Damaskus pada usia delapan puluh tahun 17
Dalam sebuah literatur dijelaskan sebagai berikut :
Farabi contributed considerably to science, philosophy, logic, sociology, medicine,
mathematics and of course, stands out as an Encyclopedist. As a philosopher, he
may classed as Neoplatonist who tried to synthesize Platonism and Aristotelism with
theology and he wrote such rich commentaries on Aristotle’s physics, meteorology
and logic in addition to a large number of books on several other subjects
embodying his original contribution. 18

Maksudnya, bahwa Al-Farabi memberikan kontribusi yang cukup bagi ilmu


pengetahuan, filsafat, logika, sosiologi dan tentu saja sebagai Ensiklopedis. Sebagai
seorang filosof, dia bisa digolongkan sebagai Neoplatonis yang mencoba mensintesis
Platonisme dan Aristotelisme dengan teologi dan menulis karya yang mengomentari
karya Aristoteles tentang fisika, meteorologi dan logika serta sejumlah buku yang
merupakan kontribusi nyata al-Farabi.
Oleh karena itu, Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Muslim terbesar,
memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh
dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filosof yang datang
sesudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem

14
Yamani, op. cit., h. 55-56
15
Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 74
16
DR. T. J. de Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York:Dover Publications, t. th.), h. 108
17
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Djambatan, 2002), h.
280
18
The Window Philosophy on The Internet, Abu Al-Nasr Al-Farabi, Turkistani Muslim Philosopher, h. 1.
http://www.trincoll.edu.html., (Diakses 9 Nopember 2009)

~ 10 ~
filsafatnya. Pandangan yang demikian mengenai filsafat terbukti dengan usahanya
mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles. 19
Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan
tajam dari para komentator karya Aristoteles. Ibnu Sina pernah mempelajari buku
metafisika karangan Aristoteles empat kali, tetap belum juga mengerti maksudnya.
Setelah ia membaca karangan Al-Farabi yang berjudul Aghradl kitabi ma Ba’da at-
Thabiah (Intisari Buku Metafisika), baru ia mengerti apa yang selama ini dirasakan
sukar.20
Di antara karangan-karangannya ialah:
1. Agradlu ma Ba’da at-Thabi’ah
2. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (mempertemukan pendapat kedua filosof;
masudnya Plato dan Aristoteles).
3. Tahsil as-Sa’adah (mencari kebahagiaan).
4. ‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok persoalan)
5. Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadlilah (Pikiran-pikiran penduduk Kota Negeri
Utama).
6. Ihsa’u al-Ulum (Statistik Ilmu).21

B. Pemikiran al-Farabi
1. Emanasi (al-Faidh)
Emanasi berasal berasal dari bahasa Inggris yaitu emanation; berasal dari
bahasa latin e, atinya dari dan manare, artinya mengalir. Emanasi adalah doktrin
mengenai terjadinya dunia.22 Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang
mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan ).
Teori Emanasi disebut juga “teori urut-urutan wujud”.
Menurut Al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda. Bagaimana
hubungannya dengan alam yang berupa benda ini? Apakah alam keluar dari padanya
dalam proses waktu, ataukah alam itu qadim seperti qadimnya Tuhan juga? Persoalan
emanasi telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis

19
Ada anggapan bahwa perbedaan antara guru dengan murid, Plato dan Aristoteles. Boleh jadi, di samping
sistem pemikiran, juga perbedaan hidup. Plato lebih suka hidup menyendiri, sedangkan Aristoteles lebih menyenangi
kehidupan duniawi, kaya dan berkeluarga bahkan pernah menjadi menteri dari Alexander the Great. Lihat : Ahmad Daudy,
Kuliah Filsafat Islam, op. cit., h. 30
20
Sudarsono, Filsafat Islam, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 31
21
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 82
22
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Cet.III; Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 193

~ 11 ~
(kiasan), sehingga tidak bia didapatkan hakikatnya yang sebenarnya. Akan tetapi Al-
Farabi telah dapat menguraikannya secara ilmiah, dimana ia mengatakan bahwa segala
sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia
menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.23
Dalam ajaran Plotinus, dari yang esa memancar akal, dari akal memancar jiwa
dunia dan dari jiwa dunia memancar materi dunia. Jadi, menurutnya Tuhan bukanlah
pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (prima causa).24 Seperti halnya
dengan Plotinus, Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu
yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja. Sebab emanasi itu timbul karena
pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. 25
Sedangkan dalam doktrin Mutakallimin, Tuhan adalah Pencipta (Shani’ atau

Agent) yang menciptakan dari tiada menjadi ada ( ‫ اإليجـاد من العــدم‬, creatio ex nihilo). Bagi

al-Farabi, Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Tuhan
menciptakan alam sejak azali dengan materi alam berasal dari energi yang qadim.
Sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Karena itu, menurutnya kun

Tuhan yang termaktub dalam Al-Qur’an ditujukan kepada syai’ ( ‫ ) ش ــيئ‬, bukan kepada

la’ syai’ ( ‫) ال شــيئ‬.26

Jadi dalam dunia Islam, teori emanasi ini pertama kali diperkenalkan oleh al-
Farabi. Tuhan diyakini Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak,
Maha Sempurna dan tidak berhajat kepada apapun. Karena itu yang keluar darinya juga
satu, wujud satu. Jadi Al-Farabi berpegang pada asas, yang berasal dari yang satu pasti

satu juga ( ‫) ال يفيد عن الواحد إال واحد‬.

Jelasnya, proses emanasi itu dapat digambarkan sebagai berikut : Tuhan


sebagai Akal berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran-Nya itu timbul satu maujud lain.

Tuhan merupakan wujud pertama ( ‫ ) الوجــود األول‬dan dengan pemikiran itu timbul wujud

kedua ( ‫ ) الوجـود الثاني‬yang juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama ( ‫العقـل األول‬,

First Intelligence ) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud

pertama, dan dari pemikiran itu timbul wujud ketiga ( ‫) الوجـود الثـالث‬, disebut Akal Kedua (

23
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 92
24
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 37
25
Ahmad Hanafi, loc. cit.
26
Konsep kun disebutkan dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat, seperti pada Q. S. Yasin/36 : 82

~ 12 ~
‫العقل الثاني‬, second intelligence ). Wujud Kedua atau Akal Pertama ini juga berpikir tentang

dirinya dan dari situ timbul Langit Pertama ( ‫السماء األولى‬, first heaven )

Wujud 3 / Akal 2 Tuhan = Wujud 4 / Akal 3


Dirinya = Bintang-Bintang ( ‫) الكواكب الثابتة‬

Wujud 4 / Akal 3 Tuhan = Wujud 5 / Akal 4


Dirinya = Saturnus ( ‫) كـرة الزهـل‬

Wujud 5 / Akal 4 Tuhan = Wujud 6 / Akal 5


Dirinya = Jupiter ( ‫) كرة المستـرى‬

Wujud 6 / Akal 5 Tuhan = Wujud 7 / Akal 6


Dirinya = Mars (‫) كر ة المريج‬

Wujud 7 / Akal 6 Tuhan = Wujud 8 / Akal 7


Dirinya = Matahari ( ‫) كرة الشمـس‬

Wujud 8 / Akal 7 Tuhan = Wujud 9 / Akal 8


Dirinya = Venus ( ‫) كرة الزهـرة‬

Wujud 9 / Akal 8 Tuhan = Wujud 10 / Akal 9


Dirinya = Merkurius ( ‫) كـرة العطارة‬

Wujud 10 / Akal 9 Tuhan = Wujud 11 / Akal 10


Dirinya = Bulan ( ‫) كـرة القمـر‬

Pada pemikiran Wujud 11 / Akal 10 berhentilah terjadinya akal-akal. Tetapi


dari Akal 10 muncullah bumi serta ruh dan materi pertama yang menjadi dasar dari
keempat unsur yakni api, udara, air dan tanah. Dengan demikian, ada 10 akal dan 9 langit.
Akal 10 mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Akal 10 ini disebut juga ‘Aql Fa’al
(Akal Aktif) yaitu Jibril.27 Menurut Al-Farabi akal berjumlah 10. Dasar penetapan itu
ialah mengingat jumlah planet yang berjumlah 9. Tiap akal membutuhkan satu planet,
kecuali akal pertama yang tidak membutuhkan planet. 28
Tujuan Al-Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut untuk menegaskan
kemahaesaan Tuhan. Karena tidak mungkin Yang Maha Esa berhubungan dengan yang
tidak Esa atau banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan
berhubungan dengan yang tidak sempurna, dan ini menodai keesaan-Nya. Jadi, dari
27
Hasyimsyah Nasution, loc. cit.
28
Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, (Cet. I; Jakarta:Universitas Indonesia, 2006), h. 46

~ 13 ~
Tuhan Yang Maha Esa hanya muncul satu, yaitu Akal Pertama yang berfungsi sebagai
perantara dengan yang banyak.29

2. Jiwa ( an-Nafs )
Manusia adalah makhluk terakhir dan termulia yang lahir di atas bumi ini. Ia
terdiri dari dua unsur: jasad dan jiwa. Jasad berasal dari alam ciptaan dan jiwa berasal
dari alam perintah (alamu’ l amar). Berdasarkan perbedaan asal antara jiwa dan badan,
maka jelaslah bahwa jiwa merupakan unsur yang lebih penting dan lebih berperan dari
pada jasad, sehingga Al-Farabi, seperti halnya para filosof Yunani, lebih banyak
perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan jiwa yang dianggap sebagai
hakikat manusia.30
Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan
accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya
jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah (

‫ ) النفـس الناطقة‬yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad dari alam khalq, berbentuk,

berupa dan berkadar. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.


Jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut :
a. Daya gerak ( ‫المحـركة‬, montion ), yakni :

1) Makan ( ‫الغاذية‬, nutrition )

2) Memelihara ( ‫المـربية‬, preservation )

3) Berkembang ( ‫المـولدة‬, reproduction )

b. Daya mengetahui ( ‫المدركة‬, cognition ), yakni :

1) Merasa ( ‫الحاسة‬, sensation )

2) Imajinasi ( ‫المتخلية‬, imagination )

c. Daya berpikir ( ‫الناطقة‬, intellection )

1) Akal praktis ( ‫العقـل العمـلي‬, practical intellect )

2) Alam teoritis ( ‫العقـل النظـري‬, theoretical intellect )31

29
Hasyimsyah Nasution, loc. cit.
30
Ahmad Daudy, op. cit., h. 40
31
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 39

~ 14 ~
Pada umumnya pemikiran Al-Farabi tentang jiwa sangat diwarnai oleh
pemikian para filosof Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Defenisi jiwa dari
Aristoteles diterima oleh Al-Farabi. Ia mengatakan, jiwa adalah “kesempurnaan pertama
bagi jisim alami yang organis yang memiliki kehidupan dalam bentuk potensial”.
Namun, kendatipun ia menerima konsep Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa adalah
forma bagi jasad, tapi ia menafsirkan “forma” dalam arti “jauhar” (substansi) yang
berdiri sendiri dan yang berasal dari akal kesepuluh (‘aql fa’-‘al). Dengan demikian,
hubungan jiwa dengan jasad tidak esensial tapi aksidental, sehingga jiwa tidak akan fana
dengan sebab kematian jasad. Dalam hal ini, Al-Farabi lebih menyukai konsep Plato yang
menganut paham keabadian jiwa di samping kesesuaiannya dengan ajaran Islam. 32
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa khalidah dan
jiwa fana’. Jiwa khalidah adalah fadilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan
berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur
dengan hancurnya badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah jiwa yang telah
berada pada tingkat akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak
mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan
hancur dengan hancurnya badan.33

3. Filsafat Kenabian
Pengingkaran terhadap wahyu dari agama Islam sudah timbul sejak masa Nabi
Muhammad saw. Orang-orang kafir Quraisy tidak mau mengakui bahwa Nabi
Muhammad saw. mendapat wahyu dan dapat berhubungan dengan alam ketuhanan, sebab
ia adalah manusia biasa yang makan dan minum serta pergi ke pasar. Sebagaimana
dinyatakan dalam Q. S. Al-Furqan/25 : 7 sebagai berikut :

Terjemahnya :

Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-
pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu
memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” 34

Setelah al-Qur’an sebagai mukjizatnya yang terbesar membungkam mulut


mereka, sedang mereka adalah ahli bahasa dan kesusasteraan, maka mereka menuduhnya

32
Ahmad Daudy, op. cit., h. 40
33
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 40
34
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. I; Semarang:Toha Putra, 1999),
h. 287

~ 15 ~
sebagai tukang sihir. Maka jawaban terhadap tuduhan-tuduhan mereka itu sebagaimana
tercantum dalam Q. S. Al-Kahfi/18 : 110 sebagai berikut
Terjemahnya :

Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada Tuhannya".35

Pada masa pertama Islam kaum muslimin mempercayai sepenuhnya apa yang
datang dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun keadaan ini
tidak lama kemudian dikeruhkan oleh berbagai keraguan, setelah golongan-golongan luar
Islam dapat memasukkan pikirannya di kalangan kaum muslimin, seperti golongan
Mazdak dan Manu dari Iran, golongan Sumniah dari agama Brahma, orang-orang
Yahudi, Nasrani dan sebagainya. Sejak saat itu, setiap dasar-dasar agama Islam dibahas
dan dikritik. Dalam menghadapi mereka, orang-orang Muktazilah telah memberikan
kontribusi yang sukar dicari bandingannya. Dalam hubungan ini, serangan Ibn ar-
Rawandi (wafat akhir 111 H) dan Abu Bakar ar-Razi (wafat 250 H) terhadap kenabian
perlu dicatat.36
Dalam suasana tersebut, Al-Farabi perlu mengambil bagian. Apalagi ia semasa
dengan Ibn ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Al-Farabi adalah orang pertama yang
mengemukakan dan mendetailiser stetemen kenabian itu, tentang kenabian ia tidak
meninggalkan suatu tambahan bagi para penggantinya dari kalangan filosof Islam
belakangan. Teori kenabian ini merupakan bagian tertinggi di dalam pandangan filosofis
Al-Farabi.37
Menurut al-Farabi, nabi dapat mengetahui hakikat-hakikat karena ia dapat
berkomunikasi dengan akal kesepuluh yang merupakan akal terakhir dalam rangkaian
proses emanasi. Dalam faham al-Farabi, akal kesepuluh ini dapat disamakan dengan
malaikat. Kesanggupan berkomunikasi dengan akal kesepuluh inilah yang
memungkinkan para nabi dan rasul dapat menerima wahyu.

35
Ibid., h. 243
36
AIbn ar-Rawandi dalam bukunya Az-Zamarrudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi
Muhammad saw. ia mengatakan bahwa para Rasul itu tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada
manusia, agar dapat membedakan antara baik dan buruk, dan petunjuk akal sudah cukup untuk itu. Demikian pula dengan
ar-Razi. Baca : Ahmad Hanafi, Pengantar ..., op. cit., h. 103
37
Ibrahim Madkour, fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, terj. Yudian Wahyudi Asmin dan
Ahmad Hakim Mudzakkir, Filsafat Islam : Metode dan Penerapan (Cet. II; Jakarta:Rajawali, 1991), h. 87

~ 16 ~
Filsafat kenabian Al-Farabi terkait erat dengan ajarannya tentang hierarki daya-
daya jiwa manusia. Menurutnya, kemampuan penginderaan jiwa manusia terbagi ke
dalam lima tahap, yaitu pertumbuhan, penginderaan, bernafsu, mengkhayal dan berpikir.
Kelima daya jiwa ini membentuk hierarki di mana setiap tahap hadir untuk tahap di
atasnya.
Menurut al-Farabi, manusia memperoleh pengetahuan dari daya mengindera,
mengkhayal38 dan berpikir. Ketiga daya ini merujuk pada kedirian manusia, yaitu jism,
nafs dan aql.39 Daya mengindera merujuk pada indera eksternal sedang daya mengkhayal
dan berpikir disebut indera internal.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘Aql fa’al melalui dua
cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi (ilham). Cara
pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang dapat menembus alam
materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat
dilakukan oleh Nabi.
Ciri khas seorang nabi bagi Al-Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang
kuat di mana obyek indrawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia
berhubungan dengan ‘Aql fa’al’ ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam
bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql fa’al’ (akal 10) yang
dalam penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Dapatnya Nabi berhubungan langsung dengan
akal 10(Jibril) tanpa latihan karena Allah menganugrahinya akal yang mempunyai
kekuatan suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa yang diberi nama hads.40
Jadi jika pada seseorang terdapat banyak imajinasi yang istimewa, maka
nubu’at-nubu’atnya bisa menjadi sempurna di siang hari seperti nubu’at-nubu’at malam
hari, di saat berjaga ia mampu berhubungan dengan Akal-Faal seperti ketika ia
berhubungan dengan Akal-Faal tersebut di saat ia sedang tidur, bahkan mungkin sekali
hal itu terjadi dalam bentuk yang lebih jelas dan sempurna. Maka seorang nabi menurut
Al-Farabi adalah manusia yang diberi imajinasi yang besar yang dimungkinkan untuk
mengetahui ilham-ilham langit di dalam berbagai kondisi waktu. 41

38
Selain kata mengkhayal atau daya khayal, penulis juga menggunakan sinonimnya, yaitu imajinasi. Karena
kedua istilah ini (mengkhayal dan imajinasi) digunakan oleh para penulis tentang teori kenabian al-Farabi. Lihat : Ahmad
Hanafi, Pengantar, op. cit., h. 104 -105 dan Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 76 - 79
39
Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 77
40
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 44
41
Ibrahim Madkour, op. cit., h. 129

~ 17 ~
4. Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
Sebelum membahas persoalan politik, Al-Farabi membahas masalah psikologi
manusia. Menurutnya, setiap manusia mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan
dan hidup bersama orang lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut masyarakat
dan negara.42 Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur dan menggapai keutamaan,

Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua bagian, yaitu masyarakat sempurna ( ‫المجتمع‬

‫ ) الكامل‬dan masyarakat kurang sempurna (‫)المجتمع غـ ــير الكامل‬. Masyarakat yang sempurna

adalah masyarakat yang mampu mengatur dan membawa dirinya pada keutamaan
tertinggi, sedangkan masyarakat kurang sempurna adalah masyarakat yang tidak bisa
mengatur dan membawa dirinya pada keutamaan tertinggi. Kebaikan dan keutamaan
tertinggi adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud adalah tercapainya
kemampuan untuk aktualisasi potensi jiwa dan pikiran. 43
Konsep negara berasal dari Plato yang mempersamakan negara dengan tubuh
manusia. Negara utama, kata Al-Farabi, serupa dengan badan yang sempurna sehatnya.
Seluruh anggotanya saling bekerja sama untuk membantu dan menyempurnakan serta
memelihara hidupnya. Anggota badan itu berlebih kurang tingkat dan dayanya, dimana
hati merupakan anggota pengendali. Demikian pula halnya negara dimana bagian-
bagiannya berlebih kurang tingkatnya, dan padanya terdapat seorang kepala sebagai
pemimpin. Anggota badan saling melayani, begitu pula dalam negara terdapat warga
negara yang saling membantu. Badan itu membentuk suatu kesatuan, demikian pula
halnya Negara utama yang setiap bagiannya saling berkaitan dan diatur menurut tingkat
kadar kepentingan.44
Selanjutnya, Al-Farabi membagi negara dalam tiga bagian yaitu :
a. Negara besar, adalah negara yang berdaulat dan bebas dan membawahi negara-
negara bagian;
b. Negara sedang, adalah negara bagian;
c. Negara kecil, adalah pemerintah daerah atau daerah otonom. 45

42
Gagasan tentang fitrah sosial kemudian diulangi oleh Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778 M.) dengan konsep
kembali ke alam (retur a la nature) yang kemudian melahirkan konsep social contract (kontrak sosial), kemauan untuk
bekerjasama demi tercapainya kebutuhan bersama di antara individu. Lihat : Frans Magnis Suseno, Etika Politik, (Cet.I;
Jakarta:Gramedia, 1994), h. 238
43
Achmad Khudori Soleh, Pemikiran Politik Al-Farabi, Jurnal Psikoislamika, Fakultas Psikologi UIN Malang,
Vol. IV/ No. 2 Juli 2007, h. 3. http://www.uin-malang.ac.id (Diakses 9 November 2009)
44
Ahmad Daudy, op. cit., h.51
45
Achmad Khudori Soleh, loc. cit.

~ 18 ~
Menurut Al-Farabi, di antara tiga macam negara di atas: besar, sedang dan ,
kecil, hanya negara yang diatur dengan sistem pemerintahan utama (fadilah) yang mampu
mengantarkan masyarakatnya pada kesejahteraan dan kebahagian. Sistem pemerintahan
utama ini, dalam mengantarkan masyarakatnya mencapai kebahagiaan adalah sama
seperti kerjasama anggota tubuh dalam menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya.
Al-Farabi juga membedakan negara menjadi lima macam :
a. Negara utama, yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan.
Menurut al-Farabi, negara utama adalah negara yang dipimpin oleh rasul dan
kemudian oleh filosof.
b. Negara orang-orang bodoh, yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal
kebahagiaan.
c. Negara orang-orang fasik, yaitu negara yang mengenal kebahagiaan, Tuhan dan
akal fa’al seperti penduduk utama, akan tetapi tingkah laku mereka sama dengan
penduduk negeri yang bodoh.
d. Negara yang berubah-ubah, ialah negara yang penduduknya semula mempunyai
pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama, tetapi kemudian
mengalami kerusakan.
e. Negara sesat, yaitu negara yang penduduknya yang mempunyai konsepsi yang
salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa
dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan
dan perbuatannya.
Karena itu, negara utama (madinah al-fadilah) tidak bisa dipimpin sembarang
orang melainkan oleh mereka yang benar-benar memenuhi persyaratan tertentu (dustur).
Pemimpin utama (al-ra’is al-awwal) harus memenuhi persyaratan yang bersifat fitrah
(bawaan) dan pengayaan (muktasab). Persyaratan yang bersifat bawaan (fitrah), antara
lain;
1. Dari sisi hati atau jiwa, mempunyai kelebihan dalam soal kesalehan dan
ketaqwaan, sebagai representasi manusia sempurna yang telah mencapai tahap
akal aktif dalam menangkap dan menterjemahkan isyarat-isyarat ilahiyah.
Disamping itu, juga terbukti mempuyai akhlak atau moral yang baik dan terpuji.
2. Dari segi kecerdasan, mempunyai keunggulan dalam hal representasi imajinatif.
3. Dari segi politik, mempunyai kebijaksanaan yang sempurna dalam menjalankan
policy dan menagai persoalan-persoalan yang timbul. Jug mempunyai

~ 19 ~
keunggulan persuasif serta sifat tegas dan lugas dalam menghadapi
penyelewengan dan ketidakadilan.
4. Dari sisi manajerial, mempunyai keunggulan dalam retorika, sehingga bisa
menjelaskan persoalan-persoalan penting dengan baik dan mudah, pada
masyarakat.46
Di sisi lain, tak semua orang mempunyai kapasitas untuk memimpin atau
memandu orang lain atau-kalaupun memang memilikinya-( tak semua orang memiliki)
kemampuan untuk menasehati orang lain untuk berbuat hal-hal tertentu. Ada orang yang
banyak memiliki keduanya atau hanya salah satunya saja. Sebagian lain memiliki sedikit,
dan sebagian lagi malah tak memiliki keduanya. Menurut Al-Farabi, dengan demikian
ada tiga kelompok orang, dari segi kapasitas untuk memimpin, yaitu untuk memandu dan
menasehati: penguasa tertinggi atau penguasa sepenuhnya (unqualified ruler) atau
penguasa tanpa kualifikasi, Penguasa subordinat (tingkat kedua) yang berkuasa dan
sekaligus dikuasai, dan yang dikuasai sepenuhnya.
Negara utama adalah negara yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang “...
benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan... Ia mampu memahami
dengan baik segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing dengan baik
sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu menentukan,
mendefenisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan. Hal ini
hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar lagi unggul,
bila jiwanya bersatu dengan akal aktif.
Penguasa tertinggi, dengan demikian, adalah nabi atau imam yang merupakan
pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat dan tindakan untuk komunitasnya
melalui wahyu dari Tuhan. Ringkas kata, mereka adalah orang yang-selain sempurna
fisik, mental dan jiwanya- memiliki keahlian yang sempurna dalam kearifan teoretis dan
praktis yakni keahlian memerintah atau politik. 47
Jadi, Nabi dan filosof adalah dua tokoh yang sangat layak menjadi kepala
negara utama karena keduanya telah mampu berhubungan dengan akal aktif yang
merupakan sumber hukumdan aturan yang diperlukan bagi kehidupan masyarakat.
Kalaulah ada perbedaan, maka itu terletak hanya pada cara berhubungan dengan akal
aktif yang oleh nabi melalui daya khayal, sedangkan oleh filosof dengan pemikiran akal. 48

46
Ibid, h. 7
47
Yamani, op. cit., h. 61-62
48
Ahmad Daudy, op. cit., h. 54

~ 20 ~
Mengenai cara kerja kota utama, Al-Farabi menyatakan bahwa pertama-tama
penduduknya dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kelebihan-kelebihan
(merits) mereka-yaitu berdasarkan kecenderungan-kecenderungan alamiah mereka dan
berdasarkan kebiasaan-kebiasaan karakter yang telah mereka bentuk. Yakni masing-
masing diberi kedudukan sebagai yang diperintah atau yang memerintah. “... yang
dimulai dengan peringkat penguasa yang tertinggi. Kemudian secara berangsur-angsur
turun, sampai ke peringkat yang diperintah, yang tidak memiliki elemen memerintah, dan
di bawah peringkat ini tidak ada lagi peringkat.49
Walhasil, Negara utama atau setidaknya pemerintahan terbaik adalah rezim
dimana orang-orang saleh dan profesional merupakan yang paling banyak mengambil
peranan atau penentu kebijakan. Dengan sistem seperti itu, diharapkan mereka akan
mampu mendidik dan membawa masyarakat pada tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan
tertinggi.50

49
Ibid., h. 64
50
Achmad Khudori Soleh, loc. cit.

~ 21 ~
BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian makalah tentang Al-Farabi, maka penulis dapat menarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar, memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuwan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh
serta mengupasnya dengan sempurna.
2. Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk)
dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan).
3. Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara
accident , artinya antara keduanya mempunyai substansi, dan binasanya jasad tiak
membawa binasanya jiwa.
4. Dalam paham Al-Farabi, akal kesepuluh ini dapat disamakan dengan malaikat,
kesanggupan berkomunikasi dengan akal sepuluh inilah yang memungkinkan para
nabi dan rasul dapat menerima wahyu.
5. Negara utama adalah negara yang diperintah oleh penguasa tertiggi, yang benar-
benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahun. Ia mampu memahami
dengan baik segala yang harus dilakukannya.

~ 22 ~
DAFTAR PUSTAKA
Amien, Miska Muhammad, Epistemologi Islam, Cet. I; Jakarta:Universitas Indonesia,
2006

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Cet.III; Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2002

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992

de Boer, DR. T. J., The History of Philosophy in Islam, New York:Dover Publications, t.
th.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. I;


Semarang:Toha Putra, 1999

Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Madkour, Ibrahim, fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, terj. Yudian


Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakkir, Filsafat Islam : Metode dan
Penerapan Cet. II; Jakarta:Rajawali, 1991

Nasution, Harun , Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet.VIII; Jakarta:Bulan Bintang,
1990

________ , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet.X; Jakarta:UI Press, 1986

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002

Sudarsono, Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997

Suseno, Frans Magnis, Etika Politik, Cet.I; Jakarta:Gramedia, 1994

~ 23 ~

Anda mungkin juga menyukai