MATERI
AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI
Pengertian Agama
1
dan kemudian disebarkan ke orang lain sehingga menjadi keyakinan dan
dipraktekkan oleh banyak orang. Mengenai asal usul agama ini yang kemudian
oleh banyak ahli bisa menjadi pembeda antara satu agama dengan agama lainnya,
yang akan diulas pada bagian selanjutnya dari hand out ini.
Banyak ahli telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan agama.
Durkheim menyatakan agama (religion) ...is a unfied system of beliefs and
practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden –
beliefs ang practices which unite into one single moral community called a
church, all those to adhare to them (agama adalah kesatuan kepercayaan dan
praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan
dan terlarang – kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang
yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral
yang disebut gereja).1 Defenisi ini boleh dikatakan dilihat hanya dari sisi satu
kelompok penganut agama tertentu saja. Namun defenisi ini telah memberikan
beberapa poin penting dari sebuah agama berupa praktek atau aktivitas sakral atau
dianggap suci yang tentu saja dengan keyakinan tertentu serta dilakukan di dalam
kelompok.
Geertz menyatakan agama adalah..(1) a system of symbols which acts to
(2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men
by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing
this conceptions wiuth such an aura of factuality that (5) the moods and
motivations seen uniquely realistic2 [(1) sebuah sistem simbol-simbol yang (2)
menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan
yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep
mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini
dengan semacam pencaharian faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-
motivasi itu tampak khas realistis]. Defenisi ini menjelaskan agama dari perlakuan
manusia melalui seperangkat simbol yang merupakan ekspresi dari motivasi dan
suasana hati.
1
Durkhiem, The Elementary Forms of the Religious Life. 2011.Hal.80.
2
Geertz, The Interpretation of Culture. 1973. Hal.90.
2
Dari beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa agama
merupakan seperangkat aturan yang dijalankan untuk mengatur kehidupan
manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, yang menjadi petunjuk
mengenai kehidupan manusia dan penjelasan akan sesuatu yang dianggap sakral.
Oleh karena adanya petunjuk yang sakral maka juga terdapat pantangan dan
larangan yang diberikan kepada manusia. Di dalam banyak masyarakat agama
memberikan argumentasi religius mengenai asal usul manusia, bagaimana dan
untuk apa hidup di dunia, masa depan yang akan dihadapi dan kemana manusia
setelah kematiannya. Penjelasan-penjelasan inilah yang berupa aturan atau
petunjuk dan sekaligus sebagai larangan yang tidak bisa dibantah.
3
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Hal. 145.
3
melahirkan keyakinan yang kuat dari kesatuan sosial/ ummat/ masyarakat/
jamaah/ jemaat/ pengikut dari suatu agama tersebut. Dengan keyakinan inilah
suatu agama bisa bertahan karena diyakini kebenaran yang diajarkan di dalam
agama tersebut kepada pengikutnya. Keyakinan kepada kebenaran yang diajarkan
inilah yang kemudian menjadi dogma yang kuat dan bertahan lama atau pervasif
seperti dinyatakan oleh Geertz.
4
manusia.4 Agama yang dipelajari di dalam antropologi adalah fenomena religius
yang ada di tengah-tengah masyarakat. Fenomena religius yang mana? Jawaban
pertanyaan ini mengacu kepada semua fenomena atau aktivitas religius yang
terdapat di dalam masyarakat, apakah yang berasal di dari fenomena agama
tradisional yang dilakukan untuk kepentingan tertentu seperti santet, voodoo,
penyembahan kepada arwah leluhur, agama tradisional seperti arat sabulungan di
Mentawai ataupun fenomena religius yang dilakukan oleh ummat Islam, Katolik
maupun Hindu yang khas di daerah tertentu.
4
Dalam hal ini, teori keterbatasan akal manusia dari Frazer menjadi relevan untuk menjelaskan
agama sebagai pranata.
5
kehidupan sosial kita.“ 5Agama-agama tradisi besar yang diyakini berasal dari
wahyu diturunkan Tuhan melalui malaikatnya, lalu disampaikan kepada Nabi atau
Rasullullah. Dari Nabi kepada anggota keluarganya, kepada sahabat-sahabatnya,
dan dari para sahabat ini diteruskan kepada kepada anggota keluarganya
kerabatnya dan seterusnya. Proses ini berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun
melalui banyak masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Walaupun kitab
suci itu diyakini tidak berubah – walaupun di dalam agama tertentu ada beberapa
versi kitab sucinya – tetapi di dalam masyarakat penganut agama tersebut bisa
saja terjadi perbedaan-perbedaan di dalam agama yang bersangkutan. Mengapa ini
terjadi? Jawabannya adalah karena telah terjadi proses penafsiran atau interpretasi
yang berbeda dari teks suci yang sama, baik oleh para tokoh agama atau oleh
anggota masyarakatnya. Inilah yang disebut dengan agama melalui proses sosial
budaya atau transmisi kebudayaan. Proses ini kemudian melahirkan banyak sekte
atau disebut aliran agama di dalam masyarakat. Sekte-sekta keaagamaan ini lahir
di dalam setiap agama tradisi besar, karena proses sosial budaya yang panjang
berlangsung dan pemberian penafsiran dari teks suci yang sama secara berbeda,
yang melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan yang berbeda pula.
Sebagai contoh kasus, pelaksanaan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha
yang diketahui secara umum dilakukan dua rakaat dengan tujuh takbir setelah
takbirartul ikhram di rakaat pertama dan lima takbir setelah takbir bangkit dari
sujud, tetapi di sebuah kelurahan di Depok di antara orang Betawi yang pernah
penulis ikuti malah terjadi sembilan takbir di rakaat pertama dan tujuh takbir di
rakaat kedua. Contoh lainnya juga di dalam masyarakat Betawi di Depok, di
dalam menghadapi kematian seorang perempuan muda yang belum menikah
disediakan dua karung besar beras di masjid untuk diserahkan kepada yang berhak
menerima. Dua karung beras tersebut adalah sebagai pengganti sholat dan puasa
almarhum sewaktu hidup yang tidak bisa dilakukannya baik karena terhalang oleh
menstruasi atau oleh sebab lainnya, sehingga diganti pada waktu jenazah belum
5
Suparlan. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi,” makalah yang disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian
Agama Departemen Agama RI, di IAIN Ciputat, 14 September 1981.
6
dikuburkan. Ini diucapkan oleh seorang tokoh masyarakat di hadapan orang
banyak pada saat dua karung beras tersebut akan diserahkan. Padahal di dalam
ajaran Islam dinyatakan bahwa terputuslah hubungan seorang yang meninggal
dengan orang yang masih hidup kecuali tiga amalan yang dilakukan seperti ilmu
yang bermanfaat yang telah diajarkan, sedekah jariah dan doa dari anak yang
saleh dari almarhum, tentu saja bagi mereka yang sudah punya anak. Dua contoh
di atas menunjukkan telah terjadi perbedaan interpretasi dari agama yang sama
sehingga dijalankan secara berbeda. Bentuk keyakinan dan praktek keagamaan
bisa saja berbeda dari kesamaan kitab suci yang dimiliki inilah yang dimaksudkan
dengan agama sebagai pranata. Di samping itu aktivitas keagamaan yang sudah
terpola atau sudah lama dan tetap dijalankan di dalam masyarakat seperti ritual
perdukunan juga merupakan bagian dari aktivitas atau pranata keagamaan
tradisional. Agama sebagai pranata inilah yang menjadi lapangan studi
antropologi agama/ religi, yang disebut Geertz dengan agama sebagai sistem
budaya.
7
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
KEBUDAYAAN, MASYARAKAT DAN AGAMA
Kebudayaan
8
pengetahuan individu-individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan inilah yang menjadi landasan dari munculnya tindakan atau
kelakuan yang menghasilkan pola-pola yang dapat diamati dan dasar dari
kemampuan manusia untuk menghasilkan sesuatu. Contoh defenisi kebudayaan
pada level ini seperti dari Spradley yang menyatakan kebudayaan merupakan
serangkaian aturan, petunjuk, resep, rencana dan strategi, yang terdiri dari
serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang
memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. 6 Keesing dan Keesing
menyatakan kebudayaan adalah pola-pola bagi kelakuan manusia.7 Kuper
mendefenisikan kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman
dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu
maupun kelompok. Havilland menyatakan kebudayaan sebagai seperangkat
peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang
jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang
layak dan dapat diterima oleh semua anggota masyarakat. Parsudi Suparlan
seorang antropolog Indonesia menyatakan kebudayaan sebagai keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk
memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya serta
menjadi landasan bagi tingkah lakunya.
Kedua, kebudayaan sebagai aktivitas, kelakuan, tindakan atau adat
istiadat yang nampak dari setiap sukubangsa. Defenisi kebudayaan pada level ini
hanya memahami kebudayaan pada tahap perilaku atau tingkah laku yang dapat
diobservasi dan direkam. Contoh kebudayaan pada bagian ini adalah dari
Kluckhohn yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola
tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan
melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari
kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda
materi.
6
Suparlan 1983, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya,”
dalam Mohamad Soerjani dan Bahrin Samad (ed.) Manusia dalam Keserasian Lingkungan. Hal.
66-76.
7
Ibid.
9
Ketiga, defenisi kebudayaan pada level benda atau hasil karya manusia.
Dalam hal ini kebudayaan dipahami hanya sebagai benda-benda. Defenisi pada
bagian ini sebagai contoh adalah dari Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
yang menyatakan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. defenisi ini sangat umum di Indonesia, karena diajarkan berulang-
ulang di SLTP atau SLTA karena tercatat di buku paket sosiologi atau
antropologi.
Defenisi yang kedua dan ketiga ini merupakan defenisi kebudayaan yang
tangible, yaitu defenisi kebudayaan yang dapat dilihat atau dirasakan. Sedangkan
defenisi yang pertama merupakan defenisi kebudayaan yang tidak dapat dilihat,
karena berada di dalam sistem pengetahuan. Koentjaraningrat sebagai antropolog
Indonesia pernah memberi defenisi yang justru mencakup kepada ketiga
kelompok defenisi, yang material dan non material tersebut. Oleh karena itu
defenisi Koentjaraningrat dapat dikategorikan sebagai kelompok atau kategori
keempat dari banyaknya defenisi kebudayaan tersebut. Di samping itu defenisi
kelompok kelima adalah defenisi kebudayaan yang pengertiannya termasuk dapat
dikelompokkan baik pada tataran ide maupun pada tataran tindakan. Sebagai
contoh defenisi dari Robert H. Lowie yang menyatakan Sebagai contoh defenisi
dari seorang antropolog Amerika Robert H. Lowie yang menyatakan kebudayaan
sebagai segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup
kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang
diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa
lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. Selanjutnya,
keenam adalah defenisi yang menggabungkan pada tataran tindakan dan benda
seperti oleh Ralp Linton yang menyatakan kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku dan hasil tingkah laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung
oleh anggota masyarakat tertentu. Ketujuh, adalah defenisi yang menggabungkan
tataran ide dan benda.
Banyaknya defenisi kebudayaan ini tidaklah menjadi persoalan,
tergantung kepada para ahli memahaminya. Dalam antropologi agama
kebudayaan dipahami berada pada tataran ide atau tata kelakuan, bukan pada
10
kelakuan atau pada benda, karena kelakuan dan benda yang dihasilkan manusia
pada dasarnya merupakan hasil pemikiran manusia itu. Tidak ada tindakan atau
kelakuan dan benda sebelum dipikirkan oleh manusia yang melakukan atau yang
membuatnya. Aktivitas keagamaan sebagai salah satu ciri agama merupakan
perwujudan atau perilaku keagamaan yang dihasilkan dari pemikiran masyarakat
atau kelompok keagamaan tersebut.
Setiap kebudayaan berisi aturan dan sanksi, status dan peran, hak dan
kewajiban serta world view atau pandangan hidup. Isi kebudayaan berupa aturan
dan sanksi inilah yang menentukan dan menetapkan segala sesuatu bagi
pendukung kebudayaan tersebut. Aturan dan sanksi menentukan bagaimana
seseorang berperilaku atau bertindak di tengah-tengah masyarakatnya. Jika dia
dinilai oleh masyarakatnya berbuat salah maka diberikan sanksi kepada sesuai
dengan aturan yang sudah disepakati di dalam masyarakat tersebut. Keteraturan di
dalam masyarakat justru terjadi karena adanya aturan, yang secara tradisional
sudah ada di dalam setiap kebudayaan sukubangsa. Dengan status seseorang
menjalankan perannya di tengah-tengah masyarakat, juga sekaligus menjalankan
aturan yang sudah ditetapkan sesuai dengan statusnya tersebut. Isi kebudayaan
sebagai pandangan hidup atau world view adalah “berupa nilai-nilai dan ide-ide
tentang prinsip-prinsip hidup dan kehidupan itu sendiri. Kebudayaan itu pada
hakekatnya ada pada dan dipunyai oleh individu-individu atau oleh para anggota
masyarakat; dan bukannya oleh masyarakat tanpa memperhatikan individunya,
yang sebenarnya menjadi pemilik dan yang menggunakan kebudayaan tersebut
dalam kehidupannya.”8
Melalui isi kebudayaan yang dipahami oleh masing-masing anggota
masyarakat ini kemudian menjadi pedoman di dalam kehidupan di tengah-tengah
masyarakat. Inilah yang dikatakan kebudayaan sebagai petunjuk, atau resep-resep.
Pengetahuan kebudayaan yang dimiliki menjadi pedoman dan pegangan bagi
pemahaman dari model-model pengetahuan yang dikembangkan di dalam
8
Suparlan, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi” makalah yang disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian
Agama Departemen Agama RI, di IAIN Ciputat, 14 September 1981.
11
menghadapi lingkungan, termasuk bagaimana individu di dalam masyarakat
menerima pengetahuan keagamaan yang kemudian diyakininya.
Masyarakat
Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, artinya setiap individu selalu
menjadi bagian dari kelompok sosial yang melingkupinya dan dia menjadi bagian
dari kelompok sosial itu. Tidak ada seorangpun yang mampu hidup bertahan lama
tanpa bantuan orang lain, walupun pada kasus-kasus tertentu seseorang bisa saja
hidup dalam jangka waktu tertentu dengan bantuan binatang. Dengan menjadi
bagian dari masyarakat individu dapat menunjukkan eksistensinya, memainkan
peran sesuai dengan statusnya. Sebagai makhluk sosial manusia membentuk
kelompok yang terbesar di antaranya adalah masyarakat.
Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu satuan kehidupan sosial
manusia yang menempati suatu wilayah tertentu; yang keteraturan dalam
kehidupan sosial tersebut telah dimungkinkan karena adanya seperangkat pranata-
pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan kebudayaan yang mereka miliki
bersama.9 Sedangkan pranata dapat diartikan sebagai seperangkat aturan yang
mengatur manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup tertentu. Di dalam
masyarakat terdapat banyak pranata sesuai dengan perkembangan masyarakat
tersebut, karena semakin maju sebuah masyarakat maka semakin meningkat
jumlah kebutuhannya. Maka pranata-pranata baru akan muncul dengan sendirinya
untuk mengatur dan menciptakan keteraturan di tengah-tengah masyarakat
tersebut. Apabila pranata ada maka sekaligus tumbuh lembaga baru sebagai
wadah dari pranata tersebut.
Telah umum diketahui bahwa tujuh unsur kebudayaan universal ada
setiap masyarakat, tetapi dari tujuh unsur kebudayaan tersebut berkembang dan
melahirkan banyak pranata baru karena kebutuhan masyarakat yang semakin
meningkat. Sebagai contoh, keluarga merupakan pranata sekaligus lembaga untuk
memperoleh kasih sayang, prokreasi, dan mendidik anak. Suami yang bekerja di
luar rumah tangga menyebabkan anak-anak diasuh oleh ibu atau isteri di rumah.
9
Ibid.
12
Sekarang suami isteri bekerja di areal publik, sehingga muncullah pranata baru
berupa pranata pengasuhan dan mendidik anak terutama balita, yang tidak dapat
dilakukan seorang ibu sewaktu sedang bekerja. Maka muncullah apa tempat
penitipan anak dan balita selama ibu bekerja, sebagai sebuah lembaga baru.
Bahkan di Jakarta bahkan telah lahir pekerjaan baru sehubungan dengan penitipan
anak ini, yaitu petugas yang menjemput dan mengantarkan air susu ibu untuk bayi
yang dititipkan di lembaga penitipan anak. Sehubungan dengan itu beberapa
kantor perusahaan swasta telah menyediakan satu ruangan khusus di kantornya
khusus untuk karyawan ibu-ibu yang sudah melahirkan untuk dapat mengambil
air susu ibu, dan ruangan itupun telah disediakan lemari pendingin untuk
menyimpan susu ibu. Petugas yang akan mengantarkan air susu ibu inipun
memiliki wadah penyimpanan yang menjamin air susu ibu tetap segar dan dapat
dihangatkan sampai di tempat penitipan anak.
Agama
10
Ibid.
13
kelompok tertentu, sepanjang tidak berhubungan dengan keyakinan yang paling
prinsip maka kelompok yang melakukann pembaharuan tersebut dikatakan
sebagai munculnya aliran atau sekte baru di dalam agama tersebut. Aturan
keagamaan itu bahkan diakui dan diyakini berasal dari Tuhan atau dari kekuatan
gaib. Oleh karena itulah di dalam keyakinan keagamaan sulit terjadi perubahan,
karena sentimen keagamaan sudah menentukan rasa bertuhan atau beragama
secara batiniah atau beragama di dalam diri manusia.
14
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
15
sebuah agama mengacu kepada empat ciri-ciri yang sudah diberikan oleh
Durkheim dan ditambahkan satu ciri lainnya seperti yang dinyatakan di dalam
bagian awal dari hand out ini sehingga menjadi lima ciri agama atau religi.
Agama yang di dalam bahasa Inggrisnya disebut religion pada dasarnya sama atau
tidak dibedakan, selama memiliki ciri-ciri yang sama. Koentjaraningrat
membedakan antara agama dengan religi, tetapi pada bagian lain dinyatakannya
agama Islam adalah religi bagi orang Islam. Ini artinya agama sama saja dengan
religi. Koentjaraningrat menyatakan agama adalah religi yang diakui oleh negara,
sedangkan religi adalah agama yang tidak diakui oleh negara.11 Diduga pernyataan
akademis Koentjaraningrat masih terikat kepada kepentingan politik, atau tidak
mau dicap berseberangan dengan pemerintah orde baru yang sangat dominan pada
waktu itu. Apalagi pemerintah orde baru tidak mengakui dan memaksa banyak
sukubangsa di Indonesia untuk memeluk agama yang sudah diakui secara resmi di
Indonesia, sehingga agama-agama lokal yang terdapat di dalam suku bangsa
tertentu seperti arat sabulungan pada orang Mentawai dipaksa untuk dihilangkan
dan harus memilih satu agama yang sudah diakui negara. Di samping itu penulis
tidak menggunakan konsep kepercayaan, sebagaimana ditulis di dalam judul
tulisan Koentjaraningrat. Di dalam beragama yang ada adalah keyakinan (believe)
bukan kepercayaan (trust). Seseorang yakin kepada sesuatu yang gaib sehingga
dia patuh dan menjalankan ajaran yang diyakininya tersebut. Kalimat sebelum ini
lebih tepat jika dibandingkan dengan...seseorang percaya kepada sesuatu yang
gaib sehingga dia patuh dan menjalankan ajaran yang dipercayainya tersebut.
Percaya kepada seseorang bukan berarti kita meyakininya. Konsep yakin lebih
dalam maknanya secara religius jika dibandingkan dengan konsep percaya.
16
setempat. Pembedaan agama ke dalam dua kelompok ini adalah berdasarkan ciri -
cirinya, sebagai berikut.
Selanjutnya apa yang disebut dengan agama tradisi lokal atau kecil
adalah pertama, sepanjang Tuhan atau dewa agama lokal tersebut masih dapat
dimanipulasi atau disuap dengan pemberian sesajen. Kedua, orang yang sudah
meninggal diyakini arwahnya bisa menjadi dewa, tuhan atau setan, sesuai dengan
perilakunya di dunia. Ketiga, agama tersebut hanya diyakini oleh satu kelompok
sukubangsa atau tidak/ belum mampu melampaui batas-batas kesukubangsaan,
bangsa dan benua.
17
Ciri ketiga dari agama tradisi lokal tersebut merupakan ciri yang utama,
karena agama-agama tradisi besar yang ada di dunia sekarang pada awalnya
adalah agama tradisi lokal, tetapi karena tokoh-tokoh dan pengikut agama tersebut
mampu mengembangkan/ menyebarkan sehingga melampaui batas-batas
kesukubangsaan sehingga menjadi agama tradisi besar, karena sudah diyakini oleh
masyarakat dari sukubangsa atau kebudayaan yang berbeda.
Agama tradisi besar bisa menjadi agama tradisi lokal apabila agama
tradisi besar tersebut teks-teks sucinya diinterpretasikan secara lokal oleh
masyarakat di daerah tertentu atau sukubangsa tertentu sehingga agama tradisi
besar tersebut nampak berbeda dengan yang diyakini dan dipraktekkan oleh
masyarakat atau sukubangsa lainnya. Agama tradisi besar dengan interpretasi
lokal inilah yang kemudian mampu melahirkan banyak sekte atau aliran di dalam
agama-agama tradisi besar di dunia, dan dalam realitasnya inilah yang terjadi pada
banyak agama di dunia. Agama tradisi besar dengan interpretasi lokal yang
berbeda ini yang menyebabkan agama tradisi besar bida menjadi agama tradisi
lokal, karena sudah berbeda dengan agama tradisi besar di daerah yang berbeda.
18
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
19
1. Agama dan kebudayaan sama-sama sebagai aturan dan pedoman yang
memiliki sanksi.
2. Aturan dan sanksi kebudayaan hanya berlaku di dalam kehidupan
bermasyarakat, tidak berlaku pada seorang individu. Maksudnya
apabila seorang individu berbuat salah dan tidak ada saksi maka
sanksinya tidak akan diberikan kepadanya. Aturan dan sanksi agama
tetap berlaku pada tingkat individual, walaupun seorang individu itu
berbuat salah tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.Sanksi agama
baru diterima setelah kematian, seseorang yang berbuat kebaikan dan
kesalahan sanksi dan rewardnya diperoleh nanti setelah kematian,
seperti sorga dan neraka.
Di dalam agama Hindu sanksi diyakini juga dapat terjadi selama hidup di
dunia. Konsep karma, sebagai perwujudan dari sanksi yang diterima semasa hidup
di dunia. Inilah perbedaan yang terdapat di dalam agama Hindu, yang tidak
terdapat di dalam keyakinan agama-agama tradisi besar lainnya.
Oleh karena itu kebudayaan dan agama pada dasarnya sangat fungsional
untuk mengatur dan menciptakan keteraturan di dalam masyarakat. Kebudayaan
dan agama sama-sama memiliki aturan yang mengatur untuk kehidupan bersama
di tengah-tengah masyarakat. Aturan di dalam agama dan kebudayaan itu
dipelajari melalui simbol-simbol. Simbol merupakan segala sesuatu yang diberi
makna sesuai menurut kebudayaan atau agama tertentu. Simbol kebudayaan
adalah simbol-simbol yang diketahui maknanya oleh pendukung kebudayaan
tersebut. Simbol agama adalah simbol yang terdapat di dalam setiap agama,
dengan makna-makna yang diberikan berdasarkan ajaran atau doktrin di dalam
gama tersebut.
20
bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan
untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan tersebut.”12 Geertz yang
menyatakan agama sebagai suatu sistem simbol... dan seterusnya,13 juga
menyatakan agama sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan, suatu
pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional,
kognitif, subjektif dan individual.14 Menurut Geertz kebudayaan adalah pola dari
pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-
simbol yang ditransmisikan secara historis suatu sistem mengenai konsepsi-
konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara
tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan
dan sikap mereka terhadap kehidupan.15
“Simbol-simbol adalah garis penghubung antara pemikiran manusia
dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu
berhubungan atau berhadapan dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat
dilihat sebagai (menurut Geertz) ‘suatu sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-
simbol yang signifikan.’ Dengan demikian simbol-simbol itu pada hakekatnya ada
dua, yaitu; (1) yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-
kenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) yang berasal dari dalam dan yang terwujud
melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbol-
simbol menjadi dasar dari perwujudan model dari dan model bagi dari sistem-
sistem konsepsi dalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama
mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk suatu sistem sosial.”16
Simbol-simbol di dalam agama dan kebudayaan selalu menunjukkan
kebaikan dan keburukan/ kejahatan. Di dalam kebudayaan simbol-simbol
digunakan di dalam proses interaksi di dalam kehidupan sehari-hari di tengah-
tengah masyarakat. Simbol-simbol di dalam agama menunjukkan kesucian atau
12
Suparlan, 1982.
13
Sebagaimana telah dikutip pada bagian sebelumnya.
14
Suparlan, 1982.
15
Geertz, ibid. Hal.89.
16
Suparlan, 1982.
21
kesakralan dan kejahatan/ keburukan/ sesuatu yang biasa-biasa saja, atau disebut
juga yang sakral (sacré) dan yang profan.
Teori strukturalisme dari Lévi-Strauss yang memandang segala sesuatu
secara binnary opposition sangat relevan di dalam melihat simbol-simbol di dalam
kebudayaan dan keagamaan. Baik-buruk, benar-salah, sorga-neraka adalah dua
perspektif yang selalu terhubung antara satu dengan lainnya, dengan perilaku di
dunia dan konsekuensi yang diterima di akhirat. Oleh karena itu simbol-simbol
yang digunakan di dalam kebudayaan dan agama juga menunjukkan simbol-
simbol kebaikan-kejahatan, benar-salah, atau suci dan tidak suci. Di dalam agama
Islam warna putih sering dipakai oleh para ulama dalam berpakaian untuk
menunjukkan simbol kebaikan atau mendekati ke kesucian, yang dilawankan
dengan warna hitam sebagai simbol kejahatan. Sorga selalu diletakkan di posisi di
atas, neraka selalu diletakkan pada posisi di bawah.
Segala sesuatu baik di dunia nyata, alam fisik dan sosial maupun di dunia
gaib, semuanya digolongkan ke dalam sistem penggolongan. Penggolongan ini
dibuatkan ciri-cirinya yang selalu dipertentangkan atau digolong-golongkan.
Maka muncullah penggolongan atas dua, seperti yang suci dan yang kotor atau
berdosa. Penggolongan dua ini bisa juga menjadi tiga dengan posisi tengah yang
menengahi di antara dua yang saling bertentangan. Cara pikir oposisi biner ini
kemudian disimbolkan ke dalam simbol-simbol yang dianggap suci dan simbol-
simbol yang profan. Oleh karena itu konsep surga-neraka, bahagia-sengsara ada
pada setiap agama. Di dalam agama berisi sistem simbol yang menggolongkan
segala sesuatu, yang maknanya diberikan oleh agama tersebut. Sebagai contoh air
sungai. Air sungai bisa dikatakan suci atau tidak suci berdasarkan ukuran
keagamaan, tidak berdasarkan kepada ukuran higienis. Air sungai ada yang boleh
atau tidak boleh untuk bersuci atau mensucikan sehingga bisa dipakai berwudhu
sebelum beribadah di dalam agama Islam.
Dalam hal ini ada pedoman penilaian yang sama dengan nilai-nilai
budaya. Penilaian agama adalah penilaian atas suci atau tidak suci. Di dalam
masyarakat agama menjadi keyakinan keagamaan berdasarkan interpretasinya atas
ajaran dan pedoman yang sesungguhnya (teks suci). Acuan interpretasinya adalah
22
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Agama diterima oleh masyarakat
tertentu adalah berdasarkan kepada hasil interpretasi dari masyarakat penganut
agama tersebut berdasarkan kebudayaannya atas teks-teks (kitab) suci yang
intinya adalah pedoman untuk kebaikan di dunia dan di akhirat.
23
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
24
penekanan pembedaan magi dengan agama, terutama agama tradisi lokal. Dalam
hal ini bisa diberikan contoh, seseorang yang ingin lulus ujian atau diterima
bekerja di instansi tertentu meminta bantuan kepada seorang dukun, dan dengan
permintaan dukun (dari kekuatan gaib) tersebut, dia menyediakan syarat-syarat
tertentu supaya keinginannya lulus ujian atau diterima bekerja benar terwujud,
melalui penggunaan kekuatan gaib tersebut. Tindakan magi seperti ini banyak
dilakukan oleh individu-individu di dalam masyarakat. Peran dukun atau
paranormal menjadi fungsional di dalam masyarakat. Inilah yang dimaksudkan
dengan tindakan magis atau magic. Magi menurut Havilland, “merupakan praktek
ritual yang paling mempesona, adalah penerapan kepercayaan bahwa kekuatan
supernatural dapat dipaksa untuk aktif dengan cara tertentu, baik untuk tujuan
yang baik maupun yang jahat, dengan menggunakan rumusan-rumusan
tertentu.”17
1. Ada hubungan orang dengan makhluk atau kekuatan gaib tertentu yang
melebihi hubungan tersebut. Orang/ individu tertentu tersebut dapat
menggunakan magi.
2. Salah satu syarat ritual magi adalah memberikan imbalan tertentu.
3. Ritual magi adalah ritual keagamaan.
Ciri universal dari magi inilah yang membedakan magi dengan agama.
Dalam hal ini, ada pemberian atau imbalan tertentu kepada kekuatan gaib yang
bersifat azas timbal balik atau resiprositas. Jika seseorang memberikan sesuatu
kepada makhluk gaib maka makhluk gaib tersebut juga harus memberikan sesuatu
17
Havilland, 1985.Hal.210.
25
kepada orang tersebut. Artinya makhluk atau alam gaib tersebut dapat
dimanipulasi dengan pemberian-pemberian tertentu, seperti pemberian sesajian.
Gambar Ritual Magi, penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib
Frazer membuat perbedaan yang tajam antara agama dan magi. Agama
olehnya merupakan cara mengambil hati atau menenangkan kekuatan yang
melebihi kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan
mengendalikan nasib dan kehidupan manusia. Sebaliknya, magi sebagai usaha
untuk memanipulasikan “hukum-hukum” alam tertentu yang dipahami. Dengan
demikian Frazer melihat magi sebagai semacam ilmu pengetahuan semu (pseudo-
science).18 Selanjutnya Frazer membedakan dua macam prinsip magi, magi
simpatetis dan magi senggol (contagious magic). Prinsip yang pertama,
“persamaan menimbulkan persamaan” (“like produce like”). Misalnya dengan
membuat boneka mirip manusia yang akan diguna-guna atau disantet. Jika perut
boneka ditusuk maka orang yang diguna-guna tersebutlah yang merasakan sakit.
Magi senggol berdasarkan prinsip bahwa barang yang pernah bersentuhan dapat
saling mempengaruhi sesudah terpisah.19 Dengan magi senggol seseorang bisa
disantet atau diguna-guna hanya dengan menggunakan benda-benda yang pernah
bersentuhan dengan orang yang dimaksud, atau dengan menggunakan barang-
barang yang pernah dipakainya, seperti sisir, pakaian, dan lain-lain.
18
Ibid.Hal.210-211.
19
Ibid.Hal.211.
26
Fenomena magi seperti ini terdapat di seluruh dunia, dalam bentuk dan
nama-nama yang berbeda. Aktivitas sihir seperti voodoo sangat terkenal di Afrika,
ada leak di Bali, santet di Jawa, gasing tangkurak dan sijundai di Miangkabau dan
lain-lain. Di dalam antropologi konsep mana yang berasal dari daerah Polynesia
menjadi konsep baku dalam menyebut kekuatan gaib yang terdapat di sekeliling
manusia. Fenomema religius di dalam agama tradisi lokal, berbagai macam
bentuk magi dapat menjadi studi antropologi religi/ agama.
27
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
UPACARA DAN RITUAL
Sebagai contoh, upacara bendera sering dilakukan pada setiap hari Senin
atau setiap tanggal 17 di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor. Di dalam upacara
tersebut sangat diharapkan keseriusan peserta, terutama pada saat menaikkan
bendera merah putih atau saat mengheningkan cipta. Pada saat itulah yang disebut
dengan aktivitas ritual di dalam upacara. Pesta pernikahan merupakan bentuk
28
upacara (ceremony), yang bisa saja diselenggarakan sehari semalam, atau bahkan
sampai tujuh hari tujuh malam. Ini semua adalah bentuk upacaranya, yang
menampakkan kegembiraan. Ritualnya adalah pada saat pengucapan ijab kabul
atau proses pernikahan yang mensyahkan hubungan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami isteri.
29
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
1. Konsep gender dan kekuasaan
2. Agama, Gender dan kekuasaan
MATERI 1
Pengertian Gender
20
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosal. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 1999: 8
30
Gender yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dikontruksikan secara sosial dan kebudayaan (kultural).21 Misalnya kaum
perempuan dikenal lembut, lemah, emosional, sedangkan laki-laki dianggap, kuat,
rasional, perkasa,kuat. Sifat-sifat ini dikonstruksikan atau dibentuk oleh
kebudayaan masyarakat. Sifat-sifat tersebut tidak lah tetap, bisa dipertukarkan,
dan dapat berubah. Sifai-sifat gender disosialisasikan dalam lingkungan keluarga,
dan masyarakat, diperkukuh oleh agama dan negara sehingga semakin kuat dan
mengakar dalam kebudayaan masyarakat.
21
Fakih. Ibid hal 9
31
masyarakat Tchambuli, temperamen laki-laki dengan perempuan malahan terbalik
dengan masyarakat Ero-Amerika. Kaum perempuan pada umumnya bersifat
keras, kasar, aktif, dan melaksanakan pekerjaan berat dalam usaha perkebunan
dan mencari sagu, kaum perempuan juga tidak suka bersolek, malahan banyak
yang berkepala botak. Sedangkan kaum laki-laki, bekerja di bidang pertukangan,
dan kesenian. Kaum laki-laki bersifat lembut, dan suka bersolek.22
22
Danandjaja, James. Antropologi Psikologi; Teori, Metode, dan sejarah Perkembangan. Jakarta:
Rajawali 1988: Hal 37-38
23
Budiarjo, Meriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 1986: 35
24
Budiarjo. Ibid hal 36
32
Gender dan kekuasaan
MATERI 2
2525
Moore, Henrietta.L. Feminisme & Antropologi. Jakarta: Obor . 1998: 31.
26
Budiman, Arif.Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia. 1985: 4
33
ajaran yang dianggap suci yang disebut, nabi,atau rabbi. Selanjutnya diteruskan
kepada pengikut yang lain, sehingga agama yang sampai di dalam masyarakat
merupakan hasil interpretasi atau penafsiran ajaran dari pendahulu sebelumnya.
27
Fakih, Mansour, ibid: 129
28
Ibid: 134
34
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
E.B. Tylor lahir dari keluarga Quaker yang kaya di London. Karya
besarnya yaitu Primitive Culture (1871). Pada tahun 1884, ia diplih sebagai
reader-nya yang pertama dalam bidang baru, antropologi. Kemudian menjadi
profesor pertama dalam disiplin tersebut. Buku Primitive Culture diterbitkan di
Inggris ketika orang-orang yang sangat religius sedang mendapat tantangan
keimanan mereka dengan terbitnya buku Charles Darwin, Origin of Species
(1859). Teori evolusi melalui seleksi alam yang dikemukakan menghentakkan
banyak orang, karena sangat bertentangan dengan kitab suci. Buku Darwin diikuti
dengan The Descent of Man (1871).
35
Menurut Tylor asumsi dari etnologi atau ilmu budaya yang baru yaitu
setiap komunitas atau kebudayaan yang terorganisasi harus dipahami sebagai satu
keseluruhan---sebagai suatu sistem kompleks yang terdiri atas pengetahuan dan
kepercayaan, seni dan moral, alat dan teknologi, bahasa, hukum, adat-istiadat,
legenda, mitos dan komponen lain yang semuanya membentuk satu keseluruhan
yang tunggal. Etnologi lebih lanjut menuntut sistem-sistem yang kompleks ini
diteliti secara ilmiah.29
Pandangan “Survival”
Menurut Tylor, tidak semua kebudayaan dan tidak semua hal dalam suatu
kebudayaan berkembang melalui langkah yang sama. Praktek kebudayaan yang
sesuai pada suatu waktu, dapat bertahan lama walaupun gerak kemajuan
melewatinya. Misalnya, meskipun tidak ada pemburu modern yang masih
menggunakan panah untuk membunuh binatang buruan, namun seni memanah
masih ada sampai saat ini.30
Asal-usul Agama
29
Pals, L. Daniel. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam, 1996: 34
30
Ibid. Hal 36
36
latin anima artinya roh), yaitu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup
dibalik semua benda. Animisme dapat ditemukan di seluruh sejarah bangsa
manusia.
Dasar dari asal usul agama, adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa
(roh). Kesadaran akan adanya jiwa disebabkan karena dua hal: Pertama,
perbedaan yang tanpak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang
mati, ketika manusia hidup terdapat jiwa (roh) yang mengerakkan manusia yang
membedakan ketika manusia telah mati. Kedua, peristiwa mimpi, dalam mimpi
manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain. Bagian lain dari dirinya yang pergi
ke tempat-tempat lain disebut dengan jiwa (roh).
Tylor membedakan jiwa atas dua; pertama soul yaitu jiwa atau roh
manusia yang masih berhubungan dengan tubuh jasmani, termasuk diri manusia
yang terlihat diwaktu mimpi. Kedua, spirit yaitu jiwa atau roh manusia yang
sudah terlepas dari tubuh jasmani untuk selama-lamanya.
Evolusi Religi
37
serupa dengan manusia. Dewa memiliki susunan pangkat mulai dari yang tinggi
sampai ke rendah. Dewa memiliki tugas masing-masing. Pada tingkat keempat,
Monoteisme. Manusia percaya bahwa ada satu dewa yang tertinggi yang layak
untuk diberikan penghormatan. Sehingga berkembang keyakinan pada satu
Tuhan. Sebagai tapa yang paling tinggi dalam evolusi religi manusia.
31
Ibid hal 50
32
Ibid hal 58
38
mengubahnya. Usaha yang paling pertama yaitu magi atau magi simpatetik.
Menurut Frazer ada dua tipe magi simpatetik yaitu: magi imitatif (imitative
magic), yaitu magi yang menghubungkan benda-benda atas dasar prinsip
kesamaan; magi kontak (contagious magic), yang berhubungan atas dasar prinsip
pelekatan (attachment). Dalam suatu kasus, dapat dikatakan ‘serupa
mempengaruhi yang serupa (like effects like), bagian mempengaruhi bagian (part
effects part). Dengan banyak kasus Frazer menunjukkan bagaimana masyarakat
sederhana berasumsi bahwa alam bergerak atas dasar imitasi dan hubungan.
Apalagi mereka menganggap prinsip ini bersifat tetap, universal dan tak dapat
dipecahkan-sebagimana tetap dan pastinya hukum ilmiah modern tentang sebab-
akibat.33
33
Ibid hal 59-60
39
anggapan yang ada dibelakangnya. Manusia mula-mula hanya menggunakan ilmu
gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan
dan pengetahuan akalnya. Pada waktu itu agama belum ada dalam kebudayaan
manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magi itu tidak ada
hasilnya, maka mulailah manusia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-
makhluk halus yang lebih berkuasa dari makhluk lainnya, lalu mulailah manusia
mencari hubungan dengan makhluk halus itu, dengan demikian timbullah agama.
Perbedaan besar agama dengan magi menurut Frazer yaitu, magi adalah
sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan
menggunakan kekuatan dan kaidah gaib yang ada di alam. Sebaliknya agama
adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan
cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk halus seperti
roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam.
34
Ibid Hal 62.
40
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
EMILE DURKEIM: MASYARAKAT SEBAGAI YANG SAKRAL
Durkheim lahir pada tahun 1858 di kota Epinal Perancis. Bukunya yang
terkenal berkaitan dengan agama yaitu, The Elementary Form of The Religious
Life (1912). Buku ini mengungkap elemen-elemen dasar pembentuk semua
agama. Menurut Durkheim orang religius membagi dunia menjadi dua arena yaitu
yang sakral dan profan. Hal yang sakral selalu dianggap superior, sangat kuasa,
terlarang dari hubungan normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Hal-
hal yang profan adalah sebaliknya; bersifat biasa, tak menarik dan merupakan
kebiasaan praktik kehidupan sehari-hari. Perhatian agama adalah hal-hal yang
pertama (sakral). Hal- hal yang sakral selalu melibatkan kepentingan besar.
Kepentingan dan kesejahteraan seluruh kelompok atau komunitas. Pada sisi lain,
hal-hal yang profan adalah masalah-masalah kecil, mereka mencerminkan urusan
setiap individu sehari-hari-kegiatan dan usaha pribadi yang lebih kecil dari
kehidupan pribadi dan keluarga dekat.
41
Durkheim berbeda pendapat dengan Frazer yang mengatakan magi
muncul lebih awal dari agama. Magi dan agama dapat hidup berdampingan, yang
satu adalah tempat bagi wilayah personal, yang lain adalah tempat bagi wilayah
sosial. Kata Durkheim; seorang ahli magi, hanya memiliki klien, tetapi bukan
jamaat. “tak ada jamaat magi”.35
Totemisme
Durkheim mengasumsikan bahwa agama yang dijalani oleh sukubangsa
yang sederhana merupakan bentuk agama yang paling dasar. Dan jika dapat
menjelaskannya maka akan mengawali penjelasan tentang semua agama. Agama
dari sukubangsa asli Australia yang banyak menawan para antropolog awal
lainnya, dan tokoh seperti Robertson Smith, Frazer, dan Freud yaitu Totemisme.
Begitu juga dengan Durkheim, menurutnya tidak satupun dari para teoritisi
tersebut yang sampai kepada penjelasan yang fundamental arti totemisme bagi
kebudayaan primitif.
Menurut Durkheim, di setiap masyarakat promitif, selain binatang totem,
yang bersifat profan, biasanya boleh dibunuh dan dimakan oleh klan; binatang
totem tidak boleh, karena ia suci, terlarang bagi klan. Kecuali pada kesempatan
tertentu, ketika melakukan upacara yang dirancang secara khusus. Binatang totem
secara ritual dikorbankan dan dimakan. Di samping itu, klan itu sendiri dipandang
suci karena dianggap sama dengan totem. Ketika klan berkumpul bersama untuk
melakukan upacara, adalah selalu simbol totem , yang diukir di sepotong kayu
atau batu, yang menjadi panggung utama. Totem sangat suci dan menyampaikan
sifat sucinya ke semua yang mengitarinya.
Menurut Durkeim, totemisme merupakan agama yang paling awal,
mendasar dan sederhana. Totemisme merupakan dasar dari pemujaan agama yang
lain, seperti pemujaan roh, pada dewa, pada binatang, matahari dan bintang.
Durkheim menganggap totemisme lebih dari sekedar penyembahan binatang atau
tumbuhan. Para pengikut pemujaan totem tidak benar-benar menyembah gagak
atau apapun, melainkan mereka menyembah pada ‘suatu kekuatan impersonal dan
tanpa nama. Durkheim menyatakan dengan “prinsip totem”, yang berada di
35
Pals, Daniel. Hal 169
42
tengah-tengah semua kepercayaan dan ritual klan. Di balik totem ada kekuatan
impersonal yang memiliki kekuasaan besar atas kehidupan klan, baik secara fisik
maupun moral. Orang-orang menghormatinya; mereka merasakan sebuah
kewajiban moral untuk melaksanakan upacara-upacaranya; mereka merasakan
ikatan yang sangat kuat satu sama lain dan kesetiaan yang mengikat.
36
Ibid hal 175
43
Implikasi dari totemisme
Totem merupakan objek yang konkret dan riil, bentuknya diukir pada
kayu atau batu. Hal ini mengimplikasikan bahwa masyarakat atau klan yang
menuntut kesetiaan dari para anggota, bukanlah sesuatu yang dibayangkan, akan
tetapi sesuatu yang riil. Masyarakat juga merupakan sesuatu yang tetap dan
permanen. Binatang dan tanaman menjadi simbol totem yang umum pada klan
oleh karena, klan menginginkan simbol yang konkret dan dekat, sesuatu yang erat
terkait dengan pengalaman sehari-hari.
Hal yang terpenting dalam totemisme yaitu ritual. Sentimen atau emosi
agam tidak muncul dalam momen pribadi, akan tetapi dari upacara yang besar.
Dalam pandangan Durkheim, “cult” ata pemujaan, yang terdiri dari peristiwa-
peristiwa tertentu, adalah inti kehidupan bersama suatu klan. Ritual adalah sakral,
dan yang lainnya adalah profan. Tujuan dari ritual yaitu mempromosikan
44
kesadaran klan, untuk membuat orang merasa menjadi bagiannya, dan untuk
memeliharanya dalam cara yang terpisah dari yang profan.
Dalam praktek totem, pemujaan (cult) terbagi dalam dua bentuk yaitu
negatif dan positif. Sementara tipe yang ke tiga yaitu “piacular” atau “penebusan”.
Ritual pemujaan negatif memiliki satu tugas utama: memilihara yang sakral agar
terpisah dari yang profan. Ritual ini terutama berisikan larangan atau taboo.
Untuk memisahkan yang profan dengan yang sakral, kultus negatif menyisihkan
beberapa hari suci untuk perayaan suci; satu dari taboo yang paling umum,yang
melarang melakukan kegiatan rutin dati kehidupan profan. Pekerjaan dan
permainan sehari-hari dilarang, hanya kegiatan suci yang diizinkan.
Ritual positif atau kultus positif dilakukan pada tempat dan waktu yang
suci. Seperti upacara intichiuma pada orang Aborigin. Di dalam ritus terdapat
aktivitas menangkap totem, membunuh dan memakannya dalam suatu hidangan
yang sakral. Ritual ini menurut Durkheim, memuja totem, dan merayakannya di
depan publik, menyatakan bahwa ia akan setia kepadanya. Sebagai gantinya
dengan memakan totem, setiap orang menerima kembali dari dewa suatu infusi
kekuatan ilahi dan pembaharuan kembali ke dalam jiwa. Di alam ritus , para
pemuja memberi hidup pada dewa mereka, dan dewa mengembalikannya pada
mereka.
45
Fungsi ritual adalah untuk memberi kesempatan kepada individu untuk
memperbarui komitmen mereka kepada komunitas, memperingatkan diri mereka
sendiri bahwa mereka tergantung kepada klan, sebagaimana klan bergantung pada
mereka. Motif dasar dari berbagai ritus, menurut Durkheim adalah sosial.
Ritus Piakular
46
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG AGAMA
37
Pals, Daniel. Hal 210
47
penafsir dan penyampai yang persuasif. Mereka menulis bersama karena alasan
yang sama, mereka bergabung dan mendukung partai politik yang baru. Pada
tahun 1848, mereka menulis karya yang terkenal , Comunist Manifesto. Marx dan
Engels dikenal sebagai Bapak “Marxisme”.38 Karya besar Marx yang lain yaitu
Capital (1867), buku ini mendukung pemikiran materialismenya.
38
Ibid. Hal 213
39
Ibid, Hal 210
40
Ibid. Hal 212
41
Darmawan,Eko.P, Agama itu Bukan Candu. . Yogyajarta: Resist Book. 2005: 85
42
Ibid Hal 212
48
...sejak kemunculan pertama di dunia, makhluk manusia tidak dimotivasi oleh ide-
ide besar, tetapi akan kepentingan materi yang sangat dasar, kebutuhan-kebutuhan
dasar untuk kelangsungan hidup. Setiap orang membutuhkan makanan, pakaian
dan tempat berteduh. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, yang lain, seperti dorongan
seks, menyusul. Reproduksi kemudian membentuk keluarga dan komunitas, yang
masih menciptakan kebutuhan dan tuntutan materi yang lain. Semua ini hanya
dapat dipenuhi dengan mengembangkan apa yang disebut Marx sebagai suatu
“cara produksi”.
Menurut Marx, pemahaman cara suatu masyarakat mengorganisasi
produksi mereka adalah kunci bagi memahami keseluruhan struktur sosial. 43 Bagi
Marx struktur sosial tidak tercipta secara acak. Terdapat pola secara pasti dalam
cara masyarakat di berbagai tempat di dunia, dalam berbagai masa dalam sejarah.
Mengorganisasikan produksi benda-benda materi. Teori tentang sejarah dan
masyarakat ini disebut dengan materialisme historis.44 Cara-cara memproduksi ini
disebut Marx dengan “mode produksi”, terdapat lima macam yaitu, komunis
primitif, kuno, feodal, kapitalis dan komunis. Selain mode komunis primitif dan
komunis, setiap mode memiliki satu kesamaan sebagai ciri khas, yakni produksi
benda material berbasis kelas. Menurut Marx, pada semua masyarakat non-
komunis-pada mode kuno, feodal dan kapitalis-hanya ada dua kelas yang
penting;yaitu kelas yang memiliki sarana produksi yang disebut dengan kelas
borjuis dan kelas yang tidak mimiliki yang disebut dengan proletar.45
Bagi Marx komunis yang paling awal dalam peradaban manusia
(masayarkat berburu dan meramu) adalah komunis primitif. Pada masyarakat
primitif setiap orang memiliki benda-benda produksi untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Kemilikan benda-benda produksi adalah milik kelompok atau komunal.
Setiap orang adalah bahagian dari kelompok kesukuannya. Tidak ada kepemilikan
individu sehingga tidak ada klas untuk mengeksplotitasi orang lain.
43
Jones, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme hingga Post Modernisme.
Jakarta: YOI. 2009: hal 78
44
Jones. Ibid hal 78
45
Ibid hal 78.
49
Perubahan terjadi ketika cara produksi berubah, dari berburu dan
mengumpulkan makanan ke menanam biji-bijian. Mereka yang kebetulan
memiliki tanah menempatkan diri mereka dalam posisi berkeuntungan besar.
Mereka menjadi majikan, orang lain menjadi tanggungan atau bahkan budak.
Kepemilikan pribadi dan pertanian merupakan dua tanda peradaban awal yang
menciptakan krisis dasar semua manusia; pemisahan klas oleh kekuasaan dan
kekayaan, dan dengan itu dimulai konflik sosial yang permanen.46 Marx
menyebutnya dengan konflik antara kaum borjuis dan kaum proletariat
Perkembangan masyarakat modern dengan majunya cara produksi yang
baru, perdagangan dan pabrikasi, mendatangkan kapitalisme modern.
Memperkenalkan aktivitas komersial dan memperoleh keuntungan dalam skala
besar, kapitalisme mendatangkan kekayaan bagi segelintir orang yang disebut
kaum borjuis atau “kelas menegah”. Sedangkan kelas pekerja atau yang disebut
“proletariat” hampir tidak memiliki apa-apa. Mereka bekerja untuk mendapatkan
upah, hanya untuk dapat bertahan hidup. Kapitalisme industri mengahsilakn
konflik antra kelaa hingga ke titik puncak. Periode penderitaan kaum proletar dan
hanya dapat dipecahkan dengan cara revolusi. Perjuang kelas, antara kaum
proletar terhadap kaum borjuis, dengan cara-cara kekerasan untuk menumbangkan
seluruh tatanan sosial dan ekonomi yang menindas. Pada waktunya situasi akan
kembali terkontrol, dan masanya tidak ada lagi kelas atau kepemilikan pribadi
(mode komunis).
Alienasi
Ide alienasi dan sejarah terus berjalan melalui suatu proses konflik yang
luas diperoleh Marx dari Hegel. Menurut Marx, alienasi dan kemajuan sejarah
tidak berakat melalui ide, akan tetapi dalam realitas kehidupan material yang
mendasar. Untuk memahami alienasi, dapat dilihat betapa sangat pentingnya fakta
kerja ekonomi setiap hari bagi setiap orang yang hidup.kerja adalah aktivitas
bebas manusia ketika mendukung atau mengadakan kehidupan sosial mereka
melawan alam. Kerja seharusnya bersifat, kaya, kreatif, bervariasi dan
46
Ibid hal 218
50
memuaskan, suatu ekspresi seluruh kepribadian.47 Di dalam kenyataan, manusia
merasa teralienasi dengan produksi atau apa yang dikerjakannya. Manusia juga
teralienasi dengan dirinya sendiri. Alienasi semakin diperburuk dengan datangnya
kapitalisme industri modern.
Base (struktur) dan suprastruktur
Sepanjang sejarah, fakta-fakta ekonomi telah menjadi dasar (base)
kehidupan sosial. Beberapa bidang kehidupan lain, seperti agama, etika, filsafat
termasuk ke dalam suprastruktur. Lebih jauh, base menentukan suprastruktur.
Seperti negara, Marx menyatakan bahwa negara mewakili keinginan kelas yang
berkuasa, kelompok yang dominan. Negara melakukan kontrol yang kuat terhadap
yang dikuasainya dan menggunakan suprastruktur kultural untuk mencapai tujuan
yang sama. Dalam banyak kasus, kata Marx, suprastruktur yang berupa politik
dan agama sebenarnya dikontrol oleh landasan ekonomi dan dinamika perang
kelas.48
47
Pals, Daniel L. Hal. 223.
48
Ibid hal 31
49
http://id.wikipedia.org/wiki/Opium diakses 26/10/2013
50
http://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diakses 26/10/2013
51
Kaum Borjuis dan proletar memiliki agama yang sama, namun refleksi dari
keberagamaan itu berbeda. Bagi kaum proletar agama merupakan keluh kesah
makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berperasaan, dan jiwa dari
kondisi-kondisi yang mati. Ketika mendengarkan misa, berbicara tentang sorga,
kaum tertindas membayangkan kehidupan yang indah yang tidak mereka
dapatkan dalam kehidupan yang nyata. Agama membuat kaum proletar
berhalusinasi tentang sorga yang indah, kehidupan yang indah yang tidak mereka
dapatkan. Agama Bagi Marx, di tangan dan doa kaum papa dan tertindas, agama
berubah menjadi “protes”; ia merupakan perlawanan terhadap penderitaan yang
nyata. Bukan penderitaan yang mengilusi seperti rasa takut hukuman Tuhan, atau
penderitaan yang disebabkan oleh sejumlah “dosa” yang diwarisi dari kehidupan
sebelumnya.51 Esensi agama bagi Marx yaitu menyuarakan penderitaan. Marx
menolak Agama sebagai kebahagiaan yang mengilusi, mengenai kondisi mereka
(proletar) merupakan seruan untuk menghentikan kondisi yang mendatangkan
ilusi tersebut. Kritisisme agama, karenanya, melahirkan kritisisme terhadap agama
yang dijadikan sekadar hiburan bagi penderita.52 Mereka yang tertindas tidak
hanya ingin sekedar hiburan akan tetapi juga perubahan. Tapi agama, menyajikan
dirinya sekedar sebagai penjelasan mengenai penderitaan itu (dogma) atau
semata-mata ritual agama Marx (praktik) yang membuat penderitaan dapat
dinikmati. Bagaikan candu, agama menutupi penderitaan tanpa menghapuskannya
secara nyata.53
Bagi kaum borjuis, sebagai penguasa agama merupakan refleksi dari
kekuasaannya. Ketika gereja dipisahkan antara gereja milik kalangan orang kaya
dengan milik kalangan buruh, ini menunjukkan kekuasaan mereka karena gereja
mereka berbeda secara lahiriah. Fasilitas gereja lebih bagus dengan altar yang
indah, orang-orang jamaat yang datang dengan menggunakan pakaian yang indah.
Dengan demikian agama mengukuhkan kekuasaan mereka di atas yang lain.
51
Raines, John. Marx Tentang Agama. Jakarta: Teraju. 2003 hal xx
52
Raines, John.hal xx1v
53
Rainer,John.hal 85
52
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
E.E. EVANS-PRITCHARD: AGAMA ORANG AZANDE DAN NUER
53
melanjutkan kerja lapangan di kalangan suku Nuer, Sudan. Pada tahun 1937
menerbitkan karya besarnya yang pertama, Witchcraft,Oracles, and Magic among
the Azande. Buku-bukunya yang lain banyak terbit setelahnya seperti Nuer
Religion (1956), Social Anthropology (1951), Essay in Social Anthropology
(1962), Theorist and Primitive Religion (1965), dan lainnya.
Ilmu sihir (witchraft) bagi orang Azande merujuk kepada substansi fisik
yang dimiliki oleh beberapa peran di dalam tubuh yang tak dikenal oleh diri
mereka. Substansi itu adalah warisan dan dapat ditemukan dalam tubuh mereka
setelah mati. Substansi itu menurut Evans Pritchard yaitu sebuah massa yang
hitam di dalam usus yang kecil, tak lebih dari sekadar makanan yang belum
dicerna. Namun, Suku Azande percaya bahwa substansi itu tampak semata-mata
fisik dan alami, ia beroperasi secara mistik untuk menimbulkan kemalangan,
terutama sakit pada orang lain.
54
Pals, Daniel.hal 347
54
Ilmu sihir dirujuk oleh suku Azande terutama untuk hal yang
berhubungan dengan peristiwa yang tidak menguntungkan, yang secara langsung
tidak dapat dijelaskan dengan kesalahan yang biasa. Jika terjadi sesuatu terhadap
panen, atau orang Azande maka selalu ada komat-kamit ilmu sihir, namun jika
petaka yang sangat serius terjadi, yang akan merengut nyawa seseorang maka
menurut alam pikiran orang Azande, hal ini pasti disebabkan oleh ilmu sihir.
Orang yang punya ilmu sihir dan menyebabkan kesalahan ini harus ditemukan.
55
Ibid, Hal 349
55
lain. Magi dan agama tidak digantikan oleh sains; mereka sekedar berjalan
berdampingan dan bersama.56
Agama orang Nuer terpusat kepada konsep kwoth atau roh. Pemikiran
mereka yang pertama dan yang paing utama adalah Tuhan, suatu wujud yang
56
Ibid, hal 351
57
Ibid, hal 352
56
mereka kenal dengan Kwoth Nhial , “Roh dari (di dalam) langit”. Dia adalah
pencipta semua makhluk, tak nampak namun hadir dimana-mana, penopang dan
pengambil kehidupan, penegak cuong atau apa yang secara moral jujur, baik dan
benar. Kwoth Nhial terutama Tuhan yang tanpa pamrih mencintai makhluk
manusia yang ia ciptakan. Orang Nuer sangat sadar akan pengawasan Tuhan
dalam kehidupan mereka.58
58
Ibid hal 356
57
adalah bukan suatu roh udara yang partikular tetapi roh itu adalah bayangan dari
Tuhan. 59
“Roh-roh bawah” yang berhubungan erat dengan bumi, roh-roh ini
dianggap jauh lebih rendah dibandingkan roh-roh yang udara. Orang Nuer
mengenal roh-roh totem yang mereka hubungkan dengan spesies binatang seperti
buaya, singa, kadal, ular, burung dan tanaman, labu, sungai dan arus.Orang Nuer
membedakan binatang totem dengan roh totem walaupun ada kaitannya. Mereka
menaggap binatang totem sebagai simbol fisik dari roh totem, yang merupakan
manifestasi dari kwoth. Binatang totem tidak penting dibandingkan dengan roh
totem. Roh totem tidak penting dibandingkan roh-roh udara, Namun roh-roh udara
tetap berhubungan dengan simbol fisik orang Nuer, yaitu binatang totem.60
Orang Nuer membedakan terang dengan gelap sebagai simbolisasi dari terang
yakni roh-roh udara, dan gelap adalah roh-roh bawah.
59
Ibid hal 358
60
Ibid hal 360
61
Ibid hal 362
58
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
CLIFFORD GEERTZ: AGAMA SEBAGAI SISTEM SIMBOL
59
belakang kebudayaan yang betul-betul berbeda. Banyak tulisan yang dihasilkan
oleh Geertsz seperti, The Interpretation of Cultures (1973), Local Knowledge
(1983), dan sebagainya.
Para tokoh perintis Amerika telah menegaskan bahwa setiap teori harus
berasal dari etnografi “partikular” yang teliti, suatu jenis studi yang berpusat pada
satu komunitas dan mungkin memakan waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluh
tahun untuk menyelesaikannya. Disamping kerja lapangan, Boas, Kroeber dan
Lowie memberi tekanan pada “budaya” sebagai unit kunci studi antropologi.
Mereka menegaskan bahwa di dalam studi lapangan, mereka tidak hanya meneliti
sebuah masyarakat-seperti yang diduga oleh beberapa sarjana Eropa-tetapi suatu
sistem ide, adat-istiadat, sikap, simbol dan institusi yang lebih luas dimana
masyarakat hanyalah suatu bagian. Geertz sangat dipengarui oleh pola pikir tokoh
Amerika tersebut dalam memahami kebudayaan, dan juga tokoh sosiologi Talcott
Parsons dan Max Weber.
60
antropolog Inggris, Gilbert Ryle sebagai “Deskripsi mendalam” (Thick
Description). Menurut Geertz, bahwa etnografi dan begitu pula dengan semua
antropologi, selama merupakan masalah deskripsi mendalam. Tugas antropolog
adalah untuk melihat arti, untuk menemukan maksud di balik apa yang dilakukan
orang, signifaknsi ritual, strutur, dan kepercayaannya bagi semua kehidupan dan
pemikiran.62
62
Pals, Daniels, hal 409
63
Pals, Daniel,hal 411
61
secara rinci keterjalinan yang kompleks antara tradisi keagamaan muslim, Hindu
dan animistik penduduk asli. Melalui simbol, ritual, ide dan adat kebiasaannya,
Geertz menemukan adanya pengaruh agama dalam setiap celah kehidupan
masyarakat Jawa.
Simbol dikatakan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat dan
tahan lama, dimaksudkan agama membuat orang merasakan sesuatu dan juga
ingin melakukan sesuatu. Motivasi memiliki tujuan, dan ia dibimbing oleh
serangkaian nilai yang abadi-apa yang memiliki arti bagi orang, apa yang mereka
anggap baik atau benar.66 Suasana hati muncul karena agama mengisi dirinya
dengan suasana yang sangat penting. Pada satu sisi berdiri konsepsi tentang dunia,
sedangkan pada sisi lain berdiri serangkaian suasana hati dan motivasi yang
64
Ibid hal 414
65
Ibid 414
66
Ibid 415
62
dibimbing oleh ide-ide moral, secara bersama-sama keduanya terletak pada inti
agama. Geertz meringkas kedua elemen tersebut pada “pandangan dunia” dan
“etos”.
Menurut Geertz, setiap studi tentang agama, selalu menuntut dua tahapan
operasi. Pertama harus menganalisis serangkaian makna yang terdapat dalam
simbol agama itu sendiri. Kedua, karena simbol sangat berhubungan dengan
struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya, hubungan-hubungan
itu harus ditemukan di sepanjang sirkuit sinyal yang terus-menerus diberi,
diterima, dan dikembalikan.67
67
Ibid 419
63
mengasosiasikannya dengan Tuhan, sementara ia sendiri menyebut para pengikut
sebagai “klien”nya Para Brahmana mengadakan upacara-upacara besar, secara
simbolik mengingatkan orang-orang akan tempat mereka yang tepat menurut
skala sosial. Kultus kematian dan ilmu sihir, atau agama magi masih tetap
bertahan.
Islam Observerd
68
Ibid hal 423
69
Ibi hal 424
64
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
TEORI MEMESIS RENE GIRARD
Rene Girard lahir di Avignon, Prancis, persis pada hari Natal 1923,
ayahnya adalah pegawai dinas arsip kota. Meski ibunya seorang katolik yang taat,
namun Girard sejak usia sepuluh tahun sudah acuh terhadap kehidupan agama. Ia
belajar sejarah dan menulis disertasi yang berjudul Private Life in Avignon in the
Second Half of the Fifteenth Century (1947). Girard menyelesaikan doktorat yang
kedua di Indiana University, kemudian menjadi guru besar sastra di John Hopkins
University, Baltimore, tahun 1961-1968. Tahun 1966, bersama dengan Roland
Barthes, Jacques Derrida, dan Jacques Lacan, Girard mengorganisir simposium
bertema “The Language of Criticism and Sciences of Man”. Pada tahun 1980
sampai masa purna bakri 1995, Girard menjadi guru besar bahasa, sastra, dan
kebudayaan Prancis di Stanford University, California. Sampai sekarang ia hidup
65
di Stanford, bersama Martha, istrinya. Mereka dikarunia tiga anak, dan beberapa
cucu.
Rene Girard kembali ke agama “bertobat” menjad katolik pada tahun
1959. Hal ini diawali dengan pertobatan intelektual, kemudian ia merasakan
pertobatan religius. Hal ini terjadi ketika ia menulis novel. Bagi Girard sastra
tidak bisa dilepaskan dari dari kehidupan masyarakat. Dari novel-novel besar
yang ia teliti terkandung kebenaran berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Kemudian ia melakukan penelitian di bidang antropologi, mitologi, dan ritual. Ia
menunjukkan kebenaran itu sungguh operasional dalam terjadinya agama dan
pembentukan masyarakat. Teori kambing hitam menerangkan hubungan antara
agama dengan kekerasan. Pada periode berikutnya , dengan amat intensif Girard
meneliti kristianitas dan agama kristen, berdasarkan penemuan-penemuannya di
bidang sastra dan antropologi.
Subjek Objek
Girard menyajikan teori hasrat segitiga pada bukunya Deceit, Desire and
The Novel (1965), melalui karya sastra dari Miguel de Cervantes (1547-1616),
yang menceritakan tentang Don Quixote, tokoh kesatria yang sangat fantastis
malahan bisa disebut idiot daripada kesatria. Don Quixote ingin menjadi
pahlawan, dan pantang menyerah dalam mencapai cita-citanya.
66
Menurut Girard, Don Quixote ingin jadi pahlawan bukan karena
kepahlawan (objek) yang demikian menariknya, bukan pula karena Don Quixote
sendiri (subjek) memang menghasratkannya. Don Quixote ingin jadi pahlawan
karena Amadis, sang pahlawan, yang menjadi tokoh idolanya, tokoh panutannya.
Menurut Girard, Don Quixote telah menyerahkan haknya pada Amadis. Amadis
lah model yang memilihkan dan menentukan objek-objek dari hasrat De Quixote.
Girard menamakan model itu sebagai mediator hasrat. 70
70
Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard. Jakarta: Gramedia. 2002: hal.20-21
71
Ibid hal 21
72
Ibid hal 22
67
Mediator, yang tadinya sebagai model bagi subjek, suatu saat akan
menjadi rival bagi subjek. Hal ini terjadi jika jarak antara subjek dengan mediator
dekat. Jarak ini bukan jarak fisikal atau spasial melainkan jarak spritual, yakni
perbedaan derajat dan pangkat. Namun apabila jarak antara subjek dengan
mediator sangat jauh. Seperti Amadis adalah guru dan dewa bagi Don Quixote.
Don Quixote adalah tuan bagi Sancho sang hamba. Maka mediator sebagai
pesaing bagi subjek tidak muncul. Girard menyebut keadaan ini sebagai mediasi
ekstern. Sedangkan keadaan dimana subjek dengan mediator berada dalam
lingkungan yang sama disebut dengan mediasi intern.73
Teori Mimesis
Hasrat segitiga menjadi isi dari “mimesis” yang selalu muncul dalam
tulisan-tulisan Girard selanjutnya. Girard mengatakan bahwa hastrat segitiga
adalah mimesis.75 Dua pokok pikiran dalam teori mimiesis. Pertama, hasrat
manusia tidak pernah otonom secara sempurna. Hasrat itu mengikuti pola segitiga,
artinya secara tidak langsung mengenai objek yang ditujunya; ia menghasratkan
objek itu lewat suatu jalan putar, yaitu lewat mediator. Pada dirinya sendiri,
manusia tidak mampu menghasratkan sesuatu, ia selalu menghasratkan sesuatu
lewat mediator. Kedua, hasrat segitiga itu, mau tak mau menyimpan rivalitas.
Sebab mediator yang semula adalah model, lama-lama dianggap sebagai rival
yang menghalangi hasratnya. 76
73
Ibid hal 25
74
Ibid hal 26
75
Ibid hal 85
76
Ibid hal 86
68
Menurut Girard, mimesis adalah suatu status metafisik yang dinamis, yan
mendahului individu dan masyarakat, dan menjerat individu, dan masyarakat.
Orang boleh berpendapat bahwa mimesis adalah negatif, tapi tak bisa diingkari
sebagai suatu status ia adalah positif. Teori Girard mengenai mimesis adalah
semacam stuctural geometry, yang sangat rasional. Visi mimesis menjadi penting
dalam pembahasan Girard mengenai asal usul agama dan fungsi agama dalam
menghadapi kekerasan.
Ritus korban dibuat untuk kepentingan apa saja, seperti untuk meminta
hujan, kesuburan tanah, atau keberhasilan panen. Namun tujuan itu adalah
sekunder. Tujuan primer adalahpenghapusan kekerasan, pertikaian, rivalitas, dan
iri hati dalam masyarakat. Gejala alam yang negatif seperti kekeringan bisa
77
Ibid hal 99
78
Ibid hal 101
69
dikembalikan dengan korban.masyarakat hidup tentram, jauh dari pertikaian,
orang mudah membayangkan tanah akan subur dan panen berhasil. Radcliffe
Brown mengatakan bahwa upacara korban mempunyai tujuan yang satu dan sama
yakni mempersatukan masyarakat dan membangun tata tertibnya.79
Teori kambing hitam merupakan fase kedua dari teori Girard. Raymund Schwager
meringkas pemikiran Girard sbb:
1. Hasrat manusia pada pokoknya tak terarahkan pada sebuah objek yang
spesifik. Orang menghasratkan sesuatu, karena orang lain menghasratkan
sesuatu tersebut. Ia meniru dan hasratnya diarahkan oleh orang lain yang
ditirunya.
2. Hasrat yang lahir karena mimesis akan mengakibatkan konflik. Sebab
pihak-pihak yang menghasratkan mengarahkan pada hasrat yang sama.
Teladan yang tadi ditiru menjadi rival. Makin hasrat meningkat, makin
orang mengarahkan kepada rival. Rivalitas mau tidak mau mengarah pada
kekerasan.
3. Karena manusia mencederungi tindakan kekeraan, hidup damai di dalam
masyarakat tak dapat diandaikan akan terjadi dengan sendirinya. Akal
sehat maupun maksud baik, tak menjadi jaminan bagi kedamaian itu.
Rivalitas yang terkandung dalam diri setiap orang dengan mudah
79
Ibid hal 106
70
membahayakan tata masyarakat. Untuk menghindari hal itu, orang
mengarahkan kkerasan kepada kambing hitam. Sekarang kesalahan ada
pada pihak kambing hitam, bukan pada mereka. Itulah mekanisme
kambing hitam.
4. Karena mimesis, hasrat mereka berbenturan satu sama lain, menjadi
rivalitas, yang menuntun ke konflik dan melahirkan kekerasan. Karena
Kambing hitam, rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan,
dan amsyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Lewat pengosongan
kolektif terhadap hasrat mimesis yang saling menghancurkan itu, kambing
hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini
disakralkan dan dianggap sebagai pembawa kedamaian. Ia tanpak
sekaligus sebagai yang terkutuk dan pembawa keselamatan. Karena dialah
lahir kekerasan sakral, yang dipraktekkan dalam ritual.
5. Dalam praktik korban, dialihkan kini kekerasan kolektif yang asali
menjadi kekerasan pada kambing hitam. Hal itu diatur dan dikontrol
dengan ketentuan dan aturan ritus yang ketat dan keras. Dengan demikian,
agresi internal dikosongkan keluar, dan masyarakat dipulihkan dari
kehancuran diri.80
80
Ibid hal 205
71
BAHAN AJAR (HAND OUT)
MATERI
RELIGI ORANG BUKIT
Buku Religi Orang Bukit: Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam
Kehidupan Sosial Ekonomi (2001) ditulis oleh Noerid Haloei Radam. Buku ini
merupakan hasil kerja lapangan di Kalimantan selama 20 bulan, April 1979
hingga November 1980, dan menjadi disertasinya. Masyarakat Bukit yang
dimaksudkan yaitu masyarakat yang mendiami wilayah hulu Sungai Batang Alai,
Sungai Labuhan Amas, dan Sungai Amandit, Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
72
menunjukkan bahwa orang Bukit berasal dari Pesisir.81Radam menyakini bahwa
orang Bukit berasal dari rumpun yang sama dengan Orang Banjar Hulu,
didasarkan atas kesadaran asal-usul nenek moyang, upacara adat dan religi .
Orang Bukit mulanya mendiami tepi-tepi sungai utama dan tepi laut, yang
terdesak ke daerah pedalaman, pegunungan karena adanya kelompok pendatang.82
81
Radam, Noerid Haloei. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta. 2001. Hal 97
82
Ibid Hal 106
73
Keyakinan orang Bukit, ilah-ilah memiliki wilayah kekuasaannya
sendiri-sendiri. Misalnya Pujut, ilah yang menguasai gunung-gunung, hutan,
lembah dan tumbuhan yang berada di sekitar kampung halaman atau balai. Siasia
Banua, diyakini ilah yang memelihara pemukiman yang pernah di huni oleh
generasi terdahulu. Padi dianggap tumbuhan yang berasal dari langit, dan
kemudian dilahirkan di bumi oleh Datu Perempuan Bungsu, padi di bumi
dipelihara oleh Putir. Ilah yang memilihara matahari disebut dengan Bapang, dan
masih banyak lagi.
Suwara atau Guguhan diyakini sebagai Tuhan Pencipta cikal bakal alam
semesta dan manusia pertama. Adapun kejadian alam semesta selanjutnya adalah
karena perluasan gerak dan dorongan biologis Datu Adam dan Datu Tihawa.
Jabaril sendiri hanya ilah pendamping Suwara yang dalam kehidupan sehari-hari
manusia berada di sebelah depan. Bersama dengan tiga ilah lainnya (Surapil yang
berada di sebalah kanan, Iskail yang berada di sebalah kiri, Mikail yang berada
dibagian belakang) berempat menjadi sahabat manusia, menjaga dan memelihara
manusia dari segala gangguan.
74
membebaskan padi tersebut dari berbagai macam pantangan sehingga boleh
ditumbuk dan ditanak menjadi bahan makanan.
Tempat Ilah-Ilah
Langit Suwara (Panglangit)
Langit bertingkat delapan Nining Baharat Sangkawanang
Pangguruan
Antara langit dan Bumi Putir Bapang Ranggan
Putir Dara Jiuk (datu Langit)
Dewata Mataru Jiuk
Liliyah
Madiyang
Menurut Radam, religi orang Bukit adalah Religi Huma, karena setiap
kegiatan religius orang Bukit sangat berkaitan dengan aktivitas berladang,
disamping aktivitas hidup selingkaran hidup manusia. Dari sudut upacara, religi
orang Bukit termanifestasikan ke dalam sembilan upacara, Pertama, upacara
mencari lahan baru; kedua upacara memuja penempaan besi (Mamuja Tampa);
ketiga, upacara menebang bambu (batilah); keempat, upacara merobohkan balai
Diyang Sanyawa (Katuan), kelima, upacara memulai penanaman padi (bamula);
keenam, upacara merawat padi di ladang (basambu umang); Ketujuh, upacara
75
mengikat “padi ringan” dan memantapkan “padi berat” (manyindat padi dan
manatapakan tihang babuah); kedelapan, upacara memasukkan padi ke dalam
lumbung (mamisit padi); kesembilan, upacara mawangi padi, alam sekitar
termasuk ladang manusia (bawanang).
Fungsi religi dapat dilihat pada kehidupan sosial, religi berperan dalam
mengentalkan ikatan-ikatan kekerabatan, kesalingtergantungan antaran umbun dan
bubuhan diperkuat. Kerjasama antar kelompok ditingkatkan dan kesadaran asal
usul dikuatkan kembali dalam upacara. Dalam kehidupan ekonomi, religi telah
mengangkat kegiatan berladang ke tingkat kedudukan yang tinggi dan utama
dalam mata pencaharian hidup. Penanaman padi sangat terkait dengan ilah dan
roh penguasa dan pemeliharanya. Padi dikonsepsikan sebagai tanaman yang
sakral, penuh pantangan dan tinggi derajatnya, yang pada awalnya adalah milik
orang langit.
Pandangan bahwa alam sekitar dikuasai oleh ilah-ilah dan dipelihara oleh
ilah-ilah tertentu. Maka manusia juga memiliki hasrat untuk kagum dan tunduk
kkepada ilah-ilah. Hal tersebut dapat disalurkan dalam kegiatan religi orang bukit
di sepanjang kegiatan berladang. Dengan demikian berladang berfungsi
menyalurkan kebutuhan rohani orang Bukit.
76
tertentu. Analisis sistem religi orang Bukit diteruskan kepada analisis fungsi dari
agama bagi orang Bukit. Sebahagian tindakan religius berada dalam kegiatan
berladang. Orang-orang berperilaku baik atau tidak baik dikaitkan dengan
berladang. Orang Bukit mempercayai bahwa padi adalah sakral sifatnya. Sehingga
harus diperlakukan sesuai dengan derjat mulai dari sejak ditanam sampai panen
dan hasilnya disimpan di lumbung.
77
DAFTAR PUSTAKA
Durkhiem, Emile. 2011. The Elementary Forms of the Religious Life. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & Transformasi Sosal. Yogyakarta:
Pustaka pelajar.
Fedyani, Achmad Saifuddin. 2005. Antropologi Kotemporer: Suatu Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
......................... 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Book, Inc.,
Publisher.
......................... 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
78
Moore, Henrietta.L. 1998. Feminisme & Antropologi. Jakarta: Obor .
Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
79