Anda di halaman 1dari 79

BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke :1

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan agama atau religi dalam perspektif


antropologi

MATERI
AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Pengertian Agama

Agama secara mendasar merupakan seperangkat aturan yang mengatur


kehidupan manusia di dunia. Aturan untuk mengatur kehidupan di dunia itu
diyakini sebagai aturan yang suci atau sakral dan menjadi keyakinan yang sulit
untuk dibantah. Dengan adanya aturan sekaligus berisikan sanksi apabila
penganutnya melakukan pelanggaran. Agama selalu berhubungan dengan alam
gaib atau supernatural dan memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu
setelah kematian. Aturan mengenai kehidupan di dunia ini merupakan aturan suci
yang diyakini penganutnya berasal dari wahyu atau titah Tuhan yang diturunkan
melalui malaikat dan nabinya atau juga bisa berasal dari orang-orang yang juga
diyakini orang banyak memiliki kelebihan secara spiritual atau kesucian yang
kemudian menyebarkan ke individu-individu berpengaruh dan kemudian
menyebar ke tengah-tengah masyarakat. Dalam pernyataan lain dapat dikatakan
agama juga bisa berasal dari sesuatu yang dianggap gaib yang diterima seseorang

1
dan kemudian disebarkan ke orang lain sehingga menjadi keyakinan dan
dipraktekkan oleh banyak orang. Mengenai asal usul agama ini yang kemudian
oleh banyak ahli bisa menjadi pembeda antara satu agama dengan agama lainnya,
yang akan diulas pada bagian selanjutnya dari hand out ini.
Banyak ahli telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan agama.
Durkheim menyatakan agama (religion) ...is a unfied system of beliefs and
practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden –
beliefs ang practices which unite into one single moral community called a
church, all those to adhare to them (agama adalah kesatuan kepercayaan dan
praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan
dan terlarang – kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang
yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral
yang disebut gereja).1 Defenisi ini boleh dikatakan dilihat hanya dari sisi satu
kelompok penganut agama tertentu saja. Namun defenisi ini telah memberikan
beberapa poin penting dari sebuah agama berupa praktek atau aktivitas sakral atau
dianggap suci yang tentu saja dengan keyakinan tertentu serta dilakukan di dalam
kelompok.
Geertz menyatakan agama adalah..(1) a system of symbols which acts to
(2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men
by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing
this conceptions wiuth such an aura of factuality that (5) the moods and
motivations seen uniquely realistic2 [(1) sebuah sistem simbol-simbol yang (2)
menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan
yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep
mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini
dengan semacam pencaharian faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-
motivasi itu tampak khas realistis]. Defenisi ini menjelaskan agama dari perlakuan
manusia melalui seperangkat simbol yang merupakan ekspresi dari motivasi dan
suasana hati.

1
Durkhiem, The Elementary Forms of the Religious Life. 2011.Hal.80.
2
Geertz, The Interpretation of Culture. 1973. Hal.90.

2
Dari beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa agama
merupakan seperangkat aturan yang dijalankan untuk mengatur kehidupan
manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, yang menjadi petunjuk
mengenai kehidupan manusia dan penjelasan akan sesuatu yang dianggap sakral.
Oleh karena adanya petunjuk yang sakral maka juga terdapat pantangan dan
larangan yang diberikan kepada manusia. Di dalam banyak masyarakat agama
memberikan argumentasi religius mengenai asal usul manusia, bagaimana dan
untuk apa hidup di dunia, masa depan yang akan dihadapi dan kemana manusia
setelah kematiannya. Penjelasan-penjelasan inilah yang berupa aturan atau
petunjuk dan sekaligus sebagai larangan yang tidak bisa dibantah.

Untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai agama,


penjelasan dari ciri-cirinya seperti yang pernah diberikan oleh Durkheim yang
kemudian juga dipakai oleh Koentjaraningrat dikutip di sini sebagai berikut.
Dalam penjelasan ini agama terdiri dari empat komponen, sebagai berikut.

1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religieus;


2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib
(supernatural); serta segala nilai, norma serta ajaran dari religi yang
bersangkutan.
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk
mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk
halus yang mendiami alam gaib;
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut
dalam sub 2, dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut
di dalam sub 3.3

Penjelasan ciri-ciri agama tersebut di dalam tulisan ini masih perlu


ditambahkan satu lagi ciri dari agama yaitu; setiap agama pada umumnya
mengajarkan kebenaran yang suci, karena dengan kebenaran yang suci ini

3
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Hal. 145.

3
melahirkan keyakinan yang kuat dari kesatuan sosial/ ummat/ masyarakat/
jamaah/ jemaat/ pengikut dari suatu agama tersebut. Dengan keyakinan inilah
suatu agama bisa bertahan karena diyakini kebenaran yang diajarkan di dalam
agama tersebut kepada pengikutnya. Keyakinan kepada kebenaran yang diajarkan
inilah yang kemudian menjadi dogma yang kuat dan bertahan lama atau pervasif
seperti dinyatakan oleh Geertz.

Agama, Perspektif Antropologis

Seringkali diperdebatkan, apakah agama sebagai bagian atau suatu


pranata dari kebudayaan tertentu atau justru kebudayaanlah yang ditentukan oleh
agama. Dari sudut pandang sebagai seorang yang beragama dan dengan keyakinan
agamanya maka pastilah agama yang menentukan, karena manusia hidup di dunia
dianjurkan untuk berusaha dan Tuhanlah yang menentukan. Pendapat ini tidaklah
salah sebagai seorang yang beragama. Antropologi agama atau antropologi religi
sebagai sebuah spesialisasi yang berkembang di dalam antropologi yang
mempelajari mengenai bagaimana agama diyakini, dijalankan atau dipraktekkan
di dalam masyarakat. Umumnya antropolog menyatakan bahwa agama (religion)
merupakan sebuah pranata seperti banyak pranata lainnya di dalam sebuah
kebudayaan atau suatu masyarakat. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan, berikut ini
penjelasannya.

Agama sebagai pranata tidaklah sama dengan agama sebagai sebuah


keyakinan yang menjadi milik anggota masyarakat. Pranata merupakan suatu
aturan yang digunakan untuk mengatur manusia dalam rangka pemenuhan
kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan manusia dibagi menjadi tiga oleh
Malinowski, yaitu kebutuhan biologis, psikologis dan adap-integratif. Agama atau
religi sebagai pranata adalah dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan
psikologis, terhadap ketenangan jiwa dan untuk menjelaskan segala sesuatu
dengan keyakinan, yang tidak dapat dijelaskan secara rasional atau oleh akal

4
manusia.4 Agama yang dipelajari di dalam antropologi adalah fenomena religius
yang ada di tengah-tengah masyarakat. Fenomena religius yang mana? Jawaban
pertanyaan ini mengacu kepada semua fenomena atau aktivitas religius yang
terdapat di dalam masyarakat, apakah yang berasal di dari fenomena agama
tradisional yang dilakukan untuk kepentingan tertentu seperti santet, voodoo,
penyembahan kepada arwah leluhur, agama tradisional seperti arat sabulungan di
Mentawai ataupun fenomena religius yang dilakukan oleh ummat Islam, Katolik
maupun Hindu yang khas di daerah tertentu.

Agama sebagai pranata adalah agama yang diyakini, diajarkan,


dijalankan atau dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Ini berbeda dengan
agama di dalam teks sucinya atau alkitab seperti Al Qur’an, Injil, Taurat, Zabur
atau kitab Weda, Tripitaka yang sudah dituliskan di dalam agama-agama tradisi
besar di dunia. Teks-teks suci ini diyakini oleh penganut agama tersebut sebagai
sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah, yang berasal dari Tuhan. Kitab-kitab
ini bukanlah produk kebudayaan, bukan pranata. Agama menjadi pranta adalah
agama yang diyakini, dijalankan atau dipraktekkan itu yang bisa berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya walaupun masing-masing sama
menganut agama yang sama. Artinya orang Betawi di Jawa bisa mempraktekkan
atau menjalankan agama Islam secara berbeda dengan orang Minangkabau yang
juga Islam. Bahkan, di daerah tertentu di Sumatera Barat saja, praktek agama
Islam bisa berbeda-beda. Keyakinan keagamaan mereka ternyata ada yang
berbeda, padahal sama-sama mempunyai kitab suci yang sama. Mengapa hal ini
terjadi?

Proses turunnya dan tersebarnya agama sehingga menjadi keyakinan


sampai ke tengah-tengah masyarakat adalah melalui proses-proses sosial budaya
yang panjang. Suparlan menyatakan bahwa “kita menjadi umat beragama
(manusia pada umumnya) adalah melalui proses transmisi kebudayaan, yaitu
dengan melalui (1) pengalaman dan (2) belajar secara instruksional dalam

4
Dalam hal ini, teori keterbatasan akal manusia dari Frazer menjadi relevan untuk menjelaskan
agama sebagai pranata.

5
kehidupan sosial kita.“ 5Agama-agama tradisi besar yang diyakini berasal dari
wahyu diturunkan Tuhan melalui malaikatnya, lalu disampaikan kepada Nabi atau
Rasullullah. Dari Nabi kepada anggota keluarganya, kepada sahabat-sahabatnya,
dan dari para sahabat ini diteruskan kepada kepada anggota keluarganya
kerabatnya dan seterusnya. Proses ini berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun
melalui banyak masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Walaupun kitab
suci itu diyakini tidak berubah – walaupun di dalam agama tertentu ada beberapa
versi kitab sucinya – tetapi di dalam masyarakat penganut agama tersebut bisa
saja terjadi perbedaan-perbedaan di dalam agama yang bersangkutan. Mengapa ini
terjadi? Jawabannya adalah karena telah terjadi proses penafsiran atau interpretasi
yang berbeda dari teks suci yang sama, baik oleh para tokoh agama atau oleh
anggota masyarakatnya. Inilah yang disebut dengan agama melalui proses sosial
budaya atau transmisi kebudayaan. Proses ini kemudian melahirkan banyak sekte
atau disebut aliran agama di dalam masyarakat. Sekte-sekta keaagamaan ini lahir
di dalam setiap agama tradisi besar, karena proses sosial budaya yang panjang
berlangsung dan pemberian penafsiran dari teks suci yang sama secara berbeda,
yang melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan yang berbeda pula.

Sebagai contoh kasus, pelaksanaan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha
yang diketahui secara umum dilakukan dua rakaat dengan tujuh takbir setelah
takbirartul ikhram di rakaat pertama dan lima takbir setelah takbir bangkit dari
sujud, tetapi di sebuah kelurahan di Depok di antara orang Betawi yang pernah
penulis ikuti malah terjadi sembilan takbir di rakaat pertama dan tujuh takbir di
rakaat kedua. Contoh lainnya juga di dalam masyarakat Betawi di Depok, di
dalam menghadapi kematian seorang perempuan muda yang belum menikah
disediakan dua karung besar beras di masjid untuk diserahkan kepada yang berhak
menerima. Dua karung beras tersebut adalah sebagai pengganti sholat dan puasa
almarhum sewaktu hidup yang tidak bisa dilakukannya baik karena terhalang oleh
menstruasi atau oleh sebab lainnya, sehingga diganti pada waktu jenazah belum

5
Suparlan. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi,” makalah yang disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian
Agama Departemen Agama RI, di IAIN Ciputat, 14 September 1981.

6
dikuburkan. Ini diucapkan oleh seorang tokoh masyarakat di hadapan orang
banyak pada saat dua karung beras tersebut akan diserahkan. Padahal di dalam
ajaran Islam dinyatakan bahwa terputuslah hubungan seorang yang meninggal
dengan orang yang masih hidup kecuali tiga amalan yang dilakukan seperti ilmu
yang bermanfaat yang telah diajarkan, sedekah jariah dan doa dari anak yang
saleh dari almarhum, tentu saja bagi mereka yang sudah punya anak. Dua contoh
di atas menunjukkan telah terjadi perbedaan interpretasi dari agama yang sama
sehingga dijalankan secara berbeda. Bentuk keyakinan dan praktek keagamaan
bisa saja berbeda dari kesamaan kitab suci yang dimiliki inilah yang dimaksudkan
dengan agama sebagai pranata. Di samping itu aktivitas keagamaan yang sudah
terpola atau sudah lama dan tetap dijalankan di dalam masyarakat seperti ritual
perdukunan juga merupakan bagian dari aktivitas atau pranata keagamaan
tradisional. Agama sebagai pranata inilah yang menjadi lapangan studi
antropologi agama/ religi, yang disebut Geertz dengan agama sebagai sistem
budaya.

Gambar 01. Proses Ringkas Turun agama sampai ke Masyarakat

7
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke :2

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan dan perbedaan agama


dengan kebudayaan.

MATERI
KEBUDAYAAN, MASYARAKAT DAN AGAMA

Kebudayaan

Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia dengan


kebudayaannya. Studi kebudayaan ini menjadi perkembangan yang pesat dari
antropologi di dunia. Antropologi agama atau religi tidak bisa lepas dari
kebudayaan, karena sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama bahwa
secara antropologi agama merupakan sebuah pranata di dalam masyarakat. Apa
yang dimaksudkan dengan kebudayaan itu haruslah jelas, karena sangat banyak
defenisi yang bisa saja saling bertolak belakang.
Dari banyak ahli antropologi mendefenisikan kebudayaan dari berbagai
sudut pandang yang berbeda. Perbedaan sudut pandang ini bahkan melahirkan
perbedaan aliran di antropologi budaya. Secara sederhana perbedaan defenisi
kebudayaan yang sangat banyak itu dapat dikelompokkan menjadi tujuh.
Pertama, kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, ide-ide, resep-resep, tata
kelakuan yang bersifat abstrak, atau pola bagi yang terdapat di dalam sistem

8
pengetahuan individu-individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan inilah yang menjadi landasan dari munculnya tindakan atau
kelakuan yang menghasilkan pola-pola yang dapat diamati dan dasar dari
kemampuan manusia untuk menghasilkan sesuatu. Contoh defenisi kebudayaan
pada level ini seperti dari Spradley yang menyatakan kebudayaan merupakan
serangkaian aturan, petunjuk, resep, rencana dan strategi, yang terdiri dari
serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang
memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. 6 Keesing dan Keesing
menyatakan kebudayaan adalah pola-pola bagi kelakuan manusia.7 Kuper
mendefenisikan kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman
dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu
maupun kelompok. Havilland menyatakan kebudayaan sebagai seperangkat
peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang
jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang
layak dan dapat diterima oleh semua anggota masyarakat. Parsudi Suparlan
seorang antropolog Indonesia menyatakan kebudayaan sebagai keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk
memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya serta
menjadi landasan bagi tingkah lakunya.
Kedua, kebudayaan sebagai aktivitas, kelakuan, tindakan atau adat
istiadat yang nampak dari setiap sukubangsa. Defenisi kebudayaan pada level ini
hanya memahami kebudayaan pada tahap perilaku atau tingkah laku yang dapat
diobservasi dan direkam. Contoh kebudayaan pada bagian ini adalah dari
Kluckhohn yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola
tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan
melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari
kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda
materi.

6
Suparlan 1983, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya,”
dalam Mohamad Soerjani dan Bahrin Samad (ed.) Manusia dalam Keserasian Lingkungan. Hal.
66-76.
7
Ibid.

9
Ketiga, defenisi kebudayaan pada level benda atau hasil karya manusia.
Dalam hal ini kebudayaan dipahami hanya sebagai benda-benda. Defenisi pada
bagian ini sebagai contoh adalah dari Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
yang menyatakan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. defenisi ini sangat umum di Indonesia, karena diajarkan berulang-
ulang di SLTP atau SLTA karena tercatat di buku paket sosiologi atau
antropologi.
Defenisi yang kedua dan ketiga ini merupakan defenisi kebudayaan yang
tangible, yaitu defenisi kebudayaan yang dapat dilihat atau dirasakan. Sedangkan
defenisi yang pertama merupakan defenisi kebudayaan yang tidak dapat dilihat,
karena berada di dalam sistem pengetahuan. Koentjaraningrat sebagai antropolog
Indonesia pernah memberi defenisi yang justru mencakup kepada ketiga
kelompok defenisi, yang material dan non material tersebut. Oleh karena itu
defenisi Koentjaraningrat dapat dikategorikan sebagai kelompok atau kategori
keempat dari banyaknya defenisi kebudayaan tersebut. Di samping itu defenisi
kelompok kelima adalah defenisi kebudayaan yang pengertiannya termasuk dapat
dikelompokkan baik pada tataran ide maupun pada tataran tindakan. Sebagai
contoh defenisi dari Robert H. Lowie yang menyatakan Sebagai contoh defenisi
dari seorang antropolog Amerika Robert H. Lowie yang menyatakan kebudayaan
sebagai segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup
kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang
diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa
lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. Selanjutnya,
keenam adalah defenisi yang menggabungkan pada tataran tindakan dan benda
seperti oleh Ralp Linton yang menyatakan kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku dan hasil tingkah laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung
oleh anggota masyarakat tertentu. Ketujuh, adalah defenisi yang menggabungkan
tataran ide dan benda.
Banyaknya defenisi kebudayaan ini tidaklah menjadi persoalan,
tergantung kepada para ahli memahaminya. Dalam antropologi agama
kebudayaan dipahami berada pada tataran ide atau tata kelakuan, bukan pada

10
kelakuan atau pada benda, karena kelakuan dan benda yang dihasilkan manusia
pada dasarnya merupakan hasil pemikiran manusia itu. Tidak ada tindakan atau
kelakuan dan benda sebelum dipikirkan oleh manusia yang melakukan atau yang
membuatnya. Aktivitas keagamaan sebagai salah satu ciri agama merupakan
perwujudan atau perilaku keagamaan yang dihasilkan dari pemikiran masyarakat
atau kelompok keagamaan tersebut.

Setiap kebudayaan berisi aturan dan sanksi, status dan peran, hak dan
kewajiban serta world view atau pandangan hidup. Isi kebudayaan berupa aturan
dan sanksi inilah yang menentukan dan menetapkan segala sesuatu bagi
pendukung kebudayaan tersebut. Aturan dan sanksi menentukan bagaimana
seseorang berperilaku atau bertindak di tengah-tengah masyarakatnya. Jika dia
dinilai oleh masyarakatnya berbuat salah maka diberikan sanksi kepada sesuai
dengan aturan yang sudah disepakati di dalam masyarakat tersebut. Keteraturan di
dalam masyarakat justru terjadi karena adanya aturan, yang secara tradisional
sudah ada di dalam setiap kebudayaan sukubangsa. Dengan status seseorang
menjalankan perannya di tengah-tengah masyarakat, juga sekaligus menjalankan
aturan yang sudah ditetapkan sesuai dengan statusnya tersebut. Isi kebudayaan
sebagai pandangan hidup atau world view adalah “berupa nilai-nilai dan ide-ide
tentang prinsip-prinsip hidup dan kehidupan itu sendiri. Kebudayaan itu pada
hakekatnya ada pada dan dipunyai oleh individu-individu atau oleh para anggota
masyarakat; dan bukannya oleh masyarakat tanpa memperhatikan individunya,
yang sebenarnya menjadi pemilik dan yang menggunakan kebudayaan tersebut
dalam kehidupannya.”8
Melalui isi kebudayaan yang dipahami oleh masing-masing anggota
masyarakat ini kemudian menjadi pedoman di dalam kehidupan di tengah-tengah
masyarakat. Inilah yang dikatakan kebudayaan sebagai petunjuk, atau resep-resep.
Pengetahuan kebudayaan yang dimiliki menjadi pedoman dan pegangan bagi
pemahaman dari model-model pengetahuan yang dikembangkan di dalam

8
Suparlan, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi” makalah yang disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian
Agama Departemen Agama RI, di IAIN Ciputat, 14 September 1981.

11
menghadapi lingkungan, termasuk bagaimana individu di dalam masyarakat
menerima pengetahuan keagamaan yang kemudian diyakininya.

Masyarakat
Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, artinya setiap individu selalu
menjadi bagian dari kelompok sosial yang melingkupinya dan dia menjadi bagian
dari kelompok sosial itu. Tidak ada seorangpun yang mampu hidup bertahan lama
tanpa bantuan orang lain, walupun pada kasus-kasus tertentu seseorang bisa saja
hidup dalam jangka waktu tertentu dengan bantuan binatang. Dengan menjadi
bagian dari masyarakat individu dapat menunjukkan eksistensinya, memainkan
peran sesuai dengan statusnya. Sebagai makhluk sosial manusia membentuk
kelompok yang terbesar di antaranya adalah masyarakat.
Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu satuan kehidupan sosial
manusia yang menempati suatu wilayah tertentu; yang keteraturan dalam
kehidupan sosial tersebut telah dimungkinkan karena adanya seperangkat pranata-
pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan kebudayaan yang mereka miliki
bersama.9 Sedangkan pranata dapat diartikan sebagai seperangkat aturan yang
mengatur manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup tertentu. Di dalam
masyarakat terdapat banyak pranata sesuai dengan perkembangan masyarakat
tersebut, karena semakin maju sebuah masyarakat maka semakin meningkat
jumlah kebutuhannya. Maka pranata-pranata baru akan muncul dengan sendirinya
untuk mengatur dan menciptakan keteraturan di tengah-tengah masyarakat
tersebut. Apabila pranata ada maka sekaligus tumbuh lembaga baru sebagai
wadah dari pranata tersebut.
Telah umum diketahui bahwa tujuh unsur kebudayaan universal ada
setiap masyarakat, tetapi dari tujuh unsur kebudayaan tersebut berkembang dan
melahirkan banyak pranata baru karena kebutuhan masyarakat yang semakin
meningkat. Sebagai contoh, keluarga merupakan pranata sekaligus lembaga untuk
memperoleh kasih sayang, prokreasi, dan mendidik anak. Suami yang bekerja di
luar rumah tangga menyebabkan anak-anak diasuh oleh ibu atau isteri di rumah.

9
Ibid.

12
Sekarang suami isteri bekerja di areal publik, sehingga muncullah pranata baru
berupa pranata pengasuhan dan mendidik anak terutama balita, yang tidak dapat
dilakukan seorang ibu sewaktu sedang bekerja. Maka muncullah apa tempat
penitipan anak dan balita selama ibu bekerja, sebagai sebuah lembaga baru.
Bahkan di Jakarta bahkan telah lahir pekerjaan baru sehubungan dengan penitipan
anak ini, yaitu petugas yang menjemput dan mengantarkan air susu ibu untuk bayi
yang dititipkan di lembaga penitipan anak. Sehubungan dengan itu beberapa
kantor perusahaan swasta telah menyediakan satu ruangan khusus di kantornya
khusus untuk karyawan ibu-ibu yang sudah melahirkan untuk dapat mengambil
air susu ibu, dan ruangan itupun telah disediakan lemari pendingin untuk
menyimpan susu ibu. Petugas yang akan mengantarkan air susu ibu inipun
memiliki wadah penyimpanan yang menjamin air susu ibu tetap segar dan dapat
dihangatkan sampai di tempat penitipan anak.

Agama

Agama dapat diartikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur


hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.
Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem-sistem nilai, karena pada
dasarnya aturan-aturan tersebut bersumber pada etos dan pandangan hidup.
Karena itu juga, aturan-aturan dan peraturan-peraturan yang ada dalam agama
lebih menekankan kepada hal-hal yang normatif atau yang seharusnya dan
sebaiknya dilakukan, bukannya berisikan petunjuk-petunjuk yang sifatnya praktis
dan tehnis dalam hal manusia menghadapi lingkungannya dan sesamanya.10

Sebagai seperangkat aturan maka agama merupakan salah satu pranata di


dalam masyarakat. Agama merupakan pranata atau unsur kebudayaan yang
penting dan paling sulit mengalami perubahan, bahkan bisa dikatakan tidak
mengalami perubahan, karena agama berisikan aturan yang diyakini oleh
penganutnya. Apabila terjadi perubahan di dalam keyakinan agama oleh

10
Ibid.

13
kelompok tertentu, sepanjang tidak berhubungan dengan keyakinan yang paling
prinsip maka kelompok yang melakukann pembaharuan tersebut dikatakan
sebagai munculnya aliran atau sekte baru di dalam agama tersebut. Aturan
keagamaan itu bahkan diakui dan diyakini berasal dari Tuhan atau dari kekuatan
gaib. Oleh karena itulah di dalam keyakinan keagamaan sulit terjadi perubahan,
karena sentimen keagamaan sudah menentukan rasa bertuhan atau beragama
secara batiniah atau beragama di dalam diri manusia.

Agama sebagai pranata inilah yang menjadi studi di dalam antropologi


sebagaimana telah dinyatakan di bagian awal dari rangkaian tulisan ini. Lantas
jika agama sebagai pranata yang berisi aturan dalam rangka mengatur hubungan
sesama manusia dan hubungan dengan Tuhannya atau alam gaib, jika
dibandingkan dengan aturan kebudayaan (pranata) lainnya maka agama
sesungguhnya memiliki aturan yang lebih memperkuat terhadap kebudayaan. Hal
ini disebabkan karena aturan di dalam agama diyakini berasal dari Tuhan atau
kekuatan gaib dan malah sanksinya terhadap manusia diyakini pula diperoleh
nanti setelah mati. Di dalam kebudayaan tertentu seperti Minangkabau, agama
Islam sudah memperkuat nilai-nilai kebudayaan Minangkabau, karena nilai dalam
ajaran agama Islam sudah menyatu dengan nilai budaya Minangkabau, seperti
dinyatakan dalam jargon adat adat basandi sarak, sarak (aturan) basandi
Kitabullah (Al Qur’an). Demikian juga dengan agama tradisional orang
Mentawai, Arat Sabulungan, nilai-nilai kebudayaan Mentawai sudah sekaligus
merupakan nilai keyakinan tradisionalnya atau keyakinan/ agama lokalnya. Di
dalam setiap agama lokal, aturan dan nilai budaya sudah menyatu dengan aturan
dan nilai agama.

14
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke :3

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan agama tradisi besar dengan


agama tradisi lokal

MATERI

AGAMA TRADISI BESAR DAN AGAMA TRADISI LOKAL

Fenomena religius yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dapat


dipelajari secara antropologi. Antropologi agama/ religi mempelajari pranata dan
fenomena religius terutama yang sudah terpola, baik yang berasal dari keyakinan
keagamaan tradisional atau tradisi lokal maupun yang berasal dari agama-agama
tradisi besar. Di antropologi agama/ religi, agama dibedakan ke dalam dua
kelompok, agama tradisi besar (great tradition) dan agama tradisi lokal/ tradisi
kecil (little tradition). Kedua konsep ini diambil dari konsep yang sama dari
antropolog Robert Redfield, yang membedakan masyarakat petani sebagai
masyarakat folk atau masyarakat terbelah/ half society dengan masyarakat industri
sebagai masyarakat dengan tradisi besar (great tradition) dan masyarakat tribal
sebagai bentuk masyarakat dengan tradisi kecil (little tradition).

Pembedaan (agama) ini dilakukan dengan memperhatikan perbedaan-


perbedaan di antara agama-agama yang ada di dunia. Dalam hal ini ciri-ciri

15
sebuah agama mengacu kepada empat ciri-ciri yang sudah diberikan oleh
Durkheim dan ditambahkan satu ciri lainnya seperti yang dinyatakan di dalam
bagian awal dari hand out ini sehingga menjadi lima ciri agama atau religi.
Agama yang di dalam bahasa Inggrisnya disebut religion pada dasarnya sama atau
tidak dibedakan, selama memiliki ciri-ciri yang sama. Koentjaraningrat
membedakan antara agama dengan religi, tetapi pada bagian lain dinyatakannya
agama Islam adalah religi bagi orang Islam. Ini artinya agama sama saja dengan
religi. Koentjaraningrat menyatakan agama adalah religi yang diakui oleh negara,
sedangkan religi adalah agama yang tidak diakui oleh negara.11 Diduga pernyataan
akademis Koentjaraningrat masih terikat kepada kepentingan politik, atau tidak
mau dicap berseberangan dengan pemerintah orde baru yang sangat dominan pada
waktu itu. Apalagi pemerintah orde baru tidak mengakui dan memaksa banyak
sukubangsa di Indonesia untuk memeluk agama yang sudah diakui secara resmi di
Indonesia, sehingga agama-agama lokal yang terdapat di dalam suku bangsa
tertentu seperti arat sabulungan pada orang Mentawai dipaksa untuk dihilangkan
dan harus memilih satu agama yang sudah diakui negara. Di samping itu penulis
tidak menggunakan konsep kepercayaan, sebagaimana ditulis di dalam judul
tulisan Koentjaraningrat. Di dalam beragama yang ada adalah keyakinan (believe)
bukan kepercayaan (trust). Seseorang yakin kepada sesuatu yang gaib sehingga
dia patuh dan menjalankan ajaran yang diyakininya tersebut. Kalimat sebelum ini
lebih tepat jika dibandingkan dengan...seseorang percaya kepada sesuatu yang
gaib sehingga dia patuh dan menjalankan ajaran yang dipercayainya tersebut.
Percaya kepada seseorang bukan berarti kita meyakininya. Konsep yakin lebih
dalam maknanya secara religius jika dibandingkan dengan konsep percaya.

Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa agama dibedakan menjadi dua,


agama tradisi besar dan agama tradisi lokal. Konsep lain yang bisa diberikan
adalah agama universal dan agama lokal. Universal dimaksudkan di sini sebagai
lintas batas kebudayaan dan/ lintas batas bangsa, bahkan lintas batas benua.
Sedangkan lokal dalam pengertian pada masyarakat atau kebudayaan lokal atau
11
Lihat Koentjaraningrat, 1987. “Apakah Beda antara Agama, Religi dan Kepercayaan?” dalam
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:Gramedia. Hal.144-149.

16
setempat. Pembedaan agama ke dalam dua kelompok ini adalah berdasarkan ciri -
cirinya, sebagai berikut.

Sebuah agama dikatakan sebagai agama tradisi besar apabila memiliki


ciri-ciri:

1. Adanya keyakinan kepada Pencipta yang Maha Besar.


2. Bercorak universal
3. Penganut agama tersebut mempunyai keyakinan yang isinya adalah
penyerahan diri terhadap pencipta secara mutlak.
4. Semua agama tradisi besar berbicara mengenai kehidupan setelah mati,
dengan konsekuensi sorga atau neraka.
5. Cenderung atau selalu mengorganisasikan diri.
6. Melampaui batas-batas suku bangsa, negara dan geografis yang luas.

Dari ciri-ciri tersebut dapat diketahui bahwa beberapa agama di dunia


bisa dikatakan sebagai agama tradisi besar, seperti Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, Yahudi dan Konghuchu. Agama-agama tersebut dikatakan sebagai
agama tradisi besar karena memiliki keyakinan dan penyerahan diri kepada sang
pencipta atau Tuhan yang Maha Besar, sudah bersifat universal atau melampaui
batas-batas sukubangsa, negara dan bahkan benua, dan semua agama tersebut
meyakini konsekuensi kepatuhan dan kesalahan selama hidup di dunia kepada
sorga atau negara serta selalu cenderung untuk mengorganisasikan diri. Organisasi
keagamaan ini didirikan untuk selalu memperbesar dan menyebarkan agama
tersebut ke seluruh masyarakat di dunia.

Selanjutnya apa yang disebut dengan agama tradisi lokal atau kecil
adalah pertama, sepanjang Tuhan atau dewa agama lokal tersebut masih dapat
dimanipulasi atau disuap dengan pemberian sesajen. Kedua, orang yang sudah
meninggal diyakini arwahnya bisa menjadi dewa, tuhan atau setan, sesuai dengan
perilakunya di dunia. Ketiga, agama tersebut hanya diyakini oleh satu kelompok
sukubangsa atau tidak/ belum mampu melampaui batas-batas kesukubangsaan,
bangsa dan benua.

17
Ciri ketiga dari agama tradisi lokal tersebut merupakan ciri yang utama,
karena agama-agama tradisi besar yang ada di dunia sekarang pada awalnya
adalah agama tradisi lokal, tetapi karena tokoh-tokoh dan pengikut agama tersebut
mampu mengembangkan/ menyebarkan sehingga melampaui batas-batas
kesukubangsaan sehingga menjadi agama tradisi besar, karena sudah diyakini oleh
masyarakat dari sukubangsa atau kebudayaan yang berbeda.

Pertanyaan selanjutnya apakah agama tradisi lokal yang masih ada


sekarang mampu menjadi agama tradisi besar dan apakah agama tradisi besar
yang ada sekarang bisa menjadi agama tradisi lokal? Dua pertanyaan ini menarik
untuk dijawab. Jawaban pertanyaan pertama tetap kepada sepanjang agama tradisi
lokal tersebut telah diyakini dan dijadikan sebagai agama dari masyarakat
sukubangsa yang berbeda. Sebagai contoh, agama Konghuchu dahulu merupakan
agama tradisi lokal yang diyakini oleh orang Tionghoa di negeri Cina, tetapi
sekarang agama ini telah menjadi agama tradisi besar, karena diyakini dan
dijalankan juga oleh orang Indonesia.

Agama tradisi besar bisa menjadi agama tradisi lokal apabila agama
tradisi besar tersebut teks-teks sucinya diinterpretasikan secara lokal oleh
masyarakat di daerah tertentu atau sukubangsa tertentu sehingga agama tradisi
besar tersebut nampak berbeda dengan yang diyakini dan dipraktekkan oleh
masyarakat atau sukubangsa lainnya. Agama tradisi besar dengan interpretasi
lokal inilah yang kemudian mampu melahirkan banyak sekte atau aliran di dalam
agama-agama tradisi besar di dunia, dan dalam realitasnya inilah yang terjadi pada
banyak agama di dunia. Agama tradisi besar dengan interpretasi lokal yang
berbeda ini yang menyebabkan agama tradisi besar bida menjadi agama tradisi
lokal, karena sudah berbeda dengan agama tradisi besar di daerah yang berbeda.

18
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke :4

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan agama dan kebudayaan sebagai sistem


simbol

MATERI

AGAMA DAN KEBUDAYAAN: SIMBOL DAN SISTEM SIMBOL

Sebagaimana dinyatakan pada bagian sebelumnya, agama merupakan


petunjuk, perintah, larangan atau menjadi pedoman bagi ummat manusia untuk
menghadapi lingkungannya, untuk mengatur kehidupan di dunia dan petunjuk
untuk menghadapi kematian dan setelah mati. Lingkungan yang dimaksudkan
termasuk lingkungan alam fisik, dan lingkungan alam gaib, yang umumnya
diajarkan atau didoktrinisasi pada setiap agama.

Kebudayaan pada prinsipnya juga merupakan pedoman di dalam


kehidupan bermasyarakat dan menghadapi lingkungan alam fisik, karena isi dari
setiap kebudayaan adalah aturan dan sanksi, status dan peran, hak dan kewajiban
serta pandangan hidup (world view). Lalu, apa beda antara agama dengan
kebudayaan? Persamaan dan perbedaan agama dengan kebudayaan sebagai
berikut:

19
1. Agama dan kebudayaan sama-sama sebagai aturan dan pedoman yang
memiliki sanksi.
2. Aturan dan sanksi kebudayaan hanya berlaku di dalam kehidupan
bermasyarakat, tidak berlaku pada seorang individu. Maksudnya
apabila seorang individu berbuat salah dan tidak ada saksi maka
sanksinya tidak akan diberikan kepadanya. Aturan dan sanksi agama
tetap berlaku pada tingkat individual, walaupun seorang individu itu
berbuat salah tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.Sanksi agama
baru diterima setelah kematian, seseorang yang berbuat kebaikan dan
kesalahan sanksi dan rewardnya diperoleh nanti setelah kematian,
seperti sorga dan neraka.

Di dalam agama Hindu sanksi diyakini juga dapat terjadi selama hidup di
dunia. Konsep karma, sebagai perwujudan dari sanksi yang diterima semasa hidup
di dunia. Inilah perbedaan yang terdapat di dalam agama Hindu, yang tidak
terdapat di dalam keyakinan agama-agama tradisi besar lainnya.

Oleh karena itu kebudayaan dan agama pada dasarnya sangat fungsional
untuk mengatur dan menciptakan keteraturan di dalam masyarakat. Kebudayaan
dan agama sama-sama memiliki aturan yang mengatur untuk kehidupan bersama
di tengah-tengah masyarakat. Aturan di dalam agama dan kebudayaan itu
dipelajari melalui simbol-simbol. Simbol merupakan segala sesuatu yang diberi
makna sesuai menurut kebudayaan atau agama tertentu. Simbol kebudayaan
adalah simbol-simbol yang diketahui maknanya oleh pendukung kebudayaan
tersebut. Simbol agama adalah simbol yang terdapat di dalam setiap agama,
dengan makna-makna yang diberikan berdasarkan ajaran atau doktrin di dalam
gama tersebut.

Kebudayaan dan agama menurut perspektif simbolik adalah berkenaan


dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik.
Dalam hal ini Clifford Geertz adalah tokoh yang menyatakan “agama merupakan
bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan

20
bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan
untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan tersebut.”12 Geertz yang
menyatakan agama sebagai suatu sistem simbol... dan seterusnya,13 juga
menyatakan agama sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan, suatu
pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional,
kognitif, subjektif dan individual.14 Menurut Geertz kebudayaan adalah pola dari
pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-
simbol yang ditransmisikan secara historis suatu sistem mengenai konsepsi-
konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara
tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan
dan sikap mereka terhadap kehidupan.15
“Simbol-simbol adalah garis penghubung antara pemikiran manusia
dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu
berhubungan atau berhadapan dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat
dilihat sebagai (menurut Geertz) ‘suatu sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-
simbol yang signifikan.’ Dengan demikian simbol-simbol itu pada hakekatnya ada
dua, yaitu; (1) yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-
kenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) yang berasal dari dalam dan yang terwujud
melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbol-
simbol menjadi dasar dari perwujudan model dari dan model bagi dari sistem-
sistem konsepsi dalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama
mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk suatu sistem sosial.”16
Simbol-simbol di dalam agama dan kebudayaan selalu menunjukkan
kebaikan dan keburukan/ kejahatan. Di dalam kebudayaan simbol-simbol
digunakan di dalam proses interaksi di dalam kehidupan sehari-hari di tengah-
tengah masyarakat. Simbol-simbol di dalam agama menunjukkan kesucian atau

12
Suparlan, 1982.
13
Sebagaimana telah dikutip pada bagian sebelumnya.
14
Suparlan, 1982.
15
Geertz, ibid. Hal.89.
16
Suparlan, 1982.

21
kesakralan dan kejahatan/ keburukan/ sesuatu yang biasa-biasa saja, atau disebut
juga yang sakral (sacré) dan yang profan.
Teori strukturalisme dari Lévi-Strauss yang memandang segala sesuatu
secara binnary opposition sangat relevan di dalam melihat simbol-simbol di dalam
kebudayaan dan keagamaan. Baik-buruk, benar-salah, sorga-neraka adalah dua
perspektif yang selalu terhubung antara satu dengan lainnya, dengan perilaku di
dunia dan konsekuensi yang diterima di akhirat. Oleh karena itu simbol-simbol
yang digunakan di dalam kebudayaan dan agama juga menunjukkan simbol-
simbol kebaikan-kejahatan, benar-salah, atau suci dan tidak suci. Di dalam agama
Islam warna putih sering dipakai oleh para ulama dalam berpakaian untuk
menunjukkan simbol kebaikan atau mendekati ke kesucian, yang dilawankan
dengan warna hitam sebagai simbol kejahatan. Sorga selalu diletakkan di posisi di
atas, neraka selalu diletakkan pada posisi di bawah.
Segala sesuatu baik di dunia nyata, alam fisik dan sosial maupun di dunia
gaib, semuanya digolongkan ke dalam sistem penggolongan. Penggolongan ini
dibuatkan ciri-cirinya yang selalu dipertentangkan atau digolong-golongkan.
Maka muncullah penggolongan atas dua, seperti yang suci dan yang kotor atau
berdosa. Penggolongan dua ini bisa juga menjadi tiga dengan posisi tengah yang
menengahi di antara dua yang saling bertentangan. Cara pikir oposisi biner ini
kemudian disimbolkan ke dalam simbol-simbol yang dianggap suci dan simbol-
simbol yang profan. Oleh karena itu konsep surga-neraka, bahagia-sengsara ada
pada setiap agama. Di dalam agama berisi sistem simbol yang menggolongkan
segala sesuatu, yang maknanya diberikan oleh agama tersebut. Sebagai contoh air
sungai. Air sungai bisa dikatakan suci atau tidak suci berdasarkan ukuran
keagamaan, tidak berdasarkan kepada ukuran higienis. Air sungai ada yang boleh
atau tidak boleh untuk bersuci atau mensucikan sehingga bisa dipakai berwudhu
sebelum beribadah di dalam agama Islam.
Dalam hal ini ada pedoman penilaian yang sama dengan nilai-nilai
budaya. Penilaian agama adalah penilaian atas suci atau tidak suci. Di dalam
masyarakat agama menjadi keyakinan keagamaan berdasarkan interpretasinya atas
ajaran dan pedoman yang sesungguhnya (teks suci). Acuan interpretasinya adalah

22
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Agama diterima oleh masyarakat
tertentu adalah berdasarkan kepada hasil interpretasi dari masyarakat penganut
agama tersebut berdasarkan kebudayaannya atas teks-teks (kitab) suci yang
intinya adalah pedoman untuk kebaikan di dunia dan di akhirat.

23
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke :5

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

- Mahasiswa dapat menjelaskan magi dalam agama tradisi lokal


- Mahasiswa dapat menjelaskan magi dalam keteraturan dan
kekalutan

MATERI

AGAMA DAN MAGI

Agama sebagai pedoman untuk hidup di dunia dan penjelasan tentang


keadaan setelah kematian serta ciri-ciri apa yang disebut dengan agama seperti
yang disampaikan Durkheim dan penambahan satu ciri kelima dari penulis pada
bagian awal dari handout ini telah dapat menjelaskan apa yang disebut dengan
agama. Di samping itu penjelasan agama ke dalam agama tradisi besar dan tradisi
lokal lebih memberi pengertian terhadap agama. Dengan penjelasan tersebut
apakah sama antara agama khususnya agama tradisi lokal atau kecil dengan magi/
magis (magic)? Penjelasan ini diberikan pada bagian ini.

Magi (magic) yang dimaksudkan di sini adalah berupa kepercayaan


kepada kekuatan gaib dan penggunaan kekuatan gaib tersebut untuk kepentingan
praktikal. Magi ada pada seseorang, milik seseorang, untuk kepentingan seseorang
atau individu, bukan milik kelompok atau masyarakat. Inilah yang menjadi

24
penekanan pembedaan magi dengan agama, terutama agama tradisi lokal. Dalam
hal ini bisa diberikan contoh, seseorang yang ingin lulus ujian atau diterima
bekerja di instansi tertentu meminta bantuan kepada seorang dukun, dan dengan
permintaan dukun (dari kekuatan gaib) tersebut, dia menyediakan syarat-syarat
tertentu supaya keinginannya lulus ujian atau diterima bekerja benar terwujud,
melalui penggunaan kekuatan gaib tersebut. Tindakan magi seperti ini banyak
dilakukan oleh individu-individu di dalam masyarakat. Peran dukun atau
paranormal menjadi fungsional di dalam masyarakat. Inilah yang dimaksudkan
dengan tindakan magis atau magic. Magi menurut Havilland, “merupakan praktek
ritual yang paling mempesona, adalah penerapan kepercayaan bahwa kekuatan
supernatural dapat dipaksa untuk aktif dengan cara tertentu, baik untuk tujuan
yang baik maupun yang jahat, dengan menggunakan rumusan-rumusan
tertentu.”17

Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan magi, berikut


diberikan ciri-ciri magi. Pertama, magi mencakup perbuatan untuk berbuat baik
atau jahat. Kedua, untuk menggunakan magi diperlukan individu yang mampu
dan cocok dengan kekuatan gaib atau supernatural tersebut. Ketiga, magi ada
ritualnya, keempat, niatnya ditujukan untuk apa dan siapa. Di samping itu ada ciri-
ciri universal dari magi, di antaranya sebagai berikut:

1. Ada hubungan orang dengan makhluk atau kekuatan gaib tertentu yang
melebihi hubungan tersebut. Orang/ individu tertentu tersebut dapat
menggunakan magi.
2. Salah satu syarat ritual magi adalah memberikan imbalan tertentu.
3. Ritual magi adalah ritual keagamaan.

Ciri universal dari magi inilah yang membedakan magi dengan agama.
Dalam hal ini, ada pemberian atau imbalan tertentu kepada kekuatan gaib yang
bersifat azas timbal balik atau resiprositas. Jika seseorang memberikan sesuatu
kepada makhluk gaib maka makhluk gaib tersebut juga harus memberikan sesuatu

17
Havilland, 1985.Hal.210.

25
kepada orang tersebut. Artinya makhluk atau alam gaib tersebut dapat
dimanipulasi dengan pemberian-pemberian tertentu, seperti pemberian sesajian.

Gambar Ritual Magi, penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib

Frazer membuat perbedaan yang tajam antara agama dan magi. Agama
olehnya merupakan cara mengambil hati atau menenangkan kekuatan yang
melebihi kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan
mengendalikan nasib dan kehidupan manusia. Sebaliknya, magi sebagai usaha
untuk memanipulasikan “hukum-hukum” alam tertentu yang dipahami. Dengan
demikian Frazer melihat magi sebagai semacam ilmu pengetahuan semu (pseudo-
science).18 Selanjutnya Frazer membedakan dua macam prinsip magi, magi
simpatetis dan magi senggol (contagious magic). Prinsip yang pertama,
“persamaan menimbulkan persamaan” (“like produce like”). Misalnya dengan
membuat boneka mirip manusia yang akan diguna-guna atau disantet. Jika perut
boneka ditusuk maka orang yang diguna-guna tersebutlah yang merasakan sakit.
Magi senggol berdasarkan prinsip bahwa barang yang pernah bersentuhan dapat
saling mempengaruhi sesudah terpisah.19 Dengan magi senggol seseorang bisa
disantet atau diguna-guna hanya dengan menggunakan benda-benda yang pernah
bersentuhan dengan orang yang dimaksud, atau dengan menggunakan barang-
barang yang pernah dipakainya, seperti sisir, pakaian, dan lain-lain.

18
Ibid.Hal.210-211.
19
Ibid.Hal.211.

26
Fenomena magi seperti ini terdapat di seluruh dunia, dalam bentuk dan
nama-nama yang berbeda. Aktivitas sihir seperti voodoo sangat terkenal di Afrika,
ada leak di Bali, santet di Jawa, gasing tangkurak dan sijundai di Miangkabau dan
lain-lain. Di dalam antropologi konsep mana yang berasal dari daerah Polynesia
menjadi konsep baku dalam menyebut kekuatan gaib yang terdapat di sekeliling
manusia. Fenomema religius di dalam agama tradisi lokal, berbagai macam
bentuk magi dapat menjadi studi antropologi religi/ agama.

27
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke :6

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

- Mahasiswa dapat membedakan upacara dengan ritual

MATERI
UPACARA DAN RITUAL

Upacara (ceremony) berbeda dengan ritual/ ritus (rites). Perbedaan antara


keduanya adalah sangat mendasar, walaupun di dalam kehidupan sehari-hari
seakan-akan keduanya disamakan saja. Penekanan perbedaannya adalah kepada
kekhusukan atau keseriusan dari aktivitas yang disebut dengan ritual, sedangkan
upacara penekanannya adalah kepada kegembiraan. Semua aktivitas religius, baik
di dalam agama tradisi besar, tradisi lokal dan magi di dalamnya terdapat ritual.di
dalam ritual tidak terdapat upacara, tetapi di dalam upacara bisa saja terdapat
ritual.

Sebagai contoh, upacara bendera sering dilakukan pada setiap hari Senin
atau setiap tanggal 17 di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor. Di dalam upacara
tersebut sangat diharapkan keseriusan peserta, terutama pada saat menaikkan
bendera merah putih atau saat mengheningkan cipta. Pada saat itulah yang disebut
dengan aktivitas ritual di dalam upacara. Pesta pernikahan merupakan bentuk

28
upacara (ceremony), yang bisa saja diselenggarakan sehari semalam, atau bahkan
sampai tujuh hari tujuh malam. Ini semua adalah bentuk upacaranya, yang
menampakkan kegembiraan. Ritualnya adalah pada saat pengucapan ijab kabul
atau proses pernikahan yang mensyahkan hubungan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami isteri.

Di dalam antropologi dipelajari banyak ativitas upacara dan sekaligus


merupakan ritual dalam rangka memperingati masa-masa peralihan sepanjang
hidup manusia, yang dikenal dengan les rites de passege (the rite of passage) atau
ritus peralihan. Konsep ini berasal dari antropolog Perancis keturunan Jerman,
A.A. van Gennep, yang menulis mengenai mengenai ritus peralihan pada cerita
rakyat Perancis. Sepanjang hidup manusia sejak bayi menjadi balita, anak-anak,
remaja, dewasa, menjadi tua dan meninggal dunia, di dalam masyarakat tertentu
sering dilaksanakan ritual tertentu untuk memasuki tingkat usia atau kelompok
usia tersebut. Ritual yang paling sering dilakukan di dalam banyak masyarakat di
dunia adalah peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

Di dalam masyarakat sederhana tidak dikenal apa yang disebut dengan


masa remaja, konsep masa remaja justru ada di dalam masyarakat industri. Oleh
karena itu di dalam masyarakat sederhana ritual peralihan menjadi sangat penting
sebagai perubahan status dari anak-anak menjadi dewasa, karena setelah melalui
masa menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki perkawinan
sudah boleh dilaksanakan, sebagai simbol telah memasuki masa dewasa.

29
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke :7

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

1) Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian gender dan kekuasaan


2) Mahasiswa dapat menganalisa kaitan agama dengan gender dan
kekuasaan.

MATERI
1. Konsep gender dan kekuasaan
2. Agama, Gender dan kekuasaan

MATERI 1

GENDER DAN KEKUASAAN

Pengertian Gender

Dalam memahami konsep gender hendaklah dibedakan dengan konsep seks


(jenis kelamin). Karena masih sering terjadi kesalahpahaman terhadap kedua
konsep tersebut. Pengertian jenis kelamin atau seks merupakan pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu. Misalnya perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim,
saluran untuk melahirkan, memproduksi telur dan memiliki alat untuk menyusui.
Seks bersifat biologis, permanen, tidak berubah dan sebagai ketentuan Tuhan atau
kodrat.20

20
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosal. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 1999: 8

30
Gender yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dikontruksikan secara sosial dan kebudayaan (kultural).21 Misalnya kaum
perempuan dikenal lembut, lemah, emosional, sedangkan laki-laki dianggap, kuat,
rasional, perkasa,kuat. Sifat-sifat ini dikonstruksikan atau dibentuk oleh
kebudayaan masyarakat. Sifat-sifat tersebut tidak lah tetap, bisa dipertukarkan,
dan dapat berubah. Sifai-sifat gender disosialisasikan dalam lingkungan keluarga,
dan masyarakat, diperkukuh oleh agama dan negara sehingga semakin kuat dan
mengakar dalam kebudayaan masyarakat.

Selama ini terdapat kerancuan dalam pemahaman gender dan seks di


masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat pemahaman bahwa gender dianggap
sebagai kodrat manusia, dan berarti diperoleh dari Tuhan atau takdir dari Tuhan.
Sehingga jika ada perempuan yang tidak bersifat lembut, kuat dalam prinsip,
rasional dalam berbuat, kuat, maka dianggap telah menyalahi kodrat. Begitu juga
perempuan yang berkarir, bekerja di luar rumah, tidak merawat anak dan suami
dengan baik maka dinyatakan bahwa si perempuan telah melanggar kodrat dari
Tuhan.

Gender merupakan hasil bentukan atau konstruksi masyarakat. perbedaan


gender dapat saja berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain.
Margaret Mead, antropolog perempuan asal Amereika telah membuktikan melalui
penelitian lapangan pada tiga sukubangsa, Arapesh, Mundogumor dan Tchambuli
di Papua Niugini. Dalam bukunya Sex and Temperament in Three Primitive
Societies (1934). Menurut Mead, perbedaan sifat atau temperamen antara laki-laki
dan perempuan tidak bersifat universal. Di dalam kebudayaan Arapesh, tidak ada
perbedaan temperamen antara laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki
kepribadian yang rata-rata halus, lembut, dan pasif seperti yang dimiliki oleh
perempuan umumnya di kebudayaan Ero-Amerika. Sebaliknya pada masyarakat
Mundogumor, juga tidak ada perbedaan temperamen laki-laki dan perempuan,
keduanya memiliki temperamen keras, kasar, aktif dan agresif. Seperti yang
dimiliki orang laki-laki pada umumnya di masyarakat Ero-Amerika. Pada

21
Fakih. Ibid hal 9

31
masyarakat Tchambuli, temperamen laki-laki dengan perempuan malahan terbalik
dengan masyarakat Ero-Amerika. Kaum perempuan pada umumnya bersifat
keras, kasar, aktif, dan melaksanakan pekerjaan berat dalam usaha perkebunan
dan mencari sagu, kaum perempuan juga tidak suka bersolek, malahan banyak
yang berkepala botak. Sedangkan kaum laki-laki, bekerja di bidang pertukangan,
dan kesenian. Kaum laki-laki bersifat lembut, dan suka bersolek.22

Gender sebagai bentukan masyarakat maka membawa permalahan-


permasalahn sosial terkait dengan perbedaan gender tersebut. Permasalah-
permasalah yang muncul akibat perbedaan gender dalam masyarakat yaitu ketidak
adilan, marginalisasi, subordinasi perempuan, munculnya stereotipe, kekerasan
dan beban kerja yang berbeda. Dalam prinsip kesetaraan gender, dalam hal ini
tidak hanya fokus kepada perempuan saja, namun juga kaum laki-laki.

Pengertian konsep Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia


untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang
yang mempunyai kekuasaan itu.23 Kekuasaan sosial menurut Rober M MacIver
adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara
langsung dengan jalan memberikan perintah, maupun secara tidak langsung
dengan menggunakan segala alat dan cara yang tersedia. Kekeuasaan biasanya
berbentuk hubungan (relationship), dalam arti bahwa ada satu pihak yang
memerintah dan ada satu pihak yang diperintah. Rober M. MacIver
mengemukakan bahwa kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk
piramida. Ini membuktikan bahwa kekuasaan yang satu lebih unggul dari yang
lain, bahwa suatu kekuasaan lebih kuat dan mensubordinasi kekuasaan yang
lainnya.24

22
Danandjaja, James. Antropologi Psikologi; Teori, Metode, dan sejarah Perkembangan. Jakarta:
Rajawali 1988: Hal 37-38
23
Budiarjo, Meriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 1986: 35
24
Budiarjo. Ibid hal 36

32
Gender dan kekuasaan

Dalam banyak kajian relasi gender, ditemukan bahwa sub-ordinasi


perempuan merupakan sesuatu yang universal. Kekuasaan laki-laki lebih dominan
daripada perempuan. Setiap kebudayaan menempatkan nilai perempuan yang
lebih rendah daripada laki-laki. Sherry Ortner menjelaskan hubungan perempuan
dan laki-laki seperti hubungan alam dengan kebudayaan. Semua kebudayaan
membuat perbedaan antara masyarakat manusia dengan alam. Kebudayaan
berusaha mengontrol dan menguasai alam untuk dimanfaatkan untuk kepentingan
sendiri. Ortner berpendapat bahwa perempuan diidentifikasikan atau secara
simbolis diasosiasikan dengan alam, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan
kebudayaan. Oleh karena kebudayaan berusaha untuk mengontrol alam, maka
merupakan suatu yang “alami” pula perempuan, karena hubungannya dekat
dengan alam, juga harus dikontrol dan dikuasai.25

Perempuan diasosiasikan dengan alam, karena sistem reproduksi


perempuan membuatnya dekat dengan alam dan keterlibatan perempuan dalam
reproduksi cenderung membatasi mereka pada fungsi-fungsi sosial tertentu.
Tugas perempuan adalah terutama dihubungkan dengan pengasuhan anak, maka
hubungan kerja mereka adalah dekat dengan anak, keluarga atau sektor domestik.
Sedangkan laki-laki banyak bertugas di luar rumah atau sektor publik.26

MATERI 2

AGAMA, GENDER DAN KEKUASAAN

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa agama berisikan ajaran yang


dijadikan pedoman bertingkah laku bagi manusia penganutnya, tidak hanya untuk
kehidupan di dunia akan tetapi juga kehidupan sesudah mati. Agama diperoleh
oleh umat manusia melalui manusia yang bertugas sebagai penyampai ajaran-

2525
Moore, Henrietta.L. Feminisme & Antropologi. Jakarta: Obor . 1998: 31.
26
Budiman, Arif.Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia. 1985: 4

33
ajaran yang dianggap suci yang disebut, nabi,atau rabbi. Selanjutnya diteruskan
kepada pengikut yang lain, sehingga agama yang sampai di dalam masyarakat
merupakan hasil interpretasi atau penafsiran ajaran dari pendahulu sebelumnya.

Agama merupakan sebuah pranata sosial di dalam masyarakat yang


paling kuat mengakar, dan sulit mengalami perubahan. Agama juga menjadi
rujukan, nilai dan moral, bahkan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, perilaku manusia berlandaskan kepada penafsiran masyarakat terhadap
ajaran agama yang mereka anut. Dalam masyarakat patriarkhi, kekuasaan berada
di tangan laki-laki, maka tafsiran ajaran agama cenderung memperkuat kondisi
tersebut sehingga semakin memperkuat kekuasaan laki-laki di dalam masyarakat.

Seperti dalam masyarakat Islam, sering terjadi perdebatan mengenai,


bolehkah perempuan menjadi pemimpin? Di dalam tafsiran masyarakat terlihat
bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, laki-laki lah yang menjadi
pemimpin. Sehingga ketika terjadi pemilihan, dimana perempuan termasuk salah
satu calonnya, maka jumlah pemilihnya hanya sedikit. Kalau diperhatikan dalam
Al Quran, sebagai rujukan umat Islam pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan
laki-laki dan perempuan adalah sama.27 Dalam sejarah Islam, istri nabi
Muhammad, Siti Aisyah pernah menjadi pemimpin komando perang. Dengan
demikian, interpretasi terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi oleh kacamata
pandang yang digunakan oleh penafsirnya...28

27
Fakih, Mansour, ibid: 129
28
Ibid: 134

34
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke :9

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan teori munculnya agama oleh E.B.Tylor dan


Frazer

MATERI

TEORI MUNCULNYA AGAMA : TYLOR DAN FRAZER

A.Teori Evolusi Religi oleh E.B. Tylor

Edward Burnett Tylor (1832-1917)

E.B. Tylor lahir dari keluarga Quaker yang kaya di London. Karya
besarnya yaitu Primitive Culture (1871). Pada tahun 1884, ia diplih sebagai
reader-nya yang pertama dalam bidang baru, antropologi. Kemudian menjadi
profesor pertama dalam disiplin tersebut. Buku Primitive Culture diterbitkan di
Inggris ketika orang-orang yang sangat religius sedang mendapat tantangan
keimanan mereka dengan terbitnya buku Charles Darwin, Origin of Species
(1859). Teori evolusi melalui seleksi alam yang dikemukakan menghentakkan
banyak orang, karena sangat bertentangan dengan kitab suci. Buku Darwin diikuti
dengan The Descent of Man (1871).

35
Menurut Tylor asumsi dari etnologi atau ilmu budaya yang baru yaitu
setiap komunitas atau kebudayaan yang terorganisasi harus dipahami sebagai satu
keseluruhan---sebagai suatu sistem kompleks yang terdiri atas pengetahuan dan
kepercayaan, seni dan moral, alat dan teknologi, bahasa, hukum, adat-istiadat,
legenda, mitos dan komponen lain yang semuanya membentuk satu keseluruhan
yang tunggal. Etnologi lebih lanjut menuntut sistem-sistem yang kompleks ini
diteliti secara ilmiah.29

Asumsi dasarnya yaitu semua makhluk manusia esensinya sama,


terutama menyangkut kapasitas mental yang dasar. Saat melihat hal-hal yang
serupa dari kebudayaan yang berbeda menunjukkan bahwa manusia berada dalam
tahap yang sama----manusia dari segala tempat dan zaman adalah sama. Jika dua
masyarakat berbeda kebudayaannya, hal ini menunjukkan kedua kebudayaan tidak
berada pada tahap yang sama, yang satu pasti lebih tinggi dan yang lain lebih
rendah dalam skala evolusi.

Pandangan “Survival”

Menurut Tylor, tidak semua kebudayaan dan tidak semua hal dalam suatu
kebudayaan berkembang melalui langkah yang sama. Praktek kebudayaan yang
sesuai pada suatu waktu, dapat bertahan lama walaupun gerak kemajuan
melewatinya. Misalnya, meskipun tidak ada pemburu modern yang masih
menggunakan panah untuk membunuh binatang buruan, namun seni memanah
masih ada sampai saat ini.30

Asal-usul Agama

Untuk dapat memahami agama, menurut Tylor agama hendaklah di


defenisikan secara lebih universal. Agama menurutnya yaitu, “kepercayaan pada
makhluk spritual”. Agama yang paling tua didunia yaitu animisme (dari bahasa

29
Pals, L. Daniel. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam, 1996: 34
30
Ibid. Hal 36

36
latin anima artinya roh), yaitu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup
dibalik semua benda. Animisme dapat ditemukan di seluruh sejarah bangsa
manusia.

Dasar dari asal usul agama, adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa
(roh). Kesadaran akan adanya jiwa disebabkan karena dua hal: Pertama,
perbedaan yang tanpak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang
mati, ketika manusia hidup terdapat jiwa (roh) yang mengerakkan manusia yang
membedakan ketika manusia telah mati. Kedua, peristiwa mimpi, dalam mimpi
manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain. Bagian lain dari dirinya yang pergi
ke tempat-tempat lain disebut dengan jiwa (roh).

Tylor membedakan jiwa atas dua; pertama soul yaitu jiwa atau roh
manusia yang masih berhubungan dengan tubuh jasmani, termasuk diri manusia
yang terlihat diwaktu mimpi. Kedua, spirit yaitu jiwa atau roh manusia yang
sudah terlepas dari tubuh jasmani untuk selama-lamanya.

Evolusi Religi

Pada tingkat pertama, Animisme. Manusia percaya bahwa makhluk


halus atau roh yang terlepas dari tubuh manusia ketika mati itu menempati alam
sekeliling tempat tinggalnya. Roh ini menjadi objek penghormatan yang disertai
upacara. Roh ini memiliki kemampuan berbuat hal-hal yang tidak mampu
dilakukan oleh manusia. Pada tingkat kedua, Dinamisme. Manusia percaya
bahwa gerak alam juga dipengaruhi oleh adanya jiwa dibelakang peristiwa atau
gejala alam, seperti gempa bumi, gunung meletus dan lain-lain. Jiwa alam
selanjutnya dipersonifikasikan seperti makluk yag memiliki kepribadian, kemauan
dan keinginan.

Pada tingkat ketiga, Politeisme. Sejalan dengan perkembangan


kebudayaan (era savagery, barbar, civilization). Pada masa barbar ditemukan
pertanian, kota dan tulisan, unsur-unsur utama peradaban dibangun. Dalam
kebudayaan “tinggi” terdapat pembagian kerja dan struktur kekuasaan dan otoritas
yang kompleks. Manusia percaya bahwa jiwa (roh) yang disebut dewa hidup

37
serupa dengan manusia. Dewa memiliki susunan pangkat mulai dari yang tinggi
sampai ke rendah. Dewa memiliki tugas masing-masing. Pada tingkat keempat,
Monoteisme. Manusia percaya bahwa ada satu dewa yang tertinggi yang layak
untuk diberikan penghormatan. Sehingga berkembang keyakinan pada satu
Tuhan. Sebagai tapa yang paling tinggi dalam evolusi religi manusia.

Kemunduran animisme dan kemajuan pemikiran

Kemajuan intelektual pada masa sekarang dapat dilihat sebagai


kemunduran teori animis. Menurut Tylor, sebagai sebuah usaha orang-orang awal
untuk memahami dunia, sebagai respon terhadap misteri dan peristiwa-peristiwa
yang tidak pasti, agama animisme menghadirkan persamaan dasar bagi sains.31
Kemampuan sains dalam menjelaskan fenomena alam mengakibatkan
kepercayaan terhadap roh atau jiwa yang menguasai alam semakin menghilang.

A. Teori Evolusi Religi oleh J.G. Frazer (1854-1941)

Frazer berasal dari keluarga Protestan, Quaker yang keras lahir di


Glasgow, Skotlandia. Karya besar Frazer yaitu The Golden Bough (1890-1915).
Buku ini bertujuan untuk mempelajari kebudayaan Yunani dan Romawi, dengan
fokus perhatian antropologi. Bukunya dalam usaha mengungkapkan asal-usul
agama. Frazer menyakini utuk mengetahui kegiatan ritual yang dilakukan oleh
masyarakat pra sejarah yaitu melalui cerita rakyat, legenda, dan praktek sebagian
besar orang peimitif yang ingin kita lihat di antara hal-hal itu dapat ditemukan
pola-pola tradisi kuno dimana legenda Romawi mungkin sesuai dengannya.
Pandangan Frazer agak berbeda dengan Tylor bahwa pimikiran primitif diatur dua
sistem ide yaitu, magi dan agama. 32

Fakta penting tentang manusia, menurutnya yaitu perjuangan untuk


bertahan hidup. Masyarakat primitif kehidupan sangat bergantung kepada alam,
jika keadaan alam tidak mengakomodasi kebutuhan mereka, manusia dengan akal
yang dimiliki, menggunakan segala usaha untuk bisa memahami dunia dan

31
Ibid hal 50
32
Ibid hal 58

38
mengubahnya. Usaha yang paling pertama yaitu magi atau magi simpatetik.
Menurut Frazer ada dua tipe magi simpatetik yaitu: magi imitatif (imitative
magic), yaitu magi yang menghubungkan benda-benda atas dasar prinsip
kesamaan; magi kontak (contagious magic), yang berhubungan atas dasar prinsip
pelekatan (attachment). Dalam suatu kasus, dapat dikatakan ‘serupa
mempengaruhi yang serupa (like effects like), bagian mempengaruhi bagian (part
effects part). Dengan banyak kasus Frazer menunjukkan bagaimana masyarakat
sederhana berasumsi bahwa alam bergerak atas dasar imitasi dan hubungan.
Apalagi mereka menganggap prinsip ini bersifat tetap, universal dan tak dapat
dipecahkan-sebagimana tetap dan pastinya hukum ilmiah modern tentang sebab-
akibat.33

Menurut Frazer orang yang mempunyai kemampuan menguasai ilmu


magi, apakah disebut ahli magi, dukun atau tukang sihir maka hampir selalu
memegang kekuasaan dan memiliki martabat yang tinggi dalam masyarakat
sederhana. Bukti-bukti yang ada diseluruh dunia terhadap masyarakat kesukuan,
raja atau kepala suku adalah ahli magi. Frazer menyatakan bahwa magi tanpak
seperti sains bagi masyarakat sederhana, akan tetapi merupakan sains yang semu
(pseudo sainces). Dalam kenyataannya dunia nyata (pikiran modern) tidak bekerja
menurut pola simpati dan persamaan. Menurut Frazer ketika magi menurun dalam
kepercayaan masyarakat, maka digantikan oleh agama. Agama menurut Tylor
merupakan kepercayaan pada makhluk spiritual. Magi secara umum sama dengan
agama. Namun Frazer lebih tertarik perbedaan magi dengan agama. Pemikiran
manusia sudah keluar dari magi dan masuk kepada agama, jika kepercayaan
kepada makhluk supernatural, dan usaha manusia untuk mendapakan bantuan
mereka melalui doa atau ritual. Manusia meminta permohonan kepada dewa-dewa
melalui doa atau ritual, karena dewa memiliki kekuatan terhadap alam, dan
kekuatan ril atu adalah pribadi-pribadi.

Magi yaitu semua tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud


melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam semesta, serta seluruh kompleks

33
Ibid hal 59-60

39
anggapan yang ada dibelakangnya. Manusia mula-mula hanya menggunakan ilmu
gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan
dan pengetahuan akalnya. Pada waktu itu agama belum ada dalam kebudayaan
manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magi itu tidak ada
hasilnya, maka mulailah manusia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-
makhluk halus yang lebih berkuasa dari makhluk lainnya, lalu mulailah manusia
mencari hubungan dengan makhluk halus itu, dengan demikian timbullah agama.

Perbedaan besar agama dengan magi menurut Frazer yaitu, magi adalah
sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan
menggunakan kekuatan dan kaidah gaib yang ada di alam. Sebaliknya agama
adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan
cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk halus seperti
roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam.

Menurut Frazer peralihan ke agama dibaca sebagai tanda kemajuan


intelektual manusia.34 Penjelasan agama dipandang lebih baik daripada magi.
Magi menetapkan hukum-hukum yang bersifat tetap dan universal. Jika ritual
hujan dilakukan dengan benar maka hujan pasti turun. Namun alam tidak bersifat
pasti, tidak semua hal di bawah kontrol manusia, dengan agama (memohon
kepada dewa penguasa alam, dengan harapan diberikan hujan dan lain lain)
menempatkan sesuatu di bawah kontrol wujud yang agung dan kuat di luar diri
manusia.

34
Ibid Hal 62.

40
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke : 10

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan teori agama dari Emile Durkeim:


Masyarakat sebagai yang sakral

MATERI
EMILE DURKEIM: MASYARAKAT SEBAGAI YANG SAKRAL

Durkheim lahir pada tahun 1858 di kota Epinal Perancis. Bukunya yang
terkenal berkaitan dengan agama yaitu, The Elementary Form of The Religious
Life (1912). Buku ini mengungkap elemen-elemen dasar pembentuk semua
agama. Menurut Durkheim orang religius membagi dunia menjadi dua arena yaitu
yang sakral dan profan. Hal yang sakral selalu dianggap superior, sangat kuasa,
terlarang dari hubungan normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Hal-
hal yang profan adalah sebaliknya; bersifat biasa, tak menarik dan merupakan
kebiasaan praktik kehidupan sehari-hari. Perhatian agama adalah hal-hal yang
pertama (sakral). Hal- hal yang sakral selalu melibatkan kepentingan besar.
Kepentingan dan kesejahteraan seluruh kelompok atau komunitas. Pada sisi lain,
hal-hal yang profan adalah masalah-masalah kecil, mereka mencerminkan urusan
setiap individu sehari-hari-kegiatan dan usaha pribadi yang lebih kecil dari
kehidupan pribadi dan keluarga dekat.

41
Durkheim berbeda pendapat dengan Frazer yang mengatakan magi
muncul lebih awal dari agama. Magi dan agama dapat hidup berdampingan, yang
satu adalah tempat bagi wilayah personal, yang lain adalah tempat bagi wilayah
sosial. Kata Durkheim; seorang ahli magi, hanya memiliki klien, tetapi bukan
jamaat. “tak ada jamaat magi”.35
Totemisme
Durkheim mengasumsikan bahwa agama yang dijalani oleh sukubangsa
yang sederhana merupakan bentuk agama yang paling dasar. Dan jika dapat
menjelaskannya maka akan mengawali penjelasan tentang semua agama. Agama
dari sukubangsa asli Australia yang banyak menawan para antropolog awal
lainnya, dan tokoh seperti Robertson Smith, Frazer, dan Freud yaitu Totemisme.
Begitu juga dengan Durkheim, menurutnya tidak satupun dari para teoritisi
tersebut yang sampai kepada penjelasan yang fundamental arti totemisme bagi
kebudayaan primitif.
Menurut Durkheim, di setiap masyarakat promitif, selain binatang totem,
yang bersifat profan, biasanya boleh dibunuh dan dimakan oleh klan; binatang
totem tidak boleh, karena ia suci, terlarang bagi klan. Kecuali pada kesempatan
tertentu, ketika melakukan upacara yang dirancang secara khusus. Binatang totem
secara ritual dikorbankan dan dimakan. Di samping itu, klan itu sendiri dipandang
suci karena dianggap sama dengan totem. Ketika klan berkumpul bersama untuk
melakukan upacara, adalah selalu simbol totem , yang diukir di sepotong kayu
atau batu, yang menjadi panggung utama. Totem sangat suci dan menyampaikan
sifat sucinya ke semua yang mengitarinya.
Menurut Durkeim, totemisme merupakan agama yang paling awal,
mendasar dan sederhana. Totemisme merupakan dasar dari pemujaan agama yang
lain, seperti pemujaan roh, pada dewa, pada binatang, matahari dan bintang.
Durkheim menganggap totemisme lebih dari sekedar penyembahan binatang atau
tumbuhan. Para pengikut pemujaan totem tidak benar-benar menyembah gagak
atau apapun, melainkan mereka menyembah pada ‘suatu kekuatan impersonal dan
tanpa nama. Durkheim menyatakan dengan “prinsip totem”, yang berada di

35
Pals, Daniel. Hal 169

42
tengah-tengah semua kepercayaan dan ritual klan. Di balik totem ada kekuatan
impersonal yang memiliki kekuasaan besar atas kehidupan klan, baik secara fisik
maupun moral. Orang-orang menghormatinya; mereka merasakan sebuah
kewajiban moral untuk melaksanakan upacara-upacaranya; mereka merasakan
ikatan yang sangat kuat satu sama lain dan kesetiaan yang mengikat.

Masyarakat dan Totem

Totem merupakan sebuah simbol. Totem merupakan gambaran klan yang


tampak, konkret. Ia adalah bendera klan, panji atau logonya di dalam sebuah
simbol. Jika simbol dewa adalah sama dengan masyarakat, maka dewa klan
adalah klan itu sendiri, yang dipersonifikasikan dan digambarkan dalam imajinasi
di bawah bentuk binatang atau tanaman yang dapat dilihat dan bertindak sebagai
totem. Singkatnya totem merupakan simbol dewa dan klan oleh karena kedua hal
itu adalah sama.36

Ritual pemujaan yang dilakukan oleh sukubangsa Aborigin Australia


secara komunal, klan menganggap mereka menyembah dewa “di luar sana” yang
berkuasa yang dapat mendatangkan kemakmuran. Menurut Durkheim, kegiatan
ritual itu ada karena adanya komitmen individu atau adanya kesadaran individu.
Sehingga prinsip totem selalu mengorganisasikan dirinya ke dalam diri kita
(klan). Ketika upacara dilakukan, semua anggota klan berkumpul, melakukan
ritus bersama. Dalam upacara yang dilakukan para anggota klan menegaskan
komitmen pada klan. Dlam suasana upacara yang gembira, mereka membiarkan
diri mereka yang profan-tenggelam dalam klan yang tunggal, menyatukan
identitas mereka ke dalam klan yang tunggal atau umum. Dalam upacara mereka
meninggalkan urusan keseharian, sebaliknya mereka masuk ke wilayah yang
umum dan besar. Mereka memasuki wilayah yang sakral dengan khitmat.

36
Ibid hal 175

43
Implikasi dari totemisme

Totem merupakan objek yang konkret dan riil, bentuknya diukir pada
kayu atau batu. Hal ini mengimplikasikan bahwa masyarakat atau klan yang
menuntut kesetiaan dari para anggota, bukanlah sesuatu yang dibayangkan, akan
tetapi sesuatu yang riil. Masyarakat juga merupakan sesuatu yang tetap dan
permanen. Binatang dan tanaman menjadi simbol totem yang umum pada klan
oleh karena, klan menginginkan simbol yang konkret dan dekat, sesuatu yang erat
terkait dengan pengalaman sehari-hari.

Totemisme dapat mengimplikasikan kepercayaan kepada roh atau jiwa.


Jiwa milik individu merupakan “klan yang ada di dalam” yang merupakan
sebaran dari jiwa individu yang terdistribusi dalam klan. Jiwa adalah hati nurani
dari aku, suara klan yang ada di dalam, memberitahukan setiap kewajiban
personalnya pada kelompok. Jiwa juga bersifat kekal . bagi orang-orang totem ,
jiwa bersifat abadi merupakan cara lain untuk menyatakan bahwa sementara
individu dapat mati, akan tetapi tidak. Roh-roh leluhur merupakan pecahan dari
masa lalu klan yang masih bertahan hingga sekarang. Pemujaan kepada dewa-
dewa pada dasarnya muncul dari kekekalan jiwa leluhur. Kata Durkheim,” ide
tentang dewa hanyalah suatu perluasan dari pemikiran yang menjelaskan dewa-
dewa suku. Dewa-dewa muncul dari prinsip totemik yang secara perlahan
menembus melalui klan, pertama-tama ke dalam jiwa, kemudian ke leluhur yang
menjadi roh-roh klan, dan akhirnya di luar mereka ke dewa-dewa yang lebih
tinggi dan paling tinggi.

Totemisme dan Ritual

Hal yang terpenting dalam totemisme yaitu ritual. Sentimen atau emosi
agam tidak muncul dalam momen pribadi, akan tetapi dari upacara yang besar.
Dalam pandangan Durkheim, “cult” ata pemujaan, yang terdiri dari peristiwa-
peristiwa tertentu, adalah inti kehidupan bersama suatu klan. Ritual adalah sakral,
dan yang lainnya adalah profan. Tujuan dari ritual yaitu mempromosikan

44
kesadaran klan, untuk membuat orang merasa menjadi bagiannya, dan untuk
memeliharanya dalam cara yang terpisah dari yang profan.

Dalam praktek totem, pemujaan (cult) terbagi dalam dua bentuk yaitu
negatif dan positif. Sementara tipe yang ke tiga yaitu “piacular” atau “penebusan”.
Ritual pemujaan negatif memiliki satu tugas utama: memilihara yang sakral agar
terpisah dari yang profan. Ritual ini terutama berisikan larangan atau taboo.
Untuk memisahkan yang profan dengan yang sakral, kultus negatif menyisihkan
beberapa hari suci untuk perayaan suci; satu dari taboo yang paling umum,yang
melarang melakukan kegiatan rutin dati kehidupan profan. Pekerjaan dan
permainan sehari-hari dilarang, hanya kegiatan suci yang diizinkan.

Peraturan taboo tersebut tampak tidak menyenangkan, namun itulah


tujuannya. Menekankan pada setiap orang akan perlunya mengingkari diri sendiri,
bahkan menahan sakit, demi kepentingan kelompok. Orang yang melakukan
pengingkaran diri (asketis) secara ekstrem pada banyak agama sering dihormati.

Ritual positif atau kultus positif dilakukan pada tempat dan waktu yang
suci. Seperti upacara intichiuma pada orang Aborigin. Di dalam ritus terdapat
aktivitas menangkap totem, membunuh dan memakannya dalam suatu hidangan
yang sakral. Ritual ini menurut Durkheim, memuja totem, dan merayakannya di
depan publik, menyatakan bahwa ia akan setia kepadanya. Sebagai gantinya
dengan memakan totem, setiap orang menerima kembali dari dewa suatu infusi
kekuatan ilahi dan pembaharuan kembali ke dalam jiwa. Di alam ritus , para
pemuja memberi hidup pada dewa mereka, dan dewa mengembalikannya pada
mereka.

Tesis terakhir dari bukunya, Durkheim sampai pada analisis, kepercayaan


dan ritual agama adalah ungkapan simbolik dari realitas sosial. Pemujaan totem
dan pemakanan totem adalah suatu pernyataan kesetiaan kepada klan dan
penegakan kelompok, sebagai suatu cara simbolik bagi setiap anggota untuk
mengatakan bahwa klan selalu memiliki arti lebih dari individu.

45
Fungsi ritual adalah untuk memberi kesempatan kepada individu untuk
memperbarui komitmen mereka kepada komunitas, memperingatkan diri mereka
sendiri bahwa mereka tergantung kepada klan, sebagaimana klan bergantung pada
mereka. Motif dasar dari berbagai ritus, menurut Durkheim adalah sosial.

Ritus Piakular

Ritus piakular adalah ritus klan berupa penebusan dan perkabungan,


yang selalu terjadi setelah kematian atau suatu peristiwa tragis. Menurut
Durkheim, perilaku pelayat menangis keras, memukul-mukul diri mereka pada
waktu upacara kematian merupakan isyarat formal, yang dituntut oleh kebiasaan
semua anggota klan. Ketika seorang meninggal, bukan hanya keluarga dekat yang
melemah, seluruh klan kehilangan anggota, suatu bagian dari kekuatannya. Pada
saat ritus, klan perlu menyusun, menghidupkan kembali, dan menegaskan kembali
dirinya. Ritus piakular menunjukkan kekuatan ganda dari yang sakral. Ritus ini
membantu klan melewatkan bagian-bagian yang lebih gelap saat-saat duka,
malapetaka, ketakutan, atau ketidakpastian yang dapat menimpa komunitas
disetiap zaman dan tempat. Teori Durkheim beranggapan bahwa semua agama-
sebab-sebab itu selalu bersifat sosial. Meskipun lebih sulit dideteksi di dalam
agama-agama yang besar dan dominan di dunia, namun sebab-sebab itu jelas ada
tradisi yang kompleks ini, sebagaimana di dalam totemisme yang paling
sederhana.

Agama bertindak sebagai pembawa sentimen sosial, memberi simbol dan


ritual yang memungkinkan orang mengungkapkan ekspresi yang dalam, yang
melabuhkan mereka pada komunitas mereka. Di sini, contoh yang dapat diambil
mengikuti teori Durkheim, ketika umat Islam melakukan ibadah haji di Mekah
dan melakukan berbagai ritual yang sakral. Sentimen keagamaan yang dimiliki
oleh umat Islam pada ritual itu tampak sebagai kekuatan masyarakat Islam di
dunia. Ikatan umat Islam yang berbeda ras, suku, dan status bersatu untuk
melakukan ibadah bersama-sama. Ritus ibadah haji dengan demikian memiliki
fungsi sosial.

46
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si. (4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke : 11

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan teori agama dari Karl Marx

MATERI
PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG AGAMA

Selintas tentang Marx


Karl Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818, anak kedua dari delapan anak
dalam keluarga Heinrich Marx, seorang pengacara Yahudi yang hidup di kota
kecil yang indah, Rhineland, Trier.37 Marx belajar di Univeristas Berlin, sebuah
universitas yang besar tempat berkumpulnya para sarjana. Pada masa itu
pemikiran G.W. Friederich von Hegel 1970-1831) sangat berpengaruh di Jerman.
Karl Marx merupakah salah seorang murid Hegel, dan tidak hanya mengkaji
pemikiran Hegel, akan tetapi juga melakukan kritikan-kritikan terhadap teorinya.
Karl Marx berkumpul dengan himpunan para sarjana-yang dikenal dengan Young
Hegelians atau Hegelian sayap kiri. Membicarakan Marx tidak bisa dilepaskan
dari sahabatnya Friederich Engels. Mereka adalah orang-orang yang suka berfikir,
namun memiliki bakat yang berbeda. Marx, pemikir yang lebih orisinil, bertindak
sebagai filsuf, seseorang yang sering tidak jelas namun mendalam, Engels adalah

37
Pals, Daniel. Hal 210

47
penafsir dan penyampai yang persuasif. Mereka menulis bersama karena alasan
yang sama, mereka bergabung dan mendukung partai politik yang baru. Pada
tahun 1848, mereka menulis karya yang terkenal , Comunist Manifesto. Marx dan
Engels dikenal sebagai Bapak “Marxisme”.38 Karya besar Marx yang lain yaitu
Capital (1867), buku ini mendukung pemikiran materialismenya.

Asumsi Dasar pemikiran Karl Marx


Pemikiran Marx bertentangan dengan gurunya Friederich Hegel. Hegel
adalah seorang idealis yang menyatakan bahwa hal-hal mental, ide, konsep adalah
fundamental dalam kehidupan manusia. Sedangkan benda-benda atau materi
adalah selalu sekunder. Benda-benda adalah ungkapan fisik dari roh universal
yang dasar, atau ide yang absulut.39 Menurut Karl Marx, materi adalah yang
utama, sementara pikiran sebenarnya hanya refleksi.40 Walaupun Marx dikatakan
bertentangan dengan pemikiran Hegel, gurunya, namun Marx sangat dipengaruhi
pola pikir Hegel sebagai perkembangan pola pikir Marx sendiri secara historis,
dan Hegel selalu sangat dihargai.41
Dua tema utama yang menjadi inti perkembangan pemikiran Marx yaitu:
(1) keyakinan bahwa realitas ekonomi menentukan perilaku manusia; dan (2)
sejarah manusia adalah perjuangan klas, konflik terus – menerus disetiap
masyarakat antara orang-orang yang memiliki benda, biasanya orang-orang kaya,
dengan orang-orang yang harus bekerja untuk hidup, biasanya orang miskin.42

Teori Perjuangan Kelas


Kegiatan yang paling penting dalam hidup manusia adalah kegiatan
ekonomi-produksi unsur-unsur materi. Dalam bukunya communist Manifesto
dinyatakan sebagai berikut:

38
Ibid. Hal 213
39
Ibid, Hal 210
40
Ibid. Hal 212
41
Darmawan,Eko.P, Agama itu Bukan Candu. . Yogyajarta: Resist Book. 2005: 85
42
Ibid Hal 212

48
...sejak kemunculan pertama di dunia, makhluk manusia tidak dimotivasi oleh ide-
ide besar, tetapi akan kepentingan materi yang sangat dasar, kebutuhan-kebutuhan
dasar untuk kelangsungan hidup. Setiap orang membutuhkan makanan, pakaian
dan tempat berteduh. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, yang lain, seperti dorongan
seks, menyusul. Reproduksi kemudian membentuk keluarga dan komunitas, yang
masih menciptakan kebutuhan dan tuntutan materi yang lain. Semua ini hanya
dapat dipenuhi dengan mengembangkan apa yang disebut Marx sebagai suatu
“cara produksi”.
Menurut Marx, pemahaman cara suatu masyarakat mengorganisasi
produksi mereka adalah kunci bagi memahami keseluruhan struktur sosial. 43 Bagi
Marx struktur sosial tidak tercipta secara acak. Terdapat pola secara pasti dalam
cara masyarakat di berbagai tempat di dunia, dalam berbagai masa dalam sejarah.
Mengorganisasikan produksi benda-benda materi. Teori tentang sejarah dan
masyarakat ini disebut dengan materialisme historis.44 Cara-cara memproduksi ini
disebut Marx dengan “mode produksi”, terdapat lima macam yaitu, komunis
primitif, kuno, feodal, kapitalis dan komunis. Selain mode komunis primitif dan
komunis, setiap mode memiliki satu kesamaan sebagai ciri khas, yakni produksi
benda material berbasis kelas. Menurut Marx, pada semua masyarakat non-
komunis-pada mode kuno, feodal dan kapitalis-hanya ada dua kelas yang
penting;yaitu kelas yang memiliki sarana produksi yang disebut dengan kelas
borjuis dan kelas yang tidak mimiliki yang disebut dengan proletar.45
Bagi Marx komunis yang paling awal dalam peradaban manusia
(masayarkat berburu dan meramu) adalah komunis primitif. Pada masyarakat
primitif setiap orang memiliki benda-benda produksi untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Kemilikan benda-benda produksi adalah milik kelompok atau komunal.
Setiap orang adalah bahagian dari kelompok kesukuannya. Tidak ada kepemilikan
individu sehingga tidak ada klas untuk mengeksplotitasi orang lain.

43
Jones, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme hingga Post Modernisme.
Jakarta: YOI. 2009: hal 78
44
Jones. Ibid hal 78
45
Ibid hal 78.

49
Perubahan terjadi ketika cara produksi berubah, dari berburu dan
mengumpulkan makanan ke menanam biji-bijian. Mereka yang kebetulan
memiliki tanah menempatkan diri mereka dalam posisi berkeuntungan besar.
Mereka menjadi majikan, orang lain menjadi tanggungan atau bahkan budak.
Kepemilikan pribadi dan pertanian merupakan dua tanda peradaban awal yang
menciptakan krisis dasar semua manusia; pemisahan klas oleh kekuasaan dan
kekayaan, dan dengan itu dimulai konflik sosial yang permanen.46 Marx
menyebutnya dengan konflik antara kaum borjuis dan kaum proletariat
Perkembangan masyarakat modern dengan majunya cara produksi yang
baru, perdagangan dan pabrikasi, mendatangkan kapitalisme modern.
Memperkenalkan aktivitas komersial dan memperoleh keuntungan dalam skala
besar, kapitalisme mendatangkan kekayaan bagi segelintir orang yang disebut
kaum borjuis atau “kelas menegah”. Sedangkan kelas pekerja atau yang disebut
“proletariat” hampir tidak memiliki apa-apa. Mereka bekerja untuk mendapatkan
upah, hanya untuk dapat bertahan hidup. Kapitalisme industri mengahsilakn
konflik antra kelaa hingga ke titik puncak. Periode penderitaan kaum proletar dan
hanya dapat dipecahkan dengan cara revolusi. Perjuang kelas, antara kaum
proletar terhadap kaum borjuis, dengan cara-cara kekerasan untuk menumbangkan
seluruh tatanan sosial dan ekonomi yang menindas. Pada waktunya situasi akan
kembali terkontrol, dan masanya tidak ada lagi kelas atau kepemilikan pribadi
(mode komunis).

Alienasi
Ide alienasi dan sejarah terus berjalan melalui suatu proses konflik yang
luas diperoleh Marx dari Hegel. Menurut Marx, alienasi dan kemajuan sejarah
tidak berakat melalui ide, akan tetapi dalam realitas kehidupan material yang
mendasar. Untuk memahami alienasi, dapat dilihat betapa sangat pentingnya fakta
kerja ekonomi setiap hari bagi setiap orang yang hidup.kerja adalah aktivitas
bebas manusia ketika mendukung atau mengadakan kehidupan sosial mereka
melawan alam. Kerja seharusnya bersifat, kaya, kreatif, bervariasi dan

46
Ibid hal 218

50
memuaskan, suatu ekspresi seluruh kepribadian.47 Di dalam kenyataan, manusia
merasa teralienasi dengan produksi atau apa yang dikerjakannya. Manusia juga
teralienasi dengan dirinya sendiri. Alienasi semakin diperburuk dengan datangnya
kapitalisme industri modern.
Base (struktur) dan suprastruktur
Sepanjang sejarah, fakta-fakta ekonomi telah menjadi dasar (base)
kehidupan sosial. Beberapa bidang kehidupan lain, seperti agama, etika, filsafat
termasuk ke dalam suprastruktur. Lebih jauh, base menentukan suprastruktur.
Seperti negara, Marx menyatakan bahwa negara mewakili keinginan kelas yang
berkuasa, kelompok yang dominan. Negara melakukan kontrol yang kuat terhadap
yang dikuasainya dan menggunakan suprastruktur kultural untuk mencapai tujuan
yang sama. Dalam banyak kasus, kata Marx, suprastruktur yang berupa politik
dan agama sebenarnya dikontrol oleh landasan ekonomi dan dinamika perang
kelas.48

Agama Candu Masyarakat


Pernyataan Marx yang terkenal tentang agama yaitu; “Agama Candu
masyarakat”. Kata candu atau opium yaitu getah bahan baku narkotika yang
diperoleh dari bunga candu (Papaver somniferum L.) yang belum matang. Opium
mentah ini bisa diproses secara sederhana hingga menjadi candu siap konsumsi.
Kalau getah ini diekstrak lagi, akan dihasilkan morfin. Morfin yang diekstrak
lebih lanjut akan menghasilkan heroin. Limbah ekstrasi ini kalau diolah lagi akan
menjadi narkotik murah seperti "sabu".49 Efek dari candu yaitu bagi pengguna
yaitu dapat memunculkan halusinasi, rasa senang dan gembira untuk sementara
waktu dan penurunan kesadaran. Dapat meneimbulkan kecanduan, seseorang
yang sudah mengkonsumsi biasanya akan ingin dan ingin lagi.50
Agama sebagai “candu” yang dimaksudkan oleh Marx terkait dengan
teorinya tentang adanya pembagian klas yaitu kelas Borjois dan kelas proletar.

47
Pals, Daniel L. Hal. 223.
48
Ibid hal 31
49
http://id.wikipedia.org/wiki/Opium diakses 26/10/2013
50
http://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diakses 26/10/2013

51
Kaum Borjuis dan proletar memiliki agama yang sama, namun refleksi dari
keberagamaan itu berbeda. Bagi kaum proletar agama merupakan keluh kesah
makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berperasaan, dan jiwa dari
kondisi-kondisi yang mati. Ketika mendengarkan misa, berbicara tentang sorga,
kaum tertindas membayangkan kehidupan yang indah yang tidak mereka
dapatkan dalam kehidupan yang nyata. Agama membuat kaum proletar
berhalusinasi tentang sorga yang indah, kehidupan yang indah yang tidak mereka
dapatkan. Agama Bagi Marx, di tangan dan doa kaum papa dan tertindas, agama
berubah menjadi “protes”; ia merupakan perlawanan terhadap penderitaan yang
nyata. Bukan penderitaan yang mengilusi seperti rasa takut hukuman Tuhan, atau
penderitaan yang disebabkan oleh sejumlah “dosa” yang diwarisi dari kehidupan
sebelumnya.51 Esensi agama bagi Marx yaitu menyuarakan penderitaan. Marx
menolak Agama sebagai kebahagiaan yang mengilusi, mengenai kondisi mereka
(proletar) merupakan seruan untuk menghentikan kondisi yang mendatangkan
ilusi tersebut. Kritisisme agama, karenanya, melahirkan kritisisme terhadap agama
yang dijadikan sekadar hiburan bagi penderita.52 Mereka yang tertindas tidak
hanya ingin sekedar hiburan akan tetapi juga perubahan. Tapi agama, menyajikan
dirinya sekedar sebagai penjelasan mengenai penderitaan itu (dogma) atau
semata-mata ritual agama Marx (praktik) yang membuat penderitaan dapat
dinikmati. Bagaikan candu, agama menutupi penderitaan tanpa menghapuskannya
secara nyata.53
Bagi kaum borjuis, sebagai penguasa agama merupakan refleksi dari
kekuasaannya. Ketika gereja dipisahkan antara gereja milik kalangan orang kaya
dengan milik kalangan buruh, ini menunjukkan kekuasaan mereka karena gereja
mereka berbeda secara lahiriah. Fasilitas gereja lebih bagus dengan altar yang
indah, orang-orang jamaat yang datang dengan menggunakan pakaian yang indah.
Dengan demikian agama mengukuhkan kekuasaan mereka di atas yang lain.

51
Raines, John. Marx Tentang Agama. Jakarta: Teraju. 2003 hal xx
52
Raines, John.hal xx1v
53
Rainer,John.hal 85

52
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si.(4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke : 12

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan teori agama dari E.E. Evans-Pritchard

MATERI
E.E. EVANS-PRITCHARD: AGAMA ORANG AZANDE DAN NUER

Kehidupan dan karir E.E. Evans Pritchard

E.E. Evans Pritchard adalah salah seorang tokoh besar dalam


antropologi modern. Evans-Pritchard lahir di tahun 1902, anak kedua dar seorang
pendeta gereja di Inggris. Kuliah di Oxford University dalam bidang sejarah
modern. Pada tahun 1923 memulai pelajaran tingkat sarjana di London School of
Economic. Di London, ia belajar dengan C.G. Seligman, seorang antropolog
profesional pertama yang melakukan kerja lapangan di Afrika. Dan dibimbing
juga oleh Bronislaw Malinowski, adalah antropolog pertama yang melakukan riset
dalam bahasa yang asli dan menyelamkan diri sepenuhnya ke dalam kehidupan
setiap hari sebuah komunitas primitif.

Evan Pritchard melakukan penelitian di daerah Sudan, Afrika Timur


antara tahun 1926-1931 dalam menulis disertasinya. Antara tahun 1930-1936,

53
melanjutkan kerja lapangan di kalangan suku Nuer, Sudan. Pada tahun 1937
menerbitkan karya besarnya yang pertama, Witchcraft,Oracles, and Magic among
the Azande. Buku-bukunya yang lain banyak terbit setelahnya seperti Nuer
Religion (1956), Social Anthropology (1951), Essay in Social Anthropology
(1962), Theorist and Primitive Religion (1965), dan lainnya.

Witchraft,Oracles, and Magic among the Azande

Magi (magic) menurut Evans Pritchard yaitu kepercayaan bahwa


beberapa aspek kehidupan dapat dikontrol dengan kekuatan mistik atau kekuatan
supernatural. Banyak orang modern termasuk Evans pritchard tidak mempercayai
magi, namun kenapa orang Azande mempercayainya? Pritchard mencoba
memahami hal ini. Evans Pritchard menolak pandangan Tylor dan Frazer yang
menyatakan bahwa orang primitif sebagian bersikap tradisional dan kekanak-
kanankan. Berdasarkan bukti di lapangan yang dilakukan oleh Pritchard terhadap
orang Azande, orang Azande sangat lah logis, punya rasa ingin tahu dan penuh
selidik. Secara keseluruhan “mereka luar biasa cerdas, berpengalaman, dan
progresif. Sedangkan kehidupan Azande yang penting diserahkan kepada ramalan,
magi dan pelaksanaan ritual yang lain.Mereka menyerahkan landasan sehari-hari
kepada ide-ide mistik dan praktik ritual, mereka secara bebas berbicara hal itu,
tanpa takut.54

Ilmu sihir (witchraft) bagi orang Azande merujuk kepada substansi fisik
yang dimiliki oleh beberapa peran di dalam tubuh yang tak dikenal oleh diri
mereka. Substansi itu adalah warisan dan dapat ditemukan dalam tubuh mereka
setelah mati. Substansi itu menurut Evans Pritchard yaitu sebuah massa yang
hitam di dalam usus yang kecil, tak lebih dari sekadar makanan yang belum
dicerna. Namun, Suku Azande percaya bahwa substansi itu tampak semata-mata
fisik dan alami, ia beroperasi secara mistik untuk menimbulkan kemalangan,
terutama sakit pada orang lain.

54
Pals, Daniel.hal 347

54
Ilmu sihir dirujuk oleh suku Azande terutama untuk hal yang
berhubungan dengan peristiwa yang tidak menguntungkan, yang secara langsung
tidak dapat dijelaskan dengan kesalahan yang biasa. Jika terjadi sesuatu terhadap
panen, atau orang Azande maka selalu ada komat-kamit ilmu sihir, namun jika
petaka yang sangat serius terjadi, yang akan merengut nyawa seseorang maka
menurut alam pikiran orang Azande, hal ini pasti disebabkan oleh ilmu sihir.
Orang yang punya ilmu sihir dan menyebabkan kesalahan ini harus ditemukan.

Untuk menemukan pemilik ilmu sihir maka orang Azande melakukan


ramalan racun. Seseorang memasukkan racun pada seekor ayam dan pada saat
yang bersamaan menanyakan persoaaln yang dapat dijawab dengan ya atau
tidak. Selanjutnya diikuti dengan prosedur, membuat tuduhan sebuah ritual “ air
yang memadamkan”, dimana yang dituduh setuju untuk “mendinginkan” ilmu
sihirnya, yang sedang menelan jiwa seseorang, dan semua kemudian dianggap
berakhir. Jika korban telah meninggal maka, balas dendam harus dilakukan. Pada
masa lalu, perbuatan seperti itu melibatkan dukun sihir yang dituduh, namun pada
saat di lapangan Evans Pritchard menemukan, yang harus dilakukan adalah
pemberian kompensasi terhadap keluarga. Selain daripada itu, balas dendam tidak
dapat dinyatakan jika tidak dikukuhkan oleh ramalan racun yang dimiliki oleh
tokoh pada masyarakat Azande yang merupakan golongan yang berkuasa dan
membuat keputusan final.55

Evans Pritchard telah menunjukkan bagaimana dari persfektif orang


Azande, ilmu sihir dan magi merupakan sebuah sistem yang rasional dan
koheren,dan memainkan peran sentral dalam kehidupan sosial. Ia menawarkan
suatu keterangan yang masuk akal tentang kemalangan personal. Ia juga
memberikan penjelasan melalui sebab-sebab natural , karena orang Azande juga
mempercayainya. Orang Azande tidak mengkompetisikan antara sain pada satu
sisi dengan sistem mereka tentang magi, ramalan, ilmu sihir dan agama pada sisi

55
Ibid, Hal 349

55
lain. Magi dan agama tidak digantikan oleh sains; mereka sekedar berjalan
berdampingan dan bersama.56

Ilmu sihir fungsional bagi orang Azande untuk melayani tujuan-tujuan


sosial yang bermanfaat lainnya. Ilmu sihir dan magi tidak hanya bertindak sebagai
pondasi urusan legal tetapi juga mengatur moral orang Azande. Peluang untuk
berbuat jahat dikurangi karena adanya prosedur rutin untuk menentukan identitas
orang yang telah menyebabkan kemalangan dengan ilmu sihirnya. Mereka yang
berbuat jahat akan mendapat hukuman. Seperti yang diungkapkan Evans
Pritchard, “kepercayaan ilmu sihir juga mencakup sebuah sistem yang mengatur
perilaku manusia”57

Evans Pritchard juga mengemukakan bagaimana orang Azande


“menyelamatkan sistem” yang mereka miliki. Apabila racun tidak bekerja maka
mereka mengumumkan bahwa itu mungkin dilakukan dengan tidak tepat. Jika
suatu obat tidak manjur, maka mereka mengadukan dengan obat lain yang tanpak
lebih manjur. Dari persfektif kita orang Azande mungkin salah, tapi bagi orang
Azande, mereka betul-betul berfikir secara rasional di dalam batas yang diizinkan
oleh kebudayaan mereka. Kepercayaan mereka bersandar kepada kepercayaan
yang besar, dan prinsip dasar mereka pelihara dengan sangat baik.

Agama Orang Nuer

Orang Nuer, sebuah sukubangsa yang tinggal dekat dengan sukubangsa


Azande, namun memiliki karakter, kebudayaan dan tradisi yang sangat berbeda.
Evans Pritchard melakukan penelitian lapangan yang lama pada masyarakat Nuer,
yaitu dari tahun 1930-1936. Menurutnya, jika tidak diteliti secara mendalam maka
orang akan berfikiran bahwa orang Nuer tidak memiliki agama. Karena tidak ada
ritual khusus yang dilakukan, namun sebenarnya orang Nuer memiliki agama.

Agama orang Nuer terpusat kepada konsep kwoth atau roh. Pemikiran
mereka yang pertama dan yang paing utama adalah Tuhan, suatu wujud yang

56
Ibid, hal 351
57
Ibid, hal 352

56
mereka kenal dengan Kwoth Nhial , “Roh dari (di dalam) langit”. Dia adalah
pencipta semua makhluk, tak nampak namun hadir dimana-mana, penopang dan
pengambil kehidupan, penegak cuong atau apa yang secara moral jujur, baik dan
benar. Kwoth Nhial terutama Tuhan yang tanpa pamrih mencintai makhluk
manusia yang ia ciptakan. Orang Nuer sangat sadar akan pengawasan Tuhan
dalam kehidupan mereka.58

Kepercayaan bahwa Tuhan mengawasi kehidupan manusia sangat kuat,


sehingga jika ada masalah dalam kehidupan harus diterima sebagaimana adanya,
sepertijika ada yang mati karena disambar petir, mereka tidak berduka cita atau
menyelenggarakan pemakaman yang normal. Mereka menerima bahwa Tuhan
mengambil kembali kembali miliknya. Orang Nuer percaya bahwa kemalangan
yang mereka peroleh dilihat sebagai kesalahan yang telah mereka lakukan,
sebagai nasib sial atas pelanggaran yang telah dilakukan.

Roh dalam pemikiran orang Nuer dikelompokkan atas:

 “ roh-roh atas” yakni roh-roh yang hidup di udara dan


 “roh-roh bawah” yakni roh-roh yang berhubungan erat dengan
bumi.
Roh-roh (Kuth) atas misalnya deng, anak Tuhan; mani, roh yang memimpin
perang; wiu dewa kumpulan klan, ibu deng berhubungan dengan sungai dan arus.
Colwic adalah roh yang berkelas khusus; yaitu roh yang diciptakan secara
langsung dari makhluk manusia yang disambar petir. Orang yang meninggal
karena disambar petir tidak dimakamkan secara normal, karena adanya pemikiran
bagi masyarakat Nuer bahwa orang yang meninggal tersebut akan menjadi roh
(kuth) dalam bentuk roh udara dan bertindak sebagai pelindung keluarga mereka.
Mengenai adanya konsep kwoth nhial (Tuhan) dan kuth nhial (roh-roh
udara) dijelaskan bahwa roh-roh yang banyak namun adalah satu. Tuhan
termanifestasikan dalam beberapa hal, masuk pada setiap dari mereka.Tuhan

58
Ibid hal 356

57
adalah bukan suatu roh udara yang partikular tetapi roh itu adalah bayangan dari
Tuhan. 59
“Roh-roh bawah” yang berhubungan erat dengan bumi, roh-roh ini
dianggap jauh lebih rendah dibandingkan roh-roh yang udara. Orang Nuer
mengenal roh-roh totem yang mereka hubungkan dengan spesies binatang seperti
buaya, singa, kadal, ular, burung dan tanaman, labu, sungai dan arus.Orang Nuer
membedakan binatang totem dengan roh totem walaupun ada kaitannya. Mereka
menaggap binatang totem sebagai simbol fisik dari roh totem, yang merupakan
manifestasi dari kwoth. Binatang totem tidak penting dibandingkan dengan roh
totem. Roh totem tidak penting dibandingkan roh-roh udara, Namun roh-roh udara
tetap berhubungan dengan simbol fisik orang Nuer, yaitu binatang totem.60

Agama dan Refraksi di Dalam Tatanan Sosial

Social refraction dari agama dimaksudkan oleh Evans Pritchard bahwa


Roh atau Tuhan “terefraksi” ke dalam berbagai kelompok atau tingkat kekuatan
ilahi yang berlaku dalam suatu cara tertentu bagi berbagai kelompok sosial atau
klan. Orang Nuer menyembah Tuhan seperti yang disimbolkan, dalam
hubungannya dengan silsilah keluarga, klan atau kelompok sosial tertentu.
Hirarkhi roh ditunjukkan seperti dimensi politik, sbb:61

 Tuhan sebagai Raja


 Roh-roh udara sebagai kalangan bangsawan
 Roh-roh totem bersifat spiritual disimbolkan dalam bentuk
binatang dan tanaman
 Fetish

Orang Nuer membedakan terang dengan gelap sebagai simbolisasi dari terang
yakni roh-roh udara, dan gelap adalah roh-roh bawah.

59
Ibid hal 358
60
Ibid hal 360
61
Ibid hal 362

58
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si.(4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke : 13

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan teori agama dari Clifford Geertz

MATERI
CLIFFORD GEERTZ: AGAMA SEBAGAI SISTEM SIMBOL

Kehidupan dan Karir

Clifford Geertz lahir di San Fransisco, California, tahun 1926. Setelah


selesai pendidikan SMA, ia memasuki Antioch College di Ohio dalam bidang
filasafat. Ia melanjutkan studi antropologi di Harvard University. Pada tahun
1956 memperoleh gelar Doktor. Untuk disertasinya Cliffoed Geertz melakukan
penelitian di pulau Jawa. Dengan istrinya Hiddred Geertz, kembali melakukan
penelitian lapangan ke pulau Bali. Pada tahun 1958, setelah menyelesaikan studi
lapangan di Bali, Geertz menjadi dosen di University California di Berkeley. Ia
kemudian pindah ke University of Chicago selama sepuluh tahun, dari tahun
1960-1970. Pada tahun 1960, ia menerbitkan buku berjudul The Religion of Java.
Setelah melakukan kerja di Indonesia, ia memperluas kerja lapangan lebih lanjut
ke dalam kebudayaan Islam Maroko di Afrika Tenggara. Sebagai hasilnya, di
dalam Islam Observed (1968), ia dapat membuat studi perbandingan tentang suatu
agama besar-Islam- ketika agama itu mengambil bentuk di dalam dua latar

59
belakang kebudayaan yang betul-betul berbeda. Banyak tulisan yang dihasilkan
oleh Geertsz seperti, The Interpretation of Cultures (1973), Local Knowledge
(1983), dan sebagainya.

Teori Sosial dan Antropologi

Clifford Geertz mempelajari antropologi di Amerika Serikat, Harvard


University sebuah universitas terkemuka di dunia. Pada abad ke ke 20, penelitian
antropologi telah profesional di bawah kepemimpinan Frans Boas (1958-1942),
teman sezamannya yang lebih muda Alfred Louis Kroeber (1876-1960), dan
Robert Lowie (1883-1957).

Para tokoh perintis Amerika telah menegaskan bahwa setiap teori harus
berasal dari etnografi “partikular” yang teliti, suatu jenis studi yang berpusat pada
satu komunitas dan mungkin memakan waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluh
tahun untuk menyelesaikannya. Disamping kerja lapangan, Boas, Kroeber dan
Lowie memberi tekanan pada “budaya” sebagai unit kunci studi antropologi.
Mereka menegaskan bahwa di dalam studi lapangan, mereka tidak hanya meneliti
sebuah masyarakat-seperti yang diduga oleh beberapa sarjana Eropa-tetapi suatu
sistem ide, adat-istiadat, sikap, simbol dan institusi yang lebih luas dimana
masyarakat hanyalah suatu bagian. Geertz sangat dipengarui oleh pola pikir tokoh
Amerika tersebut dalam memahami kebudayaan, dan juga tokoh sosiologi Talcott
Parsons dan Max Weber.

Kebudayaan dan Interpretasi: Metode dan “Deskripsi Mendalam” (Thick


Description)

Di dalam bukunya, Thick Description: Towar an Interpretive Theory of


Culture. Di dalam buku tersebut, ia pertama-tama menunjukkan bahwa meskipun
istilah “budaya” cenderung memiliki arti berbagai hal bagi para antropolog,
namun ciri kunci dari kata itu adalah ide tentang “makna” atau “signifikansi”.
Manusia, kata Geertz, mengutip Max Weber, adalah “seekor binatang yang
digantung di jaringan makna yang ia bentangkan sendiri”.Untuk menjelaskan
kebudayaan manusia lain, yaitu dengan metode yang digambarkan oleh

60
antropolog Inggris, Gilbert Ryle sebagai “Deskripsi mendalam” (Thick
Description). Menurut Geertz, bahwa etnografi dan begitu pula dengan semua
antropologi, selama merupakan masalah deskripsi mendalam. Tugas antropolog
adalah untuk melihat arti, untuk menemukan maksud di balik apa yang dilakukan
orang, signifaknsi ritual, strutur, dan kepercayaannya bagi semua kehidupan dan
pemikiran.62

Makna dipahami sebagai milik bersama, kebudayaan merupakan milik


publik, atau seperti kata Geertz, kebudayaan secara sosial terdiri atas struktur yang
mapan, di mana orang-orang melakukan hal-hal semacam itu sebagai konspirasi
yang jelas dan bergabung di dalamnya. Kebudayaan bukan hanya tentang makna,
seolah-oleh ia adalah sistem simbol yang dapat berdiri sendiri. Perilaku atau
tindakan harus juga diamati, “ karena melalui arus perilakulah-atau lebih tepatnya
–tindakan sosial-bentuk-bentuk kebudayaan menemukan artikulasi” hal yang
perlu dicermati, para antropolog interpretif, analisis budaya selalu merupakan
masalah “menduga-duga makna makna, mengira-gira dugaan dan menarik
kesimpulan penjelasan.”

Penelitian antropologi dengan Thick description dapat dilakukan pada


tingkat mikro. Antropologi paradigma interpretif menggarap miniatur etnografis,
subjek-subjek berskala kecil seperti klan, suku atau desa yang sistem budayanya
dapat dirancang di dalam karakteristik terinci dari setiap subjek. “Analisis budaya
bukanlah sebuah sains eksperimental yang mencari suatu kaidah, tetapi suatu
sains interpretif yang mencari makna”63

Interpretasi Budaya dan Agama

Studi pertama Clifford Geertz mengenai agama yaitu ditulis dalam


bukunya: The Religion of Java (1960). Buku ini adalah studi partikular tentang
suatu suku tertentu yang sangat diketahui oleh Geertz melalui penelltian
mendalam ke dalam bahasa dan kebudayaan orang Jawa. Buku ini menjelajahi

62
Pals, Daniels, hal 409
63
Pals, Daniel,hal 411

61
secara rinci keterjalinan yang kompleks antara tradisi keagamaan muslim, Hindu
dan animistik penduduk asli. Melalui simbol, ritual, ide dan adat kebiasaannya,
Geertz menemukan adanya pengaruh agama dalam setiap celah kehidupan
masyarakat Jawa.

Secara rinci pemikiran Geertz mengenai agama sebagai sistem budaya


ditulis dalam esai, dan diterbitkan pada tahun1966. Kemudian dimasukkan dalam
bukunya The Interpretaton of Culture”. Kebudayaan sebagai sistem budaya, maka
yang dijelaskan terutama yaitu apa yang dimaksud dengan kebudayaan.
Kebudayaan menurut Geertz yaitu “susunan arti” atau ide, yang dibawa simbol,
tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan
mengekspresikan sikap mereka terhadapnya.64 Sedangkan agama sebagai sistem
budaya, agama menurut Geertz adalah 1) sebuah sistem simbol yang berperan, 2)
membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama di
dalam diri manusia dengan cara, 3) merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang
umum dan, 4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas
semacam itu sehingga,5) suasana hati dan motivasi tanpak realistik secara unik.
Sistem simbol dimaksudkan oleh Geertz yaitu segala sesuatu yang membawa dan
menyampaikan suatu ide kepada orang, suatu objek, suatu peristiwa, suatu ritual,
atau tindakan tanpa kata seperti, gerak isyarat. 65ide dan simbol bukan merupakan
masalah pribadi, namun bersifat publik. Simbol-simbol keagamaan, meskipun
masuk ke dalam pribadi individu, namun dapat diamati terlepas dari diri individu.

Simbol dikatakan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat dan
tahan lama, dimaksudkan agama membuat orang merasakan sesuatu dan juga
ingin melakukan sesuatu. Motivasi memiliki tujuan, dan ia dibimbing oleh
serangkaian nilai yang abadi-apa yang memiliki arti bagi orang, apa yang mereka
anggap baik atau benar.66 Suasana hati muncul karena agama mengisi dirinya
dengan suasana yang sangat penting. Pada satu sisi berdiri konsepsi tentang dunia,
sedangkan pada sisi lain berdiri serangkaian suasana hati dan motivasi yang
64
Ibid hal 414
65
Ibid 414
66
Ibid 415

62
dibimbing oleh ide-ide moral, secara bersama-sama keduanya terletak pada inti
agama. Geertz meringkas kedua elemen tersebut pada “pandangan dunia” dan
“etos”.

Selanjut Geertz menjelaskan bahwa agama menandai suatu wilayah


kehidupan yang memiliki status yang khusus. Apa yang memisahkan agama
dengan sistem budaya yaitu simbol-simbol. Di dalam ritual orang-orang
tercengkeram oleh perasaan dan realitas yang memaksa. Di dalam ritual, “suasana
hati dan motivasi” kaum beriman religius berkesesuaian dengan pandangan dunia.
Di dalam ritual, terjadi “suatu perpaduan simbolik antara etos dengan pandangan
dunia”.

Menurut Geertz, setiap studi tentang agama, selalu menuntut dua tahapan
operasi. Pertama harus menganalisis serangkaian makna yang terdapat dalam
simbol agama itu sendiri. Kedua, karena simbol sangat berhubungan dengan
struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya, hubungan-hubungan
itu harus ditemukan di sepanjang sirkuit sinyal yang terus-menerus diberi,
diterima, dan dikembalikan.67

Menafsirkan Agama Bali

Geertz menulis artikel dengan judul “ Internal Conversion’ in


Contemporary Bali” diterbitkan pada tahun 1964. Dengan menggunakan
pandangan Max Weber tentang dua tipe agama: “yang tradisional” dan “yang
dirasionalisasikan” Clifford Geertz menjelaskan agama orang Bali. Agama orang
Bali yaitu Hindu, namun agama Hindu Bali merupakan agama tradisional. Di
dalam agama itu, tidak ada teologi yang dirasionalisasikan, sebaliknya ritual dapat
diamati dalam keseharian. Ada ribuan kuil, seseorang dapat masuk dalam lusinan
kuil.upacar-upacara dilaksanakan sangat terkait dengan struktur sosial. Para
pendeta lokal yang termasuk dalam kasta brahmana menemukan tingkatan sosial
didukung oleh status spritual mereka yang khusus. Setiap anggota kasta
Brahmana “memiliki” sekelompok pengikut berkasta lebih rendah yang

67
Ibid 419

63
mengasosiasikannya dengan Tuhan, sementara ia sendiri menyebut para pengikut
sebagai “klien”nya Para Brahmana mengadakan upacara-upacara besar, secara
simbolik mengingatkan orang-orang akan tempat mereka yang tepat menurut
skala sosial. Kultus kematian dan ilmu sihir, atau agama magi masih tetap
bertahan.

Perubahan sosial yang terjadi di Bali, terutama dengan datangnya


kemerdekaan, perbaikan di bidang pendidikan modern, kesadaran politik dan
komunikasi dan kontak dengan dunia luar megakibatkan apa yang disebut Weber
dengan “proses konversi internal”. Yaitu mengubah cara-cara pemujaan
tradisional ke suatu yang secara perlahan-lahan, mulai menerima ciri agama dunia
yang dirasionalisasikan.68 Menurut Geertz “ dengan melihat secara dekat apa yang
terjadi di pulau Bali selama beberapa dekade yang akan datang, kita mungkin
dapat mengerti dinamika agama dari suatu kekhususan dan suatu kesiapan yang
setelah terjadi, tidak pernah diberikan kepada kita oleh sejarah”.69

Islam Observerd

Islam Observer (1968), merupakan karya Geertz dalam melakukan studi


lapangan di dua daerah yang menganut agama Islam yaitu; Indonesia dan Maroko.
Menurut Geertz, di Indonesia dan Maroko, corak-corak Islam klasik adalah
“mistik”; corak-corak itu mencoba membawa umat ke hadirat Tuhan secara
langsung. Namun kisah-kisah tentang para wali Islam menunjukkan betapa beda
bentuk mistik di dalam Islam. Mistisime dari sunan Kalijaga sangat berlawanan
dengan kesalehan “murobitun” yang agresif dari Lyusi. Meskipun sama-sama
Islam, namun kedua agama ini memperlihatkan “suasana hati dan motivasi” yang
berbeda.

68
Ibid hal 423
69
Ibi hal 424

64
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si.(4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke : 14

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan teori Memesis dari Rene Girard

MATERI
TEORI MEMESIS RENE GIRARD

Hidup dan Karir

Rene Girard lahir di Avignon, Prancis, persis pada hari Natal 1923,
ayahnya adalah pegawai dinas arsip kota. Meski ibunya seorang katolik yang taat,
namun Girard sejak usia sepuluh tahun sudah acuh terhadap kehidupan agama. Ia
belajar sejarah dan menulis disertasi yang berjudul Private Life in Avignon in the
Second Half of the Fifteenth Century (1947). Girard menyelesaikan doktorat yang
kedua di Indiana University, kemudian menjadi guru besar sastra di John Hopkins
University, Baltimore, tahun 1961-1968. Tahun 1966, bersama dengan Roland
Barthes, Jacques Derrida, dan Jacques Lacan, Girard mengorganisir simposium
bertema “The Language of Criticism and Sciences of Man”. Pada tahun 1980
sampai masa purna bakri 1995, Girard menjadi guru besar bahasa, sastra, dan
kebudayaan Prancis di Stanford University, California. Sampai sekarang ia hidup

65
di Stanford, bersama Martha, istrinya. Mereka dikarunia tiga anak, dan beberapa
cucu.
Rene Girard kembali ke agama “bertobat” menjad katolik pada tahun
1959. Hal ini diawali dengan pertobatan intelektual, kemudian ia merasakan
pertobatan religius. Hal ini terjadi ketika ia menulis novel. Bagi Girard sastra
tidak bisa dilepaskan dari dari kehidupan masyarakat. Dari novel-novel besar
yang ia teliti terkandung kebenaran berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Kemudian ia melakukan penelitian di bidang antropologi, mitologi, dan ritual. Ia
menunjukkan kebenaran itu sungguh operasional dalam terjadinya agama dan
pembentukan masyarakat. Teori kambing hitam menerangkan hubungan antara
agama dengan kekerasan. Pada periode berikutnya , dengan amat intensif Girard
meneliti kristianitas dan agama kristen, berdasarkan penemuan-penemuannya di
bidang sastra dan antropologi.

Korban Hasrat Segitiga


Teori Rene Girard disebut dengan hasrat segitiga (trianguler desire),
mediator

Subjek Objek

Subjek maksudnya orang yang menghasratkan sesuatu, objek maksudnya


sesuatu yang diinginkan atau menjadi hasrat seseorang, sedangkan seseorang yang
menghasratkan sesuatu membutuhkan model yang dinamakan dengan mediator
hasrat (mediator of desire).

Girard menyajikan teori hasrat segitiga pada bukunya Deceit, Desire and
The Novel (1965), melalui karya sastra dari Miguel de Cervantes (1547-1616),
yang menceritakan tentang Don Quixote, tokoh kesatria yang sangat fantastis
malahan bisa disebut idiot daripada kesatria. Don Quixote ingin menjadi
pahlawan, dan pantang menyerah dalam mencapai cita-citanya.

66
Menurut Girard, Don Quixote ingin jadi pahlawan bukan karena
kepahlawan (objek) yang demikian menariknya, bukan pula karena Don Quixote
sendiri (subjek) memang menghasratkannya. Don Quixote ingin jadi pahlawan
karena Amadis, sang pahlawan, yang menjadi tokoh idolanya, tokoh panutannya.
Menurut Girard, Don Quixote telah menyerahkan haknya pada Amadis. Amadis
lah model yang memilihkan dan menentukan objek-objek dari hasrat De Quixote.
Girard menamakan model itu sebagai mediator hasrat. 70

Hubungan Don Quixote terhadap Amadis adalah pola umum dan


dasariah bagi setiap kisah kepahlawan lainnya. Eksistensi kepahlawanan adalah
imitatio (peniruan), seperti peniruan Don Quixote terhadap Amadis. Bukan
subjek, tapi mediator lah yang menentukan objek bagi subjek. Dan objek yang
dihasratkan subjek, terjadi dan ada karena penentuan dan pilihan mediator.Jadi
subjek dan objek tidak berada dalam hubungan garis linear langsung, melainkan
hubungan segitiga, artinya hubungan subjek dan objek itu selalu harus lewat titik
ketiga, yakni mediator. Karena Mediatorlah yang selalu menentukan dan
memilihkan objek-objek bagi hasrat subjek, maka Girard menyebutkan hubungan
segitiga itu dengan hasrat segitiga (trianguler disire).71 Objek bisa berubah-
berubah, tapi mediator tetap hadir dalam setiap perubahan itu.

Menurut Girard, semua pengetahuan manusia itu adalah sistematis. Maka


kritik sastra, sebagai pengetahuan manusia, juga harus sistematis. Kritik sastra itu
sistematis, dengan demikian mengandaikan bahwa realitas manusia selalu “dapat
dimengerti”. Realitas manusia, walaupun kelihatan tak menentu, irasional dan tida
sistematik. Realtas manusia mempunyai logika utnuk membentuk dirinya sebagai
realitas. Dalam arti itulah realitas manusia tadi merupakan suatu sistem, yakni
pandangan dasar tertentu dalam perilaku manusia yang menghasilkan pola
hubungan antar manusia yang tertentu pula.72

70
Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard. Jakarta: Gramedia. 2002: hal.20-21
71
Ibid hal 21
72
Ibid hal 22

67
Mediator, yang tadinya sebagai model bagi subjek, suatu saat akan
menjadi rival bagi subjek. Hal ini terjadi jika jarak antara subjek dengan mediator
dekat. Jarak ini bukan jarak fisikal atau spasial melainkan jarak spritual, yakni
perbedaan derajat dan pangkat. Namun apabila jarak antara subjek dengan
mediator sangat jauh. Seperti Amadis adalah guru dan dewa bagi Don Quixote.
Don Quixote adalah tuan bagi Sancho sang hamba. Maka mediator sebagai
pesaing bagi subjek tidak muncul. Girard menyebut keadaan ini sebagai mediasi
ekstern. Sedangkan keadaan dimana subjek dengan mediator berada dalam
lingkungan yang sama disebut dengan mediasi intern.73

Mediasi intern menjadi kompleks, karena meditor dengan subjek bisa


berkontak langsung, dan masing-masing saling mengingkari peniruannya,
menjaga gensi keaslian dirinya, menyembunyikan imitasinya. Saling menjaga
gengsi, kebencian muncul dan rivalitas tak dapat dihindari. Perasaan subjek
terpecah menjadi dua antara benci dan kagum terhadap mediator yang disebut
Girard dengan hatred, dengki.74

Teori Mimesis

Hasrat segitiga menjadi isi dari “mimesis” yang selalu muncul dalam
tulisan-tulisan Girard selanjutnya. Girard mengatakan bahwa hastrat segitiga
adalah mimesis.75 Dua pokok pikiran dalam teori mimiesis. Pertama, hasrat
manusia tidak pernah otonom secara sempurna. Hasrat itu mengikuti pola segitiga,
artinya secara tidak langsung mengenai objek yang ditujunya; ia menghasratkan
objek itu lewat suatu jalan putar, yaitu lewat mediator. Pada dirinya sendiri,
manusia tidak mampu menghasratkan sesuatu, ia selalu menghasratkan sesuatu
lewat mediator. Kedua, hasrat segitiga itu, mau tak mau menyimpan rivalitas.
Sebab mediator yang semula adalah model, lama-lama dianggap sebagai rival
yang menghalangi hasratnya. 76

73
Ibid hal 25
74
Ibid hal 26
75
Ibid hal 85
76
Ibid hal 86

68
Menurut Girard, mimesis adalah suatu status metafisik yang dinamis, yan
mendahului individu dan masyarakat, dan menjerat individu, dan masyarakat.
Orang boleh berpendapat bahwa mimesis adalah negatif, tapi tak bisa diingkari
sebagai suatu status ia adalah positif. Teori Girard mengenai mimesis adalah
semacam stuctural geometry, yang sangat rasional. Visi mimesis menjadi penting
dalam pembahasan Girard mengenai asal usul agama dan fungsi agama dalam
menghadapi kekerasan.

Agama dan kekerasan

Karya Rene Girard yang menerangkan hubungan agama dengan


kekerasan yaitu Violence and Sacred (1977). Dalam aktivitas agama terdapat ritus
korban, menurut Girard ritus korban berhubungan dengan kekerasan. Dalam ritus
korban terdapat ambivalensi, disatu pihak, korban itu suatu kewajiban suci.

Dalam ritual korban, praktek kekerasan selalu ada dan memainkan


peranan pada setiap kebudayaan. Joseph de Maistre menyatakan bahwa korban
secara moral tidak bersalah tapi menggantikan yang bersalah, atau secara religius
korban itu suci menggantikan yang tidak suci.77 Girard menolak pandangan ini,
menurutnya korban dalam ritual memiliki fungsi untuk menyalurkan kekerasan.
Girard tidak setuju dengan anggapan bahwa korban berperan sebagai “penebus”,
menurutnya korban itu sendiri suci dan tak bersalah dan ia terpaksa dikorbankan
untuk “menebus” ketidaksucian dan kesalahan dari mereka yang
mengorbankannya. Menurut Girard, orang tidak perlu bicara tentang kualitas
kesucian atau ketidak bersalahan sang korban. Sebab korban perlu hanya sebagai
tempat penyaluran kekerasan.78

Ritus korban dibuat untuk kepentingan apa saja, seperti untuk meminta
hujan, kesuburan tanah, atau keberhasilan panen. Namun tujuan itu adalah
sekunder. Tujuan primer adalahpenghapusan kekerasan, pertikaian, rivalitas, dan
iri hati dalam masyarakat. Gejala alam yang negatif seperti kekeringan bisa

77
Ibid hal 99
78
Ibid hal 101

69
dikembalikan dengan korban.masyarakat hidup tentram, jauh dari pertikaian,
orang mudah membayangkan tanah akan subur dan panen berhasil. Radcliffe
Brown mengatakan bahwa upacara korban mempunyai tujuan yang satu dan sama
yakni mempersatukan masyarakat dan membangun tata tertibnya.79

Menurut Girard, dalam suatu ritus korban perbedaan antara korban


binatang dan manusia tidak relevan. Ritus korban tidak bertolak dari suatu
pandangan nilai, tapi bertolak dari kenyataan adanya kekerasan yang menjangkiti
masyarakat. yang terpenting adalah bagaimana kekerasan dapat dikosongkan.
Ritus korban juga merupakan sarana tindakan kekerasan yang tidak menimbulkan
resiko balas dendam. Tindakan kekerasan tidak akan menimbulkan balas dendam
oleh karena disembunyikan dalam alasan-alasan religius-teologis, yakni bahwa
tindakan itu dikehendaki oleh yang ilahi, bahwa tindakan itu suci.

Teori Kambing Hitam (black goat)

Teori kambing hitam merupakan fase kedua dari teori Girard. Raymund Schwager
meringkas pemikiran Girard sbb:

1. Hasrat manusia pada pokoknya tak terarahkan pada sebuah objek yang
spesifik. Orang menghasratkan sesuatu, karena orang lain menghasratkan
sesuatu tersebut. Ia meniru dan hasratnya diarahkan oleh orang lain yang
ditirunya.
2. Hasrat yang lahir karena mimesis akan mengakibatkan konflik. Sebab
pihak-pihak yang menghasratkan mengarahkan pada hasrat yang sama.
Teladan yang tadi ditiru menjadi rival. Makin hasrat meningkat, makin
orang mengarahkan kepada rival. Rivalitas mau tidak mau mengarah pada
kekerasan.
3. Karena manusia mencederungi tindakan kekeraan, hidup damai di dalam
masyarakat tak dapat diandaikan akan terjadi dengan sendirinya. Akal
sehat maupun maksud baik, tak menjadi jaminan bagi kedamaian itu.
Rivalitas yang terkandung dalam diri setiap orang dengan mudah

79
Ibid hal 106

70
membahayakan tata masyarakat. Untuk menghindari hal itu, orang
mengarahkan kkerasan kepada kambing hitam. Sekarang kesalahan ada
pada pihak kambing hitam, bukan pada mereka. Itulah mekanisme
kambing hitam.
4. Karena mimesis, hasrat mereka berbenturan satu sama lain, menjadi
rivalitas, yang menuntun ke konflik dan melahirkan kekerasan. Karena
Kambing hitam, rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan,
dan amsyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Lewat pengosongan
kolektif terhadap hasrat mimesis yang saling menghancurkan itu, kambing
hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini
disakralkan dan dianggap sebagai pembawa kedamaian. Ia tanpak
sekaligus sebagai yang terkutuk dan pembawa keselamatan. Karena dialah
lahir kekerasan sakral, yang dipraktekkan dalam ritual.
5. Dalam praktik korban, dialihkan kini kekerasan kolektif yang asali
menjadi kekerasan pada kambing hitam. Hal itu diatur dan dikontrol
dengan ketentuan dan aturan ritus yang ketat dan keras. Dengan demikian,
agresi internal dikosongkan keluar, dan masyarakat dipulihkan dari
kehancuran diri.80

Menurut Girard, agama berfungsi untuk “menundukkan kekerasan dan


menjaga supaya kekerasan itu tidak liar. Hal ini tidak ditemukan pada masyarakat
primitif akan tetapi juga masyarakat modern , yang mulai melalaikan sendi-sendi
agama. Girard menyebutnya dengan krisi korbani. Hilangnya ritus-ritus korban,
terjadi berbarengan dengan hilangnya perbedaan antara kekerasan yang impure
dan kekerasan yang mempurifikasikan. Jika sendi-sendi agama mulai guncang,
tidak hanya keamana fisik masyarakat yang terancam, akan tetapi juga seluruh
dasar kultural masyarakat. Jika agaama dan praktik ritualnya mandul, maka
kekerasan akan merajalela di dalam masyarakat.

80
Ibid hal 205

71
BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Mata Kuliah : Antropologi Religi (3 sks)


Nomor Kode : SOA119
Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial
Dosen Mata Kuliah : Adri Febrianto, S.Sos., M.Si.(4428)
Erda Fitriani, S.Sos., M.Si (4450)
Minggu ke : 15

Learning Outcome (Capaian Pembelajaran):

Mahasiswa dapat menjelaskan penggunaan teori dalam Religi Orang Bukit

MATERI
RELIGI ORANG BUKIT

Buku Religi Orang Bukit: Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam
Kehidupan Sosial Ekonomi (2001) ditulis oleh Noerid Haloei Radam. Buku ini
merupakan hasil kerja lapangan di Kalimantan selama 20 bulan, April 1979
hingga November 1980, dan menjadi disertasinya. Masyarakat Bukit yang
dimaksudkan yaitu masyarakat yang mendiami wilayah hulu Sungai Batang Alai,
Sungai Labuhan Amas, dan Sungai Amandit, Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Orang Bukit menempati kawasan yang termasuk kawasan hutan di


pegunungan Meratus. Raymond Kennedy menyatakan bahwa penduduk yang
mendiami Kalimantan Selatan dikelompokkan kepada dua kelompok besar, yakni
Ngaju dan Melayu Pesisir. Menurut H.J. Malinnkrodt, orang-orang yang
mendiami daerah sepanjang aliran sungai Kahayan, Katigan dan Barito
dimasukkan ke dalam rumpun suku Ot Danum. Istilah bukit bisa diartikan
gunung, namun dalam cerita donggeng dan alat-alat upacara orang Bukit,

72
menunjukkan bahwa orang Bukit berasal dari Pesisir.81Radam menyakini bahwa
orang Bukit berasal dari rumpun yang sama dengan Orang Banjar Hulu,
didasarkan atas kesadaran asal-usul nenek moyang, upacara adat dan religi .
Orang Bukit mulanya mendiami tepi-tepi sungai utama dan tepi laut, yang
terdesak ke daerah pedalaman, pegunungan karena adanya kelompok pendatang.82

Hyang Kuasa, Roh Alam dan Datu Nini

Orang Bukit mempercayai adanya sejumlah ilah yang menguasai dan


memelihara diri jasmani manusia, tempat tinggal, peralatan dan perlengkapan
hidup manusia terhadap alam sekitar, flora dan fauna serta benda-benda yang
dipandang sakral. Semua ilah tersebut mempunyai kedudukan yang sama oleh
karena baik diri manusia, alam sekitar, hewan, tumbuhan, gunung dan sungai
tidaklah lebih utama yang satu dari yang lainnya. Namun demikian, semua ilah
tersebut adalah “bawahan” atau pembantu ilah yang lebih tinggi lagi.

Ilah-ilah tersebut memiliki peranan amat menentukan nasib dan


kehidupan manusia sehari-hari. Ilah-ilah tersebut dapat membahagiakan, tetapi
juga sebaliknya dapat menimbulkan bahaya dan bencana. Orang bukit sangat
tergantung kepada ilah-ilah tersebut. Diyakini bahwa ilah-ilah itulah yang
menguasai dan memelihara padi, alam sekitar dan juga diri manusia. Jika orang
Bukit ingin mempersembahkan sesajen kepada ilah utama, maka hal tersebut
tidaklah mungkin terjadi dan melanggar tata cara tanpa melalui ilah-ilah tadi.
Karena itu ilah-ilah tersebut disampaing sebagai ilah bawahan, ilah pendamping
juga dipandang sebagi ilah perantara.

Ilah dikelompokkan kepada tiga kelompok besar: Hiyang kuasa, Roh


Alam, dan Roh Datu Nini. Hiyang kuasa dan Datu Nini berperan memberi
manfaat atau mudarat bagi kehidupan sosial, ekonomi (mata pencaharian), dan
kesehatan perorangan. Roh Alam adalah ilah yang menguasa dan memelihara
alam sekitar, dan juga selalu dikaitkan dengan nasib baik dan nasib jelek.

81
Radam, Noerid Haloei. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta. 2001. Hal 97
82
Ibid Hal 106

73
Keyakinan orang Bukit, ilah-ilah memiliki wilayah kekuasaannya
sendiri-sendiri. Misalnya Pujut, ilah yang menguasai gunung-gunung, hutan,
lembah dan tumbuhan yang berada di sekitar kampung halaman atau balai. Siasia
Banua, diyakini ilah yang memelihara pemukiman yang pernah di huni oleh
generasi terdahulu. Padi dianggap tumbuhan yang berasal dari langit, dan
kemudian dilahirkan di bumi oleh Datu Perempuan Bungsu, padi di bumi
dipelihara oleh Putir. Ilah yang memilihara matahari disebut dengan Bapang, dan
masih banyak lagi.

Konsepsi Tentang Tuhan

Bagaimana pengertian Tuhan bagi orang Bukit? Dalam mite penciptaan


hanya dua ilah lah yang disebut-sebut, yakni suwara dan Jabaril. Kedua ilah ini
diundang dan dipuja-puja sambil menari (dihundangi), pada berbagai upacara adat
dan religi dengan menyebut namanya. Suwara disebut dengan nama Guguhan,
sedangkan jabaril diundang sebagai salah seorang dari sahabat Empat (sahabat
ampat).

Suwara atau Guguhan diyakini sebagai Tuhan Pencipta cikal bakal alam
semesta dan manusia pertama. Adapun kejadian alam semesta selanjutnya adalah
karena perluasan gerak dan dorongan biologis Datu Adam dan Datu Tihawa.
Jabaril sendiri hanya ilah pendamping Suwara yang dalam kehidupan sehari-hari
manusia berada di sebelah depan. Bersama dengan tiga ilah lainnya (Surapil yang
berada di sebalah kanan, Iskail yang berada di sebalah kiri, Mikail yang berada
dibagian belakang) berempat menjadi sahabat manusia, menjaga dan memelihara
manusia dari segala gangguan.

Dalam serangkaian upacara disepanjang kegiatan berladang, Guguhan


dan Nining Baharata dan Sangkanawang, adalah ilah utama yang hanya dipuji
pada satu upacara sentral, yakni Bawanang. Persembahan untuk menyeru
Guguhan, hanya boleh diucapkan oleh guru jaya atau paling rendah oleh balian
tuha. Nining Baharata adalah ilah yang mengatur rezeki dan menetapkan nasib
manusia. Sangkawanang adalah ilah pemberi dan penentu kesakralan padi,

74
membebaskan padi tersebut dari berbagai macam pantangan sehingga boleh
ditumbuk dan ditanak menjadi bahan makanan.

Keyakinan religi orang bukit tentang Tuhan, menunjukkan bahwa Tuhan


yang tertinggi adalah Guguhan, sedang setingkat dibawahnya adalah Nining
Baharata dan Sangkawanang. Di bawah ini dapat dilihat kedudukan dan tempat
Ilah di Alam Semesta

Tempat Ilah-Ilah
Langit Suwara (Panglangit)
Langit bertingkat delapan Nining Baharat Sangkawanang
Pangguruan
Antara langit dan Bumi Putir Bapang Ranggan
Putir Dara Jiuk (datu Langit)
Dewata Mataru Jiuk
Liliyah
Madiyang

Bumi Berlapis Delapa Kariau Lampung Marus


Siasia banua Tanjung Tabalong
Bubuhan Aing Lanjahari Harimaung
Dewata Pujut jajangan
Indung Iringan
Dangan Indung
Malaikat Nabi-Nabi Nabi-Nabi
(sahabat nabi)
Ruang Lingkup Tugas Memelihara diri Memelihara Memelihara padi
Nyata Manusia Alam & alat pertanian
Sumber: Radam, 2001: 221

Menurut Radam, religi orang Bukit adalah Religi Huma, karena setiap
kegiatan religius orang Bukit sangat berkaitan dengan aktivitas berladang,
disamping aktivitas hidup selingkaran hidup manusia. Dari sudut upacara, religi
orang Bukit termanifestasikan ke dalam sembilan upacara, Pertama, upacara
mencari lahan baru; kedua upacara memuja penempaan besi (Mamuja Tampa);
ketiga, upacara menebang bambu (batilah); keempat, upacara merobohkan balai
Diyang Sanyawa (Katuan), kelima, upacara memulai penanaman padi (bamula);
keenam, upacara merawat padi di ladang (basambu umang); Ketujuh, upacara

75
mengikat “padi ringan” dan memantapkan “padi berat” (manyindat padi dan
manatapakan tihang babuah); kedelapan, upacara memasukkan padi ke dalam
lumbung (mamisit padi); kesembilan, upacara mawangi padi, alam sekitar
termasuk ladang manusia (bawanang).

Fungsi religi dapat dilihat pada kehidupan sosial, religi berperan dalam
mengentalkan ikatan-ikatan kekerabatan, kesalingtergantungan antaran umbun dan
bubuhan diperkuat. Kerjasama antar kelompok ditingkatkan dan kesadaran asal
usul dikuatkan kembali dalam upacara. Dalam kehidupan ekonomi, religi telah
mengangkat kegiatan berladang ke tingkat kedudukan yang tinggi dan utama
dalam mata pencaharian hidup. Penanaman padi sangat terkait dengan ilah dan
roh penguasa dan pemeliharanya. Padi dikonsepsikan sebagai tanaman yang
sakral, penuh pantangan dan tinggi derajatnya, yang pada awalnya adalah milik
orang langit.

Tindakan berladang bagi orang Bukit sendiri dihayati sebagai merusak


keseimbangan alam. Hal demikian dipandang sebagai kesalahan. Karena itulah
maka upaya mereligikan berladang merupakan kreasi masyarakat yang
bersangkutan yang dipandang tepat utnuk menghilangkan rasa bersalah itu dan
sekaligus merupakan upaya pembenarannya.

Pandangan bahwa alam sekitar dikuasai oleh ilah-ilah dan dipelihara oleh
ilah-ilah tertentu. Maka manusia juga memiliki hasrat untuk kagum dan tunduk
kkepada ilah-ilah. Hal tersebut dapat disalurkan dalam kegiatan religi orang bukit
di sepanjang kegiatan berladang. Dengan demikian berladang berfungsi
menyalurkan kebutuhan rohani orang Bukit.

Radam melihat perilaku beragama masyarakat sebagai sebuah sistem.


Religi memiliki unsur-unsur emosional keagamaan, keyakinan, upacara, peralatan
dan komunitas, seperti yang dikemukaan oleh Koenjaraningrat (1974). Masing-
masing unsur tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Dalam religi orang
Bukit terdapat keyakinan kepada sejumlah Tuhan, roh nenek moyang, roh alam,
tokoh pembawa kebudayaan, yang semuanya diberi dukungan mite dan legenda

76
tertentu. Analisis sistem religi orang Bukit diteruskan kepada analisis fungsi dari
agama bagi orang Bukit. Sebahagian tindakan religius berada dalam kegiatan
berladang. Orang-orang berperilaku baik atau tidak baik dikaitkan dengan
berladang. Orang Bukit mempercayai bahwa padi adalah sakral sifatnya. Sehingga
harus diperlakukan sesuai dengan derjat mulai dari sejak ditanam sampai panen
dan hasilnya disimpan di lumbung.

Sistem religi orang Bukit sangat berkaiatan dengan kehidupan lainnya


dalam kehidupan huma yang lebih luas. Upacara-upacara yang dilakukan oleh
orang Bukit sebagai aktivitas religius dan berkaitan dengan sistem ekonomi orang
Bukit, dan berarti dalam kehidupan masyarakat. selama upacara dan kegiatan di
ladang terdapat pantangan-pantangan yang dikenakan kepada orang-orang
berkenaan dengan padi sebagai sumber makanan utama dan juga disakralkan.

Religi orang berkaitan dengan struktur masyarakat. ialh-ilah memiliki


struktur seperti struktur masyarakat. Dalam keyakinan orang bukit terdapat ilah
yang tertinggi sebagai pemimpin dan ilah-ilah yang yang utama lainnya. Masing-
masing ilah-ilah tersebut walaupun ada yang utama dan roh alam dan roh tokoh
yang dituakan yang juga diyakini bagi orang Bukit namun, kedudukan ilah-ilah
tersebut adalah sama atau sederajat menurut orang Bukit. Ilah-ilah tersebut
memiliki peran masing-masing dan melaksanakan tugas mereka masing-masing.
Selain daripada itu sistem religi, sistem ekonomi dan sistem sosial, saling
berkaitan secara holistik dan bersifat fungsional bagi orang Bukit.

77
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Meriam. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia.

Danandjaja, James. 1988. Antropologi Psikologi; Teori, Metode, dan sejarah


Perkembangan. Jakarta: Rajawali.
Darmawan, Eko.P. 2005. Agama itu Bukan Candu. . Yogyajarta: Resist Book.

Durkhiem, Emile. 2011. The Elementary Forms of the Religious Life. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & Transformasi Sosal. Yogyakarta:
Pustaka pelajar.
Fedyani, Achmad Saifuddin. 2005. Antropologi Kotemporer: Suatu Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

......................... 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Book, Inc.,
Publisher.
......................... 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

.........................1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:


Pustaka Jaya.

Haviland, William. 1985. Antropologi Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme


hingga Post Modernisme. Jakarta: YOI.
Koentjaraningrat, 1987. “Apakah Beda antara Agama, Religi dan Kepercayaan?”
dalam Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
........................ 1990. Sejarah Teori Antropologi Jilid I. Jakarta: UI Press.
Maliki, Zainuddin. 2000. Agama Rakyat, Agama Penguasa: Konstruksi tentang
Realitas agama dan Demokrasi. Yogyakarta: Yayasan Galang.

78
Moore, Henrietta.L. 1998. Feminisme & Antropologi. Jakarta: Obor .

Pals, L. Daniel. 1996. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam.

Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta.

Raines, John. 2003. Marx Tentang Agama. Jakarta: Teraju.

Sindhunata. 2002. Kambing Hitam: Teori Rene Girard. Jakarta: Gramedia.

Suparlan, Parsudi. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran


Penelitian Antropologi” makalah yang disampaikan pada kuliah bagi
para peserta Pusat Latihan Penelitian Agama Departemen Agama RI,
di IAIN Ciputat, 14 September 1981
........................... 1983, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya: Perspektif
Antropologi Budaya,” dalam Mohamad Soerjani dan Bahrin Samad
(ed.) Manusia dalam Keserasian Lingkungan.
Suryakusuma, Julia. 2012. Agama, Seks, & Kekuasaan. Depok: Komunitas
Bambu.
http://id.wikipedia.org/wiki/Opium diakses 26/10/2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diakses 26/10/2013

79

Anda mungkin juga menyukai