Anda di halaman 1dari 10

PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM STUDI ISLAM NUSANTARA

Disajikan oleh:
Muhammad Subhi 20010117

Makalah ditulis pada tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam Nusantara, Program
Pasca Sarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Smt. 1 Ang.
2020/2021

Dosen:
Dr. Syamsul Hadi, MA

1
I. Pendahuluan
Nusantara akhir-akhir ini semakin diminati sebagai objek kajian berbagai
kalangan, seiring semakin strategisnya kawasan ini dalam geopolitik dan geokultural
internasional (Siroj, 2015: 29). Indnesia sebagai representasi kawasan ini juga
menampilkan perkembangan yang menarik khususnya dalam kajian-kajian keislaman.
Salah satu studi Mark R. Woodward telah cukup lama mengobservasi hal itu. Dalam
bukunya Toward a New Paradigm: Recent Developments on Indonesian Islamic
Though (1996) ia menyaksikan terjadinya perubahan paradigma dalam studi-studi Barat
mengenai Indonesia. Kini lebih berkembang apa yang disebut Woodward sebagai
“paradigma yang bepusat pada Islam” (Islam centered paradigm) dalam studi-studi
mengenai Indonesia oleh sarjana Barat (Fauzi, 1997: 224). Hal ini menurut Woodward
tidak bisa dilepaskan dari sejumlah faktor: kebangkitan Islam selama dua decade,
berkembangnya fundamemtalisme dan revolusi Iran (Fauzi, 1997: 243).
Namun apa yang dapat dipetakan dari perkembangan tersebut selama era
reformasi ini? Kesimpulan Woadward tersebut tampaknya masih relevan hingga kini
dimana Islam Indonesia terus menjadi pusat perhatian para sarjana baik dari dalam
maupun luar negeri. Berbagai aspek Islam mulai dari kehidupan sosial keagamaan,
politik, hukum hingga ekonomi terus menjadi subjek yang menarik.
Tulisan ini mencoba mengobservasi salah satu pendekatan dalam studi Islam di
Indonesia dengan studi kasus Islam Nusantara (selanjutnya disingkat IN). Melalui studi
ini, penulis ingin memetakan pandangan para teoritisi sosiologi agama dan aplikasinya
dalam kajian IN. Namun sebagai latar belakang, penulis akan mengulas secara singkat
perdebatan seputar IN dan implikasinya dalam studi Islam di Indonesia.
II. Pembahasan
1. Tentang Islam Nusantara
Sebagai satu istilah baru dalam studi Islam di Indonesia, muncul banyak
pertanyaan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan IN. Pertanyaan ini tidak lepas dari
munculnya perdebatan dan kontroversi dari kalangan yang mendukung maupun
menolaknya. Bagi yang mendukung memandang IN bukanlah sekte atau aliran baru
dalam Islam. Namun bagi yang menolak, memandang IN bermuatan primordial,
mengkotak-kotakan Islam dan anti Arab (Sahal, 2016: 16).
Nahdlatul Ulama sebagai pengusung utama Islam Nusantara meski
menggunakan istilah ini pada Muktamar ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus 2015,
belum merumuskan secara resmi apa definisi Islam Nusantara. Namun demikian,
sejumlah pemimpin NU dan intelektual telah mencoba merumuskannya.
Ketua Pengurus Besar NU, Said Aqil Siroj mendefinisikan IN sebagai Islam
yang lahir, bergumul serta berakar pada budaya Nusantara dari perspektif Nusantara
sendiri, bukan perspektif Barat atau Arab (Siroj, 2015: 29). KH. Afifuddin Muhajir
mendefinisikan IN sebagai paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai

2
hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas dan budaya setempat (Muhajir, 2016:
67).
Menurut Muhammad Sulton Fatoni, dalam perspektif ushul fikih, proses
dialektika antara nash syariat dengan realita dan budaya tempat umat Islam tinggal itu
sesuatu yang lumrah terjadi bahkan pasti terjadi karena Islam adalah agama universal.
Dan IN adalah wujud Islam sebagai agama universal mengingat ia telah dipeluk oleh
ratusan juta penduduk Nusantara dan melahirkan ratusan ribu produk hukum dan
khazanah keislaman lainnya (Fatoni, 2015: 84).
Sebagai sebuah paham dan praktik beragama, IN telah menjadi subjek kajian
yang cukup lama bahkan sebelum istilah ini lahir. KH Abdurrahman Wahid pada tahun
1980-an sudah memperkenalkan istilah “pribumisasi Islam”, satu istilah yang merujuk
pada proses rekonsiliasi antara agama dan budaya agar wahyu (nash agama) dipahami
dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual termasuk kesadaran hukum dan
rasa keadilan. Menurut Wahid, al Qur’an dan hadis nabi sebagai sumber utama
pemikiran kaum muslimin sesungguhnya berwatak lokal yakni menggunakan
pengertian-pengertian bangsa Arab sebagai wahana menyampaikan pesan universal
Islam. Bagi Wahid yang universal adalah pesan-pesan Islam bukan manivestasi
lahiriyah masing-masing lokalitas (Wahid, 2007: 342).
Ahmad Syafii Maarif juga salah satu yang secara serius mengkaji Islam dan
Keindonesiaan. Menurutnya antara Islam, keindonesiaan dan keadilan tidak saja bisa
berjalan beriringan melainkan ketiganya bisa menyatu dan saling mengisi untuk
menghadirkan “taman asri” yang khas Indonesia. Dalam taman asri itu wajah universal
Islam tampil dalam wujud “kemanusiaan yang adil dan beradab” (Maarif, 2009: 312).
Bahkan dalam observasi Johan Hendrik Meuleman, persoalan apakah dan
sejauhmana Islam Indonesia menjadi bagian dari agama dan peradaban universal Islam
sudah muncul sejak masa kolonial. Ketika ia membandingkan tulisan-tulisan L.W.C.
van den Berg dan C. Snouch Hurgronje, nama yang pertama adalah orang pertama yang
memandang Islam Nusantara sebagai bagian integral dari Islam universal, sementara
yang terakhir berpandangan sebaliknya. Bagi Hurgronje, Islam Nusantara bukan bagian
dari Islam yang universal karena sudah bercampur dengan “adat”.Perdebatan dua cara
pandang ini akan terus berlangsung hingga ke masa-masa mendatang (Meuleman, 1997:
99).

2. Sosiologi sebagai Pendekatan Studi Agama


Menurut bapak sosiologi Indonesia, Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi,
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial termasuk
perubahan sosial (Kadir, 2014: 114).
Sebagaimana ilmu lain, sosiologipun mempunyai teori, konsep, hipotesis,
proporsi dan variabelnya sendiri. Salah satu ciri sosiologi, ia memiliki banyak teori
(Sorokin mendata lebih dari seribu tokoh) dan banyak paradigma. Menurut Talcott
Parsons, sosiologi tertarik pada masalah keteraturan di dalam masyarakat. Berger,

3
sosiolog lainnya mengatakan sosiologi ingin menjawab: Apa yang dilakukan manusia?
Bagaimana hubungan antar manusia? Bagaimana hubungan antar manusia membentuk
institusi dan ide kreatif apa yang menggerakkan manusia dan institusi (Sunarto, 1993:
214). Menurut Ritzer, ada tiga paradigma utama yang mendominasi sosiologi: 1)
paradigma fakta sosial yang dipelopori Emile Durkheim; 2) Definisi sosial yang
dipelopori Max Weber dam; 3) Paradigma prilaku sosial yang dipelopori B.F. Skinner
(Ritzer, 2004: 697).
Penganut paradigma fakta sosial memusatkan perhatian pada fakta sosial yaitu
cara berpikir, cara bertindak dan cara merasa individu yang berasal dari luar dirinya atau
fakta sosial serta dampaknya terhadap pemikiran dan tindakan individu. Adapun
penganut paradigma definisi sosial memusatkan perhatian pada cara actor
mendefinisikan situasi sosial mereka dan efeknya terhadap tindakan dan interaksi yang
ditimbulkannya. Sementara paradiga perilaku sosial memusatkan perhatian pada
perilaku yang terpikirkan dari individu. Atau imbalasan (reward) yang mendorong
prilaku yang diharapkan dan hukuman (punishment) yang mencegah prilaku yang tidak
diinginkan (Ritzer, 2004: 698-700).
Agama (termasuk di dalamnya kepercayaan-kepercayaan) merupakan salah satu
institusi yang menjadi perhatian sosiologi. Para sosiolog klasik seperti Karl Marx, Emile
Durkheim, Max Weber sudah melakukan kajian terhadap agama. Salah satu kerumitan
yang mereka hadapi adalah apa sesungguhnya hakikat dari agama? Durkheim misalnya
mendefinisikan agama:
A religion is a unified system of belief and practices relatives to sacred things, that
is to say, things set apart and forbidden –belief and practices which unite into one
single moral community called Church (Durkheim, 1995: xxxiv).
Definisi di atas mencerminkan kesulitan yang dihadapi Durkheim dan juga para
ahli sosiologi sesudahnya untuk mendefiniksn agama. Bahkan sosiolog agama seperti
Robert Bellah memperluas definisi agama, selain institusi agama termasuk juga
himpunan kepercayaan dan ritual yang dinamakannya civil religion yaitu ritual dan
kepercayaan di luar agama yang dijumpai pada institusi politik seperti pemujaan
pemimpin, bendera negara serta lagu kebangsaan (Sunarto, 1993: 67). Antropolog
Indonesia, Prof. Dr. Kuntjaraningrat mendefinisikan agama sebagai religi, termasuk di
dalamna agama dan aliran-aliran kepercayaan, agama leluhur atau yang sering disebut
agama tradisional. Kuntjaraningrat menyebut agama adalah bagian dari kebudayaan
(Simanjuntak, 2016: 7).
Sosiologi agama sendiri sebagai suatu pendekatan tergolong muda namun dialah
yang paling tepat dipergunakan untuk membicarakan, meneliti dan menganalisis
masalah-masalah yang timbul di sekitar hubungan-hubungan sosial yang bersifat
agamistik. Namun demikian dia juga harus tetap dibantu oleh cabang-cabang sosiologi
lain untuk dapat mendekati kebenaran yang objektif (Simanjuntak, 2016: 8).
Menurut Peter Connolly, para sosiolog mempelajari praktik-praktik keagamaan
untuk membuktikan hubungannya dengan institusi, struktur, ideologi, kelas dan

4
perbedaan-perbedaan kelompok yang dengannya masyarakat terbentuk (Connolly,
2002: 271).
Durkheim misanya mempelajari agama untuk melihat fungsi agama.
Pemikirannya tentang agama ia tuangkan dalam bukunya The Elementary Form of
Religious Life yang secara khusus mengulas totemimsme di Australia yang dianggap
sebagai satu agama paling primitive. Dalam kajian tersebut, Durkheim melihat dua
aspek penting: Pertama, agama, meski tidak berangkat dari fakta, namun ia adalah hasil
dari halusinasi yang teralu berlebihan. Tugas sosiologi adalah untuk mengungkap
misteri tersebut, untuk mengungkap kandungan harpiah dari symbol-simbol, sensasi dan
ekspresi untuk mengetahui realitas sosial yang terdalam. Kedua, realita terdalam dari
agama adalah masyarakat itu sendiri. Gagasan tentang masyarakat tidak lain adalah jiwa
dari agama itu sendiri (Royce, 2015: 86).
Menurut Durkheim, agama primitive adalah objek yang paling dapat
menjelaskan tentang apa itu agama. Ia mengatakan:
I have made a very archaic religion the subject of my research because it seems
better suited than any other to help us comprehend the religious nature of man,
that is, to reveal a fundamental and permanent aspect of humanity (Durkheim,
1995: 1).
Melalui kajiannya ini, dia menemukan hakikat abadi dari agama dengan cara
memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral tercipta melalui ritual-ritual
yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol relijius yang
mengikat individu dalam suatu kelompok. Masyarakat melalui individu menciptakan
agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral,
sementara yang lainnya profan. Aspek realita sosial yang didefinisikan dan dianggap
sakral –sesuatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari—yang membentuk esensi agama
(Ritzer, 2004: 104-105).
Max Weber menggunakan sosiologi untuk melihat hubungan agama dengan
kapitalisme. Saah satu karya terpenting dan paling berani dari Weber adalah The
Protestant Etic and the Spirit of Capitaism. Dalam studi ini Weber menjelaskan
bagaimana bentuk-bentuk tertentu komitmen keagamaan Calvinis (Kristen Protestan)
telah menumbuhkan bentuk-bentuk dan struktur nilai rasional, etika industrial, yang
mana tanpa sengaja telah turut membentuk kapitaisme dan sistem ekonomi di Eropa
(Law, 2011: 65).
Menurut Weber, untuk dapat menjelaskan keterkaitan antara ketaatan beragama
dengan aktifitas ekonomi sehari-hari, hal ini dapat dijelaskan dengan melihat praktik
peribadatan di dalam gereja. Yakni bagaimana gereja menempatkan posisinya
dihadapan jemaat, seperti dalam hal persembahan, disiplin gereja serta pelaksanaan
berbagai ajaran dalam kehidupan. Semua aturan-aturan kegerejaan tersebut sangat
mempengaruhi karakter jemaatnya bahkan sebuah bangsa.

5
In such a time, religious forces which express themselves through such channels
are the decisive influences in the formation of national character (Weber, 2001:
102).
Pemikiran Durkheim tentang agama berpengaruh besar terhadap sosiologi
agama yang dapat dilihat dari tesis sekularisasi, dalam pendekatan Robert Bellah
terhadap agama sipil dan nilai-nilai moral di Amerika Utara kontemporer dan dalam
karya Bryan Wilson yang membahas fungsi agama. Menurut Wilson, agama memiliki
fungsi psikologis dan sosial yang krusial –bahkan dalam konteks masyarakat modern
yang teratur secara teknis dan rasional—meliputi perwujudan makna dan tujuan hidup
individual, penjelasan mengenai penderitaan dan nilai serta prosedur sosial. Sementara
Bellah dalam Habits of the Heart menegaskan peran public dan peran privat agama.
Berdasarkan pola studi empiris mengenai nilai dan moral di Amerika yang menurut
dugaan hanya dapat dipenuhi dengan memperbaharui peran public dan sipil agama
dalam sosial masyarakat Amerika (Connolly, 2002: 276-277).
Dalam konteks bagaimana agama dipelajari, pakar sosiologi UGM, Prof.
Soedjito Sosrodiharjo menyebutkan ada tiga: 1) dengan melihat sejarah
pemkembangnnya; 2) dengan melakukan perbandingan antar agama; 3) melihat
fungsinya di masyarakat (Simanjuntak, 2016: 9). Sementara itu, dua pakar ssiologi
Amerika Rodney Stark dan Charles Glock (1968) menjelaskan ada lima dimensi agama
yang bisa dipelajari: 1) dimensi keyakinan; 2) praktik; 3) pengalaman; 4) pengetahuan
dan 5) dampak agama dalam kehidupan individu (Furseth & Repstad, 2006: 25).
Tidak jauh berbeda, Ninian Smart (1996) mengajukan delapan dimensi kajian
agama, antara lain: 1) aspek ritual dan praktik; 2) aspek filosofis dan doktrin; 3) mitos
dan narasi; 4) aspek pengalaman; 5) etika dan hukum; 6) organisasi atau sosial; 7)
material dan artistic; 8) aspek politik dan ekonomi (Riis, 2011: 2).
Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukannya dan signifikansinya
dalam kehidupan sosial, telah mendorong disusunnya sejumlah kategori sosiologis yang
sangat penting diperhatikan ketika mengkaji agama yaitu: a) stratifikasi sosial seperti
kelas dan etnisitas; b) kategori biososial seperti seks, gender, perkawinan, keluarga dan
usia; c) pola organisasi sosial seperti politik, produksi ekonomi, system pertukaran dan
birokrasi, dan; d) proses sosial seperti formasi batas, relasi intergrup, interaksi personal,
penyimpangan dan globalisasi (Connolly, 2002: 283).
Menurut Bryan S. Turner dalam The New Blackwell Companion, dalam
mengkaji agama sangat penting untuk mempertimbangkan perkembangan saat ini di
mana agama terus memainkan peran yang besar baik dalam politik, sosial dan
kebudayaan secara global, bahkan terus membesar dibanding era sebelumnya. Ia
melihat adanya kecenderungan peran agama muncul dengan wajah budaya publik
ketimbang kepercayaan dan praktik privat. Dan baginya dalam mengkaji agama sangat
penting untuk melihat konteks masyarakat dimana agama itu berada (Turner, 2010: 1).
3. Pendekatan Sosiologis Islam Nusantara

6
Mencermati berbagai pandangan para sosiolog agama di atas, maka IN sebagai
objek kajian sosiologis tentu dapat dilihat dari beragam dimensi tersebut baik dalam
bingkai keislaman maupun kenusantaraan. Mengingat luasnya cakupan kajian
sosiologis, di bawah ini hanya akan dielaborasi beberapa dimensi kajian IN sebagai
contoh.
Dalam bingkai sosial, budaya dan politik, IN dapat dilihat sebagai penerapan
Islam yang khas dan otentik karena menggambarkan wajah Islam yang berbeda dengan
umat Islam di bagian lain dunia yang dipengaruhi oleh dinamika dan perkembangan
historisnya sendiri. Dalam pendangan Azyumardi Azra, IN adalah salah satu dari
delapan ranah budaya Islam dengan distingsinya masing-masing. Kedelapan ranah
budaya Islam tersebut adalah: Arab; Persia atau Iran; Turki; Anak Benua India;
Nusantara; Cina atau Asia Timur; Afrika Sudan atau Afrika Hitam atau Afrika Sub
Sahara, dan; belahan Dunia Barat. Dalam konteks historis, IN adalah nama lain dari
Islam Asia Tenggara atau Islam Melayu-Indonesia (Azra, 2016: 172).
IN dengan karakternya yang toleran dan moderat misalnya dapt dilihat dalam
konteks pergaulan global dimana IN dapat menjadi model Islam yang bisa mengubah
pandangan negatif negara-negara Barat terhadap Islam selama ini (Marta, 2015: 63).
Karena itu ia dapat dikaji dan diperkenalkan dalam ranah praktik dan hubungan antar
agama dan budaya.
Dalam ranah sejarah pembentukan pengetahuan, IN juga dapat dikaji dalam
rangka melihat genealogi dan jaringan pengetahuan ulama dan intelektual Islam di
Nusantara serta bagaimana proses transmisi dan transformasinya dari sejak masuknya
Islam di Nusantara hingga masa sekarang. Rumadi adalah salah satu yang cukup serius
mengkaji pembentukan intelektualisme Islam Nusantara khususnya di kalangan NU.
Menurutnya, akar-akar pembentukan intelektualisme NU dapat dilacak jauh ke belakang
sejak abad 17 dan 18. (Rumadi, 2007: 41).
Dalam konteks kajian norma dan legal misalnya, IN juga dapat dilihat sebagai
penerapan norma hukum Islam yang digali khususnya menggunakan pendekatan‘urf,
masalih mursalah dan istihsan. Hal ini karena IN bukanlah bentuk praktik ijtihad untuk
penggalian hukum (ijtihad istinbathi) melainkan ijtihad untuk penerapan hukum (ijtihad
tathbiqi) (Ghazali, 2016:106). IN juga dapat dilihat sebagai model penerapan Islam
ahlussunnah wal jamaah yang sama dengan model Islam di kawasan dunia lain yang
menggunakan doktrin tersebut (Azra, 2016: 170).
Salah satu kajian yang penting dalam konteks IN misalnya terkait paham trilogi
ukhuwah yang digagas KH. Ahmad Siddiq. Meski sudah banyak yang melakukan
kajian, pembahasan mengenai hal ini akan terus menarik, seiring dengan perubahan
konteks dan situasi dimana NU sebagai pengusung utama paham ini berinteraksi dengan
zaman dan waktu.
Trilogi ukhuwah mejadi dasar berpikir NU mengenai pluralisme beragama,
sekaligus mengenai hubungan antara masyarakat, agama dan negara. Meski baru digulirkan
menjelang Muktamar NU ke-28 di Krapyak pada tahun 1989, konsep ini jika dilihat secara
mendalam merupakan penegasan dari pemikiran dan identitas NU sebagai organisasi Islam

7
yang sejak berdirinya mengusung paham ahlussunnah wal jamaah. Bagi NU, ketiga jenis
persaudaraan tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan dimana ketiganya bersumber dari
landasan yang sama yakni ajaran-ajaran Islam. Di dalam Islam persaudaraan dan hubungan
baik sesame manusia adalah sebuah keniscayaan. Fakta bahwa manusia terdiri dari berbagai
jenis etnis, suku dan agama. Di antara manusia ada yang seagama, sebangsa dan sesame
manusia dengan beragam latar belakang (Rahmat, 2017: 250).

Penerapan trilogi ukhuwah di lingkungan NU juga tidak bisa dilepaskan dari


kepedulian sosial NU atas munculnya berbagai tantangan dan permasalahan hubungan
antar kelompok masyarakat baik di dalam dan luar negeri. KH. A. Sahal Mahfudz
misalnya melihat pentingnya ukhuwah Islamiyah karena di internal umat Islam masih
banyak hambatan dalam hubungan sesame umat muslim. Secara umum ia melihat antara
lain: adanya fanatisme buta dan rasa bangga diri yang berlebihan. Faktor sektarian ini
kadang sampai pada penilaian benar salah yang mengakibatkan ketegangan atau
kesenjangan.
Factor lainnya adalah sempitnya wawasan, ketertutupan, kurang atau bahkan
tiadanya silaturrahim dan dialog mencari titik-titik kemaslahatan. Lebih dari itu,
penghambat lainnya adalah rendahnya tingkat akhlak yang melahirkan sikap tahasud
(saling mencela) dan ghibah (rerasan). Dan penghambat yang paling mendasar adalah
lemahnya kesadaran dan rasa kasih saying terhadap sesama, meski Nabi menyebut kasih
sayang itu salah satu indikator keimanan seorang muslim (Mahfudz, 2011: 240).
Salah satu contoh implementasi sikap ukhuwah islamiyah NU adalah sikap
ukhuwah NU dengan Muhammadiyah dua organisasi keislaman yang sudah cukup dewasa
secara usia. Menurut KH. Sahal Mahfudz, meskipun terdapat sejumlah perbedaan,
keduanya memiliki titik temu dalam konteks keindonesiaan. Titik temu itu adalah sama
ingin berbuat untuk kemaslahatan atau masyarakat Indonesia yang tercinta. Keduanya ingin
mengejar kemajuan, mengurangi kemiskinan dan mengikis kebodohan, baik miskin materi,
ilmu, moral maupun iman (Mahfudz, 2011: 239).
Beragam ranah kajian terhadap IN tersebut menunjukkan bahwa pendekatan
sosiologi tidak bisa berdiri sendiri sebagai pisau analisis fenomena sosial
kemasyarakatan. Ia mau tidak mau harus disandingkan dengan pendekatan-pendekatan
lain seperti pendekatan historis, antropologis, teologis dan seterusnya. IN tidak hanya
bisa didekati secara parsial sebagai bagian dari fakta sosial, definisi sosial atau perilaku
sosial, melainkan harus didekati secara integratif atau apa yang disebut Ritzer sebagai
sosiologi berparadigma terpadu.

III. Kesimpulan
IN merupakan satu ranah baru dalam studi Keislaman dan Kenusantaraan. Meski
demikian, ia bukanlah pengetahuan atau praktik yang baru dalam sejarah umat Islam di
Nusantara dan Indonesia khususnya. Kontroversi yang muncul akhir-akhir ini dapat
dilihat sebagai respon yang ahistoris karena jauh sebelum istilah ini lahir, secara
akademik sudah dikenal istilah Islam Asia Tenggara atau Islam Melayu-Indonesia.

8
Dalam kacamata sosiologis, IN adalah salah satu gejala sosial yang dapat
mempengaruhi situasi dan kondisi masyarakat. Sebagai suatu gejala sosial, IN
mempunyai hubungan dan pengaruh yang erat dengan sistem dan struktur masyarakat.
Karena itu, IN dapat menjadi subjek kajian sosiologis dalam dimensi yang sangat luas
mulai dari sejarah, institusi, pengetahuan dan seterusnya. Secara lebih khusus, IN dapat
didekati dengan pendekatan sosiologi agama.
Namun yang sangat penting digarisbawahi bahwa pendekatan sosiologis juga
tidak dapat berdiri sendiri, ia harus disandingkan dengan beragam pendekatan lain agar
diperoleh pengetahuan dan kebenaran yang lebih objektif.

DAFTAR PUSTAKA

Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Clarke, Peter B. (ed.), The Oxford Handbook of the Sociology of Religion, 2011.
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life, terj. Karen E. Fields, New
York: The Free Press, 1995.
Fauzi, Ihsan Ali, “Paradigma Baru Islam Indonesia” dalam STUDIA ISLAMIKA
Volume 4, No. 3, 1997.
Fursate, Inger & Pal Repstad, An Introduction to the Sociology of Religion Classical
and Contemporary Perspectives, England: Ashgate, 2006.
Kadir, Koko Abdul, Dr.H. MA., Metodologi Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2014.
Law, Alex Key Concept in Classical Social Theory, London: SAGE Publication, 2011.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan,
Bandung: Mizan, 2009.
Mahfudz, MA. Sahal, KH., Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKiS, 2011.
Meuleman, Johan Hendrik, “Indonesian Islam between Particularity and Universality”
dalam STUDIA ISLAMIKA Volume 4, No. 3, 1997
Ritzer, George & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, terj. Nurhadi, Bantul: Kreasi
Wacana, 2010.
Royce, Edward, Classical Social Theory and Modern Society, Marx, Durkheim and
Weber, New York: Roemann & Littlefield, 2015.
Rahmat, M. Imdadun, Dr., Islam Indonesia Islam Paripurna, Jakarta: Yayasan Omah
Aksoro Indonesia, 2017
Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU,
Jakarta: Departemen Agama RI, 2007.
Sahal, Akhmad & Munawir Azis (ed.) Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham
Kebangsaan, Bandung: Mizan, 2016.

9
Simanjuntak, Bungaran Antonius, Tradisi, Agama, dan Akseptasi Modernisasi pada
Masyarakat Pedesaan Jawa, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 1993.
Turner, Bryan S. (ed.), The New Blackwell Companion to The Sociology of Religion,
United Kingdom, 2010.
Ubaid, Abdullah & Muhammad Bakir, Nasionalisme Islam Nusantara, Jakarta:
Kompas, 2015.
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Wahid, Abdurrahman dkk., Islam Nusantara Meluruskan Kesalahpahaman, Jakarta:
LP. Maarif NU Pusat, 2015.
Weber, Max, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, London & New York:
Routedge, 2001.

10

Anda mungkin juga menyukai