Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap warga negara memiliki peran terhadap negaranya, seperti menjadi
seorang pemimpin negara, dewan negara, dan warga negara biasa . Warga negara
merupakan salah satu unsur yang menentukan sendi-sendi bangunan negara yang
ditinggalinya, di samping unsur-unsur negara yang lain, yaitu daerah, pemerintah
yang yang berdaulat dan tujuan negara yang terdapat dalam undang-undang dasar.
Dengan kata lain, wawasan, partisipasi dan karakter kepribadian warga negara
akan menentukan kuatnya negara yang ditinggalinya.
Setiap negara ingin memiliki warga negara yang bisa memimpin negaranya
dengan baik, memiliki perilaku yang baik sesuai norma yang telah ditetapkan, dan
membuat negaranya maju. Contohnya negara indonesia, setiap watga negara
indonesia yang warga negaranya diharapkan mampu mengembangkan sikap
positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mampu memahami
secara tuntas konsep hak asasi manusia. Dan UUD memiliki peranan penting
dalam negara indonesia.
Oleh karena itu kita akan membahas Konsep Dasar, Tujuan, dan Pendekatan
Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu suatu proses yang dirancang dalam
memberikan bekal mengenai pengetahuan hubungan antara negara dengan warga
negara serta pemahaman mereka terhadap hak dan kewajiban dalam konteks
pertahanan keamanan nasional. Untuk mencapai tujuan ini , proses pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan dilakukan dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan, antara lain: pendekatan historis, yuridis, institusional dan psikologis
pedagogis.

1.2 Pokok Bahasan


1. Apa pengertian kewarganegaraan ?
2. Apa tujuan pendidikan kewarganegaraan?
3. Apa saja pendekatan pendidikan kewarganegaraan?

Universitas Negeri Malang Page 1


4. Bagaimana aplikasi pendekatan psikologis-pendagogis dalam pendidikan
kewarganegaraan?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas Konsep Dasar, Tujuan, dan
Pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu suatu proses untuk memberikan
Ilmu tentang PKn.
1.4 Manfaat Penulisan
Untuk mengetahui tentang Konsep dasar, Tujuan, dan Pendekatan Pendidikan
kewarganegaraan.

Universitas Negeri Malang Page 2


BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Sejak kelahirannya (tahun 1973) sampai dengan sekarang pendidikan


Kewarganegaraan (dahulu pendidikan Kewarganegaraan bahkan pernah berlabel
Pendidikan KewarganegaraanKewiraan) mengalami perkembangan yang
menentukan bagi perjalanan sistem pendidikan Nasional Indonesia. Hal ini
terbukti bahwa dalam penyelenggaraan kurikulum pendidikan tinggi, pendidikan
Kewarganegaraan senantiasa ditemukan sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri.
Secara akademik, Pendidikan Kewarganegaraan adalah program
pendidikan yang berfungsi untuk membina kesadaran warga negara dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan jiwa dan nilai konstitusi
yangberlaku (UUD 1945). Daiam penjelasan Pasal 37 (2) UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan, dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Berdasarkan pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa program
Pendidikan Kewarganegaraan, rnenekankan pada kompetensi (kemampuan)
peserta didik (subjekbelajar) untuk memiliki wawasan kebangsaan dan cinta tanah
air. Kompetensi ini merupakan panggilan kontitusi dan ketentuan perundangan
yang harus direalisasi dalam praktik dan kinerja pendidikan dan pengajaran tidak
saja bagi mahasiswa perguruan tinggi, namun juga siswa di sekolah lanjutan
tingkat atas (SLTA), siswa di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), dan anak-
anak di sekolah dasar (SD).
Sebagai program pendidikan, Pendidikan Kewarganegaraan tergolong
dalam mata kuliah yang strategis dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bemegara Lrdonesia, di samping dua matakuliah yang lain, yakni Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Agama. Pendidi kan Kewarganegaraan mengemban
misi dalam mempersiapkan bangsa Indonesia (baca: mahasiswa) yang tangguh

Universitas Negeri Malang Page 3


dalam mengatasi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG)
yangberpengaruh pada eksistensi dirinya.
Kompetensi yang demikian mesti diimbangi dengan kemampuan berpikir
ke arah pemahaman dan pengamalan jiwa dan nilai-nilai Pancasila (yang
dipersiapkan melalui matakuliah Pendidikan Pancasila) dan pengamalan nilai-nilai
ajaran agama (melalui Pendidikan Agama) yang diyakini oleh masing-masing
pribadi bangsa Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan termasuk pendidikan untuk menjadi (
educational for becoming), yang menekankan garapannya pada upaya
pembentukan manusia; yakni mahasiswa yang memiliki kesadaran dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya terutama kesadaran akan wawasan nasional
dan pertahahan keamanan nasional. Dengan demikian, program Pendidikan
Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya mengharuskan adanya perhatian yang
seksama bagi pembinanya (baca: dosen Pendidikan Kewarganegaraan), dengan
pemikiran yang cermat diharapkan proses pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan mampu mencapai misi yang telah ditetapkan.
1.2 Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Secara programatik, Pendidikan Kewarganegaraan ditujukan pada garapan
akhir yaitu pembentukan warga negara yang baik (good citizen atau good
citizenship) sesuai dengan jiwa dan nilai Pancasila dan UUD 1 945. Rasionalnya
bahwa Pancasila dan UUD 1 945 ditempatkan sebagai norma dan parametrik
kehidupan nasional Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik lrdonesia
(NKRI). Ditinjau dari cara kerjanya yang bergerak dalam lingkungan pendidikan,
pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membentuk kualitas kepribadian
(desirable p ersonal qualitity) warga negara yang baik.
Kriteria warga negara yang baik dapat digali dari beberapa kualitas
kepribadian sebagai penwujudan dari potensi yang melekat pada diri seseorang
warganegara. Stanley E. Dimond (1970), memberikan deskripsi kualitas
kepribadian warga negara yang baik, meliputi beberapa atribut (1) seseorang yang
loyal; (2) orang yang selalu belajar; (3) seorang pemikir; (4) bersikap demokratis;
(5) gemar melakukan tlndakan kemanusiaan; (6) pandai mengatur diri; dan (7)
seorang pelaksana.

Universitas Negeri Malang Page 4


Di samping itu , National Council for the Social Studies (NCSS),
memberikan tujuan civic education (pendidlkan kewarganegaraan), dengan
rumusan: " . . . .. civic education today seeks create citizens who are infromated,
analytic, committed to democratic values, an d actively involved in society
(Robinson, 1967). Ada tiga terget dari rumusan tujuan itu yang bisa mengantarkan
warga negara memiliki kualitas pribadi yangbaik, yakni: (1) warga negara yang
terinformasi; (2) bersikap analitis; dan (3) melaksnakan nilai-nilai demokrasi dan
aktif dalam kehidupan masyarakat.
Warga negara yang terinformasi, hendaknya memiliki kualitas kepribadian
dalam beberapa hal, yaitu: (a) memiliki pengetahuan dan kecakapan memecahkan
masalah (b) memiliki kesadaran akan peranan ilmu pengetahuan kontemporer; (c)
memiliki kesiapan terhadap efektivitas kehidupan ekonomi. Warga negara yang
bersikap analitis, paling tidak memiliki kualitas dalamn hal: (a) kemarnpuan
mengambil keputusan terhadap dunia yang senantiasa berubah; (b) penerimaan
terhadap fakta-fakta baru, gagasan-gagasan baru dan cara-cara hidup baru.
Sedangkan warga negara yang mampu melaksanakan nilai-nilai demokrasi dan
aktif dalam kehidupan masyarakaf diharapkan memiliki kualitas kepribadian
antara lain: (a) partisipasi dalam pembuatan keputusan; (b) meyakini akan asas
persamaan dan kebebasan; (c) menumbuhkan kebanggaan nasio nal dan kerja
sama internasionaL (d) menumbuhkan seni kreatif dan perasaan humanistis; (e)
memiliki perasaan kemanusiaan terhadap sesama warg a rlegara; dan (f)
pengembangan dan aplikasi prinsip-prinsip demokrasi.
Senada dengan itu, Cogan (1998), menegaskan bahwa warga negara yang
baik harus memiliki kemampuan untuk (1) menjawab tantangan global; (2)
bekerja sama dengan orang lain; (3) menerima dan toleransi terhadap perbedaan
budaya; (4) berpikir kritis dan sistematis (5) menyelesaikan konflik tanpa
kekerasan; (6) rnengubah gaya hidup konsumtif guna melindungi lingkungan; (7)
kepekaan terhadap hak asasi manusia; (8) partisipasi dalam pemerintahan lokal
nasional, dan global.
Bertolak dari tujuan ciaic education di atas, maka tujuan pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia hendaknya selalu mengacu terhadap tujuan

Universitas Negeri Malang Page 5


pendidikan nasional sebagaimana y ang telah diisyaratkan oleh Undang-Undang
Nomr:r 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam penjelasan Pasal 37 (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional, ditegaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan,
dirnaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Sebagai program pendidikan Pendidikan
Kewarganegaraan tergolong dalam mata kuliah yang strategis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara indonesia, di samping dua mata kuliah yang lain, yakni
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama. Pendidikari Kewarganegaraan
rnengemban misi dalam mempersiapkan Bangsa Indonesia (baca: mahasiswa dan
siswa) yang tanggutrr yang memiliki kompetensi kognisi (civic knowledge),
psikomotorik (civic skills) dan karakter pribadi(civic despositions) yang
berkontribusi bagi negara dan bangsanya. Kompetensi yang demikian mesti
diimbangi dengan kemampuan berpikir ke arah pemahaman dan pengamalan jiwa
dan nilai-nilai Pancasila (yang dipersiapkan melalui mata kuliah Pendidikan
Pancasila) dan pengamalan nilainilai ajaran agalna (melalui Pendidikan Agama)
yang diyakini oleh masing-masing pribadi bangsa indonesia
Target pendidikan kewarganegaraan dalam kerangka sistem pendidikan
nasional, dipusatkan pada kredibilitas kepribadian warga negara dan mampu
berpartisipasi dalam kehidupan bernegara berbangsa, dan bermasyarakat
Indonesia menurut kriteria konstitusi.Pendidikan kewarganegaraan juga bertujuan
untuk memperluas wawasan dan menumbuhkan kesadaran warga negara, sikap,
serta perilaku cinta tanah air, yang bersendikan pada kebudayaan bangsa wawasan
nusantara, dan ketahanan nasional. Dengan demikian warga negara diharapkan
memiliki kemampuan untuk memaharni, menganalisis dan memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara
berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita nasional sebagaimana
digariskan dalam PembukaanUUD 1945.

1.3 Embrio Materi Pendidikan Kewarganegaraan


Beranalog dengan konsep dan tujuan pendidikan kewarganegaraan di atas,
maka embrio materi Pendidikan Kewarganegaraan adalah berkaitan dengan hak

Universitas Negeri Malang Page 6


dan kewajiban warga negara dan negara. Analisis materi tersebut hendaknya
dilakukan melalui dua kajian. Pertama,kajian kronologi yang meliputi: pengertian
hak dan kewajiban, latar belakang timbulnya hak dan kewajiban, pelaksanaannya
dan hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
Kedua melalui kajian bidang kehidupan, yang meliputi hak dan kewajiban warga
negara dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, Sosial-budaya dan pertahanan
keamanan (ipolek-sosbudhankam).
Perpaduan antara materi kajian kronologis hak dan kewajiban dengan
kajian bidang-bidang kehidupan warga negara hendaknya selalu dimaknai dalam
konteks berne gara. Itulah sebabnya, analisis hak dan kewajiban sebagai materi
pendidikan kewarganegaraan hendaknya juga diartikan sebagai materi. hubungan
ketika warga negara hendak mengadakan hubungan dengan organisasi negaranya.
Dalam kaitan ini, kajian terhadap hak dan kewajiban warga negara berikut juga
hak dan kewajian negara, lebih dipusatkan pada upaya memberikan informasi
tentang potensi yang dimiliki (hak) warga negara dan negara, dan apa-apa yang
harus didilakukan oleh keduanya (kewajiban). Selanjutnya kajian hak dan
kewajiban warga negara dan negara, diharapkan mampu mengantarkan keduanya
menjalin hubungan secara wajar, demokratis, transparan, jujur, serta adil.
Sedangkan kajian terhadap bidang-bidang kehidupan warga negara dapat
digunakan sebagai upaya pembuktian apakah hak dan kewajiban mereka telah
ditampakkan dalam hubungan dialogis dengan negara secara wajar, demokratis,
transparan, jujur, serta adil. Singkatnya embrio materi hak dan kewajiban dalam
pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya dikembangkan secara luas dan
mendalam, agar mampu memberikan wawasan warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

1.4 Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan


Paradigma adalah kerangka berpikir sistematis yang digunakan sebagai
kerangkabertindak. Ada tiga paradigmabaru dalam Pendidikan Kewarganegaraan
yang secara singkat dapat dideskripsikan
sebagai berikut.

Universitas Negeri Malang Page 7


1.4.1 Paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi.
Dunia memang selalu berubah seirama dengan perubahan
masyarakat global. Bersamaan dengan itu, ideologi dunia juga merambah di
kawasan global yang siap menyebarkan'virus' perubahan ke seluruh penjuru dunia
yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Perkembangan in formasi dan globalisasi
adalah sebuah realitas, tak ada satu bangsa di dunia ini yang mampu menolaknya.
Dalam kaitan ini, sebuah bangsa harus memiliki kecermatan dan ketegaran dalam
menatap kehidupan global dan tuntutan dunia yang tidak kenal batas itu.
Membangun sebuah'pendirian nasional, ketika isu-isu global mulai ditawarkan,
menjadi keperluan yang sangat mendesak bagi Bangsa Indonesia, agar jati diri
bangsa tidak terhempas angin dan terkikis oleh arus global. Pendidikan yang
berbasis pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, sebagaimana terkristal dalam
Pancasila, hendaknya dijadikan komitmen bangsa yang mencerminkan identitas
nasional.
Sebagai warga dunia, setiap warga negara dan bangsa (termasuk
Indonesia) hendaknya mampu berpikir kritis terhadap kemajuan dunia, agar
mereka selalu memiliki world view (pandangan dunia) secara mantap dan tidak
ketinggalan oleh kemajuan bangsa-bangsa lain. Namun demikiary perspektif
global juga tidak lepas dengan sebuah paradoks, yang kadang bisa
membingungkan masyarakat dunia. Dalam rangka ini, kematangan pendirian
sebuah bangsa menjadi penting, karena dengan itu, suatu bangsa akan mampu
melakukan pilihan-pilihan secara rasional (rational choices) terhadap apa yang
sedang muncul sebagai 'gebyar zaman’ (dunia).

1.4.2 Paradigma Reformasi


Perguliran reformasi "total" tahun 1998, terfokus pada empat agenda
besar: (1) demokratisasi; (2) supremasi hukum; (3) penghormatan hak asasi
manusia; dan (4) pembentukan masyarakat kesederajatan dalam format civil
society. Reformasi harus diberi energi dengan berbasis nilai-nilai luhur Bangsa
Indonesia (Pancasila), yang telah dijadikan sebagai kepribadian, moral, falsafah
pemersatu bangsa,dan perjanjian luhur bangsa dalam mendirikan negara. itullah
sebab-nya, Pendidikan kewarganegaraan tidak bisa ditawar untukmengandaikan

Universitas Negeri Malang Page 8


nilai-nilai Pancasila tersebut, dan justru bagaimana merevitalisasi posisi Pancasila
dalam kerangka pendidikan nasional dan pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan,tidak boleh dijadikan mata
pelajaran'termarjinalisasi', sehingga cenderung tidak populer di mata subyek
belajar (siswa/mahasiswa).

1.4.3 Paradigma nation and character building


Sejak Indonesia berdiri, hari ini dan ke depan, pembangunan karakter
bangsa selalu ditempatkan sebagai prioritas utama. Betapa tidak? Potensi karakter
bangsa merupakan modal sosial (social capital) yang tidak bisa diminimalkan oleh
kepentingan yang bersifat material. Kiranya bukan tanpa alasan, kredibilitas moral
dan karakter bangsa akan menentukan dan sekaligus menjadi'taruhan' bangsa
ketika bangsa indonesia memasuki percaturan global.
Dalam masa transisi atau proses perjalanan menuju format baru dalam
bentuk masyarakat madani (civi society), Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai
salah satu mata pelajaran di dunia persekolahan (baca: SDMI, SMP/MTs, dan
SMA/MA) dan dunia perguruan tinggi, harus mampu menjadi 'pengawal' moral
dan karakter bangsa lndonesia selaras dengan tuntutan dunia yang selalu berubah.
Proses pembangunan karakter bangsa sejak proklamasi kemerdekaan RI
hendaknya selalu rnenjadi prioritas, perlu direvitalisasi dan diselenggarakan sesuai
dengan arah dan panggilan jiwa konstitusi.
Tugas PKn dengan paradigma barunya mengemban tiga fungsi pokok,
yakni mengembangkan kecerdasan warga negara (civic intelligence); membina
tangung jawab warga negara (ciaic responsibility); dan mendorong partisipasi
warga negara (civic partisipation). Dalam rangka ini, praktik belajar
kewarganegaraan hendaknya diberi tekanan dan nuansa selalu menggambarkan
"gerakan sosial budaya kewarganegaraan" yang berbasis nilai-nilai Pancasila.

1.5 Pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan


Berdasarkan embrio materi dan tujuan yang telah dijabarkan di atas maka
Pendidikan Kewarganegaraan memerlukan pendekatan yang jelas. Beberapa
pendekatan yang digunakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan tidak bisa

Universitas Negeri Malang Page 9


dipisahkan dengan orientasi garapan akhirnya, yakni dalam membina kepribadian
warga negara yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan kriteria konstitusi.

1.5.1 Pendekatan Yuridis


Pendekatan ini mengantarkan warga negara untuk memahami norma-
norma formal yang selanjutnya dengan norma itu, akan memiliki sikap loyal
terhadap konstitusi. Patut di catat, bahwa UUD 1945 sebagai hukum dasar yang
tertinggi di negara indonesia yang di dalamnya memuat hak-hak kebebasan
individu (warga negara), seyogyanya digunakan sebagai rujukan norma dalam
kehidupan warga negara Indonesia.
Penempatan posisi UUD 1945 tersebut sangat logis, karena undang-
undang dasar telah dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, yang secara yuridis
digunakan sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia" Kedudukan
Pancasila sebagai dasar negara, juga terefleksi ke dalarn konstifusi negara
hrdonesia, yang memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh warga negara
hrdonesia.
Dengan demikian, tindakan warga negara Indonesia dalam melaksanakan
hak dan kewajibannya hanya bisa dibenarkan sepanjang sesuai dengan norma-
norma formal sebagaimana dituangkan dalam ‘aturan main' konstitusi (UUD
L945) dan peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD 1945. Dengan
pendekatan ini, warga negara diharapkan mampu memahami proses politik,
misalnya tentang etika politik, perbedaan antara praktik politik dan teori politik
serta mampu mencocokkan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah
(negara) dengan jiwa konstitusi yang digunakan.

1.5.2 Pendekatan struktural-fungsional


Pemikiran yang melatari pendekatan ini dapat dielaborasi daritradisi teori
sosiologi, antara lain yang dikembangkan oleh Emile Durkheim,Vilfredo Pareto,
Parsons, dan Merton. Dalam tradisi struktural-fungsional, masyarakat dipandang
sebagai suatu sistem yang di dalamnya memiliki bagian-bagian yang saling
berhubungan (Ritzer, 1985). Sementara itu, sistem sosial harus dipahami atas

Universitas Negeri Malang Page 10


dasar pentingnya keseimbangan antara bagian-bagian dalam sebuah sistem
tersebut.
Titik sentral pendekatan struktural-fungsional, memberikan perhatian
utama pada keteraturan (order),meredam konflik, mengandalkan konsensus,
mempertahankan pola keseimbangan (equilibrium), dan mengagungkan fungsi.
Thlcott Parsons (dalam Hoogevelt, 1985), dalam melakukan analisis sistem
masyarakat memperkenalkan adanya empat subsistem dari sistem umum tindakan
manusia yaitu: organisme, personalitas, sistem sosial, dan sistem kultural.
Keempat subsistem tindakan manusia itu dilihat sebagai susunan mekanis yang
saling berkaitan dan menunjukkan tata urutan yang bersifat sibernetik (cybernetic
order); yangmasing-masing memiliki fungsi. Organisme memiliki fungsi adaptasi;
personalitas yang berfungsi untuk mencapai tujuan; sistem sosial memiliki fungsi
integrasi dan sistem kultural berperan sebagai fungsi latensi untuk
mempertahankan pola dan nofina kehidupan. Senada dengan itu, Robert K.
Merton (dalam Soekanto, 1989), melatari pemikirannya pada beberapa hal sebagai
berikut: (1) struktur sistem sosial senantiasa memiliki fungsi agar mampu
mempertahankan kestabilan; (2) semakin besar perhatian kepada fungsi, semakin
besar kemungkinan hidup buah sistem sosial. Lebih lanjut, Merton mewanti-
wanti, bahwa fungsi sosial yang dinyatakan secara manifest (nampak), seringkali
mengalami disfungsi, lantaran kurangnya perhatian terhadap fungsi latent
(terselubung).
Dalam Pendidikan KewarganegaraarL pendekatan struktural-fungsional
diproyeksikan untuk menganalisis nilai fungsional terhadap sistem politik yang
digunakan sebagai wacana demokrasi.Sukarna (1981), menegaskan bahwa sebuah
sistem politik memiliki fungsi antara lain: (1) mengembangkan aturan-aturan
umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan memenuhi
tuntutan yang harus dilaksanakan secara wajar; (2) merumuskan kepentingan
rakyat dan (3) pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan.
Setiap sistem politik, bagaimanapun juga, harus merumuskan kepentingan-
kepentingan dasar dalam mempersatukan warga negara. Hal ini mengandung
makna bahwa hak-hak dasar warga negara harus diakui sebagai sebuah potensi
individual yang pada gilirannya akan diapresiasikan dalam menjaring kewajiban

Universitas Negeri Malang Page 11


yang harus mereka lakukan. Dengan demikian, sosialisasi politik yang bersumber
pada hak dan kewajiban warga negara tidakbisa ditawar, agar setiap warganegara
menyadari hak-hakyang disandang dan kewajiban yangharus diemban dalam
proses politik negara.
Pemikiran ini sangat relevan dengan program pendidikan
kewarganegaraan, terutama tentang pembinaan warga negara agar mampu
berpartisipasi dalam membentuk bangunan struktur politik (baca: antara: parpol,
DPR/MPR Presiden, serta institusi lain), sebagai komponen sistem politik negara.
Tindakan warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajiban hendaknya
dianggap sebagai sebuah fakta sosial yang harus diintegrasikan dengan gerak
sistem politik yang ada. Hal ini berarti dalam membangun sebuah struktur politik
pemerintahan demokrasi, pemilihan pemimpin politik (pemerintah negara) tidak
saja ditentukan oleh organisasi politik dan lembaga resmi negara akan tetapi suara
pemilih atau rakyat juga memegang Peranan yang sangat penting.

1.5.3 Pendekatan etika-moral


Pendekatan ini dibangun dari sebuah paradigma definisi sosial dan
perilaku sosial yang banyak digali dari tradisi Waber dan Skiner (Ritzer, 1980).
Waber, dalam menganalisis tindakan sosial (social action) menemukan lima ciri
pokok yang menjadi sasaran kajiannya: (1) tindakan sosial menurut aktor
mengandung makna subyektif; (2) tindakan nyata maupun yang bersifat
membatin, sepenuhnya bersifat subyektif; (3) tindakan itu harus mempunyai
pengaruh positif yang dapat diulang-ulang yang muncul sebagai bentuk
persetujuan; (4) tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau beberapa individu;
dan (5) tindakan itu harus memperhatikan orang lain dan terarah kepada orang
lain. Sementara itu, Skiner (sebagai tokoh paradigma perilaku sosial), mencoba
menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi behavioris ke dalam ilmu-ilmu sosial
terutama sosiologi. Menurutnya obyek sosiologi bersifat konkrit-realistis dalam
bentuk perilaku manusia dan kemungkinan pengulangannya yang dipusatkan pada
perilaku individu terhadap lingkungarmya baik berupa obyek sosial maupun non-
sosial.

Universitas Negeri Malang Page 12


Di samping itu, banyak tokoh lain yang memiliki komitmen dengan
persoalan tindakan sosial dan perilaku sosial ini. Virginia Held (1989),
menegaskan bahwa pendekatan'etika-moral' justru digunakan sebagai wacana
pembenar terhadap tindakan sosial. Diamemerinci bahwa tindakan sosial itu harus
mencakup substansi, antara lain: (1) hak-hak atas kebebasan yang sama; (2)
perlunya pengalaman moral bagi seseorang; (3) dasar-dasar adanya kepercayaan
sosial dan (4) adanya praktik penyelidikan moral. Sementara itu, Poedjawijatna
(1984) menyebut'etika' sebagai perwujudan dari filsafat tingkah laku manusia.
Bahkan secara eksplisit dia menegaskan bahwa yang dijadikan obyek etika adalah
berkaitan dengan tindakan manusia yang muncul sebagai wujud kesadaran etis
(moral). Dari sini dapat ditangkap bahwa tindakan moral bukan bebas nilai (value
free),karena muncul dari kesadaran manusia. Oleh sebab itu, tindakan manusia itu
bisa berwujud tindakan baik-buruk, tindakan wajib, tindakan netral, serta tindakan
yang bertanggung jawab.
Secara logika, munculnya tindakan moral tidak bisa dipisahkan dengan
argumen-argurnen moral. Moemans & Jolivet (dalam Cahyoto 1993), menegaskan
bahwa logika merupakan ilmu berpikir yang tepat dan hanya bisa dibahas atau
dibicarakan jika ada pemikiran dan perkataan dalam bentuk bahasa. Argumentasi
moral adalah uraian yang membahas pengembangan moral dengan cara menurut
(menu-rut cara logika) yang didukung oleh fakta dan bukti sehingga dapat
dihindari adanya kekeliruan berpikir.
Dalam kaitan itu, Bertens (1993), menyatakan bahwa argumentasi moral
merupakan unsur keempat dalam proses terbentuknya pertimbangan moral;
sesudah ketiga unsur yang lain, yaitu: sikap awal, informasi moral, dan norma
moral. Sejalan dengan itu, Jacob Bronowski (dalam Haricahyono, 1995),
menegaskan bahwa kualitas tindakan moral akan dibentuk oleh seberapa besar
perhatian aktor terhadap suatu obyek moratr dan terbentuknya pertimbangan
moral. Dengan menggunakan pendekatan'etika moral', Pendidikan
Kewarganegaraan, menempatkan tindakan sosial warga negara hendaknya diberi
penjelasan berdasarkan proses terbentuknya pertimbangan moral. Dengan
pendekatan ini, pelaksanaan hak dan kewajiban oleh warga negara Indonesia
hendaknya diartikan sebagai sebuah kristalisasi tindakan moral yang diproses

Universitas Negeri Malang Page 13


melalui pertimbangan moral dengan menggunakan bahan informasi moral
Pancasila dan UUD 1945 sebagai etika nasional bangsa trdonesia. Etika nasional
ini digunakan sebagai'parametrik' apakah tindakan moral warga negara indonesia
dapat dibenarkan atau ditolak, sehingga menggambarkan baik dan buruknya
tindakan yang dilakukan.
Sebuah contoh, apakah tindakan moral seorang pemilih (warga negara)
dalam pemilihan umum, menyoblos dengan benar atau memiilih sebagai golongan
putih (golput), kiranya harus menggambarkan kristalisasi pilihan moral yang
diambil dan diwujudkan dalam tindakan mereka. Contoh lain, apakah semaraknya
peristiwa'unjuk rasa' yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dan pemuda
indonesia dalam rnenuntut terwujudnya cita-cita reformasi, yang misalnya disertai
dengan perusakan fasilitas umum dan bentrok massa dengan aparat keamanan
sehingga memakan korban jiwa dapat digunakan sebagai sebuah wacana
pencerminan tindakan moral? Hal demikian, memerlukan analisiskritisbagi
Saudara, dengan memanfaatkan informasi ilmu-ilmu perilaku, misalnya psikologi
sosial,sosiologi, dan antropologi.

1.5.4 Pendekatan psikologis-pedagogis


Pendekatan ini lebih menekankan pada latar dunia belajar dan Iingkungan
di mana peserta didik melakukan kegiatan itu. Pendekatan'psikologis-pedagogis'
diartikan sebagai pendekatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat
perkembangan kejiwaan peserta didik yang dikaitkan dengan jenjang pendidikan
yang mereka ikuti.
Secara makro materi Pendidikan Kewarganegaraan, banyak berkaitan
dengan fakta, konsep, dan generalisasi, yang kesemuanya senantiasa merujuk
pada hak dan kewajiban (sebagai embrio materi Pendidikan Kewarganegaraan)
yang telah kita bicarakan di atas. "Trio" materi ini hendaknya diberikan pada
setiap jenjang pendidikan; baik pada jenjang pendidikan dasar, menengatu
maupun Perguruan tinggi. Topik kajian dan bobot materi yang dibicarakan bisa
berbeda, ketika kajian itu dikaitkan dengan kondisi kejiwaan peserta didik dan
aspek garapan yang menjadi target serta karakteristik masing-masing jenjang
pendidikan yang ada. Dengan kata lain, pembelajaran hak dan kewajiban yang

Universitas Negeri Malang Page 14


dicerminkan dalam bentuk fakta, konsep dan generalisasi, selalu digunakan
analisis dengan mempertimbangkan tingkat jangkauan, luas dan kedalaman materi
(scope), dan urutan pemberiannya (squence) yang relevan dengan jenjang
pendidikan. Aplikasi pendekatan psikologis-pedagogis dalam Pendidikan
Kewarganeraan, dapat digambarkan sebagai berikut:
GAMBAR
Jenjang Pendidikan Dasar, orientasi garapannya ditekankan pada aspek
sikap (tanpa meninggalkan kedua aspek yang lain, yaitu keterampilan dan aspek
pengetahuan). Materi yang digunakan banyak berkaitan dengan'fakta',yaitu
berkaitan dengan penggalian kasus atau peristiwa serta pengalaman empirik
peserta didik sebagai realitas kehidupan. Penyajian fakta ini hendaknya memiliki
signifikansi dengan tingkat perkembangan moral peserta didik, sehingga mereka
akan lebih mudah mengintemalisasi bahan ajar Pendidikan Kewarganegaraan
dalam proses pembelajaran di sekolah.
Jenjang Pendidikan Menengah, lebih banyak berorientasi pada aspek
pemahaman/keterampilan (tanpa mengesampingkan kedua aspek yang lain, yakni
aspek sikap dan aspek pengetahuan). Tingkat perkembangan moral usia jenjang
pendidikan menengah lebih banyak menuntut bagaimana peserta didik terampil
melakukan suatu tindakan moral yang diawali dengan melakukan pertimbangan
moral yang mereka tetapkan. Untuk memahami hal itu diperlukan materi yang
berkaitan dengan konsep, yang di dalamnya selalu mengandung pengertian.
Kerangka penemuan atau pencapaian konsep (concept attainment) dapat
dllakukan dengan cara dialog menda-lam (depth dialoque) dan tentunya
mengandalkan pada motivasi peserta didik untuk berpikir kritis (critical thinking).
Sebagai contoh, peserta didik tidak akan mampu melaksanakan pemilihan
pengurus Senat Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dengan demokratis, jika mereka tidak
mengetahui makna dan karakteristik perilaku demokratis. Untuk mewujudkan
perilaku demokratis, seharusnya mengundang dialog secara mendalam dan
dilandasi oleh cara-cara berpikir kritis.
Jenjang Pendidikan Tinggi, lebih banyak menggarap aspek pengetahuan (dengan
tetap tidak meninggalkan kedua aspek yang lain: aspek sikap dan keterampilan)

Universitas Negeri Malang Page 15


dengan fokus pada materi generalisasi, yaitu kerangka pengambilan kesimpulan
dan formulasi dalil/ketentuan serta bagaimana solusi pemikiran, pendapat dan
tindakan ditetapkan/dilakukan. Prosedur kognisi, lebih banyak diorientasikan agar
peserta didik mampu berpikir kritis (baik secara induktif, deduktif maupun
keduanya), yang pada gilirannya akan mampu mengambil kesimpulan
yangbersifat rasional. Hal ini diselaraskan dengan karakteristik pendidikan tinggi
sebagai lembaga ilmiah dan kampus sebagai masyarakat ilmiah.
Penetapan rangkaian materi Pendidikan Kewarganegaraan yang menyangkut fakta
konsep dan generalisasi dalam pendekatan 'psikologis-pedagogis' , dapat
dicontohkan sebagai berikut:
(1) Fakta: pengumpulan massa dan kemudian turun jalan (long march) dengan
membawa spanduk yang bertuliskan tuntutan tertentu serta dengan yel-yel
tertentu;
(2) Konsep: peristiwa tadi mengandung konsep demontrasi atau
unjuk rasa;
(3) Generalisasi: setiap watga negara berhak berkumpul dan mengeluarkan
pikiran dengan lisan maupun tulisan.
Kiranya masih banyak contoh lain yang bisa saudara inventarisasi dalam
pemetaan materi Pendidikan Kewarganegaraar, terutama jika dikaitkan dengan
aspek-aspek kehidupan warga negara yang sejajar dengan hak dan kewajibannya.
Pemisahan ketiga aspek garapan dan muatan materi Pendidikan
Kewarganegaraan yang diberikan dalam setiap jenjang pendidikan yang ada tidak
harus disikapi secara ekstrem/absolut. Karena ketiga garapan itu
salingberhubungan dan saling mengisi. Perbedaan yang tampak, semata-mata
didasarkan pada perbedaan tingkat perkembangan psikologis yang melekat pada
masing-masing individu peserta didik terkait dengan jenjang pendidikan yang
dialami.

Universitas Negeri Malang Page 16


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan penjelasan pasal 37 (2) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dimaksudkan sebagai
program pendidikan untuk membina peserta didik agarmemiliki rasa kebangsaan
dan cinta terhadap tanah air.

Universitas Negeri Malang Page 17


2. Tujuan PKn adalah membentuk warga negara yangbaik (good of citizenship).
Kriteria kepribadian warga negara yang baik, antara lain dikemukakan Stanley
Dimond (1970), memberikan deskripsi kualitas kepribadian warga negara yang
baik, meliputi beberapa atribut: (1) loyal; (2) orang yang selalu belajar; (3)
seorang pemikir; (4) bersikap demokratis; (5) gemar melakukan tindakan
kemanusiaan; (6) pandai mengatur diri; dan (7) seorang pelaksana. Sedangkan
Cogan, menyebut ada beberapa indikator: 1)menjawab tantangan global;
(2)bekerja sama dengan oranglain; (3) menerima dan toleransi terhadap perbedaan
budaya; (4) berpikir kritis dan sistematis; (5) menyelesaikan konflik tanpa
kekerasan; (6)mengubah gaya hidup konsumtif guna melindungi lingkungan; (7)
kepekaan terhadap hak asasi manusia; (8) partisipasi dalam pemerintahan.

3. Sebagai program pendidikan PKn menggunakan pendekatan yuridis, struktural-


fungsional, etika moral dan psikologis-pedagogis, dengan memfungsikan
paradigma barunya yakni paradigma perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), paradigma globalisasi, paradigma reformasi, dan paradigma
pembangunan karakter bangsa (nation and char acter building).

Universitas Negeri Malang Page 18


DAFTAR RUJUKAN

Bertens, K.1993. Etika.lakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Cahyoto. L993. Argumtentasi Moral. Makalah Seminar. Malang:
Jurusan PMP-KN, FPIPS-IKIP Malang.
Cogan, John J and Derricotf Ray. 1988. Citizenship for the 21 st Cen-
tury : An International Pespectiae on Education. London,Cogan Page.
Dimond, S. 197 0 . Civics for Citizens. New York : Lipincott Company.
Haricahyon o, C. 1995. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Held, V. 1.989. Etika Moral: Pembenaran Tindakan Moral.Alih Bahasa
Y. Andi Handoko. Jakarta: Rajawali.
Hoogeveld. A.M.M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang.
Penyadur Alimandan. Jakarta: CV Rajawali.
Poedjawijatna, IR. 1984. Etika Filsafat Tingkah Laku.Jakarta: Aksara
Baru.
Ritzer, G. 1985. Sosiologi llmu Berparadigma Ganda. Penyadur
Alimandan. Jakarta: CV Rajawali.
Robinson, D.1967 . Promising Practice in Civic Education.Washington:
National Council for The Social Studies (NCSS).
Soekanto, S. 1989. Robert K. Merton: Analisa Fungsional. Jakarta:
Rajawali.
Sukarno, 19 81.Sistem Politik. Bandung: Alumni.

Universitas Negeri Malang Page 19


DAFTAR PUSTAKA

Oklahoma University State, http://www.pp.okstate.edu/ehs

OHSA, http://www.ohsa.gov/

Universitas Negeri Malang Page 20

Anda mungkin juga menyukai