Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

HUKUM ISLAM MASA PEMBINAAN, PENGEMBANGAN


DAN PEMBUKUAN (ABAD VII – X M)

Disusun Oleh :

1. GHALDA ABIYYU ZALD (E0016183)


2. GILBERT HADIPUTRA P (E0016186)
3. IQBAL BAGAS (E0016218)
4. NAIM FAJARUL (E0016310)
5. MUHAMMAD BAYU WASESA P (E0016287)
6. WILDAN TANTOWI (E0016443)
7. WINARDO GUARDIAN BAYU B (E0016446)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan hukum islam telah tertulis dalam


sejarah peradaban dunia. Dimana dalam pertumbuhan dan perkembangan
hukum islam itu sendiri terbagi dalam tahap-tahap pertumbuhan dan
perkembangan hukum islam. Dimana pembagian tahap-tahap tersebut
ditujukan untuk menunjukan proses hukum islam itu tumbuh dan berkembang.
Pada umumnya tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam
dibagi dalam lima masa sebagai berikut:

1. Masa Nabi Muhammad (610 Masehi – 632 Masehi);


2. Masa Khulafa Rasyidin (632 Masehi – 662 Masehi);
3. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII Masehi – X
Masehi);
4. Masa Kelesuan Pemikiran (abad X Masehi – XIX Masehi); dan
5. Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX Masehi sampai sekarang).

Dari tiap masa yang ada mempunyai kasus dan kajian tersendiri dalam
upaya pertumbuhan dan pengembangan hukum islam. Tiap tahapan-tahapan itu
pula mempunyai faktor-faktor penting yang memperngarahi pertumbuhan dan
perkembangan hukum islam di dunia.
Pada periode pembinaan, pengembangan, dan pembukuan hukum islam
ini merupakan titik dimana perlu dikajinya dan dipahami dengan baik. Karena
pada periode ini hukum islam dikembangkan lebih lanjut. Periode ini pula
muncul berbagai macam ahli hukum islam yang secara otomatis memunculkan
banyak teori dan pendapat dalam mengkaji hukum islam.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas. Menuntun penulis
untuk menulis sebuah tulisan atau paperdengan judul “Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan Hukum Islam Masa Pembinaan, Pengembangan, dan
Pembukuan (Abad VII – X Masehi)”.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengambil rumusan


masalah sebagai berikut,
1. Bagaimana keadaan hukum islam pada masa pembinaan, pengembangan,
dan pembukuan (abad VII – X Masehi)?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah


dijabarkan maka penulisan ini memiliki tujuan :

1. Mengetahui tentang pertumbuhan dan perkembangan hukum islam pada


masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad VII – X Masehi).
2. Mengetahui keadaan hukum islam pada masa pembinaan, pengembangan
dan pembukuan (abad VII – X Masehi).
BAB II

PEMBAHASAN

Disamping periode Nabi Muhammad dan periode Khulafa Rasyidin. Periode


pengembangan, pembinaan dan pembukuan hukum Fiqih Islam perlu dikaji
dan dipahami dengan baik, karena dalam periode inilah hukum Islam
dikembangkan lebih lanjut. Periode ini berlangsung lebih kurang 250 tahun
lamanya, dimulai pada bagian kedua abad VII sampai dengan abad X Masehi.
Dilihat dari kurun waktu ini, pembinaan dan pengembangan hukum Islam
dilakukan dimasa pemerintahan Khalifah Ummayah (662-750) dan Khalifah
Abbasiyah (750-1258). Dan oleh karena itu pula dalam kepustakaan sering
dikatakan bahwa hukum fiqih Islam berkembang dimasa Ummayah dan
berbuah di zaman Abbasiyah (Hazairin, 1955).

Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan
garis-garis suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut dan digunakan
oleh umat islam sampai sekarang. Banyak faktor yang memungkinkan
pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu :

a) Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan
asal usul, adat istiadat dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk
dapat menentukan itu maka ditentukanlah kaidah atau norma bagi suatu
perbuatan tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam
masyarakat.

b) Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan


untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.

c) Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah
hukum dalam masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada
periode ini lahir penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan
yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-khamsah.

(Fachruddin,Fakultas Syaria’ah UIN Maliki Malang hlm 4-5, Pembentukan,


Perkembangan, dan Pembaharuan Hukum Islam)
Pada periode ini juga ada upaya untuk membukukan hadits, atas

inisiatif dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa ini juga terdapat

pembagian terhadap aktivitas pemikiran hukum secara bebas yakni Irak,

Hijaz dan Syria imamnya masing-masing. Irak memiliki dua madzhab

yaitu Basrah dan Kufah. Hijaz juga memiliki dua madzhab yaitu Makkah

dan Madinah, namun madzhab Madinah lebih menonjol, sementara di

Syria yang kurang populer madzhabnya. Hal inilah yang kemudian para

ulama terbagi menjadi dua aliran, Ahli Ra’yu dan Ahli Hadits. (Ibid., hlm 17,
lihat juga Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah-Hadits dan Implikasinya

Bagi Perkembangan Hukum Islam, Tesis Program Pascasarjana, Institut


Agama Islam Negeri Alaudin, Ujung Pandang, 1998, hlm. 97)

Hukum fiqih Islam sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam mencapai
puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah
selama kurang lebih 500 tahun. Dimasa inilah lahir para ahli hukum Islam yang
menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fiqih Islam serta muncul
berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh Ummat Islam
sampai sekarang.

1. Abu Hanafiah (Al-Nukman Ibn Tsabit) : 700-767 M

Ia hidup di Kufah, Iraq yang letaknya jauh dari madinah tempat nabi
Muhammad hidup dahulu. Berbeda dengan Madinah, ditempat banyak orang
mendengar dan mengetahui sunnah nabi, di Kufah tidak banyak orang yang
mengetahui benar tentang sunnah nabi Muhammad. Selain itu keadaan
masyarakat Kufah jauh berbeda dengan keadaan masyarakat Madinah. Di
Madinah penduduknya homogen dan hidup dalam suasana agraris. Di Kufah
masyarakatnya heterogen, hidup dalam suasana kota yang terdiri dari berbagai
suku bangsa. Perbedaan diantara kedua tempat tersebut menyebabkan
perbedaan masalah yang timbul dalam masyarakat. Ini menyebabkan
pemecahan masalah hukumnya pun menjadi berbeda pula.

Selain itu intensitas penggunaan sumber hukum pun berbeda. Di Madinah,


seperti disebut diatas, banyak orang yang mengetahui sunnah Nabi
Muhammad. Selain yang menuliskannya sebagai catatan pribadi bayak yang
menyampaikan secara lisan secara turun temurun. Karena itu kalau terjadi
suatu masalah yang memerlukan pemecahan, orang yang menggunakan
sunnahnabi untuk menyelesaikan persoalan itu. Di Kufah lain keadaannya.
Karena mereka tidak banyak mengetahui tentang sunnah Nabi Muhammad,
untuk memecahkan masalah masyarakat mereka yang relatif lebih kompleks
itu, mereka lebih banyak mempergunakan pendapat atau pemikiran sendiri
dengan Qiyas atau Analogi sebagai alatnya.

Perbedaan intensitas dalam mempergunakan sumber-sumber hukum ini,


menyebabkan perbedaan-perbedaan pendapat yang akhirnya menimbulkan
aliran-aliran pemikiran dalam hukum fiqih Islam. Karena Abu Hanafiah (dan
kemudian murid-muridnya) banyak menggunakan fikiran atau Ra’yu dalam
memecahkan masalah hukum, dalam kepustakaan mazhab Hanafi ini dikenal
dengan sebutan Ahlur Ra’yu.

Banyak murid-muridnya yang menjadi Mujtahid Mazhab yang


mengembangkan Mujtahid Mutlaknya itu. Diantaranya yang terkenal adalah
Abu Yusuf (774-824) yang pernah menjadi hakim agung dalam pemerintahan
Khalifah Harun Al-Rasyid. Selain Abu Yusuf, terkenal pula As-Syaibani (724-
811) yang menulis buku himpunan pendapat yang pernah dikemukakan Abu
Hanafiah.
2. Malik Bin Anas 713-795 M

Malik Bin Anas, hidup dan mengembangkan fahamnya di Madinah, dimana


banyak orang yang mengetahui Sunnah nabi. Oleh karena itu, Malik banyak
mempergunakan Sunnah dalam memecahkan persoalan hukum. Malik sendiri
menjadi pengumpul sunnah nabi. Ia menyusunnya dalam kitab hadits yang
terkenal dengan nama Al-Muwatta. Karena isi kitabnya itu, Khalifah Harun Al-
Rasyid pernah menyatakan keinginannya agar buku himpuna hadits hukum
yang disusun oleh Malik Bin Anas itu dijadikan buku sumber resmi sumber
hukum Fiqih Islam. Malik sendiri keberatan atas maksud Khalifah itu dengan
alasan bahwa setiap tempat telah ada ahli hukum yang mempunyai pandangan
sendiri tentan sumber hukum fiqih Islam, selain Al-Quran. Penolakan ini
berarti Malik menghargai keaneka ragaman sumber hukum dalam pemecahan
masalah pada situasi dan kondisi yang berbeda.

3. Muhammad Idris As-Syafi’i: 767-820 M.

Ia belajar hukum fiqih dari para mujtahid mazhab Hanafi dan Malik bin Anas.
Karena itu pula ia mengenal baik tentang sumber hukum maupun mengenai
metode yang mereka pergunakan. Karena itu pula ia dapat menyatukan kedua
aliran itu dan merumuskan sumber-sumber hukum Islam.

4. Ahmad bin Hambal (Hanbal) : 781-855.

Ia belajar hukum dari beberapa ahli, termasuk Syafi’I, di beberapa tempat.


Selain ahli hukum ia ahli pula tentang hadits Nabi. Berdasarkan keahliannya
itu, seperti halnya dengan Malik bin Anas, ia menyusun kitab hadits terkenal
bernama Al-Musnad atau Al-Masnad. Pendapat Ahmad bin Hambal ini
menjadi pendapat resmi di Saudi Arabia sampai sekarang.

Keempat pendiri mazhab ini yang disebut ‘imam’ ini menyatakan bahwa
sumber-sumber hukum mereka adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karena itu
pula mereka menganjurkan agar para ahli yang datang kemudian mengambil
hukum dari sumber yang sama. Sementara itu mereka menemukan juga cara
pembentukan hukum melalui Ijmak dan Qiyas yang kemudian diakui dan
dinyatakan oleh Syafi’I sebagai sumber hukum ketiga dan keempat. Dan
sebagai pendapat manusia hasil Ijmak dan Qiyas ini tidak terhindar dari
kemungkinan salah, karena itu tidak dapat dianggap sebagai pendapat yang
final dan mutlak yang tidak mungkin berubah atau diubah lagi.

Selain perkembangan pemikiran hukum, dalam periode ini pulalah lahir teori
penilaia mengenai baik buruknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia
yang terkenal dengan nama Al-Ahkam Al-Khamsah.

Dan sebagaimana diketahui, sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan
sunnah Nabi Muhammad, dihmpun dalam satu naskah dizaman Khalifah Abu
Bakar, dua tahun setelah Nabi Muhammad meninggal dunia dan disalin serta
dibakukan dalam satu Mus-Haf Al-Quran standar di zaman Khalifah Usman.

Sebagaimana telah dikemukakan, berdasarkan cara pemberitaan atau jumlah


orang yang menyampaikannya secara lisan turun temurun, hadis atau sunnah
nabi dapat dibagi kedalam Mtawatir, Masyhur dan Ahad (ada juga yang
mengelompokkan ke dalam Mutawatir dan Ahad). Dan berdasarkan kualitas
atau tingkat Sanad-nya yakni mata rantai nama orang-orang yang
meriwayatkan sesuatu hadits, hadits atau sunnah nabi dibagi kedalam tiga
kategori yakni Sahih (Sehat), Hasan (baik/bagus), Da’if (lemah). Bukhari,
seperti telah disebutkan mengemukakan lima kategori untuk mengatur
pengelompokkan hadits atau sunnah nabi kedalam Sahih, Hasan dan Da’if.
Kelima kategori itu adalah :

Kekuatan ingatan para pewarisnya yakni orang yang menyampaikan hadits


atau sunnah secara lisan turun-temurun.

o Kejujurannya.

o Tidak terputus-putus mata rantai pewaris hadits bersangkutan

o Isinya tidal cacat, dan

o Tidak ada kejanggalan kalau dipandang dari sudut bahasa atau tata
bahasanya.
Kalau semua dipenuhi hadits itu disebut sahih, satu atau dua kurang disebut
hasan, lebih dari dua disebut da’if.

Demikianlah atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ketiga hijriah atau
akhir abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah kitab-kitab hadits
yang terkenal dengan nama Al-Kutub As-Sittah (enam buah kitab hadits)
masing-masing karya :

o Bukhari, meninggal tahun 256 H/870 M

o Muslim, meninggal tahun 261 H/875 M

o Ibn Majah, meninggal tahun 273 H/877 M

o Abu Daud, meninggal tahun 275 H/889 M

o At-Tarmizi, meninggal tahun 279 H/892 M

o An-Nasa’I, meninggal tahun 303 H/915 M

Dari angka-angka tahun meninggalnya para penyusun kitab-kitab hadits di atas,


dapat diketahui bahwa mazhab atau aliran hukum Islam telah terbentuk
sebelum Al-Kutub As-Sittah itu disusun. (Mohammad Daud Ali, 1998: 181 –
194)
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Dalam pembahasandi atas bahwa dalam perjalanan islam, melalui


beberapa fase dan masa. Mulai dari masa Nabi Muhammad SAW, sampai masa
kebangkitan islam sampai sekarang. Setiap masa pasti punya kelebihan dan
kekurangan,akan tetapi pada masa Nabi Muhammad SAW jarang bahkan tidak
ada ditemukan perpecahan antarumat islam dikarenakan pada masa tersebut
segala permasalahan umat akan diselesaikan langsung oleh Rasullullah.
Periode pengembangan, pembinaan dan pembukuan hukum Fiqih Islam perlu
dikaji dan dipahami dengan baik, karena dalam periode inilah hukum Islam
dikembangkan lebih lanjut

3.2 SARAN

 Kita harus selalu bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.


 Kita sebagai mahasiswa harus tahu perkembangan – perkembangan
sejarah dunia dan hukum islam adalah salah satu yang harus diketahui.
 Kita sebagai mahasiswa harus menghargai sejarah dan tidak boleh
melupakannya, karena sejarah adalah kejadian yang dialami oleh
leluhur kita.
 Kitasebagai generasi muda harus melanjutkan perjuangan yang
dilakukan oleh pendahuu kita.
Daftar Pustaka

Mohammad Daud Ali, 1998: 181 – 194)

Jurnal : Fachruddin. Pembentukan, Perkembangan, dan Pembaharuan Hukum


Islam..2009. Malang. Fakultas Syaria’ah UIN Maliki Malang hlm 4-5,

Musahadi.Evolusi Konsep Sunnah-Hadits dan Implikasinya. 2008.Jogjakarta.


Universitas Islam Indonesia

Moch Daud. 1998. Perkembangan Hukum Islam, Tesis Program Pascasarjana,.


Ujung Pandang. Institut Agama Islam Negeri Alaudin

Abdurrahman. 1992. Sejarah Hukum Islam, Pustaka setia. Jakarta: Pustaka


Setia

Iskndar Usman. 1994. Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam. Jakarta:Rajawali


Pers.

Anda mungkin juga menyukai