Anda di halaman 1dari 5

Nama : PUTU YOGA UTAMA PUTRA

Nim : 1704552198
Matkul : HUKUM PERADILAN AGAMA

 KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF PERADILAN AGAMA


Kata “kewenangan” bisa diartikan “kekuasaan” sering juga disebut juga “kompetensi” atau
dalam bahasa Belanda disebut “competentie” dalam Hukum Acara Perdata biasanya menyangkut
2 hal yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama
yang berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya.
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2019 Tentang Pengadilan Agama serta asas personalitas keislaman menjadi dasar
kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara:
a. Perkawinan
b. Kewarisan
c. Wasiat.
d. Hibah
e. Wakaf.
f. Zakat.
g. Infaq.
h. Shadaqah.
i. Ekonomi syari’ah

Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi kewenangan:
a. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum Islam kepada Institusi
Pemerintah didaerahnya apabila diminta
b. Pun demikian diberi tugas tambahan atau yang didasarkan pada undang-undang
seperti pengawasan pada advokad yang beracara dilingkungan Pengadilan Agama,
Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.

2. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah
kewenangan Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah.
Contoh Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi.
Dalam hal ini antara Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama
Ngawi adalah satu jenis dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara
yang digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum
Acara Perdata. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
menerangkan bahwa dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku
di Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah Pasal
118 Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai
dengan daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian
sebagaimana dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu
a. Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua
daerah tergugat berada.
b. Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan pada daerah penggugat.
c. Apabila gugatan yang diajukan terkait benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di
mana letak benda tidak bergerak tersebut berada.
d. Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam suatu akad maka gugatan diajukan
pada tempat yang dipilih dalam akad tersebut.

 Tuntutan Hak
Tuntutan Hak (Sudikno Mertokusumo) yaitu tindakan yang bertujuan untuk
memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
terjadinya eigenrichting. Dalam gugatan minimal terdapat 2 pihak didalamnya yaitu :
a. pihak penggugat dan
b. pihak tergugat hasilnya akhir berupa putusan pengadilan
Dalam permohonan hanya terdapat 1 pihak saja yaitu pihak pemohon dengan hasil akhir
berupa penetapan pengadilan.Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia
tidak dapat menyelesaikan sendiri masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada
Pengadilan untuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tuntutan itu harus mengandung kepentingan hukum, point d’interet, poit d’action, geen belang
geen actie (tidak ada ada kepentingan, tidak dapat digugat di muka pengadilan). Putusan MARI
No. 294 K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 menyebutkan, gugatan harus diajukan oleh orang yang
mempunyai hubungan hukum.
a. Surat gugatan.
Gugatan diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan di tempat tinggal Tergugat
(pasal 118 HIR, 142 RBg), atau jika Penggugat buta huruf, ia dapat mengajukan secara
lisan kepada Ketua Pengadilan yang akan mencatat atau menyuruh mencatat Hakim yang
ditunjuk, gugatan tersebut dalam Catatan Surat Gugatan.
b. Penggabungan/kumulasi gugatan.
Penggabungan/kumulasi gugatan dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
Penggabungan subyektif, Penggabungan obyektif dan Intervensi.
c. Gugatan secara cuma-cuma (prodeo).
Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya perkara
(pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004).
d. Upaya menjamin hak.
Untuk kepentingan Penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan,
undang-undang menyediakan sarana untuk menjamin hak tersebut dengan penyitaan
(arrest, beslag).
e. Perubahan gugatan.
Perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv
pasal 127.
Pencabutan gugatan. Pencabutan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya
terdapat dalam Rv pasal 271, yang menyatakan bahwa pencabutan gugatan dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Sebelum gugatan diperiksa dalam persidangan, tidak perlu persetujuan dari pihak
Tergugat, karena Tergugat secara langsung belum mengetahui tentang adanya
gugatan/belum tersentuh kepentingannya.
b. Sebelum Tergugat memberi jawaban, juga tidak perlu mendapat persetujuan
Tergugat.
c. Sesudah Tergugat memberi jawaban, pencabutan harus terlebih dulu mendapat
persetujuan Tergugat, karena sudah tersentuh kepentingannya.
Daftar Pustaka
1. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/ab71daa2fa4f0861ce1b9ca4525aaf
1a.pdf
2. http://www.pa-magetan.go.id/artikel/215-sumber-hukum-dan-kompetensi-absolut-dan-
kompetensi-relatif-di-pengadilan-agama
3.

Anda mungkin juga menyukai